• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata Kunci: Efektivitas, Indikasi Geografis dan Wine Salak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata Kunci: Efektivitas, Indikasi Geografis dan Wine Salak"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

i

ABSTRAK

Produksi minuman beralkohol yang berbahan dasar salak tentu menjadi hal yang unik dan jarang, terlebih lagi untuk menghasilkan minuman beralkohol dengan bahan baku buah salak yang berkualitas, salak dari Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem ini merupakan salak yang paling terbaik digunakan. Sehingga dikenal dengan nama wine salak. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa salak yang digunakan diperoleh dari desa Sibetan dipengaruhi oleh kondisi Goegrafis desa tersebut.

Penelitian ini bertujuan mengkaji tentang efektivitas pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis terkait dengan belum terdaftarnya wine salak sebgai Indikasi Geografis serta faktor-faktor penyebab wine salak produksi desa Sibetan, Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem Bali belum terdaftar dalam Indikasi Geografis. Teori yang digunakan adalah teori efektivitas Hukum, teori negara hukum,teori keberlakuan hukum, teori perlindungan hukum, dan teori stufenbau.

Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian empiris dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara yang selanjutnya dilakukan analisis data dengan menggunkan metode analisis kualitatif terhadap data yang diperoleh.

Berdasarkan hasil analisis didapatkan simpulan sebagai berikut: Pertama, efektivitas pelaksanaan perlindungan Indikasi Geografis terhadap produk wine salak yang memiliki karakteristik khas yang dipengaruhi faktor geografis Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem Bali dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis belum dapat dilaksanakan secara efektif yang disebabkan adanya perbedaan Konsep IG dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis, ketidakpahaman masyarakat tentang tujuan pendaftaran IG, dan kurangnya sosialisasi instansi pelaksana akan pentingnya IG. Kedua, Faktor-faktor penyebab wine salak produksi desa Sibetan, Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem Bali belum terdaftar dalam Indikasi Geografis adalah perbedaan konsep peraturan perundang-undangan yang mengatur Indikasi Geografis, pemberian merek sallaca wine dianggap tidak menunjukkan tanda asal suatu produk yang memiliki karakteristik secara geografis, serta keterbatasan jumlah Tim Ahli IG yang dapat membantu penyusunan buku persayaratan IG.

(2)

ii ABSTRACT

Production of snake fruit alcohol beverages certainly becomes a unique and rare thing, even more, to produce a good quality of snake fruit alcoholic beverage, snake fruit from Sibetan Village, District Bebandem, Karangasem regency is the best snake fruit used. The beverage known as “sallaca wine”. Therefore, it can be said that the snake fruit was obtained from the Sibetan village influenced by the geographical condition.

This study aims to examine the effectiveness of the implementation of Government Regulation Number 51 Year 2007 Regarding Geographical Indication related to the unregistered wine salak (sallaca wine) as Geographical Indication as well as the factors that cause the production of wine salak (sallaca wine) from Sibetan village, Bebandem District, Karangasem regency has not been registered in Geographical Indication. The theory used is the theory of the effectiveness of Law, the theory of legal state, the theory of law enforcement, the theory of legal protection, and the theory of stufenbau.

The research method used is empirical research method by using legislation and conceptual approaches. Technique of collecting data is done by observation and interview that continued by data analysis that using qualitative analysis method in obtaining the data.

Based on the analysis results obtained the following conclusions: First, the effectiveness of the implementation of protection Geographical Indications of wine salak’s product that have unique characteristics influenced by the geographical factors of Sibetan Village, Bebandem District, Karangasem Regency is connected with Government Regulation Number 51 Year 2007 About Geographical Indication has not been implemented effectively due to the difference of Geographical Indication Concepts in Law Number 20 Year 2016 on Trademarks and Geographical Indications and Government Regulation Number 51 of 2007 on Geographical Indications that the society lack of understanding about the purpose of Geographical Indication registration, and lack of socialization of implementing agencies on the importance of Geographical Indication. Second, the factors that cause production of wine salak has not been listed in Geographical Indication is difference of draft regulation concept which regulate Geographical Indication, the giving of sallaca wine brand is considered not to show the origin of a product having geographical characteristic , as well as the limited number of Geographical Indication Experts Team that can assist in the preparation of Geographical Indication's book of requirements.

(3)

iii

RINGKASAN

Penelitian ini dilatarbelakangi perlindungan terhadap indikasi geografis mendapat perhatian dunia internasional sehingga berbagai macam perjanjian internasional mengatur hal tersebut. Perlindungan hukum internasional terhadap indikasi geografis dapat kita temukan pada Paris Convention for the Protection of Industrial Property tahun 1983 dan Madrid Agreement tahun 1891. Kedua perjanjian tersebut menentukan “Indication of Source as an indication referring to a country or a place in that country, as being the country or place of origin of a product. Pada TRIPs Agreement, Article 22 juga mengatur tentang Indikasi Geografis yang menyebutkan bahwa: Geographical Indications are for the purposes of this agreement, indications which identify a good as originating in the territory of a member, or a region or locality in that territory, where a given quality, reputation or other characteristics of the good is essentially attributable to its geographical origin. TRIPs memberikan definisi Indikasi Geografis sebagai tanda yang mengidentifikasikan suatu wilayah negara anggota, atau kawasan atau daerah di dalam wilayah tersebut sebagai asal barang, dimana reputasi, kwalitas dan karakteristik barang yang bersangkutan sangat ditentukan oleh faktor geografis. Dengan demikian, asal suatu barang tertentu yang melekat dengan reputasi, karakteristik dan kualitas suatu barang yang dikaitkan dengan wilayah tertentu dilindungi secara yuridis.

Potensi Indonesia untuk Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) sangat besar, khususnya yang berkaitan dengan Merek dan Indikasi Geografis. Indikasi

(4)

iv

Geografis merupakan salah satu rezim Hak Atas Kekayaan Intelektual. Pengaturan mengenai Indikasi Geografis di Indonesia masih bergabung dengan pengaturan Merek yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis dan peraturan pelaksananya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis. Pengaturan tentang Indikasi Geografis yang lebih terperinci tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis dimana Ketentuan Bab I Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2007 menegaskan bahwa: Indikasi-geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas, bahwa suatu tanda yang dimaksud adalah karakteristik dari suatu produk yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Indonesia dengan berbagai keanekaragaman hayati dan tradisinya merupakan potensi yang sangat besar untuk dapat diberikan perlindungan Indikasi Geografis. Diaturnya dalam Peraturan Pemerintah tentang Indikasi Geografis ini diharapkan dapat memberi pengaturan yang memadai tentang Indikasi Geografis.

Salah satu potensi produk Indikasi Geografis adalah wine salak dimana wine salak merupakan jenis minuman yang berbahan dasar salak. Buah salak merupakan buah tropis lokal yang banyak tumbuh di Indonesia. Salah satu daerah penghasil salak terbesar adalah Kabupaten Karangasem yang berlokasi di Bali. Produksi salak kabupaten ini mencapai 44.623 ton atau 96,56 % dari produksi

(5)

v

salak di Bali selama tahun 2015. Salah satu daerah primadona penghasil salak kabupaten ini adalah Desa Sibetan di Kecamatan Bebandem. Karena itu, desa ini juga menjadi kawasan agrowisata perkebunan salak di Bali. Di samping itu, desa ini juga dijadikan proyek percontohan (denplot) oleh Dinas Pertanian Provinsi Bali, yang bertujuan untuk meningkatkan mutu dan produksi buah salak. Berdasarkan fakta di lapangan, sampai saat ini salak Sibetan yang merupakan bahan dasar minuman wine salak belum terdaftar sebagai Indikasi Geografis. Seperti yang telah diketahui bahwa produk tersebut hanya bisa dihasilkan di Bali saja mengingat bahan dasar minuman tersebut adalah buah salak yang hanya dapat berkembang di desa Sibetan. Produksi wine ini merupakan usaha kecil yang dapat meningkatkan pendapatan petani salak setempat serta sangat digemari oleh wisatawan asing. Sebelum adanya produksi wine salak ini, panen buah salak ini terbuang dengan sia-sia karena buah salak tersebut mudah busuk dan tidak dapat dijual secara keseluruhan.

Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal tersebut diatas, wine salak produksi CV.Dukuh Lestari Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem telah memenuhi syarat, yaitu proses pembuatan wine salak dihasilkan melalui proses fermentasi dan tidak mengandung methanol. Sedangkan untuk berbagai izin, seperti yang telah dinyatakan oleh Ketua Kelompok Tani Dukuh Lestari I Wayan Suparta, produksi wine salak ini telah mengantongi 13 izin termasuk diantaranya SIUP MB (Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol), TDI (Tanda Daftar Industri), IPR (Izin Pemanfaatan Ruang), HO (Hinder Ordonantie:Izin Gangguan) , UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan),UPL (Upaya

(6)

vi

Pengelolaan Lingkungan), TDP (Tanda Daftar Perusahaan), SIUP (Surat izin Usaha Perdagangan) , NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), SITU (Surat Izin Tempat Usaha), IMB (Izin Mendirikan Bangunan), MD (Merek Dalam), BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Pemerintah Daerah kabupaten Karangasem dalam hal ini bekerja sama dengan Desperindag kabuapten Karangasem terus berupaya memberikan bantuan kepada masyarakat petani salak berupa dana dan alat produksi, agar dapat terus berupaya mebenahi produksi wine salak sehingga dapat didaftarkan sebagai Indikasi Geografis sehingga nantinya tidak diklaim oleh pihak luar. Dilihat dari segi letak goegrafis, salak tersebut tidak dapat diklaim oleh pihak luar, akan tetapi dari paten dan merek tentunya dapat diklaim oleh pihak luar. Oleh karena itu, selain Indikasi Geografis merupakan kajian utama, hak merek yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis serta hak paten yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten juga perlu dipertimbangkan guna meningkatkan mutu produksi serta penjualan wine salak.

Penelitian yang dilakukan menggunakan metode penelitian empiris yang bersifat deskriptif dimana dengan tujuan mendeskripsikan dan membahas dua permasalahan yaitu: 1) Bagaimanakah efektivitas pelaksanaan perlindungan Indikasi Geografis terhadap produk wine salak yang memiliki karakteristik khas yang dipengaruhi faktor geografis Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem Bali dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis?; 2) Apakah faktor-faktor penyebab wine salak produksi desa Sibetan, Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem

(7)

vii

Bali belum terdaftar dalam Indikasi Geografis? Teori yang digunakan adalah teori efektivitas Hukum, teori negara hukum,teori keberlakuan hukum, teori perlindungan hukum, dan teori stufenbau. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara yang selanjutnya dilakukan analisis data dengan menggunkan metode analisis kualitatif terhadap data yang diperoleh. Berdasarkan hasil analisis didapatkan simpulan sebagai berikut: Pertama, efektivitas pelaksanaan perlindungan Indikasi Geografis terhadap produk wine salak yang memiliki karakteristik khas yang dipengaruhi faktor geografis Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem Bali dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis belum dapat dilaksanakan secara efektif yang disebabkan adanya perbedaan Konsep IG dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis, ketidakpahaman masyarakat tentang tujuan pendaftaran IG, dan kurangnya sosialisasi instansi pelaksana akan pentingnya IG. Kedua, Faktor-faktor penyebab wine salak produksi desa Sibetan, Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem Bali belum terdaftar dalam Indikasi Geografis adalah perbedaan konsep peraturan perundang-undangan yang mengatur Indikasi Geografis, pemberian merek sallaca wine dianggap tidak menunjukkan tanda asal suatu produk yang memiliki karakteristik secara geografis, serta keterbatasan jumlah Tim Ahli IG yang dapat membantu penyusunan buku persayaratan IG.

(8)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM ... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... iii

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH... v

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

RINGKASAN TESIS ... x

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 26

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 26

1.4 Tujuan Penelitian ... 28 1.4.1 Tujuan Umum ... 28 1.4.2 Tujuan Khusus ... 29 1.5 Manfaat Penelitian ... 29 1.5.1 Manfaat Teoritis ... 29 1.5.2 Manfaat Praktis ... 30 1.6 Orisinalitas Penelitian ... 31

1.7 Landasan Teoritis Dan Kerangka Berpikir ... 33

1.8 Metode Penelitian ... 47

1.8.1 Jenis Penelitian ... 47

(9)

ix

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 47

1.8.3 Sifat Penelitian ... 48

1.8.4 Sumber Data ... 49

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data ... 51

1.8.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 52

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN INDIKASI GEOGRAFIS 2.1 Ruang Lingkup Hak Atas Kekayaan Intelektual ... 53

2.1.1 Konsep Dasar Hak Atas Kekayaan Intelektual ... 53

2.1.2 Pembagian Kategori Dalam Hak Atas Kekayaan Intelektual ... 54

2.1.3 Prinsip-Prinsip Umum Hak Atas Kekayaan Intelektual ... 56

2.1.4 Perlindungan Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual di Indonesia ... 57

2.2 Indikasi Geografis sebagai Bagian dari Hak Kekayaan Intelektual .... 60

2.2.1 Konsep Dasar Indikasi Geografis ... 60

2.2.2 TRIPs Sebagai Dasar Pengaturan Indikasi Geografis di Indonesia ... 62

2.2.3 Pengaturan Indikasi Geografis di Indonesia ... 65

2.2.4 Indikasi Geografis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis ... 66

BAB III EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PERLINDUNGAN INDIKASI

GEOGRAFIS TERHADAP WINE SALAK YANG MEMILIKI

(10)

x

GEOGRAFIS DESA SIBETAN, KECAMATAN BEBANDEM,

KABUPATEN KARANGASEM BALI DIHUBUNGKAN

DENGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 51 TAHUN

2007 TENTANG INDIKASI GEOGRAFIS

3.1 Gambaran Umum Desa Sibetan ... 71 3.2 Sejarah Wine Salak Produksi CV. Dukuh Lestari ... 73 3.3 Efektivitas Pelaksanaan Perlindungan Indikasi Geografis Terhadap

Wine Salak Dihubungkan Dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis ... 80

BAB IV FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB WINE SALAK PRODUKSI

DESA SIBETAN, KECAMATAN BEBANDEM KABUPATEN

KARANGASEM BALI BELUM TERDAFTAR DALAM

INDIKASI GEOGRAFIS

4.1 Karakteristik Produk Wine Salak CV. Dukuh Lestari Sebagai

Produk Potensi Indikasi Geografis... 95 4.2 Tata Cara Pendaftaran Indikasi Geografis ... 98 4.3 Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pendaftaran Wine

Salak ke Dalam Indikasi Geografis Serta Upaya Mengatasinya ... 105

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 113 5.2 Saran ... 115

DAFTAR PUSTAKA

(11)

xi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang subur, sehingga tanaman dan buah dapat hidup dengan baik dan menghasilkan komoditi yang berkualitas, seperti salak Bali. Salak Bali merupakan buah yang memiliki rasa manis dan sedikit asam yang sangat digemari. Buah salak yag terkenal berasal dari desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem karena buahnya memiliki rasa yang khas dan hanya bisa dihasilkan oleh tanah di desa tersebut, sehingga desa Sibetan dapat dikatakan memiliki kondisi geografis yang memang cocok untuk ditanami buah salak. Adanya produksi buah salak yang melimpah setiap tahunnya membuat petani salak menciptakan inovasi baru dimana dengan tujuan salak tersebut memiliki nilai ekonomi yang bagus. Salah satunya adalah dengan menggunakannya sebagai minuman beralkohol yang dikenal dengan nama wine salak atau sallaca wine. Minuman berakohol ini digemari oleh wisatawan domestik dan mancanegara.

Produksi minuman beralkohol yang berbahan dasar salak tentu menjadi hal yang unik dan jarang, terlebih lagi untuk menghasilkan minuman beralkohol dengan bahan baku buah salak yang berkualitas, salak dari Desa Sibetan ini merupakan salak yang paling terbaik digunakan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa salak yang digunakan diperoleh dari desa Sibetan yang dipengaruhi oleh kondisi Goegrafis desa tersebut. Kondisi seperti diatas seharusnya menjadi acuan

(12)

xii

kepada pihak-pihak yang terkait untuk mendaftarkan wine salak kedalam Indikasi Goegrafis. Akan tetapi sejak diproduksi pada tahun 2000 dan penjualannya hingga ke pasar nasional dan internasional belum di daftarkan ke dalam Indikasi Geografis.

Pendaftaran wine salak ke dalam Indikasi Geografis merupakan suatu upaya yang sudah semestinya mendapatkan perhatian pemerintah mengingat globalisasi di bidang ekonomi melalui perdagangan berkembang sangat pesat dimana hal tersebut mempengaruhi peraturan di bidang bisnis yang dengan cepat pula mengalami perubahan.

Pada tahun 2003, negara-negara anggota ASEAN mengadakan pertemuan di Bali dengan gagasan untuk mewujudkan cita-cita kawasan yang memiliki integritas ekonomi kuat mulai dirancang langkah awal dan diprediksikan akan dimulai pada tahun 2020. Selanjutnya, pada pertemuan di Filipina yang diselenggarakan pada 13 Januari 2007, para negara-negara anggota ASEAN sepakat untuk mempercepat pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (dalam istilah bahasa Inggris ASEAN Economic Community (AEC)).1

Latar belakang pembentukan ini adalah untuk persiapan menghadapi globalisasi ekonomi dan perdagangan melalui ASEAN Free Trade Area (AFTA) serta menghadapi persaingan global terutama dari China dan India. Percepatan keputusan negara ASEAN untuk membentuk MEA yang pada awalnya baru akan

1

Tomy Pasca Rifai, 2016, Kesiapan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, Jurnal Fiat Justisia Vo.10. Isuue 4, Oktober-Desember 2016, Faculty of Law, Lampung University, Bandarlampung, Lampung, Indonesia, ISSN: 1978-5186 | e-ISSN: 2477-6238 diakses melaui Open Access:

(13)

xiii

dimulai pada tahun 2020 menjadi 2015 menjadi acuan untuk segera meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saing antar sesama negara anggota ASEAN untuk menghadapi persaingan global.

Pendaftaran wine salak yang merupakan produk lokal hasil pengolah kelompok tani di Desa Sibetan Kabupaten Karangasem Bali merupakan suatu awal baru bagi masyarakat untuk dapat mengikuti persaingan ekonomi global yang mengandalkan faktor geografis yang bertujuan untuk dapat meningkatkan perekonomian masyarakat serta meningkat daya saing terhadap minuman beralkohol yang terlebih dahulu beredar dipasar lokal maupun internasional.

Indikasi Geografis merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual dimana didalamnya mengatur tentang suatu tanda dari sebuah produk yang menunjukkan kualitas dengan menyajikan karakter khusus dari suatu produk yang dipengaruhi oleh tempat asalnya atau dipengaruhi oleh kondisi geografis suatu daerah tertentu.

Menurut pendapat Aling bahwa:

Kata “tanda” terdiri dari nama asal produk, tetapi juga dapat terdiri dari simbol secara langsung menunjuk ke tepat asal produk tersebut. Tempat ini seringkali menjai jaminan bagi keunikan dan kualitas produk, sehingga dengan mengindikasikan tempat asalnya, nilai ekonomis produk tersebut juga meningkat.2

Selanjutnya Aling menjelaskan dalam suatu karya ilmiahnya “Sistem Perlindungan Indikasi Geografis Sebagai Bahan Dari Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia” menyebutkan bahwa:

Secara teoritis, produk yang potensial untuk dilindungi oleh Indikasi Geografis dapat berupa produk-produk pertanian, pangan dan bahkan barang-barang keajinan, selama produk-produk tersebut mengusung tempat

2

Daniel. F. Aling, 2009, Sistem Perlindungan Indikasi Geografis Sebgai Bahan Dari Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Karya Ilmiah, Universitas Sam Ratulangi, Manado, hal.1

(14)

xiv

asal dan kualitasnya secara nyata dipengaruhi oleh karakteristik khas tempat asalnya tersebut.3

Perlindungan terhadap indikasi geografis telah menjadi perhatian dunia internasional sehingga terdapat beberapa perjanjian-perjanjian internasional mengatur tentang Indikasi Geografis. Pengaturan mengenai Indikasi Geografis menjadi ciri kesiapan dari negara untuk mampu menghadapi tantangan dalam menghadapi pasar global. Sebelum menyebutkan adanya Indikasi Goegrafis dalam Perjanjian Internasional, pengaturannya di Indonesia telah diatur pertama kali pada tahun 1994 yakni setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan WTO. Secara otomatis Undang-Undang tersebut mengesahkan pula ketentuan mengenai TRIP‟s

Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 adalah salah satu peraturan perundang-undangan lain yang juga terkait dengan perlindungan Indikasi Geografis dengan tujuan memberkan perlindungan terhadap kepentingan konsumen.Tterdapat beberapa praktek yang dinyatakan terlarang menurut peraturan perundang-undangan ini. Larangan ini jelas dapat diberlakukan untuk melaksanakan perlindungan Indikasi Geografis tingkat pertama TRIP‟s yang memang terutama ditujukan untuk kepentingan konsumen. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ini menyatakan bahwa:

Pelaku usaha dilarang memproduksi barang dan/atau memperdagangkan barang atau jasa yang:….tidak memasang label atau membuat penjelasan

3

(15)

xv

barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipaang/dibuat.

Menurut Hidayat Menyebutkan bahwa “Keterangan nama asal geografis yang salah satu dari suatu brang atau jasa dapat dilkasifikasikan sebagai keterangan-keterangan lain yang menurut hukum harus secara jelas disebutkan dalam label.4

Perlindungan terhadap indikasi geografis mendapat perhatian dunia internasional, oleh karena itu IG tercantum dalam perjanjian internasional, yaitu diantaranya:

Paris Convention for the Protection of Industrial Property tahun 1983 dan Madrid Agreement tahun 1891. Perjanjian-perjanjian tersebut menyatakan bahwa: “Indication of source as an indication referring to a country or a place in

that country, as being the country or place of origin of a produk”.5

Menurut perjanjian tersebut dapat dipahami bahwa Indikasi Asal adalah sebuah indikasi yang mengarah pada suatu negara atau tempat tertentu dlam negara tersebut sebagau tempat atau negara dari mana produk tersebut berasal. Oleh karena itu, Indikasi Gografis dapat dikatakan sebagai suatu ciri khas terhadap suatu produk berasal dimana produk tersebut hanya dimiliki oleh suatu daerah tertentu yang memiliki ciri khas tertentu yang tidak dapat dijumapi di wilayah manapun juga.

TRIP’s Agreement, Article 22 yang menyatakan terkait dengan Indikasi Geografis dimana berisi tentang:

4

Fitri Hidayat, 2014, “Penerapan Perlindungan Hukum Terhadap produk Potensi Indikasi Goegrafis di Indonesia”, Risalah Hukum Fakultas Hukum Unimul, diakses melalui dadiwardiman.com/…/tesis_Bab III_Karakteristik-Hukum-Terhadap-Indikasi-Geografis, Pada Tanggal 5 September 2017 Pukul 21.30 Wita, hal.15

5

Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, 1997, Pembaharuan Hukum Merek Indonesia (Dalam Rangka WTO, TRIPS 1997), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.2

(16)

xvi

Geographical are for the purposes of this agreement, indication which identify a good as originating in the territory of a member, or a region or locality in that territory, where a given quality, reputation or other characteritics of good is essentially attributable to its geographical origin. Perjanjian Lisbon tahun 1959 menggunakan Appelation of Origin (AO) yang menyebutkan bahwa:

In this aggreemenr, “Appellation of Origin” means the geographical denomination of a country, region, or locality, which serves to designate a produk originating there in, the quality or characteristics of which are due exclusively or essentially to the geographically environment, including natural and human factors

Mengacu pada pengertian dari Lisbon Agreeement, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yakni:

1. Penamaan atas barang/produk harus dengan nama geografis sebuah negara, wilayah atau daerah;

2. Penamaan tempat asal harus menunjukkan bahwa barang atau produk tersebut berasal dari negara, wilayah atau daerah.

3. Harus ada kualitas dan karakteristik pada barang atau produk yang berasal dari daerah geografis tersebut. Kedua hal tersebut merupakan hal yang sangat mendasar dalam menentukan suatu penamaan tempat asal. Kwalitas dan karakteristik tersebut ditentukan oleh faktor alam dan manusia.

Hubungan antara Hak Atas Kekayaan Intelektual dan Indikasi Geografis dapat ditelusuri dari pemahaman terhadap Indikasi Geografis sendiri. Pengertian Indikasi Geografis dalam WIPO (World Intellectual Property Organization) seperti yang dikutip oleh Damarsasongko dalam tesisnya bahwa:

A geographical indication is a sign used on goods that have a specific geographical origin and posses qualities or a reputation that are due to that place of origin. Most commonly, a geographical indication consist of the name of the place of origin of the goods. Agricultural products typically

(17)

xvii

have qualities that derive from their place of production and are influenced by specific local factors, such as climate and soil. Whether a sign functions as a geographical indiction is a matter a national law and consumer perception.6

Berdasarkan pengertian di atas, dapat diambil suatu batasan bahwa sesungguhnya indikasi geografis adalah suatu tanda (a sign) pada barang yang mempunyai asal geografis yang spesifik dan mempunyai kualitas atau suatu reputasi yang teruji dari asal tempatnya. Secara garis besar, suatu indikasi geografis meliputi nama asal tempat dan asal barang. Secara tipikal, produk-produk pertanian mempunyai kualitas yang mengarah dari produk-produksi tempat mereka dan dipengaruhi secara spesifik oleh faktor lokal , sepertti iklim dan tanah. Apapun suatu tanda berfungsi sebagai suatu indikasi geografis merupakan suatu materi hukum nasional dan persepsi konsumen.

World Trade Organization selanjutnya disingkat WTO memberikan batasan Indikasi Geografis adalah:

Place names (in some countries also words associated with a place used to identify the origin and quality, reputation or other characteristics of products (for example, “champagne”, tequila”, or requefort”)

Terjemahan:

Nama-nama tempat (di beberapa negara juga kata-kata yang diasosiasikan dengan suatu tempat) digunakan untuk menidentifikasi asal dan kualitas, reputasi atau karakteristik lainnya dari suatu produk, contoh “champagne”, “tequila”, requefort”.7

Indikasi Geografis dilindungi oleh hukum nasional dengan konsep batasan yang luas, seperti melalui, ketentuan unfair competition, hukum perlindungan konsumen, hukum merek atau hukum yang secara khusus mengatur indikasi

6

Agung Damarsasongko, 2002 “Perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia”, Tesis pada Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Hukum “IBLAM”, Jakarta, hal.5

7

(18)

xviii

geografis. Di Indonesia pada saat ini perlindungan hukum yang diberikan Negara yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual selanjutnya disingkat HAKI didasarkan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, dan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.

Di Indonesia, Indikasi Geografis telah diatur dan disesuaikan dengan beberapa Perjanjian Internasional meskipun secara subtansi tidak mutlak sama. Indikasi Geografis diatur di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis

Dalam Ketentuan Pasal 1 Ayat (6) dan (7) menyatakan bahwa: Pasal 1 Ayat (6):

Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang mneunjukkan daerah asal suatu barang dan/ atau produk karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.

Pasal 1 Ayat (7):

Ha katas Indkasi Geografis adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemegang hak Indikasi Geografis yang terdaftar, selama reputasi,

(19)

xix

kualitas, dan karakteristik yang menjadi dasr diberikannya perlindungan atas Indikasi Geografis tersebut masih ada.

Di Indonesia sendiri pengaturan tentang Indikasi Geografis berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) sesungguhnya yang tidak didasarkan hanya pada kepentingan atau kebutuhan dari mayoritas penduduknya sendiri, tetapi lebih didasarkan untuk menyesuaikan diri terhadap kecenderungan perdagangan global. Dalam era global negara-negara berkembang seperti Indonesia tidak memiliki pilihan selain mengakomodasikan kepentingan negara-negara industri yang telah memberikan banyak bantuan kepada negara-negara berkembang.8

Potensi Indonesia untuk Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) sangat besar, khususnya yang berkaitan dengan Merek dan Indikasi Geografis. Indikasi Geografis merupakan salah satu rezim Hak Atas Kekayaan Intelektual. Pengaturan mengenai Indikasi Geografis di Indonesia masih bergabung dengan pengaturan Merek yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis dan peraturan pelaksananya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis.

Menurut Purba Menjelaskan bahwa:

Peraturan Perundang-Undangan Nasional, selain ratifikasi General agreement on Tariffs and Trade (GATT) atau Perjanjian Dagang Internasional Multilateral dengan Tarif-Tarif Perdagangan tahun 1994.9

8

Sardjono, Agus, 2009, Membumukan HAKI di Indonesia, CV. Nuansa Aulia, Bandung, hal.15

9

Afrillyanna Purba, 2012, Pemberdayaan Perlindungan HukumPengetahuan Traisional dan Ekspresi Budaya Tradisonal Sebgai Sarana Pertumbuhan Ekonomi, PT. Alumni, Bandung, hal.74

(20)

xx

Indonesia melakukan ratifikasi terhadap sejumlah konvensi internasional, salah satunya Konvensi Paris yang diratifikasi melalui beberapa Keputusan Presiden, yaitu:

1. Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997 Tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization.

2. Keputusan Presiden Nomor 16 Ttahun 1997 Tentang Pengesahan Patent Cooperation Treaty (PCT) dan Regulations Under the PCT.

3. Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Trade Mark Law Treaty.

4. Konvensi Bern yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of Literary dan Artistic Works.

5. WIPO Copyright Treaty yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty. Mengingat luasnya bidang kajian Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), maka penulis tertarik untuk meneliti bidang yang lebih spesifik, yaitu kajian khusus tentang Indikasi Geografis (IG) Wine Salak produksi desa Sibetan, Kabupaten Karangasem, Bali. Wine salak merupakan hasil turunan buah salak yang diolah melalui proses fermentasi yang memiliki aroma salak, serta rasa getir manis.

Pengaturan tentang Indikasi Geografis secara lengkap tercantum dalam Peraturan pemerintah Nomor 15 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis dimana tercantum dalam Bab I Pasal 1 menegaskan bahwa:

Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas, bahwa suatu tanda yang dimaksud adalah karakteristik dari suatu produk yang tidak dimiliki oleh daerah

(21)

xxi

lain. Indonesia dengan berbagai keanekaragaman hayati dan tradisinya merupakan potensi yang sangat besar untuk dapat diberikan perlindungan Indikasi Geografis. Diaturnya dalam Peraturan Pemerintah tentang Indikasi Geografis ini diharapkan dapat memberi pengaturan yang memadai tentang Indikasi Geografis.

Indikasi Geografis digunakan untuk memberikan ciri khas pada tanda yang tertera pada suatu produk dengan menonjolan kelompok produsen tertentu selaku pihak yang menghasilkan produk tersebut dimana hanya kelompok produsen tersebutlah yang dapat menghasilkan produk tersebut serta bahan dasar produk tersebut hanya dihasilkan pada suatu daerah tertentu. Apabila diperhatikan, Indikasi Geografis merupakan suatu hal yang cukup asing bagi masyarakat kita. Hal ini akan menyebabkan kerugian yang besar terhadap bangsa kita sendiri.

Di Indonesia kajian tentang Indikasi Geografis masih sangat terbatas, terutama kajian Indikasi Geografis mengenai produk-produk petanian di tanah air yang mempunyai “ciri khas” dan “keunikan” tertentu.

Minuman beralkohol yang berbahan dasar salak atau dikenal sebagai wine salak memiliki Indiksi Geografis karena faktor alam desa Sibetan yang tropis, dan penanaman pohon salak yang alami, serta pemupukan melalui pupuk organik dari rumput, serta dari pelepah salak yang sudah kering, dan pupuk kandang, serta struktur tanah yang lembab sehingga mengasilkan buah salak yang manis. Indikasi Geografis mewujud sebagai tanda yang biasanya terdiri dari nama produk, mutu, atau juga simbol dan tempat asalnya.

Indikasi Geografis merupakan suatu bentuk perlindungan hukum terhadap nama asal barang. Inti perlindungan hukum ini ialah bahwa pihak yang tidak

(22)

xxii

berhak, tidak diperbolehkan menggunakan indikasi geografis bila penggunaan tersebut cenderung dapat menipu masyarakat konsumen tentang daerah asal produk, disamping itu indikasi geografis dapat dipakai sebagai nilai tambah dalam komersialisasi produk.

Indikasi Geografis bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk pertanian, yakni dengan menjual keunikan dari citra rasa produk pertanian yang dihasilkan suatu daerah dan tidak dimiliki daerah lain. Data yang diunduh melalui situs resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (DJKI) mencatata bahwa terhitung dari bulan Desember tahun 2008 hingga bulan September tahun 2016 Terdapat 52 produk yang telah memperoleh perlindungan hukum Indikasi Geografis dari Pemerintah Indonesia, yaitu: 10

No. Produk/IDIG ID IG No. Produk ID IG

1 Kopi Arabika Kintamani 000000001/5 Dessember 2008 27 Tembakan Srinthil Temanggung 0000000027/13 Mei 2014 2 Champagne 000000002/14 Nopember 2009 28 Mete Kubu Bali 0000000028/21 Juli 2014 3 Mebel Ukir Jepara 000000003/28 April 2010 29 Gula Kelapa Kulonprogo Jojga 0000000029/21 Juli 2014 4 Lada Putih Muntok 000000004/28 April 2010 30 Kopi Arabika Jawa Sindoro-Sumbing 0000000030/1 Desember 2014 5 Kopi Arabika Gayo 000000005/28 April 2010 31 Kopi Arabika Sumatera Simalungun 0000000031/20 Februari 2015 6 Pisco 000000006/1 Juli 2010 32 Kopi Liberika Tungkal Jambi 0000000032/23 Juli 2015 10

Situs resmi Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia pada http://www.dgip.go.id/layanan-kekayaan-intelektual/indikasi-geografis/berita-resmi-ig, diunduh tanggal 9 Juli 2016 Pukul 21.00 Wita.

(23)

xxiii 7 Tembakau Hitam Sumedang 000000007/25 April 2011 33 Cengkeh Minahasa 0000000033/13 Agustus 2015 8 Tembakau Mole Sumedang 000000008/25 April 2011 34 Beras Pandanwangi Cianjur 0000000034/26 Oktober 2015 9 Parmigiano Reggiano 000000009/21 Oktober 2011 35 Kopi Robusta Semendo 0000000035/20 November 2015 10 Susu Kuda Sumbawa 0000000010/15 Desember 2011 36 Pala Siau 0000000036/20 November 2015 11 Kangkung Lombok 0000000011/15 Desember 2011 37 The Java Preanger 0000000037/23 Desember 2015 12 Madu Sumbawa 0000000012/15 Desember 2011 38 Garam Amed Bali 0000000038/23 Desember 2015 13 Beras Adan Krayan 0000000013/6 Januari 2012 39 Lamphun Brocade Thai Silk 0000000039/22 Februari 2016 14 Kopi Arabika Flores Bajawa 0000000014/28 Maret 2012 40 Jeruk Keprok Gayo-Aceh 0000000040/22 Maret 2016 15 Purwacing Dieng 0000000015/20 Juli 2012 41 Kopi Liberika Rangsang Meranti 0000000041/2 Mei 2016 16 Carica Dieng 0000000016/20 Juli 2012 42 Lada Hitam Lampung 0000000042/2 Mei 2016 17 Vanili Kep.Alorr\ 0000000017/19 Oktober 2012 43 Kayumanis Koerintiji 0000000043/26 Mi 2016 18 Kopi Arabika Kalosi Erekang 0000000018/15 Februari 2013 44 Tequila 0000000044/18 Juli 2016 19 Ubi Cilembu Sumedang 0000000019/24 April 2013 45 Garan Paradano 0000000045/18 Juli 2016 20 Salak Pondoh Sleman Jogja 0000000020/21 Juni 2013 46 Tunun Gringsing Bali 0000000046/18 Juli 2016 21 Minyak Nilam Aceh 0000000021/10 September 2013 47 Tenun Sutera Mandar 0000000047/09 September 2016 22 Kopi 0000000022/10 September 2013 48 Kopi Arabika Sumatera Mandaling 0000000048/09 September 2016 23 Kopi Jawa Arabiak Ijen-Raung 0000000023/10 September 2013 49 Pala Tomandin Fakfak 0000000049/09 September 2016

(24)

xxiv 24 Bandeng Asap Sidoarjo 0000000024/9 Oktober 2013 50 Jeruk Soe Mollo 0000000050/21 September 2016 25 Kopi Arabika Toraja 0000000025/9 Oktober 2013 51 Cengkeh Moloku Kie Raha 0000000051/21 September 2016 26 Kopi Robusta Lampung 0000000026/13 Mei 2014 52 Mee Muna 0000000052/21 September 2016 Sumber:http://www.dgip.go.id/layanan-kekayaan-intelektual/indikai-geografis/berita-resmi-ig.11

Sudaryat berpendapat bahwa aspek Hak Atas Kekayaan Intelektual lainnya, seperti Merek, dimana penamaan terhadap suatu hasil produksi dicantumkan sebuah logo dan tulisan yang dapat menunjukkan asal dari produk itu sendiri, pada Indikasi Geografis terdapat produk yang mencerminkan hasil dari suatu daerah dengan menambahkan nama daerah pada produk yang dihasilkan tersebut yang berguna sebagai pembeda antara produk atau benda yang sejenis yang dihasilkan oleh daerah lain.12

Salah satu potensi produk Indikasi Geografis adalah wine salak dimana wine salak merupakan jenis minuman yang berbahan dasar salak. Buah salak merupakan buah tropis lokal yang banyak tumbuh di Indonesia. Salah satu daerah penghasil salak terbesar adalah Kabupaten Karangasem yang berlokasi di Bali. Menurut Suter mnyatakan bahwa:

Terdapat 10 kultivr salak Bali antara lain, salak putih, salak gula pasir, dan salak bogor yang jelas dapat dibedakan berdasarkan pengamatan morfologi buahnya dalam hal warna, susunan fisik, bentuk dan ukuran buah, sedangkan salak biasa, salak gondok, salak nangka, salak nenas, salak penyalin, salak kelapa dan salak boni agak sulit dibedakan antara satu dengan yang lain.13

11

http://www.dgip.go.id/layanan-kekayaan-intelektual/indikasi-geografis/berita-resmi-ig

12

Sudaryat, 2010, Hak Kekayaan Intelektual, Oase Media Bandung, hal.48

13

IK Suter, 1998, Telaah Sifat Buah Salak di Bali Sebagai Dasar Pembinaan Mutu Hasil Institue Pertanian Bogor, Bogor, hal.2

(25)

xxv

Produksi salak di desa Sibetan, Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem mencapai jumlah 44.623 ton atau jika dipresentasekan mencapai 96,56% dalam kurun waktu tahun 2015. Desa Sibetan Kecamatan Bebandem merupakan sentra penghasil buah salak terbesar di Bali dimana buah salak tersebut memiliki ciri khas sendiri, baik dari segi rasa, ukuran dan bentuk yang mana merupakan jenis buah salak yang paling cocok digunakan sebagai bahan dasar minuman beralkohol.14

Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem telah menjadi kawasan agrowisata perkebunan salak di bali sejak tahun 2000. Disisi lain, desa Sibetan, Kecamatan Bebandem khususnya dijadikan proyek percontohan oleh Dinas Pertanian Provinsi Bali. Dea Sibetan yang daerahnya berada di dataran tinggi, yakni sekitar 400 s/d 700 meter di atas permukaan laut, hamper sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani salak dan menggantungkan hasil panen sebagai pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Melimpahnya panen salak setiap harinya yang mencapai rata-rata 60 ton perhari membuat para kelompok tani membuat terobosan baru dengan memproduksi miniman beralkohol dengan bahan dasar salak diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan melalui peningkatan perekonomian petani yang selama ini tergantung dari pengepul.15

Beberapa media cetak seperti Antara Bali memberitakan bahwa:

Kapasitas produksi minuman "wine salak" di Desa Sibetan, Kabupaten Karangasem, Bali, hanya 1.000 liter per tahun atau jauh di bawah kuota yang diberikan pemerintah sebanyak 72.000 liter per tahun. Kemampuan produksi hanya 1.000 liter karena banyak kendala yang dihadapi, seperti

14

Gambaran Umum Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem dunduh melalui www.eropo.unud.ac.id pada tanggal 23 Pebruari 2017 Pukul 23.00 wita, hal. 83

15

Gambaran Umum Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem diunduh melalui www.eropo.unud.ac.id pada tanggal 23 Peruaru 2017 Pukul 23.00 Wita, hal.83

(26)

xxvi

permodalan dan alat produksi. Di Banjar Dukuh terdapat lahan tanaman salak seluas 149,6 hektare, sedangkan di Desa Sibetan mencapai sekitar 11 ribu hektare.16

Berdasarkan keterangan yang diperoleh oleh jurnalis Antara Bali bahwa: Masyarakat Desa Sibetan mengolah buah salak menjadi "wine salak" yang dikemas ke dalam botol ukuran 750 mililiter dengan harga dasar Rp 60 ribu, belum termasuk kemasan dan cukai. Namun sejak adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53/M-DAG/PER/12/2010 tentang Perubahan Atas peraturan Menteri PerdaganganNomor 43/M-DAG/PER/9/2009 tentang Ketentuan Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, dan Pengendalian Miniman Beralkohol, masyarakat Desa Sibetan tidak bisa sesuka hati mengolah salak menjadi minuman yang mengandung kadar alkohol karena proses fermentasi selama dua pekan. Wine salak merupakan minuman khas Kabupaten Karangasem yang banyak digemari wisatawan mancanegara saat berlibur di Bali. Namun dengan adanya regulasi itu, maka pemasaran minuman tradisional kategori beralkohol harus mendapat izin dari kepolisian dan Bea Cukai.17

Berdasarkan fakta di lapangan, sampai saat ini salak Sibetan yang merupakan bahan dasar minuman wine salak belum terdaftar sebagai Indikasi Geografis. Seperti yang telah diketahui bahwa produk tersebut hanya bisa dihasilkan di Bali saja mengingat bahan dasar minuman tersebut adalah buah salak yang hanya dapat berkembang di desa Sibetan. Produksi wine ini merupakan usaha kecil yang dapat meningkatkan pendapatan petani salak setempat serta sangat digemari oleh wisatawan asing. Sebelum adanya produksi wine salak ini, panen buah salak ini terbuang dengan sia-sia karena buah salak tersebut mudah busuk dan tidak dapat dijual secara keseluruhan.

16

http://www.antarabali.com/wine salaksibetandibawahkuota, diakses pada tanggal 13 Nopember 2016 pukul 21.00 Wita

17

http://www.antarabali.com/wine salaksibetandibawahkuota, diakses pada tanggal 13 Nopember 2016 pukul 21.00 Wita

(27)

xxvii

Berdasarkan keterangan Ketua Kelompok Tani Dukuh Lestari I Wayan Suparta yang dikutip melalui media Sallaca Wine Ketua Kelompok Tani Dukuh Lestari mengatakan bahwa:

Untuk mengintensifkan upaya memproduksi Wine Salak sebagai salah satu alternatif mengolah produk salak, dibentuk wadah CV. Dukuh Lestari sehingga lebih fokus menangani masalah produksi wine. Sebagai salah satu komoditas unggulan di Kabupaten Karangasem, potensi buah salak menjadi sangat berpeluang diolah hasilnya agar bisa meningkatkan nilai tambah. Harga salak yang selalu jatuh saat panen raya dan kurang stabilnya harga secara konvensional, maka diperlukan langkah terobosan untuk menolong petani salak sehingga bisa menikmati keuntungan lebih dari produksi salak yang dihasilkan. kapasitas produksi wine salak yang diberi nama label Salacca Wine (Anggur Buah Salak) direncanakan 6000 liter /bulan dengan menyerap bahan baku salak per liter 4 Kg salak, total dibutuhkan salak sejumlah 18 ton salak. Dengan kadar alkohol 12 % wine salak Sibetan tergolong wine kelas B, telah mengawali produksi percobaan sebanyak 300 liter untuk produk promosi, souvenir dan kenangan, telah lolos uji menarik penggemar dari wisatawan sebagai wine satu-satunya di dunia yang diproduksi dari buah salak. Dari proses produksi hingga kemasan diperlukan waktu 3 – 6 bulan disimpan sebelumnya dalam tangki berkapasitas 1000 liter dan 750 liter. Nantinya diharapkan proses pengolahan wine salak dapat menyerap seluruh produk salak di Desa Sibetan dan luar Sibetan yang berjumlah jutaan pohon, dengan harga Rp. 5000 – Rp. 10.000 per Kg standar salak kelas I dan II. Jika dibandingkan harga dipasar saat panen raya hingga Rp. 1000 per Kg maka prospek harga salak untuk bahan baku wine jauh lebih tinggi dan sangat menguntungkan petani. Sedangkan harga sebotol wine dengan kemasan 750 ml seharga Rp. 95.000 sedangkan kemasan 350 ml senarga Rp. 45.000, tanpa bahan pengawet dan kimia. Adapun Ijin yang sudah dimiliki adalah : TDI, IPR, HO, UKL,UPL, TDP, SIUP, SIUP MB, NPWP, SITU, IMB, MD, BPOM (13 jenis), Rekomendasi Disnaker dan Bea Cukai.18

Buah salak desa Sibetan yang menjadi bahan dasar produksi wine tersebut dihasilkan dan memberikan kualitas tertentu pada barang tersebut yang selanjutnya memiliki nilai ekonomi tinggi. Berdasarkan Peraturan

18

Wine Salak Salacca Wine, Ikon Souvenir Khas Karangasem Katrol Harga Salak, 2012, diakses melalui http://www.salaccawine.com pada tanggal 23 Pebruari 2017 Pukul 23.30 Wita.

(28)

xxviii

Undangan yang berlaku, wine Salak telah memenuhi syarat layak produksi dan edar, yaitu:

Produksi minuman beralkohol dengan bahan dasar buah salak telah memenuhi aturan perundang-undangan seperti yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat (1), Ayat (16), dan Ayat (17) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/4/2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol, yang menyatakan bahwa:

Ayat (1):

Minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung etanol atau etil alkohol(C2H50H) yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi.

Ayat (16):

Surat Izin usaha Perdagangan yang selanjutnya disingkat SIUP adalah surat izin untuk dapat melaksanakan usaha perdagangan.

Ayat (17):

Surat Izin Usaha Perdangangan Minuman beralkohol yang selanjutnya disingkat SIUP-MB adalah surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan khusus minuman beralkohol.

Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal tersebut diatas, wine salak produksi CV.Dukuh Lestari Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem telah memenuhi syarat, yaitu proses pembuatan wine salak dihasilkan melalui proses fermentasi dan tidak mengandung methanol. Sedangkan untuk berbagai izin, seperti yang telah dinyatakan oleh Ketua Kelompok Tani Dukuh Lestari I Wayan Suparta, produksi wine salak ini telah mengantongi 13 izin termasuk diantaranya Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (yang selanjutnya disingkat SIUP-MB), TDI (Tanda Daftar Industri), IPR (Izin

(29)

xxix

Pemanfaatan Ruang), HO (Hinder Ordonantie:Izin Gangguan) , UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan),UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan), TDP (Tanda Daftar Perusahaan), SIUP (Surat izin Usaha Perdagangan) , NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), SITU (Surat Izin Tempat Usaha), IMB (Izin Mendirikan Bangunan), MD (Merek Dalam), BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan).

Ketentuan perundang-undangan lainnya yang dapat menerangkan bahwa wine salak adalah Pasal yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/4/2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol, yaitu Pasal 2 yang menyatakan kadar alkohol pada minuman yang memiliki izin produksi dan edar, yaitu:

Pasal 2:

a. Minuman beralkohol golongan A adalah minuman yang mengandung etil dan alkohol atau etanol (C2HsOH) adalah dengan kadar sampai 5%; b. Minuman beralkohol golongan B adalah minuman yang mengandung etil

dan alkohol dengan kadar lebih dari 5% sampai dengan 20%; dan

c. Minuman beralkohol golongan C adalah minuman yang mengandung etil dan alkohol atau etanol dengan kadar lebih dari 20% sampai dengan 55%.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 hruf (b) dinyatakan dengan jelas bahwa minuman yang mengandung etil dan akohol atau etanol (G2HsOH)) dengan kadar lebih dari 5% (lima per seratus) sampai dengan 20% (dua puluh per seratus). Berdasarkan hasil uji ilmiah, wine salak memiliki kadar alkohol 7 hingga 12 %.19 Oleh karena itu dikatakan bahwa wine salak layak diproduksi dan diedarkan.

19

I Nyoman Tika, I.Gusti Ayu Triagustiana, dan I.Gede Adi Yuniarta, 2014, Meningkatkan Ketrampilan Petani Salak di Desa Sibetan Menjadi Produk bernilai Ekonomi Dalam rangka Menunjang Agrowisata, Majalah Aplikasi Ipteks NGAYAH : Volume 5, Nomor 1, Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Bali, hal. 9

(30)

xxx

Disisi lain, Ketentuan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Peraturan Kepal Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Standar Keamanan dan mutu Minuman Beralkohol menyatakan bahwa:

Pasal 3:

Minuman beralkohol yang beredar di wilayah Indonesia baik yang diproduksi di dalam negeri atau asal impor wajib memenuhi standar keamanan yang telah ditentukan.

Pasal 4:

Standar keamanan yang dimaksud dalam Pasal 3 meliputi: a. Batas maksimum kandungan etanol

b. Cemaran mikroba c. Cemaran kimia

d. Bahan tambahan pangan

Ketentuan pasal 3 secara jelas telah menegaskan bahwa batasan maksimum yang dimaksud adalah tidak melebihi 5%, 20%,dan 55% sesuai dengan golongan yang telah ditentukan. Cemaran mikroba yang dimaksud adalah kandungan bahan sebagai bahan fermentasi minuman beralkohol. Cemaran kimia adalah kandungan metanol yang tidak melebihi standar yang ditentukan undang-undang. Sedangkan cemaran tambahan pangan yang dimaksud adalah tamabaha yang digunakan harus disesuaikan dengan bahan dasarnya sehingg jika ditambahkan tidak menimbulkan bahan yang mengandung racun.

Pasal 5:

Batas maksimum kandungan metanol dalam minuman beralkohol adalah tidak lebih dari 0,01% v/v (dihitung terhadap volume produk).

Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan dan mutu Minuman Beralkohol dapat disimpulkan bahwa wine

(31)

xxxi

salak telah memenuhi standar keamanan yang ditetapkan, yaitu kandungan alkohol yang tidak melebihi standar, sisa pengolahan limbah wine salak dijadikan pupuk organik dan tidak mengakibatkan cemaran mikroba dan kimia. Sedangkan, berdasarkan penelitian diketahui bahwa wine salak tidak mengandung methanol.20

Produksi dan pengedaran wine salak berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (6) dan Ayat (20) Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem Nomor 21 Tahun 2012 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penjualan Minuman Beralkohol menyatakan bahwa:

Ayat (6):

Minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung etanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi, baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak maupun yang diproses dengan cara mencampur konsentrar dengan etanol atau dengan cara pengenceran minuman mengandung etanol yang berasal dari fermentasi.

Ayat (20):

Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol adalah surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan khusus minuman beralkohol golongan B atau golongan C

Ketentuan Pasal 1 Ayat (6) dalam Perda tersebut telah menyebutkan dengan jelas bahwa wine salak memang layak produksi karena diproduksi dari bahan hasil pertanian yang melalui proses fermentasi. Sedangkan, CV. Dukuh Lestari yang merupakan kelompok usaha tani yang memproduksi minuman wine salak dengan kadar alkohol 7% hingga 12% tersebut telah mengantongi izin SIUP MB seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (20), yaitu: Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol, yang selanjutnya disingkat SIUP-MB adalah surat izin

20

(32)

xxxii

untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan khusus minuman beralkohol golongan B dan/atau golongan C. Oleh karena itu kandungan alkohol dari wine salak dikategorikan sebagai minuman beralkohol golongan B yaitu tidak melebihi 20%.

Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, wine salak telah memenuhi syarat sebagai produk minuman beralkohol yang layak produksi dan edar. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah wine salak adalah minuman beralkohol yang memiliki ciri khas dan karakteristik sendiri karena dihasilkan dari buah salak yang hanya dapat ditemukan di Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali. Salak dari desa Sibetan memiliki tingkat keasaman, kandungan air, serta kandungan glukosa yang berbeda dari salak yang ditanam di daerah Bali lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh faktor alam serta kondisi geografis daerah tersebut.21

Dengan merujuk pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku, bahwa kandungan kadar alkohol pada miuman wine salak telah memenuhi standar yang berlaku. Maka, sudah seharusnya produk tersebut mendapat perlindungan secara hukum. Di Indonesia, khususnya, Indikasi Geografis telah mendapat perhatian dari pemerintah dimana dengan tujuan agar produk tersebut dikenal di dunia perdagangan Internasional serta menjadi nilai tambah pada daerah yang menghasilkan sehingga perekonomian rakyatnya mengalami kemajuan.

21

(33)

xxxiii

Peraturan Pelaksanaan terhadap IG tercantum secara jelas daam Pasal 56 Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016. Pengaturan lebih terperinci tercantum dalam PP Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikas Geografis yang lama karena Peraturan Pemerintah ini masih dianggap efektif sebagai payung hukum dalam memberikan perlindungan yang terkait dengan Indikasi Geografis.

Usaha pemerintah memberikan perlindungan secara hukum dalam bidang Indikasi Goegrafis dapat dilakukan jika pihak tersebut mendaftarkannya kepada pihak yang terkait. Tujuan dari pendaftaran Indikasi Geografis itu sendiri adalah untuk memberikan perlindungan kepada produk itu sendiri yang memiliki karakteristik serta kekhasan sendiri yang tidak dimiliki oleh daerah manapun di Indonesia maupun di luar Indonesia.

Dalam hal ini, wine salak belum terdaftar dalam indikasi geografis dimana hal tersebut perlu diteliti lebih lanjut mengenai penyebab belum terdaftarnya wine salak sebagai Indikasi Goegrafis. Berbagai cara terlah dilakukukan oelh pemerintah terkait, yaitu dengan menerbitkan E-Tutorial dimana didalamnya menjelaskan hal-hal yang menguntungkan jika suatu produk terdaftar secara Indikasi Geografis, yaitu:

1) Memperjelas identifikasi produk dan menetapkan standar produksi dan proses.

2) Menghindari praktek persaingan diantara para pemangku kepentingan Indikasi Geografis; curang, memberikan perlindungan konsumen dari penyalahgunaan reputasi Indikasi Geografis;

3) Menjamin kualitas produk Indikasi Geografis sebagai produk asli sehingga memberikan kepercayaan pada konsumen;

(34)

xxxiv

4) Membina produsen lokal, mendukung koordinasi, dan memperkuat organisasi sesama pemegang hak dalam rangka menciptakan, menyediakan, dan memperkuat citra nama dan reputasi produk.

5) Reputasi suatu kawasan Indikasi Geografis akan ikut terangkat, selain itu Indikasi Geografis juga dapat melestarikan keindahan alam, pengetahuan tradisional, serta sumberdaya hayati, hal ini tentunya akan berdampak pada pengembangan agrowisata.22

Kewenangan Desperindag Kabupaten Karangasem dalam hal ini memilki peran penting guna meningkatkan perekonomian masyarakat Sibetan, kecamatan Bebandem dalam mengolah buah salak yang dihasilkan guna memiliki nilai jual yang tinggi. Akan tetapi, dalam kenyataannya salak wine yang dihasilkan hanya diolah orang-orang tertentu saja serta belum memiliki hak indikasi geografis. Pemberian alat pengolahan mesin pengolahan wine yang selama ini merupakan bantuan dari pemerintah Jepang bukan dari pemerintah setempat. Hal ini mengindikasikan kurangnya perhatian pemerintah dalam mengembangkan potensi alamnya yang tentunya dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat petani salak di Sibetan, kabupaten Karangasem.

Perlindungan indikasi geografis tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi bagi pemegang haknya tetapi juga memberikan keuntungan bagi lingkungan geografis tempat produk tersebut dihasilkan. Sistem indikasi geografis menuntut terjaminnya mutu produk indikasi geografis. Untuk menjaga mutu produk Indikasi Geografis, terutama yang dipengaruhi oleh faktor alam, maka lingkungan harus terus dijaga kelestariannya sehingga tidak merubah mutu produk tersebut. Tidak hanya melestarikan keadaan lingkungan geografis, sumber daya genetika yang menjadi sumber produk indikasi geografis juga harus dilindungi.

22

Situs Resmi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, 2010, Indikasi Geografis, diakses melalui www.dgip.go.id pada tanggal 23 Pebruari 2017 pad pukul 24.00 wita, hal. 2

(35)

xxxv

Tanaman buah salak yang mendapatkan perlindungan Indikasi Geografis harus dilindungi agar tidak terjadi penurunan mutu atas salak yang dihasilkannya. Selain mencegah terjadinya penurunan mutu salak maka perlindungan bagi sumber daya genetika juga perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya pencurian keragaman hayati/genetik. Hal ini keaneka ragaman hayati, termasuk varietas unggul tanaman salak Sibetan, memberikan keuntungan komparatif bagi Indonesia yang kaya akan keanekara ragaman hayati.

Menurut pemberitaan yang dikutip dalam Antara Bali dinyatakan bahwa: Usaha mendaftarkan wine salak merupakan kewenangan Desperindag Kabupaten Karangasem. Akan tetapi sampai saat ini wine salak belum terdaftar sebagai Indikasi Geografis. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti peraturan yang melarang adanya produksi wine salak mengingat minuman tersebut memiliki kandungan alkohol. Jika ditelaah lebih mendalam, hal tersebut tidak menjadi kendala bagi pemerintah kabupaten Karangasem untuk mendaftarkan wine salak sebagai indikasi geografis mengingat salak yang merupakan bahan dasar minuman tersebut hanya bisa tumbuh di Bali saja, khusunya di Desa Sibetan. Produksi wine salak sudah dikenal oleh wisatawan mancanegara dan mereka sangat menyukai minuman ini karena memiliki rasa yang khas serta kandungan alkoholnya tidak terlalu tinggi seperti minuman beralkohol yang selama ini beredar dipasaran.23

Pemerintah Daerah kabupaten Karangasem dalam hal ini bekerja sama dengan Desperindag kabuapten Karangasem terus berupaya memberikan bantuan kepada masyarakat petani salak berupa dana dan alat produksi, agar dapat terus berupaya mebenahi produksi wine salak sehingga dapat didaftarkan sebagai Indikasi Geografis sehingga nantinya tidak diklaim oleh pihak luar. Dilihat dari segi letak goegrafis, salak tersebut tidak dapat diklaim oleh pihak luar, akan tetapi dari paten dan merek tentunya dapat diklaim oleh pihak luar. Oleh karena itu,

23

http://www.antarabali.com/wine salaksibetandibawahkuota, diakses pada tanggal 13 Nopember 2016 pukul 21.00 Wita

(36)

xxxvi

selain Indikasi Geografis merupakan kajian utama, hak merek yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis serta hak paten yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten juga perlu dipertimbangkan guna meningkatkan mutu produksi serta penjualan wine salak.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan di atas, pokok permasalahan yang diajukan dalam penulisan tesis ini adalah:

1. Bagaimanakah efektivitas pelaksanaan perlindungan Indikasi Geografis terhadap produk wine salak yang memiliki karakteristik khas yang dipengaruhi faktor geografis Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem Bali dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis?

2. Apakah faktor-faktor penyebab wine salak produksi desa Sibetan, Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem Bali belum terdaftar dalam Indikasi Geografis?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Berdasarkan permasalahan yang akan di bahas dalam tesis ini, terdapat dua hal yang akan dikaji yaitu:

1. Efektivitas pelaksanaan perlindungan Indikasi Geografis terhadap produk wine salak yang memiliki karakteristik khas yang dipengaruhi faktor geografis Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem

(37)

xxxvii

Bali dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis. Selain Peraturan Pemerintah tersebut, Peraturan Perundang-Undangan yang juga terkait dengan pembahasan permasalahan pertama adalah Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis Nomor 20 tahun 2016 dan Undang-Undang Paten Nomor 13 Tahun 2016. Pentingnya hak merek dan hak paten jika dihubungkan dengan Indikasi Geografis merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan karena hak paten merupakan hak khusus yang menunjukkan keahlian/produk yang unik yang bernilai secara ekonomi yang dihasilkan seseorang atau kelompok. Sedangkan hak merek menunjukkan tanda yang digunakan untuk membedakan satu produk dengan produk sejenis yang ada telah dipasarkan. Tujuan pemberian tanda itu adalah agar konsumen bisa mengenali asal atau produsen dari produk tersebut atau mengenali mutu, fungsi, keunikan, atau kelebihan dari produk tersebut. Dalam konteks Indikasi Geografis, „tanda‟ tersebut harus menunjukkan daerah asal dari suatu produk; sedangkan produknya itu sendiri harus menunjukkan ciri dan kualitas tertentu yang dihasilkan oleh faktor geografis, yaitu faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari faktor alam dan manusia. Jika „tanda‟ dalam merek diberikan oleh produsen produk, maka „tanda‟ dalam indikasi geografis diberikan oleh masyarakat. Adalah suatu hal yang hampir mustahil untuk mengetahui siapa anggota masyarakat yang pertama kali mencetuskan nama tersebut. Dalam praktek

(38)

xxxviii

perdagangan, „tanda‟ itu dipergunakan untuk membedakan dengan produk yang sejenis dari daerah lain.

2. Faktor-faktor penyebab wine salak produksi desa Sibetan Kabupaten Karangasem Bali belum terdaftar dalam Indikasi Geografis. Wine salak saat ini belum terdaftar dalam Indikasi Geografis, hal inilah yang akan menjadi permasalahan kedua dimana dengan meneliti lebih seksama faktor-faktor penyebab baik faktor internal maupun eksternal yang mengakibatkan sampai saat ini wine salak belum terdaftar dalam Indikasi Geografis.

1.4 Tujuan Penelitian

Mengenai tujuan penelitian terhadap dua permasalahan tersebut di atas dapat dibagi ke dalam tujuan umum dan tujuan khusus sebagai berikut:

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian tesis ni adalah untuk memahami serta mengembangkan ilmu, khususnya ilmu hukum yang terkait dengan ilmu pengetahuan dimana ilmu selalu berproses, maka diharapkan bahwa ilmu itu tidak akan pernah berhenti untuk berkembang, melainkan harus terus menerus digali untuk diuji kebenarannya, disinkronkan dengan perkembangan menurut jamannya, sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam upaya mencari solusi yang tepat menyelesaikan permasalahan khususnya dalam hal ini tentang indikasi geografis terhadap wine salak produksi desa Sibetan kabupaten Karangasem, Bali yang belum terdaftar yang dikaji berdasarkan Peraturan Pemerintah yang secara

(39)

xxxix

khusus mengatur tentang Indikasi Geografis, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007.

1.4.2 Tujuan Khusus

Hal-hal yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian tesis ini adalah:

1. Untuk menganalisis efektivitas pelaksanaan perlindungan Indikasi Geografis terhadap produk wine salak yang memiliki karakteristik khas yang dipengaruhi faktor geografis Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem Bali dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah yang secara khusus mengatur tentang Indikasi Geografis, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab wine salak produksi desa Sibetan Kabupaten Karangasem Bali belum terdaftar dalam Indikasi Geografis.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan hukum baik secara teoritis maupun praktis mengenai Indikasi Geografis secara garis besar, berikut ini akan diuraikan bebarapa manfaat dari penelitian ini diantaranya adalah:

1.5.1 Manfaat Teoritis

Adapun beberapa manfaat secara teoritis dalam penelitian ini, diantranya adalah:

1. Memberikan pengetahuan hukum mengenai Indikasi Geografis secara garis besar kepada masyarakat pada umumnya dan juga khususnya sebagai bahan referensi bagi kalangan praktisi hukum, mahasiswa dan

Referensi

Dokumen terkait

Melihat pentingnya pembelajaran konsumen melalui celebrity endorser dan pengulangan pesan pada iklan maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Celebrity

Kemampuan pemahaman konsep terdiri dari 7 indikator, yaitu menyatakan ulang sebuah konsep, mengklasifikasikan objek menurut sifat tertentu sesuai dengan konsepnya,

Narkolepsiaoireiden alkamismäärittelystä riippuen (ks. 4.4) narkolepsiatapaukset ryhmiteltiin rokotettuihin ja rokottamattomiin sen perusteella olivatko tapaukset roko- tettuja

kognitif dari proses dan hasil belajar yang penting untuk dinilai sesuai dengan karakteristik kompetensi keahlian Pemeliharaan dan Perbaikan Instrumen Elektronika Pesawat

Nasional di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm.. santri kalong, 11 sehingga dalam kesehariannya santri dapat berinteraksi, bersikap, dan bertindak sesuai

Setelah melakukan proses perencanaan penilaian dan menginput nilai PENGETAHUAN, KETERAMPILAN, SIKAP SPIRITUAL dan SIKAP SOSIAL serta DESKRIPSI, maka Guru dapat mengirim

Motor diesel biasa disebut juga “motor penyalaan kompresi” Compression Ignition Engine, karena cara penyalaan bahan bakarnya dilakukan dengan menyemprotkan bahan bakar ke dalam

Dengan demikian , dapat disimpulkan bahwa perbedaan motivasi belajar siswa kelas eksperimen dengan kelas kontrol adalah disebabkan oleh adanya perbedaan dengan