• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN CULTURE 3.0 DI PERPUSTAKAAN KOTA YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN CULTURE 3.0 DI PERPUSTAKAAN KOTA YOGYAKARTA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN CULTURE 3.0 DI PERPUSTAKAAN KOTA

YOGYAKARTA

Annisa Rohmawati, SIP 1, Maria Ayu Puspita, S.Hum 2

Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Yogyakarta 1, Universitas Negeri Semarang 2 annisarohmawati@gmail.com1, mariaayupuspita@gmail.com2

ABSTRAK

Culture 3.0 masih jarang diperbincangkan. Apalagi dikaitkan dengan perpustakaan. Perkembangan culture 3.0 tidak lepas dari perkembangan teknologi informasi yang merubah kebiasaan masyarakat. Perpustakaan sebagai sarana interaksi masyarakat sangat dekat dengan culture 3.0. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan culture 3.0 yang dikembangkan di Perpustakaan Kota Yogyakarta. Penelitian ini merupakan social action dengan menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara, observasi partisipasi, dan dokumentasi. Analisis data menggunakan reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini Perpustakaan Kota Yogyakarta telah mengembangkan culture 3.0 dengan menyediakan performative space dan diskusi komunitas. Dengan menyediakan performative space menjadi salah satu strategi perpustakaan. Penyediaan performative space di perpustakaan menawarkan banyak perspektif. Salah satunya adalah lebih kolaboratif dan tidak konvensional, memberikan dampak ekonomi dengan visi pertumbuhan melalui dukungan kreativitas dan inovasi.

Kata Kunci: Culture 3.0, Public Library, Makerspace, User Interaction, Perpustakaan Kota Yogyakarta

ABSTRACT

Culture 3.0 still rarely discussed. Moreover, it is associated with the library. Development of culture 3.0 is not separated from the development of information technology are changing the habits of the society. The library as a means of community interaction is very close to culture 3.0. This study aims to describe the culture 3.0 Library developed in the city of Yogyakarta. This research is a social action by using qualitative methods. Data collection method using interviews, observation, participation and documentation. Data analysis using data reduction, data and cereal drawdown conclusion. The results of the research library of the city of Yogyakarta have developed culture 3.0 by providing a performative space and community discussion. By providing a performative space became one of the strategies the library. Provision of performative space in the library offer plenty of perspective. One of them is more collaborative and unconventional, provide economic impact with the vision of growth through support of creativity and innovation.

Keywords: Culture 3.0, Public Library, Makerspace, User Interaction, Perpustakaan Kota Yogyakarta

(2)

PENDAHULUAN

Perpustakaan umum daerah (provinsi) berdasarkan UU Nomor 43 Tahun 2007 adalah perpustakaan yang diperuntukan bagi masyarakat luas sebagai sarana pembelajaran sepanjang hayat tanpa membedakan umur, jenis kelamin, suku, ras agama, Pendidikan dan status sosial-ekonomi. Menurut Sulistyo-Basuki (1993) perpustakaan umum adalah perpustakaan yang diselenggarakan oleh dana umum dengan tujuan melayani umum. Maka, perpustakaan umum memiliki heterogenitas yang tinggi, memiliki keragaman koleksi dan pemustaka, serta tidak membedakan status sosial-ekonomi dalam memberikan layanan informasi.

Berdasarkan pengertian diatas, budaya yang dimiliki perpustakaan umum tidak lepas dari kedudukan dari perpustakaan umum. Perpustakaan umum pada instansi pemerintah menjadi bagian dari instansi pemerintah. Seperti Perpustakan Kota Yogyakarta menjadi bagian dari pemerintah Kota Yogyakarta, selain sebagai sarana pembelajaran sepanjang hayat, Perpustakaan Kota Yogyakarta memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai bagian dari pemerintah Kota Yogyakarta.

Perkembangan budaya pada Perpustakaan Kota Yogyakarta selaras dengan tugas pokok dan fungsi perpustakaan kota, yaitu sebagai bagian penunjang pemerintah kota dalam mencerdaskan masyarakat dan sarana pembelajaran sepanjang hayat. Perkembangan budaya dipengaruhi pula oleh perkembangan teknologi. Budaya yang telah dipengaruhi oleh teknologi dan memiliki dampak lebih besar disebut juga sebagai culture 3.0. culture 3.0 berkembang di kota-kota besar yang budaya masyarakatnya sudah bergantung pada teknologi. Hal ini menjadi perhatian peneliti untuk mengkaji perkembangan budaya dan hubungan dengan kebijakan institusi di Perpustakaan Kota Yogyakarta. Maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana

(3)

perkembangan culture 3.0 di Perpustakaan Kota Yogyakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis dan mengkaji perkembangan culture 3.0 di Perpustakaan Kota Yogyakarta.

Culture 3.0 diperkenalkan oleh Pier Luigi Sacco dalam the European Expert Network on Culture (EENC) pada tahun 2011. Tahun 2015, Henrik Jochumsen, Dorte Skot-Hansen dan Casper Hvenegaard Rasmussen mengadopsi konsep culture 3.0 pada penelitian mereka pada perpustakaan umum di Amerika, dengan judul “Towards Culture 3.0 - performative space in the public library”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengkaji perkembangan performative space di perpustakaan umum berdasarkan perspektif budaya. Ada tiga konsep budaya, culture 1.0, 2.0 dan 3.0. tiga konsep ini digunakan sebagai media untuk menganalisis perkembangan perpustakaan umum. Performative space menjadi penghubung antara perpustakaan dan pemustaka, terutama pemustaka digital native. Performative space menjadi area untuk melakukan analisis, berdiskusi, berkreasi yang membawa dampak ekonomi. Kesimpulan dari artikel ini adalah performative space memilikisesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini dan selaras dengan kebijakan budaya pada institusi yang menaunginya.

Sacco (2011) mengembangkan tiga konsep budaya, yaitu culture 1.0, culture 2.0 dan culture 3.0. Culture 1.0 berorientasi pada konsep patronage. Culture 2.0 adalah hubungan antara masyarakat dengan produktivitas yang menghasilkan nilai ekonomi. Sedangkan culture 3.0 merupakan revolusi dari generasi produktif dengan penggunanya.

METODE

Penelitian kualitatif dengan pendekatan social action dimaksudkan untuk menggali dan menganalisis perkembangan culture 3.0 di perpustakaan. Fokus penelitian ada pada perkembangan culture 3.0 di Perpustakaan Kota Yogyakarta. Pengumpulan data melalui

(4)

pengamatan, pengamat harus mengamati kembali masalah dan tujuan penelitian dan mengembangkan sendiri kebutuhan dilapangan (Bunging, 2011), wawancara, dan dokumentasi. Data dianalisis dengan tiga tahap model air meliputi reduksi data, penyajian data, dan tahap pengembangan atau interaksi model Miles dan Huberman (1992). Pengabsahan data dilakukan dengan teknik perpanjangan pengamatan, meningkatkan ketekunan, mengadakan member check, dan trianggulasi (Moleong, 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jochumsen, Skot-Hansen, & Hvenegaard Rasmussen, (2015) menerapkan konsep culture 1.0, 2.0 dan 3.0 pada perpustakaan. Tahap culture 1.0 pada perpustakaan sebagai salah satu organisasi yang wajib hadir dalam suatu instansi. Fungsi dan keberadaannya hanya sebagai penunjang tugas pokok dan fungsi dari instansi tersebut.

Bergerak pada tahap culture 2.0 perpustakaan menyadari tugas pokok dan fungsi dari suatu instansi, perpustakaan sudah lebih memperhatikan keinginan pemustaka. Mendalami kebutuhan informasi pemustaka yang kemudian mengadopsi layanan yang diminati pemustaka, yaitu dengan mengubah tampilan ruang baca yang lebih nyaman, semakin meningkatkan akses internet dengan tempat yang nyaman, kebijakan membawa makanan dan minuman ketika mengakses wifi di perpustakaan. hal-hal seperti ini tanpa disadari merubah perpustakaan mengikuti budaya yang berkembang dimasyarakat.

Berjalan pada culture 3.0 perpustakaan tidak lagi hanya menyediakan layanan yang diminati, perpustakaan melihat kebutuhan pemustaka lebih dalam dengan menyediakan

performative space bagi pemustaka, tidak hanya memberikan performative space

perpustakaan juga menjadi media pertemuam komunitas-komunitas kreatif yang ingin berdiskusi, berkreasi dan menginspirasi.

(5)

Sama seperti tahapan culture 1.0 dan 2.0, Perpustakaan Kota Yogyakarta juga mengembangkan layanan-layanan perpustakaan untuk kenyamanan pemustaka. Perpustakaan Kota Yogyakarta adalah salah satu perpustakaan umum yang berusaha memfasilitasi masyarakat dengan sarana prasarana yang ada. Layanan yang di berikan di perpustakaan kota yogyakarta bertujuan agar masyarakat yang berkunjung merasa nyaman dan segala kebutuhan informasi dapat terpenuhi. Selain itu, sebagian dari fasilitas yang ada berdasarkan pengamatan terhadap pemustaka. Evaluasi dari pemustaka dapat membantu mengatahui hal-hal yang kurang dalam pengembangan perpustakaan. hasil evaluasi ini yang membawa Perpustakaan Kota Yogyakarta mengembangkan culture 3.0 di perpustakaan tersebut.

Dari hasil evaluasi dari pemustaka, perpustakaan memfasilitasi pemustaka yang ingin melakukan kegiatan diskusi bersama, misalnya saja ruang untuk berdiskusi bersama. Dengan melengkapi sarana yang dibutuhkan pemustaka dapat merasa nyaman dapat menciptakan sebuah ide atau gagasan baru. Evaluasi ini membantu pustakawan untuk mengetahui kekurangan dan kelemahan yang ada di perpustakaan. Pustakawan juga perlu bertanya kepada pemustaka atau pengunjung perpustakaan karena selain pegawai, pengunjung juga menikmati ke perpustakaan setiap harinya. Kritik dan saran dari pemustaka dapat membantu pustakawan mengetahui kebutuhan yang diinginkan.

Jochumsen, Hvenegaard, & Skot-Hansen, (2012) dalam peningkatan layanan perpustakaan, perpustakaan memiliki 4 golongan yang dapat mewujudkan tujuan perpustakaan, yaitu pengalaman (experience), keterlibatan (involvement), pemberdayaan (empowerment), dan inovasi (inovation).

(6)

Gambar 1. The four-space model

Proses pemenuhan kebutuhan setiap pemustaka tentunya tidak dapat serta merta dikabulkan. Beberapa diantaranya melalui tahap perencanaan dan evaluasi. Pengalaman (experince) pemustaka dalam memanfaatkan layanan membantu perpustakaan dalam mengevaluasi layanan tersebut. Perpustakaan Kota Yogyakarta melibatkan pemustaka (involvement) dalam mengevaluasi layanan perpustakaan, dengan menyediakan formulir kritik saran yang termasuk dalam Layanan Siska (Sistem Interaktif Pemustaka dan Perpustakaan), dimana pemustaka dapat menuliskan kritik dan saran atau usulan buku yang diinginkan. Dengan cara tersebut pemustaka dapat mengusulkan (inovation) hal apa saja yang dirasa kurang di perpustakaan, baik dari sarana prasarana maupun tata letak perabot. Salah satu kritik dan saran yang penulis dapatkan dari narasumber adalah pemustaka membutuhkan ruang diskusi interaktif guna menunjang kenyamanan dan berbagi pengetahuan, maka pemustaka menuliskan kritik dan saran pada Layanan Siska. Usulan dari pemustaka akan

(7)

dipertimbangkan, di evaluasi dan direalisasikan. Segala sesuatu keputusan harus bersifat adil dan tidak memihak pada salah satu orang saja. Hasil evaluasi yang telah direalisasikan dimanfaatkan kembali guna memenuhi kebutuhan informasi dan kenyamanan pemustaka. Hasil dari evaluasi Layanan Siska adalah adanya Layanan Raisa (Ruang Diskusi Istimewa). Layanan Raisa ini untuk mengakomodasi pemustaka yang ingin belajar bersama atau diskusi kelompok kecil tanpa mengganggu pemustaka yang lain (empowerment).

Dari empat model ini menghasilkan empat visi ruang (spaces) yaitu inspiration space, learning space, meeting space dan performative space. Performative space yang telah di terapkan di Perpustakaan Kota Yogyakarta merupakan representasi culture 3.0. Performative space atau yang juga bisa disebut sebagai makerspaces adalah tempat dimana pemustaka yang terdiri dari individu atau komunitas berbagi pengetahuan, berinovasi dan berkreasi dengan kreativitas yang dimiliki. Hasil dari berbagi pengetahuan ini menjadi suatu aktivitas yang menghasilkan produk. Bukan hanya meningkatkan eksistensi dari individu atau komunitas tersebut, tetapi secara nyata dapat memberikan kontribusi positif terhadap Kota Yogyakarta.

KESIMPULAN DAN SARAN

Perkembangan culture 1.0 sampai 3.0 di perpustakaan umum merupakan wujud nyata dampak perkembangan teknologi sampai di perpustakaan. Teknologi telah merubah masyarakat, begitu juga dengan perpustakaan. Perpustakaan tidak boleh tertinggal dalam perkembangan teknologi dan masyakarat. Perpustakaan tidak lagi hanya collection orientated tapi sudah bergeser ke makerspace. Perpustakaan umum tidak hanya menyediakan koleksi yang dapat memenuhi kebutuhan informasi pemustaka. Perkembangan teknologi memberikan dampak yang besar bagaimana perpustakaan

(8)

umum selanjutnya memberikan layanan kepada pemustaka. Perpustakaan umum tidak hanya memberikan layanan informasi dari buku saja, saat ini dengan memberikan performative space untuk berekspresi sangatlah penting. Perubahan ini telah mengubah perpustakaan yang culture 1.0 menjadi 3.0.

Dengan demikian, menyediakan performative space menjadi salah satu strategi perpustakaan. Penyediaan ruang publik di perpustakaan menawarkan banyak perspektif. Salah satunya adalah lebih kolaboratif dan tidak konvensional, memberikan dampak ekonomi dengan visi pertumbuhan melalui dukungan kreativitas dan inovasi.(Jochumsen, Skot-Hansen, & Hvenegaard Rasmussen, 2015) Perpustakaan umum pemerintah tidak lagi hanya sebagai pelengkap dalam suatu instansi, tetapi telah berubah memberikan pemberdayaan kepada masyarakat dengan menciptakan ruang publik yang menunjang pembelajaran, inovasi dan kreativitas.

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Bunging, B. (2011). Konstruksi social media massa. Jakarta: Kencana Media

Jochumsen, H., Hvenegaard, C., & Skot-Hansen, D. (2012). The four spaces - a new model for the public library. New Library World, 113(11/12), 586–597.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1108/03074801211282948

Jochumsen, H., Skot-Hansen, D., & Hvenegaard Rasmussen, C. (2015). Towards Culture 3.0 – performative space in the public library. International Journal of Cultural Policy,

23(4), 512–524. https://doi.org/10.1080/10286632.2015.1043291

Miles, M. B. dan A. Michael H. (1992). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI-Press.

Moleong, L.J. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Ramadja Karya.

Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.: Jakarta

Sacco, P. L. (2014). Culture 3.0: A new perspective for the EU 2014-2020 structural funds programming. EENC Paper, (April 2011).

Gambar

Gambar 1. The four-space model

Referensi

Dokumen terkait

Melengkapi pos- pos yang masih kurang contohnya laba atau rugi dari investasi yang menggunakan metode ekuitas dalam laporan laba rugi, pos-pos laporan arus kas seperti yang

“ PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA (LKS) BERBASIS PROBLEM SOLVING PADA MATERI PERUBAHAN LINGKUNGAN ”... Rumusan

Oleh karena itu diperlukan sebuah perencanaan ataupun tahapan yang berkaitan dengan manajemen terhadap perubahan seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.13 agar

Dari hasil uji proksimat terhadap sampel ulir ubi jalar dengan uji laboratorium terhadap kadar protein, lemak dan karbohidrat produk yang dihasilkan terjadi

 Uji toksisitas akut dengan menggunakan hewan percobaan dip erlukan untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian suatu zat dalam dosis tunggal

Maksud dari yang dikatakan di atas ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh salah seorang anggota kelompok SPP yang menerima pinjaman dalam hasil wawancaranya sebagai berikut : Untuk

yang terbaik untuk nasabah. Berupaya memperhitungkan hasil yang terbaik untuk nasabah maupun bank. Untuk menunjang suksesnya pemberian layanan, Bank X selalu mengupayakan

Tingginya jumlah pengakses portal berita Republika Online dan Kompas.com di Indonesia, kontroversi peristiwa razia warung makan oleh Satpol PP Kota Serang, serta perbedaan