• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERFEKSIONISME PADA REMAJA GIFTED

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERFEKSIONISME PADA REMAJA GIFTED"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PERFEKSIONISME PADA REMAJA GIFTED

OLEH

BRIGITA ARDITA INDIRA VINDIASARI 802012054

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagaian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

PERFEKSIONISME PADA REMAJA GIFTED

Brigita Ardita Indira Vindiasari Enjang Wahyuningrum

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(7)

PENDAHULUAN

Di Indonesia, penanganan anak gifted masih belum tertangani dengan baik. Menurut Van Tiel & Widyorini (2014), kurangnya pengetahuan mengenai anak berbakat sering membuat anak berbakat mendapat diagnosis yang tidak tepat sehingga anak mendapat label yang tidak tepat dan tidak perlu sebagai anak yang bermasalah dan memiliki gangguan. Beberapa dampak dari kesalahan diagnosis yang diberikan, yaitu penempatan dan layanan pendidikan yang salah mengakibatkan anak gifted menjadi tidak dapat mengembangkan kemampuan yang mereka miliki dan dapat mengakibatkan anak tersebut menjadi suka menyendiri, penerimaan sosial yang buruk juga dapat terjadi sehingga anak berbakat mendapat label yang salah dari masyarakat bahkan dari keluarga mereka sendiri akibatnya kemampuan mereka yang cemerlang tidak dilihat namun lebih berfokus pada masalah yang mereka miliki.

Selain itu, program pendidikan anak berbakat di Indonesia masih belum terlalu diperhatikan, hal tersebut terlihat dari jumlah sekolah yang memiliki program khusus untuk anak gifted yaitu akselerasi dan percepatan yang masih kurang dan memiliki berbagai dampak seperti menimbulkan masalah sosial dan emosional yaitu depresi (Kolsenik,dalam Alsa; 2007). Seharusnya anak gifted mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kapasitas intelektual dan gaya belajarnya, agar anak gifted ini dapat mengembangkan kapasitas intelektual yang dimilikinya dan dapat berprestasi dengan lebih baik.

Kecerdasan intelektual yang dimiliki anak giftedmenurut Wechsler (dalam Hawadi, 2002) adalah anak yang memiliki IQ di atas 115 dengan tingkatan midlygifted (IQ = 115 - 129), moderatelygifted (IQ = 130 - 144), dan highlygifted (IQ = 145 ke atas). Menurut Renzulli, selain memiliki tingkat kecerdasan intelektual diatas rata-rata

(8)

yang menjadi syarat utama, anak gifted juga memiliki kemampuan kreativitas yang tinggi, serta memiliki komitmen untuk menyelesaikan tugas yang juga tinggi (dalam Van Tiel & Widyorini, 2014). Ketiga faktor inilah yang disebut Renzulli sebagai the Three Ring of Renzulli atau Tiga Cincin Renzulli (Van Tiel & Widyorini, 2014).

Salah satu karakteristik kepribadian yang dimiliki anak gifted adalah perfeksionisme. Perfeksionisme merupakan salah satu karakteristik kepribadian anak gifted yang paling penting.Menurut Tjahjono (2002)perfeksionisme merupakan salah satu permasalahan kepribadian yang mungkin muncul pada anak berbakat.Peters (1996) mengemukakan bahwa perfeksionisme lebih banyak ditemukan pada individu yang memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi.Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pruett (2004) menyatakan bahwa tendensi perfeksionisme terlihat pada siswa dengan kecenderungan gifted.

Perfeksionisme menurut Hewit dan Silverman (dalam Peters, 1996) adalah keinginan untuk mencapai kesempurnaan diikuti dengan standar yang tinggi untuk diri sendiri, standar yang tinggi untuk orang lain, dan percaya bahwa orang lain memiliki pengharapan kesempurnaan untuk dirinya dan memotivasi.

Salah satu dampak negatif dari perkembangan perfeksionisme yang kuat adalah terbentunya faalangst negatif.Faalangst dalam bahasa Inggris juga disebut sebagai fear of failure. Menurut Jessica Van Der Speak (2014; dalam Van Tiel & Van Tiel, 2015), faalangst (fear of failure) secara singkat dapat dikatakan sebagai rasa takut salah atau takut gagal padahal sebenarnya bisa.Faalangst dapat terbagi menjadi dua, yaitu faalangst positif dan faalangst negatif (Van Tiel & Van Tiel, 2015).Faalangst positif merupakan bentuk rasa takut gagal namun individu yang memiliki faalangstpositif ini masih dapat menimbang-nimbang apakah ia bisa mendapatkan atau mencapat apa yang

(9)

dikerjakanya. Sedangkan faalangst negatif merupakan suatu masalah psikologis non-kognitif yang yang sangat dominan dalam karakteristik kepribadian yang dimiliki oleh anak gifted, terutama mereka yang memiliki karakterisik kepribadian yang sangat perfeksionisme (Van Tiel & Van Tiel, 2015).

Anak gifted dapat memiliki tingkat perfeksionis yang tinggi di bidang akademis, namun ia juga dapat memiliki tingkat perfeksionis yang rendah di bidang hubungan interpersonal atau sebaliknya. Perfeksionis anak gifted tidak selalu bersifat positif, perfeksionisme anak gifted dapat menjadi hal yang negatif dan merugikan anak gifted sehingga potensi yang mereka miliki tidak dapat berkembang dengan sempurna (Van Tiel & Van Tiel, 2015).

Menurut Peters (1996), terdapat empat faktor yang menyebabkan seseorang dapat memiliki perfeksionisme. Pertama, seseorang dapat memiliki perfeksionisme dikarenakan orang tersebut memiliki harapan yang tinggi. Harapan yang tinggi tersebut dapat berasal dari diri sendiri maupun dari orang lain. Kedua, faktor yang menyebabkan orang memiliki perfeksionisme adalah keyakinan yang tinggi pada diri sendiri. Ketiga, lingkungan yang kompetitif juga dapat membuat orang memiliki perfeksionisme karena lingkungan yang kompetitif akan membuat orang berusaha untuk mendapatkan hasil yang paling baik dan memuaskan sehingga orang tersebut dapat mengembangkan sifat perfeksionisme. Keempat, umur mental lebih tinggi dari umur kronologis juga merupakan faktor penyebab orang memiliki perfeksionisme, hal ini dapat terlihat dari individu dengan keberbaktan atau gifted. Selain itu, Van Tiel & Van Tiel (2015) berpendapat bahwa salah satu penyebab terbentuknya perfeksionisme adalah genetika.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ratna dan Widayat (2012) ditemukan bahwa kareakteristik perfeksionisme pada remajagifted terdiri dari karakteristik dalam

(10)

penetapan standar, pencapaian standar, personal, emosional, sosial, dan motivasional. Sedangkan faktor yang mempengaruhi perfeksionisme pada remaja gifted adalah harapan yang tinggi dari diri sendiri maupun orang lain, keyakinan tinggi pada diri sendiri, pembelajaran dari orang tua, dan lingkungan yang kompetitif.Semantara itu Pranungsari (2010), meneliti hubungan antara kecerdasan dengan perfeksionisme pada anak gifted di kelas akselerasi. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel kecerdasan dengan perfeksionisme pada anak gifted di kelas akselerasi.

Ananda dan Mastuti (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh perfeksionisme terhadap prokrastinasi akademik pada siswa program akselerasi.Diperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh perfeksinisme terhadap prokrastinasi akademik.

Dari uraian diatas, peneliti tertarik dengan perfeksionisme yang dimiliki oleh remaja gifted karena masih kurangnya penelitian dan informasi mengenai gambaran perfeksionisme pada remaja gifted dan masalah yang dimilikinya salah satunya adalah perfeksionisme karena penelitian sebelumnya hanya meneliti mengenai karakteristik dan faktor yang mempengaruhi perfeksionisme pada remaja gifted.

Rumusan Masalah

Penelitian ini merumuskan bagaimana gambaran serta efek perfeksionisme pada remaja gifted.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran serta efek perfeksionisme pada remaja gifted.

(11)

TINJAUAN PUSTAKA a. Definisi Perfeksionisme

Perfeksionisme merupakan salah satu karakteristik kepribadian yang dimiliki oleh anak gifted. Perfeksionisme menurut Hewit dan Flett Sliverman (dalam Peters., 1996) adalah keinginan untuk mencapai kesempurnaan yang diikuti dengan standar yang tinggi untuk dirinya sendiri, standar yang tinggi untuk orang lain, dan percaya bahwa orang lain memiliki pengharapan kesempurnaan untuk dirinya dan memotivasi. Sedangkan perfeksionisme menurut Adler (dalam Rice, 1998), merupakan aspek perkembangan yang normal dan hanya menjadi masalah ketika individu menetapkan standar-standar superioritas yang tidak realistis dalam mencapai tujuan atau goals.Sementara itu menurut Hill dkk. (2004), perfeksionisme adalah hasrat untuk mencapai kesempurnaan yang ditandai dengan conscientious perfectionism yang berasal dari internal individu dan self-evaluated perfectionism yang berasal dari eksternal individu.

b. Dimensi Perfeksionisme

Menurut Hill dkk. (2004), perfeksionisme dapat dibagi kedalam delapan dimensi, yaitu:

1. Concern over mistake adalah kecenderungan untuk mengalami stress dan kecemasan yang berlebih untuk membuat kesalahan. Hal ini dapat berupa kecemasan ketika membuat kesalahan dan rasa menyesal.

2. High standards for others adalah kecenderungan untuk membandingkan orang lain dengan standar yang dimiliki oleh orang yang memiliki perfeksionisme itu sendiri. 3. Need for approval adalah kecenderungan untuk mencari validasi dari orang lain dan

(12)

4. Organization adalah kecenderungan untuk menjadi rapi dan terorganisir.

5. Perceived parental pressure adalahkecenderungan untuk merasa harus melakukan sesuatu secara sempurna demi memuaskan orang tua.

6. Planfulness adalahkecenderungan untuk memiliki rencana masa depan dan memiliki kesengajaan dalam melakukan sesuatu atau memilih pilihan.

7. Rumination adalah kecenderungan untuk terobsesi dengan kesalahan dimasa lalu, performa yang kurang sempurna dan hasil kerja yang kurang sempurna dimasa lalu, dan kesalahan yang mungkin terjadi di masa depan.

8. Striving for excellence adalah kecenderungan untuk mengejar hasil yang sempurna dan standar yang tinggi.

a. DefinisiGifted

Di Indonesia, istilah gifted sering disebut juga sebagai cerdas istimewa. Sedangkan di negara-negara Eropa, istilah gifted ini sering disebut sebagai istilah high ability atau anak yang memiliki potensi yang tinggi (Van Tiel & Widyorini, 2014).

Gifted merujuk pada faktor kapasitas inteligensi yang luar biasa yang juga diikuti oleh kreativitas yang tinggi dan komitmen yang kuat dalam menyelesaikan tugasnya (Van Tiel & Widyorini, 2014). Sedangkan menurut Munandar (1999) anak yang mendapat predikat gifted dan talented adalah mereka yang didefinisikan oleh orang-orang yang benar-benar profesional atas dasar kemampuan mereka yang luar biasa dan kecakapan mereka dalam mengerjakan pekerjaan yang berkualitas tinggi sehingga dapat memberi sumbangan baik terhadap dirinya sendiri maupun masyarakat.

(13)

b. Karakteristik Gifted

Dalam penelitian ini, karakteristik gifted yang digunakan adalah karakteristik menurut Renzulli (dalam Van Tiel & Widyorini, 2014) yang meliputi karakteristik keberbakatan:

1. Kapasitas intelektual di atas rata-rata yang ditandai dengan score IQ (skala Weschler) diatas 130.

2. Motivasi dan komitmen terhadap tugas yang tinggi. 3. Kreativitas yang tinggi.

METODE Partisipan

Partisipan pada penelitian ini adalah remaja gifted yang memiliki perfeksionisme. Kriteria gifted ini diperoleh dari pengukuran inteligensi yang memiliki score IQ tinggi yaitu diatas 130, remaja ini duduk di bangku SMA dan berada di kelas akselerasi. Kelas akselerasi dipilih karena untuk masuk ke kelas akselerasi siswa harus memiliki score IQ diatas 130 yang dibuktikan dari hasil tes inteligensi. Peneliti mengambil 2 orang siswa kelas akselerasi yang memiliki tingkat perfeksionisme tinggi yang didapat dari hasil wawancara awal dan questionnaire yang diberikan kepada partisipan.Subjek dalam penelitian ini berusia 16 dan 17 tahun dan duduk di bangku kelas XI Akselerasi dan XII Akselerasi.Kedua partisipan bersekolah di sekolah negeri.

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena peneliti ingin mendapatkan gambaran yang mendalam mengenai perfeksionisme pada remaja gifted. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus, penelitian ini berupaya untuk menjelaskan dan mencoba mendeskripsi dan mempelajari seperti apa gambaran

(14)

perfeksionisme pada remaja gifted. Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah observasi dan wawacara.Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis observasi partisipan yaitu peneliti melakukan penelitian dengan cara terlibat langsung dalam interaksi dengan objek penelitiannya.Wawancara yang digunakan adalah metode wawancara terstuktur dengan pertanyaan terbuka dan tertutup.Dalam penelitian ini, peneliti melakukan uji kredibilitas dengan teknik triangulasi yaitu triangulasi sumber.Sumber triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah orang tua dan teman-teman partisipan.

HASIL Gambaran Umum Partisipan I

a. Identitas Partisipan I

Nama : P1

Jenis Kelamin : Perempuan Usia Sekarang : 17 Tahun

Tempat dan Tanggal Lahir : Kabupaten Semarang, 26 Juni 1999 Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Pelajar

Sekolah : SMA Negeri 1 Salatiga Kelas : XII Akselerasi

Statio dalam Keluarga : Anak pertama dari dua bersaudara b.Latar Belakang

Partisipan I dalam penelitian ini berinisial P1.Partisipan merupakan anak pertama dari dua bersaudara.Partisipan memiliki seorang adik laki-laki yang masih duduk di Sekolah Dasar.Partisipan saat ini bersekolah di salah satu Sekolah Menengah

(15)

Atas Negeri di Salatiga dan duduk di kelas duabelas program akselerasi.Partisipan sering mengikuti lomba-lomba seperti kompetisi membuat karya ilmiah. Menurutnya, ia adalah orang yang memiliki banyak ide dan sangat kreatif sehingga ia harus menyalurkan ide dan kreativitasnya dengan mengikuti lomba-lomba yang ada. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh ibu partisipan jika anaknya adalah orang yang kreatif dan memiliki banyak ide. Ia bercita-cita sebagai seorang dokter bedah, menurutnya pekerjaan menjadi dokter bedah adalah pekerjaan yang sangat bagus untuk masa depannya dan pekerjaan itu adalah pekerjaan yang mulia karena dapat membantu orang lain. Ayah partisipan bekerja sebagai seorang pegawai negeri sipil, sedangkan ibu partisipan sebagai ibu rumah tangga. Menurut keluarga dan temannya, partisipan merupakan orang yang ramah dan menyenangkan, partisipan termasuk orang yang cerewet dan suka bercerita.Partisipan merupakan orang yang mudah bergaul dan memiliki banyak tema.Menurut teman-temannya, partisipan adalah orang yang peduli terhadap temannya.Pada saat partisipan duduk di Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Pertama, partisipan tidak tinggal bersama orang tuanya namun tinggal bersama dengan kakek dan neneknya. Hal tersebut dikarenakan orang tua partisipan bekerja di luar kota.

Gambaran Umum Partisipan II

a. Identitas Partisipan II

Partisipan : P2

Jenis Kelamin : Perempuan Usia : 16 Tahun

Tempat dan Tanggal Lahir : Kabupaten Semarang, 11 Februari 2000 Agama : Katholik.

(16)

Pekerjaan : Pelajar.

Sekolah : SMA Negeri 1 Salatiga Kelas : XI Akselerasi

Statio dalam Keluarga : Anak ke dua dari tiga bersaudara. b. Latar Belakang

Partisipan ke II dalam penelitian ini berinisial P2.Partisipan merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.Partisipan memiliki seorang kakak perempuan yang sudah bekerja.Partisipan saat ini bersekolah di salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri di Salatiga dan duduk di kelas sebelas program akselerasi.Partisipan sangat senang dengan pelajaran matematika.Menurutnya pelajaran tersebut membuat orang dapat berfikir kreatif untuk memecahkan sebuah permasalahan. Menurut orang tuanya, ia adalah anak yang penurut dan baik hati. Ayah partisipan bekerja sebagai seorang buruh pabrik, sedangkan ibu partisipan sebagai ibu rumah tangga. Menurut keluarga dan temannya, partisipan merupakan orang yang pemalu jika ia belum terlalu dekat dengan orang lain. Menurutnya ia hanya memiliki teman dekat yang sedikit karena ia tidak terlalu dapat dengan mudah dekat dengan orang yang baru dikenalnya. Namun jika ia sudah dekat dengan orang ia sangat akan sangat baik dengan orang tersebut.Menurut teman-temannya, partisipan adalah orang yang peduli terhadap temannya dan suka membantu mereka.

(17)

Tabel 1.

Kategorisasi Hasil Wawancara

NO DIMENSI INDIKATOR KATEGORISASI

PARTISIPAN I KATEGORISASI PARTISIPAN II 1. Concern over mistake Perasaan menyesal dan kecewa ketika membuat kesalahan.

Merasa menyesal karena membuat kesalahan dan akhirnya gagal, kenapa bisa seperti itu, rasanya menyesal.

 Merasa kecewa karena membuat kesalahan tapi kekecewaan itu mendorong supaya tidak mengalami kegagalan itu lagi dan akan mengintrospeksi diri mengenai apa yang membuat kegagalan dan menyebabkan kegagalan-kegagalan itu, berbuat lebih baik.

 Merasa menyesal, bangaimana bisa mengalami kesalahan.

Stress dan

putus asa jika membuat kesalahan.

Ingin memperbaiki kalau sudah lewat seperti tidak ada harapan lagi.

Menangis lama. 2. High standards for others Membandingk an orang lain dengan standar yang dia miliki Menuntut orang lain agar sesuai dengan standar yang dia miliki

Merasa kecewa.

Kalau orangnya sama dengan dia akan menuntut orang tersebut agar sesuai dengannya..

Merasa jengkel kalau tidak memenuhi harapan.

Jika tidak memenuhi standar akan berusaha untuk mengarahkan ke standarnya, tapi kalau benar-benar menolak dan tidak mau merubah hasil kerjanya akan di kerjakan sendiri.

3. Need for

approval

Sensitif terhadap kritik

Kalau memang jelek diperbaiki. Kalau kritikannya itu jelek tidak akan dihiraukan, tapi kalau kritikannya bagus akan dilakukan.

Kalau di kritik biasanya introspeksi dulu, apa benar yang dikritikkan itu benar-benar dilakukan, kalau memang benar akan introspeksi diri, merubah diri, supaya lebih baik lagi, kalau memang bukan perbuatan yang dilakukan

(18)

akan jengkel dengan orang yang mengkritik. 4. Organizati on Keteraturan Kerapian Kadang-kadang teratur tapi tergantung mood. Akan merasa nyaman dan senang jika berada di tempat yang rapi.

 Dibersihkan sekitar lingkungan seperti ditata supaya kalau dilihat rasanya nyaman.

 Jika sedang sibuk sekali itu baru kotor, berantakan, tapi jika sedang santai lumayan tidak terlalu kotor dan berantakan.

Sebenarnya teratur tapi tergantung mood.

 Merasa jengkel sekali jika sudah mencari-cari barang tapi tidak ada di tempatnya.

 Kalau memang mau bersih itu sekalian bersih sampai yang kecil-kecil bersih semua, tapi kalau sudah tidak peduli dibiarkan berantakan dulu nanti akandibersihkan sampai bersih.

 Sering, tapi kalau kamar tidak. 5. Perceived parental pressure Melakukan pekerjaan yang sempurna demi orang tua Sukses demi orang tua.

Merasa lega tapi merasa masih kurang orang tua sudah bilang jika sudah baik.

Merasa memang wajar jika orang tua menginginkan untuk sukses karena selama ini sudah dibiayai sekolahnya, jika tidak sukses kasihan orang tua.

Melakukan pekerjaan demi orang tua dan diri sendiri.

Merasa terbebani tapi memacu untuk menjadi sukses dan bener-bener sukses. 6. Planfulness Memiliki rencana dalam membuat keputusan. Kesengajaan dalam membuat

Dipikirkan dulu segala resiko yang akan terjadi, menguntungkan apa merugikan, dan hasil yang akan dicapai.

Meminta pendapat orang tua.

Pengambilan keputusan biasanya menimbang-nimbang keputusan itu mencari baik buruknya disetiap keputusan, kadang-kadang mendiskusikan dengan orang tuadan teman-teman terdekat. Jadi membutuhkan waktu yang lama.

Jadi menimbang-nimbang dulu baik buruknyalalu meminta saran dari orang

(19)

pilihan. lain.

7. Rumination Khawatir akan

hal yang belum terjadi. Terobsesi dengan kesalahan dimasa lalu Terobsesi akan performa yang kurang sempurna serta hasil kerja yang kurang sempurna.  Merasa khawatir akanhal-hal yang belum terjadi.  Khawatir kalau misalnya tidak sesuai dengan prediksi dan mengecewakan.

Merasa jika ada masalah itu karena dirinya.

Merasa kurang teliti dalam melakukan sesuatu.

Sering mengkhawatirkan hal yang belum terjadi.

Merasa jengkel dengan diri sendiri, kenapa bisa melakukan seperti itu

.

Merasa menyesal dan menyalahkan diri sendiri jika sesuatu tidak sempurna.

8. Striving for excellent Mengejar hasil yang sempurna  Membandingkan pekerjaan sendiri dengan pekerjaan teman dan merasa jika perkerjaannya kurang sedangkan milik teman sangat bagus.

 Kecewa jika ada yang lebih bagus.

 Takut hasil yang dikerjakan jelek dan melakukan segala sesuatu agar hasilnya bagus termasuk memperbaiki kembali hasil kerjanya.

 Hasil kerja tidak sempurna itu kalau bisa disempurnakan, berusaha supaya bisa sempurna.  Sering membandingkan

tugasnya,

membandingkan

kemampuan, dan mencari motivasi agar lebih berprestasi.

(20)

PEMBAHASAN

Berdasarkan analisa hasil penelitian diketahui bahwa dimensi perfeksionisme concern over mistake ini dapat terlihat pada saat kedua partisipan merasa menyesal karena telah membuat kesalahan dan akhirnya gagal, hal tersebut membuat kedua partisipan menyalahkan dirinya sendiri dan membuatnya merasa takut untuk membuat kesalahan.

“Eeeee…Nyesel… Kayak kok bisa sih… tau gitu harusnya gini. Kemaren gini kalau nggak ya apa ya… ya kayak nyesel aja… Pengen diperbaiki kalau udah lewat itu kayak udah gak ada harapan gitu lho… Hehe…”

Menurut Jessica Van Der Speak (dalam Van Tiel & Van Tiel, 2015), faalangst(fear of failure) dapat dikatakan sebagai rasa takut salah atau takut gagal padahal sebenarnya ia bisa. Frost dkk., (dalam Mendaglio, 2007) menemukan bahwa salah satu dari 4 kecenderungan self-critical pada seorang yang memiliki perfeksionisme adalah kekhawatiran terhadap kesalahan (concern over mistakes).Namun, P1 tidak memiliki motivasi seperti P2 agar ia tidak berbuat kesalahan yang sama dan mengintrospeksi dirinya agar menjadi lebih baik, P1 justru menjadi putus asa karena membuat kesalahan.

“Pengen diperbaiki kalau udah lewat itu kayak udah gak ada harapan gitu lho… Hehe…” (P1, 5-6).

"E….mungkin mengintrospeksi diri, apa sih yang membuat kegagalan, apa yang menyebabkan kegagalan-kegagalan itu dan berbuat lebih baik mungkin, menjadi lebih baik…”

P1 dan P2 juga akan merasa stress dan putus asa ketika P1 dan P2 membuat kesalahan namun tidak dapat memperbaikinya jika hal tersebut sudah lewat. P1 terlihat lebih pasrah ketika mengami masalah sedangkan P2 akan menangis dalam waktu yang lama.Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hill dkk.(2004) mengenai concern over

(21)

mistake yaitu kecenderungan untuk mengalami stress dan kecemasan yang berlebih untuk membuat kesalahan.

Ketika kedua partisipan membandingkan orang lain dengan standar yang dimiliki, hal tersebut membuat kedua partisipan merasa kecewa dengan pendapat orang lain yang memiliki standar yang berbeda dengan dirinya. Sedangkan P2 merasa jengkel dan berusaha mengarahkan orang lain agar sesuai dengan standar yang ia miliki. P1 dan P2 juga akan menuntut orang lain agar sesuai dengan standar yang dia miliki, P1 akan menuntut orang lain agar sesuai standar yang ia miliki jika orang tersebut sama seperti dirinya. Namun untuk orang yang tidak sama dengan dirinya P1 tidak terlalu menuntut agar orang tersebut dapat memenuhi standar yang ia tetapkan.

“Eeemmm…. kalau orangnya… eee apa bisa diajak…. apa ya....kayak orangnya ya sesuai sama kayak aku, sama kayak aku, ya ya…kalau nggak ya ngga, liat situasi orangnya sih mbak… kalau orangnya nggak patek bisa ya wes lah, sak sake seng penting kowe garap sampek yang semaksimal mungkin….”

Hal tersebut sesuai dengan Hill dkk. (2004) mengenai high standards for others yaitu kecenderungan untuk membandingkan orang lain dengan standar yang dimiliki oleh orang yang memiliki perfeksionisme itu sendiri.

Menurut Hill dkk. (2004), dimensi perfekisonisme need for approval merupakan kecenderungan untuk mencari validasi dari orang lain dan sensitif terhadap kritik. Ketika kedua partisipan mendapat kritik dari orang lain mengenai apa yang dilakukan, P1 mengatakan jika ia mendapat kritik dari orang lain yang menurut P1 kritik tersebut memiliki dampak positif untuk dirinya, P1 akan memperbaiki apa yang P1 lakukan sesuai dengan kritik yang didapat. Namun, jika kritik tersebut menurut P1 justru membuat dampak negatif untuk dirinya, P1 tidak akan menghiraukan kritik tersbut.

(22)

“Ya kalau misalnya memang jelek gitu ya setidaknya diperbaiki gitu lho…Kalau misalnya kritikannya itu jelek ya malah akunya cuek, tapi kalau kritikannya bagus ya tak lakuin.”

Hal tersebutakan berlaku jika kritik yang P1 dapat sesuai dengan keyakinan dan standar yang P1 miliki. Sementara itu, P2 akan merasa jengkel jika orang lain mengkritiknya namun kritikan tersebut salah. P2 juga aka mengintrospeksi dirinya sendiri jika kritikan yang ia dapat sesuai dengan dirinya dan akan merubah diri.

Terlihat pada saat P1 berada di lingkungan yang berantakan.P1dan P2 merasa nyaman jika berada di lingkungan yang rapi dan tidak berantakan, P1akan berusaha untuk membersihkan lingkungannya agar terlihat rapi.Sementara itu, P2 merasa tidak nyaman jika berada di lingkungan yang kotor kecuali kamarnya. P2 akan membersihkan kamarnya jika ia memiliki mood yang baik, ia bahkan akan membersihkan hal yang kecil-kecil agar terlihat rapi.

“Hehehe….kalau saya sih orangnya gimana ya, kalau bener-bener ya itu tadi, kalau emang mau bersih itu sekalian bersih sampai yang kecil-kecil itu bersih semua, tapi kalau udah nggak peduli biari berantakan dulu nanti sekalian aja dibersihin sampai bersi”

P2 juga merasa jengkel jika barang yang ia miliki tidak berada di tempatnya, ia akan menyalahkan orang lain jika hal tersebut terjadi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Hill dkk.(2004) mengenai dimensi perfeksionisme organization.Menurut Hill dkk.(2004), organization merupakan kecenderungan untuk menjadi rapi dan terorganisir.

Perceived parental pressure adalah kecenderungan untuk merasa harus melakukan sesuatu secara sempurna demi memuaskan orang tua (Hill dkk., 2004). Dimensi perfeksionisme perceived parental pressure terlihat pada saat P1 melakukan

(23)

pekerjaan yang sempurna demi orang tua, hal tersebut membuatnya lega ketika dipuji orang tuanya, namun masih merasa tidak puas akan pekerjaan yang dilakukan. P1merasa jika pekerjaanya tidak menghasilkan hasil yang sempurna.

“Ya kayak leg…apa ya…dikit leg… ya lega sih, lega…cuma kayaknya menurutku kurang gini tapi orang tua udah, udah bilang udah bagus kok…diliatnya udah enak…udah keren, udah bagus…”

P1 akan melakukan sesuatu agar P1 sukses demi orang tua dirasanya merupakan hal yang wajar jika orang tua menginginkan untuk sukses. Sementara itu, P2 akan terbebani jika orang tuanya menginginkan ia untuk sukses, namun hal tersebut memacu P2 agar menjadi benar-benar sukses.

Hill dkk.(2004) juga berpendapat mengenai dimensi perfeksionisme planfulness.Menurut Hill dkk. (2004), planfulness merujuk pada kecenderungan untuk memiliki rencana masa depan dan memiliki kesengajaan dalam melakukan sesuatu atau memilih pilihan. Hal tersebut terlihat pada saat P1 dan P2 memiliki rencana dalam membuat keputusan dan memiliki kesengajaan dalam membuat pilihan.Kedua partisipanakan memikirkan segala resiko yang akan terjadi dan hasil yang akan dicapai sebelum membuat suatu keputusan. P1 dan P2 juga akan meminta pendapat orang tua dalam membuat pilihan karena P1 dan P2 menganggap orang tuanya lebih tau, namun P2 membutuhkan waktu yang lama untuk membuat keputusan.

“Dipikir dulu kedepannya kayak gimana, trus resikonya kalau ngelakuin ini itu apa…Nguntungin apa ngerugiin…. trus hasihnya gimana…”

“Pengambilan keputusan… biasanya saya menimbang… menimbang-nimbang keputusan ituterus apa..cari baik buruknya disetiap keputusan itu…ya kadang-kadang mendiskusikan sama orang tua, sama teman-teman terdekat

(24)

saya juga, baru saya mengambilkeputusan…Jadi kalau saya mengambil keputusan lama…”

Dimensi perfeksionisme rumination adalah kecenderungan untuk terobsesi dengan kesalahan dimasa lalu, performa yang kurang sempurna dan hasil kerja yang kurang sempurna dimasa lalu, dan kesalahan yang mungkin terjadi di masa depan (Hill, 2004). Dimensi perfeksionisme ini terlihat pada saat kedua partisipan merasa khawatir akan hal-hal yang belum terjadi di hidupnya. Hal tersebut terlihat pada saat P1 merasa khawatir akan hal-hal yang belum terjadi, P1 merasa takut kecewa jika tidak sesuai dengan prediksinya.

“Iya..hehe….E…. ya kalau apa ya… khawatir sih…. kalau misalnya nanti…e….nggak sesuai dengan prediksi gimana gitu… kalau ngecewain gimana….”

“Sering mengkhawatirkan. Misalnya dalam hal presentasi,tampil di depan orang itu saya sangat khawatir. Jadi misalnya mau ngomong ini, sebelum maju itu udah hafal tapi saya sebelum majuitu juga ada rasa takut gimana kalau sampai di depan nanti lupa satu kata dua kata apa lagi buyar semuanya gitu…”

Kedua partisipan juga terobsesi dengan kesalahan di masa lalu.P1akan menyalahkan dirinya sendiri jika ada masalah. P2 merasa jengkel dengan diri sendri dan menyalahkan diri sendiri mengenai apa yang terjadi. Selain itu, kedua partisipan juga terobsesi akan performa yang kurang sempurna serta hasil kerja yang kurang sempurna. P1 merasa jika hal yang dilakukan kurang sempurna. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ratna dan Widayat (2012) yang menemukan bahwa salah satu faktor penyebab perfeksionisme adalah ekspektasi yang tinggi dari orang lain maupun diri sendiri. Partisipan memiliki ekspektasi yang tinggi untuk menjadi sempurna dan merasa dirinya kurang sempurna.Ekspektasi yang tinggi tersebut berasal dari dirinya

(25)

sendiri.Sementara itu, P2 merasa menyesal jika dimasa lalu performa dan hasil kerjanya kurang sempurna.

Pada dimensi perfeksionisme striving for excellence menurut Hill dkk.(2004) merupakan kecenderungan untuk mengejar hasil yang sempurna dan standar yang tinggi.Hal tersebut terlihat pada saat kedua partisipan mengejar hasil yang sempurna. P1 dan P2 sering membandingkan hasil pekerjaannya dengan temannya yang lain. P1 merasa jika hasil pekerjaanya lebih jelek dari temannya dan hasil pekerjaan temannya lebih baik dari dirinya.P1 merasa kecewa dengan pekerjaan yang telah dikerjakannya mendapat hasilnya kurang sempurna menurutnya.P1juga merasa takut hasil yang dikerjakan jelek.

“Iya tak bandingin..ih..biasanya sih menurutku apa ya misalnya punyaku kurang, kok punyaku biasa aja ya punya temen-temen yang lain tu yang wow.. gitu lho.. Tak apain ini biar keliatan wow… tapi kayaknya sama aja gitu lho… Aku juga nggak tau.”

Menurut Silverman (1999), seseorang yang memiliki perfeksionisme menetapkan standar yang tinggi untuk diri mereka sendiri dan mengalami rasa sakit yang mendalam ketika gagal memenuhi standar tersebut. P1akan melakukan segala sesuatu agar hasil kerjanya bagus termasuk memperbaiki kembali hasil kerjanya. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik gifed menurut Renzulli yang juga dikenal dengan the Three Ring of Renzullimengenai motivasi dan komitmen terhadap tugas yang tinggi. Partisipan memiliki komitmen dan motivasi yang tinggi untuk memperbaiki tugasnya agar hasilnya sempurna.Menurut Siegle dan Schuler (dalam Thoresen, 2009) salah satu karakteristik perfeksionisme self-oriented adalah memiliki motivasi yang kuat untuk sempurna. Sementara itu, P2 lebih mencari motivasi untuk menjadi lebih baik dan membandingkan kemampuan.

(26)

“Sering sih…tugas… bandingin tugas ya… ya gimana ya…misalnya kayak bandingin kemampuan… ya kadang cari motivasi gitu lho…apa… kok dia bisa kenapa aku nggak… lebih kesitu…”

Partisipan akan melakukan segala cara termasuk memperbaiki hasil kerjanya merupakan motivasi kuat untuk sempurna.Hewit dan Silverman (dalam Peters., 1996) berpendapat bahwa perfeksionisme merupakan keinginan untuk mencapai kesempurnaan diikuti dengan standar yang tinggi untuk diri sendiri, standar yang tinggi untuk orang lain, dan percaya bahwa orang lain memiliki pengharapan kesempurnaan untuk dirinya dan memotivasi. Perilaku partisipan yang sering membandingkan pekerjaannya dengan orang lain karena menganggap hasil pekerjaannya tidak sempurna dan akan melekukan segala sesuatu termasuk memperbaiki pekerjaannya agar sempurna sesuai dengan pendapat Hewit dan Silverman (dalam Peters., 1996) yang menyatakan jika perfeksionisme adalah keinginan untuk mencapai kesempurnaan. Sedangkan menurut Hill dkk. (2004), perfeksionisme adalah hasrat untuk mencapai kesempurnaan yang ditandai dengan conscientious perfectionism yang berasal dari internal individu dan self-evaluated perfectionism yang berasal dari eksternal individu.

PENUTUP Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa gambaran perfeksionisme remaja gifted pada dimensi concern over mistakeadalah perasaan menyesal dan kecewa sehingga menyalakan diri sendiri jika membuat kesalahan, namun terkadang rasa menyesal dan kecewa tersebut dijadikan motivasi agar tidak berbuat kesalahan yang sama. Dimensi high standards for other partisipan telihat ketika orang lain tidak memnuhi standarnya, partisipan akan berusaha agar orang lain

(27)

sesuai dengan standarnya. Gambaran dimensi need for approval terlihat dari ketika menerima kritik dari orang lain, partisipan akan menerima kritik tersebut jika kritik tersebut memiliki dampak positif untuk dirinya dan untuk mengintrospeksi diri.Dimensi organization terlihat pada saat berada di lingkungan yang kotor, partisipan merasa tidak nyaman dan akan menyalahkan orang lain jika barang-barang yang dimiliki tidak berasa pada tempatnya.

Dimensi perceived parental pressure terlihat ketika partisipan merasa terbebani jika orang tua partisipan mengharuskannya untuk sukses namun ketika dipuji merasa lega. Dimensi planfulness pada partisipan terlihat pada saat membuat keputusan, partisipan akan memikirkan resiko dan hasil yang akan diperoleh sebelum membuat keputusan. Partisipan akan meminta pendapat orang tua dan teman-teman mereka sebelum membuat keputusan dan terkadang membutuhkan waktu yang lama untuk memutuskan sesuatu. Dimensi rumination terlihat ketika partisipan sering mengkhawatirkan hal-hal yang belum terjadi. Dimensi striving for excellent terlihat ketika partisipan sering membandingkan tugas dengan orang lain dan berusaha untuk memperbaki tugasnya karena merasa jika pekerjaannya tidak sempurna. Partisipan membandingkan tugas mereka untuk mencari motivasi untuk lebih berprestasi.

Saran

Dengan adanya saran dari hasil penelitian ini, diharapkan kepada: 1. Bagi peneliti lain:

Peneliti selanjutnya yang ingin melanjutkan, menyempurnakan atau mengembangkan penelitian ini, dapat meneliti mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perfeksionisme remaja gifted.Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor internal maupun faktor eksternal. Karena perfeksionisme remaja

(28)

giftedmungkin saja dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

2. Bagi partisipan dalam penelitian ini:

Diharapkan partisipan dalam penelitian ini untuk lebih dapat menerima diri sendiri apa adanya dan menerima jika membuat kesalahan dan tidak menyalahkan diri sendiri atas kegagalan dan kesalahan yang dilakukan. Partisipan juga sebaiknya tidak memikirkan dan mengkhawatirkan hal-hal yang belum terjadi dan sudah terjadi agar potensi yang ada pada diri partisipan dapat berkembang dengan lebih baik tanpa merasa takut salah atau gagal.

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Ananda, N. Y., & Masturi E. (2013).Pengaruh perfeksionisme terhadap prokrasinasi akademikpada siswa program akselerasi.Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan, 2 (3), 226-231.

Alsa, A. (2007). Keunggulan dan kelemahan program akselerasi di SMA: tinjauan psikologi pendidikan pidato pengukuhan guru besar pada Fakultas Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Azwar, S. (1986).Rehabilitasi dan validasi.interpretasi dan komputasi. Yogyakarta: Liberty.

Hawadi, A. R. (2002). Identifikasi keberbakatan intelektual: melalui etode non-tes. Jakarta: Grasindo.

Hill, R. W., Huelsman, T. J., Furr, R. M., Kibler, J., Vicente, B. B., Kennedy, C. (2004). A new measure of perfectionism: the perfectionism inventory. Journal of Personality Assessment, 82 (1).

Mendaglio, S. (2007). Should perfectionism be a characteristic of giftedness?.Gifted Education International, 23, 88-100.

Munandar, S. C. U. (1999). Kreativitas dan keberbakatan: strategi mewujudkan potensi kreatif dan bakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Moleong, L. (2009). Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Peters, C. (1996). Perfectionism,www.nwxus.edu.Diakses pada 17 September 2015. Poerwandari, E. K. (2005). Pendekatan kualitatif. Depok: Perfecta.

Pranungsari, D. (2010). Kecerdasan dengan perfeksionisme pada anak gifted di kelas akselerasi.Jurnal Humanitas, 7(1), 35-52.

Pruett, G. P. (2004). Intellectually gifted studens’s perfection of personal goals and work habbits, http:www.highbeam.com/doc/161-1240.Diakses pada 10 Agustus 2016.

Ratna, P. T., & Widayat, I. W. (2012). Perfeksionisme pada remaja gifted (sudi kasus pada peserta didik kelas akselerasi SMA Negeri 5 Surabaya).Insan, 14(3), 203-210.

Rice, K. G. & Slaney, R. B. (1998). Self-esteem as a mediator between perfectionism and depression: a structural equations analysis. Journal of Counseling Psychology, 45, 304-314.

(30)

Silverman, L. K., (1999). Perfectionism: the crucrible of giftedness. Advanced Development, 8, 47-61.

Thorsen, K. A., (2009). Perfectionism in gifted student: a need for effective service in gifted programming. Virginia: The Collage of William and Mary, School of Education Faculty.

Van Tiel, J.M., & Widyorini, E. (2014). Deteksi dan penanganan anak cerdas istimewa (anak gifted). Jakarta: Prenada.

Van Tiel. J.M.,& Van Tiel. J.F. (2015).Perfeksionisme dan faalangst anakku cerdas istimewa (anak gifted). Jakarta: Prenada.

Vieth, A.Z.& Trull, T. J. (1999). Family patterns of perfectionism: an examination of collage students and their parents. Journal of Personality Assessment, 72, 49-67. Tjahjono, E. (2004). Mengapa aku berbakat?pandangan anak berbakat tentang dirinya.

Referensi

Dokumen terkait

1) Konstanta (  0) memiliki nilai 6,339. Secara matematis nilai ini berarti jika tidak ada variabel Tunjangan Penghasilan Pegawai, Komitmen Organisasi dan

Selanjutnya kemampuan spiritual anak masih kurang, ini dibuktikan dengan hapalan huruf hijayiah dan doa sehari-hari.Tujuan penelitian ini, Mengetahui proses

An independent energy agency on Monday rejected a Trump administration plan to bolster coal - fired and nuclear power. plants, dealing a blow to President Donald Trump's

Hasil penelitian ini adalah (1) proses pengubahan tingkah laku berfokus pada pola pikir; (2) analisis dan diagnosis berfokus pada pola pikir, kondisi psikologis

Dasar hukum yang menjadi pegangan pemerintah dalam melakukan renegosiasi kontrak tambang adalah Undang-Undang No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

Berdasarkan pada penjabaran tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang bentuk-bentuk bantal leher yang bertujuan untuk mengetahui keberagaman

Ia menegaskan bahwa kalau memang masyarakat hendak menjamin kemerdekaan agama dan hendak mene- gakkan kejernihan hidup antaragama di tengah jutaan penduduk Indonesia

Menyelesaikan dan mendapatkan solusi dari persamaan gerak struktur SDOF akibat beban periodic, impuls, dan beban sembarang5. Menentukan dan menghitung respons struktur akibat