• Tidak ada hasil yang ditemukan

HANDOUT KULIAH OPTIK NONLINIER. Oleh: DR. Ayi Bahtiar, M.Si.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HANDOUT KULIAH OPTIK NONLINIER. Oleh: DR. Ayi Bahtiar, M.Si."

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

HANDOUT KULIAH

OPTIK NONLINIER

Oleh:

DR. Ayi Bahtiar, M.Si.

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG

(2)
(3)

Y.R. Shen. Principles of Nonlinear

Optics.

Physics would be dull and life most unfulfilling

if all physical phenomena around us were

linear. Fortunately, we are living in nonlinear

world. While linearization beautifies physics,

nonlinearly provides excitement in physics.

(4)

Observasi pertama efek optik nonlinier

Frequency doubling pada laser Ruby (λ = 694,3 nm), menghasilkan panjang gelombang baru (λ = 347,2 nm)

(5)

OPTIK LINIER

Polarisasi dalam medium :

P = - N e

X

Awan elektron

∆X

E

Atom paling sederhana:

N = jumlah elektron

E = muatan elektron (1,6. 10-19 C)

P =

ε

0

χ

(1)

E

Polarisasi dalam medium dielektrik

ε0 : permitivitas udara

χ(1) : suseptibiltas listrik

Hubungan sifat optik bahan dan suseptibilitas: n0 = 1 + 4πχπχπχπχ(1)

(6)

OPTIK NONLINIER

{

E

E

E

E

E

E

}

P

0 (1) (2) (3)

r

r

r

r

r

r

r

χ

+

χ

+

χ

ε

=

Polarisasi dalam medium optik nonlinier

χ(2) : Suseptibilitas listrik/optik orde kedua χ(3) : Suseptibilitas listrik/optik orde ketiga

Suseptibilitas χ(n) adalah kompleks, yang terdiri bagian riil Re[χ(n)] dan imajiner

Im[χ(n)]

]

Im[

i

]

Re[

(n) (n) ) n (

=

χ

+

χ

χ

(7)

Pandang suatu medan listrik untuk suatu gelombang bidang yang menjalar pada sumbu-z dan mempunyai frekuensi ω dan vektor gelombang k = 2π/λ

( )

E

cos(

t

kz

)

E

ω

=

0

ω

{

E

E

E

E

E

E

...

}

P

=

ε

0

χ

(1)

+

χ

(2)

+

χ

(3)

+

r

r

r

r

r

r

r

( )

(

(

;

)

E

K

(

;

,

)

E

K

(

;

,

,

)

E

...

)

P

ω

=

ε

0

χ

(1)

ω

ω

+

(2)

χ

(2)

ω

ω

ω

2

+

(3)

χ

(3)

ω

ω

ω

ω

3

+

r

r

r

r

[

]

   − ω + ω ω ω − χ + − ω ω ω χ ε = 1 cos(2 t 2kz) 2 1 E ) , ; ( K ) kz t cos( E ) ; ( P 0 (1) 0 (2) (2) 20        − ω + − ω ω ω ω ω − χ + cos(3 t 3kz) 4 1 ) kz t cos( 4 3 E ) , , ; ( K(3) (3) 30

K(n) adalah faktor numerik yang berkaitan dengan proses optik nonlinier dan

jumlah permutasi frekuensi yang dapat dibedakan [Butcher’92]

(8)

)

kz

t

cos(

E

E

)

,

,

;

(

4

3

K

)

;

(

)

(

P

0 (1) (3) (3) 20 0

ω





ω

ω

ω

ω

χ

+

ω

ω

χ

ε

=

ω

[

1

cos(

2

t

2

kz

)

]

E

)

,

;

(

K

2

1

)

2

(

P

ω

=

ε

0 (2)

χ

(2)

ω

ω

ω

02

+

ω

)

kz

3

t

3

cos(

E

)

,

,

;

(

K

4

1

)

3

(

P

ω

=

ε

0 (3)

χ

(3)

ω

ω

ω

ω

30

ω

 Suku pertama dalam P(ωωωω) berkaitan dengan indeks bias linier dan suku kedua menghasilkan indeks bias yang bergantung pada intensitas cahaya n(I).

 P(2ω2ω2ω2ω) menghasilkan beberapa efek penting a.l: frequency

doubling/second-harmonic generation (SHG), dan sum- and difference-frequency generation.

 Bagian yang tak bergantung pada frekuensi dalam P(2ω2ω2ω2ω) disebut optical

rectification.

(9)

SIMETRI INVERSI

Suatu medium mempunyai simetri inversi, jika memenuhi:

( )

r

A

)

r

(

A

r

r

r

r

=

A. Polarisasi orde kedua:

P

( )

2

(

r

)

( )

2

E

( ) ( )

r

E

r

r

( )

2

E

2

( )

r

r

r

r

r

r

r

χ

χ

=

Untuk medium yang mempunyai simetri inversi harus berlaku:

( )

( )

r

( )

E

( )

r

( )

{

E

( )

r

}

( )

E

( )

r

P

2

r

2 2

r

2

r

2 2 2

r

r

χ

=

χ

=

χ

=

…..(1) ( )

( )

r

( )

E

( )

r

P

2

r

2 2

r

r

χ

=

…..(2)

Dengan demikian, maka:

P

( )2

( )

r

P

( )2

( )

r

r

r

r

r

=

( )

( )

r

P

( )

( )

r

P

2 2

r

r

r

r

=

jika nilai χ(2) = 0

Medium yang mempunyai simetri inversi, tidak memiliki suseptibilitas orde kedua atau χ(2) = 0. Medium tersebut dinamakan medium/bahan centro-symmetric.

(10)

SIMETRI INVERSI (LANJ.)

Contoh bahan centro-symmetric: NaCl, Polimer PPV dll.

n

Polimer PPV

A

D

Noncentro-symmetric, karena antara akseptor (A) dan donor (D) merupakan molekul yang berbeda, sehingga χ(2) 0.

(11)

B. Polarisasi orde ketiga:

( )

(

r

)

( )

E

( ) ( ) ( )

r

E

r

E

r

( )

E

( )

r

P

3 3 2 3

r

r

r

r

r

r

r

r

r

r

χ

χ

=

Medium centro-symmetric (memiliki simetri inversi).

( )

( )

r

( )

{

E

( )

r

}

( )

E

( )

r

P

3 2 3 3 3

r

r

r

r

r

χ

=

χ

=

…..(1) ( )

( )

r

( )

{ }

E

( )

r

( )

E

( )

r

P

3 3 3 3 3

r

r

r

r

r

χ

=

χ

=

…..(2)

Jelas dari pers. (1) dan (2), maka:

P

( )3

( )

r

P

( )3

( )

r

r

r

r

r

=

Medium centro-symmetric memiliki suseptibilitas orde ketiga, χ(3) 0.

Medium noncentro-symmetric (tidak memiliki simetri inversi), memiliki

suseptibilitas orde ketiga.

Semua medium mempunyai suseptibilitas orde ketiga, bahkan udara sekalipun.

(12)

BAB 2.

SUSEPTIBILITAS LISTRIK/OPTIK

(MODEL LORENTZ)

(13)

Dalam model ini, elektron-elektron dalam suatu medium

dipengaruhi oleh gaya luar yang menyebabkan

elektron-elektron berpindah. Gerakan elektron-elektron-elektron-elektron diimbangi

oleh gaya ikat. Akibatnya terjadi gerakan harmonik dari

elektron yang dapat diilustrasikan dengan osilator harmonik

teredam.

e

-F

r

E

r

x e

(14)

-OPTIK LINIER

Persamaan gerak dari osilator teredam (konstanta redaman γ) dalam satu dimensi dapat diperoleh dari Hukum Newton II.

) e e ( E m e x dt dx 2 dt x d i t i t 0 2 0 2 2 ω − ω + − = ω + γ +

x = perpindahan elektron dari keadaan kesetimbangan.

ω0 = frekuensi intrinsik osilator

γ = koefisien redaman (berkaitan dengan kerugian/loss optik linier) e dan m adalah muatan dan massa elektron.

)

e

e

(

E

)

t

(

E

=

0 iωt

+

−iωt

Dimana : adalah medan listrik

]

i

)

(

[

m

2

eE

]

i

2

)

[(

m

eE

x

E

m

e

x

i

2

x

)

(

0 0 2 2 0 0 0 2 2 0

ωγ

+

ω

ω

ω

ωγ

+

ω

ω

=

=

ωγ

+

ω

ω

(15)

Dengan aproksimasi di dekat resonansi ω0 = ω

)

(

2

)

)(

(

)

(

ω

20

ω

2

=

ω

0

+

ω

ω

0

ω

ω

0

ω

0

ω

Polarisasi dalam medium dengan jumlah elektron N diberikan oleh:

E

)

(

E

]

i

)

(

[

m

2

Ne

Nex

)

(

P

0 0 0 2

ω

χ

ε

=

ωγ

+

ω

ω

ω

=

=

ω

Suseptibilitas optik linier dalam medium:

)

(

i

)

(

'

)

(

ω

=

χ

ω

χ

"

ω

χ

]

/

)

(

1

[

1

m

2

Ne

)

(

"

]

/

)

(

1

[

/

)

(

m

2

Ne

)

(

2 2 0 0 0 2 2 2 0 0 0 0 2 '

γ

ω

ω

+

γε

ω

=

ω

χ

γ

ω

ω

+

γ

ω

ω

γε

ω

=

ω

χ

(16)

Bagian riil dari suseptibilitas berkaitan dengan dispersi indeks bias n(ω) dari medium, sedangkan bagian imajinernya berkaitan dengan dispersi koefisien absorpsi α(ω), melalui:

) ( ' ω χ ) ( " ω χ

)

(

"

)

(

n

2

)

(

)

(

'

4

1

)

(

n

ω

χ

ω

π

=

ω

α

ω

πχ

+

=

ω

α( ω) [ a .u .] ω [a.u.] n ( ω ) ω [a.u.]

(17)

Model osilator harmonik menawarkan model klasik yang baik untuk

menjelaskan asal suseptibilitas optik linier. Namun, model ini tidak dapat

digunakan untuk kasus optik nonlinier.

Dalam optik linier, gaya penyeimbang (restoring force) sebanding dengan

perpindahan elektron dari keadaan setimbang.

Jika medan listrik cukup kuat, maka perpindahan akan menjadi besar,

sehingga restoring force tidak lagi sebanding dengan perpindahan, tetapi

akan sebanding dengan pangkat dua, pangkat 3 dari perpindahan dst.

Dalam kasus ini, model osilator harmonik harus diperluas menjadi model

tak-harmonik (anharmonic), sehingga suseptibilitas optik nonlinier dapat

ditunkan.In

(18)

SUSEPTIBILITAS ORDE KEDUA

Persamaan geraknya dapat digambarkan oleh:

)

e

e

(

E

m

e

Bx

x

dt

dx

2

dt

x

d

i t i t 0 2 2 0 2 2 ω − ω

+

=

ω

+

γ

+

dimana Bx2 adalah anharmonic restoring force.

Kita gunakan solusi yang mengandung bagian harmonik kedua:

) 2 ( ) 1 ( t 2 i * ) 2 ( t 2 i ) 2 ( t i * ) 1 ( t i ) 1 (

x

x

e

A

e

A

e

A

e

A

x

=

ω

+

− ω

+

ω

+

− ω

=

+

)

e

e

(

E

m

e

x

dt

dx

2

dt

x

d

i t i t 0 ) 1 ( 2 0 ) 1 ( 2 ) 1 ( 2 ω − ω

+

=

ω

+

γ

+

Substitusi kedalam pers. gerak diatas menghasilkan:

0

)

x

(

B

x

dt

dx

2

dt

x

d

2 (2) (1) 2 0 ) 2 ( 2 ) 2 ( 2

=

ω

+

γ

+

(19)

Karena polarisasi dan perpindahan dalam kasus nonlinier adalah: ) 2 (

Nex

P

=

.

c

.

c

e

.

A

x

(2)

=

(2) i2ωt

+

Maka: .(e cc) i 4 4 B ] i 2 ) [( 1 m E Ne ) 2 ( P i2 t 2 2 0 2 2 2 0 2 2 0 3 + ωγ + ω − ω ωγ + ω − ω = ω ω

Dari hubungan polarisasi dan suseptibilitas:

2 0 t 2 i ) 2 (

E

)

cc

e

)(

,

;

2

(

)

2

(

P

ω

=

χ

ω

ω

ω

ω

+

Maka diperoleh:

ωγ

+

ω

ω

ωγ

+

ω

ω

=

ω

ω

ω

χ

i

4

4

B

]

i

2

)

[(

1

m

Ne

)

,

;

2

(

2 2 0 2 2 2 0 2 3 ) 2 (

suseptibilitas diatas berkaitan dengan pembangkitan harmonik kedua (2ω = ω + ω).

Model anharmonik ini dapat juga untuk menunjukkan kasus sum frequency

generation (SFG) (ω1 + ω2) and the difference frequency generation (DFG) (ω1

− ω2).

♠ Pers. Diatas menunjukkan bahwa resonansi tidak hanya terjadi pada frekuensi fundamental ω = ω0, tetapi juga pada 2ω = ω0 (two-photon resonance)

(20)

ATURAN MILLER

Miller [1] menemukan aturan empirik bahwa:

)

(

)

(

)

2

(

)

2

(

) 1 ( kk ) 1 ( jj ) 1 ( ii ) 2 ( ijk ) 2 ( ijk

ω

χ

ω

χ

ω

χ

ω

χ

=

δ

ω

[1] Miller, R.C., Optical second harmonic generation in piezoelectric crystals, Appl.Phys.Lett. 5(1964), p.17. 2 ) 1 ( j ) 1 ( ) 2 ( ) 2 (

)]

(

)[

2

(

)

2

(

ω

χ

ω

χ

ω

χ

=

δ

ω

Persamaan diatas dapat direduksi kedalam 1-dimensi:

(21)

SUSEPTIBILITAS ORDE KETIGA

)

e

e

(

E

m

e

Cx

x

dt

dx

2

dt

x

d

i t i t 0 3 2 0 2 2 ω − ω

+

=

ω

+

γ

+

Sama halnya seperti dalam orde kedua, persamaan gerak untuk orde ketiga adalah:

) 3 ( ) 1 ( t 3 i ) 3 ( 3 t i ) 3 ( t i ) 1 (

x

x

)

cc

e

A

(

)

cc

e

A

(

)

cc

e

A

(

x

=

ω ω

+

+

ω ω

+

+

ω ω

+

=

+

Pandang solusi coba-coba (trial):

)

e

e

(

E

m

e

x

dt

dx

2

dt

x

d

i t i t 0 ) 1 ( 2 0 ) 1 ( 2 ) 1 ( 2 ω − ω

+

=

ω

+

γ

+

0

)

x

(

C

x

dt

dx

2

dt

x

d

2 (3) (1) 3 0 ) 3 ( 2 ) 3 ( 2

=

ω

+

γ

+

Diperoleh:

(22)

Dengan menggunakan hubungan antara polarisasi dan suseptibilitas orde ketiga:

]

cc

e

E

)

,

,

;

(

[

]

cc

e

E

)

,

,

;

3

(

[

P

=

χ

(3)

ω

ω

ω

ω

30 i3ωt

+

+

χ

(3)

ω

ω

ω

ω

03 iωt

+

akan menghasilkan suseptibilitas harmonik ketiga:

] i 3 ) 3 ( [ ] i ) [( C m e 4 N ) , , ; 3 ( 2 2 0 3 2 2 0 3 4 ) 3 ( ωγ + ω − ω ωγ + ω − ω         = ω ω ω ω − χ ] ) ( ) [( 2 ] i ) [( C m e 4 N 3 ) , , ; ( 2 2 2 2 0 2 2 0 3 4 ) 3 ( ωγ + ω − ω ωγ + ω − ω         = ω ω − ω ω − χ

Persamaan (*) menyatakan bahwa memiliki resonansi pada frekuensi fundamental ω=ω0 dan harmonik ketiga 3ω = ω0.

Ungkapan untuk dapat ditulis ditulis dengan bantuan delta Miller dengan mengeliminasi faktor sehingga:

) , , ; 3 ( ) 3 ( − ω ω ω ω χ ……….(*) ……….(**) ) , , ; 3 ( ) 3 ( ω ω ω ω χ ωγ + ω − ω ) i ( 20 2 3 ) 1 ( ) 1 ( 4 3 ) 3 ( )] ( )[ 3 ( C e N 4 m ) , , ; 3 (− ω ω ω ω = χ ω χ ω χ

(23)

Untuk memperoleh nilai koefisien C, kita dapat berasumsi bahwa jika perpindahan x dan jarak atom s adalah sama besarnya, maka restoring force untuk harmonik dan tak-harmonik mempunyai nilai yang sama, sehingga:

3 2 0

s

=

Cs

ω

ω

=

ω

=

ω

ω

ω

ω

χ

6 43 0 2 8 0 3 4 ) 3 (

m

e

s

4

N

C

m

e

4

N

)

,

,

;

3

(

Persamaan (*) menjadi:

Dengan nilai s = 0.3 nm, ω0 = 1016 rad/s dan N = 6 x 1022 /cm3, diperoleh esu 10 x 1 ) , , ; 3 ( 0 15 ) 3 ( − → ω = ω ω ω ω − χ

yaitu rentang nilai suseptibilitas orde ketiga yang reasonable suatu material.

Persamaan(**) berkaitan dengan proses degenerate four-wave mixing (DFWM) dimana dua foton yang merambat secara berlawanan menghasilkan suatu pola grating dalam medium dan foton ketiga akan terhambur keluar dari grating.

Bagian riil dan imajiner bertanggungjawab dalam proses self-focusing dan

(24)

Walaupun model klasik osilator harmonik dan tak-harmonik dapat

memperkirakan beberapa perilaku respon optik linier dan nonlinier

dari suatu medium, model tersebut masih jauh dari cukup untuk

menjelaskan

secara

lengkap

tentang

fenomena-fenomena

eksperimen yang teramati.

Salah satu masalah dalam model klasik adalah bahwa model ini

hanya memiliki frekuensi karakteristik (fundamental)

ω

0

, sedangkan

dalam sitem riil terdiri dari molekul-molekul dengan jumlah keadaan

tereksitasi yang besar. Karenanya perlu untum memperlakukan teori

mekanika kuantum dan menyelesaikan persamaan Schrödinger

dengan Hamiltonian khusus.

(25)

BAB 3. PERSAMAAN MAXWELL

DALAM MEDIUM OPTIK

(26)

PERSAMAAN MAXWELL DALAM MEDIUM OPTIK NONLINIER

Untuk memahami efek optik nonlinier, kita mulai dari persamaan Maxwell yang menggambarkan interaksi gelombang EM dengan medium:

0

H

E

t

D

j

H

t

H

t

B

E

0

=

ε

ρ

=

+

=

×

µ

=

=

×

r

r

r

r

r

r

r

r

r

r

r

r

(

)

E

j

E

P

E

D

H

B

r

r

r

r

v

r

r

r

σ

=

χ

+

ε

=

+

ε

=

µ

=

Polarisasi dalam medium akibat adanya medan listrik digambarkan oleh:

{

}

NL LIN NL ) 1 ( 0 ) 3 ( ) 2 ( ) 1 ( 0

P

P

P

E

...

E

E

E

E

E

E

P

r

r

r

r

r

r

r

r

r

r

r

+

=

+

χ

ε

=

+

χ

+

χ

+

χ

ε

=

(27)

( )

(

)

(

)

( )

[

1 NL

]

0 2 2 2 2 0 2 2 2 2 0 0

P

E

t

t

E

t

E

t

P

t

E

t

E

P

E

t

E

t

H

t

E

r

r

r

r

r

r

r

r

r

v

r

r

r

r

r

+

χ

ε

µ

µε

µσ

=

µ

µε

µσ

=





+

ε

+

σ

µ

=

×

µ

=

×

×

( )

[

( )

]

( )

[

( )

]

2 NL 2 2 2 1 0 2 2 NL 2 2 2 1 0 t P t E 1 t E E E t P t E 1 t E E ∂ ∂ µ − ∂ ∂ χ + µε − ∂ ∂ µσ − = ∇ − • ∇ ∇ ∂ ∂ µ − ∂ ∂ χ + µε − ∂ ∂ µσ − = × ∇ × ∇ r r r r r r r r r r r r r

Jika bahan/medium tidak mempunyai sumber muatan bebas ρ = 0, maka:

2 NL 2 2 2 2

t

P

t

E

t

E

E

µ

µε

µσ

=

r

r

r

r

Pers. diatas adalah persamaan gelombang EM dalam medium optik nonlinier, dimana permitivitas bahan didefinisikan sebagai:

( )

[

1

]

0

1

+

χ

ε

=

ε

(28)

SATUAN DARI SUSEPTIBILITAS

Suseptibilitas listrik mempunyai satuan dalam SI

1 n ) n (

V

m

χ

Maka:

(

)

2 ) 3 ( ) 2 ( ) 1 (

V

/

m

V

/

m

?

χ

χ

χ

Dalam sistem cgs: ( )

[ ]

( )

( )

[ ]

2 8 n 1 n 4 n

s

/

m

10

x

3

c

u

.

s

.

e

c

10

4

SI

=

χ

π

=

χ

[

]

[ ]

e

.

s

.

u

10

x

4

.

1

V

/

m

2 2 8 (3) ) 3 (

=

χ

χ

(29)

Persamaan gelombang EM dalam medium NLO: 2 NL 2 2 2 2

t

P

t

E

t

E

E

µ

µε

µσ

=

r

r

r

r

Asumsikan ada dua buah gelombang bidang yang merambat sepanjang sumbu-z, melewati bahan NLO, maka:

ω

ω

ω

ω

1

ω

ω

ω

ω

2

ω

ω

ω

ω

3

=

ω

ω

ω

ω

1

+

ω

ω

ω

ω

2 NLO

ω

ω

ω

ω

1111

ω

ω

ω

ω

2222

ω

ω

ω

ω

3333

ω

ω

ω

ω

3

=

ω

ω

ω

ω

1

-

ω

ω

ω

ω

2 Sum-Frequency Generation (SFG) Difference-Frequency Generation (DFG)

SFG

DFG

ω

ω

ω

ω

1111

ω

ω

ω

ω

2222

ω

ω

ω

ω

3333

(30)

Secara umum medan listrik menjadi:

( )

[

( )

( )

i 2t

]

2 t 1 i 1

e

E

e

E

Re

t

E

=

ω

ω

+

ω

ω

r

r

r

Polarisasi dalam medium diberikan oleh:

P

ijk

E

r

r

χ

=

(a). Sum-Frequency Generation:

(

)

{

(

) ( ) ( )

i( 1 2)t

}

2 k 1 j 2 1 ijk 2 1 i

Re

E

E

.

e

P

ω

+

ω

=

χ

ω

=

ω

+

ω

ω

ω

ω +ω (b). Difference-Frequency Generation:

(

)

{

(

) ( ) ( )

( )

}

( )

2 k

(

2

)

* k t 2 1 i 2 * k 1 j 2 1 ijk 2 1 i

E

E

e

.

E

E

Re

P

ω

=

ω

ω

ω

ω

ω

=

ω

χ

=

ω

ω

ω −ω

Dengan demikian, maka:

( )

( ) ( ) ( 1 2)t i(k1 k2)z i 2 1 z 2 k 1 k i t 2 1 i 2 1 ) 2 ( ijk NL

e

.

e

).

z

(

E

)

z

(

E

.

d

e

.

e

).

z

(

E

)

z

(

E

2

1

t

,

z

P

+ − ω + ω + − ω + ω

=

χ

=

r

) 2 ( ijk

2

1

d

=

χ

(31)

( )

[

(

)

]

( )

z,t E (z)exp

[

i

(

t k z

)

]

E z k t i exp ) z ( E t , z E 2 2 2 2 1 1 1 1 − ω = − ω =

Gelombang-gelombang bidang tersebut adalah:

Asumsikan suatu medan listrik baru dengan frekuensi ω3 = ω1 + ω2 (SFG):

( )

z,t E (z)exp

[

i

(

t k z

)

]

E3 = 3 ω33

Dengan subsitusikan kedalam pers. gelombang, maka:

2 NL 2 3 2 3 3 3 3 2 3 3 3 2 3 2 t P E E i E k dz dE ik 2 dz E d ∂ ∂ µ = µεω + µσ ω − − − r

Bila variasi amplitudo E3 terhadap jarak z kecil atau disebut slowly varying amplitude (SVA) approximation:

( )

dz ) t , z ( dE ik 2 dz t , z E d 3 3 2 3 2 << dan: k 2 1 2 0 2 2 2 3 2 3  =      λ π − µε       λ π µε = − µεω

(32)

2 NL 2 3 3 3 3

t

P

E

i

dz

dE

ik

2

µ

=

µσ

ω

+

r

……….(1)

Suku di ruas kanan dalam pers. (1) dapat diuraikan menjadi:

(

)

( ) ( )

( ) ( )

( ) ( )

i 3t i(k1 k2)z 2 1 2 3 z 2 k 1 k i t 2 1 i 2 1 2 2 1 2 NL 2 e . e z E z E . d e . e z E z E . d t P + − ω + − ω + ω µω − = ω + ω µ − = ∂ ∂ µ r ……….(2)

Dari pers. (1) dan (2), diperoleh:

( )

( )

( ) ( )

i(k1 k2)z 2 1 2 3 z 3 ik 3 3 z 3 ik 3 3

e

i

E

z

e

d

.

E

z

E

z

e

dz

z

dE

ik

2

+

ω

µσ

=

µω

− +

Dengan menggunakan hubungan:

( )

3 3 3 i i i i

k

k

ε

µ

=

µ

ω

ω

µε

=

ω

(33)

Maka akan diperoleh tiga buah persamaan:

( )

( )

( ) ( )

( )

( )

( )

( ) ( )

( )

( )

( )

( ) ( )

* i(k1 k2 k3)z 3 1 3 3 * 2 2 * 2 z 1 k 2 k 3 k i * 2 3 1 1 1 1 1 z 3 k 2 k 1 k i 2 1 3 3 3 3 3 e z E z E . d 2 i z E 2 dz z dE e z E z E . d 2 i z E 2 dz z dE e z E z E . d 2 i z E 2 dz z dE − + − − − − − + − ε µ ω + ε µ σ − = ε µ ω − ε µ σ − = ε µ ω − ε µ σ − =

Secara umum ki adalah vektor perambatan cahaya, dan besaran ∆k = k3 –k1-k2 disebut vektor gelombang mismatch (wave vector mismatch).

(34)

BAB 4. SECOND HARMONIC

GENERATION (SHG)

(35)

Second-Harmonic Generation dan Phase-Matching

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

ω

3333

1111

2222

ω

ω

ω

ω

1111

χχχχ

(2)

ω

ω

ω

ω

2222

ω

=

ω

ω

=

ω

=

ω

2

3 2 1

χ

( )

2

(

2

ω

;

ω

;

ω

)

Bentuk umum:

( )

( )

( ) ( )

( )

( )

2

( )

i(2k1 k3)z 1 3 3 3 3 z 3 k 2 k 1 k i 2 1 3 3 3 3 3

e

z

E

.

d

2

i

z

E

2

e

z

E

z

E

.

d

2

i

z

E

2

dz

z

dE

− − − + −

ε

µ

ω

ε

µ

σ

=

ε

µ

ω

ε

µ

σ

=

Dimana:

( )

( )

ω

=

ω

=

2

k

k

k

k

3 1

(36)

Dengan asumsi bahwa:

1. Amplitudo tak dipengaruhi oleh proses konversi 2. Medium tak mempunyai absorpsi (σ = 0)

Maka persamaannya menjadi:

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

d

.

E

( )

e

k

1

L

E

dz

e

E

.

d

i

z

E

kL i 2 2 2 L o kz i 2 2 2

ω

ε

µ

ω

=

ω

ε

µ

ω

=

∆ ω ω ∆ ω ω

Dimana L adalah panjang medium, dan ∆k = k(2ω) – 2k(ω) adalah vektor gelom-bang mismatch.

Intensitas keluaran/output dari second harmonic adalah:

( )

( )

( )

( )

     ∆ ω ε µ ω =      ∆      ∆ ω ε µ ω = ε = ω ω 2 kL c sin L E d n 2 kL 2 kL sin L E d n E nc 2 1 2 I 2 2 4 2 0 2 2 2 2 2 4 2 0 2 2 2 2 0

(37)

Intensitas sebagai fungsi dari

kL/2 dari medium SHG

I(2ω)

kL/2

( )

( )

ω

ε

µ

ω

=

ω

2

kL

c

sin

L

E

d

n

2

I

2 4 2 2 0 2 2

(38)

Efisiensi konversi untuk SHG:

( )

( )

( )

( )

A

( )

P

2

kL

c

sin

L

d

~

P

2

P

I

2

I

2 2 2 2 2

ω

ω

ω

ω

=

ω

ω

=

η

Persamaan diatas menunjukkan bahwa:

1. Efisiensi konversi sebanding dengan P2(ω), sehingga disebut efek NLO 2. Efisiensi sebanding ~d2 ~χ(2)2

3. Efisiensi ~ L2, sehingga medium yang panjang akan menghasilkan efisiensi konversi yang tinggi (akan dibuktikan ternyata tidak benar) 4. Efisiensi optimal bila ∆k = 0 (disebut kondisi phase-matching

sempurna). Namun keadaan ini umumnya tidak terpenuhi dalam medium biasa (ordinary) karena adanya efek dispersi (indeks bias medium bergantung pada panjang gelombang).

(39)

L

B

A

Intensitas SHG vs. Panjang medium

A: Kondisi non-phase-matching (∆k ≠ 0). Ternyata semakin panjang medium

intensitas SHG tidak semakin besar.

(40)

Intensitas SHG vs. Panjang medium

(Hasil eksperimen)

(41)

Efek dispersi material

• Dispersi adalah indeks bias medium bergantung pada panjang gelombang atau frekuensi, sehingga n(ω) ≠ n(2ω).

ω n n(ω) n(2ω) Sehingga:

( )

( )

( )

( )

0

n

2

2

n

k

2

2

k

k

ω

ω

=

ω

ω

=

(42)

Konsekuensi fisis dari dispersi adalah bahwa dua gelombang:

( )

{ ( ) }

( )

i{2 t k( )2 z} 2 2 z k t i

e

E

t

,

z

E

e

E

t

,

z

E

ω − ω ω ω ω − ω ω ω

=

=

Akan berbeda fasa sehingga proses generasi dari SHG akan terhenti (seperti interferensi destruktif). Pada jarak tertentu, amplitudo mencapai maksimum:

π

=

k

l

Pada panjang tertentu=panjang koheren , panjang medium/kristal, dimana proses SHG berlangsung efektif.

l

2

L

c

=

( )

( )

( )

( )

( )

2 2n

( )

] n [ 2 n 2 2 n 2 c 2 k 2 2 k 2 k 2 Lc ω − ω λ = ω ω − ω ω π = ω − ω π = ∆ π = Contoh: jika l = 1.0 µm n(2ω)-n(ω) = 10-2

(43)

Bukti efek panjang koheren pada intensitas SHG

Maker et al, Phys. Rev. Lett. 8 (1992), p.19

Mengukur intensitas SHG suatu kristal sebagai fungsi dari sudut θ

PD

ω

ω

P(2

ω

) S F S : sampel F : filter

(44)

Bila ∆k ≠ 0;

1. Pada Lc pertama → P(2ω)

2. Pada Lc kedua → P(2ω), namun intensitasnya berkurang, dst… L = 2n Lc → P(2ω) = 0

L = (2n+1) Lc → P(2ω) = optimum

Dimana L = d cos θ, dimana d adalah tebal kristal/medium.

Bila kondisi phase-matching terpenuhi, intensitas SHG bisa meningkat dengan faktor 1,6.105 kali. Kondisi dapat dipenuhi oleh kristal khusus, yaitu birefringence crystals,

(45)

Sum Frequency Generation (SFG)

This process combined with SHG is used in practices for generation of third

harmonic

ω

ω

ω

ω

1

ω

ω

ω

ω

2

χχχχ

(2)

ω

ω

ω

ω

3

=

ω

ω

ω

ω

1

+

ω

ω

ω

ω

2

ω

ω

ω

ω

1111

ω

ω

ω

ω

2222

ω

ω

ω

ω

3333

532

1064

1064

KDP

1064

532

355

KDP

You can see all these nice colors with your own eyes (through the safety goggles)

in Nonlinear Optics Lab 0.501 (MPIP-Mainz)

(46)
(47)

BAB 5. PERAMBATAN

GELOMBANG DALAM MEDIUM

ANISOTROPIK

(48)

Dalam suatu medium anisotropik, polarisasi tidak selalu sejajar dengan medan listrik. Suseptibilitas yang merupakan respon medium pada gelombang EM bukan besaran skalar tetapi tensor. Secara fisis, hal ini dipahami bahwa atom-atom dalam kristal tidak identik sepanjang arah-arah yang berbeda. Polarisasi telah didefinisikan sebagai:

P =

ε

0

χ

(1)

E

(

)

(

)

(

31 1 32 2 33 3

)

0 3 3 23 2 22 1 21 0 2 3 13 2 12 1 11 0 1

E

E

E

P

E

E

E

P

E

E

E

P

χ

+

χ

+

χ

ε

=

χ

+

χ

+

χ

ε

=

χ

+

χ

+

χ

ε

=

Ke-sembilan (9) elemen tensor χ bergantung pada pemilihan koordinat. Sebagai konsekuensinya, maka vektor perpindahan listrik menjadi:

(

)

E

E

1

P

E

D

ij ij 0 0

r

r

r

r

r

ε

=

χ

+

ε

=

+

ε

=

(49)

Refraksi pada suatu batas medium anisotropik

Pandang suatu gelombang bidang yang datang pada suatu permukaan kristal anisotropik. 2 2 1 1 0

0

sin

k

sin

k

sin

k

θ

=

θ

=

θ

Indek 0 = gelombang datang

(50)

Efek fisis dari medium anisotropik adalah bahwa gelombang datang dengan polarisasi D0 terpisah menjadi dua gelombang dengan polarisasi yang saling ortogonal dan menjalar di dalam kristal dengan sudut yang berbeda.

Rapat energi dalam suatu medium:

( )

E

D

2

1

U

r

r

=

D

i

=

ε

i

E

i

i

=

x

,

y

,

z

U

2

D

D

D

z 2 z y 2 y x 2 x

=

ε

+

ε

+

ε

Definisikan:

U

2

D

x

n

U

2

D

r

x 2 i i

=

=

ε

=

r

r

r

Maka diperoleh:

1

n

z

n

y

n

x

2 z 2 2 y 2 2 x 2

=

+

+

Persamaan ellips

(51)

Kristal Uniaxial

- mempunyai satu sumbu kristal. - dua indeks bias adalah identik,

sehingga bidang perpotongan dengan sumbu optik merupakan suatu

lingkaran.

-jika z adalah sumbu simetri (sumbu kristal, maka ada dua indeks bias:

0 z 2 e 0 y 0 x 2 0

n

n

ε

ε

=

ε

ε

=

ε

ε

=

n0 = indeks bias ordinary

(52)

Maka persamaan ellips menjadi:

1

n

z

n

y

n

x

2 e 2 2 0 2 2 0 2

=

+

+

Bidang yang diarsir membentuk ellips dengan dua sumbu utama, sehingga ada dua arah polarisasi yang sejajar dengan sumbu ellips, yaitu:

1. Polarisasi sepanjang sumbu-x, yang tegak lurus sumbu optik sehingga disebut gelombang ordinary dengan indeks bias n0.

2. Polarisasi dalam bidang x-y yang terletak sebidang dengan sumbu optik disebut gelombang ekstraordinary.

(53)

BAB 6. PHASE MATCHING PADA

MEDIUM BIREFRINGENCE

(54)

Kondisi phase-matching

k = 0 tidak mungkin diperoleh pada medium

isotropik, karena adanya efek dispersi, n(

λ

).

Dalam media anisotropik, gelombang ordinary dan extraordinary dapat

dicampur, sehingga diperoleh kondisi phase-matching.

Dilakukan dengan merubah indeks bias gelombang extraordinary yang

ditransmisikan melalui perubahan sudut

θ

antara vektor-k dan sumbu

optik medium.

( )

θ

+

θ

=

θ

2 2 e 2 2 o o e e

cos

n

sin

n

n

n

n

Dalam median anisotropik, efek dispersi tetap ada, akibatnya n

o

, n

e

dan n

e

(

θ

) juga sebagai fungsi dari panjang gelombang/frekuensi.

(55)

Dispersi pada kristal KDP

In d e k s b ia s ne < no Kondisi phase-matching (∆k=0) untuk kasus SHG dapat dipenuhi dengan memilih:

ω ω

=

2

n

n

Karena efek dispersi kondisi ini tidak mungkin dicapai, karena:

( )

θ

( )

θ

ω ω ω ω 2 o e 2 o o

n

n

n

n

Dalam kristal uniaxial negatif (ne < no), seperti KDP, pada nilai sudut tertentu θm, berlaku:

( )

ω ω

θ

=

o m 2 e

n

n

(56)

Sebelum menyelesaikan persamaan secara aljabar untuk mencari sudut

tertentu, dimana kondisi phase-matching terpenuhi (phase matching

angle), kita bahas secara geometri untuk mengklarifikasi masalah.

Masalahnya adalah suatu kristal bersifat birefringent dan dispersive pada

saat yang sama.

Indeks-indeks permukaan untuk berkas ordinary dab extraordinary dapat

digambarkan dalam dua frekuensi

ω

dan 2

ω

. Sehingga kita memiliki 4

(empat) indeks permukaan yang berbeda (lihat gambar untuk kristal

birefringent negatif)

(57)

( ) ω ωθ = 2 o 2 o n n

Indeks permukaan untuk no pada frekuensi 2ω dan ne pada frekuensi ω ditunjukkan oleh garis putus-putus, karena tidak penting untuk

phase-matching.

Kurva untuk no(ω) dan ne(2ω) menentukan sudut phase matching, yaitu titik-titik pada lingkaran no(ω) bertemu

dengan titik-titik pada lingkaran ne(2ω).

(58)

( )

( )

( )

m 2 2 2 e m 2 2 2 o 2 o 2 e m 2 e

cos

n

sin

n

n

n

n

θ

+

θ

=

θ

ω ω ω ω ω

Pada frekuensi 2ω, persamaan ellips:

Untuk memperoleh kondisi phase-matching, maka:

( )

ω ω

θ

=

o m 2 e

n

n

Sehingga:

( ) ( )

( ) ( )

2 2 o 2 2 e 2 2 o 2 o m 2

n

n

n

n

sin

ω − ω − ω − ω

=

θ

Arti fisis:

Kondisi phase-matching, yaitu kondisi yang efektif untuk frekuensi doubling dicapai jika suatu berkas (beam) menjalar melalui kristal pada sudut tertentu

θ

(59)

Karena adanya efek dispersif pada semua parameter diatas (n0ω, n0dan n

e2ω), maka sudut phase-matching akan berbeda untuk frekuensi doubling dari frekuensi yang berbeda. Ini diasumsikan bahwa berkas dengan frekuensi ω adalah berkas

ordinary (terpolarisasi tegak lurus terhadap sumbu optik), sedangkan harmonik

kedua adalah berkas extra-ordinary (terpolarisasi dalam bidang sumbu optik). Sehingga dalam proses ini polarisasi harmonik kedua (2ω) tegak lurus terhadap polarisasi fundamental (ω).

Dalam contoh ini kita berasumsi bahwa kristal adalah birefringent negatif, sehingga kondisi phase matching diperoleh dengan ordinary fundamental dan

extraordinary second harmonic.

Untuk medium birefringent positif, kondisi phase-matching terpenuhi frekuensi fundamental (ω) adalah extraordinary dan harmonik kedua (2ω) adalah

(60)

Kondisi phase-matching untuk sum-frequency mixing (ω3 = ω12): 2 1 3

k

k

k

k

r

r

r

r

=

Proses frekuesi doubling atau pembangkitan harmoni kedua (second harmonic

generation, SHG) dapat juga dipahami sebagai proses sum-frequency mixing dari

gelombang ordinary dan extraordinary pada frekuensi yang sama di dalam kristal. Dalam kasus ini, hubungan phase-matching ∆k=0 menjadi:

( )

θ

=

[

ω

+

ω

( )

θ

]

ω e o 2 e

n

n

2

1

n

untuk kristal birefringent negatif

( )

[

+

θ

]

=

ω ω ω e o 2 o

n

n

2

1

n

untuk kristal birefringent positif

Jelas bahwa sudut phase-matching θ

m akan berbeda untuk bahan birefringent negatif dan positif, walaupun prosesnya sama yaitu frekuensi doubling.

(61)
(62)
(63)

Pandang phase-matching tipe-I dan kristal birefringence negatif.

Hubungan phase-matching:

[

n

( )

n

]

0

c

2

k

=

ω

2e

θ

o

=

ω ω

Kondisi ini dapat dipenuhi untuk nilai sudut tertentu

θ

m

. Ekspansi

Taylor pada sekitar sudut phase-matching (

θ−θ

m

):

( )

[

]

{

} (

)

( )

{

θ

} ( )

θ

ω

=

θ

θ

+

θ

ω

=

θ

+

θ

θ

ω

=

θ

θ

ω

=

θ

ω ω ω

2

sin

n

n

n

n

n

c

2

sin

n

n

cos

n

sin

n

n

n

c

cos

n

sin

n

n

n

d

d

c

2

n

n

d

d

c

2

d

dk

2 e 2 o 2 o 2 e 3 2 e 2 e 2 o 2 / 3 2 2 e 2 2 o o e 2 2 e 2 2 o o e o 2 e

Sehingga:

(

)

m 2 o 2 e 3 o m

2

sin

n

n

n

c

d

dk

θ

ω

=

θ

− −

Dimana:

( )

o 2 e

n

n

ω

θ

=

(64)

Maka:

m

2

sin

L

2

k

θ

β

θ

β

=

Daya untuk SHG menjadi:

( )

[

(

)

]

(

)

[

]

2 m m 2 2 2 2 sin 2 kL 2 kL sin P θ − θ β θ − θ β ∝                ∆    ∆ ∝ θ ω

Daya SHG untuk kristal

KDP dengan tebal kristal

L = 1,23 cm dan kondisi

phase matching diperoleh

pada

θ−θ

m

= 0.1

0

(65)

Konsep opening angle dapat dipahami dengan dua cara:

1. Untuk panjang gelombang tertentu

λ

dan cahaya yang difokuskan,

konvergensi sudut tidak boleh melebihi 0,1

0

, jika tidak, maka efisiensi

SHG akan berkurang.

2. Untuk kasus cahaya ko-linier, perbedaan panjang gelombang

∆λ

:

λ

λ

=

k

k

Akibatnya hanya bandwidth tertentu yang menghasilkan proses SHG

yang efisien.

(66)
(67)

Dalam bahasan sebelumnya, diasumsikan bahwa indeks bias material

bergantung pada vektor k dan polarisasi bahan. Dalam realita, indeks

bias juga

dipengaruhi

oleh

faktor-faktor

eksternal

yang akan

mempengaruhi jarak kisi dalam tiga dimesi dari suatu kristal/bahan.

Pada prinsipnya, nilai

n

eω

,

n

0ω

,

n

2eω

,

n

0

bergantung pada temperatur.

Sehingga kondisi phase-matching

k = 0 dapat diperoleh dengan

merubah temperatur kristal. Tentu saja sudut qm masih menjadi

parameter yang penting.

Ada suatu kelas dari kristal, mirip KDP, yang cocok untuk temperature

tuning, dimana kondisi phase-matching dapat diperoleh untuk sudut

θ

m

=

90

0

. Dengan mengatur temperatur, maka kondisi

k = 0 dan

θ

m

= 90

0

(68)

Kurva temperature-tuning untuk kristal

KDP dan ADP

(69)

Beberapa keuntungan temperature-tuning:

 Sifat-sifat walk-off menjadi tidak penting, jika phase-matching diperoleh pada sudut θm = 900. Kondisi ini disebut phase-matching non-kritis.

 Pada sudut tersebut, cahaya/gelombang menjalar sepanjang sumbu optik dan tidak ada efek indeks bias ganda (birefringence) dalam medium.

Temperature tuning ini sangat cocok untuk aplikasi intracavity phase-matching SHG (laser), karena efek-efek tadi akan menimbulkan kerugian (losses) dalam proses lasing.

 Pada sudut θm = 900 ekspansi orde pertama dalam deret Taylor untuk turunan opening angle yang mengandung faktor sin 2θm akan hilang sehingga diperoleh untuk kondisi phase-matching non-kritis:

( )

2

k

θ

sehingga opening angle yang lebih besar diperbolehkan.

(70)

s

r

z y A y z θ θ

( )

θ e n

Proyeksi ellipsoid ke dalam bidang x-y. Polarisasi gelombang ordinary tegak lurus bidang gambar.

( )

( )

θ

θ

=

θ

θ

=

cos

n

y

sin

n

z

e e

Maka pers. Ellips menjadi:

( )

2 e 2 0 2 e

n

sin

n

cos

n

1

θ

+

θ

=

θ

Indeks bias bergantung pada

arah propagasi vektor

(71)

1. Untuk kasus khusus dimana

θ

= 0 yaitu vektor gelombang s

sepanjang sumbu optik, maka tidak ada birefringence ( n

e

= n

0

).

2. Jika vektor gelombang s tegak lurus sumbu optik, maka dua

gelombang akan menjalar melalui medium dengan indeks bias n

0

dan n

e

.

Untuk medium birefringence positif (n

e

> n

0

), sedangkan medium

birefringence negatif (n

e

< n

0

).

(72)

BAB 9. QUASI PHASE-MATCHING

(QPM) TECHNIQUE

(73)

Kurva A

: kondisi phase-matching sempurna di sepanjang kristal.

Kurva C

: kasus phase-mismatch dengan panjang koheren

l

c

.

(74)

Dalam mencapai phase-matching dengan opening angle, dalam

beberapa nilai sudut, propagasi gelombang tidak memungkinkan,

karenanya beberapa elemen pada tensor d

ij

tidak dapat diakses.

Problemnya adalah fasa dari SHG berbeda dengan fundamental

karena adanya efek dispersi (kecepatan cahaya yang berbeda).

Dalam masing-masing panjang koheren, bahwa polarisasi nonlinier

berbeda fasa 180

o

(

π

radian) dan fasa relatif

slips

π

/2. Setelah

panjang koheren pertama, fasa bergeser ke dalam daerah dimana

energinya hilang.

Ide dibalik caya untuk mencapai kondisi phase-matching adalah

dengan mengatur fasa polarisasi nonlinier setelah masing-masing

panjang

koheren. Pada

kondisi

demikian, intensitas

nonlinier

meningkat secara monoton, walaupun lebih landai daripada dalam

phase-matching sempurna.

Kondisi ini disebut kondisi quasi phase-matching (QPM) yang dapat

diperoleh dengan

periodically poled crystal

.

(75)

Periodically Poled Crystal

Segmen-segmen material dengan sumbu optik yang berlawanan arah.

Perambatan gelombang dalam segmen-segmen diputar 180

o

sehingga

pergeseran fase dalam panjang koheren L

c

pertama akan berkurang

dalam panjang koheren berikutnya.

(76)

Hubungan fasa antara medan optik/listrik dengaqn

polarisasi nonlinier SHG

(77)

Persamaan gelombang terkopel:

( )

z

exp

[

i

k

'

z

]

d

E

dz

d

2

=

Γ

c

n

E

i

2 2 1

ω

=

Γ

Gelombang SHG pada ujung sampel L, diberikan oleh:

( )

L

d

( )

z

exp

[

i

k

'

z

]

dz

E

L

0

2

=

Γ

Dalam kasus khusus: d(z) = deff dan ∆k’ = 0, maka gelombang SHG:

( )

L

d

L

E

2

=

Γ

eff

Dalam realita, fungsi d(z) dapat diasumsikan terdiri dari domain-domain dengan

± deff yang berubah tanda pada posisi zj.

Asumsikan bahwa tanda diganti dengan gk dan lk adalah panjang domain ke-k, dan N adalah jumlah domain, maka:

(

)

(

)

[

k k 1

]

N 1 k k eff 2

g

exp

i

k

'

z

exp

i

k

'

z

'

k

d

i

E

=

Γ

=

(78)

Tanda berubah dalam struktur yang sempurna pada posisi:

( )

k 0 , k ' 0 k i

1

z

e

− ∆

=

dimana ∆k0’ adalah vektor gelombang mismatch pada panjang gelombang input dan untuk QPM orde ke-m:

c 0

,

k

mk

z

=

l

Untuk struktur yang sempurna (tanpa adanya kesalahan fasa pada daerah batas), maka gelombang SHG diberikan oleh:

L

m

2

d

g

i

E

2,ideal 1 eff

π

Γ

Karena kristal harus dibuat pada periodisitas tertentu L, maka kristal hanya akan match untuk panjang gelombang tertentu. SHG pada panjang gelombang yang lain akan memberikan suatu mismatch dan mengurangi intensitas SHG. Selain itu struktur domain tidak pernah sempurna yang akan mengakibatkan mismatch pada daerah batas.

Referensi

Dokumen terkait