• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis 2.1.1. Definisi

Menurut Dorland (2002), tuberkulosis adalah setiap penyakit menular pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh Mycobacterium sp. dan ditandai dengan pembentukan tuberkel dan nekrosis kaseosa pada jaringan-jaringan.

Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TB pada paru kadang-kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (Amin, 2006).

Terdapat beberapa istilah yang perlu diketahui dalam memahami penyakit tuberkulosis. Infeksi Mycobacterium tuberculosis yang masih dapat ditahan oleh sistem imun tubuh sehingga tidak menimbulkan manifestasi klinis disebut infeksi tuberkulosis laten, sementara jika sudah menimbulkan manifestasi klinis dengan konfirmasi isolasi organisme Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan disebut tuberkulosis aktif (Weinberger, 2008).

Tuberkulosis primer merupakan hasil dari kontak pertama dengan basil tuberkulosis sementara tuberkulosis postprimer merupakan hasil dari infeksi laten yang mengalami reaktivasi (Weinberger, 2008).

2.1.2. Epidemiologi

Selama beberapa abad tuberkulosis merupakan salah satu penyakit terparah pada manusia. Dari semua penyakit infeksi, tuberkulosis masih merupakan penyebab kematian tersering. WHO memprediksikan insidensi penyakit tuberkulosis ini akan terus meningkat, dimana akan terdapat 12 juta kasus baru dan 3 juta kematian akibat penyakit tuberkulosis setiap tahun. Sepertiga dari peningkatan jumlah kasus baru ditemukan oleh epidemi HIV,

(2)

dimana tuberkulosis menyebabkan kematian pada satu orang dari tujuh orang yang menderita AIDS (Ioachim, 2009).

Laporan WHO tahun 2010 menyebutkan bahwa pada tahun 2008, dari 9.369.038 kasus TB di seluruh dunia, penderita TB paling banyak terdapat pada Asia Tenggara yaitu 34%, 30% dari Afrika, 21% dari Pasifik Barat, 7% Timur Tengah, 5% dari Eropa, dan 3% dari Amerika. Asia Tenggara membawa lebih dari beban TB global dengan 3,2 juta pasien TB baru per tahun (WHO, 2010).

Indonesia sendiri pada tahun 2009 menempati peringkat kelima negara dengan insidensi TB tertinggi di dunia sebanyak 0,35-0,52 juta setelah India (1,6-2,4 juta), China (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,40-0,59 juta), dan Nigeria (0,37-0,55 juta) (WHO, 2010). Dimana pada tahun 2006 yang lalu menurut WHO Indonesia sempat menempati peringkat ketiga di dunia setelah India dan China dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 (Depkes, 2007).

Di Provinsi Sumatera Utara, jumlah cakupan penemuan semua kasus TB Paru meningkat dari 17.133 kasus pada tahun 2008 menjadi 19.673 kasus pada tahun 2010, dengan jumlah penderita TB Paru BTA positif sebesar 16.078 kasus dan sisanya didapatkan dengan pemeriksaan diagnostik lainnya. (Depkes RI, 2011).

2.1.3. Etiologi

Tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Mycobacteria termasuk dalam famili Mycobactericeae dan termasuk dalam ordo Actinomyceales. Dari keseluruhan kompleks Mycobacterium, yang merupakan agen penyebab penyakit yang tersering dan terpenting adalah Mycobacterium tuberculosis. Mikroorganisme lain dalam kompleks Mycobacterium adalah : 1. M. tuberculosae, 2. M. bovis, 3. M. caprae, 4. M. africanum, 5. M. microti, 6. M. pinnipedii, 7. M. canettii. Pembagian tersebut berdasarkan epidemiologi (Raviglione, 2010).

Basil TB adalah bakteri aerobik obligat berbentuk batang tipis lurus berukuran sekitar 0,4 x 3 µm dan tidak berspora. Pada media buatan berbentuk

(3)

Mycobacteria termasuk M. tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan Gram dan hanya dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus serta sangat kuat mengikat zat warna tersebut sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun menggunakan asam alkohol, sehingga dijuluki bakteri tahan asam (Raviglione, 2010; Jawetz, 2004). M. tuberculosis mudah mengikat pewarna Ziehl-Neelsen atau karbol fuksin (Kumar, 2004)

Dinding bakteri Mycobacterium kaya akan lipid yang terdiri dari asam mikolat, lilin, dan fosfat. Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan asam mikolat dapat menyebabkan pembentukan granuloma. Lipid inilah yang bertanggung jawab pada sifat tahan asam bakteri Mycobacterium. Penghilangan lipid dengan menggunakan asam yang panas menghancurkan sifat tahan asam bakteri ini (Brooks, 2005).

Bakteri ini mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen karbon sederhana. Penambahan CO2 meningkatkan pertumbuhan. Aktivitas biokimia tidak khas dan laju pertumbuhannya lebih lambat daripada kebanyakan bakteri. Waktu replikasi basil tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih cepat, berproliferasi dengan baik pada temperatur 22-23 °C, dan tidak terlalu bersifat tahan asam bila dibandingkan dengan bentuk patogennya (Brooks, 2005).

Manusia adalah satu-satunya reservoir bagi M.tuberculosis. Bakteri ini menyebar melalui udara tepatnya melalui droplet dari manusia yang terinfeksi. Droplet ini berukuran 1-5 µm , saat satu kali batuk dapat menghasilkan 3000 droplet, dan hanya 10 basil yang diperlukan untuk menginisiasi infeksi (Herchline, 2011).

2.1.4. Cara Penularan

Tuberkulosis biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri M. tuberculosis yang dilepaskan pada saat penderita TB batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TB dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan

(4)

dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TB dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti : paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain. Meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru (Siswanto, 2007).

Saat M. tuberculosis berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TB ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TB akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto roentgen (Siswanto, 2007).

Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TB (Siswanto, 2007).

Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi TB. Disamping itu daya tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TB (Siswanto, 2007).

(5)

2.1.5. Faktor Risiko

Faktor-faktor yang erat hubungannya dengan terjadinya infeksi basil TB adalah:

 Harus ada sumber penularan

Kasus terbuka dengan dahak yang menunjukkan adanya basil TB atau binatang yang menderita TB (jarang).

 Usia

TB pada anak paling sering terjadi pada usia 0-4 tahun. Sumber penularan TB pada anak biasanya orang dewasa dengan BTA positif (Dudeng, 2005). Sedangkan pada orang dewasa TB paling sering terjadi pada usia 25-35 tahun. Hal ini karena pada usia tersebut individu menjadi lebih independen, banyak aktivitas di luar rumah dan lebih bergaul dalam masyarakat.

 Jumlah basil yang mempunyai kemampuan menginfeksi cukup banyak dan terus-menerus.

 Virulensi (keganasan) basil.  Daya tahan tubuh

Imunitas tubuh yang menurun memudahkan basil TB berkembang biak. Keadaan ini sangat berhubungan erat dengan faktor genetika, faktor faal, jenis kelamin, usia, faktor lingkungan seperti nutrisi, perumahan, dan pekerjaan.

 Jenis kelamin

Pada abad pertengahan, kasus TB lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki pada kelompok usia muda tetapi pada kelompok usia yang lebih tua laki-laki menunjukkan kasus TB paru yang lebih tingi dibandingkan dengan perempuan. Ini karena laki-laki banyak yang merokok dimana faktor ini merupakan resiko untuk infeksi TB paru. Hasil penelitian di UK menunjukkan kasus TB pada laki-laki pada usia yang lebih tua adalah 3 kali lipat berbanding pada perempuan (Davis, 2005).

(6)

Gambar 2.1. Faktor risiko TB

(Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, 2007)

2.1.6. Patogenesis

Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer sering terjadi pada anak-anak sehingga sering disebut child-type tuberculosis, sedangkan TB post-primer (sekunder) disebut juga adult-type tuberculosis karena sering terjadi pada orang dewasa, walaupun faktanya TB primer dapat juga terjadi pada orang dewasa (Raviglione, 2010).

Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium.

(7)

Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan (Amin, 2006).

TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil tuberkulosis (Raviglione, 2010). Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus, dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, 3-4 minggu setelah infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional disebut dengan kompleks Ghon. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa teraktivasi kembali menimbulkan penyakit (Datta, 2004).

Apabila terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki imunitas seluler, maka ini disebut dengan TB post-primer (sekunder). TB post-primer terjadi karena penurunan imunitas seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, DM, AIDS, dan gagal ginjal. Sama seperti pada TB primer, basil TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ (Datta, 2004). Kelenjar limfe hilus,

(8)

mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru (Mohapatra, 2009).

Menurut Datta (2004) basil TB juga dapat langsung menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Kemudian basil TB akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di leher.

2.1.7. Klasifikasi

Menurut Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2007), tuberkulosis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi atau organ tubuh yang terkena (paru-paru atau ekstra paru), berdasarkan hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis (BTA positif atau BTA negatif), berdasarkan tingkat keparahan penyakit, dan riwayat pengobatan sebelumnya.

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena : 1. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan parenkim paru, tidak termasuk TB pada selaput paru (pleura) atau TB pada kelenjar hilus.

2. Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, persendian, limfa, kulit, tulang, ginjal, usus, dan lain-lain.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis, yaitu pada TB paru:

1. Tuberkulosis paru BTA positif, penegakkan diagnosisnya berdasarkan hasil :

a. Setidaknya 2 dari 3 spesimen dahak SPS (sewaktu-pagi-sewaktu) hasilnya BTA positif.

(9)

b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan pemeriksaan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (obat-anti-tuberkulosis).

2. Tuberkulosis paru BTA negatif, yaitu kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriterianya adalah sebagai berikut :

a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis. c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit:

1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses far advanced), dan atau keadaan umum pasien buruk. 2. TB ekstraparu dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,

yaitu :

a. TB ekstraparu ringan, misalnya TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

b. TB ekstraparu berat, misalnya meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

(10)

1. Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstraparu, maka untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.

2. Bila seorang pasien dengan TB ekstraparu pada beberapa organ, maka dicatat sebagai TB ekstraparu pada organ yang penyakitnya paling berat.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya :

1. Kasus baru yaitu pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus kambuh (relaps) yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi didiagnosis kembali dengan BTA positif (kultur atau apusan).

3. Kasus setelah putus berobat (default ) yaitu pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

4. Kasus setelah gagal (failure) yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5. Kasus pindahan (transfer in) yaitu pasien yang dipindahkan dari Unit Pelayanan Kesehatan yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

6. Kasus lain yaitu semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2006).

2.1.8. Penatalaksanaan

Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Mycobacterium merupakan

(11)

kuman tahan asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat dan cepat sekali timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat.

Pengobatan TB dilakukan selama 6 bulan. Tetapi, dalam keadaan tertentu, misalnya pada pasien diabetes melitus, pengobatan tersebut dilakukan lebih dari 6 bulan. Obat anti tuberkulosis yang digunakan adalah sebagai berikut:

Tabel 2.3. Pengobatan TB (PDPI, 2006) Kategori Kasus Paduan obat yang

diajurkan Keterangan I TB paru BTA +, BTA - , lesi luas 2 RHZE / 4 RH atau 2 RHZE / 6 HE *2RHZE / 4R3H3 II - Kambuh - Gagal pengobatan

-RHZES / 1RHZE / sesuai hasil uji resistensi atau 2RHZES / 1RHZE / 5 RHE -3-6 kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin / 15-18 ofloksasin, etionamid, sikloserin atau 2RHZES / 1RHZE / 5RHE Bila alergi terhadap streptomisin, dapat diganti dengan kanamisin II - TB paru putus berobat

Sesuai lama pengobatan sebelumnya, lama berhenti minum obat dan keadaan klinis, bakteriologi dan radiologi saat ini (lihat uraiannya) atau

*2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3

(12)

negatif lesi minimal

6 RHE atau *2RHZE /4 R3H3

IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif) + obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan)

IV - MDR TB Sesuai uji resistensi + OAT lini 2 atau H seumur hidup

2.1.9. Komplikasi

Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.

a. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus, Poncet’s arthropathy.

b. Komplikasi lanjut : obstruksi jalan nafas (Sindroma Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat (fibrosis paru), kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindom gagal napas dewasa (Amin, 2006).

2.2. Tuberkulosis Paru 2.2.1. Definisi

Menurut Dorland (2002) tuberkulosis paru adalah infeksi paru oleh Mycobacterium tuberculosis.

Tuberkulosis paru (TB) merupakan suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat lama dikenal manusia. Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan hipersensitivitas yang diperantarai oleh sel (ceIl-mediated hypersensitivity). Penyakit ini biasanya

(13)

yang efektif untuk penyakit yang aktif, maka dapat terjadi perjalanan penyakit yang kronik, dan berakhir dengan kematian (Raviglione, 2008).

2.2.2. Manifestasi Klinis

Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam- macam atau banyak juga pederita TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan.

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, napsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut dapat juga dijumpai pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasi, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) dengan gejala tersebut, dianggap sebagai tersangka (suspek) pasien TB paru dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskospis langsung (Depkes, 2008).

Tanda dan gejala untuk tuberkulosis paru adalah batuk > 2 minggu, peningkatan produksi sputum dan batuk, dan terdapat gejala penurunan berat badan, anoreksia, fatigue, demam, dan keringat malam. Tanda yang spesifik pada tuberkulosis paru adalah hemoptisis atau adanya darah pada sputum (Varaine, et al, 2010)

2.2.3. Diagnosis

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA positif). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan, dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks

(14)

saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit (Depkes, 2007).

2.2.3.1. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit, umumnya tidak (atau sulit sekali) ditemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum (PDPI, 2006).

2.2.3.2. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis

Pemeriksaan dahak digunakan untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa SPS:

- S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

- P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

- S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Menurut PPDI (2002), bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses, dan

(15)

pengirimannya yaitu bahan pemeriksaan/spesimen dikumpulkan dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapatditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:

1. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya.

2. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas saring sebanyak lebih kurang 1 ml.

3. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak.

4. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di dalam dus.

5. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil.

6. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi.

7. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak, dan dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) yang merupakan rekomendasi WHO :

(16)

1. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.

2. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan.

3. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut + (1+). 4. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+). 5. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst (BR) : 1. BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan. 2. BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang. 3. BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang. 4. BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang. 5. BRV : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.

2.2.3.3. Pemeriksaan Kultur

Peran biakan dan identifikasi M. tuberculosis pada penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi :

1. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis. 2. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.

3. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.

2.2.3.4. Uji Resistensi

Pemeriksaan ini hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standard internasional, dan telah mendapatkan pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut memberikan simpulan yang benar sehingga kemungkinan kesalahan dalam pengobatan MDR (multiple drug resistance) dapat dicegah.

(17)

2.2.3.5. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah :

- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah

- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular

- Bayangan bercak milier

- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif: - Fibrotik

- Kalsifikasi

- Schwarte atau penebalan pleura (PDPI, 2006).

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :

1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai kavitas.

2. Lesi luas yaitu bila proses lebih luas dari lesi minimal.

2.2.3.6. Pemeriksaan Patologi

Pemeriksaan ini dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB paru. Bahkan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :

1. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope, dan Veen Silverman).

2. Biopsi jaringan paru (trans-bronchial lung biopsy / TBLB) dengan bronkoskopi, trans-thoracal biopsy / TTB, biopsi paru terbuka.

(18)

3. Otopsi.

Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan patologi.

2.2.3.7. Tes Tuberkulin

Pemeriksaan intradermal ini (tes Mantoux) dilakukan untuk menunjukkan adanya reaksi imun tipe lambat yang spesifik untuk antigen mikobakterium pada seseorang. Reagen yang digunakan adalah berupa protein purified derivative (PPD). Hasil tes positif jika pemeriksaan dilakukan 2-10 minggu setelah infeksi. Dikatakan positif apabila terbentuk indurasi lebih dari 10 mm, intermediat apabila indurasi 5-9 mm, negatif apabila indurasi kurang dari 4 mm (Mohapatra, 2009).

(19)

2.3. Limfadenitis Tuberkulosis 2.3.1. Definisi

Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening. Jadi, limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis (Ioachim, 2009).

2.3.2. Epidemiologi

Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ di tubuh. Meskipun TB pulmoner adalah yang paling banyak, TB ekstrapulmoner juga merupakan salah satu masalah klinis yang penting. Istilah TB ekstrapulmoner digunakan pada tuberkulosis yang terjadi selain pada paru-paru. Berdasarkan epidemiologi TB ekstrapulmoner merupakan 15-20% dari semua kasus TB pada pasien HIV-negatif, dimana limfadenitis TB merupakan bentuk terbanyak (35% dari semua TB ekstrapulmoner). Sedangkan pada pasien dengan HIV-positif TB ekstrapulmoner adalah lebih dari 50% kasus TB, dimana limfadenitis tetap yang terbanyak yaitu 35% dari TB ekstrapulmoner (Sharma, 2004).

Epidemiologi limfadenitis TB bervariasi tergantung pada angka kejadian TB dan tingginya infeksi HIV di suatu negara, misalnya di daerah Afrika dimana insidensi infeksi HIV sangat tinggi, angka kejadian TB pulmoner dan ekstrapulmoner juga sangat tinggi (Clevenbergh, 2010).

Berdasarkan penelitian Dandapat (1990) terhadap 192 pasien limfadenopati perifer dimana 80 pasien dengan limfadenitis TB didapatkan pada usia penderita berkisar 1 sampai 65 tahun, dimana kebanyakan berusia dibawah 30 tahun dan sedikit lebih banyak didapat pada wanita (1,2:1). Tujuh puluh persen pasien adalah dengan status sosioekonomi rendah. Dari 80 pasien, 56 pasien melibatkan kelenjar limfe servikal, 7 pasien kelenjar limfe inguinal, 5 pasien kelenjar limfe aksilaris dan 12 pasien melibatkan kelenjar limfe multipel.

Berdasarkan penelitian dari Maharjan (2009) dari 155 kasus dengan pembesaran kelenjar limfe servikal, 83 kasus (54%) adalah limfadenitis TB, 52 kasus (33%) adalah limfadenitis reaktif dan 17 (11%) kasus adalah metastasis.

(20)

2.3.3. Patogenesis

Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium.

Limfadenitis tuberkulosis adalah manifestasi lokal dari penyakit sistemik ataupun sebagai manifestasi klinis yang tersendiri dan terlokalisasi di leher (Bayazit, 2004). Limfadenitis tuberkulosis dapat terjadi sebagai manifestasi tuberkulosis primer ataupun reaktivasi fokus Gohn yang dorman atau sebagai kelanjutan fokus Gohn yang aktif (Mohapatra, 2009).

Supraclavicular lymphadenitis terjadi akibat penyebaran melalui saluran limfatik paru. Cervical lymphadenitis merupakan manifestasi penyebaran dari kompleks primer pada infeksi di tonsil, sinonasal adenoid, dan osteomyelitis pada tulang etmoid (Mohapatra, 2009).

Pada tahap awal multiplikasi M. tuberculosis di kelenjar getah bening superfisial, permulaan hipersensitivitas tipe lambat ditandai dengan gambaran hiperemia, pembengkakan, nekrosis, dan pembentukan kaseosa di tengah nodus. Hal ini dapat diikuti inflamasi, pembengkakan yang progresif, dan penyatuan dengan nodus-nodus lain (matting). Adhesi dengan kulit dapat menyebabkan indurasi dan berwarna keunguan. Bagian tengah kelenjar yang membesar dapat melunak dan materi kaseosa dapat ruptur ke jaringan sekitar atau menembus kulit dengan pembentukan sinus (Mohapatra, 2009). LTB mediastinum dapat membesar dan menyebabkan penekanan pembuluh-pembuluh darah besar, nervus frenikus, dan laringeus atau menyebabkan erosi pada bronkus.

Menurut Sharma (2004) LTB terbagi atas 5 stadium :

1. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret. 2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan

sekitar oleh karena adanya periadenitis.

3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat pembentukan abses.

(21)

5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.

2.3.4. Manifestasi Klinis

Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis, kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis (Mohapatra, 2009). Berdasarkan penelitian oleh Geldmacher (2002) didapatkan kelenjar limfe yang terlibat yaitu: 63,3% pada kelenjar limfe servikalis, 26,7% kelenjar mediastinal, dan 8,3% pada kelenjar aksila, dan didapatkan pula pada 35% pasien pembengkakan terjadi pada lebih dari satu tempat. Menurut Sharma (2004), pada pasien dengan HIV-negatif maupun HIV-positif, kelenjar limfe servikalis adalah yang paling sering terkena, diikuti oleh kelenjar limfe aksilaris dan inguinalis.

Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau bilateral, tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan paling sering berlokasi di regio servikalis posterior dan yang lebih jarang di regio supraklavikular (Mohapatra, 2009).

Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala sistemik yaitu seperti demam, penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam. Lebih dari 57% pasien tidak menunjukkan gejala sistemik (Mohapatra, 2009).

Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit. Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali (i) terjadi infeksi sekunder bakteri, (ii) pembesaran kelenjar yang cepat atau (iii) koinsidensi dengan infeksi HIV. Abses kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian kadang-kadang dapat terjadi sinus yang tidak menyembuh secara kronis dan pembentukan ulkus. Pembentukan fistula terjadi pada 10% dari limfadenitis TB servikalis (Mohapatra, 2009). Berdasarkan penelitian oleh Jniene (2010) dari 69 pasien limfadenitis TB didapat 11 orang dengan pembengkakan kelenjar yang nyeri dan 6 orang dengan adanya pembentukan fistula. Terdapat juga 10 orang dengan pembengkakan kelenjar yang disertai adanya tanda-tanda inflamasi tetapi tidak disertai oleh adanya fistula. Secara klasik, sinus tuberkulosis mempunyai pinggir yang tipis,

(22)

kebiru-biruan, dan rapuh dengan pus cair yang sedikit. Skrofuloderma adalah infeksi mikobakterial pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung infeksi TB ke kulit dari struktur dibawahnya atau oleh paparan langsung terhadap basil TB (Mohapatra, 2009).

Limfadenitis TB mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak. Pada dewasa limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala. Manifestasi yang jarang terjadi pada pasien dengan keterlibatan kelenjar limfe mediastinal termasuk disfagia, fistula oesophagomediastinal, dan fistula tracheo-oesophageal. Pembengkakan kelenjar limfe mediastinal dan abdomen atas juga dapat menyebabkan obstruksi duktus toraksikus dan chylothorax, chylous ascites ataupun chyluria. Pada keadaan tertentu, obstruksi biliaris akibat pembesaran kelenjar limfe dapat menyebabkan obstructive jaundice. Tamponade jantung juga pernah dilaporkan terjadi akibat limfadenitis mediastinal (Mohapatra, 2009).

Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran ≥ 2 cm biasanya disebabkan oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm biasanya disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup kemungkinan pembengkakan tersebut disebabkan oleh M.tuberculosis (Narang, 2005).

2.3.5. Diagnosis

Menurut Sharma (2004) diagnosis tuberkulosis ekstrapulmonal diperoleh dari pemeriksaan histopatologi, sitologi, dan mikrobiologi dari jaringan yang mudah diperoleh.

2.3.5.1. Pemeriksaan Mikroskopis Mikrobiologi

Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Spesimen diambil dari cairan sinus atau dengan FNAB (fine needle aspiration biopsy). Sensitivitas dan spesifisitas sitologi FNAB untuk diagnosis LTB adalah 88% dan 96% (Mohapatra, 2009). Karakteristik bakteri tahan asam (BTA) dalam pewarnaan Ziehl Neelsen adalah menyerap warna kemerahan (carbol fuchsin) dan warna tersebut tahan terhadap asam dan alkohol. Pemeriksaan mikroskopis dapat

(23)

juga dilakukan dengan teknik fluorosensi yaitu dengan pewarnaan Auramine-Rhodamine (Varaine et al, 2010).

2.3.5.2. Pemeriksaan Kultur

Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara Egg base media yaitu Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh atau Agar base media yaitu Middle brook. Spesimen dapat diambil dari cairan sinus atau dengan FNAB. Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi M. tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT) (PDPI, 2002).

Menurut Bayazit (2004) berbagai media dapat digunakan seperti L-J, Petregnani, Trudeau, Middle-brook, dan Bactec TB. Diperlukan waktu beberapa minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Pada adenitis tuberkulosa, M. tuberculosis adalah penyebab tersering, diikuti ole M.bovis (Bayazit, 2004).

Kultur dapat dilakukan dengan menggunakan spesimen yang sama untuk pewarnaan. Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur positif. Hasil kultur positif hanya pada 10-69% kasus (Mohapatra, 2009).

2.3.5.3. Pemeriksaan Sitologi

Fine needle aspirate cytology (FNAC) telah menjadi pilihan utama untuk pemeriksaan non-invasif alternatif daripada biopsi eksisi. Sensitivitas FNAC bervariasi dari 67% hingga 100% dan spesifisitas 80% hingga 100%. Komplikasi akibat tindakan FNAC juga jauh lebih minimal dibandingkan dengan biopsi eksisi konvensional (Sarwar, 2004).

Menurut Metre dan Jayaram (1987), secara makroskopis hasil biopsi aspirasi dari LTB dapat bercampur darah, purulen, dan seperti keju (Das et al, 2000). Ditemukannya sel epiteloid, datia langhans (langhans giant cell) ataupun massa nekrosis perkejuan maka pemeriksaan sitologi dikatakan positif (Kesuma, 2010).

Kriteria diagnostik untuk diagnosa LTB adalah gambaran sel granuloma epiteloid dengan atau tanpa sel giant multinuclear (langhans giant cell) dan

(24)

nekrosis kaseosa (Sarwar, 2004). Das et al (2000), membagi hasil pemeriksaan sitologi menjadi 3 kelompok utama. Tipe I yaitu granuloma epiteloid tanpa nekrosis, tipe II yaitu granuloma dengan nekrosis, tipe III yaitu nekrosis tanpa granuloma epiteloid.

Muncul kesulitan dalam pendiagnosaan apabila gambaran konvensional seperti sel epiteloid atau Langhans giant cell tidak ditemukan pada aspirat. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2008), bahwa gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik dapat digunakan sebagai tambahan karakteristik tuberkulosis selain gambaran epiteloid dan Langhans giant cell. Didapati bahwa aspirat dengan gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik, dapat memberikan hasil positif tuberkulosis apabila dikultur.

2.3.5.4. Pemeriksaan Histopatologi

Pada pasien dengan LTB, biopsi eksisi dari kelenjar getah bening perifer umumnya dapat mengkonfirmasi diagnosis. Penggunaan CT scan untuk membantu menemukan lokasi limfadenopati intratorakal maupun intraabdominal. Jika ada, dapat digunakan Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS) untuk memperoleh jaringan yang representatif pada pasien dengan limfadenopati intratorakal. Spesimen dapat diletakkan dalam media Kirschner untuk transport spesimen (Sharma, 2004).

Gambaran Langhans giant cell, nekrosis kaseosa, inflamasi granulomatosa, dan kalsifikasi dapat dijumpai pada pemeriksaan histopatologi. Adanya mikroabses, granuloma berbatas tidak tegas, granuloma non-kaseosa, dan jumlah giant cell yang sedikit adalah lebih mengarah pada adenitis non-tuberkulosa (Mohapatra, 2009).

2.3.5.5. Pemeriksaam Radiologis

Radiologi paru, USG (ultrasonography), CT (computed-tomography), dan MRI (magnetic resonance imaging) dapat dilakukan untuk membantu diagnosis LTB. Lesi abnormal radiologi paru terlihat lebih sering pada anak anak. Pada

(25)

orang dewasa, hanya 15% yang memiliki lesi abnormal pada foto paru (Mohapatra, 2009).

USG leher dapat menunjukkan lesi tunggal atau multipel yang hipoekoik dan kista multiokulasi yang dikelilingi oleh kapsul yang padat (Mohapatra, 2009).

Pada CT scan, keberadaan massa konglumerasi kelenjar getah bening dengan lusensi sentral, peningkatan kontras membentuk batas yang tebal dan ireguler disertai dengan nodularitas dalam. Dijumpai tanda-tanda inflamasi pada dermis dan subkutis yaitu dijumpai penebalan kulit, pelebaran saluran limfa, dan penebalan otot-otot disekitarnya menandakan kemungkinan infeksi LTB (Mohapatra, 2009).

Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi, dan konfluens. Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer dibandingkan sentral, dan hal ini bersama-sama dengan edema jaringan lunak membedakannya dengan kelenjar metastatik (Mohapatra, 2009).

2.4. Hubungan Limfadenitis TB pada Anak dengan Riwayat TB Paru pada Keluarga

Manusia merupakan reservoir untuk penularan kuman M. tuberculosis (Atmosukarto, 2000). Kuman tuberkulosis menular melalui droplet nuclei. Menurut penelitian pusat ekologi kesehatan (1991) menunjukkan tingkat penularan tuberkulosis di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya.

Menurut penelitian Atmosukarto dari Litbang kesehatan (2000), didapatkan data bahwa :

1. Rumah tangga yang penderitanya mempunyai kebiasaan tidur dengan balita mempunyai resiko 2,8 kali terkena tuberkulosis dibandingkan dengan yang tidur berpisah.

2. Tingkat penularan tuberkulosis di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya.

(26)

3. Besar resiko terjadinya penularan untuk rumah tangga dengan penderita lebih dari 1 orang adalah 4 kali dibandingakan dengan rumah tangga yang hanya mempunyai 1 orang penderita tuberkulosis.

Usia anak merupakan usia yang sangat rawan terhadap penularan penyakit tuberkulosis (Samallo dalam FKUI, 1998). Tuberkulosis pada anak dapat menyerang paru maupun ekstra paru. Jenis TB ekstrapulmonar yang paling sering dijumpai adalah TB kelenjar (Kreider & Rossmann, 2008).

Samallo mendapatkan angka penularan dan bahaya penularan yang tinggi terdapat pada golongan umur 0-6 tahun dan golongan umur 7-14 tahun. Apabila angka kejadian tuberkulosis dewasa tinggi, diperkirakan kejadian tuberkulosis pada anak akan tinggi pula. Hal ini dikarenakan faktor risiko utama yang dapat menimbulkan penyakit TB pada anak adalah kontak dengan penderita TB dewasa (Sinta, 2008).

Frekuensi anak mengalami TB tergantung pada banyaknya jumlah sumber penularan, kedekatan dengan sumber penular, lama kontak dengan sumber penular dan umur anak. Setiap orang dewasa dengan BTA positif dalam satu tahun akan menularkan 10 orang di lingkungannya, terutama anak-anak. Hal ini didukung dari hasil penelitian Dudeng (2005), yang menunjukkan bahwa anak dengan riwayat kontak dengan penderita TB memiliki peluang 3,87 mengalami TB dibandingkan anak yang tidak mempunyai riwayat kontak penderita TB.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa prevalens infeksi TB pada anak yang tinggal dengan pasien TB dewasa lebih tinggi daripada infeksi TB pada anak di populasi umum, dan mempunyai risiko mendapat infeksi lebih tinggi apabila pasien TB dewasa tersebut mempunyai sputum BTA positif (Singh M, Mynak ML, Kumar L, Mathew JL, Jindal SK, 2005).

Gambar

Gambar 2.1. Faktor risiko TB
Tabel 2.3. Pengobatan TB (PDPI, 2006)  Kategori  Kasus  Paduan obat yang
Gambar 2.2. Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa

Referensi

Dokumen terkait

Datum 12 are “You brought joy to my soul” and “And pleasure to my eyes” in the lyric Maher Zain’s religious song with title “ my little girl ”, the researcher found

semua merasa berduka karena seorangGuru Besar Ilmu Sejarah yang begitu cerdas, cinta bangsa dan berbudi luhur meninggalkan kita u&#34;:tuk selama-lamanya, Na~un demikian kita

perencanaan sampling tunggal n = 100 menawarkan pada konsumen perlindungan yang sama, maka dalam semua keadaan yang suatu kotak. diterima atau ditolak pada sampel pertama,

Metode yang digunakan adalah dengan membandingkan jumlah konflik yang terjadi dengan karakteristik pergerakan di persimpangan, yaitu pergerakan membelok, waktu

Penelitian ini mengembangkan teknologi lampu lalu lintas berbasis demand responsive dengan menggunakan metode fuzzy logic (yaitu FLTSC) untuk kondisi lalu lintas yang

Untuk melihat perubahan pengetahuan petani setelah di lakukan penyuluhan tentang penanggulangan hama penyakit secara hayati dilakukan uji t dari skor penilaian setiap point jawaban

Ketiga, memperbaiki diri peserta didik dari berbagai sifat dan amal tidak terpuji (amal al- syai‟at) yang telah dilakukannya, baik dipandang dari perspektif agama

Penelitian untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat tradisional, cara meramu, cara pengobatan, khasiatnya, dan upaya masyarakat