• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

Analisis kebijakan sering disamakan pengertiannya dengan penelitian kebijakan atau kajian tentang suatu kebijakan. Beberapa ahli kebijakan tidak membedakan antara analisis kebijakan dengan penelitian kebijakan, misalnya Mayer & Greenwood (1980) dan Damin (1997). Menurut para ahli tersebut analisis kebijakan dan penelitian kebijakan dapat dipertukarkan untuk merujuk pada hal yang sama. Sementara itu, Weimer dan Vining (1999) memisahkan dengan jelas antara analisis kebijakan dengan penelitian kebijakan.

Definisi tentang analisis kebijakan banyak dikemukakan oleh para ahli diantaranya Quade (1982), Dye (1995), dan Dunn (2004). Pengertian umum dari analisis kebijakan adalah studi antar disiplin dengan penggunaan beragam teknik untuk meningkatkan atau merasionalkan proses pembuatan kebijakan agar ditemukan alternatif kebijakan terbaik guna mengatasi permasalahan yang dihadapi. Tujuan utama analisis kebijakan adalah membantu pengambil keputusan untuk membuat pilihan yang lebih baik (Quade 1976).

Nugroho (2008) dengan mengembangkan pemikiran Michael Hill dalam The Policy Process (2005), menyatakan ada dua jenis analisis kebijakan, yaitu analisis tentang kebijakan (studies of policies) dan analisis untuk merumuskan suatu atau beberapa kebijakan (studies for policies). Dengan demikian pemahaman tentang analisis kebijakan tidak serta merta berkenaan dengan analisis untuk merumuskan kebijakan saja namun juga analisis tentang kebijakan.

Berdasarkan konsep tersebut, Nugroho (2008) selanjutnya menjelaskan bahwa analisis kebijakan adalah kegiatan yang dilakukan sebelum perumusan kebijakan, atau merupakan proses inisiasi perumusan kebijakan. Kegiatan ini dapat menggunakan satu atau beberapa pendekatan metodologis, dan dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat dengan produk berupa rekomendasi kebijakan (policy recommendation). Sementara itu penelitian kebijakan dapat dilakukan pada semua tahap proses kebijakan baik pada fase perumusan, implementasi maupun tahap evaluasi kebijakan. Tujuan utama dari penelitian kebijakan tidak untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan semata, melainkan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen) terhadap suatu kebijakan.

(2)

Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Eriyatno & Sofyar (2007) bahwa hasil riset atau studi kebijakan bukanlah sekedar rekomendasi dan pernyataan tentang dampak dari kebijakan. Hasil riset kebijakan yang efektif adalah upaya konkrit untuk mencapai tujuan dari sistem yang sedang dikaji. Oleh karena itu, hasil riset harus mampu mewujudkan harapan-harapan normatif menjadi strategi tindakan yang diperlukan dalam kebijakan.

Permasalahan kehutanan saat ini berkembang semakin kompleks. Tantangan untuk mewujudkan kelestarian hutan dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak lagi cukup didekati dengan solusi yang bersifat teknis kehutanan. Hal demikian merupakan tuntutan dari pergeseran peta permasalahan kehutanan dari yang semula berorientasi kepada masalah-masalah teknis menuju masalah-masalah sosial serta kebijakan sektor kehutanan (Puslitsosekhut 2005).

Peta permasalahan pembangunan kehutanan di Indonesia dapat dirunut berdasarkan paradigma yang mendasari kebijakan pengelolaan hutan. Lyndayati (2002) membagi periode kebijakan pembangunan kehutanan di Indonesia menjadi dua bagian. Periode pertama, yaitu pada masa awal pembangunan-pasca kemerdekaan hingga akhir tahun 1970-an, dengan paradigma State Based Forest Management. Periode kedua dimulai sekitar tahun 1980-an hingga sekarang dengan paradigma Community Based Forest Management (CBFM).

Pada periode State Based Forest Management hutan dilihat sebagai sumber ekonomi negara yang identik dengan kayu, serta pengelola hutan adalah agen negara (BUMN & Perum) serta perusahaan HPH dan HPHHTI sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Secara politik, hutan Indonesia diusahakan dan dikelola atas dasar pemberian hak oleh pemerintah kepada lembaga pemerintah dan lembaga swasta, mengingat negara telah menafsirkan kekuasaan atas pengelolaan sumberdaya alam harus oleh negara bukan oleh masyarakat (Awang 2003).

Setelah berjalan selama lebih dari dua dasawarsa, hasil evaluasi terhadap kinerja pengelolaan hutan dengan izin konsesi HPH menunjukkan kinerja yang kurang baik (Kartodihardjo 1998). Degradasi hutan di Indonesia dengan laju yang sangat tinggi merupakan bukti nyata dari pengelolaan hutan yang tidak lestari. Data dari Forest Watch Indonesia (2002) menunjukkan bahwa pada tahun 1950-an luas hutan di Indonesia mencapai 84% dari total luas daratan, namun di tahun 1989 luas hutan telah menurun menjadi 60%.

(3)

Data Kementerian Kehutanan* menunjukkan bahwa pada periode 1985-1997 laju deforestasi dan degradasi di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Periode 1997-2000 laju deforestrasi mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu mencapai rata-rata sebesar 2,8 juta hektar dan menurun kembali pada periode 2000-2005 menjadi sebesar 1,08 juta hektar. Sementara itu, data yang dikeluarkan oleh State of the World’s Forests 2007 yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture Organization (FAO), menunjukkan angka deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 mencapai 1,8 juta hektar/tahun.

Selain dampak deforestrasi dan degradasi sumber daya hutan di Indonesia, kebijakan dengan paradigma State Based Forest Management juga merupakan sebuah tindakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat (Anshari et al. 2005; Lyndayati 2002). Keuntungan dari sumberdaya hutan sebagian besar dinikmati oleh para pengusaha. Masyarakat sekitar hutan terpinggirkan, padahal bagi mereka hutan merupakan sumber penghidupan, penyedia bahan pangan, bahan bangunan, kayu bakar, dan sumber penghasilan. World Research Institute dalam Lynch & Talbot (1995) melaporkan sekitar 60 juta orang atau sekitar 30% dari total penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang hidupnya tergantung pada sumberdaya hutan.

Perubahan paradigma State Based Forest Management menjadi Community Based Forest Management (CBFM) dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam selama ini terbukti gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan CBFM melalui perhutanan sosial menjadi salah satu harapan penting dalam pengelolaan hutan yang berorientasi bukan hanya kepentingan produksi dan pelestarian hutan tetapi juga berpihak pada hak, martabat, dan kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan berbasis CBFM di Indonesia telah dilaksanakan selama lebih dari 20 tahun (Lyndayati 2002). Sebuah rentang waktu yang cukup untuk dapat menelaah bagaimana dampak kebijakan tersebut terhadap kondisi hutan Indonesia dan terhadap kesejahteraan masyarakat. Berbagai program kegiatan telah dilakukan dengan beberapa nama atau istilah, misalnya tumpangsari, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), hingga Hutan

* Perubahan nama Departemen Kehutanan menjadi Kementerian Kehutanan

berdasarkan Peraturan Presiden No.47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara. Nama Departemen Kehutanan dalam disertasi ini tetap digunakan jika berkaitan dengan penyebutan produk peraturan perundangan atau sumber rujukan yang dikeluarkan sebelum Peraturan Presiden No.47/2009 ditetapkan.

(4)

Kemasyarakatan (HKM). Kegiatan-kegiatan tersebut pada dasarnya bertujuan untuk memberikan hak akses bagi masyarakat untuk mengelola kawasan hutan negara.

Bentuk kebijakan terbaru dari Kementerian yang mengatur hak akses masyarakat untuk mengelola hutan negara adalah HTR (Hutan Tanaman Rakyat). Kebijakan ini mulai digulirkan pada tahun 2007. HTR merupakan salah satu program strategis Kementerian Kehutanan dalam upaya peningkatan produksi kayu nasional yang saat ini mengalami kekurangan pasokan. Data dari kegiatan sintesa kebutuhan kayu nasional menunjukkan bahwa permintaan kayu saat ini sebesar 50-60 juta m3/tahun. Pemenuhan kayu secara lestari dari hutan alam dan hutan tanaman yang saat ini ada baru mencapai 25-30 juta m3/tahun. Hal ini menunjukkan adanya praktek pemanenan kayu yang dilakukan secara tidak lestari sebesar 50% dari kebutuhan kayu nasional (CSREF 2005). Jika kondisi ini terus dibiarkan maka kelestarian sumberdaya hutan semakin terancam. Oleh karenanya perlu upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut. Kebijakan HTR dimaksudkan sebagai salah satu sumber alternatif upaya untuk menjawab masalah kekurangan pasokan kayu tersebut.

Meskipun program HTR telah dilengkapi dengan kebijakan mengenai akses lahan, akses pasar, dan akses permodalan, namun banyak pihak yang meragukan pelaksanaan program ini (Noordwijk et al. 2007). Dalam Is HTR a new paradigm in community based tree planting in Indonesia? Noordwijk et al. (2007) menyatakan bahwa kebijakan HTR pada dasarnya mirip dengan program HTI-plasma dan program HKM (Hutan Kemasyarakatan) yang belum menunjukkan hasil memuaskan. Permasalahan utama yang harus menjadi perhatian dalam pelaksanaan program HTR adalah: masalah tingginya alokasi anggaran pembangunan HTR, masalah akuntabilitas, dan tingginya potensi konflik lahan.

Terkait masalah konflik lahan hasil kajian Contreras-Hermosilla et al. (2006) menunjukkan bahwa 52% kawasan hutan, yang secara konstitusi dinyatakan sebagai milik negara, pada kenyataannya merupakan hutan yang telah dikelola oleh masyarakat secara turun temurun dan telah mereka anggap sebagai hutan hak milik masyarakat atau hak milik adat. Lebih lanjut diungkapkan bahwa baru 10% kawasan hutan negara yang telah selesai ditentukan tata batasnya. Oleh karenanya program HTR diperkirakan akan mendapatkan banyak hambatan dalam pelaksanaannya.

(5)

Setelah digulirkan selama hampir tiga tahun, pencapaian program pembangunan Hutan Tanaman Rakyat masih rendah. Pada awal pencanangan program, Kementerian Kehutanan dalam hal ini Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan* menetapkan target pembangunan 5.400.000 ha Hutan Tanaman Rakyat (Dephut 2007; Emila & Suwito 2007). Akan tetapi data Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan pada akhir tahun 2010 menunjukkan bahwa Ijin Usaha HTR baru diterbitkan di 21 kabupaten, dengan total luas 87.299,89 ha atau 1,62% dari target yang ditetapkan. Beberapa kabupaten yang telah menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) HTR antara lain : Aceh Utara I, Mandailing Natal-Sumatera Utara, Sarolangun-Jambi, Ogan Komering Ilir-Sumatera Selatan, Kaur-Bengkulu, Tebo-Jambi, Kotawaringin Barat-Kalimantan Tengah, Gunungkidul-Daerah Istimewa Yogyakarta, Konawe Selatan dan Kolaka-Sulawesi Utara, Halmahera Selatan-Maluku Utara, dan Nabire-Papua.

Mengingat program HTR relatif baru, maka data dan informasi hasil penelitian HTR masih sangat terbatas. Beberapa hasil kajian yang terkait dengan kebijakan HTR adalah aspek dan prinsip-prinsip dasar kebijakan HTR (Emila & Suwito 2007), efektifitas dan strategi Kebijakan HTR (Nugroho 2009), paradigma kebijakan HTR (Noordwijk et al. 2007), kajian penetapan harga dasar kayu rakyat untuk mendukung program HTR (Irawati et al. 2008) dan strategi pengelolaan HTR di Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi (Masyithah 2009). Oleh karena itu penelitian ini akan memberikan kontribusi bagi ketersediaan data dan informasi terkait kebijakan Hutan Tanaman Rakyat.

1.2 Perumusan Masalah

Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat mendapat dukungan kuat dari para pengambil kebijakan di tingkat pusat. Menteri Kehutanan dalam beberapa kesempatan† menegaskan bahwa program HTR harus berhasil, sehingga segala faktor yang bisa menghambat keberhasilannya harus dapat diatasi. Salah satu masalah yang diprediksikan dapat menghambat program HTR adalah aspek

* Nama Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan menggantikan nama Direktorat

Jenderal Bina Produksi Kehutanan berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 130/M Tahun 2010 tanggal 16 September 2010. Penyebutan Dirjen BPK digunakan jika berkaitan dengan produk perundangan atau sumber rujukan yang dikeluarkan sebelum Kepres ditetapkan.

Dua diantaranya dinyatakan dalam Sambutan Menteri Kehutanan pada dialog Dephut dan CIFOR 7 April 2009 dan Sambutan Menteri Kehutanan pada Dialog dan Lokakarya Pembangunan HTR, Bogor, 26-27 Mei 2009.

(6)

ketersediaan modal. Untuk itu, Kementerian Kehutanan telah membentuk Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P2H) yang bertugas antara lain untuk menyalurkan pinjaman modal bagi para petani pemegang izin usaha HTR.

Di satu sisi kebijakan HTR mendapat dukungan kuat di tingkat nasional, namun dalam implementasi di lapangan berjalan lambat. Kondisi kontradiksi ini menarik untuk diteliti. Pertanyaan umum yang muncul dari kondisi seperti ini adalah mengapa sebuah program yang mendapat dukungan kuat di tingkat nasional, namun pada tahap implementasi berjalan lambat.

Patton dan Savicky (1993) sebagimana dikutip dalam Nugroho (2008) menyatakan kesalahan yang sering terjadi dalam memandang implementasi kebijakan adalah bahwa proses implementasi merupakan masalah manajemen semata. Oleh karena itu Patton dan Savicky sangat menekankan bahwa implementasi merupakan bagian dari proses kebijakan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa sebuah kebijakan yang didukung oleh otoritas tertinggi sekalipun belum tentu efektif karena bisa jadi birokrasi pelaksana di tingkat bawah (street level bereucrats) tidak mampu ataupun tidak mau melaksanakannya karena kendala di tingkat mereka.

Pendapat tersebut sejalan dengan pandangan Sutton (1999) yang menyatakan adanya dikotomi antara proses perumusan kebijakan dengan implementasinya. Sutton mengungkapkan bahwa implementasi sebuah kebijakan tidak bisa dilihat secara parsial pada aspek pelaksanaan saja, melainkan harus dikaji secara menyeluruh mulai dari tahap awal perumusan kebijakan.

Sutton (1999) dalam “The Policy Process: An Overview” dan IDS (2006) dalam “Understanding Policy Processes” mengajukan bantahan terhadap model linier kebijakan. Model linier kebijakan merupakan model yang selama ini menjadi arus utama atau banyak dianut dalam analisis kebijakan. Model linier menekankan bahwa penyusunan kebijakan merupakan sebuah upaya pemecahan masalah yang bersifat rasional, berimbang, obyektif dan analitik. Model linier menunjukkan bahwa keputusan diambil sebagai hasil sebuah rangkaian tindakan yang berurutan, dimulai dengan identifikasi masalah, pemilihan alternatif solusi terbaik, dan diakhiri dengan penentuan tindakan untuk menyelesaikan permasalahan.

(7)

Model linier menggunakan asumsi bahwa pembuat keputusan telah menggunakan seluruh informasi yang diperlukan untuk menetapkan keputusan. Oleh karena itu model linier disebut juga sebagai model rasional, artinya pengambil keputusan menetapkan permasalahan secara rasional dan mengambil pilihan terbaik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dengan demikian pilihan kebijakan yang ditetapkan merupakan solusi terbaik dari berbagai alternatif solusi pemecahan masalah yang tersedia.

Inti dari kritik yang dikemukakan oleh Sutton (1999) dan IDS (2006) adalah bahwa asumsi-asumsi yang diperlukan untuk terpenuhinya model linier sulit untuk dipenuhi. Model rasional atau model linier dipandang oleh Sutton (1999) dan IDS (2006) sebagai: (1) sebuah proses murni dari kegiatan administrasi dan birokrasi; (2) fase implementasi sepenuhnya merupakan masalah prosedur teknik; (3) peran para ahli merupakan faktor penting dalam proses pemilihan keputusan yang rasional; dan (4) kepakaran para ilmuwan dinilai bersifat objektif dan independent (bebas nilai). Model linier juga mengasumsikan adanya pemisahan yang jelas antara fakta dengan nilai-nilai yang berpengaruh dalam proses perumusan kebijakan. Pendapat Sutton dan IDS tersebut memperkuat pernyataan Juma & Clark (1995) yang menyatakan bahwa jika kebijakan tidak mencapai apa yang diharapkan maka kesalahan senantiasa dialamatkan pada fase implementasi. Faktor penyebabnya bisa karena keterbatasan sumberdaya atau karena kurangnya “political will” atau keengganan untuk melaksanakan kebijakan.

Berdasarkan perdebatan tersebut Sutton (1999) dan IDS (2006) menyajikan pandangan lain tentang proses perumusan kebijakan. Sebuah kebijakan dirumuskan melalui mekanisme yang kompleks dan tidak beraturan dengan karakteristik sebagai berikut : (1) proses pembuatan kebijakan perlu difahami sebagai sebuah proses politik; (2) proses pembuatan kebijakan bersifat incremental (bertahap), iterative (berulang), dan experimental (uji coba), serta belajar dari kesalahan.

Berdasarkan landasan teori tersebut maka pertanyaan pertama yang diajukan dalam penelitian ini adalah “apakah proses perumusan kebijakan HTR dilakukan dengan mengikuti model linier?” “ataukah sebagai model acak?” sebagaimana argumentasi Sutton (1999) dan IDS (2006). Jika sebuah kebijakan dirumuskan melalui model linier maka kebijakan tersebut telah ditetapkan dengan mempertimbangkan segala faktor kendala dan keterbatasan yang akan dihadapi

(8)

pada fase pelaksanaanya. Selain itu model linier dipenuhi ketika pengambil kebijakan telah mengumpulkan informasi yang memadai untuk menetapkan alternatif pilihan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan. Beberapa indikasi mengarah pada dugaan sementara bahwa proses dan asumsi tersebut tidak dipenuhi. Penelitian ini bertujuan untuk menggali data dan informasi untuk mendapatkan jawaban atas hipotesis tersebut.

Untuk mendapatkan informasi menyeluruh tentang kinerja kebijakan HTR maka perlu pula dikaji bagaimana kebijakan HTR diimplementasikan di tingkat lapangan. Winter (1990) menyatakan selain proses formulasi kebijakan faktor lain yang perlu dipertimbangkan dari sebuah kebijakan adalah respon pihak pelaksana kebijakan. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan sangat ditentukan oleh respon dari kelompok target kebijakan . Kelompok sasaran dari kebijakan HTR adalah masyarakat sekitar hutan dan para pemangku kepentingan di daerah. Untuk itu pertanyaan penelitian kedua yang diajukan adalah bagaimana para pihak di daerah merespon kebijakan HTR serta bagaimana hubungan respon tersebut dengan keberhasilan implementasi HTR. Pertanyaan penelitian kedua ini menghasilkan rumusan hipotesis penelitian adanya hubungan antara respon para pemangku kepentingan di daerah dengan tingkat keberhasilan implementasi kebijakan HTR.

Quade (1982) menyatakan bahwa tujuan utama analisis kebijakan adalah membantu pembuat keputusan untuk membuat pilihan yang lebih baik. Oleh karena itu, setelah mengkaji tahap proses perumusan kebijakan dan tahap evaluasi terhadap implementasi kebijakan HTR, penelitian ini selanjutnya mempertanyakan upaya apa yang harus dilakukan untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan HTR. Jawaban atas pertanyaan penelitian tersebut dilakukan melalui kegiatan rancang bangun model konseptual kebijakan.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melakukan analisis terhadap kebijakan Hutan Tanaman Rakyat.

Tujuan umum tersebut dijabarkan menjadi tiga tujuan khusus, yaitu: 1. melakukan analisis proses perumusan kebijakan HTR

2. melakukan analisis respon pemangku kepentingan dan analisis implementasi kebijakan HTR di daerah

3. melakukan rancang bangun model konseptual kebijakan Hutan Tanaman Rakyat.

(9)

1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Hutan Tanaman Rakyat yang dimaksud dalam kajian ini merujuk pada Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan jo PP No.23 Tahun 2008 dan seluruh aturan di bawahnya yang menjadi landasan dalam pelaksanaan kegiatan HTR di lapangan. Definisi HTR menurut peraturan perundangan adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.

Lingkup kajian meliputi penelitian kebijakan berupa analisa proses perumusan kebijakan, analisis respon para pihak di daerah terhadap kebijakan HTR, evaluasi dari implementasi program HTR di lapangan dan perumusan model konseptual kebijakan HTR.

Penelitian proses perumusan kebijakan dibatasi pada analisis terhadap latar belakang ide dan gagasan digulirkannya kebijakan HTR, aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan HTR dan kondisi yang mendukung untuk diwujudkannya HTR sebagai kebijakan nasional. Sementara itu kegiatan respon dan implementasi kebijakan HTR dibatasi dengan mengambil sampel lokasi penelitian di tiga provinsi, yaitu Provinsi Riau, Kalimantan Selatan, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Perumusan strategi untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan HTR dibatasi pada kegiatan rancang bangun model konseptual kebijakan. Model ini merupakan rekomendasi bagi para pelaksana kegiatan HTR.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat praktis dari hasil penelitian ini adalah untuk memberikan masukan bagi para pengambil keputusan baik di tingkat pusat maupun di daerah dalam pelaksanaan kebijakan Hutan Tanaman Rakyat.

Hasil penelitian ini secara akademis dapat menjadi rujukan dalam melakukan penelitian kebijakan, khususnya dalam aspek proses perumusan kebijakan dan respon para pihak yang terkait dengan implementasi sebuah kebijakan.

(10)

Model konseptual kebijakan dapat menjadi justifikasi dalam penggunaan konsep pembangunan hutan tanaman oleh masyarakat sebagai salah satu inovasi dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan hutan yang terdegradasi dan dalam rangka meningkatkan produksi kayu. Di samping itu kegiatan penelitian ini juga dapat dijadikan bahan rujukan bagi mereka yang sedang atau akan meneliti topik yang berkaitan dengan analisa proses kebijakan, pengelolaan hutan berbasis masyarakat, dan pengembangan ilmu permodelan.

1.6 Kebaruan

Kebaruan dari penelitian mengenai kebijakan Hutan Tanaman Rakyat ini adalah :

1) Penerapan metodologi penelitian proses perumusan kebijakan. .

2) Pengembangan kebijakan pengelolaan HTR didasarkan pada pemodelan pengelolaan melalui pendekatan soft system methodology yang mengintegrasikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi, yang dilakukan melalui pendekatan sistem

3) Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kebaruan berupa perwujudan model pengelolaan HTR dalam hal: a) Model Manajemen yang mengintegrasikan rencana pembangunan daerah dan kebijakan bidang kehutanan; b) Model Lembaga HTR; dan c) Model Pendanaan HTR.

Referensi

Dokumen terkait

Universitas Negeri

[r]

- Catatan : Yang hadir dalam klarifikasi dan verifikasi ini harus Direktur atau yang ada di akta perusahaan, Jika tidak dihadiri pihak yang berwenang tersebut maka

(sesuai dengan Kepres 80 Tahun 2003, persyaratan kualifikasi penyedia barang/ jasa untuk perusahaan tidak kecil harus “memiliki surat keterangan dukungan keuangan dari

Sponsoring for participation at SIPPO collective stands at Hanover lndustrial Fair 2010.. wwuhannovermesse,de and Swisstech Fair 2010 Switzerland

Kegiatan ini dapat menjadi sebuah media bagi pihak-pihak terkait khususnya pelaku industri kreatif, perusahaan atau instansi sebagai investor, pemerintah, komunitas (masyarakat)

[r]

conferences, workshop, and provides sponsor or technical support to conferences and workshops, it also publishes high quality academic international journals.. IACSIT membership