• Tidak ada hasil yang ditemukan

menunjukkan peningkatan secara berturut-turut 5; 9; dan 15% dibandingkan dengan sapi kontrol. Hal tersebut memperkuat pernyataan Peel & Bauman (1987)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "menunjukkan peningkatan secara berturut-turut 5; 9; dan 15% dibandingkan dengan sapi kontrol. Hal tersebut memperkuat pernyataan Peel & Bauman (1987)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

. PEMBAHASAN

Fungsi utama jantung adalah memompakan darah ke seluruh tubuh. Pada hewan laktasi, peranan kardiovaskular dan aliran darah sangat penting, khususnya pengaliran darah yang menuju ke kelenjar susu untuk memasok kebutuhan nutrien yang diperlukan untuk sintesis susu dan membawa hasil metabolisme.

Denyut jantung merupakan manifestasi dari kerja jantung dalam memompakan darah sehingga terdapat hubungan positif antara denyut jantung dengan aliran darah. Dalam keadaan normal, denyut jantung sapi perah berkisar antara 60 dan 70 kali/menit (Frandson 1996). Sebagai gambaran pada sapi yang berbobot tubuh 500 kg, dengan denyut jantung 70 kali/menit, curah jantung dalam sehari kira-kira 71 000 L (Akers 2002). Kelenjar susu yang sedang laktasi menggunakan hampir 10% dari curah jantung, dan akan meningkat pada akhir kebuntingan dan awal laktasi. Rasio antara aliran darah dengan produksi susu adalah 500:1 sehingga bila produksi susu 35 kg, dibutuhkan aliran darah ke kelenjar susu sebanyak 17 500 L (Prosser &Mepham 1989).

Hasil pengamatan menunjukkan injeksi bST harian dan selang 14 hari nyata meningkatkan denyut jantung secara berturut-turut 4,6%, dan 6,7% dibandingkan kontrol. Angka peningkatan denyut jantung masih dalam kisaran normal walau secara statistik berbeda nyata. Peningkatan denyut jantung mengindikasikan peningkatan aliran darah. Dalam rangka penyesuaian metabolisme sebagai salah satu peran ST adalah mempengaruhi atau meningkatkan kerja jantung dalam memompa darah ke seluruh bagian tubuh. Peningkatan produksi susu akan meningkatkan rasio antara aliran darah dengan produksi susu. Seperti yang dilaporkan peneliti terdahulu bahwa injeksi bST meningkatkan aliran darah menuju kelenjar susu untuk memasok kebutuhan nutrien dan prekursor (Prosser & Mepham 1989). Prinsip utama peningkatan sintesis susu adalah peningkatan aktivitas sel sel epitel kelenjar susu yang didukung oleh peningkatan laju darah yang membawa substrat dan prekursor yang dibutuhkan. Hasil pengamatan menunjukkan frekuensi denyut jantung pada sapi yang disuntik bST mengalami peningkatan walau masih dalam kisaran normal. Rataan denyut jantung hasil pengamatan ternyata lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan Soderholm et al (1986) bahwa sapi yang diinjeksi bST dengan dosis 10,3; 20,6; dan 41,2 mg/hari

(2)

menunjukkan peningkatan secara berturut-turut 5; 9; dan 15% dibandingkan dengan sapi kontrol. Hal tersebut memperkuat pernyataan Peel & Bauman (1987) dan Phipps (1989) bahwa injeksi bST meningkatkan sedikit denyut jantung khususnya pada dosis tinggi.

Pernapasan adalah proses pengambilan sejumlah O2 untuk metabolisme dan

pengeluaran CO2 hasil metabolisme, namun di samping itu juga digunakan untuk proses

evaporasi, yaitu pengeluaran kelebihan produk panas tubuh. Produksi panas dalam tubuh terus berlangsung sebagai proses oksidasi fisiologis dari organ tubuh. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan sejumlah energi, dan dari proses tersebut juga diproduksi sejumlah kalor dalam bentuk panas. Sapi perah yang berada dalam keadaan tidak beraktivitas, dan tidak laktasi menghasilkan 400–500 kalori/jam, pada saat laktasi produk panas dapat mencapai 2 kali lipat (Soeharsono 1984).

Hasil pengamatan menunjukkan frekuensi pernapasan berkisar antara 28,70 dan 30,46 kali/menit, dan masih termasuk dalam kisaran normal, yaitu 30,0 kali/menit pada kondisi ideal 18ºC (McDowell 1972). Injeksi bST nyata meningkatkan frekuensi pernapasan 1,8 sampai 5,0% walau masih dalam kisaran normal. Hasil pengamatan yang dilaporkan Soderholm et al (1988) bahwa sapi yang mendapat injeksi bST 0; 10,3; 20,6; 41,2 mg/hari memiliki frekuensi pernapasan berturut-turut sebesar 41,1; 47,3; 41,7, dan 47,3 kali/menit namun secara statistik tidak berbeda. Injeksi bST (harian dan selang 14 hari) meningkatkan produksi susu, yang berarti telah terjadi peningkatan produk panas. Sebagai hewan homoeoterm, sapi akan mempertahankan keseimbangan panas sehingga kelebihan produk panas harus segera dikeluarkan agar keseimbangan panas dapat tetap dipertahankan dan dimanifestasikan pada suhu tubuh yang relatif konstan. Cara pengeluaran kelebihan panas dapat dilakukan melalui berbagai proses seperti radiasi, konveksi, konduksi dan evoporasi. Pengeluaran panas melalui evaporasi yaitu peningkatan pernapasan dipandang lebih efektif karena pada umumnya ternak tidak mempunyai kelenjar keringat dalam jumlah banyak (Soeharsono 1984). Dalam pengamatan ini tampaknya peningkatan frekuensi pernapasan yang terjadi dapat mendukung proses homeostasis berjalan lancar. Peningkatan frekuensi pernapasan yang diperoleh dari hasil pengamatan

(3)

relatif kecil hal ini berkaitan erat dengan waktu pengamatan yang dilakukan pada pagi hari antara pukul 5.00-6.00 dan pengukuran siang pada pukul 13.00-14.00 sehingga sapi belum mendapat pakan sehingga kisaran frekuensi pernapasan secara bilangan relatif lebih rendah dan perbedaan antarperlakuan berada dalam kisaran yang sempit.

Suhu tubuh merupakan manifestasi akhir dari seluruh rangkaian proses metabolisme yang terjadi dalam tubuh. Sapi uji sebagai hewan homoioterm akan selalu memelihara/mempertahankan keseimbangan panas (Hafez 1968). Pada pengamatan ini terjadi peningkatan produksi susu, yang mengindikasikan adanya penambahan produk panas tubuh selain panas tubuh dari metabolisme untuk kelangsungan hidup pokok. Semakin tinggi produksi susu yang dihasilkan berarti semakin bertambah panas yang terbentuk, yang pada gilirannya merupakan beban panas yang harus segera dikeluarkan. Setiap terjadi pergeseran keseimbangan panas antara produksi panas dalam tubuh akan segera diikuti dengan upaya pengembalian ke dalam keadaan seimbang (homeostasis).

Hasil pengamatan menunjukkan rataan suhu tubuh sapi uji terdapat dalam kisaran 38,51 sampai 38,59ºC, yang masih termasuk dalam kisaran suhu normal yaitu 38,00-39,30ºC (Williamson&Payne 1978) atau 38,6ºC (McDowell 1972; Robinson 1992). Sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari memiliki suhu tubuh 1,3% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, sedangkan sapi yang mendapat injeksi bST harian justru lebih rendah 0,8% dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan suhu tubuh pada sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari mengindikasikan adanya peningkatan produksi susu (Tarazon-Herrera 1999). Peningkatan suhu tubuh selama pemberian ST masih tetap dalam variasi yang normal dan tidak berbahaya terhadap sistem termoregulasi fisiologis hewan uji (Manalu 1991). Dalam proses homeostasis, tampak upaya penyeimbangan panas telah dilakukan melalui evaporasi, yaitu dengan peningkatan frekuensi pernapasan, bahkan peningkatan denyut jantung. Pada injeksi bST harian atau selang 14 hari, beban panas dikeluarkan melalui peningkatan pernapasan sebesar 1,8– 5,0% dan 4,8–6,9% melalui peningkatan denyut jantung.

Nilai hematokrit dan kadar hemoglobin dalam keadaan normal secara berturut-turut adalah 24– 40% dan 8–14 gr/dL (Phipps 1989). Sapi-sapi akan

mengalami penurunan nilai hematokrit dan kadar hemoglobin setelah partus sampai 3 atau 4 bulan masa laktasi (Eppard et al.1989), yang diduga sebagai akibat peningkatan

(4)

produksi susu sehingga penggunaan asam amino atau protein difokuskan untuk sintesis susu. Keadaan tersebut diduga berdampak pada suplai asam amino untuk pembentukan sel darah merah, atau lebih spesifik terjadinya kelambatan pendewasaan sel darah merah yang akan berpengaruh pada peran hemoglobin dalam pengikatan oksigen yang dibutuhkan dalam metabolisme.

Hasil pengamatan memperlihatkan injeksi bST (harian dan selang 14 hari) tidak mempengaruhi nilai hematokrit. Nilai hematokrit berada dalam kisaran antara 28,02 dan 30,08%. Tampak pada injeksi bST (harian dan selang 14 hari) nilai hematokrit menunjukkan peningkatan walau tidak secara nyata. Kecenderungan peningkatan nilai hematokrit dipacu oleh neraca nitrogen tubuh dan status pakan, yang pada saat pengamatan berada dalam neraca positif. Keadaan tersebut di atas turut memperkuat hasil pengamatan

Hasil pengamatan memperlihatkan injeksi bST (harian dan selang 14 hari) tidak mempengaruhi kadar hemoglobin. Kadar hemoglobin yaitu berkisar antara 9,46 dan 10,19 gr/dL. Tampak pada sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari memiliki kadar hemoglobin lebih tinggi 0,41 % dibandingkan kontrol atau sapi yang diinjeksi bST harian, sedangkan penambahan 25% konsentrat lebih tinggi (0,65%) dibandingkan dengan sapi yang mendapatkan pakan Balai saja. Keadaan tersebut di atas turut memperkuat hasil pengamatan dilaporkan Phipps (1989) bahwa sapi yang mendapat injeksi bST umumnya memiliki nilai hematokrit dan kadar hemoglobin yang relatif sama dan masih terdapat dalam kisaran normal. Secara rinci kisaran normal nilai hematokrit dan kadar hemoglobin secara berturut-turut adalah 24-40% dan 8-14 gr/dL. Hasil pengamatan Phipps (1989) menunjukkan nilai hematokrit untuk sapi kontrol adalah 30,10% dan 26,10% untuk sapi yang dinjeksi bST, sedangkan kadar hemoglobin untuk sapi kontrol dan sapi yang diinjeksi bST secara berturut-turut adalah 11,5 gr/dL dan 10,00 gr/dL. Sapi akan memperlihatkan penurunan nilai hmatokrit atau kadar hemoglobin pada penggunaan bST dengan dosis yang tinggi (Phipps 1989).

Peningkatan produksi susu mengindikasikan terjadinya peningkatan aktivitas metabolisme dalam tubuh. Namun, hasil analisis beberapa metabolit penting antara lain glukosa, trigliserida, dan nitrogen urea serta hormon metabolism ternyata tidak

(5)

menunjukkan perbedaan pada sapi yang diinjeksi bST (harian dan selang 14 hari) atau ditambahkan konsentrat.

Glukosa merupakan prekursor yang dibutuhkan dalam sintesis laktosa. Laktosa berperan dalam mempertahankan osmolaritas air dan komponen-komponen dalam susu sehingga untuk menentukan peningkatan susu dapat dilakukan melalui kadar glukosa dan laktosa. Kadar glukosa darah pada ternak sapi berkisar antar 40 dan 60 mg% (Preston dan Leng 1987; Sutardi 1981). Pada sapi laktasi kadar glukosa lebih rendah daripada sapi yang tidak sedang laktasi (Akers 2002; Sutardi 1981). Rendahnya kadar glukosa pada sapi laktasi selalu dihubungkan dengan cepatnya up take glukosa dan penggunaan nutrien oleh kelenjar susu (Riis 1983).

Selama periode laktasi, glukosa dibutuhkan secara terus menerus sehingga diperlukan sumber glukosa untuk mencukupi proses sintesis susu dalam waktu yang relatif cepat, yaitu melalui perombakan cadangan energi yang tersimpan dalam tubuh. Salah satu di antaranya adalah glikogen, namun cadangan ini hanya tersedia dalam jumlah terbatas, dan selanjutnya akan dipasok melalui jalur glukoneogenesis yang terjadi di dalam hati (Rose & Obara 2000).

Rataan glukosa serum hasil pengamatan ini berada dalam kisaran 33,40 sampai 40,46 mg%, yang lebih rendah dari yang dilaporkan Sutardi (1981). Hal ini diduga erat kaitannya dengan waktu pengambilan sampel darah, yaitu 3–4 jam setelah pemberian pakan sehingga kadar glukosa cenderung sudah mengalami penurunan, yang diakibatkan oleh peningkatan laju up take glukosa oleh kelenjar susu. Injeksi bST dan penambahan konsentrat tidak mempengaruhi kadar glukosa serum. Namun, tampak ada kecenderungan kadar glukosa serum pada sapi yang mendapat injeksi bST harian sedikit lebih tinggi dari perlakuan kontrol atau injeksi bST selang 14 hari. Cepatnya laju up take glukosa mempunyai hubungan yang positif dengan laju peningkatan produksi susu sehingga pada sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari memiliki produksi susu yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Riis 1983)

Aksi Somatotropin pada sapi laktasi bekerja langsung sebagai antiinsulin (Eckert & Randall 1983; Kamil et al. 2001; Manalu 2001) dan pengaruhnya akan tampak beberapa jam setelah injeksi pertama dan setelah injeksi harian (Manalu 2001) pada seluruh jaringan tubuh nonkelenjar susu, dalam rangka penyesuaian metabolisme dan

(6)

homeostasis. Up take glukosa dan penggunaan glukosa pada seluruh jaringan non-kelenjar susu menjadi rendah (Etherton & Bauman 1998), yang ditandai dengan berkurangnya ekspresi transport glukosa dalam jaringan, namun terjadi peningkatan stimulasi lipolisis (Zhao et al.1996) yang akan menyebabkan rendahnya konsentrasi insulin dalam darah. Rendahnya kadar glukosa darah akan berdampak pada konsentrasi dan kerja insulin dalam rangka memfasilitasi glukosa masuk ke dalam sel, yang selanjutnya akan mempengaruhi aktivitas tiroksin dalam penyediaan ATP (Collier et al. 1984; Tucker 1984). Di samping itu bST akan meningkatkan aliran darah sehingga glukosa yang besama sirkulasi darah akan sampai pada kelenjar susu dan segera dimanfaatkan untuk kebutuhan sintesis susu.

Kadar trigliserida darah merupakan hasil antara laju penyerapan trigliserida hasil hidrolisis enzimatis lemak pada saluran pencernaan ke dalam aliran darah dan laju pemanfaatnya pada sel-sel hati, sebelum disintesis kembali dan disimpan dalam jaringan. Trigliserida adalah pembentuk lemak susu terbesar hampir 97 sampai 98% dan sekitar 2 sampai 3% lainnya berupa senyawa fosfolipid (Larson 1985; Lynch et al. 1992). Ketersediaan trigliserida harus bersama-sama dengan asam asetat dan beta hidroksibutirat dan prekursor lainnya , khususnya dalam penyediaan sumber karbon untuk sintesis asam lemak rantai pendek dan medium dalam proses de novo (Tanwattana 2002).

Hasil pengamatan menunjukkan trigliserida serum berkisar antara 92,8 dan 103,14 mg/dL. Injeksi bST atau suplementasi konsentrat ternyata tidak mempengaruhi kadar trigliserida serum. Kadar trigliserida yang diperoleh antara sapi kontrol dan sapi yang diinjeksi bST (harian dan selang 14 hari) berada dalam kisaran yang sama. Namun, kisaran kadar trigliserida pada penelitian ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil yang dilaporkan oleh Soderholm et al. (1988), yaitu pada pemakaian dosis bST 0; 10,3; 20,6 dan 41,2 mg/hari diperoleh kadar trigliserida secara berturut-turut 20,2; 24,2; 26,7; dan 25,4mg/dL,

sementara dari hasil pengamatan ini kadar trigliserida secara berturut-turut untuk sapi kontrol, sapi yang mndapat injeksi bST harian, dan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari adalah 97,79; 96,66, dan 101,15 mg/dL. Kadar trigliserida sapi yang diberi pakan Balai, dan sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat

(7)

adalah 97,79 dan 99,28 mg/dL. Perbedaan angka-angka hasil pengamatan ini disinyalir sebagai akibat dari laju hidrolisis pakan dan penggunaan pada metabolisme hati yang diduga bersumber dari bahan penyusun konsentrat.

Peningkatan produksi susu yang tidak seimbang dengan peningkatan konsumsi pakan akan menyebabkan pembongkaran cadangan nutrien dalam tubuh. Urea nitrogen merupakan produk metabolisme protein, dan kadar urea dijadikan indikator standar tingkat kebutuhan protein selama laktasi. Peningkatan kadar urea menggambarkan tingkat penggunaan protein khususnya perombakan protein untuk memenuhi kebutuhan energi dalam sintesis susu. Selama kebuntingan dan laktasi, konsentrasi nitrogen urea dapat pula meningkat sejalan dengan peningkatan penggunaan protein dan konsumsi protein pakan, dan akan menurun bila konsentrasi protein dan komsumsi protein menurun.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa injeksi bST dan penambahan konsentrat tidak mempengaruhi konsentrasi nitrogen urea darah. Namun, ada kecenderungan pada sapi yang diinjeksi bST (harian dan selang 14 hari) konsentrasi nitrogen urea mengalami penurunan sebesar 0,5% pada injeksi harian, dan 3,7% pada injeksi selang 14 hari dibandingkan dengan sapi kontrol. Pada injeksi bST harian dan selang 14 hari terjadi peningkatan produksi susu 17 sampai 26% namun tidak tampak berbeda dengan kontrol. Kadar nitrogen urea hasil pengamatan berkisar antara 0,96 dan 1,16 mg/mL atau setara dengan 15,95 dan 19,20 mmol/L. Kisaran kadar nitrogen urea darah tersebut ternyata jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan Soderholm et al. (1988), yaitu sapi yang mendapat injeksi bST dengan dosis berturut-turut sebesar 0; 10,3; 20,6; dan 41,2 mg/hari diperoleh kadar nitrogen urea dalam darah secara berturut-turut sebesar 17,8; 16,4; 17,1 dan 15,2 mg/dL atau setara dengan 0,178; 0,164; 0,171 dan 0,152 mg/mL. Sementara itu, kadar nitrogen urea darah sapi yang diinjeksi bST dan ditambahkan konsentrat pada level energi dan protein kasar tinggi

memperlihatkan kadar nitrogen urea 5,7 mmol/L untuk sapi kontrol, dan 4,0 mmol/L untuk sapi yang diinjeksi bST (McGuire et al. 1992). Kadar nitrogen urea sangat bergantung pada kondisi pakan bukan disebabkan telah terjadinya perombakan protein untuk kebutuhan energi sehingga tinggi rendahnya angka yang diperoleh menggambarkan peningkatan penggunaan protein. Level nitrogen urea sel tidak

(8)

konsisten selama masa laktasi dan perubahan konsentrasi protein dan metabolit darah tidak sepenuhnya dimediasi oleh hormon (Mege 2004). Peningkatan nitrogen urea hasil pengamatan diduga akibat pasokan protein pakan berlebih sehingga kelebihan protein harus dideaminasi menjadi amonia dan sebagian besar lainnya ditransformasi kembali menjadi urea dan selanjutnya memasuki aliran darah untuk segera diekskresikan melalui urin (NRC 1988).

Hormon kortisol selalu dihubungkan dengan glukosa dan berfungsi dalam mengatur proses fisiologis dan biokimia glukosa (Djojosoebagio 1990). Kadar kortisol yang berlebih akan merangsang produksi glikogen dan glukosa oleh hati dengan jalan meningkatkan konversi piruvat menjadi glikogen yang merupakan aksinya dalam mengatur pasokan gula darah melalui proses glukoneogenesis (Schmidt 1971; Djojosoebagio 1990). Di samping itu, kortisol merupakan hormon yang bertanggung jawab pada penanggulangan cekaman (Schmidt 1971).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa injeksi bST dan pakan tidak mempengaruhi kadar kortisol darah. Kadar kortisol hasil pengamatan berkisar antara 5,74 dan 7,31 ηg/mL. Namun, ada kecenderungan sapi yang diinjeksi bST (harian dan selang 14 hari) terjadi penurunan kadar kortisol, yang mengindikasikan pasokan glukosa melalui proses glukoneogenesis pada sapi yang diinjeksi bST harian lebih rendah sebesar 7,5%, dan sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari sebesar 5,97% lebih rendah dibandingkan sapi kontrol (6,72 ηg/mL). Kadar kortisol akan menjadi rendah saat pasokan glukosa sudah tercukupi atau dengan kata lain kortisol merupakan glucose sparing effect Di samping itu diduga pemberian injeksi yang dilakukan setiap hari pada sapi kontrol, dan sapi yang di injeksi bST harian menjadikan sapi kurang nyaman atau sedikit mengalami cekaman. Kadar kortisol yang diperoleh pada pengamatan ini berada di bawah hasil yang dilaporkan Peel (1983), yaitu 9,90 ηg/mL untuk perlakuan kontrol, dan 8,20 ηg/mL untuk injeksi bST. Johnson et al. (1991)

melaporkan bahwa kadar kortisol yang diperoleh dari sapi yang diinjeksi bST pada musim panas (farm) adalah 7,50 ηg/mL ternyata lebih rendah dibandingkan sapi kontrol, yaitu sebesar 10,20 ηg/mL.

Hormon-hormon tiroid bersifat galaktopoietik dan berperan mengatur fungsi kelenjar susu dan selalu dikaitkan dengan kalorigenesis, khususnya dalam proses

(9)

metabolisme. Tetraiodotironin (T4) merupakan prohormon yang memiliki aktivitas biologis yang rendah dalam sirkulasinya, sedangkan triiodotironin (T3) merupakan bentuk aktif T4 yang telah mengalami proses deiodinasi oleh enzim 5’deiodinase (5’D) (Kahl et al.1994). Enzim 5’deiodinase berperan penting dalam pengaturan berbagai status fisiologis (Akers 2002).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sapi yang mendapat injeksi bST (harian dan selang 14 hari) dan penambahan konsentrat tidak mempengaruhi konsentrasi T4 dan T3. Namun, tampak adanya kecenderungan bahwa konsentrasi T4 dan T3 pada sapi yang diinjeksi bST relatif lebih rendah dibandingkan sapi kontrol. Hal tersebut mengindikasikan bahwa hormon-hormon tiroid dalam sel non-kelenjar susu menjadi rendah, yang mencerminkan penurunan aktivitas metabolisme. Keadaan tersebut senada dengan hasil penelitian Kahl et al. (1995) bahwa injeksi bST dapat meningkatkan status hipotiroid pada jaringan non-kelenjar susu, dan mempertahankan status eutiroid (normal) pada kelenjar susu, keadaan tersebut di atas untuk memberi prioritas metabolik pada kelenjar susu. Pada sapi laktasi, jaringan non-kelenjar susu berada dalam status hipotiroid sehingga konsentrasi T3 sebagai agen kalorigenesis mengalami penurunan. Triiodotironin merupakan hormon yang erat kaitannya dengan penyediaan ATP walau belum jelas bagaimana mekanismenya (Kahl et al. 1995). Penurunan konsentrasi T3 serum lebih jauhnya akan mengurangi efek kalorigenesis yang kerap ditimbulkan oleh T3 pada gilirannya akan membantu ternak dalam proses homeostasis (Johnson et al 1991). Hal ini memperkuat pernyataan Riis (1983) bahwa terdapat korelasi negatif antara produksi susu dengan konsentrasi tiroksin dalam darah.

Pada ternak laktasi, injeksi bST akan meningkatkan aktivitas enzim 5’deiodinase dalam kelenjar susu yang diikuti dengan peningkatan 5’D pada kelenjar susu (Capuco et al.1989). Antara aktivitas 5’D dalam kelenjar susu dan

produksi susu terjadi hubungan positif pada sapi laktasi yang diinjeksi bST dalam jangka pendek. Peningkatan produksi susu diikuti dengan peningkatan aktivitas 5’D pada kelenjar susu, sementara pada hati dan ginjal aktivitas 5’D tidak mengalami perubahan (Kahl et al.1995).

Hasil pengamatan pada sapi yang mendapat injeksi bST (harian dan selang 14 hari) menunjukkan tidak berbeda dibandingkan kontrol. Pada Tabel 8 dapat dilihat

(10)

bahwa konsentrasi T3 dan T4 pada sapi yang mendapat injeksi bST (harian dan selang 14 hari) lebih rendah dibandingkan kontrol. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aktivitas metabolisme tiroksin dalam sel non-jaringan kelenjar susu menjadi rendah sekali. Kisaran kadar T4 dan T3 pada penelitian ini (secara berturut-turut adalah dari 0,96 sampai 1,12 ηg/mL; 26,20 sampai 32,81 ηg/mL) tidak terpaut jauh dari hasil pengamatan Peel (1983), (secara berturut-turut T4 dan T3 adalah 37,60; 0,85 ηg/mL untuk sapi kontrol, dan 29,0; 0,75 ηg/mL untuk sapi yang diinjeksi bST). Demikian pula hasil pengamatan yang dilaporkan Johnson et al. (1991) bahwa sapi yang mendapat injeksi bST pada musim panas (farm) memiliki kadar T4 dan T3 yang lebih rendah (masing-masing sebesar 36,20; 1,32 ng/mL) dibandingkan sapi kontrol ( yaitu sebesar 32,60; 1,21 ηg/mL).

Somatotropin dikenal sebagai hormon perangsang yang termasuk ke dalam golongan hormon protein yang diproduksi oleh sel-sel somatotrof kelenjar pituitari (Djojosoebagio 10090; Kamil et al.2001; Manalu 2001). Somatotropin dapat bekerja secara langsung sebagai antiinsulin, khususnya pada hewan laktasi dengan meningkatkan lipolisis dan efek diabetogenik (Kamil et al.2001), sedangkan efek tidak langsung merangsang hati untuk meningkatkan sintesis somatomedin atau insulin-like growth factor-I (IGF-I) yang selanjutnya IGF-I berperan memediasi peran ST dalam kelenjar susu (Sharma et al.1994; Manalu 2001). Injeksi bST akan mempengaruhi konsentrasi ST di dalam darah (Manalu 2001).

Hasil pengamatan selama 3 minggu yang dilakukan pada sapi uji pada masa praperlakuan, sapi uji sudah memasuki bulan laktasi 3-4 dengan rataan produksi susu (kg/minggu) awal pengamatan menunjukkan sapi berada dalam kisaran yang sama (koefisisn keragamana 14.37%). Rataan produksi sapi perah di BPPTP Cikole Lembang adalah 13-15 kg/ekor/hari. Saat pengamatan berlangsung

sapi telah memasuki bulan ke lima atau berada dalam kisaran rataan selama laktasi (100%). Sapi-sapi uji mempunyai produksi di atas rataan produksi sapi perah di Indonesia, yaitu 8-10L/ekor/tahun (Direktorat Jenderal Peternakan 2004). Secara keseluruhan selama pengamatan terjadi interaksi antara injeksi bST dan pakan. Pada level pakan Balai terjadi kenaikkan produksi susu, walau pada pemberian pakan Balai ditambah 25% konsentrat produksi susu cenderung menurun. Pada akhir pengamatan

(11)

(masa pascaperlakuan) tampak sapi memiliki rataan produksi yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan produksi awal pengamatan (prapenelitian) (Gambar 16).

Hasil pengamatan secara total selama 84 hari menunjukkan bahwa sapi uji memberikan respons positif pada injeksi bST (harian dan selang 14 hari) dengan pakan Balai, yaitu berupa peningkatan produksi susu sebesar 17 dan 26%. Namun, respons sapi uji menjadi negatif pada injeksi bST (harian dan selang 14 hari) dan pakan Balai ditambah 25% konsentrat, yang menyebabkan penurunan produksi susu sebesar 2,4 dan 22%. Derajat penurunan produksi susu pada sapi yang mendapat injeksi bST harian relatif kecil, yaitu dalam kisaran kurang dari 2,4% dibandingkan dengan sapi kontrol, sedangkan penurunan produksi susu sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari jauh lebih besar, yaitu sebesar 22% dibandingkan sapi kontrol.

Pakan Balai yang dipergunakan dalam penelitian ini, merupakan pakan yang disusun oleh BPPPT Cikole. Kandungan nutrisi pakan sapi penelitian, dihitung berdasarkan hasil analisis proksimat Balai Pengujian Sarana Produksi Peternakan (UPTD BPS PP). Pakan Balai terdiri atas bahan kering sebesar 17,93 kg, protein kasar sebesar 2,13 kg, dan TDN sebesar 11,78 kg. Kandungan nutrisi pakan tersebut di atas melebihi angka kebutuhan sapi uji (Tanuwiria 2005). Namun dari hasil pengamatan selama 12 minggu tampak sapi uji masih dapat memberikan respons positif atau dapat mendukung fungsi bST yang dimediasi oleh IGF-I dalam kelenjar susu yang dimanifestasikan dengan meningkatkan produksi susu

Penambahan 25% konsentrat pada sapi kontrol (yang tidak mendapat injeksi bST) mampu meningkatkan produksi susu sebesar 15% dibandingkan produksi susu sapi kontrol dengan pakan Balai saja. Selang waktu injeksi bST

pada level pakan Balai secara konsisten memperlihatkan perbedaan produksi susu. Sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan hasil injeksi bST harian yang terpaut sebesar 9 sampai 10%. Peningkatan produksi susu yang diperoleh dalam penelitian ini masih dalam kisaran 15 – 40% (Bauman 1992; Raymond & Sorensen 1989) atau kisaran yang umum adalah 10-20% ( Eppard 1988). Namun, pada level pakan Balai ditambah 25% konsentrat, produksi susu sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari memperlihatkan penurunan yang jauh lebih besar (14%). Hal tersebut memperkuat pernyataan peneliti sebelumnya (Prosser & Mepham

(12)

1989; Manalu 1994) bahwa somatotropin dan IGF-I dalam aksinya sangat sensitif dengan status nutrisi, metabolik dan steroid.

Injeksi bST dianjurkan untuk digunakan sesaat setelah sapi mencapai puncak laktasi (6–8 minggu postpartum) (Rose & Obara 2000), namun penelitian ini dilakukan pada sapi bulan laktasi ketiga dan keempat. Saat puncak laktasi produksi susu yang dihasilkan mencapai 145% dari rataan produksi susu selama laktasi. Pada saat perlakuan diberikan sapi sudah memasuki bulan kelima laktasi dan produksi susu yang dihasilkan sama dengan rataan produksi satu periode laktasi (Tanuwiria 2004). Penurunan produksi susu diakibatkan oleh laju penurunan aktivitas sel-sel sekretoris atau perubahan sel-sel sekretori yang aktif menjadi sel-sel yang nonaktif dan peningkatan involusi sel-sel epitel kelenjar susu yang berlangsung lambat namun alami (Etherton & Bauman 1998).

Walau pengamatan sudah memasuki bulan laktasi kelima saat produksi terlihat menurun, bST sebagai agen homeorhesis mampu meningkatkan produksi susu. Keadaan tersebut merupakan salah satu peran bST dalam meningkatkan persistensi laktasi dengan meningkatkan proliferasi sel kelenjar susu (Capuco et al. 2001) khususnya dalam proses adaptasi metabolisme dengan jalan mensuplai kebutuhan nutrien melalui penghambatan oksidasi di seluruh jaringan tubuh nonkelenjar susu serta meningkatkan aktivitas sel-sel sekresi melalui peningkatan aliran darah yang menuju kelenjar susu (Tucker 2000). Kerja bST sebagai alat kontrol homeorhesis adalah menyelaraskan rangkaian metabolisme dalam tubuh, khususnya dalam rangka meningkatkan sintesis susu. Keadaan tersebut memperkuat dugaan telah terjadi penggalangan nutrien (substrat dan prekursor)

yang difokuskan untuk kelenjar susu dalam rangka peningkatan sintesis susu (Key et al. 1997; Akers 2002). Somatotropin memanipulasi produksi susu dengan meningkatkan sensitivitas jaringan perifer pada sinyal homeostasis (Keys et al. 1997).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa produksi susu selama 84 hari (12 minggu) ternyata secara bertahap mengalami penurunan. Persentase penurunan produksi mencerminkan persistensi laktasi dari sapi uji. Selisih produksi susu antara bulan pertama dan kedua, pada sapi yang mendapat injeksi bST harian memperlihatkan penurunan cukup tinggi (10%), sedangkan sapi yang mendapat injeksi

(13)

bST selang 14 hari adalah sebesar 6,7%, dan produksi susu sapi kontrol sebesar 4,6%. Selisih produksi susu antara bulan kedua dan ketiga pada sapi yang diinjeksi bST harian adalah sebesar 5,5%, sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari adalah sebesar 4,3%, dan sapi kontrol adalah sebesar 6,2%. Secara keseluruhan, angka laju penurunan berada dalam kisaran 4,3 sampai 10,0%. Tingginya laju penurunan (bulan pertama dan kedua) produksi susu sapi yang diinjeksi bST harian (10%) lebih cenderung disebabkan oleh kurang nyaman dengan perlakuan injeksi setiap hari, sedangkan pada bulan berikutnya (selisih bulan kedua dan ketiga) laju penurunan produksi susu berada dalam kisaran antara 4,3 dan 5,5% untuk sapi yang mendapat injeksi bST (harian dan selang 14 hari), dan 6,2% untuk produksi susu sapi kontrol. Hasil pengamatan tersebut di atas menunjukkan peran bST dalam proses galaktopoietik. Laju penurunan produksi susu menunjukkan persistensi produksi susu. Walau sapi-sapi berada pada bulan laktasi antara kelima dan ketujuh namun sapi yang diinjeksi bST (harian dan selang 14 hari) memiliki angka persistensi sedikit lebih tinggi dibandingkan sapi kontrol. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Akers (2002) bahwa bST merupakan alat untuk menstimulasi produksi susu pada sapi laktasi. Angka persisten pada sapi laktasi pertama sebesar 6% per bulan, sedangkan pada sapi laktasi kedua dan seterusnya sebesar 9% per bulan (Akers 2002).

Tampak bahwa injeksi bST selang 14 hari menghasilkan susu yang lebih tinggi dibandingkan injeksi bST harian, terpaut hampir 9-10%. Peningkatan produksi mengikuti persamaan garis hubungan antara produksi susu dengan waktu perlakuan. Tampak produksi susu dari injeksi bST selang 14 hari menghasilkan

rataan produksi di atas injeksi bST harian. Fenomena yang terjadi dapat diartikan bahwa selang waktu injeksi bST erat kaitannya dengan konsentrasi ST dalam darah yang pada gilirannya menyebabkan perbedaan respons dalam proses adaptasi metabolisme dalam tubuh khususnya jaringan dan organ.

Pola injeksi bST harian seperti yang dilaporkan Manalu (1994), akan menghasilkan puncak konsentrasi ST dalam darah 8 jam setelah injeksi bST dan menurun ke konsentrasi basal 24 jam setelah injeksi sehingga penggunaan bST yang berkesinambungan selama 84 hari akan menggambarkan siklus periodik konsentrasi ST yang stabil. Pada injeksi bST selang 14 hari, puncak konsentrasi ST dalam darah dicapai

(14)

3 hari setelah injeksi (Schams 1989a) namun puncak produksi susu dicapai dalam waktu yang bervariasi bergantung pada produk yang dipergunakan (Chilliard 1989). Puncak produksi dicapai pada 3 (Schams et al .1989b), 5–7 (Manalu 1994), dan 7–9 hari ( Gallo et al. 1994) setelah injeksi bST dan selanjutnya akan diikuti dengan penurunan produksi sampai hari ke-14. Pada umumnya produksi susu akan berangsur meningkat dalam kurun waktu 2/3 dari 14 hari pertama dan 1/3 waktu berikutnya menunjukkan penurunan produksi, yang besar kemungkinan disebabkan oleh penurunan konsentrasi ST dalam darah sehingga akan berdampak pada pemacuan laju aliran darah, dan stimulasi pada organ lainnya (Barbano et al.1992). Sementara itu pendapat lain menyatakan bahwa pemakaian bST selang 14 hari menghasilkan produksi susu lebih rendah namun dipandang lebih efisien khususnya untuk aplikasi di lapangan (Akers 2002; Chilliard 1989; Peel & Bauman 1987), lebih rincinya hasil produksi susu dari injeksi bST selang 14 hari hanya 70% -79% dari injeksi bST harian ( Chilliard 1989; Jenny et al.1992).

Hasil pengamatan menunjukkan hasil yang berbeda dari hasil penelitian sebelumnya. Interaksi antara injeksi bST dan penambahan konsentrat memperlihatkan bahwa injeksi bST selang 14 hari justru secara konsistensi lebih tinggi daripada hasil injeksi bST harian, khususnya pada pakan Balai. Keadaan tersebut diduga disebabkan beberapa faktor, terutama preparat bST yang digunakan pada penelitian ini berbentuk slow release. Mekanisme kerja preparat slow release dirancang satu kali injeksi dalam konsentrasi tinggi untuk kurun waktu tertentu (14, 28 hari), yang kerjanya relatif lambat karena terikat dalam bentuk oil, dan dibebaskan ke dalam darah secara bertahap (sedikit demi sedikit) disesuaikan dengan kebutuhan fisiologis tubuh.

Tampak dalam penelitian ini bahwa puncak produksi susu dicapai secara bertahap dan sangat bergantung pada produk yang digunakan ( Gambar 16). Hal tersebut akan berpengaruh ketika digunakan secara harian, dan efek kerjanya akan lebih lambat dari sediaan yang biasa digunakan harian, yang umumnya berbentuk water/saline. Puncak konsentrasi ST dalam darah dicapai 8 jam setelah injeksi (Manalu 2001) sehingga dengan menggunakan preparat slow release, puncak konsentrasi ST dalam darah dicapai lebih lambat. Konsentrasi ST dalam darah berkorelasi positif dengan produksi susu. Di samping itu, faktor lain yang turut mempengaruhi produksi

(15)

susu adalah pemberian injeksi harian sedikitnya akan menimbulkan keadaan yang kurang nyaman (cekaman) dibandingkan dengan injeksi selang 14 harian akan tampak jika dihubungan dengan konsentrasi kortisol serum yang diperoleh dari hasil pengamatan ini.

Penambahan 25% konsentrat pada pakan Balai dirancang untuk mengantisipasi peningkatan produksi susu akibat injeksi bST, seperti halnya dilaporkan peneliti sebelumnya bahwa kisaran kenaikan produksi sangat bervariasi, namun kisaran yang banyak dilaporkan adalah sebesar 5 kg/hari (Manalu 2001) atau berkisar dari 15 sampai 25% (Chilliard 1989).

Hasil pengamatan selama bulan pertama, bulan kedua, dan total produksi selama 84 hari memperlihatkan bahwa penambahan 25% konsentrat pada sapi kontrol dapat meningkatkan produksi susu sebesar 20% untuk bulan pertama dan 18% untuk bulan kedua. Pada ternak ruminansia, energi merupakan faktor pembatas utama untuk mendapatkan produksi susu yang tinggi (Schmidt 1971). Pada umumnya pakan sapi perah terdiri atas hijauan dan konsentrat. Hijauan merupakan bahan penyusun pakan terbesar dan konsentrat hanya sebagai tambahan. Imbangan bahan kering antara hijauan dan konsentart akan mempengaruhi produksi dan komposisi susu. Pakan akan mengalami fermentasi di dalam rumen dan menghasilkan sejumlah asam lemak terbang (asam asetat, propionat dan butirat dengan perbandingan 70:20:10) yang selanjutnya akan digunakan sebagai sumber energi bagi ternak ruminansia. Di dalam rumen, hijauan tertahan relatif lebih lama sehingga dapat menghasilkan asam asetat yang

lebih tinggi. Asam asetat sangat dibutuhkan dalam pembentukan lemak susu dan berkorelasi positif dengan kadar lemak susu. Sebaliknya, fermentasi konsentrat dalam rumen relatif lebih singkat dibandingkan dengan hijauan (Siregar 1990). Jumlah konsumsi hijauan akan mempengaruhi asam asetat yang dihasilkan , sedangkan konsentrat cenderung mempengaruhi produksi asam propionat (Sutardi 1981). Imbangan antara hijauan dan konsentrat akan berdampak pada produksi dan komposisi susu sehingga pada aplikasi di lapangan sangat bergantung pada tujuan yang dikehendaki, yaitu peningkatan kualitas atau kuantitas susu (Sudono 1985; Siregar 1990). Perbandingan hijauan dan konsentrat cukup bervariasi 50:50, 60:40, 70:30, bahkan 90:10. Untuk mencapai produksi susu yang tinggi dengan tetap

(16)

mempertahankan kadar lemak dalam batas normal, imbangan ideal antara hijauan dan konsentrat adalah 60:40 (dalam bahan kering) (Siregar 1990). Pada pengamatan ini, imbangan bahan kering antara hijauan dan konsentrat berbanding seperti 50:50 untuk pakan Balai (P1), dan 45:55 untuk pakan Balai ditambah 25% konsentrat (P2) (Tabel 3).

Penambahan 25% konsentrat pada pakan Balai, yaitu pakan dengan imbangan hijauan dan konsentrat 45:55 akan mengubah kandungan nutrien pakan yang pada gilirannya jumlah nutrien yang dikonsumsi. Rasio asam lemak terbang hasil fermentasi akan mengalami perubahan, sebab produksi asam propionat cenderung meningkat (Siregar 1990; Akers 2002). Asam propionat merupakan asam lemak glukogenik di dalam rumen yang berdifusi pada dinding rumen dan masuk ke dalam hati dan dirombak menjadi glukosa (Anggorodi 1979). Pada hewan ruminansia hampir 85% kebutuhan glukosa diperoleh melalui jalur hasil fermentasi dan hanya 15% saja berasal dari pakan langsung (Knapp et al. 1992), yang selanjutnya digunakan untuk kebutuhan metabolisme (Granner 1997). Proporsi asam lemak terbang dalam cairan rumen bervariasi bergantung pada jenis pakan dan jam setelah makan (Preston dan Leng 1987) dan hampir 60% asam propionat akan diubah menjadi glukosa sehingga tersedia tambahan pasokan glukosa.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penambahan 25% konsentrat pada pakan Balai pada perlakuan kontrol (yang tidak mendapat injeksi bST) dapat meningkatkan produksi susu sebesar 15% dikarenakan ada tambahan pasokan

glukosa dari perombakan asam propionat hasil fermentasi rumen dijadikan glukosa. Hasil tersebut memperkuat pernyataan tersebut di atas bahwa meningkatnya produk asam propionat yang bersifat glukogenik selanjutnya akan digunakan sebagai sumber glukosa melalui proses glukoneogenesis (Schmidt 1971; Granner 1997).

Sapi yang diinjeksi bST harian atau selang 14 hari dan penambahan 25% konsentrat, justru memberikan hasil yang lebih rendah (secara berturut-turut adalah kurang dari 2,4%, dan 15%) dibandingkan dengan sapi kontrol. Pakan Balai ditambah 25% konsentrat pada dasarnya dirancang untuk dapat meningkatkan kualitas pakan yang dibutuhkan untuk mengantisipasi peningkatan produksi susu sebagai respons injeksi bST namun peran bST dalam partitioning nutrient akan mempengaruhi proses metabolisme dalam tubuh. Injeksi bST akan meningkatkan konsentrasi ST dalam darah.

(17)

Kehadiran sejumlah besar reseptor somatogenik pada hati akan merespons injeksi bST dengan meningkatkan laju sintesis IGF-1 (Manalu 2001). Produksi sintesis IGF-I hampir sebagian besar (55%) berasal dari hati (Kamil et al. 2001). Selanjutnya IGF-I berperan memediasi kerja ST di dalam kelenjar susu, karena reseptor ST sangat kecil jumlahnya bahkan hampir tidak didapatkan di dalam kelenjar susu (Manalu 2001). Reseptor IGF-I banyak dijumpai pada jaringan kelenjar susu, dan meningkat selama laktogenesis, bahkan pada penggunaan bentuk bST slow release konsentrasi IGF-1 dapat meningkat sebesar 2–5 kali (Schams et al.1989). Laju sintesis IGF-I akan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi ST (Weber et al.2000), namun aksi IGF-1 akut sensitif terhadap perubahan status nutrisi (Proser & Mepham 1989; Djojosoebagio 1990; Vicini et al. 1995), steroid (Sharma et al.1994) dan metabolik (Djojosoebagio 1990) sehingga dalam status neraca energi positif, penambahan 25% konsentrat (pakan energi tinggi dan protein kasar tinggi) cenderung menjadikan IGF-I menjadi kurang responsif terhadap aksi ST. Pada saat nutrien berlimpah (pakan energi tinggi dan protein tinggi) konsentrasi IGF-I akan meningkat dan diduga peningkatan konsentrasi IGF-I merupakan akumulasi dari IGF-I lokal yang dihasilkan melalui proses autokrin dan parakrin (Kamil et al 2001). Selanjutnya akan bekerja sama dalam melakukan proses anabolisme bersama insulin, yang akan mengalihkan kelebihan energi dalam bentuk lain, yaitu pertambahan bobot tubuh atau lebih spesifik penyimpanan dalam bentuk lemak, otot atau jaringan lemak pada kelenjar susu. Dalam pengamatan ini interaksi antara injeksi bST dan pakan yang terjadi pada pertambahan bobot tubuh. Tampak sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari dan penambahan 25% konsentrat memiliki penambahan bobot badan (10%) yang jauh lebih besar dari perlakuan lainnya.

Disisi lain, kondisi nutrisi tinggi atau berlimpah akan menyebabkan penurunan konsentrasi ST (Radcliff et al. 2004; Weber et al.2000) yang pada gilirannya akan berdampak pada adaptasi metabolisme dalam tubuh. Rendahnya produksi susu yang dihasilkan diduga merupakan manifestasi dari konsentrasi ST yang rendah sehingga aktivitas penggalangan nutrisi menuju kelenjar susu, pemompaan aliran darah atau curah jantung menjadi rendah yang pada gilirannya akan berdampak pada rendahnya aktivitas sintesis susu. Senada dengan hasil penelitian yang dikemukakan oleh Vicini et

(18)

al. (1995) bahwa penambahan protein dan energi postruminal pada sapi yang mendapat pakan seimbang dan diberi injeksi bST eksogen ternyata tidak meningkatkan produksi susu, demikian pula hasil yang dilaporkan oleh Sejrsen et al. (2000), pemberian makanan secara ad-libitum dengan tingkat energi tinggi pada sapi dara akan mengakibatkan efek negatif yang diprediksi akan menurunkan potensi produksi susu pada masa laktasi berikutnya. Penelitian senada dari Weber et al. (2000) bahwa perlakuan ST dan level pakan pada kelenjar susu dari sapi prepubertal sebagian dimediasi oleh perubahan sintesis IGF-I dan IGFBP lokal. Level pakan tinggi akan memodulasi level protein IGF-I dan binding protein dalam ekstrak jaringan kelenjar susu.

Mengacu pada hasil penelitian sebelumnya, level pakan tinggi dan injeksi bST memicu peningkatan konsentrasi IGFBP3 dan penurunan konsentrasi IGFBP2. Walau belum diketahui jelas fungsi dari IGFBP tersebut, diduga keras kehadiran dari IGFBP3 sebagai reserve dari IGF-1, sedangkan IGFBP2 berperan menghambat aksi IGF-1 (Vicini et al. 1995; Weber et al.2000; Radcliff et al. 2004).

Persentase penurunan produksi susu pada sapi yang mendapat injeksi bST harian lebih rendah dibandingkan dengan sapi yang mendapat injeksi bST

selang 14 hari. Keadaan tersebut disebabkan oleh tingkat konsentrasi ST dalam darah (Bauman 1992). Pada injeksi bST harian konsentrasi ST dalam darah relatif lebih stabil selama perlakuan bST sehingga akan berdampak pada laju sintesis IGF-1, sedangkan injeksi bST selang 14 hari meningkatkan konsentrasi ST dan mencapai puncaknya dalam waktu 3 hari setelah injeksi bST. Keadaan tersebut berpeluang untuk memacu hati meningkatkan laju sintesis IGF-1 seiring dengan konsentrasi ST. Tinggi rendahnya konsentrasi ST dalam darah juga akan berdampak pada laju pasokan nutrisi dalam kelenjar susu yang disebabkan oleh peningkatan aliran darah (Tucker 2000). Dalam pengamatan ini tampak adaptasi metabolisme yang terjadi dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya konsentrasi ST dalam tubuh. Hasil pengamatan Peel dan Bauman (1987) menunjukkan bahwa pengaliran nutrisi pada sapi yang diberi perlakuan bST dengan peningkatan produksi susu sebesar 21%, diikuti oleh peningkatan curah jantung sebesar 10%, dan aliran darah sebesar 35%. Diperkuat oleh laporan

(19)

Tanwattana et al. (2002) bahwa selama perlakuan bST pada sapi laktasi akhir memperlihatkan peningkatan aliran darah dibandingkan dengan perlakuan kontrol.

Produksi susu pada bulan ketiga pengamatan menunjukkan tidak terjadi interaksi antara injeksi bST dan pakan, begitu pula faktor bST atau pakan tidak berpengaruh pada produksi susu. Produksi susu mengalami peningkatan 40 – 60 hari setelah partus sampai pada puncak laktasi, setelah itu akan diikuti dengan penurunan secara berangsur-angsur hingga akhir laktasi. Penurunan produksi susu pada tahap ini disebabkan berkurangnya sejumlah sel-sel epitel kelenjar susu yang aktif selama laktasi yang disebabkan oleh proses apoptosis (Capuco et al.2001). Injeksi bST selama laktasi akan dapat meningkatkan proliferasi sel-sel epitel kelenjar susu bahkan dapat mencapai 50%, namun tidak berpengaruh pada proses apoptosis sehingga rasio antara penambahan sel epitel kelenjar susu yang diakibatkan injeksi bST dengan pengurangan sel-sel epitel yang mati merupakan manifestasi tingkat persistensi. Pada pengamatan ini injeksi bST dilakukan pada sapi yang telah memasuki bulan laktasi keempat dan kelima sehingga pada pengamatan bulan ketiga sapi uji sudah memasuki tahap produksi yang paling rendah. Peningkatan jumlah sel-sel epitel akibat stimulasi bST diduga lebih rendah dari percepatan laju apoptosis sel epitel yang berlangsung secara alamiah.

Standardisasi produksi susu yang dikoreksi terhadap kadar 4% lemak (FCM), dipengaruhi oleh kadar lemak susu. Tingkat produksi susu yang dihasilkan berpengaruh pada kadar lemak dan ada kecenderungan berkorelasi negatif, namun sebagian peneliti menyatakan kadar lemak erat kaitannya dengan status keseimbangan energi. Hasil pengamatan menunjukkan produksi susu 4% FCM dari injeksi bST tidak berbeda. Namun, tampak kecenderungan hasil 4% FCM antarperlakuan menunjukkan bahwa injeksi bST selang 14 hari dan pakan Balai lebih tinggi. Hal ini erat kaitannya dengan peningkatan produksi susu yang diakibatkan oleh injeksi bST, sementara kadar lemak tidak berbeda. Hasil dari pengamatan ini turut memperkuat pernyataan Etherton & Bauman (1998), Jenny et al. (1992), Akers (2002), dan Muslim (2005).

Pada awal laktasi terjadi peningkatan produksi susu yang mengakibatkan penurunan kadar protein susu, namun seiring dengan penurunan produksi susu kadar protein berangsur-angsur meningkat sampai akhir laktasi (Schmidt 1971). Injeksi bST segera akan diikuti dengan peningkatan produksi susu sehingga sebagian besar protein

(20)

atau asam amino difokuskan untuk sintesis susu, dan akibatnya protein susu menjadi relatif rendah (Jenny et al. 1992; Akers 2002). Hal ini erat kaitannya dengan kecukupan asam amino intraseluler untuk sintesis susu, bukan oleh penurunan mRNA untuk protein susu atau kapasitas untuk mensintesis dan mensekresikan protein, namun oleh neraca nitrogen negatif (Prosser & Mepham 1989).

Injeksi bST dalam jangka pendek umumnya tidak mempengaruhi komposisi susu, namun dalam jangka panjang bisa terjadi perubahan yang diakibatkan oleh keseimbangan energi dan nitrogen (Barbano et al. 1992) sehingga hasil penelitian yang diperoleh menjadi tidak konsisten (Manalu 1994). Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa injeksi bST atau penambahan konsentrat tidak berpengaruh pada kadar protein susu. Hal tersebut memperkuat pengamatan Bauman (1992) dan Etherton & Bauman (1998) bahwa pada keseimbangan nitrogen positif, kadar protein susu tidak mengalami perubahan yang diakibatkan oleh injeksi bST.

Kadar lemak susu pada sapi perah akan mengalami peningkatan sejak partus sampai mencapai puncak laktasi (6–8 minggu setelah partus) dan diikuti

penurunan sampai akhir laktasi. Kadar lemak susu akan mengalami peningkatan saat keseimbangan energi negatif karena pada saat tersebut terjadi mobilisasi cadangan energi tubuh untuk digunakan dalam memasok kebutuhan untuk sintesis susu, di samping itu akan diikuti dengan peningkatan sintesis asam lemak di dalam sel-sel sekresi susu (Kim et al. 1997).

Hasil pengamatan menunjukkan kadar lemak susu berkisar dari 3,60 sampai 4,21% dan hasil ini ternyata lebih tinggi dari yang dilaporkan Schmidt (1971) dan Sudono et al. (2003), yaitu 3,5%. Injeksi bST berpengaruh pada produksi susu. Produksi susu berkorelasi negatif dengan kadar lemak susu sehingga peningkatan produksi susu yang diakibatkan injeksi bST secara persentase akan mengalami penurunan kadar lemak susu (Akers 2002). Dalam posisi neraca energi positif yang disertai injeksi bST tidak menyebabkan perubahan kadar lemak susu (Etherton & Bauman 1998). Hasil pengamatan ini memperkuat hasil penelitian Jenny et al. (1992) dan Akers (2002) bahwa injeksi bST secara total tidak berpengaruh pada komposisi susu karena komposisi susu cenderung lebih dipengaruhi oleh kecukupan antara energi dan nutrien, genetik, bangsa, umur laktasi, dan musim.

(21)

Kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL) diperoleh dari hasil pengurangan kadar bahan kering susu dengan kadar lemak susu (Sudono 1985). Protein dan laktosa merupakan komponen terbesar pada BKTL. Bahan kering tanpa lemak dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya komposisi susu (protein, lemak, laktosa, dan mineral) (Sudono et al. 2003). Banyak faktor yang mempengaruhi kadar BKTL di antaranya suhu lingkungan, masa kering kandang, nutrisi dan masa laktasi (Schmidt 1971). Seperti halnya lemak dan protein, kadar BKTL pada awal laktasi akan tinggi dan menurun cepat setelah puncak laktasi

Hasil pengamatan selama 84 hari menunjukkan kadar BKTL berkisar antara 7,01 dan 7,23%. Angka tersebut lebih rendah dari yang dilaporkan Sudono et al. (2003), yaitu 8,56% dan Setiadi (2006), yaitu 7,77%. Injeksi bST tidak berpengaruh pada kadar BKTL. Keadaan tersebut memperkuat hasil pengamatan Barbano et al. (1992) dan Muslim (2005), namun, bertendensi untuk menurunkan persentase kadar bahan kering tanpa lemak (Muslim 2005).

Bobot jenis dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya komposisi susu (protein, lemak, laktosa dan mineral) (Sudono et al. 2003). Hasil pengamatan selama 84 hari menunjukkan injeksi bST dan suplementasi konsentrat ternyata tidak mempengaruhi bobot jenis. Kisaran bobot jenis hasil pengamatan berkisar dari 1,0223 sampai dengan 1,0227 yang masih berada dalam kisaran normal. Hasil tersebut memperkuat hasil pengamatan Muslim (2005). Bobot jenis susu cenderung dipengaruhi oleh genetik, spesies, dan variasi individu (Schmidt 1971; Sujadmogo 1996).

Bobot tubuh sapi setelah partus akan mengalami penurunan akibat neraca energi negatif, yaitu energi pakan yang dikomsumsi tidak memenuhi kebutuhan untuk produksi susu (Sheffield & Anderson 1985) sehingga terjadi perombakan cadangan energi tubuh yang ditumpuk selama waktu akhir kebuntingan (Bine & Hart 1982). Setelah melewati puncak laktasi, bobot tubuh akan pulih kembali secara berangsur-angsur sampai pertengahan masa laktasi.

Bobot tubuh awal, bobot tubuh akhir, dan rataan bobot tubuh tidak menunjukkan perubahan selama injeksi bST atau suplementasi konsentrat. Setiap kelompok sapi uji merupakan kumpulan sapi laktasi 1, 2, 3, dan 4, yang mempunyai

(22)

kisaran bobot tubuh yang relatif sama antarperiode laktasi dan mempunyai bobot tubuh yang relatif seragam antarperlakuan (435–491 kg). Rataan pertambahan bobot tubuh selama pengamatan memperlihatkan telah terjadi interaksi antara injeksi bST dan pakan (Gambar 25). Tampak pada pemberian pakan Balai, injeksi bST harian dan selang 14 hari secara konsisten sapi uji mengalami penambahan bobot tubuh, yang dapat diartikan bahwa sapi tersebut sudah berada dalam neraca energi positif sehingga kelebihan energi mulai digunakan untuk memperbaiki performa atau mengganti cadangan energi tubuh yang telah dikuras selama neraca energi negatif (setelah partus sampai puncak laktasi) (Schmidt 1971). Pada pemberian pakan Balai ditambah 25% konsentrat, sapi kontrol dan sapi yang mendapat injeksi bST harian mengalami penurunan bobot tubuh secara berturut-turut 10,75; 15 kg (2,36; 3,23%), namun pada sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari mengalami peningkatan bobot tubuh 36 kg( 10,42%). Keadaan tersebut di atas , khususnya pada sapi kontrol dan sapi yang mendapat injeksi bST harian telah terjadi mobilisasi cadangan lemak tubuh untuk mensuplai sintesis susu, sedangkan pada sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari peningkatan bobot tubuh berkaitan erat dengan rendahnya produksi susu sehingga kelebihan energi dialihkan pada bobot tubuh. Hal tersebut diduga akibat kerja antara ST dan IGF-I yang saling berlawanan khususnya pada kondisi pakan enrgi tingi dan protein tinggi ( Eckert& Randall 198; Prosser & Mepham 1989).

Seperti telah dijelaskan dimuka peningkatan bobot tubuh pada pengamatan ini akibat dari kerja yang berlawanan antara ST dan IGF-I, yaitu pengalihan kelebihan energi. Peningkatan bobot tubuh dimungkinkan terjadi akibat antagonis kerja ST dan insulin. Kerja ST sebagai antiinsulin dengan cara menghambat kegiatan oksidasi di dalam jaringan nonkelenjar susu, ST bekerja beberapa jam setelah kegaiatan makan atau beberapa saat setelah aktivitas fisik (Eckert & Randall 1983). Di lain pihak, insulin bekerja pada saat kadar glukosa darah tinggi sehingga ada kecenderungan bahwa peningkatan kadar glukosa sesaat setelah makan akan menstimulasi sekresi insulin dari sel beta pankreas sehingga aktivitas insulin bekerja mendahului kerja ST, memfasilitasi pemasukan glukosa ke dalam sel dan dalam kegiatan tersebut juga terjadi pemasukan asam amino sehingga pada akhirnya memungkinkan terjadinya peningkatan bobot tubuh. Antara insulin dan ST bekerja antagonis, yang mana insulin aktif mendorong ke

(23)

arah lipogenesis sedangkan ST bekerja memacu lipolisis, namun dalam kegiatan anabolisme kedua hormon ini dapat bekerja saling menunjang (Faigin 2001). Sapi uji yang mendapat injeksi bST selang 14 hari dan diberi pakan Balai ditambah 25% konsentrat berada pada level nutrisi tinggi sehingga kerja IGF-I kurang responsif terhadap injeksi ST (Prosser & Mepham 1989). Pada level pakan tinggi, konsentrasi IGF-I cenderung meningkat, sementara konsentrasi ST justru mengalami penurunan sehingga penurunan konsentrasi ST akan menghambat proses adaptasi metabolisme sementara level pakan akan menstimulasi kerja insulin seperti telah dibahas pada produksi susu di atas. Dengan demikian, pada keadaan seperti ini peluang untuk peningkatan bobot tubuh melalui lipogenesis sangat dimungkinkan.

Konsumsi bahan kering merupakan kriteria yang penting dalam pakan sapi laktasi, khusus sapi yang berproduksi tinggi karena kebutuhan energi tidak terpenuhi akibat keterbatasan konsumsi bahan kering. Keterbatasan konsumsi bahan kering ini pada gilirannya akan berdampak pada penyusutan bobot tubuh atau penurunan produksi susu (NRC 1988). Untuk mengantisipasi peningkatan produksi susu sebagai respons terhadap injeksi bST dalam penelitian ini dirancang 25% konsentrat pada pakan Balai.

Hasil pengamatan selama 84 hari menunjukkan bahwa penambahan konsentrat nyata meningkatkan konsumsi bahan kering. Sapi yang diberi pakan Balai ditambah 25% konsentrat mempunyai konsumsi bahan kering yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan sapi uji yang mendapat pakan Balai saja. Berdasarkan perhitungan NRC (1988), angka kebutuhan bahan kering untuk sapi uji adalah 2,7% dari bobot tubuh, yaitu 12,15 kg/ekor/hari (dalam bahan kering). Rataan konsumsi bahan kering adalah 17,75 kg/ekor/hari untuk sapi yang diberi pakan Balai dan 19,66 kg/ekor/hari untuk sapi yang diberi pakan Balai ditambah 25% konsentrat. Konsumsi bahan kering sapi uji cukup memadai bahkan di atas angka kebutuhan, namun kualitas hijauan dan konsentrat pakan sangat bervariasi, khususnya di daerah tropis (Williamson & Payne 1993; Tanwattana 2003) sehingga akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan nutrien.

Konsumsi bahan kering dapat dijadikan sebagai peubah dalam penentuan efisiensi produksi susu. Angka efisiensi ditentukan dengan menggunakan rumus Varga (1984). Penilaian efisiensi yang dikemukakan oleh Varga (1984) dan Brody (1945) menunjukkan bahwa angka efisiensi produksi susu dipengaruhi oleh beberapa peubah,

(24)

yaitu produksi susu 4% FCM, konsumsi bahan kering, dan bobot tubuh. Pemberian tambahan 25% konsentrat pada pakan Balai menunjukkan konsumsi bahan kering yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang diberi pakan Balai saja, bila dikaitkan dengan efisiensi produksi susu ternyata tidak berbeda antar perlakuan bST (harian dan selang 14 hari) atau penambahan konsentrat. Dari hasil pengamatan (Tabel 9) tampak ada kecenderungan efisiensi produksi susu dari sapi yang mendapat injeksi bST harian atau selang 14 hari menunjukkan angka yang lebih tinggi. Hal ini diduga erat kaitannya dengan peran bST, yakni dapat meningkatkan efisiensi pakan, yang tergambar dari jumlah konsumsi bahan kering. Sapi uji yang mendapat injeksi bST dan diberi pakan Balai mengkonsumsi pakan lebih rendah dari sapi uji yang diberi pakan Balai ditambah 25% konsentrat. Produksi susu 4% FCM yang

dihasilkan sapi uji yang mendapat injeksi bST (harian dan selang 14 hari) dengan pakan Balai ternyata menunjukkan produksi yang lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya. Angka efisiensi produksi susu hasil pengamatan selama 84 hari menunjukkan berada dalam kisaran 12.08 sampai 17,96. Angka kisaran efisiensi produksi susu seperti yang dikemukakan oleh Brody (1945) yang disitir Supriat (1994) dibagi dalam tiga kategori, yaitu 10 sampai 24% untuk inferior producer, 25 sampai 34% termasuk good producer, dan 35 sampai 45% untuk superior producer. Hasil pengamatan menunjukkan efisiensi produksi susu masih termasuk dalam kategori inferior producer. Lebih rincinya, angka efisiensi produksi susu yang mendapat injeksi bST berada pada tingkat 17,35% (harian) dan 17,96% (selang 14 hari) khususnya yang mendapat pakan Balai. Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa injeksi bST yang diikuti dengan pemberian pakan Balai memperlihatkan angka efisiensi produksi susu yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Hal tersebut di atas memperkuat indikasi peran bST dalam meningkatkan efisiensi produksi susu (Jenny et al. 1992). Peningkatan efisiensi produksi susu walau dalam status manajemen inferior producer, bST memperlihatkan konsistensi sebagai agen hemorhesis yang pada gilirannya dimanifestasikan dengan angka efisiensi produksi susu yang lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Faktor utama yang besar pengaruhnya pada sapi laktasi yang diinjeksi bST adalah kualitas manajemen, yang lebih spesifik program pemberian pakan yaitu kecukupan atau keseimbangan nutrisi (Bauman 1992; Etherton & Bauman 1998). Tingginya angka efisiensi produksi susu

(25)

diduga erat kaitannya dengan fungsi fisiologis bST, hewan yang mendapat perlakuan bST akan memperlihatkan neraca nitrogen positif (Granner 1999).

Nilai kondisi ternak (Body Condition Score) merupakan penilaian kondisi ternak yang dikaitkan dengan manajemen pemberian pakan. Penilaian dilakukan dengan memperhatikan bagian tertentu yang umumnya sebagai tempat penyimpanan cadangan energi berupa bantalan lemak. Di antaranya bagian punggung (back), badan (waist), paha (haunch), pangkal ekor (roof of tail), tulang punggung (hip bone), pangkal paha (waist horn) dan tulang rusuk (rib) (Tanaka et al.2001). Nilai untuk sapi perah berkisar dari 1sampai 5. Nilai 1 menunjukkan sapi sangat kurus atau tidak ada perlemakan pada bagian belakang, sedangkan

nilai 5 untuk sapi yang sangat gemuk. Satu unit NKT setara dengan 57 kg bobot tubuh. Pada awal laktasi kehilangan bobot tubuh 0,5–1 kg/ekor/hari, sedangkan 1 kg bobot tubuh dimobilisasi untuk energi yang setara 7 kg susu, dan pada akhir laktasi peningkatan bobot tubuh berkisar antara 0,25 dan 0,5 kg/hari. Nilai kondisi ternak yang ideal untuk sapi perah pada awal laktasi adalah 2,5, 100 – 200 hari setelah partus adalah 2,5–3,5, 200 hari - kering kandang adalah 2,75–3,5, dan selama kering kandang adalah 3,25–3,5 (Tanaka et al. 2001; Alim 2002). Kondisi ternak umumnya akan memperlihatkan nilai yang relatif tinggi pada saat partus yang diikuti dengan penurunan hingga mencapai puncak produksi, dan selanjutnya NKT akan meningkat hingga akhir laktasi. Nilai kondisi ternak yang dianggap cukup baik untuk sapi perah berada dalam kisaran 2,5 sampai 3,25 (Alim 2002). Pada saat puncak produksi, terjadi penurunan bobot badan secara besar-besaran sementara selera makan beranjak meningkat secara lambat (Tanaka. 2001). Kondisi ternak saat kering kandang sangat berperan penting karena hampir hasil 85% metabolisme pakan akan diubah menjadi simpanan energi tubuh yang akan digunakan setelah partus (Bine & Hart 1982).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa NKT berada dalam kisaran 2,60–2,94, dan tidak berbeda antarperlakuan. Nilai kondisi ternak berada dalam kisaran NKT ideal (Alim 2002). Secara konsisten tidak ada perbedaan NKT pada bulan pertama, bulan kedua, dan bulan ketiga pengamatan. Nilai kondisi ternak dapat dijadikan tolok ukur untuk melihat penimbunan lemak tubuh atau cadangan energi tubuh. Pada injeksi bST akan cenderung terjadi penurunan penambahan bobot tubuh (Jenny et al.1992),

(26)

khususnya dalam penggalangan nutrien untuk sintesis susu. Aksi ST akan menghambat lipogenesis dan cenderung untuk menstimulasi lipolisis (Kamil et al. 2001). Dengan demikian, pada injeksi bST, NKT akan tampak lebih rendah dari NKT kontrol. Nilai kondisi ternak secara tidak langsung berkaitan dengan status neraca energi. Pada injeksi bST, neraca energi berada dalam kondisi positif, dimana bST menghambat lipogenesis tanpa menstimulasi lipolisis, namun pada status neraca energi negatif akan terjadi aktivitas lipolisis yang akan digunakan dalam mencukupi kebutuhan sintesis susu.

Intisari penelitian, injeksi bST dan penambahan 25% konsentrat pada sapi laktasi di dataran tinggi memperlihatkan peningkatan denyut jantung, frekuensi pernapasan namun masih dalam kisaran fisiologis normal, sedangkan suhu tubuh tidak mengalami perubahan sehingga status faali ternak tidak mengalami perubahan yang berarti. Metabolit dan hormon metabolisme yang diukur melalui kadar serum glukosa, trigliserida, dan nitrogen urea , serta hormon kortisol, T4 dan T3 tidak mengalami perubahan. Demikian pula bobot tubuh, efisiensi produksi susu, dan nilai kondisi ternak tidak menunjukkan perubahan. Namun demikian, terjadi interaksi antara injeksi bST dan pakan pada produksi susu dan pertambahan bobot tubuh. Sapi memberikan respons positif pada pemberian injeksi bST dan pakan Balai dengan peningkatan produksi susu sebesar 17-26%, sementara respons negatif terjadi pada sapi yang diinjeksi bST dan penambahan 25% konsentrat berupa penurunan produksi susu. Penurunan produksi susu pada injeksi bST selang 14 hari diikuti dengan pengalihan kelebihan energi dalam bentuk pertambahan bobot tubuh.

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan kasihNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

[r]

Ekspresi active caspase-3 pada kelompok I didapatkan lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan kelompok II yang diinjeksi MT SPM yang menunjukkan kemampuan media

Resis- tansi akan timbul karena tidak ada sarana untuk melakukan hal itu, suplemen hanya melengkapi sementara itu tidak ada suatu bentuk penerbitan/pengumuman resmi

Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi usus dari anjing terinfeksi virus parvo diperoleh hasil bahwa pada sampel anjing umur kurang dari dua bulan lesi hemoragi usus

Menggunakan Nama Hewan “ Hund”. Skripsi Departemen Pendidikan Bahasa Jerman, FPBS. Universitas Pendidikan Indonesia. Peribahasa merupakan salah satu aspek kebudayaan yang

Oleh sebab itu kebiasaan yang dibawanya sejak kecil, nilai yang dianut, sikap bawaan seseorang sangat mempengaruhi motivasinya; (b) Tingkat Pendidikan; guru yang

TEBAL PERKERASAN DAN RENCANA ANGGARAN BIAYA (RUAS JALAN KRASAK – PRINGAPUS)..