RANGKEUM
RANGKEUM
2020
Judu Buku RANGKEUM 2020:
Olah Pikir Aceh Institute di Media Edisi Pertama, Cet. 1. Tahun 2020
ISBN 978-623-93537-5-9 Tim Editor Saiful Akmal
Danil Akbar Taqwadin Muhammad Syuib
Muazzinah
Cover/Layouter Khairul Azmi Penerbit Padebooks
Jalan Anggrek 1 Dusun Malahayati
Lampulo Banda Aceh
Email : [email protected]
Copyrights © Padebooks, 2020
All rights reserved. No part of this book might be repro-duce or transmitted in any form or by any means, electron-ic or mechanelectron-ical including photocopying, recording or by any information storage retrieval system, without permis-sion in writing from the publisher or copyrights holder. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam atau dengan teknik perekaman lainnya tanpa seizin tertulis dari penulis atau pemegang hak cipta.
Bahasa Aceh di Tengah Euforia Etno-Nasionalisme
iii
KATA PENGANTAR DIREKTUR
Haba Peu Intat
Alhamdulillah atas berkat rahmat Allah SWT buku sederhana ini telah hadir ke pangkuan pembaca sekalian. Buku ini adalah kompi-lasi gagasan yang pernah dituangkan oleh penulis-penulis muda The Aceh Institute (AI Fellows), tersebar di beberapa media pub-likasi online dan printing, mengangkat tema-tema yang mengkri-tisi dinamika yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Penamaan Rangkeum 2020 itu bermaknakan tahun peris-tiwa. The Aceh Institute (AI) secara berkala setiap tahunnya me-nerbitkan esai-esai sosial-politik-budaya yang hadir menjawab dinamika yang sedang berkembang. Rangkeum 2020 berisikan se-gala catatan yang terjadi pada paruh 2020. Seperti juga Rangkeum 2009 dan Rangkeum 2010, tentunya pada tahun depan kami akan menerbitkan juga Rangkeum 2021, Rangkeum 2022 dan seterus-nya. Dengan cara begini, AI hadir ke tengah-tengah masyarakat memberikan ruang kaleidoskop untuk mengulang kaji apa yang pernah menjadi pembicaraan publik dalam setahun terakhir ini. Esai-esai yang terdokumentasikan dalam Rangkeum ini di-tulis menggunakan tones yang beragam sesuai dengan karakter penulisnya. Pada Rangkeum ini, Tim Editor meramu 58 tulisan yang disusun ke dalam tujuh kluster yang relevan seperti yang bisa kita temukan dalam daftar isi. AI dengan senang hati dan antusias men-gundang semua ilmuwan muda (young scholars) untuk ikut berba-gi catatan dan kegelisahannya melalui media publikasi kami www. acehinstitute.org yang muaranya nanti akan kami dokumentasikan ke dalam format buku seperti ini. Kami sadar bahwa dengan menu-lis kita ikut memberi warna bagi isu-isu yang sedang menjadi arus utama di ruang publik kita, menjadi strategi peneguhan ekssitensi intelektualitas diri, tidak termasuk manfaat menulis bagi kesehatan mental setiap penulisnya. Menulis tidak hanya mencurahkan ga-gasan, tetapi juga melepaskan kegeraman pada dinamika sosial yang terus berkembang diluar ruang kontrol kita. Menulis memberikan
Bahasa Aceh di Tengah Euforia Etno-Nasionalisme
iv
efek katarsis bagi pelepasan rasa hati dan kegelisahan atas dinamika yang terus menggelitik akal sehat kita. Menulislah agar tetap waras. Para Pembaca Sekalian…
AI adalah lembaga kajian kebijakan non-profit dan independen yang mengusung visi menciptakan budaya keilmuan (academic cul-ture) dan tradisi kritis (critical thinking) dalam masyarakat Aceh mel-alui keterlibatan aktif komunitas intelektual yang independen, berin-tegritas, dan responsif terhadap dinamika daerah. AI memfokuskan diri pada studi-studi tentang perkembangan politik dan ekonomi, perubahan social, dan pembangunan perdamaian di Aceh. AI juga se-cara umum melakukan kajian-kajian sejarah, hukum dan HAM, pen-didikan dan pengembagan SDM, agama dan peradaban, perencanaan wilayah dan lingkungan hidup, demokrasi dan civil society, sains tekh-nologi dan kesehatan. Visi jangka AI adalah melahirkan generasi ilmu-wan yang kritis yang independen secara berkelanjutan. Generasi in-ilah yang akan menjadi tandem bagi berjalannya roda pemerintahan secara seimbang. Mari bergabung dalam barisan intelektual muda AI, menjadi penulis dan peneliti muda, menjadi bagian dari Think Tank yang memberi warna bagi kebijakan publik, mendorong Aceh ber-sama-sama menuju masyarakat baru: The New Aceh Society (NAS). Terimakasih kepada Saudara Saiful Akmal dan Tim Ed-itor yang telah bersusah payah mengkompilasikan seluruh tulisan dalam buku ini, melakukan editing beberapa ba-gian-bagian penting tanpa menghilangkan substansi tulisan, dan merangkainya dalam satu kesatuan narasi yang utuh.
Terimakasih juga kepada seluruh pembaca dan mitra lemba-ga AI yang selama ini telah menjalin kerjasama denlemba-gan kami da-lam berbagai bentuk. Banyak pekerjaan rumah kita untuk Aceh yang sedang berbenah menuju wilayah meu-deelat tapi seper-ti tanpa peunutoh dan guidance. Dalam kondisi seperseper-ti inilah
Bahasa Aceh di Tengah Euforia Etno-Nasionalisme
v
fikiran-fikiran jernih seluruh elemen masyarakat dibutuhkan, wa bil khusus sikap istiqamah kita untuk selalu tampil idealis da-lam deru dan godaan pragmatisme politik yang begitu besar. Kepada Allah SWT jua kita berserah diri dalam ikhtiar besar ini. Tabek dan TakzeemLimpok di awal Desember 2020 Fajran Zain
RANGKEUM 2020: Olah Pikir Aceh Institute di Media
xxxix
DAFTAR ISIKata Pengantar Direktur – Haba Peuintat iii
Editorial v
Daftar Singkatan xxx
Daftar Isi xxxix
BAGIAN SATU: ACEH DAN PANDEMI COVID-19
1
Euforia Zona Hijau 2
(Saiful Akmal)
New Normal, Perspektif Menghadapi Tatanan Hidup Baru 4
(Cut Desy Diana Sari) Aceh Up Normal 9
(Muhajir Al Fairusy)
Covid-19 dan Orang Kaya Baru ditengah Krisis 12
(M. Ridha Muridillah) Aceh Sedang Sakit 15
(Muazzinah Yacob)
Bersama Melawan Corona 19
(Muazzinah Yacob)
Aceh, Covid-19 dan Cultural Intruder 21
(Muhajir Al Fairusy) Covid-19 dan Co.Id 25
RANGKEUM 2020: Olah Pikir Aceh Institute di Media
xl
BAGIAN DUA: AGAMA DITENGAH REALITA 27
Selfie di Baiturrahman 28
(Elva Winda)
Jilbab Pengumbar Aurat 30
(Haya Nabila)
Salah Paham Massal 32
(Irfandi Djailani)
Meneladani Rasul, Mengurangi Olah 35
(Muhammad Syuib)
Dekati Poligami, Jangan Jauhi 39
(Fajran Zain)
Idul Adha Tanpa Penyedap Rasa 42
(Fatmawati AB)
Sumbangsih Islam Terhadap Kemajuan Eropa 45
(Khairul Azmi)
BAGIAN TIGA: HUKUM DAN KEBIJAKAN 47
Aceh Tan Pakat 48
(Fajran Zain)
Papua Memang Beda 53
(Fajran Zain)
Salah Ciduk di Rumoh Geudong 56
(Muhammad Haikal)
Komunisme 65 dan KKR Aceh 58
RANGKEUM 2020: Olah Pikir Aceh Institute di Media
xli
Apa Suh, Otsus dan Kapitalis 62
(Jarjani Usman)
George Saik, Aceh dan RPJM 65
(Jarjani Usman)
Rokok Ilegal: Akibat Bergesernya Gengsi “Ureueng Aceh” 68
(Rizkika Lhena Darwin dan Saiful Akmal) Cambuk dalam Perspektif Psikologi 72
(Elda Oviyani)
Madani-kah Banda Aceh 74
(Ahmad Zaky)
Ronaldo dan Pesan Kepastian Hukum 76
(Muhammad Syuib)
BAGIAN EMPAT: PESTA DEMOKRASI DAN DINAMIKA
SUKSESI 81
Pentingkah Pemilu? 82
(Muhammad Syuib)
Pemilu Bukan Milik Penyelenggara 86
(Fajri M. Kasem)
Evaluasi: Integritas Penyelenggara Pilkada 89
(Asqalani)
Pilkada Serentak Vs Salus Populi Suprema Lex Esto 99
(Muhammad Syuib)
Ternak Digital dalam Kontestasi Pemilu 103
RANGKEUM 2020: Olah Pikir Aceh Institute di Media
xlii
Pantaskah Quick Count Dipercaya? 106
(Cut Famelia)
Macam Model Silaturahim Menjelang Pileg 110
(Khairul Azmi)
Musim “Kawin“ Politik 114
(Saiful Akmal)
Masa (Tak) Tenang 117
(Saiful Akmal)
Menjaga Nalar dan Akal Sehat Paska Pemilu 120 (Teuku Zulfikar)
Mahalnya Harga Sebuah Demokrasi 124
(Saiful Akmal)
Sengketa Pilpres, Polarisasi atau Rekonsiliasi via MK? 128
(Saiful Akmal)
Berdamai dengan Kecurangan 131
(Fajran Zain)
Pekerjaan Rumah Presiden Terpilih 134
(Saiful Akmal)
BAGIAN LIMA: POLITIK DAN PEMERINTAHAN 136
Politico-tainment: Sebuah Hiburan Politik 137
(Saiful Akmal) Seleb Politik 140
(Saiful Akmal)
Pemimpin Baru yang Bijaksana 142
RANGKEUM 2020: Olah Pikir Aceh Institute di Media
xliii
Tantangan Elemen Sipil Aceh di Era 4.0 145(Saiful Akmal)
Gerakan Sipil di Tahun Politik 149
(Danil Akbar Taqwaddin)
Membaca Elektabilitas Perempuan Dalam Politik 153
(Khatijatusshalihah)
Politik Uang atau Ongkos Politik? 157
(Muazzinah)
Dilema SILPA di Aceh 161
(Muazzinah)
Referendum (Bukan) Harga Mati 164
(Saiful Akmal)
Partai Aceh Mesti Berbenah 168
(Rahmat Ari Yanda)
Era Milenial dan Politik 170
(Alfiyan Muhiddin)
Mampukah Banda Aceh Menjadi Smart City? 172
(Cut Famelia)
Aceh Meusumpom 175
(Muhajir Al-Fairusy)
BAGIAN ENAM: PENDIDIKAN DALAM KONTEKS SOSIAL 179
Kecerdasan Digital dan Pendidikan di Aceh 180
(Teuku Reza Auliandra Isma)
Belajar di Era 4.0: Tidak Melulu High-Tech 183
RANGKEUM 2020: Olah Pikir Aceh Institute di Media
xliv
Penolakan Pekerja Tiongkok dan Pendidikan STEM 186
(Jarjani Usman)
Keihsanan dalam Diri 190
(Azmi Abubakar)
Media Sosial: Menghilangkan Atau Meningkatkan Kesepian 193
(Sarinah)
Mengatasi Siswa Perokok 195
(Muhammad Syuib)
Kampus Yang Terbelah 198
(Saiful Akmal)
Robohnya Kearifan “Darussalam“ 200
(Saiful Akmal)
Investasi Pendidikan Aceh 204
(Saiful Akmal & Heru Fahlevi) Ironi Nasib Guru Honorer 208
(Harri Santoso, T Haflisyah & Hery Mahyuzar)
Sinergisitas dan Transformasi Pendidikan Aceh 212 (Teuku Zulfikar)
Bahasa Aceh di Tengah Euforia Etno-Nasionalisme 219
(Saiful Akmal)
BAGIAN TUJUH : KELUARGA DAN BUDAYA 222
Memahami Konsep Mahar 223
(Azmi Abubakar)
Menyelamatkan Rumah Tangga 226
(Azmi Abubakar)
Membangun Ketahanan Keluarga di Masa Pandemi 229
RANGKEUM 2020: Olah Pikir Aceh Institute di Media
xlv
Relasi Kanda-Dinda dalam Konstruksi Tokoh Muda di Aceh 234(Danil Akbar Taqwaddin)
Menyoal Kembali Jam Kerja Kantor bagi Perempuan 237
(Muhammad Syuib)
(Post) Kolonialisme dan Hak Tanah Orang Adat Indonesia 241
(Chairul Fahmi)
Anak Berkebutuhan Khusus dan Dukungan Keluarga 253
(Harri Santoso dan Cut Almira Meutia)
Cina Semakin Hijau dan Persoalan Sampah Dunia 256
(Ismar Ramadani)
Memaknai Kembali Meugang 259
(Muhajir Al-Fairusy)
Uroe Raya Dalam Catatan Snouck Hurgronje 262
(Muhajir Al-Fairusy)
Biografi Editor 266
Bahasa Aceh di Tengah Euforia Etno-Nasionalisme
219
BAHASA ACEH DI TENGAH
EUFORIA ETNO-NASIONALISME
SAIFUL AKMAL
B
ahasa adalah salah satu tanda pengenal atau KTP sebuah entitas kumpulan manusia atau bangsa. Keberadaan bahasa, baik tutur sekaligus lisan juga menjadi identitas sebuah bang-sa. Bahasa bersifat mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar. Jika kekhawatiran Nia Deliana (Serambi Indonesia, ‘Sumber Otentik Berbahasa Aceh’, 6 Februari 2011) bermula pada proses dekol-onisasi dan kaitannya dengan sejarah sehingga BA hanya akan berada dalam baris komunikasi oral, maka kegelisahan Zulfad-li (Serambi Indonesia, ‘Penguatan Bahasa Aceh’, 5 Juni 2010) yang memulai diskursus ini juga sama, bahwa BA bisa jadi akh-irnya berada dalam daftar komunikasi verbal lebih bermula kepada bagaimana memperkuat sisi struktur dan standarisasiDemikian juga dengan tawaran yang diajukan oleh Denni Iskandar (Serambi Indonesia, ‘Menunda Punahnya Bahasa Aceh’, 12 Juni 2010) yang mengajukan intensitas sikap berbahasa se-bagai salah satu cara menunda punahnya BA. Juga dengan pro-posal Yusradi Usman Al Gayoni (Serambi Indonesia, ‘Memarta-batkan Bahasa Aceh’, 3 Juli 2010) yang ingin memarta‘Memarta-batkan BA melalui strategi ekspansi penggunaan bahasa dari sisi ekolinguis-tik dan juga mendorong kebijakan poliekolinguis-tik. Maka concern penulis kali ini lebih ingin mendorong agar BA menjadi bagian dari apa yang sering disebut oleh Michael Foucault, tokoh kritis Pran-cis (1926-1984) dengan “public discourse” atau wacana pub-lik hingga berujung pada politik bahasa atau kebijakan bahasa.
Bahasa Aceh di Tengah Euforia Etno-Nasionalisme
220
Pascadamai, ada secercah harapan bahwa BA akan mendapatkan ruh baru. Apalagi kemudian kandidat indepen-den yang berafiliasi ke eks-GAM dan Partai Aceh sebagai wu-jud transformasi perjuangan kombatan yang sangat kental nuansa nasionalisme keacehannya mendominasi pemerin-tahan di seluruh Aceh dari tingkat kabupaten/kota sampai gubernur. Namun, ternyata realita malah tidak memihak. BA bahkan tidak menjadi prioritas para politisi, karena memang barangkali menurut mereka bahasa, dalam hal ini BA, tidak mempunyai efek langsung terhadap proses politik. Padahal dasar hukum dalam UUPA sudah mengonfirmasi dengan tegas pentingnya BA (dan juga bahasa-bahasa daerah lain di Aceh) dalam masyarakat Aceh pascakonflik, meskipun bunyinya hanya mencakup sampai pengajaran bahasa sebagai muatan lokal (mulok) di pendidikan sekolah. Padahal BA dulu sem-pat memainkan peranan internal penting bagi perkembangan bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia sendiri (Durie, 1996)
Berdamai bukan berarti melupakan identitas kebaha-saan. Bahasa terkesan kecil, tapi ia sangat penting dalam pros-es interaksi sosial, termasuk politik. Pada kenyataannya, di tengah arus invasi budaya dan globalisasi, membuat BA tidak bergengsi di mata peserta didik. Apalagi pada prakteknya seka-rang, jumlah jam pelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah di Aceh hanya dua jam (atau 2x45 menit) dan sifatnya juga pen-gayaan (remedial), tidak wajib dan tambahan, sehingga urgensi dan keseriusan menjaga BA agaknya diragukan. Berbeda den-gan bahasa lainnya, yaitu Bahasa Indonesia, Inggris, Arab yang kemudian wajib dimasukkan ke dalam daftar mata pelajaran di Ujian Akhir Nasional (UAN) atau Ujian Akhir Semester (UAS). Dan tawaran Yusradi untuk membentuk fakultas, atau jika terlalu berat jurusan dululah, di kampus dan pendidikan tinggi yang membidangi bahasa, sastra dan sejarah BA bisa
men-Bahasa Aceh di Tengah Euforia Etno-Nasionalisme
221
jadi penyeimbang kesenjangan ini. Fakta sosial lain, khususnya di kota besar ada yang menyebutkan bahwa BA adalah bahasa tutur yang kesannya ‘kampungan’ dan tidak diperlukan. Inilah yang disebut orang Pidie sebagai ‘bleh’ alias ‘mbong’. Di daerah lain yang sangat kental BA-nya, pendatang misalnya mahasiswa untuk KKN atau sensus berkunjung ke daerah malah tidak akan memperoleh sambutan atau informasi yang dibutuhkan jika mereka tidak mampu menggunakan BA. Di sisi lain, budaya mas-yarakat kita yang sering menertawakan terhadap pemula yang masih belum dapat mampu berbicara BA dengan fasih, sering mematikan semangat mereka untuk terus belajar. Untuk yang pengguna BA sekalipun kosa kata BA sudah sangat memprihat-inkan. Banyak yang telah digantikan ke dalam bahasa Indonesia.Oleh karena itu, perlu usaha untuk menjadikan BA se-bagai salah satu agenda (yang dianggap) penting oleh para pengambil kebijakan (politik). Sehingga ia bergulir menjadi isu dalam arus utama dan mengemuka menjadi bahan, topik, diskusi dan diskursus masyarakat secara umum. Upaya me-masifkan BA sebagai wacana publik bisa kemudian sejalan dengan apa yang ditawarkan oleh Yusradi, yaitu mendorong, bernegosiasi dengan mereka di “atas’ agar mau dan berkomit-men berkomit-menelurkan kebijakan politik bahasa bagi BA. Karena tetap saja jika pemerintah kita sekarang yang katakanlah nasi-onalisme keacehannya tinggi, tidak mau serius melindungi BA dari tekanan dunia global, maka patut dipertanyakan politik identitas keacehan mereka. Menunggu dari masyarakat ada-lah satu opsi, sebagaimana usul agar lagu, video, siaran ber-bahasa Aceh digalakkan. Namun tanpa kebijakan politik baha-sa penguabaha-sa itu semua tidak akan punya dampak luas, kecuali kalau hanya diniatkan untuk eksistensi belaka. Padahal, baha-sa dan kekuabaha-saan tidak dapat dipibaha-sahkan (Fairclough, 1989), khususnya dalam menentukan satu standar resmi bahasa.
Bahasa Aceh di Tengah Euforia Etno-Nasionalisme
222
Bermimpi menjadikan BA sebagai bahasa internasional mungkin fana. Reaktivasi peran Balai Bahasa Aceh dan Lembaga Bahasa Kampus yang selama ini lebih sibuk ke pengajaran bahasa asing juga penting. Mungkin dulu mereka menganggap bahwa BA sudah dikuasai dengan baik oleh masyarakat atau mungkin karena BA tidak profitable dalam bisnis bahasa. Nasionalisme keacehan hanya akan dirasa semu, jika BA tidak lama lagi hilang dari pere-daran. Pun lagi, tokoh-tokoh yang fokus dalam BA sudah uzur dan sosok yang mengerti dan paham BA juga relatif minim. Hanya pak A. Gani Asyik dan Razali Cut Lani. Selain itu nyaris tidak ada, ke-cuali orang asing seperti Mark Durie, John Bowen atau mungkin Snouck Hurgronje. Ukuran nasionalisme keacehan hanya berku-tat pada euforia politik. Kita pun tidak sadar bahwa koleksi buku-buku Aceh di KITLV Universitas Leiden Belanda (acehbooks.org) sebenarnya adalah pencurian intelektual penjajah atas nama he-gemoni kolonialisme. Plus Cornell University Library yang menjadi Mekkah-nya para sarjana yang ingin belajar tentang Aceh dan BA. Sezalim-zalimnya Soeharto, ia pernah membuat kampanye penelitian bahasa dan sastra nusantara, termasuk di Aceh sejak 1976 sampai tahun 1990-an. Terlepas proyek tersebut sarat mua-tan politis dan merupakan strategi anti-separatisme dan pengua-tan dominasinya, itu cukup menjadi bukti objektif bahwa ia punya kebijakan politik bahasa. Ideologi, politik, dan bahasa sebagaima-na yang dipercayai (Ricento, 2000: 1:9) dan anjuran Rasulullah SAW agar kita belajar bahasa adalah bagian dari nasionalisme keacehan. Euforia nasionalisme keacehan harus dibarengi den-gan semangat menjaga dan menjadikan BA sebagai wacana publik.
Karena harus diakui, sebagai bangsa minoritas, politik bahasa dan menjadikan BA sebagai wacana publik adalah keniscayaan jika ti-dak ingin salah satu unsur eksistensi keacehan akan hilang. Diakhir, se-mangat anak muda Aceh bernama M Nabil Beri dengan blognya www. belajarbahasaaceh.wordpress.com serta akun facebook bernama ‘Cin-tai Bahasa Aceh’ cukup menjadi pelecut bagi kita, dan khususnya ‘awak poe nanggroe’ untuk lebih berpihak ke BA sebagai bahasa nanggroe.