• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGAGEMAN TAKWA DI KRATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGAGEMAN TAKWA DI KRATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PENGAGEMAN TAKWA

DI KRATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

(Kajian Semitioka Terhadap Simbol-simbol Islam Dalam pakaian Sultan Sebagai Persentuhan Antara Nilai Islam Dengan

Budaya Jawa)

Oleh:

Mohammad Arif Setyabudi

Abstract: Semiotics is a branch of language philosophy discussing about symbols, signs, codes, and language utterances which becoming part of a language used as human communication device. Semiotics ascertains that all signs, symbols and other utterances used by human have some meaning, though sometimes the language receiver cannot understand them. Thus, here the task of semiotics is very important. Because everything resulted from creation, sensation, intention, and human works always have the certain aim and purpose. It is also found in the clothes as a societal symbol in Yogyakarta Palace. The Palace is only one of the examples of the Javanese culture and Islamic Kingdom fusion. Until now, they become the agreement of glorious values that has been recognized and preserved.

Key words: semiotics, Islamic value, and Javanese culture

(2)

A. PENDAHULUAN

Ada sebuah peribahasa Jawa yang mengatakan “Ajining diri saka Lati” kemudian “Ajining raga saka busana”, yang bermakna kemuliaan pribadi berasal dari lidah/ucapan dan kemuliaan jasmani berasal dari busana/pakaian.

Peribahasa di atas merupakan salah satu dari sekian banyak falsafah Jawa yang dianut dan dipraktekkan oleh masyarakat Jawa sampai saat ini. Karena itu, falsafah dapat diartikan sebagai sikap rendah hati bahwa tidak semuanya akan dapat diketahui dalam kesemestaan yang tidak terbatas ini, dapat juga diartikan sebagai sikap koreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang seberapa jauh sebenarnya yang dicari telah dijangkau.1

Seringkali dapat dijumpai di masyarakat, terutama Jawa, berbicara dengan menggunakan idiom dan simbol tertentu. Apalagi datangnya Islam ke Jawa yang kemudian disebarkan oleh para Wali dan diajarkan kepada masyarakat, juga tidak terlepas dari idiom dan simbol tertentu yang akrab bagi masyarakat Jawa itu sendiri. Yang praktis, hal ini semakin memperkaya khazanah kebudayaan Jawa.

Suyamto –sebagaimana dikutip oleh Yuwono Sri Suwito- memberikan batasan budaya Jawa sebagai seluruh aspek kehidupan masyarakat Jawa sebagai perwujudan cipta, rasa, karsa, dan karyanya, dan budaya Jawa itu tak lain adalah salah satu budaya daerah, yaitu perwujudan budaya nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang diselaraskan dengan jati diri masyarakat setempat, yang tak lain adalah masyarakat Jawa.2

Adapun yang menjadi unsur-unsur kebudayaan Jawa antara lain sebagai berikut:

1. Bahasa dan kesusatraan Jawa.

2. Sistem pengetahuan, pemikiran dan filsafat Jawa. 3. Sistem religi atau religiusitas Jawa.

1 Kinayati Djojosuroto, Filsafat Bahasa, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007),

hlm. 22

2Yuwono Sri Suwito, Tata Nilai Jawa - Yogyakarta, (Makalah diskusi dipresentasikan

(3)

4. Sistem mata pencaharian hidup, peralatan hidup dan teknologi. 5. Kesenian Jawa (termasuk arsitektur).

6. Adat Istiadat Jawa. 7. Sistem sosial Jawa.3

Posisi para wali (lebih dikenal dengan Wali Songo), tidak hanya berkuasa dalam lapangan keagamaan tetapi juga dalam hal pemerintahan dan politik. Sebagai contoh adalah Sunan Giri yang pengaruhnya bahkan sampai dirasakan jauh dari Jawa, yaitu sampai di Makassar, Hitu (Ambon), dan Ternate. Kerap kali pula seorang raja seakan-akan baru sah sebagai raja, kalau ia sudah diberkahi olehnya.4

Posisi ini semakin meneguhkan bahwa cukup banyak ikon kebudayaan Jawa yang diakulturasi dan dipengaruhi oleh kebudayaan Islam.5 Ikon yang paling tampak bagi masyarakat Jawa adalah pakaian yang disandang oleh Sultan, keluarga, kerabat, dan juga para pembesar keraton. Karena pakaian merupakan salah aspek kebudayaan yang dikandung oleh unsur kebudayaan adat istiadat.

Maka kajian ini mengkhususkan untuk mengkaji pakaian adat yang dikenakan oleh Sultan, keluarga, kerabat, dan juga para pembesar keraton, dengan alasan adanya pesan bahasa yang ingin disampaikan melalui atribut dan perlambang yang digunakan sebagai aksesorisnya.

Kajian ini juga mengkhususkan pada Keraton Ngayogyakarta saja, sebagai salah satu dari empat pecahan Keraton Mataram Islam. Yang masih diakui keberadaannya melalui sistem pemerintahan sosial politik, juga secara kebudayaan.

3 Yuwono Sri Suwito, Tata Nilai …

4 R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1987) , hlm.

52

5 Para ahli sering menyebutnya sebagai Islamisasi kebudayaan Jawa, anggapan ini tidak

sepenuhnya benar, karena posisi antara kebudayaan Jawa dan Kebudayaan Islam itu sendiri sama kuatnya, dan saling mempengaruhi secara signifikan, sehingga dapat dikatakan, seandainya kebudayaan Jawa itu diambil budaya Islamnya, maka kebudayaan Jawa akan kehilangan

(4)

ruhnya-pen.-A. KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

Sekitar tahun 1500, Raden Patah mendirikan kerajaan Islam dengan Demak sebagai pusatnya. Pada tahun 1511, Demak mencapai masa kejayaannya karena jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Sepeninggal Raden Patah (1518), Demak dipimpin oleh Pati Unus, anak dari Raden Patah, yang hanya memerintah selama 3 tahun.6

Penggantinya adalah Pangeran Trenggono yang memerintah sampai tahun 1546, yang akhirnya wafat dalam usahanya menaklukkan Pasuruan (1546). Dengan wafatnya Pangeran Trenggono, timbullah perebutan kekuasaan antara adik Trenggono (Sekar Seda Ing Lepen) dan anak Trenggono (Prawoto), Yang mana Sekar Seda ing Lepen berhasil dibunuh oleh Prawoto, akan tetapi Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh anak Sekar Seda ing Lepen, Arya Penangsang.

Akhirnya pada tahun 1568, keraton Demak dipindahkan ke Pajang oleh Adiwijoyo (yang lebih terkenal dengan nama Jaka Tingkir). Ia adalah menantu Sultan Trenggono. Yang kedudukannya disahkan oleh Sunan Giri. Demak hanya menjadi Kadipaten. 7

Salah seorang pengikut Jaka Tingkir, Ki Ageng Pamanahan, yang mempunyai jasa membinasakan Arya Penangsang dihadiahi daerah Mataram (sekitar Kota Gede, dekat Yogyakarta sekarang) yang dalam waktu yang singkat dapat menjadikan daerahnya menjadi sangat maju, meski akhirnya meninggal pada tahun 1575. Namun anaknya, Sutawijaya, cakap dalam menggantikan posisinya dan bergelar Senapati Ing Alaga.

Sementara itu di Pajang terjadi perubahan yang cukup besar. Jaka Tingkir meninggal dalam tahun 1582. Anaknya, Pangeran Benawa, disingkirkan oleh Arya Pangiri (Adipati Demak) dan dijadikan adipati di Jipang. Maka sebagai Sultan Pajang kini bertaktalah arya Pangiri, yang bertindak sewenang-wenang dan merugikan rakyat.

Kenyataan ini merupakan kesempatan baik bagi Pangeran Benawa untuk merebut kembali kekuasaannya. Ia meminta bantuan kepada Danang Sutawijaya dari Mataram, yang juga memang menginginkan robohnya kerajaan Pajang. Pajang diserbu dari dua

6 R. Soekmono, Pengantar Sejarah …, hlm. 52-53 7Ibid., hlm. 54

(5)

jurusan, Arya Pangiri menyerah kepada Pangeran Benawa, Pangeran Benawa sendiri tidak sanggup kalau harus menghadapi kawannya, maka ia bersedia mengakui kekuasaan Danang Sutawijaya, yang kemudian menjadi raja pertama Mataram dengan gelar, Panembahan Senopati (1584 M – 1601 M) 8.

Mataram Islam mencapai puncaknya pada jaman raja Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613 M – 1646 M). Namun, penetrasi penjajah di bumi pertiwi pada akhirnya memerosotkan kekuatan Mataram Islam. Pengganti Sultan Agung yang bernama Hamangkurat I (1647 M – 1677 M) bahkan bersahabat dengan VOC. Anaknya Hamangkurat II (1677 M – 1703 M) bahkan menyerahkan Semarang kepada VOC. Namun demikian, Hamangkurat II sempat berperang melawan VOC sehingga Kapten Tack terbunuh. Meskipun penggantinya kemudian Hamangkurat III (1703 M – 1708 M) lebih menentang VOC, Mataram Islam tetap semakin merosot.9

Akhirnya, Mataram Islam menyerah kepada Penjajah Belanda semasa pemerintahan Paku Buwono II (1727 M – 1749 M). Akan tetapi, Pangeran Mangkubumi10 tidak menyetujui sikap lemah Paku Buwono II tersebut. Pada 19 Mei 1746 M, pangeran Mangkubumi pergi dari istana bersama 3 pangeran lainnya (P. Wijil, P. Krapyak, dan P. Hadiwijoyo) mereka bergabung dengan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) untuk berperang melawan Belanda. Pada 1750 M, mereka mengepung ibu kota Mataram yang telah dikuasai Belanda itu dari 4 penjuru. Pada 1752 M, sebagian besar wilayah Mataram berhasil mereka kuasai kembali.10

Pada tanggal 23 September 1754 M, Belanda bernegosiasi dengan P. Mangkubumi dan berjanji memberi setengah dari Kerajaan Mataram. Akhirnya, dibuatlah Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755 M). Perjanjian Giyanti berisi ketetapan bahwa Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua. Setengahnya, yaitu Kasultanan Yogyakarta diberikan kepada P.

8 Ibid., hlm. 55, lihat juga Haryadi Baskoro & Sudomo Sunaryo, Catatan Perjalanan

Keistimewaan Yogya meruntun Sejarah Mencermati Perubahan Menggagas Masa Depan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010,hlm. 4

9 Haryadi Baskoro & Sudomo Sunaryo, Catatan Perjalanan …, hlm. 4 10Ibid. hlm. 6

(6)

Mangkubumi. Setengahnya lagi, yaitu Kasunanan Surakarta diberikan kepada Paku Buwono III.11

Perjanjian Giyanti (1755 M) merupakan titik awal berdirinya Kerajaan Kasultanan Yogyakarta. Setelah memperoleh wilayah Yogyakarta (setengah Kerajaan Mataram), Pangeran Mangkubumi mendirikan Kasultanan Yogyakarta dan mengukuhkan dirinya sebagai raja baru dengan nama Sri Sultan Hamengku Buwono I (HB I). Gelar lengkapnya adalah Sampeyan ing Ngalaga Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panata Gama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I ing Nagari Ngayogyokarto Hadiningrat Mataram.12

Keraton Yogyakarta dibangun pada masa pemerintahan Sultan HB I, yaitu pada 1756 Masehi atau tahun Jawa 1682. Lambang Keraton berupa dua naga yang saling melilit yang merupakan simbol tahun pendirian Keraton Yogyakarta. Setiap angka mengandung arti. Tahun 1682 M di baca dari belakang (2 = dwi, 8 = naga, 6 = rasa, 1 = tunggal).

Ungkapan dwi naga rasa tunggal dapat dibaca menjadi dwi nagara satunggal yang artinya adalah “dua Negara dalam satu kesatuan”. Mempunyai makna, sekalipun Mataram Islam telah terpecah menjadi dua kerajaan, akan tetapi tetap satu.13

B. URAIAN PAKAIAN TRADISIONAL KRATON

NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

Pakaian atau dalam bahasa Jawa adalah pengageman yang melekat pada badan seseorang sebenarnya adalah merupakan identitas yang mencerminkan jati diri. Hal seperti inilah yang kebanyakan tidak disadari, sehingga seseorang berpakaian justru bertentangan dengan kepribadian yang dimiliki. Maka pakaian yang baik pasti mengandung pengertian yang berguna bagi pemakainya, baik secara lahiriah maupun rohaniyah.

Tersebarnya Islam di Jawa tidak bisa dipisahkan begitu saja dari peranan para wali, yang giat sekali menyebarkan dan mengajarkan pokok-pokok ajaran agama Islam. Pengaruh terbesar dari para wali

11Ibid. 12Ibid. 13Ibid.

(7)

agaknya sampai sekarang masih dirasakan oleh masyarakat Jawa, terutama pengaruh yang datang dari Sunan Kalijaga, yang dianggap masyarakat Islam Jawa sebagai satu-satunya Wali yang berasal dari, dan punya darah Jawa, yang mampu meng-akulturasikan budaya Jawa dan budaya Islam menjadi satu identitas yang sulit untuk dipisahkan antara keduanya.

Dengan arif dan bijaksana Sunan Kalijaga membuat model pakaian sebagai penutup badan, yang dasarnya terdapat dalam al-Qur-an Surat al-A‟raf ayat 26 yang artinya, “Hai anak Adam [umat manusia], Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa [selalu bertakwa kepada Allah] Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat”.

Dalam ayat ini pengertian pakaian takwa adalah pakaian rohani bagi manusia yaitu bahwa manusia agar selalu ingat kepada Allah, maka dia melaksanakan apa yang diperintahkan dan menghindari apa saja yang dilarang oleh Allah SWT. Maka dengan memakai takwa inilah, manusia memakai perhiasan yang paling indah yang disediakan oleh Allah SWT.

Oleh Sunan Kalijaga pengertian tersebut benar-benar diwujudkan dalam bentuk model pakaian, agar manusia yang memakai pakaian tersebut benar-benar akan selalu ingat dan takwa kepada Allah SWT.

Kemudian oleh raja-raja Mataram pakaian ini dipakai sebagai bentuk pakaian Mataram yang terkenal sampai saat ini. Di dalam sejarah Mataram sesudah terlaksananya Perjanjian Gianti yang sebagai konsekuensinya Mataram dibagi menjadi 2 yaitu Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, maka inventaris kerajaan juga dibagi 2 secara adil.

Selanjutnya Pangeran Mangkubumi (Sultan HB I) menanyakan perihal pakaian yang juga perlu diatur kepada Susuhunan Paku Bhuwono III. Pangeran Mangkubumi mengatakan bahwa Ngayogyakarta dalam hal ini sudah siap dengan rencana pakaian tersebut, sedangkan Paku Bhuwono III mengatakan belum siap. Maka Pangeran Mangkubumi memperlihatkan rencana pakaian tersebut dan mengatakan kalau memang

(8)

dikehendaki rencana tersebut dipersilahkan dipergunakan oleh Surakarta Hadiningrat.

Susuhunan Paku Bhuwono III setuju menggunakan rencana pakaian tersebut. Kemudian beliau menanyakan bagaimana dengan pakaian Ngayogyakarta?, yang kemudian dijawab oleh Pangeran Mangkubumi bahwa Ngayogyakarta akan melanjutkan saja pengageman atau pakaian Mataraman yang sudah ada.

Pakaian mataraman yang disebut pakaian takwa atau sering disebut pakaian surjan berasal dari bahasa Arab Siroojan yang berarti Pepadhang atau Pelita. Yang mana bentuk pakaian takwa ini adalah :

1. Lengan panjang. 2. Ujung baju runcing.

3. Leher dengan kancing 3 pasang (6) yang menggambarkan rukun Iman, yaitu :

a. Iman kepada Allah SWT. b. Iman kepada Malaikat. c. Iman kepada Kitab-Kitab. d. Iman kepada Utusan Allah. e. Iman kepada Hari Kiamat. f. Iman kepada Qadla‟ dan Qadar.

4. Dua buah kancing di dada kanan dan kiri yang berarti dua kalimah syahadat.

5. Tiga buah kancing yang ditutup di dalam dan tidak kelihatan dari luar yang menggambarkan 3 macam nafsu manusia yang harus diatasi, yaitu :

a. Nafsu Bahimah = hewani.

b. Nafsu Lawwamah = perut (makan dan minum) c. Nafsu Syaitoniah = setan14

C. ANALISA

Sebagai salah satu cabang filsafat, filsafat bahasa mengandalkan analisis penggunaan bahasa, karena banyak masalah-masalah dan

14 K.R.T. Jatiningrat, Pengageman Takwa dan Pranakan di Kraton Ngayogyakarta

Hadiningrat, (Makalah diskusi dipresentasikan pada Pameran Mahakarya Keris Ngayogyakarta Hadiningrat, tanggal 9 Oktober 2009).

(9)

konsep-konsep filsafat yang hanya dapat dijelaskan melalui analisa bahasa. Karena bahasa merupakan saran yang vital dalam filsafat.15

Hakikat bahasa menurut Brown adalah seperangkat lambang-lambang manasuka atau simbol-simbol arbriter yang terutama sekali bersifat vokal, tetapi mungkin juga bersifat visual.16 Dan simbol itu sendiri merupakan hasil kerja peralatan rohaniah, yang berupa pesan, yang pada hakikatnya bersifat abstrak. Tidak akan bisa diketahui pesan apa yang ada dalam benak seseorang sampai ia mewujudkan pesan yang abstrak itu menjadi kongkret. Maka dari itu untuk mewujudkan pesan yang abstrak menjadi kongkret, manusia dengan akal budi menciptakan sejumlah kata-kata sebagai lambang komunikasi. Dengan demikian pesan merupakan hasil penggunanan akal budi manusia untuk mewujudkan motif komunikasi. Sedangkan lambang komunikasi merupakan simbol, tanda, kode, sandi yang digunakan manusia untuk mewujudkan pesan yang abstrak menjadi kongkret dalam usaha mewujudkan motif komunikasi dalam bentuk bahasa.17

Lambang adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Antara benda yang dilambangkan dengan lambangnya itu sendiri tidak mempunyai hubungan apa-apa.18 Apapun wujud lambang itu bagi pemakainya mempunyai makna dan tujuan tertentu. Dengan lambang-lambang atau gambar-gambar tersebut diharapkan pengertian yang ada di balik lambang itu menjadi lebih kongkrit, lebih nyata dan mudah ditangkap panca indera.19

Lambang komunikasi umum digunakan untuk tujuan umum dalam berbagai bidang kehidupan manusia, seperti mimik, gerak-gerik, suara, bahasa lisan, dan bahasa tulisan. Sedangkan lambang komunikasi khusus, hanya digunakan tertentu dalam satu bidang kehidupan manusia, seperti, warna, gambar, nada, bau-bauan dan sejenisnya.20

Maka, desain baju yang sorjan atau takwa Mataraman yang dibuat oleh Sunan Kalijaga berfungsi sebagai media penyalur pesan yang

15 Kinayati Djojosuroto, Filsafat Bahasa…,hlm. 34 16Ibid., hlm. 65

17Ibid., hlm. 73 18Ibid., hlm. 311 19Ibid., hlm. 312 20Ibid., hlm. 74

(10)

abstrak menjadi kongkret ketika dilihat oleh orang lain, yakni siapapun orang yang memakai baju ini adalah orang yang bertakwa, yang senantiasa melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan simbol atau lambang komunikasi yang digunakan adalah antara lain : lengan panjang, ujung baju runcing, leher dengan kancing tiga pasang, dua kancing di dada kanan dan kiri, dan 3 buah kancing yang di tutup didalam.

Hal yang sama dapat juga dilihat pada bidang lalu lintas, pesan yang ingin disampaikan adalah ; berhenti, hati-hati atau perhatian, dan boleh jalan. Maka lambang komunikasi yang digunakan adalah lampu merah, lampu kuning, dan lampu hijau. Jadi guna memenuhi tuntutan motif komunikasi manusia menyampaikan pesan dalam berbagai bentuk lambang komunikasi atau bahasa.21

Dalam hal ini apa yang diungkapkan Sunan Kalijaga merupakan salah satu dari 7 fungsi bahasa menurut Halliday, yang antara lain sebagaimana berikut :

1. The instrumental function. 2. The regulatory function. 3. The representational function. 4. The interactional function. 5. The personal function. 6. The heuristic function. 7. The imagination function.

Sunan Kalijaga dalam hal ini memasuki ranah the personal function, yang mana beliau berusaha mengekspresikan perasaan, emosi, pribadi serta reaksi-reaksinya yang mendalam. Kepribadian seseorang biasanya ditandai oleh penggunaan fungsi personal bahasanya dalam berkomunikasi dengan orang lain. Dalam hakikatnya bahasa personal ini jelas bahwa kesadaran, perasaan, dan budaya turut bersama-sama berinteraksi dengan cara yang beraneka ragam.22

Konsep tentang bahasa sebagai sistem tanda, telah lama dibahas oleh Ferdinand de Saussure (1916). Menurutnya bahasa sebagai sistem tanda ditandai dengan adanya hubungan yang erat antara :

21Ibid., hlm. 74 22Ibid., hlm. 76

(11)

1. Signifiant, yaitu gambaran tatanan bunyi secara abstrak dalam kesadaran batin para pemakainya.

2. Signifie, yakni gambaran makna secara abstrak sehubungan dengan adanua kemungkinan hubungan antara abstraksi bunyi dengan dunia luar.

3. Form, kaidah abstrak yang mengatur hubungan antara butir-butir abstraksi bunyi sehingga memungkinkan digunakan untuk berekspresi.

4. Substance, yaitu perwujudan bunyi ujaran khas manusia.23

Yang dalam kajian kebahasaan lebih dikenal dengan kajian semiotika yang membahas tentang tanda-petanda. Yang dapat dikatakan pula bahwa signifie bukanlah “suatu hal” tetapi suatu representasi dari “hal”.

Dalam bahasan ini terdapat lima tanda utama yang dalam baju sorjan atau takwa Mataraman. Sedangkan faktor keimanan atau pemahaman pemakai disebut tanda atau significant yang dapat diartikan sebagai mediator yang mana materinya harus ada.24

Semiotika yang digunakan disini termasuk jenis semiotika kultural, yaitu semiotika yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Yang mana telah diketahui bahwa masyarakat sebagai makhluk sosial memiliki sistem budaya tertentu yang telah turun-temurun dipertahankan dan dihormati. Budaya yang terdapat dalam budaya masyarakat yang juga merupakan sistem itu, menggunakan tanda-tanda tertentu yang membedakannya dengan masyarakat yang lain.25

Berdasarkan pandangan Saussure dapat dilihat pakaian takwa Mataram dalam kerangka Signifier dan signified. Yang dinyatakan, Tanda adalah kesatuan dari penanda (signifier) dan petanda (signified). Dengan kata lain penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna. Jadi penanda adalah objek material dari bahasa: apa yang

23 Aminuddin, Semantik ; Pengantar Studi tentang Makna, (Bandung: CV Sinar Baru,

1988), hlm. 77

24 Wening Udasmoro (ed.), Petualangan Semiotika Roland Barthes, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 45

(12)

dikatakan atau apa yang didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa. Dalam tanda bahasa yang kongkret, kedua unsur tadi tidak bisa dilepaskan. Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, sebuah petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistis. Saussure mengibaratkan antara penanda dengan petanda seperti dua sisi dari sehelai kertas.26

Jadi meskipun antara petanda dan penanda tampak sebagai entitas yang terpisah, namun keduanya hanya ada sebagai komponen tanda. Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa.27 Akan tetapi hubungan diantara penanda dan yang ditandakan (petanda) keduanya bersifat manasuka atau berubah-ubah.28

Sebagai contoh, „pakaian takwa Mataram‟. Orang akan memahami bahwa yang memakai pakaian tersebut adalah orang yang „bertakwa, menjalankan agama dengan sebaik-baiknya, dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan‟. Meski antara „pakaian takwa Mataram‟ sebagai penanda (signifier), dan „bertakwa, menjalankan agama dengan sebaik-baiknya, dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan‟ sebagai petanda (signified) hubungannya bersifat manasuka, tetapi jika signified-nya dihilangkan, maka „pakaian takwa Mataram‟ akan tidak punya makna apa-apa.

Analisa berikutnya yang bisa dipakai adalah konsep semiotika menurut Pierce. Pierce sendiri terkenal karena teori tandanya, secara berulang-ulang ia mengatakan „secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Bagi Pierce, tanda itu sendiri merupakan unsur pertama, objek dari tanda itu merupakan unsur kedua, penafsirnya (interpretant) adalah unsur pengantara.29

26 Kaelan, Filsafat Bahasa; Semiotik Filsafat Bahasa; Semiotika dan Hermeneutika,

(Yogayakarta: Paradigma, 2009), hlm. 184

27 Kaelan, Filsafat Bahasa; Semiotika…, hlm. 184, sebagaimana dikutip dari Culler,

1982.

28Ibid., hlm. 185 29Ibid., hlm. 195

(13)

Ketiga unsur yang ada dalam konteks pembentukan tanda juga membangkitkan semiotika yang tak terbatas, selama suatu penafsir (gagasan) yang membaca tanda sebagai tanda bagi yang lain (yaitu sebagai wakil dari suatu makna atau penanda) bisa ditangkap oleh penafsir lainnya.

Sesuatu yang digunakan agar tanda dapat berfungi oleh Pierce disebut dengan ground. Seringkali ground sebuah tanda merupakan kode, meskipun kadang tidak demikian. Kode adalah suatu sistem peraturan. Kode ini bersifat transindividual (melampaui batas individu). Akan tetapi, banyak tanda yang bertitik tolak dari ground yang bersifat individual. Selain itu, tanda diinterpretasikan, yang berarti bahwa setelah dihubungkan dengan acuan, dari tanda yang orisinal berkembang suatu tanda baru yang disebut interpretant. Pengertian interpretant harus dibedakan dengan interpretateur, yang menunjuk pada penerima tanda. Jadi tanda selalu terdapat dalam hubungan triadik, yaitu dengan ground-nya, dengan objek dan acuanground-nya, dan dengan interpretant-nya.30

Pierce, juga menyusun klasifikasi tanda jika dikaitkan dengan ground, antara lain ;31

a) Qualisign, kualitas yang ada pada tanda. seperti; kata-kata keras, lembut, pelan, dan merdu.

b) Sinsign, eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda. Seperti; kabur, keruh, ramai, dan lainnya.

c) Legisign, norma yang terkandung oleh tanda. Seperti; Rambu-rambu lalu-lintas.

Dalam klasifikasi diatas, „pakaian takwa Mataraman‟ merupakan „Legisign‟, karena pakaian takwa Mataraman yang dipakai oleh seseorang akan mengandung suatu nilai, yakni norma keagamaan. Yang mana pemakainya adalah orang yang terikat oleh nilai-nilai dan norma-norma agamanya.

Berdasarkan klasifikasi yang akibat adanya hubungan tanda yang ada, Pierce, menyusun tanda menjadi sepuluh jenis, yakni :32

a) Qualisign, kualitas sejauh yang dimiliki tanda.

30Ibid., hlm. 195 31Ibid., hlm. 196 32Ibid., hlm. 197-198

(14)

b) Iconic Sinsign, suatu tanda yang memperlihatkan kemiripan. c) Rhematic Indexical Sinsign, tanda berdasarkan pengalaman

langsung, yang secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan oleh sesuatu.

d) Dicent Sinsign, tanda yang memberi informasi tentang sesuatu. e) Iconic Legisign, tanda yang menginformasikan norma atau

hukum.

f) Rhematic Indexical Legisign, tanda yang mengacu pada objek tertentu.

g) Dicent Indexical Legisign, tanda yang bermakna informasi dan menunjuk subjek informasi.

h) Rhematic Symbol atau Symbolic Rheme, tanda yang dihubungkan oleh objeknya melalui asosiasi ide umum.

i) Dicent Symbol atau Proposition, tanda yang langsung menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. j) Argument, tanda yang merupakan iferens seseorang terhadap

sesuatu berdasarkan alasan tertentu.

Berdasarkan klasifikasi diatas, „pakaian takwa Mataraman‟ merupakan jenis semiotika tanda yang berupa „Dicent Sinsign‟, tanda yang memberi informasi tentang sesuatu. Karena pakaian takwa Mataraman, memberikan informasi kepada orang lain. Dan sesuatu yang ingin diinformasikan itu adalah, sang pemakai adalah „bertakwa, menjalankan agama dengan sebaik-baiknya, dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan‟.

Sedangkan semiotika tanda yang berupa „Iconic Legisign‟ pada pakaian takwa Mataraman menyiratkan pemakai adalah seseorang yang terikat oleh nilai-nilai dan norma-norma agamanya.

Nilai-nilai tersebutlah yang terkandung dalam pakaian takwa Mataram, meski sekarang pakaian tersebut mulai banyak ditinggalkan (kecuali dalam acara-acara yang sifatnya kebudayaan saja). Yang bukan merupakan tanda kalau rasa takwa juga mulai luntur, tetapi ini hanya sekadar persoalan pergeseran zaman dan waktu. Meskipun demikian pakaian tersebut tetap menjadi kebanggaan, yang selanjutnya juga memerlukan kajian yang mendalam dari berbagai kalangan akademisi, tidak saja perhatian dari kebudayaan saja.

(15)

D. PENUTUP

Semiotika adalah salah satu filsafat bahasa yang membahas tentang lambang, tanda, kode, sandi, dan juga ujaran-ujaran bahasa yang mana merupakan bagian dari suatu bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi antar manusia.

Semiotika meniscayakan bahwa sebetulnya segala tanda, lambang, ataupun ungkapan lain yang digunakan oleh manusia selalu memiliki makna, meski terkadang si penerima bahasa kurang bisa menangkapnya. Maka di sinilah tugas semiotika menjadi penting adanya. Karena apapun yang merupakan hasil cipta, rasa, karsa, karya manusia selalu mempunyai maksud dan tujuan diadakannya.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, 1988, Semantik; Pengantar Studi tentang Makna, (Bandung: CV Sinar Baru)

Baskoro, Haryadi dan Sunaryo, Sudomo, 2010, Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya Menurut Sejarah Mencermati Perubahan Menggagas Masa Depan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Djojosuroto, Kinayati, 2007, Filsafat Bahasa, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher)

Jatiningrat, K.R.T., Pengageman Takwa dan Pranakan di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, (Makalah diskusi dipresentasikan pada Pameran Mahakarya Keris Ngayogyakarta Hadiningrat, tanggal 9 Oktober 2009)

Kaelan, 2009, Filsafat Bahasa; Semiotik Filsafat Bahasa; Semiotika dan Hermeneutika, (Yogayakarta: Paradigma)

Pateda, Mansoer, 2001, Semantik Leksikal, (Jakarta: PT. Rineka Cipta) Soekmono, R., 1987, Pengantar Sejarah Kebudayaan, (Yogyakarta:

Kanisius)

Suwito, Yuwono Sri, Tata Nilai Jawa - Yogyakarta, (Makalah diskusi dipresentasikan pada Pameran Mahakarya Keris Ngayogyakarta Hadiningrat, tanggal 9 Oktober 2009).

Udasmoro, Wening, (ed.), 2007, Petualangan Semiotika Roland Barthes, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi memang pada dasarnya, tidak dapat dipungkiri bahwa pelayanan GKI Salatiga melalui (warung Tiberias) tentang memberi makan orang-orang miskin, belum

ment of IVM, in vitro fertilization IVF and embryo culture coupled with ovarian tissue grafting, cryobanking of follicles, oocytes, semen, or embryos, with subsequent ET into

A: bercak cokelat pada mahkota bunga stroberi; B: bercak cokelat pada tangkai sari; C: bercak cokelat pada pangkal kelopak bunga; D: burik disekitar biji pada buah muda (1) dan

Berdasarkan hasil evaluasi administrasi, evaluasi teknis dan evaluasi harga dan evaluasi kualifikasi maka Panitia Pengadaan Barang dan Jasa KPPBC TMP B Bandar Lampung

/ 6isiko terjadinya kejadian karies gigi pada agregat anak usia sekolah b-d kebiasaan anak usia sekolah tidak menggosok gigi sebelum tidur sebesar 2C'

Pada desain ini menggunakan elemen desain bentuk geometri, dibuat menjadienam bentuk persegi panjang yang digunakan untuk meletakkan foto produk yang mewakilkan enam

Ada interaksi antara pembelajaran TAI dengan berbantuan LKS MGMP termodifikasi dan LKS berbasis masalah dengan kemampuan awal dan berpikir kritis terhadap

Diharapkan kehadiran saudara dengan membawa stempel perusahaan, dan bila saudara berhalangan hadir kemudian diwakilkan agar membuat surat kuasa yang ditandatangani diatas kertas