• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Parenting Self-Efficacy dan Dukungan Sosial pada Ibu dengan HIV/AIDS yang Memiliki Anak Usia Kanak-Kanak Madya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan antara Parenting Self-Efficacy dan Dukungan Sosial pada Ibu dengan HIV/AIDS yang Memiliki Anak Usia Kanak-Kanak Madya"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan antara Parenting Self-Efficacy dan Dukungan Sosial pada Ibu

dengan HIV/AIDS yang Memiliki Anak Usia Kanak-Kanak Madya

Shabrina Adzhani Awanis Latief*, Erniza Miranda Madjid, dan Efriyani Djuwita

Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia Depok 16424, Indonesia

*E-mail: awanis.latief@gmail.com

Abstrak

Meningkatnya jumlah ibu penderita HIV/AIDS di Indonesia membuat perlunya untuk mengetahui dinamika kehidupan mereka, terutama keyakinannya dalam melakukan parenting terhadap anak. Keyakinan dalam melakukan parenting ini disebut sebagai parenting self-efficacy (Coleman & Karraker, 1997). Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan parenting self-efficacy dan dukungan sosial pada ibu dengan HIV/AIDS yang memiliki anak usia kanak-kanak madya. Pengukuran parenting self-efficacy dilakukan melalui alat ukur Self-Efficacy Parenting for Tasks Index (SEPTI) (Coleman & Karraker, 2000), sedangkan dukungan sosial diukur melalui dua komponen—yaitu persepsi terhadap jumlah orang yang dapat diandalkan dan kepuasan akan dukungan yang ada—dalam alat ukur Social Support Questionnaire-Short Form (SSQSR) (Sarason, Sarason, Shearin & Pierce, 1987). Partisipan penelitian ini berjumlah 30 ibu yang terinfeksi HIV dan memiliki anak usia lima hingga dua belas tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara parenting self-efficacy dengan persepsi jumlah dukungan sosial (r = 0,386 ; n = 30; p < 0,05, two-tail) dan juga kepuasan akan dukungan sosial(r = 0,409 ; n = 30; p < 0,05, two-tail). Artinya, semakin tinggi parenting self-efficacy ibu, semakin tinggi pula dukungan sosial yang ibu persepsikan; begitu pula sebaliknya. Ditemukan pula bahwa domainparenting self-efficacy tertinggi adalah nurturance sedangkan yang terendahadalah disiplin. Analisis tambahan juga menemukan adanya perbedaan yang signifikan pada parenting self-efficacy ibu dengan HIV/AIDS berdasarkan urutan kelahiran anak mereka yang berusia kanak-kanak madya.

The Relationship between Parenting Self-Efficacy and Social Support among HIV/AIDS Mothers with Middle Childhood Children

Abstract

Mothers living with HIV/AIDS are significantly increasing in Indonesia. By then, it’s important to know further about their life, including their belief in parenting their children. The mother’s belief in parenting is called parenting self-efficacy (Coleman & Karraker, 1997). This study examined the relationship between parenting efficacy and social support among HIV/AIDS mothers with middle childhood children. Parenting self-efficacy was measured by Self-Efficacy Parenting for Tasks Index (SEPTI) (Coleman & Karraker, 2000), while social support measured through it’s two elements (the perception of available others to whom one can turn in times of need and the degree of satisfaction with the available support) in Social Support Questionnaire-Short Form (SSQSR) (Sarason, Sarason, Shearin & Pierce, 1987). The participants in this study were 30 mothers infected HIV with middle childhood children. The result shows that there is a significant, positive relationship between parenting self-efficacy and both of the elements of social support, which are the perception of social support numbers (r = 0,386 ; n = 30; p < 0,05, two-tail) and the satisfaction of the support (r = 0,409 ; n = 30; p < 0,05, two-tail). Those indicates that the higher mothers’ parenting self efficacy, the higher they perceive social

support, and vice versa. This study also found that the highest domain in parenting self-efficacy is nurturance, while the lowest is discipline. Furthermore, this study found that there is a difference between mothers’ parenting self-efficacy based on their middle childhood child’s ordinal position.

(2)

Pendahuluan

HIV/AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan yang tak asing lagi bagi seluruh penduduk di dunia. Tercatat pada tahun 2011, di Asia terdapat hampir lima juta orang yang terinfeksi HIV (UNAIDS, 2012). Perkembangannya pun cukup pesat karena khususnya di Asia Selatan dan Asia Tenggara, dalam kurun waktu 10 tahun, terdapat peningkatan estimasi jumlah kasus sebanyak 300.000 jiwa (UNAIDS, 2012). Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan epidemi HIV/AIDS yang paling cepat berkembang di Asia (UNAIDS, 2012). Dalam Laporan Ditjen PP & PL Kemenkes RI (2013) dikatakan bahwa kasus jumlah infeksi HIV tertinggi berada di Jakarta, sementara kasus AIDS paling banyak dilaporkan dari Papua (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013). Akhir-akhir ini, dalam media marak diberitakan mengenai adanya peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS dari kalangan ibu rumah tangga. Data statistik terkini pun menunjukkan bahwa ternyata dalam periode Juni tahun 2012 hingga Maret 2013 peningkatan terbesar jumlah kasus AIDS adalah pada ibu rumah tangga, yaitu sebesar 1.575 jiwa, dari 3.368 jiwa menjadi 4.943 jiwa (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2012; 2013). HIV/AIDS yang diderita oleh para ibu rumah tangga ini dapat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan fisik dan psikologis mereka yang akhirnya berdampak pada peran dan produktivitasnya sebagai seorang ibu.

Seorang ibu yang terkena HIV/AIDS, selain kondisi kesehatan fisiknya yang melemah, ia juga menghadapi berbagai tantangan praktis dan psikologis. Di antaranya adalah ketidakberfungsian peran dalam keluarga, stres dalam hal ekonomi, kehidupan sosial, dan emosi (Riedinger, 2001 dalam Rai, Dutta & Gulati, 2010), konfrontasi dengan adanya stigma dan diskriminasi (Armistead & Forehand, 1995), serta perencanaan akan masa depan anak apabila ibu meninggal (Dorsey, Klein, Forehand & Family Health Project Research Group, 1999). Keluarga ini pun biasanya berada pada strata sosioekonomi yang paling rendah, sehingga mereka lebih mudah terekspos dengan lebih dari satu stressor (Armistead & Forehand, 1995). Hal-hal ini lah yang dapat menyebabkan ibu dengan HIV/AIDS ini relatif lebih banyak memunculkan gejala depresi dibandingkan dengan ibu yang tidak terinfeksi HIV (Brackis-Cott, Mellins, Dolezal & Spiegel, 2007). Dorsey, et al. (1999) pun mengatakan bahwa ibu dengan HIV ini biasanya memiliki peran ganda karena mayoritas dari mereka merupakan orangtua tunggal. Banyak dari mereka yang terinfeksi HIV akibat tertular pasangannya, lalu pasangannya lebih dahulu meninggal (Nelms, 2005). Akibatnya, selain harus menghadapi penyakitnya, ibu lah yang memegang kendali dalam membesarkan anak (Oswalt & Biasimi, 2012).

(3)

Coleman dan Karraker (1997) mengatakan bahwa menjadi ibu adalah suatu peran yang berkelanjutan, terdapat komitmen yang harus dijalankan yaitu untuk secara teratur menyediakan perlindungan, pemeliharaan, dan perawatan pada anak. Peran ini pun berubah seiring dengan perkembangan anak, salah satunya dalam melakukan parenting. Akibat dari infeksi HIV dapat memengaruhi bagaimana ibu melakukan parenting dan juga berdampak pada seluruh anggota keluarganya, terutama anak, karena adanya stres dari penyakit yang ibu derita (Kotchik, Forehand, Brody, Armistead, Simon, Morse & Clark, 1997). Ibu dengan HIV/AIDS ini pun ditemukan memiliki kualitas hubungan yang rendah antara dirinya dengan anak (Oswalt & Biasini, 2012). Kotchik, et al. (1997) dan Murphy, Roberts, dan Herbeck (2011) menemukan bahwa ibu yang terinfeksi HIV memiliki kemampuan yang kurang baik dalam beberapa area parenting. Misalnya dalam melakukan tugas parenting pada anak usia sekolah atau kanak-kanak madya, ibu dengan HIV/AIDS ini kurang baik dalam melakukan pengawasan terhadap anak (Kotchik, et al., 1997). Infeksi HIV ini juga dapat berimbas pada hambatan bagi ibu untuk terlibat langsung dengan anak baik dalam beraktivitas maupun rekreasi. Kondisi fisik yang lemah pada ibu menyebabkan aktivitas yang bisa ia lakukan sangat terbatas. Akibatnya, ibu dengan HIV/AIDS ini tidak bisa memenuhi kebutuhan anak (Bauman, Camacho, Silver, Hudis & Draimin, 2002). Damar dan du Plessis (2010) pun mengatakan bahwa stigma mengenai HIV/AIDS ini di Indonesia masih sangat tinggi. Akibat tingginya stigma ini dapat menyebabkan keengganan bagi ibu untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga anak dari ibu dengan HIV/AIDS ini pun dapat terkena imbasnya akibat pergaulan yang terbatas.

Anak berusia kanak-kanak madya dari ibu dengan HIV/AIDS ini memiliki kemungkinan untuk menghadapi masalah dalam penyesuaian diri serta adanya potensi kesehatan mental yang buruk disamping masalah dalam perilaku dan sosialnya (Bauman, et al., 2002). Selain karena dihadapkan oleh banyaknya stressor, menerima kenyataan bahwa ibu yang mendapatkan diagnosis HIV/AIDS merupakan suatu hal yang sulit diterima bagi anak, terutama pada anak usia kanak-kanak madya (Bauman, et al., 2002). Jika dibandingkan dengan tahapan usia anak setelah kanak madya, anak yang berada pada usia kanak-kanak madya ini belum sepenuhnya memiliki pemahaman mengenai HIV/AIDS serta belum mampu untuk berempati terkait penyakit yang diderita oleh ibu (Bauman, et al., 2002).

Salah satu potensi yang penting dalam melakukan parenting dan dapat meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak adalah parenting self-efficacy (Dorsey, et al, 1999). Parenting self-efficacy berangkat dari teori self-efficacy Bandura yang dikembangkan dalam ranah

(4)

sebagai keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk menghasilkan performa yang diharapkan. Kemudian Coleman dan Karraker (2000) mendefinisikan parenting self-efficacy

sebagai estimasi kompetensi orangtua dalam menjalankan perannya atau persepsi mereka terhadap kemampuannya dalam memberikan pengaruh yang positif dalam perilaku serta perkembangan anak. Saat ibu memiliki parenting self-efficacy yang tinggi, ia akan melakukan

parenting yang positif walaupun dihadapkan dengan berbagai macam stressor (Coleman & Karraker, 1997). Selain itu, ia juga memiliki minat, komitmen, dan persistensi yang tinggi dalam melakukan parenting, toleran terhadap tantangan yang dihadapi serta mampu mengatasi stressor dengan efektif (Coleman & Karraker, 2005). Ibu juga dapat menunjukkan kompetensi yang lebih baik dalam perilaku parenting, termasuk meningkatnya pengawasan dan responsif terhadap anak (Bogenschneider, Small & Tsay, 1997 dalam Dorsey, et al., 1999) serta membuat strategi parenting yang lebih baik (Elder, Eccles, Ardelt & Lord, 1995 dalam Dorsey, et al., 1999). Rodrique, Geffken, Clark, Hunt, dan Fishel (1994) dalam Dorsey, et al. (1999) juga menemukan bahwa semakin tinggi tingkat parenting self-efficacy yang dimiliki ibu, berhubungan dengan psychosocial adjustment anak yang lebih baik. Dari penelitian yang dilakukan oleh Armistead dan Forehand (1995), ditemukan bahwa bagi ibu yang terinfeksi HIV, anak dan parenting merupakan prioritas utama dalam hidup mereka. Oleh karena itu, keyakinan akan kemampuan diri untuk mengasuh anak atau parenting efficacy menjadi penting. Tidak hanya berpengaruh pada anak, tapi keyakinan ibu akan perannya dalam mengasuh anak dapat membuat dirinya sadar mengenai pentingnya peran dirinya dalam keluarga maupun lingkungan sosial (Dorsey, et al., 1999).

Elder, et al. (1995) dalam Dorsey, et al. (1999) mengemukakan bahwa salah satu faktor yang berhubungan positif dengan parenting self-efficacy adalah dukungan sosial yang diterima oleh orangtua. Dukungan sosial didefinisikan sebagai eksistensi atau keberadaan orang-orang yang bisa diandalkan, yaitu orang-orang yang peduli, menghargai, dan menyayangi kita (Sarason, Levine, Basham & Sarason, 1983). Dukungan sosial terkadang lebih menguntungkan saat seseorang mempersepsikannya daripada menggunakannya, karena ketika seseorang percaya bahwa ada orang lain yang peduli terhadap keadaannya, stres yang dirasakan akan berkurang (Taylor, Sherman, Kim, Jarcho, Takagi & Dunagan, 2004). Persepsi akan dukungan sosial ini merupakan salah satu faktor protektif bagi ibu dengan HIV/AIDS, karena dapat bermanfaat baik bagi dirinya maupun dalam melakukan parenting (Levy-Shiff, Dimitrovsky, Shulman & Har-Even, 1998 dalam Respler-Herman, 2009). Mereka akan lebih memandang hidup secara positif saat ibu dengan HIV/AIDS ini percaya bahwa dirinya tidak sendirian dan akan ada orang yang dapat diandalkan saat dibutuhkan (Edwards, 2006).

(5)

Permasalahan dan stres yang dihadapi ibu akibat penyakitnya ini dapat terbantu sehingga ibu akan lebih dapat berfokus untuk melakukan parenting yang baik terhadap anak (Brackis-Cott, et al., 2007). Teti dan Gelfland (1991) dalam Holloway, Suzuki, Yamamoto, dan Behrens (2005) mengatakan bahwa ketika puas terhadap dukungan sosial yang diterima, ibu akan merasa lebih sejahtera secara emosional dan juga percaya diri karena merasa akan selalu ada orang yang berada di sisinya. Oleh karena itu, ketika ia dihadapkan dengan berbagai macam

stressor, ia tetap dapat berfungsi dengan baik, termasuk keyakinannya dalam melakukan

parenting. Dengan demikian, seperti apa yang dikatakan Young (2011) bahwa dukungan sosial dapat melindungi parental self-efficacy dari dampak negatif yang diakibatkan oleh sumber stres dalam hidup.

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, terlihat bahwa dukungan sosial berhubungan positif dengan parenting self-efficacy pada ibu dengan HIV/AIDS. Akan tetapi Dorsey, et al. (1999) justru menemukan hubungan yang negatif antara dukungan sosial dan parenting self-efficacy pada ibu yang terinfeksi HIV. Dalam penelitiannya, Dorsey et al. melihat hubungan antara parenting self-efficacy ibu yang terinfeksi HIV dan received social support yang spesifik terkait parenting. Ditemukan bahwa saat ibu yang terinfeksi HIV diberikan banyak dukungan secara aktual dan terkait dengan pengasuhan, mereka justru merasa dipertanyakan kemampuannya dan merasa tidak berdaya dalam mengasuh anak, sehingga mereka merasa tidak memiliki self-efficacy dalam parenting yang tinggi (Dorsey, et al., 1999). Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Sarason, Sarason, Shearin, dan Pierce (1987) bahwa saat dukungan sosial dispesifikkan terhadap suatu fungsi tertentu, akan ada kemungkinan dukungan sosial diberikan di waktu yang tidak tepat atau dipaksakan sehingga menimbulkan dampak negatif. Dorsey, et al. (1999) mengatakan bahwa terdapat banyak sudut pandang dukungan sosial yang mungkin akan membuat hasil penelitian lanjutan berbeda. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara parenting self-efficacy dan dukungan sosial namun dari sudut pandang lain, yaitu dukungan sosial secara perceived pada ibu dengan HIV/AIDS yang memiliki anak usia kanak-kanak madya.

Tinjauan Teoretis Parenting Self-Efficacy

Parenting self-efficacy berawal dari teori perceived self-efficacy milik Bandura (Coleman & Karraker, 1997). Bandura (1986) menjelaskan perceived self-efficacy sebagai penilaian seseorang terhadap kemampuannya untuk menghasilkan performa atau tingkah laku yang diharapkan. Menurut Bandura (1989) dalam Coleman dan Karraker (1997), self-efficacy

(6)

dalam aspek parenting—atau parenting self-efficacy—melibatkan pengetahuan yang

berkaitan dengan tingkah laku yang terlibat dalam proses pengasuhan anak serta tingkat kepercayaan terhadap kemampuan diri untuk menampilkan tingkah laku yang diharapkan. Kemudian Coleman dan Karraker (2000) mendefinisikan parenting self-efficacy sebagai estimasi orangtua akan kompetensinya dalam menjalankan perannya atau persepsi mereka terhadap kemampuannya dalam memberikan pengaruh yang positif dalam perilaku dan perkembangan anak. Terdapat lima domain dalam parenting self-efficacy, yaitu achievement, rekreasi, disiplin, nurturance, dan kesehatan. Kelima domain ini mencakup hal-hal yang berkaitan dengan parenting pada anak usia kanak-kanak madya (Coleman & Karraker, 2000).

Dukungan Sosial

Salah satu cara yang dapat membantu seseorang mampu menghadapi kejadian yang menimbulkan stres dan mempertahankan kesehatan yang baik adalah dukungan sosial (Sarafino & Smith, 2012). Dukungan sosial dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu yang diberikan secara aktual (received social support) dan yang dipersepsikan (perceived social support). Saat seseorang diberikan dukungan secara aktual, terdapat kemungkinan dampak negatif yang dapat dialami, yaitu adanya perasaan bersalah, keharusan untuk balas budi, dan terancamnya self-esteem (Taylor, 2012). Lain halnya dengan perceived social support. Ketika seseorang tahu bahwa ada orang lain yang peduli terhadap keadaannya tanpa secara langsung meminta bantuan yang spesifik atau meminta seseorang untuk menghibur, stres yang dirasakan akan berkurang dan ia juga akan merasa lebih terbantu atau terhibur (Taylor, et al., 2004). Menurut Sarason, Levine, Basham, dan Sarason (1983), dukungan sosial adalah eksistensi atau keberadaan orang-orang yang bisa diandalkan, yaitu orang-orang yang peduli, menghargai, dan mencintai kita. Sarason, et al. (1983) mengatakan bahwa terdapat dua komponen dalam dukungan sosial, yaitu persepsi individu akan adanya sejumlah orang yang dapat diandalkan ketika ia membutuhkan dukungan dan tingkat penilaian akan kepuasan terhadap dukungan yang ada.

Parenting pada Ibu dengan HIV/AIDS yang Memiliki Anak Usia Kanak-Kanak Madya Anak usia kanak-kanak madya, atau lebih umum dikenal dengan anak usia sekolah adalah mereka yang berusia lima hingga dua belas tahun (Coleman & Karraker, 2000). Pada masa ini, orangtua memiliki beberapa tugas parenting di antaranya adalah perhatian, responsif, selalu ada untuk anak, menjadi model untuk tingkah laku yang diharapkan dilakukan anak, melakukan pengawasan dan pengarahan terhadap tingkah laku anak dari jarak

(7)

tertentu, mendorong anak untuk melakukan aktivitas baru dan memeroleh keahlian baru, mengembangkan kemampuan bersosialisasi kepada teman-teman seusianya, serta melakukan aktivitas yang menyenangkan di waktu senggang (Brooks, 2011). Pada ibu dengan HIV/AIDS, ada beberapa tugas parenting yang terhambat akibat penyakit yang ia derita. Misalnya dalam memberikan pengawasan dan pengarahan kepada anak ketika beraktivitas di luar rumah (Kotchik, et al., 1997). Ketika kesehatan ibu menurun, ibu akan menghabiskan banyak waktunya untuk beristirahat atau melakukan perawatan, sehingga akhirnya ibu tidak dapat melakukan tugasnya (Armistead & Forehand, 1995 dalam Dorsey, et al., 1999). Aktivitas yang bisa ibu lakukan pun sangat terbatas, baik waktu maupun jenisnya, sehingga ia tidak bisa sepenuhnya memenuhi kebutuhan anak (Bauman, et al., 2002).

Metode Penelitian Variabel Penelitian, Partisipan Penelitian, dan Prosedur

Variabel dalam penelitian ini adalah parenting self-efficacy (terdiri dari lima domain, yaitu achievement, rekreasi, disiplin, nurturance, dan kesehatan) dan dukungan sosial (terdiri dari dua komponen yaitu persepsi jumlah orang yang dapat diandalkan dan kepuasan terhadap dukungan yang ada). Partisipan penelitian ini adalah tiga puluh ibu yang terinfeksi HIV dan memiliki anak usia lima hingga dua belas tahun. Peneliti memilih partisipan dengan bantuan dari salah satu yayasan yang bergelut di bidang HIV/AIDS di Jakarta Selatan untuk menjaring partisipan yang sesuai dengan karakteristik sampel. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan metode convenience sampling karena partisipan dipilih berdasarkan ketersediaan dan keinginannya untuk terlibat dalam penelitian (Gravetter & Forzano, 2009). Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Cara administrasi kuesioner dalam penelitian ini menurut Kumar (2005) adalah dengan collective administration, yaitu memberikan kuesionernya langsung pada sekelompok ibu yang berada di yayasan HIV/AIDS yang peneliti tuju.

Pengukuran

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur parenting self-efficacy adalah Self-Efficacy Parenting Tasks Index (SEPTI) yang dikembangkan oleh Coleman & Karraker (2000) dan telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia. Alat ukur SEPTI terdiri dari 36 item yang mencakup lima domain, yaitu achievement, rekreasi, disiplin, nurturance, dan kesehatan. Setiap item dinilai menggunakan 6 poin skala Likert, yaitu ―sangat tidak sesuai‖ dengan nilai

(8)

1 hingga ―sangat sesuai‖ dengan nilai 6. Untuk item unfavorable, nilai aturan skoring dibalik yaitu nilai 1 untuk ―sangat sesuai‖ hingga nilai 6 ―sangat tidak sesuai‖.

Untuk pengukuran dukungan sosial, alat ukur yang digunakan adalah Social Support Questionnaire-Short Form (SSQSR) oleh Sarason, et al. (1987) dan telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia. Alat ukur ini terdiri dari dua komponen, yaitu: 1) Komponen number

(SSQN), yang mengukur jumlah orang yang dipersepsikan dapat diandalkan. Partisipan diminta untuk menuliskan secara spesifik inisial nama dan hubungan dari orang-orang yang dianggap dapat diandalkan dalam beberapa situasi yang disebutkan pada item-item dalam alat ukur. Setiap inisial nama yang dituliskan diberi skor 1, dan jika tidak ada diberi skor 0. Di setiap itemnya, partisipan dapat menuliskan maksimal 9 inisial nama; 2) Komponen

satisfaction / kepuasan (SSQS), yang mengukur tingkat kepuasan partisipan terhadap dukungan yang ada. Partisipan diminta untuk melingkari salah satu dari angka 1-6 untuk menilai seberapa puaskah dirinya atas dukungan yang ada di beberapa situasi yang disebutkan pada tiap item. Pilihan angka 1 untuk ―sangat tidak puas‖ hingga 6 ―sangat puas‖.

Metode Analisis Data

Data dari kuesioner yang didapatkan, kemudian diskor sesuai ketentuan masing-masing alat ukur. Skor tersebut kemudian diolah dengan menggunakan aplikasi IBM Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 20 untuk melakukan beberapa teknik statistik, yaitu: 1) Statistik deskriptif, untuk mengetahui gambaran umum karakteristik partisipan dan gambaran skor parenting self-efficacy yang diperoleh partisipan; 2) Partial correlation, untuk melihat hubungan dan signifikansi dari dua variabel yang diteliti dengan mengontrol variabel lainnya (Field, 2009). Dalam penelitian ini, pengukuran dukungan sosial terdiri dari dua komponen yang tidak dapat digabung, maka perlu adanya kontrol atas salah satu komponen agar tidak mengontaminasi atau memengaruhi hubungan dan signifikansi antarvariabel yang diukur; 3) Independent sample t-test, untuk mengetahui perbandingan rata-rata skor variabelberdasarkan aspek demografis terhadap dua kelompok sampel; dan 4) One-Way Analysis of Variance (ANOVA), untuk mengetahui perbandingan rata-rata skor variabel berdasarkan aspek demografis terhadap lebih dari dua kelompok sampel.

Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang akan dipaparkan adalah gambaran umum karakteristik partisipan penelitian, hasil penghitungan antarvariabel yang diteliti, gambaran persebaran skor domain

(9)

dalam parenting self-efficacy, dan perbedaan rata-rata skor parenting self-efficacy yang signifikan berdasarkan aspek demografis.

Tabel 1. Gambaran Umum Karakteristik Partisipan

Karakteristik Frekuensi Persentase

Usia Partisipan 21-25 tahun 1 3,33% 26-30 tahun 14 46,67% 31-35 tahun 7 23,33% 36-40 tahun 8 26,67% Agama Partisipan Islam 28 93,33% Kristen 2 6,67%

Status Pernikahan Partisipan

Janda 11 36,67%

Menikah 19 63,33%

Status HIV Suami (atau Alm. Suami) Partisipan

Negatif 6 20% Positif 24 80% Suku Partisipan Batak 1 3,33% Betawi 5 16,67% Betawi – Pakistan 1 3,33% Jawa 9 30% Manado 2 6,67% Padang 1 3,33% Sunda 9 30% Sunda – Betawi 2 6,67% Pekerjaan Partisipan Guru TK 1 3,33%

Ibu Rumah Tangga 20 66,67%

Pegawai swasta 5 16,67%

Wiraswasta 2 6,67%

Lain-lain 2 6,67%

Jumlah Anak Partisipan

1 11 36,67%

2 11 36,67%

3 7 23,33%

>3 1 3,33%

Usia Anak Partisipan yang Berusia Kanak-Kanak Madya

5 tahun 5 16,67% 6 tahun 4 13,33% 7 tahun 2 6,67% 8 tahun 5 16,67% 9 tahun 4 13,33% 10 tahun 3 10% 11 tahun 3 10% 12 tahun 4 13,33%

Urutan Kelahiran Anak Partisipan yang Berusia Kanak-Kanak Madya

Sulung 10 33,33%

Tengah 4 13,33%

Bungsu 5 16,67%

Tunggal 11 36,67%

Status HIV Anak Partisipan yang Berusia Kanak-Kanak Madya

Negatif 21 70%

(10)

Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat bahwa mayoritas partisipan berusia 26-30 tahun, beragama Islam, menikah, memiliki suami atau almarhum suami yang berstatus HIV positif, bersuku Jawa dan Sunda, berprofesi sebagai ibu rumah tangga, memiliki satu atau dua anak, memiliki anak yang berusia kanak-kanak madya dengan urutan lahir sulung dan tunggal, serta memiliki anak berusia kanak-kanak madya yang berstatus HIV negatif.

Tabel 2. Hasil Penghitungan Antarvariabel yang Diteliti

Variabel R Sig. (p) r2

Parenting Self-Efficacy dan Persepsi Jumlah Dukungan

Sosial 0,386 0,039* 0,149

Parenting Self-Efficacy dan Kepuasan Dukungan Sosial 0,409 0,028* 0,167 * Signifikan pada L.o.S 0,05

Berdasarkan tabel 2, dapat dilihat bahwa parenting self-efficacy berkorelasi positif secara signifikan baik dengan persepsi jumlah dukungan sosial (r = 0,386 ; n = 30; p < 0,05,

two-tail) maupun kepuasan akan dukungan sosial (r = 0,409 ; n = 30; p < 0,05, two-tail) itu sendiri. Oleh karena itu, dapat diinterpretasikan bahwa semakin tinggi parenting self-efficacy

ibu, maka semakin tinggi dukungan sosial yang ibu persepsikan, begitu pula sebaliknya. Selain itu, pada hubungan antara parenting self-efficacy dengan persepsi jumlah dukungan sosial ditemukan nilai coefficient of determination (r2) sebesar 0,149, yang berarti sebanyak 14,9% variansi skor parenting self-efficacy dapat dijelaskan oleh skor persepsi jumlah dukungan sosial. Adapun 86,1% variansi lainnya dapat dijelaskan melalui faktor kebetulan, eror, atau faktor-faktor lain yang tidak diukur dalam penelitian ini. Kemudian, pada hubungan antara parenting self-efficacy dengan kepuasan dukungan sosial, nilai

coefficient of determination (r2) yang ditemukan adalah sebesar 0,167, yang berarti sebanyak 16,7% variansi skor parenting self-efficacy dapat dijelaskan oleh skor kepuasan dukungan sosial. Adapun 83,3% variansi lainnya, dapat dijelaskan melalui faktor kebetulan, eror, atau faktor-faktor lain yang tidak diukur dalam penelitian ini.

Tabel 3. Gambaran Persebaran Skor Domain Parenting Self-Efficacy Partisipan

DomainParenting Self-Efficacy Jumlah

Item Skor Terendah Skor Tertinggi Skor Rata-rata Standar Deviasi Disiplin 8 2,5 5,38 3,97 0,87 Achievement 7 2,57 5,71 4,63 0,72 Rekreasi 7 3 5,71 4,63 0,72 Nurturance 7 2,43 6 4,69 0,69 Kesehatan 7 2,71 5,86 4,53 0,76

(11)

Berdasarkan tabel 3, dapat dilihat bahwa skor rata-rata parenting self-efficacy tertinggi yang diperoleh partisipan adalah pada domainnurturance dan yang terendah adalah domain

disiplin.

Tabel 4. Perbandingan Skor Parenting Self-Efficacy berdasarkan Urutan Kelahiran Urutan Kelahiran dari Anak Partisipan

(Usia Kanak-Kanak Madya) M F / t dan p Keterangan

Sulung 4,43 F = 3,36 (p = 0,03) Signifikan Tengah 3,84 Bungsu 4,73 Tunggal 4,63

Setelah dilakukan penghitungan untuk melihat signifikansi perbedaan rata-rata skor variabel berdasarkan aspek demografis, ditemukan adanya perbedaan rata-rata skor parenting self-efficacy berdasarkan urutan kelahiran anak yang berusia kanak-kanak madya. Dari tabel 4, dapat dilihat bahwa partisipan yang memeroleh rata-rata skor tertinggi adalah partisipan yang memiliki anak usia kanak-kanak madya dengan urutan lahir bungsu, sedangkan yang terendah adalah dengan urutan lahir tengah.

Pembahasan

Dari hasil dan analisis penelitian, diketahui bahwa parenting self-efficacy memiliki korelasi positif yang signifikan dengan dukungan sosial, baik itu dari persepsi jumlah orang yang ada untuk diandalkan maupun kepuasan akan dukungan yang ada. Hasil ini menunjukkan bahwa partisipan yang memiliki tingkat parenting self-efficacy yang tinggi akan memiliki dukungan sosial yang tinggi pula, begitu juga sebaliknya. Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian lain yang juga melihat dukungan sosial secara perceived, di antaranya yaitu Holloway, et al. (2005), Cutrona dan Troutman (1986), Junttila, Vauras, dan Laakkonen (2007), Leahy-Warren, McCarthy, dan Corcoran (2009), dan Young (2011). Akan tetapi hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Dorsey, et al. (1999) yang juga meneliti parenting self-efficacy dan dukungan sosial pada ibu yang terinfeksi HIV.

Dorsey, et al. (1999) menemukan bahwa dukungan sosial berkorelasi negatif dengan

parenting self-efficacy. Salah satu alasan mengapa ada perbedaan dengan penelitian ini adalah karena adanya perbedaan sudut pandang dari dukungan sosial yang digunakan. Dorsey, et al. (1999) melihat dukungan sosial secara received dan terkait dengan parenting saja, sedangkan penelitian ini melihat dukungan sosial secara perceived. Dikatakan dalam Sarason, et al. (1987) bahwa ketika dukungan sosial secara aktual diberikan (seperti dalam penelitian

(12)

Dorsey, et al. yakni received social support) dan dispesifikkan terhadap suatu fungsi tertentu (dalam penelitian Dorsey, et al. yaitu dukungan yang terkait dengan parenting), maka ada kemungkinan dukungan sosial tersebut diberikan di waktu yang tidak tepat atau dipaksakan, sehingga justru menimbulkan dampak negatif. Dorsey, et al. mengatakan bahwa bantuan yang diberikan kepada ibu secara langsung terkait pengasuhan anak dapat membuat ibu dengan HIV/AIDS ini justru merasa sangsi akan kemampuan dirinya dalam parenting dan juga mengingatkan akan ketidakberdayaannya akibat penyakit yang dideritanya itu. Adapun ketika individu menangkap dukungan sosial secara perceived atau perceived social support, ia percaya bahwa ada orang lain yang peduli terhadap keadaannya tanpa ia minta secara langsung sehingga stres yang dirasakan akan berkurang dan ia juga akan merasa lebih terbantu atau terhibur (Taylor, et al., 2004). Perceived social support ini juga membuat ibu merasa lebih dihargai, disayangi, dan dipedulikan sehingga ibu merasa bahwa dirinya berharga. Hal ini mendorong ibu untuk memberikan kasih sayang dan kepedulian kepada orang lain pula, salah satunya terhadap anak mereka (Crockenberg, 1988 dalam Cochran & Niego, 2002). Dengan kata lain, perceived social support secara umum dapat membantu ibu dengan HIV/AIDS ini dalam mengurangi stres yang ia rasakan sehingga ia memiliki penilaian bahwa dirinya berharga dan mampu dalam menjalankan perannya sebagai ibu. Dengan demikian, adanya dukungan sosial secara perceived dan umum ini dapat berhubungan pada penilaian diri ibu dengan HIV/AIDS sebagai orangtua.

Adanya hubungan positif yang signifikan antara parenting self-efficacy dan dukungan sosial dalam penelitian ini dapat terjadi karena beberapa alasan. Salah satunya adalah karena seperti apa yang dikatakan Bandura (1977, 1982 dalam Cutrona & Troutman, 1986), bahwa hubungan dengan orang lain akan memberikan pengaruh terhadap self-efficacy seseorang. Saat pengambilan data, peneliti mengobservasi bahwa partisipan berada di dalam suatu

support group yang secara tidak langsung membuat mereka terpapar terhadap bagaimana ibu dengan HIV/AIDS ini berinteraksi dan melakukan parenting terhadap anak mereka. Adanya paparan dalam support group ini dapat membuat ibu belajar melalui observasi dan mendapatkan persuasi verbal seperti pujian atau feedback terhadap parenting yang dilakukan. Dengan melihat ibu lain dengan kondisi yang sama dan tetap bisa melakukan parenting

dengan baik, membuat ibu dengan HIV/AIDS ini memersepsikan bahwa ia tidak sendirian dan memiliki panutan. Sesuai dengan apa yang dikatakan Bandura (1986) serta Coleman dan Karraker (2005), bahwa vicarious learning, persuasi verbal, dan umpan balik positif dapat memberikan pengaruh dan juga memelihara parenting self-efficacy.

(13)

Alasan berikutnya adalah bahwa persepsi akan dukungan sosial bagi ibu dapat mencegah stres yang berlebihan dan depresi, sehingga self-efficacy ibu dalam melakukan

parenting tidak terganggu. Menurut Coleman dan Karraker (2003) serta Suzuki (2010), kecemasan dan depresi dapat mengganggu self-efficacy. Oleh karena itu, dukungan sosial dapat berperan untuk mencegah ibu mengalami kedua hal tersebut. Ditemukan oleh Serovich, Kimberly, Mosack, dan Lewis (2001) bahwa individu dengan HIV/AIDS mengalami stres yang rendah ketika ia memersepsikan banyak jumlah orang yang ada untuk diandalkan. Jones (2006) dan Respler-Herman (2009) mengatakan bahwa ibu yang memersepsikan adanya dukungan sosial akan memiliki psychological distress dan parental stress yang rendah sehingga ia akan melakukan perilaku parenting yang lebih positif. Persepsi adanya dukungan sosial bagi ibu dengan HIV/AIDS ini membuat ia merasa dirinya tidak sendirian, karena akan ada orang yang dapat ia andalkan dan juga dapat mendukungnya serta menerimanya dalam keadaan apapun. Oleh karena itu, persepsi dukungan sosial dapat mencegah ibu dengan HIV/AIDS ini dari stres yang berlebihan dan akhirnya ibu dapat lebih fokus melakukan

parenting terhadap anak ketimbang terokupasi pada dirinya sendiri. Sesuai dengan apa yang dikatakan Cutrona dan Troutman (1986) bahwa wanita yang memersepsikan ada orang yang dapat ia andalkan untuk membantunya ketika dibutuhkan, lebih memiliki kepercayaan akan kemampuannya dalam berperan sebagai ibu.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kepuasan terhadap dukungan yang ada juga berhubungan positif dengan parenting self-efficacy, sejalan dengan hasil penelitian Teti dan Gelfland (1991) dalam Holloway, et al. (2005) dan Suzuki, Holloway, Yamamoto, dan Mindnich, (2009). Saat ibu menilai bahwa ia puas terhadap dukungan yang ada, ia merasa bahwa kebutuhannya sudah terpenuhi dan sudah cukup menerima hiburan, perhatian, dan adanya penerimaan dari orang lain. Kepuasan terhadap dukungan yang ada, berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam mengatasi stres (Vyaharkar, et al, 2010). Hal-hal ini dapat membantu ibu lebih percaya bahwa ia mampu untuk menghadapi stressor yang ada serta lebih yakin dalam menjalankan perannya sebagai ibu.

Hasil penelitian ini pun menunjukkan bahwa di antara kelima domain yang terdapat pada parenting self-efficacy, domain nurturance adalah domain yang paling tinggi rata-rata skornya, sedangkan domain yang paling rendah rata-rata skornya adalah domain disiplin.

Domain nurturance mencakup hal-hal terkait pengasuhan secara emosional seperti sensitif terhadap kebutuhan anak, memberikan kehangatan secara emosional, serta sadar dan tertarik pada perasaan anak. Hal ini bisa diyakini tinggi oleh ibu dengan HIV/AIDS karena mereka merasa bahwa mengasuh anak merupakan prioritas utama dalam dirinya. Barnes dan Murphy

(14)

(2009) mengatakan bahwa mengasuh anak merupakan kesempatan bagi mereka untuk tetap hidup dan mengenyampingkan sikap bahwa dirinya akan menghadapi kematian. Ibu dengan HIV/AIDS melihat kesempatan ini sebagai kesempatan terakhir mereka untuk melakukan pengasuhan yang terbaik bagi anak mereka (Barnes & Murphy, 2009). Dalam Tompkins, et al. (1999) juga dikatakan bahwa setelah ibu didiagnosis terkena HIV, ibu yang tadinya merasa mengabaikan anak mereka kemudian berusaha memperbaiki hubungannya dengan anak. Oleh karena itu, ibu dapat memiliki keyakinan yang tinggi dalam menyediakan pengasuhan secara emosional karena penyakitnya membuat dirinya lebih fokus untuk mengasuh anak mereka.

Adapun keyakinan ibu dalam domain disiplin didapatkan rendah rata-rata skornya, dapat dikarenakan oleh ketidakmampuan ibu untuk mengawasi anaknya karena terlalu lemah secara fisik atau menghabiskan banyak waktu untuk merawat dirinya. Penyakit ini dan bayangan akan kematian membuat dirinya terlalu sayang kepada anak, sehingga membuat ibu terlalu toleran dan sulit untuk membuat batasan terhadap anak. Dalam Faithfull (1997) dikatakan bahwa ibu dengan HIV/AIDS ini seringkali sulit untuk melakukan tugas parenting

yang terasa tidak menyenangkan seperti mendisiplinkan anak. Mereka tidak ingin melakukan hal-hal yang sekiranya dapat membuat mereka terlihat buruk karena mereka tidak ingin ketika meninggal nanti diingat sebagai ibu yang pemarah, kasar, atau penghukum. Hal ini dapat menjadi kemungkinan mengapa ia tidak sering melarang anaknya dalam melakukan berbagai macam hal sehingga hal ini kemudian kembali berdampak pada anak yang bermasalah dalam kedisiplinan (Faithfull, 1997).

Hasil tambahan berdasarkan aspek demografis ditemukan bahwa terdapat perbedaan rata-rata skor yang signifikan pada parenting self-efficacy berdasarkan urutan kelahiran anak. Ditemukan bahwa ibu dengan anak bungsu di usia kanak-kanak madya memiliki rata-rata skor parenting self-efficacy ibu yang tertinggi, sedangkan rata-rata skor parenting self-efficacy

yang terendah adalah pada ibu dengan anak tengah di usia kanak-kanak madya. Hal ini dapat terjadi karena beberapa alasan, salah satunya adalah karena pengalaman. Semakin banyak pengalaman yang ibu miliki terhadap anak, ia akan memiliki parenting self-efficacy yang lebih tinggi (Coleman & Karraker, 1997). Oleh karena itu, ibu dengan HIV/AIDS yang memiliki anak bungsu usia kanak-kanak madya memiliki skor rata-rata parenting self-efficacy

yang tinggi karena mereka sudah memiliki pengalaman sebelumnya dalam melakukan

parenting. Coleman dan Karraker (2005) pun mengatakan bahwa urutan kelahiran anak dapat berpengaruh terhadap parenting self-efficacy ibu. Adapun skor parenting self-efficacy yang rendah pada ibu dengan anak tengah usia kanak-kanak madya, mungkin diakibatkan oleh kurangnya frekuensi pengasuhan langsung yang diberikan ibu kepada anak. Dalam Furman

(15)

dan Lanthier (2002) dikatakan bahwa anak yang paling muda lebih membutuhkan atensi dan menghabiskan banyak waktu dalam pengasuhannya. Kemudian Shaffer dan Kipp (2007) mengatakan bahwa anak yang lebih tua seringkali mengasuh adiknya yang lebih muda. Oleh karena itu, ketika ibu fokus mengurus anaknya yang paling muda, anak yang tertua akan mengurus adiknya yang pertama atau anak tengah. Dengan demikian, ibu bisa jadi tidak menghabiskan banyak waktu untuk mengasuh anak tengahnya karena ia lebih banyak menaruh atensinya pada anak bungsu, sedangkan anak tengah lebih sering diurus oleh anak sulungnya. Dalam Coleman dan Karraker (1997; 2005) dikatakan bahwa pengalaman langsung dengan anak merupakan salah satu faktor yang memengaruhi parenting self-efficacy. Keterlibatan langsung dengan tugas-tugas yang dikerjakan adalah sumber utama untuk pembentukan efficacy (Bandura, 1986). Akibat pengalaman ibu untuk melakukan parenting

secara langsung terhadap anak tengah berkurang karena seringkali dilakukan oleh anak sulungnya, maka ibu dapat memiliki keyakinan yang rendah terhadap kemampuannya dalam

parenting pada anak tengah usia kanak-kanak madya.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data terhadap tiga puluh ibu dengan HIV/AIDS yang memiliki anak usia kanak-kanak madya, diperoleh kesimpulan berikut: adanya hubungan positif yang signifikan antara parenting self-efficacy dan dukungan sosial pada ibu dengan HIV/AIDS yang memiliki anak usia kanak-kanak madya. Dalam parenting self-efficacy, domain yang memiliki skor rata-rata tertinggi adalah nurturance, sedangkan skor rata-rata terendah adalah domain disiplin. Dari hasil tambahan juga ditemukan adanya perbedaan parenting self-efficacy berdasarkan urutan kelahiran anak usia kanak-kanak madya. Saran untuk penelitian selanjutnya antara lain adanya penelitian dengan metode kualitatif untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif mengenai gambaran

parenting pada ibu dengan HIV/AIDS, penyesuaian usia anak kanak-kanak madya yang dibatasi hanya pada anak yang sudah memasuki sekolah dasar, melihat parenting self-efficacy

dan dukungan sosial dari sudut pandang lainnya (misalnya mengetahui jenis dukungan apa yang sesuai untuk ibu dengan HIV/AIDS) atau konstruk lainnya (misalnya self-disclosure, religiusitas, dan sebagainya).

Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu pertimbangan untuk yayasan atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menangani ibu dengan HIV/AIDS untuk memberikan penyuluhan mengenai cara mendisiplinkan anak, agar ibu dapat memberikan aturan dan batasan terhadap anak dengan efektif, tanpa takut dipandang buruk oleh anak atau

(16)

menyakiti perasaan anak. Yayasan atau LSM juga dapat lebih gencar untuk menampung penderita, terutama para ibu rumah tangga dan mengadakan program bagi ibu dengan HIV/AIDS ini untuk saling berbagi informasi terkait parenting serta sharing mengenai kehidupan sehari-hari terhadap anak. Selain itu, significant others ibu, yayasan atau LSM, dan pihak ahli yang berkaitan, dapat lebih spesifik menanyakan kebutuhan apa yang memang benar-benar dibutuhkan ibu sehingga bermanfaat bagi mereka.

Daftar Referensi

Armistead, L. & Forehand, R. (1995). For whom the bell tolls: Parenting decisions and challenges faced by mothers who are HIV seropositive. Clinical Psychology: Science and Practice, 2, 239-250.

Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A social cognitive theory. New Jersey: Prentice-Hall.

Barnes, D. B. & Murphy, S. (2009). Reproductive decisions for women with HIV: Motherhood’s role in envisioning a future. Qual Health Res, 19:481. doi 10.1177/1049732309332835

Bauman, L. J., Camacho, S., Silver, E. J., Hudis, J., Draimin, B. (2002). Behavioral problems in school-aged children of mothers with HIV/AIDS. Clin Child Psychol Psychiatry,

7:39.

Brackis-Cott, E., Mellins, C. A., Dolezal, C., Spiegel, D. (2007). The mental health risk of mothers and children: The role of maternal HIV infection. The Journal of Early Adolescence, 27:67. doi: 10.1177/0272431606294824

Brooks, J. B. (2011). The process of parenting. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Cochran, M. & Niego, S. (2002). Parenting and social networks. (M.H. Bornstein, Penyunt.).

Handbook of Parenting Second Edition, Volume 4, Social Conditions and Applied Parenting. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Coleman, P. K. & Karraker, K. H. (1997). Self-efficacy and parenting quality: findings and future applications. Developmental Review, 18, 47-85.

Coleman, P. K. & Karraker, K. H. (2000). Parenting self-efficacy among mothers of school age children: conceptualization, measurement, and correlates. Family Relations, 49 (01), 13-24. doi: 10.1111/j.1741-3729.2000.00013.x

(17)

Coleman, P. K. & Karraker, K. H. (2003). Maternal self-efficacy beliefs, competence in parenting, and toddlers' behavior and developmental status. Infant Mental Health Journal, 24 (2), 126-148. doi: 10.1002/imhj.10048

Coleman, P. K. & Karraker, K. H. (2005). Parenting self-efficacy, competence in parenting, and possible links to children's social and academic outcomes. (O.N. Saracho & B. Spodek, Penyunt.). Contemporary Perspectives on Families and Communities in Early Childhood Education. Diakses pada 27 Oktober 2012 dari http://books.google.co.id/books?id=

lkv5J3BpbrMC&pg=PA88&dq=parenting+self+efficacy&hl=id&sa=X&ei=kOLOT72 cIoHQrQfl24SVDA&ved=0CC8Q6AEwAA#v=onepage&q=parenting%20self%20eff icacy&f=false

Cutrona, C. E. & Troutman, B. R. (1986). Social support, infant temperament, and parenting self-efficacy: A meditational model of postpartum depression. Child Development,

Vol. 57, No. 6, 1507-1518.

Damar, A. P. & du Plessis, G. (2010). Coping versus grieving in a 'death-accepting' society: AIDS-bereaved women living with HIV in Indonesia. Journal of Asian and African Studies, 45, 424-431. doi: 10.1177/0021909610373904

Ditjen PP & PL Kemenkes RI. (2012). Laporan perkembangan HIV-AIDS, triwulan ii, tahun

2012. Diunduh dari

http://www.aidsindonesia.or.id/download/perpustakaan/LAPORAN_HIV-AIDSTRIWULAN_II_2012.pdf, 5 September 2012.

Ditjen PP & PL Kemenkes RI. (2013). Laporan Kasus HIV-AIDS di Indonesia sampai dengan Desember 2012. Diakses dari http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.php?lang=id, 29 April 2013.

Dorsey, S., Klein, K., Rex, F. & Family Health Project Research Group. (1999). Parenting self-efficacy of HIV-infected mothers: The role of social support. Journal of Marriage and Family, Vol. 61, No. 2, 295-305.

Edwards, L. V. (2006). Perceived social support and HIV/AIDS medication adherence among African American women. Qualitative Health Research, Vol. 16, No. 5, 679-691. doi: 10.1177/1049732305281597

Faithfull, J. (1997). HIV-positive and AIDS-infected women: Challenge and difficulties of mothering. American Journal of Orthopsychiatry, Vol. 6, No. 1, 144-151.

Field, A. (2009). Discovering statistics using SPSS (3rd edition). London: SAGE Publications, Ltd.

(18)

Furman, W. & Lanthier, R. (2002). Parenting siblings. (M.H. Bornstein, Penyunt.). Handbook of Parenting Second Edition, Volume 1, Children and Parenting. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Gravetter, F. J. & Forzano, L. B. (2009). Research methods for the behavioral sciences, (3rd edition). CA: Wadsworth.

Holloway, S. D., Suzuki, S., Yamamoto, Y., Behrens, K. Y. (2005). Parenting self-efficacy among Japanese mothers. Journal of Comparative Family, 36, 61-76. doi: 10.1002/cd.42

Jones, T. (2006). Examining potential determinants of parental self-efficacy. University of South Carolina. ProQuest Dissertations and Theses. Diunduh dari http://search.proquest.com/docview/305281405? accountid=17242

Junttila, N., Vauras, M., Laakkonen, E. (2007). The role of parenting self-efficacy in children’s social and academic behavior. European Journal of Psychology of Education, Vol. XXII, No. 1, 41-61.

Kotchik, B. A., Forehand, R., Brody, G., Armistead, L., Simon, P., Morse, E., Clark, L. (1997). The impact of maternal HIV infection on parenting in inner-city African American families. Journal of Family Psychology, Vol. 11, No.4, 447-461.

Kumar, R. (2005). Research methodology: A step-by-step guide for beginners. London: SAGE Publications, Ltd.

Leahy-Warren, P., McCarthy, G., Corcoran, P. (2011). First-time mothers: Social support, maternal parental self-efficacy and postnatal depression. Journal of Clinical Nursing,

Blackwell Publishing Ltd. doi: 10.1111/j.1365-2702.2011.03701.x

Murphy, D. A., Roberts, K. J., Herbeck, D. M. (2011). HIV disease impact on mothers: What they miss during their children’s developmental years. Journal of Child and Family Studies, 20, 361-369. doi: 10.1007/s10826-010-9400-9

Nelms, T.P. (2005). Burden: The phenomenon of mothering with HIV. Journal of The Association of Nurses in AIDS Care, Vol. 16, No. 4, 3-13. doi: 10.10.16/j.jana.2005.05.001

Oswalt, K.L. & Biasini, F.J. (2012). Characteristics of HIV-infected mothers associated with increased risk of poor mother-infant interactions and infant outcomes. Journal of Pediatric Health Care, Vol. 26, No. 2, 83-91. doi:10.1016/j.pedhc.2010.06.014

Rai, Y., Dutta, T. Gulati, A.K. (2010). Quality of life of HIV-infected people across different stages of infection. J Happiness Stud. 11, 61–69.

(19)

Respler-Herman, M. (2009). Parenting beliefs, parental stress, and social support relationships. New York: Pace University.

Sarafino, E. & Smith, T. (2012). Health psychology (7th edition). Danver: John Wiley and Sons, Inc.

Sarason, I. G., Levine, H. M., Basham, R. B., Sarason, B. R. (1983). Assessing social support: the social support questionnaire. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 44, No.1,127-139.

Sarason, I. G., Sarason, B. R., Shearin, E. N., Pierce, G. R. (1987). A brief measure of social support: practical and theoretical implications. Journal of Social and Personal Relationships, 4: 497.

Schaffer, D. R. & Kipp, K. (2007). Developmental psychology: Childhood and adolescence (7th edition). Canada: Wadsworth.

Serovich, J. M., Kimberly, J. A., Mosack, K. E., Lewis, T. L. (2001). The role of family and friend social support in reducing emotional distress among HIV-positive women.

AIDS Care, Vol. 13, No. 3, 335-341.

Suzuki, S., Holloway, S., Yamamoto, Y., Mindnich, J. D. (2009). Parenting self-efficacy and social support in Japan and the United States. Journal of Family Issues, Vol. 30, No. 11, 1505-1526. doi: 10.1177/0192513X09336830

Suzuki, S. (2010). The effects of marital support, social network support, and parenting stress on parenting: self-efficacy among mothers of young children in Japan. Journal of Early Childhood Research, Vol. 8, No. 1, 40-66.

Taylor, S.E., Sherman, D.K., Kim, H.S., Jarcho, J., Takagi, K., Dunagan, M.S. (2004). Culture and social support: who seeks it and why?. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 87, No. 3, 354-362.

Tompkins, T. L., Henker, B., Whalen, C. K., Axelrod, J. E., Comer, L. K. (1999). Motherhood in the context of HIV infection: Reading between the numbers. Cultural Diversity and Ethnic Minority Psychology. Vol. 5, No. 3, 197-208.

Tompkins, T. L. & Wyatt, G. E. (2008). Child psychosocial adjustment and parenting in families affected by maternal HIV/AIDS. J Child Fam Stud, 17, 823-838. doi: 10.1007/s10826-008-9192-3

UNAIDS. (2012). Global reports: UNAIDS report on the global AIDS epidemic. Diunduh

pada 13 Februari 2013 dari

http://www.unaids.org/en/media/unaids/contentassets/documents/epidemiology/2012/ gr2012/20121120_UNAIDS_Global_Report_2012_en.pdf

(20)

Vyaharkar, M., Moneyham, L., Corwin, S., Saunders, R., Annang, L., Tavakoli, A. (2010). Relationships between stigma, social support, and depression in HIV-infected african american women living in the rural southeastern united states. Journal of the Association of Nurses in AIDS Care, 21, 144-152.

Young, S. L. (2011). Exploring the relationship between parental self-efficacy and social support systems. Iowa: Iowa State University.

Gambar

Tabel 1. Gambaran Umum Karakteristik Partisipan
Tabel 2. Hasil Penghitungan Antarvariabel yang Diteliti
Tabel 4. Perbandingan Skor Parenting Self-Efficacy berdasarkan Urutan Kelahiran

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap ini yang dilakukan adalah melakukan implementasi dari desain protokol kriptografi untuk mengamankan proses kirim terima pesan antara user aplikasi Secure Chat,

Penegasan PPN atas penyerahan Jasa Penyewaan Ruangan masih berdasarkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.32/1989 tanggal 25 Agustus 1989 (seri

“Manfaatnya bagi masyarakat dengan berlakunya Mawah adalah para petani khususnya tidak lagi mendapat tekanan dari pihak-pihak yang secara langsung meminjamkan uangnya untuk

Agar Destinasi Wisata Taman Tirtasari Sonsang, dapat menjadi solusi bagi pengembangan ekonomi bagi masyarakat setempat, oleh pemerintah setempat dalam hal ini Wali

Saham Hasil Pelaksanaan berarti saham baru yang dikeluarkan dari portepel Perseroan sebagai hasil Pelaksanaan Waran Seri I dan merupakan saham yang telah disetor penuh Perseroan,

tertinggal akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan; (c) dari sisi sumber daya manusia, umumnya masyarakat di daerah tertinggal, tingkat pendidikan, pengetahuan

Metode ABC membeban- kan biaya ke setiap produk berdasarkan aktivitas-aktivitas yang dikonsumsi oleh produk tersebut dengan menggunakan lebih dari cost driver ,