Menurut Mubyarto (1989), lembaga (institution) adalah organisasi atau kaidah-kaidah, baik formal maupun informal, yang mengatur perilaku dan
tindakan anggota masyarakat tertentu, baik dalam kegiatan rutin sehari-hari
maupun dalam usahanya untuk mencapai tujuan tertentu. Lembaga-lembaga
dalam masyarakat ada yang berasal dari adat kebiasaan yang turun-temurun, tetapi
ada pula yang baru diciptakan, baik dari dalam maupun mengadopsi dari luar
masyarakat tersebut.
Kelembagaan dapat diartikan sebagai organisasi atau sebagai aturan main.
Kelembagaan ditinjau dari sudut organisasi merupakan sistem organisasi dan
kontrol terhadap sumber daya. Kelembagaan sebagai organisasi biasanya
menunjuk pada lembaga-lembaga formal. Dari sudut pandang ekonomi, lembaga
dalam artian organisasi biasanya menggambarkan aktivitas ekonomi yang
dikoordinasikan bukan oleh mekanisme pasar tetapi melalui mekanisme
administrasi atau komando. Pasar dapat menjadi batas eksternal dari suatu
organisasi, akan tetap secara internal aktivitas ekonomi dikoordinasikan secara
administratif (Pakpahan, 1990a).
Campbell dan Clevenger (1975) menyatakan bahwa ekonomi
kelembagaan memfokuskan pada transaksi dan sistem transaksi. Kelembagaan
merupakan mekanisme organisasi suatu kelompok masyarakat. Menurut
didefinisikan sebagai aksi kolektif dalam mengontrol aksi individu. Konsep aksi
kolektif ini memiliki arti kontrol terhadap aktivitas individu yang terorganisir.
Kelembagaan sebagai aturan main dapat diartikan sebagai himpunan
aturan mengenai tata hubungan antar orang-orang, dimana ditentukan oleh
hak-hak mereka, perlindungan atas hak-hak-hak-haknya, hak-hak-hak-hak istimewa dan tanggung
jawabnya (Schmid, 1987). Dari sudut pandang individu, kelembagaan merupakan
himpunan kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan
melaksanakan aktivitasnya.
Kelembagaan dicirikan oleh tiga hal, yaitu: hak-hak kepemilikan, baik
berupa hak atas benda materi maupun bukan materi, batas-batas juridiksi dan
aturan representasi (Pakpahan, 1989). Perubahan kelembagaan dicirikan oleh
perubahan satu atau lebih dari unsur-unsur kelembagaan tersebut. Batas juridiksi
menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam kelembagaan suatu masyarakat.
Konsep batas juridiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan dan/atau batas
otoritas yang dimiliki oleh suatu kelembagaan. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kinerja kelembagaan apabila terjadi perubahan batas juridiksi
antara lain: perasaan sebagai satu masyarakat, eksternalitas, homogenitas, dan
skala ekonomi. Perasaan sebagai satu masyarakat menentukan siapa yang
termasuk kita dan siapa yang termasuk mereka. Hal ini erat kaitannya dengan
konsep jarak sosial yang akan menentukan kadar komitmen yang dimiliki oleh
suatu masyarakat terhadap suatu kebijaksanaan (Pakpahan, 1990a).
Satuan analisis dalam mempelajari institusi adalah transaksi yang
setiap transaksi selalu terjadi transfer sesuatu yang dapat berupa manfaat, biaya,
informasi, hak-hak istimewa, kewajiban dan lain-lain. Perhitungan siapa yang
memperoleh apa dan berapa banyak ditentukan oleh batas juridiksi karena batas
inilah yang menentukan apakah sesuatu itu internal atau eksternal bagi
pihak-pihak yang bertransaksi. Perubahan batas juridiksi akan mengubah struktur
eksternalitas yang pada akhirnya mengubah siapa yang menanggung apa.
Tabel 3. Ringkasan Definisi Kelembagaan dari Berbagai Sudut Pandang
Sudut Pandang Definisi Kelembagaan
Organisasi Biasanya menunjuk pada lembaga-lembaga formal. Dari sudut pandang ekonomi, lembaga biasanya menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh mekanisme pasar tetapi melalui mekanisme administrasi atau komando. Pasar dapat menjadi batas eksternal dari suatu organisasi, akan tetapi secara internal aktivitas ekonomi dikoordinasikan secara administratif (Pakpahan, 1990a).
Fungsi Kelembagaan dicirikan oleh tiga hal, yaitu: hak-hak kepemilikan, batas juridiksi, dan aturan representasi. Hak kepemilikan menerangkan hak atas benda materi maupun bukan materi. Batas juridiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam
kelembagaan. Sedangkan aturan representasi mengatur
permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan (Pakpahan, 1989).
Aturan main Himpunan aturan mengenai tatahubungan antarorang - orang, dimana ditentukan oleh hak mereka, perlindungan atas hak-haknya, hak-hak istimewa dan tanggung jawabnya (Schmid, 1987).
Individu Himpunan kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya (Schmid, 1987).
Homogenitas preferensi dan kepekaan politik ekonomi terhadap perbedaan
preferensi merupakan hal yang penting dalam penentuan batas juridiksi. Konsep
ini penting dalam menentukan batas juridiksi untuk merefleksikan permintaan
terhadap barang dan jasa. Apabila barang dan jasa harus dikonsumsi secara
kolektif, maka isu batas juridiksi menjadi penting dalam merefleksikan preferensi
konsumen dalam aturan pengambilan keputusan. Dalam hal ini permasalahannya
menjadi preferensi yang memutuskan. Homogenitas preferensi dan distribusi
individu masyarakat yang memiliki preferensi yang berbeda akan mempengaruhi
jawaban atas pertanyaan siapa yang memutuskan.
Konsep skala ekonomi memegang peranan penting dalam menelaah
permasalahan batas juridiksi. Dalam pengertian ekonomi, skala ekonomi
menunjuk suatu situasi dimana biaya per satuan terus menurun apabila output
ditingkatkan (decreasing return to scale). Batas juridiksi yang sesuai akan menghasilkan biaya per satuan yang lebih rendah dibanding dengan alternatif
batas juridiksi yang lainnya.
Konsep property right muncul dari konsep hak dan kewajiban yang didefinisikan atau diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang
mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal ini kepentingannya
terhadap sumber daya, situasi dan kondisi. Dalam bentuk formal, property right merupakan produk dari sistem hukum formal. Dalam bentuk lain, property right merupakan produk dari tradisi atau adat kebiasaan dalam suatu masyarakat. Oleh
karena itu tidak seorang pun yang dapat menyatakan hak milik tanpa pengesahan
seseorang adalah kewajiban orang lain, dan (2) hak seperti dicerminkan oleh
kepemilikan adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap hak
miliknya. Hak tersebut dapat diperoleh melalui berbagai cara seperti melalui
pembelian, apabila barang dan jasa dimaksud boleh diperjualbelikan, melalui
pemberian atau hadiah dan melalui pengaturan administrasi, seperti halnya
pemerintah memberikan subsidi terhadap sekelompok masyarakat tertentu.
Kepemilikan menguraikan hubungan orang dengan orang terhadap
sesuatu. Hal inilah yang merupakan instrumen masyarakat dalam mengendalikan
hubungan dengan orang tehadap sesuatu dan mengatur siapa memperoleh apa
melalui penggunaan dengan persetujuan bersama. Kepemilikan merupakan bagian
integral dari sistem sosial-ekonomi. Perubahan dalam sistem ekonomi dapat
merubah kepemilikan dan perubahan dalam konsep kepemilikan yang diterima
masyarakat juga dapat merubah kinerja ekonomi. Memiliki hak milik artinya
memiliki kekuasaan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
penggunaan sumber daya dan menciptakan biaya bagi orang lain apabila ia
menginginkan sumber daya yang dimiliki tersebut (Pakpahan, 1991b).
Setiap bentuk aturan representasi harus berhadapan dengan dua jenis
biaya, yaitu biaya pengambilan keputusan sebagai akibat partisipasi dan biaya
eksternal yang ditanggung oleh seseorang atau suatu lembaga sebagai akibat
keputusan orang lain atau lembaga lain. Biaya representasi yang tinggi, baik
dalam artian nilai uang maupun bukan uang, akan menentukan apakah output
akan dihasilkan atau tidak. Jenis output apa yang dihasilkan oleh masyarakat juga
Sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi dan kelembagaan
merupakan faktor-faktor penggerak dalam pembangunan dan merupakan syarat
kecukupan untuk mencapai keragaan pembangunan yang dikehendaki. Apabila
satu atau lebih dari faktor-faktor tersebut tidak tersedia atau tidak sesuai dengan
persyaratan yang diperlukan, maka tujuan untuk mencapai keragaan tertentu yang
dikehendaki tidak akan dapat dicapai (Pakpahan, 1989).
Kontribusi utama kelembagaan dalam proses pembangunan adalah
mengkoordinasikan para pemilik faktor produksi (tenaga kerja, kapital,
manajemen, dan lain-lain) ke dalam proses transformasi faktor produksi menjadi
output. Pada saat yang bersamaan juga mengkoordinasikan distribusi output
kepada para pemilik faktor produksi. Pemilik faktor produksi tersebut dapat
berupa individu, organisasi, pemerintah dan lain-lain bergantung pada satuan
analisis yang digunakan. Kemampuan suatu kelembagaan mengkoordinasikan,
mengendalikan atau mengontrol ketergantungan antar pihak-pihak yang terlibat
sangat ditentukan oleh kemampuan intuisi tersebut mengendalikan sumber
ketergantungan tersebut yang merupakan karakteristik dari komoditi yang
dianalisis, misalnya biaya eksklusi (exclusion cost), joint impact, biaya transaksi (transaction cost), risiko (risk), dan ketidakpastian (uncertainty) (Pakpahan, 1990a).
Veblen dalam Djojohadikusumo (1991) menekankan bahwa perilaku
manusia di bidang ekonomi dipengaruhi oleh iklim keadaan sekitar, pada tahap
tertentu dan di zaman tertentu. Iklim keadaan yang dimaksud mempengaruhi
permasalahan ekonomi. Veblen mengkombinasikan teori pertentangan di antara
ketidakselarasan kepentingan. Pilihan orang-orang ditentukan oleh budaya
lingkungan dan kekuatan kebiasaan setempat.
2.2 Konsep Pemasaran
Menurut Kotler (1997), pemasaran adalah suatu proses sosial dan
manajerial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang
mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan
mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Manajemen pemasaran
adalah proses perencanaan dan pelaksanaan pemikiran, penetapan harga, promosi,
serta penyaluran gagasan, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang
memuaskan tujuan-tujuan individu dan organisasi.
Evans dan Berman (1995) menyatakan bahwa konsep pemasaran adalah
suatu antisipasi, manajemen, dan pemenuhan kebutuhan melalui suatu proses
perubahan pada produk, jasa, organisasi, sumber daya manusia, tempat, dan
gagasan. Di dalamnya terdapat tiga elemen penting untuk kesuksesan suatu
produk atau jasa yang dipasarkan, yaitu pemasaran yang berorientasi kepada
konsumen, pemasaran yang berorientasi pada keuntungan atau bukan mencari
keuntungan, dan memfokuskan kegiatan bisnis secara integrasi. Konsep
pemasaran berpangkal tolak dari pasar yang ditetapkan dengan baik, berfokus
pada kebutuhan pelanggan, mengkoordinasikan semua kegiatan pemasaran yang
mempengaruhi pelanggan dan menghasilkan laba dengan menciptakan kepuasan
pelanggan. Menurut konsep pemasaran, perusahaan memproduksi apa yang
pelanggan dan menghasilkan keuntungan. Konsep pemasaran mengambil
perspektif dari luar dan dalam seperti terlihat dalam gambar berikut ini.
Gambar 2. Konsep Pemasaran Sumber: Kotler dan Amstrong, 1995.
2.3 Pendekatan Analisis Pemasaran
Purcell (1979) mengemukakan bahwa ada empat pendekatan yang dapat
digunakan untuk mempelajari dan menganalisis masalah pemasaran, yaitu:
1. Pendekatan komoditi yang diperdagangkan (the commodity approach) 2. Pendekatan kelembagaan (the institutional approach)
3. Pendekatan fungsional (the functional approach) 4. Pendekatan sistem (the system approach)
Pendekatan komoditi difokuskan pada apa yang dilakukan terhadap suatu
komoditi setelah meninggalkan titik produksi. Pendekatan ini mengikuti
pergerakan komoditi mulai dari produsen sampai ke konsumen, dianalisis dengan
menggambarkan apa yang dilakukan dan bagaimana komoditi dapat ditangani
lebih efisien. Kesederhanaan dari pendekatan ini merupakan keunggulan
utamanya. Fokus pada komoditi menyederhanakan kompleksitas dari situasi dan
memperjelas gambaran yang pasti terhadap apa yang terjadi. Masalah yang
berhubungan dengan kerusakan fisik komoditi, kesalahan penanganan
(mishandling), lemahnya kontrol kualitas, penanganan yang tidak perlu, dan
Pasar Kebutuhan pelanggan Pemasaran Terpadu Laba melalui Kepuasan Pelanggan
tingginya biaya transportasi dapat diamati melalui jaringan pemasaran suatu
komoditi. Meskipun demikian, pendekatan ini juga mempunyai kelemahan.
Perhatian yang difokuskan pada komoditi membatasi perhatian mengenai dimensi
perilaku dari aktivitas-aktivitas dalam sistem pemasaran. Pendekatan ini juga
sedikit atau tidak memberikan perhatian pada konsep koordinasi antar tahap
pemasaran dan pentingnya beberapa koordinasi untuk efisiensi sistem pemasaran
total.
Pada pendekatan kelembagaan, perhatian difokuskan pada penanganan
komoditi dan penyediaan jasa-jasa pemasaran. Kelembagaan merupakan dasar
perilaku pengambilan keputusan dan merupakan pusat perubahan. Tidak akan ada
perubahan dan penyesuaian tanpa aksi dari kelembagaan. Tetapi penekanan pada
institusi saja tidak cukup. Pada analisis akhir akan ada interaksi kelembagaan
sepanjang jaringan pemasaran dari produsen ke konsumen yang menentukan
tingkat koordinasi dan efisiensi sistem total yang dicapai. Untuk mencapai
efisiensi dalam pemasaran perlu memperluas fokus perhatian pada aksi dan
interaksi antar tahap pemasaran tersebut. Melalui pendekatan ini, permasalahan
penelitian dapat dipahami dengan menganalisis kegiatan lembaga-lembaga
perantara, misalnya aktivitas pedagang desa dalam memperoleh modal,
risiko-risiko yang dihadapi, tingkat keuntungan dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi.
Efisiensi pada sejumlah fungsi ekonomi yang dilakukan adalah penting.
Berkaitan dengan bagaimana sistem pemasaran diorganisir, fungsi-fungsi
ekonomi yang berkaitan dengan kegunaan bentuk, waktu dan tempat harus
pendekatan yang lebih luas untuk mempelajari pemasaran. Kohls (1972)
menambahkan bahwa dalam mempelajari pemasaran suatu komoditi dapat
dianalisis berdasarkan fungsi-fungsi pemasarannya, yaitu:
1. Fungsi pertukaran (exchange function), terdiri dari pembelian dan penjualan.
2. Fungsi fisik (physical function), terdiri dari pengangkutan dan penyimpanan.
3. Fungsi fasilitas (facility function), standardisasi dan grading, pembiayaan, penanggungan risiko, dan informasi pasar.
Pendekatan fungsional berkembang karena pendekatan ini menawarkan
satu keunggulan dalam mempelajari dan menganalisis pemasaran, yaitu
memfokuskan pada spesialisasi. Meskipun demikian, perhatian yang difokuskan
pada spesialisasi menjadi kelemahan dari pendekatan ini. Jika pendekatan
digunakan terlalu jauh, spesialisasi dapat memperlakukan fungsi tertentu
seolah-olah fungsi tersebut tidak tergantung satu sama lain dengan fungsi lainnya yang
secara teknis berhubungan.
Suatu pendekatan sistem pemasaran dapat dimulai dari yang sederhana
sampai kompleks. Dimana persepsi dan orientasi merupakan hal yang penting,
pendekatan sistem tidak membutuhkan perhatian yang lebih kompleks dibanding
perhatian terhadap sistem total dan kesadaran akan pentingnya koordinasi antar
tahap untuk efisiensi sistem total.
2.4 Kinerja Kelembagaan Pemasaran
Kelembagaan dipandang penting mengingat kelembagaan inilah yang
mendasari keputusan untuk produksi, investasi dan kegiatan ekonomi lainnya
atau interaksi dengan pihak lain. Perubahan dalam kelembagaan akan merubah
gugus kesempatan yang dihadapi para pelaku ekonomi sehingga keragaan
ekonomi seperti produksi, kesempatan kerja, kemiskinan, kerusakan lingkungan,
distribusi pendapatan, dan lain-lain dapat berubah (Pakpahan, 1991b).
Jiwa analisis kelembagaan adalah ketergantungan antarpihak terhadap
sesuatu, kondisi atau situasi dengan menggunakan transaksi sebagai aktivitas
ekonomi. Kelembagaan pemasaran menguraikan bentuk-bentuk aturan main,
fungsi pihak-pihak yang terlibat dan sistem pemberian penghargaan (merit system). Aturan main disusun berdasarkan bentuk-bentuk ketergantungan antar pihak yang terlibat. Dalam aturan main ini juga akan diuraikan fungsi
masing-masing pihak dalam kelembagaan tersebut. Sedangkan fungsi dari masing-masing-masing-masing
pihak yang terlibat mencerminkan gambaran kerja (tugas dan tanggung jawab)
tiap pihak. Pemberian penghargaan diberikan kepada masing-masing pihak
berdasarkan apa yang telah dilakukannya (jasa) pada kelembagaan pemasaran.
Hal-hal yang terkait dengan kelembagaan pemasaran ini dibentuk berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak yang melakukan transaksi. Sedangkan besarnya
manfaat yang diterima dan biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak
akan tergantung pada kekuatan posisi tawar antara pihak yang satu dengan pihak
yang lain.
Peserta yang terlibat dalam kelembagaan pemasaran ini ditentukan oleh
aturan representasi. Setiap bentuk aturan representasi harus berhadapan dengan
dua jenis biaya, yaitu biaya pengambilan keputusan sebagai akibat partisipasi dan
keputusan orang lain atau lembaga lain. Biaya representasi yang tinggi baik dalam
artian nilai uang atau bukan uang, akan menentukan apakah output akan
dihasilkan atau tidak. Jenis output apa yang dihasilkan oleh masyarakat juga
ditentukan oleh aturan representasi dari kepentingan masyarakat.
Setiap transaksi (transaction relationship) memasukkan tiga komponen ekonomi dasar, yaitu: alokasi nilai atau distribusi pendapatan dari perdagangan,
alokasi ketidakpastian dan hal yang berhubungan dengan resiko keuangan, dan
alokasi property right untuk memutuskan masuk dalam kelembagaan. Ketiga komponen ini saling mempengaruhi satu sama lain. Misalnya pada kontrak
dengan harga tertentu (fixed price contract), menghilangkan risiko ketidakpastian harga nominal tetapi di sisi lain dapat menghasilkan risiko finansial jika harga
pasar relatif berubah. Kontrak ini juga dapat mempengaruhi insentif dari
masing-masing pihak dan cara mereka dalam mengambil keputusan, khususnya berkaitan
dengan kualitas produk (Syukuta dan Cook, 2001).
Salah satu pendekatan yang dikembangkan oleh ekonomi kelembagaan
adalah bahwa kelembagaan memandang perilaku sebagai bagian dari rangkaian
Struktur-Perilaku-Kinerja (Structure-Conduct-Performance). Struktur dianggap akan menentukan pola perilaku dan pola perilaku akan mempengaruhi kinerja
serta pada akhirnya kinerja akan mempengaruhi kondisi struktur kelembagaan
ekonomi yang bersangkutan (Schmid, 1987).
2.5 Analisis Efisiensi Sistem Pemasaran
Pemasaran adalah semua usaha yang mencakup kegiatan arus barang dan
jasa, mulai dari titik produksi sampai ke tangan konsumen akhir. Kegiatan
kepentingan produsen dengan konsumen, baik untuk produksi primer, setengah
jadi maupun produk jadi. Melalui kegiatan tersebut produsen memperoleh
imbalan sesuai dengan volume dan harga produk per unit yang berlaku pada saat
terjadinya transaksi. Hasil pemasaran tersebut diharapkan dapat memberikan
keuntungan yang proporsional bagi petani atau produsen komoditas yang
bersangkutan sesuai dengan biaya, risiko dan pengorbanan yang sudah
dikeluarkan. Di lain pihak, para pelaku pemasaran diharapkan memperoleh
imbalan jasa pemasaran proporsional dengan pelayanan dan risiko yang
ditanggungnya (Dillon, 1998).
Tujuan dari penelitian pasar adalah untuk mengetahui siapa menginginkan
apa, mengapa dia menginginkan produk tersebut, pada harga berapa dia
menawarkan, dalam bentuk apa (standar kualitas) produk tersebut diinginkan,
dimana barang tersebut sebaiknya diperoleh atau dibeli, dan berapa banyak jumlah
barang yang diinginkan. Penelitian pasar juga harus menjawab pertanyaan tentang
bagaimana administrasi dan transportasi (termasuk asuransi) seharusnya atau
dapat diatur. Sebuah perusahaan yang ingin memasarkan produknya seharusnya
juga dapat memberikan informasi dari pihaknya sendiri kepada klien potensialnya.
Dalam pertukaran informasi ini, baik penjual dan pembeli sebenarnya
membutuhkan tipe informasi yang sama. Tetapi dalam pasar terbuka, penjual
tidak akan bersedia menginformasikan biaya produksi dan efisiensi (keuntungan)
yang diperoleh perusahaannya, sedangkan pembeli tidak akan bersedia
menunjukkan harga jual berikutnya dan rahasia dagangnya. Hubungan bisnis yang
menentukan seberapa besar penjual bersedia menurunkan harga penawaran dan
seberapa tinggi pembeli bersedia menaikkan tawarannya. Pemahaman yang baik
antara penjual dan pembeli merupakan satu faktor penentu harga dalam suatu
transaksi (Wassink dan Wiselius, 1980).
Analisis efisiensi sistem pemasaran juga dapat dilihat dari bentuk
kelembagaan pasar yang dipilih. Salah satunya adalah kelembagaan pemasaran
dengan sistem patron-klien. Menurut Scott (1993), hubungan patron-klien adalah
sebuah pertukaran hubungan antara dua peran yang dapat dinyatakan sebagai
kasus khusus ikatan antara dua orang yang terutama melibatkan persahabatan
instrumental, dimana seseorang dengan status sosial-ekonomi yang lebih tinggi
(patron) menggunakan pengaruhnya dan/atau keuntungan-keuntungan untuk
seseorang yang status sosial-ekonominya lebih rendah (klien). Selanjutnya, klien
akan menawarkan dukungan umum dan bantuan, termasuk jasa pribadi kepada
patron. Jaringan patron-klien ini berfungsi untuk menyatukan individu-individu
yang tidak mempunyai hubungan keluarga. Sedangkan barang dan jasa yang
dipertukarkan oleh patron dan klien mencerminkan kebutuhan yang timbul serta
sumber daya masing-masing.
Dalam hubungan ini juga dilihat apakah hubungan ketergantungan yang
terjalin oleh klien dilihat lebih bersifat kolaboratif dan sah atau terutama lebih
bersifat eksploratif. Klien akan membandingkan antara jasa yang diterimanya
dengan yang diberikan kepada patron. Makin besar nilai yang diterima dari patron
dibanding biaya yang harus ia kembalikan, maka makin besar kemungkinannya ia
menguntungkan). Tujuan utama dari suatu transaksi adalah mencari untung
sehingga ada kecenderungan untuk berusaha membeli semurah-murahnya dan
berusaha menjual semahal-mahalnya. Kecenderungan untuk memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya inilah yang membedakan praktek dan cara
berpikir pedagang perantara dan produsen (Mubyarto, 1987 dalam Sukmadinata,
1995).
Sebagaimana halnya kegiatan ekonomi, pemasaran juga mensyaratkan
efisiensi, yaitu pengorbanan yang sekecil mungkin dari berbagai sumber ekonomi
sehingga dapat memberikan kepuasan maksimal terhadap barang dan jasa yang
diminta konsumen (Saefudin, 1983 dalam Tumbel, 1996). Pemasaran yang efisien
dicirikan oleh tercapainya kepuasan bagi semua pihak, yaitu: produsen, lembaga
pemasaran, dan konsumen. Efisiensi dalam pemasaran akan mengurangi
biaya-biaya pemasaran dan memperkecil margin pemasaran. Menurut Kohls (1972),
margin pemasaran adalah perbedaan harga yang diterima produsen dibandingkan
dengan harga yang dibayar konsumen akhir. Efisiensi sistem pemasaran dapat
dilihat dari distribusi margin pemasaran yang merata antar tiap-tiap pelaku
pemasaran.
2.6 Penelitian Terdahulu
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Arief Hariadi (2001) yang berjudul
Kajian metode penjualan Kelapa Sawit di Divisi Penjualan Kelapa Sawit Kantor Pemasaran Bersama (KPB) PT Perkebunan Nusantara Jakarta dengan menitikberatkan pada faktor-faktor yang dipertimbangkan pada penjualan minyak
kemungkinan-kemungkinan alternatif metode penjualan yang lain yang dapat diterapkan di
Kantor Pemasaran Bersama (KPB).
Menurut penelitian ini, hal-hal yang mempengaruhi fluktuasi harga pada
penjualan minyak kelapa sawit terutama mempertimbangkan harga, supply -demand, kondisi politik dan keamanan, serta perubahan teknologi yang berlangsung. Derivatif lain yang juga dipertimbangkan berkaitan dengan kondisi
di atas adalah kurs, substitusi, produksi, kebijaksanaan atau peraturan pemerintah,
dan cadangan minyak kelapa sawit. Dari penelitian selain teridentifikasi
faktor-faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi nilai penjualan CPO, dan untuk
mengantisipasi faktor-faktor tersebut pihak KPB khususnya divisi penjualan
kelapa sawit menggunakan mekanisme penjualan dengan tender, penjualan bebas
dan long term kontrak. Alternatif lain dari metode penjualan yang ada tersebut yaitu bursa berjangka dan e-commerce belum dapat diadakan.
Penelitian lain dilakukan oleh Yarnis Alisyahbana (2001) dengan judul
Analisis Proses Tender Minyak Sawit (CPO) di Kantor Pemasaran Bersama (KPB) PT Perkebunan Nusantara Jakarta yang menitikberatkan pada menganalisis sistem tender CPO yang dilaksanakan oleh KPB Jakarta, keterkaitan
antara fluktuasi harga CPO dalam tender dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, keterkaitan antara volume tender dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, dan memberikan alternatif kebijakan pemasaran CPO di KPB
Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tender CPO domestik dilaksanakan
Pelaksana KPB dan Staf PT Perkebunan Nusantara, peserta tender, serta peninjau
atas izin panitia tender. Bentuk pasar tender di KPB adalah tender atau lelang
Inggris, dimana penawaran oleh peserta tender terhadap produk CPO akan
meningkatkan harga patokan (price idea) sampai tercapainya harga tertinggi. Analisis kualitatif menunjukkan bahwa sebagian besar peserta tender telah merasa
puas terhadap pelaksanaan tender yang ada. Para peserta tender juga
mengharapkan antara lain: pengurusan faktur pajak setelah transaksi mohon
dipercepat; tender diharapkan dapat dilakukan dua kali seminggu; serta informasi
tender mohon lebih dipercepat. Sruktur pasar pada pelaksanaan tender cenderung
mendekati pasar bersaing (kompetitif). Hal ini dicirikan dengan terdapatnya
penjual dan banyak pembeli dengan produk yang standar, adanya informasi antara
penjual dan pembeli, setiap pembeli dan penjual adalah penerima harga dan
produk yang dijual mempunyai kualitas yang seragam.
Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa secara umum pelaksanaan
dan sistem tender di KPB Jakarta sudah dilakukan dengan baik dan transparan,
mulai dari pengumuman produk CPO yang akan ditenderkan sampai dengan
penentuan pemenang tender. Hasil analisis regresi menggunakan minitab for windows dengan menggunakan harga tender sebagai variabel dependen dan variabel harga internasional, harga domestik, kurs mata uang rupiah terhadap
dollar, supply, demand, jumlah peserta, harga tender bulan sebelumnya dan ekspor Indonesia sebagai variabel independen menunjukkan nilai R-square 99,2 % dan nilai R-square (adj) 98,6 %, yang berarti bahwa 98,6 % variasi dalam variabel dependen (Y) dapat dijelaskan oleh variasi dalam variabel independen (X) yang
dimasukkan dalam model pada persamaan regresi harga tender. Variabel
independen harga domestik, demand jumlah peserta tender dan harga trender pada bulan sebelumnya berpengaruh secara signifikan terhadap harga tender.
Hasil analisis regresi dengan menggunakan volume tender sebagai variabel
dependen dan harga tender bulan sebelumnya, jumlah CPO yang ditawarkan,
harga internasional, kurs mata uang rupiah terhadap dollar dan dummy sifat
musiman (seasonality) sebagai variabel independen menunjukkan nilai R-square 67,6 % dan nilai R-square (adj) 58,6 %. Variabel independen jumlah yang ditawarkan berpengaruh secara signifikan terhadap volume tender. Untuk
meningkatkan daya saing KPB Jakarta dalam memasarkan CPO melalui tender,
disarankan agar KPB Jakarta melakukan pendataan kembali processor yang ada di Indonesia, processor yang terdaftar di KPB dan processor yang mengikuti tender; mempercepat informasi mengenai pelaksanaan tender kepada para peserta; serta
meningkatkan kualitas CPO yang ditawarkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Cicilia Nancy (1988) dengan judul Usaha untuk Meningkatkan Daya Saing Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional melalui Efisiensi Pemasaran yang melakukan analisis fleksibilitas transmisi harga terhadap karet alam mendapatkan hasil bahwa sistem pemasaran petani peserta
proyek yang menghasilkan sleb giling (Bokar = Bahan olah karet rakyat) adalah
yang paling efisien dimana nilai fleksibilitas transmisi harga antara petani dan
pedagang lebih besar dari satu. Hal ini berarti bila harga di tingkat pedagang
berubah 1 persen, maka harga di tingkat petani akan berubah lebih dari 1 persen,
pada tingkat pedagang dalam mendapatkan bokar dari petani proyek. Di samping
itu, petani proyek sendiri berada pada posisi tawar menawar yang lebih kuat,
karena telah mempunyai standar KKK dan harga bokar serta hanya menjual
produknya kepada pedagang yang memberikan harga tertinggi.
Penelitian juga dilakukan oleh Fadhilah Wulandari (2008) yang berjudul
Efisiensi Sistem Tataniaga Sayuran untuk Pasar Tradisional dan Pasar Modern melalui Sub Terminal Agribisnis Cigombong Kabupaten Cianjur – Jawa Barat yang menggunakan analisis keterpaduan pasar (IMC = Indeks of Market Connection) mendapatkan hasil pada pasar tradisional untuk sayuran brokoli dimana untuk IMC lebih besar dari satu yaitu sebesar 2,07 sehingga tidak terjadi
keterpaduan pasar jangka panjang antara pasar pengikut dan pasar acuan serta
untuk koefisien b2 sebesar 0,52 yang artinya terjadi keterpaduan pasar jangka
pendek, dikarenakan nilai b2 kurang dari satu.
Selain itu juga untuk sayuran bawang daun didapat nilai perhitungan
IMC sebesar 1,52 dan nilai b2 sebesar 1,11 dimana keduanya lebih besar dari satu
yang artinya antara pasar acuan dan pasar pengikut tidak terjadi keterpaduan pasar
jangka panjang maupun keterpaduan pasar jangka pendek. Sedangkan pada pasar
modern untuk sayuran brokoli didapat IMC sebesar 0,03 yang artinya terjadi
keterpaduan pasar jangka panjang dan koefisien b2 sebesar 1,36 yang artinya tidak
terjadi keterpaduan pasar jangka pendek. Oleh karena itu penelitian ini
menyimpulkan bahwa pola sayuran yang paling efisien adalah pola saluran 1 dari
pasar modern sebab pola saluran yang terbentuk pendek dan terjadi keterpaduan
Penelitian lain yang cukup terkait dilakukan oleh Reni Kustiari (2007)
dalam disertasi yang berjudul Analisis Ekonomi tentang Posisi dan Prospek Kopi Indonesia di Pasar Internasional yang menggunakan analisis kekuatan pasar dengan menggunakan model Pricing To Market (PTM) untuk menguji apakah negara pengekspor menerapkan diskriminasi harga terhadap mitra dagangnya,
model pemimpin harga melalui model triopoli serta analisis integrasi harga
dengan uji kointegrasi untuk melihat keterpaduan dan keterkaitan harga kopi biji
antara pasar domestik dan pasar dunia. Dari hasil analisis model PTM harga FOB
Indonesia menunjukkan bahwa koefisien nilai tukar bertanda negatif dan tidak
berpengaruh nyata secara statistik dimana Indonesia tidak melakukan praktek
diskriminasi harga antar pasar tujuan ekspor, begitu pula dengan Jerman. Berbeda
dengan Amerika Serikat yang diketahui melakukan diskriminasi harga.
Dari model pemimpin harga didapat fleksibilitas harga sebesar 0,4 yang
menunjukkan bahwa peningkatan permintaan Uni Eropa sebesar 1 persen akan
meningkatkan harga kopi dunia sebesar 0,4 persen. Sedangkan untuk keterpaduan
pasar diperoleh bahwa pasar kopi robusta Indonesia terintegrasi dengan pasar
dunia dalam jangka panjang, sementara signal harga ditransmisikan dalam jangka
pendek. Dengan kata lain, harga kopi robusta di tingkat petani Indonesia sangat
dipengaruhi oleh tingkat harga di pasar Internasional.
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa Brasilia sebagai
pengekspor utama kopi dapat melakukan kekuatan jual di pasar kopi dunia.
Demikian pula, Uni Eropa yang merupakan pengimpor utama berkemampuan
2.7 Kerangka Pemikiran
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian Analisis Ekonomi Kelembagaan Pemasaran CPO Produksi PT Perkebunan Nusantara (PTPN), Kasus Kantor
Pemasaran Bersama (KPB) PTPN Jakarta Produksi CPO PTPN
Pemasaran CPO PTPN
Kantor Pemasaran Bersama (KPB) PTPN Jakarta
Metode Analisis Deskriptif
Analisis Kuantitatif
1. Analisis Fleksibilitas Transmisi Harga
2. Analisis Keterpaduan Pasar (Indeks of Market Connection) Analisis Kualitatif
1. Analisis Lembaga dan Saluran Tataniaga Pemasaran
2. Analisis Fungsi – Fungsi Tataniaga
3. Analisis Struktur Pasar 4. Analisis Perilaku Pemasaran
Efisiensi Tataniaga Pemasaran CPO Melalui Kantor Pemasaran Bersama