• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH)

Polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) atau juga dikenal sebagai polycyclic organic matter (POM) adalah molekul aromatik yang terdiri atas dua atau lebih molekul cincin aromatik yang disusun oleh atom karbon dan hidrogen. PAH dalam hal ini termasuk indole, quinoline, dan benzothiophene yang memiliki fungsi biologis pada makhluk hidup (Baran et al. 2003) dan juga senyawa karsinogenik dan genotoksik seperti benzo(a)piren, benzo(a)antrasen, benzo(b)fluoranten, dan dibenzo(a,h)antrasen.

Polisiklik aromatik hidrokarbon dan beberapa turunannya berada secara alami di alam dan juga dapat terbentuk pada saat proses pembakaran tidak sempurna (suhu 500-800 °C) atau saat pemanasan bahan organik pada suhu 200-300 °C. Secara alami PAH dapat berada di udara, air permukaan, permukaan tanah, pertambangan batu bara, dan daerah gunung berapi. Sumber lain dari PAH adalah rokok. Rokok mengandung kadar tar cukup tinggi dan pembakaran tar diketahui dapat memicu terbentuknya molekul PAH terutama jenis PAH karsinogenik.

Mekanisme pembentukan molekul PAH terjadi melalui reaksi pemecahan bahan organik menjadi fragmen yang sederhana (pirolisis) dan pembentukan senyawa aromatik dari fragmen tersebut (pirosintetik) (Morret et al. 1999; Cano-Lerida et al. 2008). Selain melalui mekanisme suhu tinggi (200-800 °C), molekul PAH diketahui dapat terbentuk pada suhu yang relatif rendah, sekitar 100-150 °C, namun dengan waktu yang lebih panjang dibandingkan pirolisis dan pirosintesis (Morret et al. 1999). PAH umumnya bersifat sangat hidrofobik dikarenakan strukturnya yang memiliki banyak cincin aromatik yang bersifat nonpolar.

Molekul PAH mulai menarik perhatian pada awal abad 17. Peneliti dari Inggris Pervical Pott menemukan tingginya prevalensi kanker pada pekerja yang sering berada pada cerobong hasil pembakaran batu bara (mengandung ter). Hal ini didukung oleh penelitian Yamagiwa dan Ichikawa pada 1915 yang menemukan adanya kanker pada kulit tikus yang diolesi oleh ter dan menjadikan metode ini (skin painting) sebagai metode untuk mengecek sifat karsinogen ter.

(2)

Secara alami PAH dengan bobot molekul rendah terdapat di atmosfer dalam konsentrasi yang cukup rendah, sedangkan PAH dengan bobot molekul tinggi umumnya terbentuk karena proses pemanggangan (Cano-Lerida et al. 2008). Namun demikian, kontaminasi PAH dari lingkungan hanya terjadi pada makhluk laut avertebrata seperti kerang dan tiram yang tidak dapat melakukan metabolisme PAH (Wootton et al. 2003; Oros & Ross 2005). Sedangkan pada hewan vertebrata, seperti sapi, ayam, dan ikan, molekul PAH, dalam konsentrasi sangat rendah, dapat dimetabolisme lebih lanjut sehingga tidak mengkontaminasi daging yang berasal dari hewan tersebut (Narbonne et al. 2005; Cano-Lerida et al. 2008). 2.2 Benzo(a)piren (BAP) dan Dibenzo(a,h)antrasen (DBA)

Beberapa senyawa PAH diketahui memiliki sifat karsinogenik yang cukup tinggi, terutama yang memiliki 4 sampai 6 cincin aromatik (Luch & Baird 2005). Sebanyak 16 jenis PAH dikategorikan sebagai polutan berbahaya dengan benzo(a)piren (BAP) dan dibenzo(a,h)antrasen (DBA) yang memiliki sifat karsinogenik tertinggi dibanding PAH yang lain (Tabel 1). Beberapa senyawa PAH seperti chrysene tidak bersifat karsinogen saat berada di tubuh, tetapi dengan adanya promotor, seperti tetradecanoylphorobol-acetate (TPA), senyawa PAH ini dapat bersifat karsinogen, atau lebih dikenal sebagai inisiator kanker.

Benzo(a)piren (Gambar 1) memiliki lima cincin aromatik dan memiliki bagian bay region dan K-region yang diduga berperan dalam sifat karsinogen dari molekul tersebut. Sifat karsinogenik dari molekul ini baru terlihat saat dimetabolisme oleh makhluk hidup. Molekul Benzo(a)piren telah dikategorikan sebagai molekul karsinogen tipe 1 (terbukti dapat menyebabkan kanker pada manusia) oleh IARC (Harvey 2011). Molekul ini dikenal sangat sulit untuk didegradasi secara alami. Karena potensi karsinogeniknya yang sangat tinggi, molekul BAP sering diteliti dan dijadikan indikator pencemaran PAH pada lingkungan (Demaneche et al. 2004; Amir et al. 2005).

(3)

Tabel 1 Toxic equivalency factor (TEF) molekul PAH karsinogen terhadap BAP

Rumus Molekul TEF

(Nisbet & Lagoy 1992)

Rumus Molekul TEF

(Nisbet & Lagoy 1992)

Rumus Molekul TEF

(Nisbet & Lagoy 1992)

0.001 0.001 0.100 0.001 0.001 1.000 0.001 0.100 1.000 0.001 0.010 0.010 0.001 0.010 0.100 0.100

(4)

Dibenzo(a,h)antrasen (Gambar 1) memiliki rumus kimia yang mirip dengan benzo(a)piren namun rumus bangun dari molekul ini berbeda. Sifat karsinogen dari DBA dikategorikan kedua tertinggi setelah BAP. Sifat karsinogen dari molekul DBA baru terlihat setelah terjadi metilasi oleh promotor kanker seperti tetradecanoylphorobol-asetat (TPA), sehingga seperti chrysene molekul ini lebih sering dikategorikan sebagai inisiator terjadinya kanker. Reaksi metilasi dari molekul DBA akan membentuk 7,12-dimetilbenz(a,h)antrasen (DMBA) yang memiliki potensi karsinogenik lebih besar dibandingkan molekul awalnya dan bahkan lebih besar dari BAP (Luch 2005b).

Molekul BAP dan DBA dapat mengadakan ikatan kovalen dengan DNA dan setelah terikat dengan DNA molekul ini baru bersifat karsinogen. Terdapat hipotesis awal mengenai kemungkinan K-region yang menjadi salah satu situs ikatan kovalen dengan DNA. Namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa K-region bukan situs pengikatan pada DNA dan molekul DBA yang tidak memiliki K-region terbukti memiliki sifat karsinogen. Penelitian kemudian beralih pada bay region namun tidak ditemukan hasil penelitian yang mendukung kedua situs ini sebagai situs ikatan PAH dengan DNA (Luch 2005b).

Penelitian akan sifat karsinogen dari kedua molekul ini kemudian berkembang ke arah adanya pengaruh enzim tertentu yang mengaktivasi kedua molekul tersebut sehingga memiliki sifat karsinogenik. Salah satu enzim yang diduga berperan pada tahap awal adalah enzim P-450 yang berada di retikulum endoplasma. Enzim ini akan mengoksidasi molekul BAP dan DBA dan membentuk molekul oksida dari BAP dan DBA yang tidak stabil dan berubah menjadi turunan fenol, quinone, dan diol-epoksida-nya (Harvey 2011).

Molekul turunan dari reaksi awal enzim P-450 ini dapat mengadakan ikatan kovalen dengan DNA seperti terlihat pada Gambar 2. Ikatan kovalen antara molekul ini dengan DNA akan menyebabkan terjadinya kerusakan dan mutasi DNA. Mutasi yang umum terjadi adalah perubahan basa Guanin (dG) menjadi Timin (dG) dan perubahan dari Adenosin (dA) menjadi Timin (dA). Mutasi ini umum terjadi pada sel kanker. Selain itu pembentukan epoksida dapat memicu terbentuknya radikal kation yang dapat merusak ikatan dalam DNA (Luch 2005b).

(5)

Gambar 2 Mekanisme pembentukan ikatan kovalen BAP dan DNA (Luch 2005a).

2.3 Penelitian PAH dalam Makanan

Senyawa PAH dalam makanan dapat berasal dari berbagai macam sumber seperti kontaminasi lingkungan, pemberian panas pada makanan, dan juga berasal dari bahan baku makanan itu sendiri. Penelitian pertama tentang senyawa PAH dalam makanan dilakukan oleh Fazio pada 1973. Peneliti ini melakukan analisis zat dalam makanan yang menyerap cahaya pada panjang gelombang UV dan melakukan pemisahan dengan kromatografi lapis tipis (Wenzl et al. 2006).

Larsson et al. (1983) meneliti tentang pengaruh pemasakan daging terhadap kandungan PAH. Penggorengan dan pemasakan dengan menggunakan oven elektrik tidak menyebabkan terbentuknya senyawa PAH, sedangkan proses pemasakan dengan menggunakan arang menunjukkan peningkatan PAH yang signifikan. Penelitian ini menemukan bahwa pemasakan dengan kontak langsung antara api dari pembakaran kayu dengan bahan organik pada matriks pangan menunjukkan pembentukan PAH karsinogenik yang sangat tinggi.

Kazerouni et al. (2001) melakukan penelitian kandungan PAH pada 200 sampel makanan di Amerika. Peneliti menemukan bahwa kandungan PAH tergantung pada cara pengolahan dan tingkat kematangan dari daging tersebut dan kandungan PAH tertinggi ditemukan pada ayam dan daging sapi yang dibakar hingga matang. Selain itu peneliti juga menemukan adanya PAH dalam jumlah

(6)

cukup tinggi pada beberapa jenis sayuran dan gandum-ganduman dan dikonsumsi dalam jumlah banyak oleh masyarakat Amerika. Hal ini menunjukkan bahwa PAH tidak hanya berasal dari proses pemasakan tetapi juga dari cemaran lingkungan sekitar.

Beberapa peneliti juga menemukan kandungan PAH pada makanan yang tidak mengandung protein namun mengandung lemak tinggi. Guillen et al. (2004) menemukan kandungan PAH dengan konsentrasi cukup tinggi dalam minyak zaitun. PAH pada minyak zaitun ini diduga berasal dari kontaminasi lingkungan, proses pengeringan dengan suhu tinggi, dan ekstraksi dari minyak zaitun yang menggunakan pelarut organik. Rey-Salgueiro et al. (2008) melakukan penelitian pengaruh proses pemanggangan roti terhadap kandungan PAH dari roti bakar. Penelitian ini membuktikan bahwa proses pemanasan dengan api langsung dapat memicu pembentukan PAH hingga mencapai di atas 100 ug/g sampel, sedangkan pemanasan dengan menggunakan oven dan bread toaster tidak memicu pembentukan PAH.

2.4 Penelitian Reduksi PAH dalam Makanan

PAH dalam produk makanan sangat berkaitan dengan metode pengolahan yang digunakan. Pengolahan dengan pengasapan ataupun pemanggangan dengan bara api sangat berkaitan dengan peningkatan jumlah PAH dalam makanan. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengurangi jumlah PAH baik yang terdapat dalam bahan makanan maupun yang terdapat secara alami di lingkungan. Salah satu cara untuk menurunkan kontaminasi PAH adalah dengan menggunakan mikroorganisme. Salah satu jenis mikroorganisme yang sering digunakan adalah bakteri dari genus Mycobacterium dan dari genus Rhodococcus. Kedua genus bakteri ini mampu mendegradasi benzo(a)piren menjadi asam ftalat dan asam protocatechuic yang tidak beracun. Selain bakteri, degradasi PAH dapat dilakukan dengan menggunakan fungi dan alga (Haritash & Kaushik 2009).

Farhadian et al. (2011) menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang signifikan pada kandungan PAH daging sapi dan ayam yang diberi perlakuan pemanasan dengan microwave dan steam sebelum pemanggangan serta pembungkusan saat pemanggangan. Penurunan ini disebabkan berkurangnya waktu pemanggangan yang dibutuhkan dan berkurangnya interaksi langsung

(7)

antara lemak dari makanan dengan sumber panas sehingga pirolisis dapat dihambat. Farhadian et al. (2011) juga menunjukkan bahwa daging ayam yang dibakar memiliki kandungan PAH rendah dibanding daging sapi karena tekstur daging ayam yang lebih lembut sehingga waktu pemasakan lebih singkat dan pirolisis dapat dihambat.

Selain itu telah berkembang pula penelitian tentang penyerapan PAH pada bahan makanan yang dibungkus dengan lapisan film ataupun plastik. Penelitian yang dilakukan oleh Chen J dan Chen S (2005) menunjukkan bahwa terjadi penurunan nilai PAH pada daging bakar yang dibungkus dengan plastik low density polyethylene (LDPE). Penurunan ini diduga disebabkan akibat penyerapan senyawa PAH oleh plastik LDPE.

2.5 Metode Analisis PAH dalam Makanan

Molekul PAH umumnya terdapat dalam konsentrasi sangat rendah di dalam makanan sehingga proses ekstraksi dan sensitivitas alat untuk deteksi PAH menjadi hal yang penting dalam penentuan jumlah PAH dalam makanan. Beberapa masalah yang umum ditemui pada analisis PAH dalam makanan yang kompleks diantaranya adalah PAH umumnya hanya terdapat pada konsentrasi sangat rendah di dalam makanan, banyaknya molekul organik yang akan ikut terekstrak bersama dengan PAH sehingga menimbulkan interferensi atau gangguan saat analisis kromatografi, dan molekul PAH umumnya terdapat dalam bentuk isomer sehingga identifikasi masing-masing PAH lebih sulit. Selain itu kemurnian dari pelarut yang digunakan harus dijaga karena pelarut organik yang digunakan umumnya merupakan turunan dari minyak bumi dan ter yang secara alami mengandung PAH (Janoszka et al. 2004; Guillen et al. 2004).

Identifikasi PAH pada sampel daging terutama yang telah mengalami proses termal sangat sulit karena terbentuknya asam amino dan asam lemak bebas dan molekul lain yang dihasilkan selama pemanasan (misalnya azaarenes dan aminoazaarenes). Hal ini membuat analisis PAH secara garis besar dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu pemisahan PAH dari matriks pangan, pemisahan PAH dari molekul pengganggu, dan analisis kandungan PAH dengan instrumen. Beberapa metode ekstraksi dan metode analisis PAH makanan telah mulai dikembangkan sejak tahun 1973 (Wenzl et al. 2006).

(8)

Chen et al. (1996) melakukan ekstraksi PAH dengan menggunakan tandem Soxhlet dan sonikasi dan analisis PAH dengan menggunakan HPLC dengan aliran isokratik. Metode sonikasi menggunakan banyak sekali pelarut dari golongan klorida dan diperlukan tahapan deep freezing pada sampel selama 48 jam sebelum sonikasi. Sedangkan untuk analisis dengan Soxhlet memerlukan waktu ekstraksi yang sangat lama dan volume pelarut yang digunakan banyak. Nilai recovery benzo(a)piren dari metode Soxhlet dan sonikasi ini berkisar antara 62% - 95%.

Beberapa metode terbaru untuk ekstraksi PAH diantaranya adalah ekstraksi dengan bantuan microwave (Camel 2000), ekstraksi dengan larutan super-kritis (Castro & Carmona 2000), dan accelerated solvent extraction yang memiliki ciri peningkatan suhu dan tekanan selama ekstraksi (Wang et al. 1999; Michalski & Germuska 2002). Jumlah pelarut yang digunakan pada metode ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan metode Soxhlet, sonikasi, ekstraksi liquid-liquid ataupun SPE dan ekstraksi dapat dilakukan dalam waktu singkat dan mudah dalam pengoperasiannya. Namun peralatan dan pelarut yang digunakan untuk ketiga metode ekstraksi ini sangat mahal.

Mottier et al. (2000) melakukan analisis PAH pada sampel sosis dengan cara ekstraksi liquid-liquid (LLE), clean up dengan SPE dan analisis dengan menggunakan instrumen GC-MS. Tahapan analisis yang dilakukan adalah saponifikasi dari sampel, ekstraksi dengan menggunakan sikloheksan kemudian dilanjutkan dengan pemisahan PAH dari molekul lain melalui metode SPE. Nilai recovery dari analisis BAP hasil penelitian Mottier et al. (2000) adalah 60%.

Untuk mendapatkan hasil recovery yang lebih baik, Janoszka et al. (2004) melakukan modifikasi metode ekstraksi PAH dengan menggunakan tandem SPE dan HPLC. Tahapan ekstraksi yang dikembangkan peneliti ini lebih singkat dan nilai recovery dari metode ini berkisar antara 65%-95% lebih baik dibandingkan metode yang dikembangkan Mottier et al. (2000). Peneliti lain yang menggunakan metode yang dikembangkan oleh Janoszka (2004) adalah Farhadian et al. (2011). Recovery metode analisis PAH yang dilaporkan berkisar antara 75-105%.

2.6 Analisis PAH dengan Tandem SPE dan HPLC

Molekul PAH diperbolehkan berada dalam makanan berada dalam konsentrasi yang sangat rendah, yaitu sekitar 10 μg/kg makanan atau 10 ppb. Oleh

(9)

sebab itu dibutuhkan metode penyiapan sampel yang baik dan instrumen yang cukup sensitif untuk dapat mendeteksi molekul PAH dalam konsentrasi yang rendah tersebut. Proses ekstraksi PAH dari matriks sampel umumnya diawali dengan saponifikasi matriks sampel dengan menggunakan alkali kemudian clean up dari molekul PAH dengan menggunakan kromatografi kolom, soklet, maupun solid phase extraction (SPE). Kandungan PAH kemudian dianalisis dengan instrumen HPLC atau GC (Janoszka et al. 2004). Instrumen GC dan HPLC telah banyak digunakan dalam analisis molekul PAH dalam makanan dan telah terbukti sensitivitasnya (Barranco et al. 2003; Cano-Lerida et al. 2008).

Proses clean up sangat penting pada proses ekstraksi PAH dalam matriks pangan. Hal ini dikarenakan kandungan PAH dalam makanan umumnya berada dalam jumlah rendah dan adanya kemungkinan kontaminasi dari pelarut maupun molekul organik lain yang terkandung dalam matriks pangan yang dapat menyebabkan noise maupun kesalahan positif saat analisis PAH (Janoszka et al. 2004; Guillen et al. 2004). Salah satu metode clean up yang banyak digunakan untuk ekstraksi PAH dalam matriks pangan adalah SPE.

Metode ini menggunakan prinsip yang sama dengan ekstraksi liquid/liquid, yaitu mengekstrak sampel dengan menggunakan pelarut yang memiliki kelarutan yang sama dengan sampel (like dissolve like). Pada SPE, proses retensi sampel dilakukan pada medium padat (solid surface). Keunggulan dari metode ini dibandingkan metode clean up yang lain adalah proses clean up lebih sederhana, waktu analisis lebih singkat, dan jumlah pelarut yang digunakan lebih sedikit dibandingkan metode yang lain, seperti ekstraksi LLE (Barranco et al. 2003). Metode clean up ini memberikan hasil recovery yang baik pada analisis PAH dalam berbagai jenis matriks pangan seperti minyak nabati (Barranco et al. 2003) dan beberapa jenis daging (Janoszka et al. 2004, Farhadian et al. 2011).

Dewasa ini deteksi PAH dalam makanan lebih banyak dilakukan dengan menggunakan instrumen HPLC dibandingkan dengan kromatografi gas (GC). Hal ini dikarenakan GC memiliki beberapa kelemahan, diantaranya kebanyakan PAH akan mengalami degradasi saat terkena suhu tinggi pada analisis dengan GC dan instrumen GC sulit digunakan untuk memisahkan PAH yang berbentuk isomer. Sebaliknya, analisis PAH menggunakan HPLC memiliki keunggulan karena tidak menggunakan suhu tinggi dan kolom serta detektor yang digunakan, yaitu

(10)

fluoresens ataupun UV, memiliki sensitivitas dan selektifitas yang lebih baik untuk pemisahan molekul PAH, termasuk isomer-isomernya (Janoszka 2004).

Chen et al. (1996) membandingkan sensitivitas detektor UV dan fluoresens dalam analisis 16 molekul PAH yang dikategorikan pencemar lingkungan oleh EPA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa detektor fluoresens memiliki sensitivitas hingga 320 kali lebih sensitif dibanding detektor UV. Limit deteksi analisis molekul PAH dengan menggunakan detektor UV pada penelitian ini berkisar antara 0.02-1.54 ng. Berbagai hasil penelitian dalam Janoszka et al. (2004) menunjukkan bahwa kandungan PAH produk olahan daging berkisar antara 0.01-42.20 ng/g. Nilai ini berada dalam limit deteksi detektor UV dan menunjukkan bahwa detektor ini cukup sensitif untuk analisis PAH dalam makanan, terutama produk olahan daging. Penelitian oleh Riverra et al. (1996) menunjukkan hasil recovery yang baik untuk analisis PAH dengan detektor UV.

Analisis PAH umumnya dilakukan pada kolom C18 ataupun kolom khusus PAH, yang berisi C18 dan silika ultra pure untuk meningkatkan deteksi alat. Sistem HPLC yang digunakan adalah reversed phase chromatography (RPC) dengan fase gerak campuran asetonitril dan air ataupun metanol dan air dengan jenis elusi isokratik (Chen et al. 1996, Farhadian et al. 2011, Janoszka et al. 2004, Riverra et al. 1996). Pemisahan dengan sistem RPC umumnya lebih cepat, mudah, dan aman dan telah banyak digunakan sejak 1970an. Selain itu pelarut yang digunakan pada kromatografi RPC umumnya kompatibel dengan detektor UV (Snyder 2010; Dong 2006). Untuk analisis lebih dari 10 molekul PAH secara simultan, Chen et al. (1996) menyarankan penggunaan aliran gradien dibandingkan aliran isokratik. Hal ini dikarenakan penggunaan aliran gradien akan menghasilkan peak yang terpisah dan waktu analisis yang lebih singkat.

2.7 Response Surface Methodology

Response surface methodology (RSM) merupakan kumpulan teknik matematika dan statistika yang berguna untuk analisis dan permodelan dari suatu permasalahan (respons) dengan satu atau lebih perlakuan dalam penelitian (Montgomery 2001). Perancangan model dengan menggunakan RSM dapat memberikan hubungan atau korelasi dari suatu permasalahan dengan kombinasi perlakuan yang berbeda. Tujuan utama dari RSM adalah membantu peneliti untuk

(11)

merancang percobaan agar mendapatkan hasil paling optimum dari percobaan tersebut (Montgomery 2001).

Metode RSM umum digunakan untuk optimasi proses kimia maupun biokimia seperti optimasi reaksi enzimatis, optimasi formula dalam pembuatan roti, optimasi proses ekstraksi zat tertentu dari matriks pangan, dan juga optimasi proses untuk reduksi komponen berbahaya seperti akrilamid (Lasekan & Abbas 2011; Mestadagh et al 2008). Lasekan dan Abbas (2011) melakukan optimasi kondisi pemanggangan dengan menggunakan RSM-central composite design (CCD)pada kacang almond untuk menurunkan kandungan akrilamid dari kacang almond tersebut. Mestadagh et al. (2008) melakukan optimasi proses blansir dengan RSM dengan desain CCD pada kentang untuk mereduksi akrilamid yang terbentuk pada produk olahan kentang goreng. Kedua peneliti tersebut berhasil melakukan optimasi proses pengolahan dengan RSM untuk menurunkan akrilamid yang terbentuk pada produk pangan.

Optimasi proses untuk mereduksi PAH dengan RSM pada makanan belum banyak dilaporkan. Penelitian hanya sebatas pada optimasi metode ekstraksi PAH dengan metode LC-MS maupun microwave-assisted dengan bantuan RSM seperti yang dilaporkan oleh Ramalhosa et al. (2012) dan Gonzalez et al. (2007). Contoh penelitian optimasi reduksi PAH adalah penelitian yang dilakukan Ghevariya et al. (2011) yang meneliti tentang komposisi media pertumbuhan yang optimum (dengan bantuan RSM) bagi bakteri Achronobacter cylosoxidians untuk mereduksi chrysene. Penelitian optimasi proses pemasakan untuk reduksi PAH pada makanan belum pernah dilakukan sebelumnya.

Gambar

Tabel 1 Toxic equivalency factor (TEF) molekul PAH karsinogen terhadap BAP
Gambar 2 Mekanisme pembentukan ikatan kovalen BAP dan DNA (Luch 2005a).

Referensi

Dokumen terkait

Terlepas dari faktor yang melandasi terjadinya permasalahan atau konflik, gejala yang timbul dalam organisasi saat terjadi konflik dimana saat individu atau suatu kelompok

Sosiaalista mediaa, kuten Facebookia, käytti yli 60 prosenttia kasvuhakuisista yrityksistä, mutta kaikista yrityksistä alle 40 prosenttia. Pilvipalveluita kasvuhakuiset

25 Pertanyaan selanjutnya adalah Apakah mahasiswa yang menilai hasil penggunaan bahasa karangan bahasa inggris mereka sendiri (self assessment) dengan nilai tinggi

Dan dengan tingkat rata-rata pada semua item penyataan pada variabel kualitas pelayanan sebesar 4,22 maka dipastikan bahwa kualitas pelayanan memiliki pengaruh yang signifikan

1) Memberikan penyuluhan pemahaman hukum kepada masyarakat dan sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar sampai tingkat lanjutan dan juga instansi-instansi Mengenai

Batasan masalah yang diteliti akan dibatasi pada fokus penelitian ini adalah pengembangan media pembelajaran berupa modul praktikum fisika pada pokok bahasan getaran

Pemerintah kota Semarang sudah menginformasikan tentang program kejar paket C kepada masyarakat tetapi keberhasilan untuk mengajak anak putus sekolah mengikuti

Solo atau dual lane langsung beli Courier dan Ward. Share courier ke semua temanmu lalu pasang ward di titik- titik yang kalian butuhkan. Kalau kamu bukan solo tetap pasang ward di