ANALISIS FAKTOR PENYEBAB PEMILIHAN
TIONGKOK OLEH PEMERINTAH INDONESIA
DALAM PROYEK KERETA CEPAT JAKARTA
BANDUNG
LAPORAN TUGAS AKHIR
Oleh :
Vincentius Stira Reynalto 106216018
Program Studi Hubungan Internasional
Fakultas Komunikasi dan Diplomasi
Universitas Pertamina
2019
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tugas Akhir : Analisis Faktor Penyebab Pemilihan Tiongkok oleh Pemerintah Indonesia dalam Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung
Nama Mahasiswa : Vincentius Stira R. Nomor Induk Mahasiswa : 106216018
Program Studi : Hubungan Internasional
Fakultas : Fakultas Komunikasi dan Diplomasi
Tanggal Lulus Sidang Tugas Akhir : 9 Januari 2020
Jakarta, 27 Januari 2020 MENGESAHKAN
Pembimbing
Dr. Ian Montratama, S.E., M.E.B., M.Si. (Han) NIP. 116117
MENGETAHUI, Ketua Program Studi
Dr. Indra Kusumawardhana, M.Hub.Int NIP. 116123
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir berjudul “Analisis Faktor Penyebab Pemilihan Tiongkok oleh Pemerintah Indonesia dalam Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung” ini adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan tidak mengandung materi yang ditulis oleh orang lain kecuali telah dikutip sebagai referensi yang sumbernya telah dituliskan secara jelas sesuai dengan kaidah penulisan karya ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam karya ini, saya bersedia menerima sanksi dari Universitas Pertamina sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Pertamina hak bebas royalti noneksklusif (non-exclusive
royalty-free right) atas Tugas Akhir ini beserta perangkat yang ada. Dengan hak
bebas royalti noneksklusif ini Universitas Pertamina berhak menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkatan data (database), merawat, dan mempublikasikan Tugas Akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya
Jakarta, 27 Desember 2019 Yang membuat pernyataan,
iv
ABSTRAK
Vincentius Stira Reynalto. (2019). Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Komunikasi dan Diplomasi, Universitas Pertamina, Jakarta. Analisis Faktor Penyebab Pemilihan Tiongkok oleh Pemerintah Indonesia dalam Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung. Pembimbing Dr. Ian Montratama, S.E., MEB, M.Si (Han)
Tiongkok merupakan negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi cukup baik di wilayah Asia. Negara ini memiliki jalur perdagangan, atau lebih dikenal dengan jalur sutra, yang tercatat dalam sejarah sebagai salah satu perkembangan peradaban manusia hingga saat ini. Di masa Presiden Xi Jinping, Tiongkok berkeinginan untuk membuat kembali jalur tersebut. Hal ini sendiri bertujuan untuk semakin menguatkan pertumbuhan ekonomi dari negara itu sendiri. Dalam melancarkan rencana tersebut, Presiden Xi juga menyebarkan pengaruhnya ke beberapa wilayah, tak terkecuali Asia Tenggara. Indonesia, sebagai salah satu negara mitra kerja sama, telah menerima berbagai bantuan agar Tiongkok bisa mendapatkan dukungan penuh. Salah satunya adalah proyek kereta cepat Jakarta Bandung yang tengah dibangun saat ini. Kerja sama diantara keduanya sekaligus memberikan dorongan ekonomi bagi Indonesia yang tengah pada grafik yang cukup stabil. Dengan adanya proyek kereta cepat juga memberikan peluang bagi Tiongkok untuk bisa mempertahankan pengaruhnya di Indonesia, sekaligus tetap mencari dukungan terhadap proyek Belt Road Initiative, dan bagi Indonesia sendiri, hal ini bisa menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam tren positif. Terlepas dari segala keuntungan yang ada, proyek ini sempat menjadi perhatian dikarenakan Jepang yang sudah melakukan studi kelayakan terlebih dahulu. Menjadi perhatian tersendiri bagaimana kemudian Tiongkok menjadi pemilik utama dari proyek tersebut. Penelitian ini fokus pada pemahaman yang berarti bertujuan untuk mengidentifikasi masalah yang diangkat. Penulis menggunakan teori geopolitik di dalam dinamika kebijakan luar negeri serta rational choice theory untuk mengidentifikasi topik utama dari penelitian ini. Di bagian akhir dari penelitian, penulis menambahkan masa depan dari Tiongkok terhadap pembangunan infrastruktur di Asia Tenggara serta rivalitasnya dengan Jepang.
Kata Kunci: Kebijakan Luar Negeri Tiongkok, Geopolitik, Rational Choice, Kereta Cepat Jakarta
v
ABSTRACT
Vincentius Stira Reynalto. (2019). International Relations Department, Faculty of Communication and Diplomacy, Pertamina University, Jakarta. China’s Appointment Factor Analysis by The Indonesian Government on Jakarta Bandung High Speed Rail Project. Supervisor Dr. Ian Montratama, S.E., MEB, M.Si (Han)
China is a country with a good progressive economic rate in Asia. Back in the past, this country had a commerce road or everyone know as a Silk Road, which contribute in civilization until now. In Xi Jinping era, China is showing another interest in rebuilding the silk Road in order to strengthen the economic sector. To successfully execute this plan, Xi is influencing their interest in all over Asia, as well South East Asia. Indonesia, as one of the cooperating country, has accept their help in order to gaining support. One of the assistance that accepted is the construction of High Speed Railway Jakarta Bandung. This construction includes a bullet train program from Jakarta to Bandung. With this program, China is hoping to maintain its relation with Indonesia and looking for more political support that could make the BRI project successfully executed. For Indonesia, this program would maintain the developing of their domestic economy development. Despite of all the effect, this program had been proposed by the Japanese back in 2008. It’s all in a day’s work suddenly. China came and gaining all the works that Japan had done before. Thus, this became the writer main concern. It’s very aggressive move from China to acquire such program from their rival. This paper would be analyzed with geopolitics in foreign policy and rational choice theory to identify the main problem throughout the paper. The writer will conclude the paper with addition to the future of China on South East Asia development in infrastructure and China rivalries with Japan.
Keywords: China’s Foreign Policy, Geopolitics, Rational Choice, Jakarta
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang Maha Memberi Kemudahan dan telah menganugerahkan begitu banyak karunia bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi di jenjang pendidikan S1 program studi Hubungan Internasional.
Penulisan skripsi dengan judul “Analisis Faktor Pemilihan Tiongkok oleh Pemerintah Indonesia dalam Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung” dipilih oleh penulis berdasarkan ketertarikan awal penulis dengan Tiongkok. Kekuatan Tiongkok yang mulai bangkit dengan menciptakan strategi global berupa memperluas peluang pembangunan dan kesejahteraan bersama melalui kerja sama yang saling menguntungkan diimplementasikan dalam BRI (Belt and Road
Initiative).
Kerja sama yang terbentuk antara Indonesia dengan Tiongkok menjadi bukti bahwa Tiongkok menaruh minta yang cukup serius dan ambisi yang besar untuk bisa menyebarkan pengaruhnya di wilayah Asia Tenggara. Pembangunan kereta cepat yang diambil alih dari Jepang juga membuat rivalitas di antara Jepang dan Tiongkok tidak akan pernah habis. Namun, dibalik rivalitas tersebut, keduanya memiliki tujuan bersama untuk membangun kawasan yang lebih baik lagi
Penulis menyadari bahwa penelitian yang telah ditulis dalam skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, baik secara teknis maupun substansi. Maka dari itu, penulis memohon maaf atas kekurangan tersebut. Penulis berharap apa yang disampaikan dalam skripsi ini dapat bermanfaat dan memperkaya ilmu Hubungan Internasional.
Jakarta, 27 Desember 2019
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji Tuhan, penulis ucapkan atas segala nikmat dan rahmat yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Tiada daya dan kekuatan melainkan dari Tuhan Yesus. Doa dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus atas segala kekuatan dan bimbingan selama proses pengerjaan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ian Montratama selaku dosen pembimbing yang selalu sabar dan memberikan perhatiannya kepada anak-anak bimbingannya. Terimakasih telah menjadi dosen pembimbing yang selalu membantu kami dalam menyelesaikan skripsi kami hingga saat sidang nanti.
2. Ibu Silvia Dian yang menjadi dosen penguji pada saat seminar proposal telah memberi kritikan yang membangun sehingga membantu penulis untuk berkembang hingga selesai pengerjaan skripsi.
3. Orangtua penulis, papa mama, kakak penulis, serta seluruh keluarga penulis yang selalu mendoakan penulis untuk bisa menyelesaikan skripsinya dan membantu menjadi pribadi yang lebih baik.
4. Cahyu Anggita yang juga turut serta menyelesaikan skripsinya telah membantu dan menemani pada saat pengerjaan skripsi dan menunggu setiap proses yang dilewati hingga saat ini.
5. Untuk Grup Maksiat Manis Manja, Vandy, Rori, Rafi, Rara, Dika, Lukita, juga Grup Batang HI yang telah membantu penulis selama ini.
6. Keluarga Besar HI UP 2016 yang telah menampung penulis menjadi bagian dari keluarga besar bersama kalian semua yang namanya tidak bisa disebutkan satu-persatu.
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN……….ii LEMBAR PERNYATAAN………....iii ABSTRAK………...……….iv ABSTRACT…………...………..v KATA PENGANTAR………...viUCAPAN TERIMA KASIH………...vii
DAFTAR ISI………...viii DAFTAR TABEL………...x DAFTAR GAMBAR………...xi DAFTAR SINGKATAN………...xii BAB I PENDAHULUAN………1 1.1 Latar Belakang………1 1.2 Rumusan Masalah………..4
1.3 Tujuan dan Signifikansi Penelitian……….………...5
1.4 Tinjauan Pustaka………5
1.5 Kerangka Berpikir dan Metodologi………...15
1.5.1 Kebijakan Luar Negeri………..15
1.5.2 Geopolitik………..16
1.5.3 Rational Choice Theory………17
1.5.4 Alur Berpikir……….18
1.6 Metodologi………...20
1.7 Jangkauan Penelitian………21
1.8 Sistematika Penelitian………..21
BAB II OBJEK KAJIAN 2.1 Sejarah Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung………...24
ix
2.3 Kerja Sama PPP-G2G-B2B……….31 2.4 Rivalitas Industri Kereta Cepat Tiongkok dan Jepang………35 BAB III ANALISIS
3.1 Geopolitik Tiongkok………...41 3.2 Perbandingan Proposal Tiongkok dan Jepang….………...46 3.3 Masa Depan Rivalitas Tiongkok dan Jepang………...54 BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan………..60 4.2 Rekomendasi………...61 DAFTAR PUSTAKA………....63
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Proposal KCJB Tiongkok dan Jepang terhadap Indonesia…………..…..45 Tabel 2: Proyeksi Program Eastern Economic Corridor...…...…...…..….52
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR SINGKATAN
ADB Asian Development Bank
AIIB Asian Infrastructure Investmen Bank APBD Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBN Anggaran Pendapatan Belanja Negara
BRI Belt Road Initative
BUMN Badan Usaha Milik Negara
B2B Business-to-Business
B2G Business-to-Government
CCP Chinese Comunist Party
CDB Chinese Development Bank
CRC China Railway Company
CRH China Railway High-speed
C2B Customer-to-Business
C2G Customer-to-Government
Dubes Duta Besar
EC European Commission
EEC Eastern Economic Corridor
EIB European Investment Bank
EPC Engineering, Procurement, Construction
G2B Government-to-Business
G2G Government-to-Government
HSR High Speed Railway
IMF International Monetary Fund
xiii
JR Group Japan Railway Group
JVC Joint Venture Company
PT. KCIC PT. Kereta Cepat Indonesia Cina
KCJB Kereta Cepat Jakarta Bandung
Kemenhub Kementerian Perhubungan
KPS Kerja sama Pemerintah-Swasta
KTT APEC Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pacific Economic Corridor
Maglev Magnet Levitation
OBOR One Belt One Road
ODA Official Development Assistance
OECD Organization for Economic Cooperation and Development
PKC Partai Komunis Cina
PKI Partai Komunis Indonesia
Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional PPP Public-Private Partnership
PSBI Pilar Sinergi BUMN Indonesia
RCT Rational Choice Theory
RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
SBY Susilo Bambang Yudhoyono
Universitas Pertamina - 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pada tahun 2015-2016, Tiongkok menekan kerja sama dengan Indonesia terkait salah satu prospek moda transportasi canggih di dunia, yaitu kereta cepat. Proyek yang bernama Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) ini menjadi salah satu faktor yang nantinya akan menopang pertumbuhan serta perkembangan infrastruktur di Indonesia. Proyek ini terbentuk setelah Indonesia juga berniat untuk mengembangkan ide tersebut sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ide ini sempat tercetus di tahun 2008 dimana Jepang telah mengajukan berbagai hal untuk bisa melangsungkan proyek kereta cepat tersebut. Namun, karena satu dan lain hal, akhirnya Tiongkok yang berhasil mengambil alih proyek tersebut.
Saat ini, Tiongkok tengah mengusahakan pembangunan jalur perdagangan dalam rangka menunjang kebutuhan atau kepentingan nasionalnya. Jalur perdagangan yang menyambungkan Asia hingga Eropa akan dihidupkan kembali agar Tiongkok bisa mengulang kejayaan pada masa Dinasti Han. Tidak bisa dipungkiri bahwa adanya jalur tersebut di masa lalu membuat Tiongkok berhasil mendapatkan perhatian dunia sekaligus menjadi pusat perdagangan di dataran Asia hingga Eropa. Kali ini, melalui Presiden Xi, Tiongkok tengah bekerja keras dalam mewujudkan kembali jalur tersebut. Dalam proyek jalur sutra modern ini, Tiongkok menambah jalur maritim agar nantinya tidak hanya jalur perdagangan darat saja yang terpenuhi, melainkan hingga pada perdagangan melalui jalur laut yang
Universitas Pertamina - 2
melewati negara-negara seperti Singapura, Malaysia, Pakistan, India, hingga Djibouti. Proyek ini kemudian disebut sebagai Belt Road Initiative (BRI) atau One
Belt One Road (OBOR). Proyek ini sendiri bertujuan untuk mengembalikan apa
yang menjadi sejarah dari negara tersebut sekaligus menjadi langkah Tiongkok untuk semakin menguatkan kekuatan ekonominya. Tidak bisa dikesampingkan bahwa saat ini Tiongkok memiliki kekuatan, secara ekonomi dan politik, yang cukup besar apabila dibandingkan dengan dulu. Perkembangan infrastruktur yang cepat serta penyebaran pengaruh yang terus-menerus membuat Tiongkok semakin memberi dorongan besar dalam posisinya sebagai salah satu negara kuat di Asia.
Tujuan lain dari proyek ini sendiri juga menyebarkan pengaruh Tiongkok hingga ke beberapa wilayah. Pengaruh tersebut nantinya juga bertujuan untuk bisa mendapatkan dukungan dari negara-negara yang jalurnya terlewati oleh proyek ini. Selain itu, Tiongkok juga perlu mendapatkan dukungan dari negara yang tidak mengijinkan proyek tersebut untuk melewati wilayahnya. Hal ini sendiri lebih dilihat dari kedaulatan suatu negara yang masuk dalam proyek BRI tersebut. Mengijinkan adanya proyek BRI untuk bisa terus berlangsung berarti secara tidak langsung memberikan peluang bagi Tiongkok untuk bisa menyebarkan sekaligus mulai menguasai wilayah tersebut secara perlahan-lahan. Penyebaran pengaruh Tiongkok sendiri terus melebar dan berlangsung secara masif, tidak terkecuali Asia Tenggara. Wilayah ini kemudian telah mendapat pengaruh yang signifikan dari Tiongkok. Mulai dari program kerja atau proyek-proyek di negara tertentu, hingga pada bantuan ekonomi, seperti yang diberikan terhadap Sri Lanka.
Melalui jalur diplomasi, Tiongkok melakukan segala upaya untuk bisa mendapatkan dukungan penuh dari negara-negara yang dilewati jalur sutra modern
Universitas Pertamina - 3 tersebut. Yang menjadi perhatian adalah konsep debt-trap diplomacy atau diplomasi yang menggunakan lemahnya keadaan ekonomi suatu negara untuk bisa mengakuisisi wilayah tersebut. Hal ini sendiri tampak pada bantuan ekonomi yang diberikan kepada Sri Lanka. Tiongkok memberi pinjaman yang harus dikembalikan selama 99 tahun, apabila tidak bisa dikembalikan, maka wilayah yang sesuai dengan kontrak akan menjadi milik Tiongkok, dalam hal ini, Pelabuhan Hambantota. Strategi ini tentu saja cukup mengundang beberapa perhatian dari dunia yang merasa bahwa Tiongkok merupakan pemain dalam bidang diplomasi yang cukup berbahaya untuk mengadakan kerja sama. Terlepas dari segala pandangan dunia, Tiongkok nyatanya tetap melakukan strategi tersebut untuk bisa memuluskan perjalanan dari proyek BRI.
Kerja sama dengan Tiongkok sendiri bisa dikatakan berprospek menguntungkan, terlebih dengan proyek BRI yang saat ini tengah diusung. Tidak terkecuali kebutuhan Indonesia saat ini yang tengah berada dalam tren baik1
Melakukan kontrak kerja sama dengan Tiongkok akan menambah pertumbuhan ekonomi tersebut, sekaligus akan mendapatkan dukungan dari Indonesia terhadap proyek BRI jalur maritim nantinya. Indonesia memang tidak bisa dikatakan dalam kondisi ekonomi yang buruk, namun, apabila ada suatu bentuk kerja sama yang menguntungkan kedua pihak, tentu saja hal tersebut mampu menguatkan relasi sekaligus memenuhi kepentingan nasional kedua pihak. Melalui kerangka kerja sama yang tepat, hubungan antara Indonesia dan Tiongkok akan menguat dan akan
1 Kusnandar, V. (2019). Katadata. “Ekonomi 5 Tahun Pertama Jokowi Tumbuh
Stagnan 5 Persen”, diunduh pada tanggal 19 Desember 2019 melalui
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/10/17/ekonomi-5-tahun-pertama-jokowi-tumbuh-stagnan-5-persen
Universitas Pertamina - 4
menjadi kerja sama yang menguntungkan. Salah satu proyek Tiongkok di Indonesia yang saat ini tengah diusahakan adalah pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Melalui pembangunan infrastruktur serta transportasi ini juga diharapkan semakin menunjang kebutuhan Indonesia sekaligus menjadi daya tarik wisatawan asing untuk bisa berkunjung ke Indonesia.
Tiongkok yang terbilang sebagai pemain baru dalam industri kereta cepat sendiri pada dasarnya bisa dikatakan akan memiliki kesulitan dalam mengambil alih proyek tersebut. Namun, Tiongkok pada akhirnya berhasil mengambil alih proyek ini sekaligus mendepak Jepang sebagai penggagas awal. Kemudian, keputusan dari Indonesia ini menimbulkan perhatian yang besar bagi Jepang sendiri. Sebagai negara yang memulai atau membentuk dasar dari proyek ini, pada akhirnya harus merelakan proyek tersebut untuk diambil alih Tiongkok. Strategi Tiongkok dinilai lebih mampu menarik perhatian Indonesia sekaligus mendapatkan dukungan dalam mega-proyek Tiongkok, Belt Road Initative.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Mengapa Tiongkok pada akhirnya menjadi pemenang proyek kereta cepat Jakarta Bandung, terlepas dari Jepang yang sudah melakukan studi terlebih dahulu?
1.3 TUJUAN DAN SIGNIFIKANSI PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk memahami kebijakan luar negeri Tiongkok dalam proyek kereta cepat Jakarta Bandung sekaligus melihat langkah apa yang
Universitas Pertamina - 5 akan diambil Tiongkok setelahnya. Terutama dengan ambisi besarnya dalam melancarkan proyek Belt Road Initiative. Signifikansi dari penelitian ini adalah memberi informasi bagaimana Tiongkok pada akhirnya menjadi pemilik utama proyek tersebut terutama dalam dinamika kebijakan luar negerinya. Selain itu, melalui penelitian ini juga diharapkan dapat memberi perspektif baru bagi pihak-pihak yang ingin meneliti lebih lanjut.
1.4 TINJAUAN PUSTAKA
Di tahun 2015-2016, Tiongkok dan Indonesia sukses menekan kontrak kerja sama pembangunan moda transportasi dengan kecepatan tinggi, yaitu kereta cepat. Proyek kerja sama ini sendiri nantinya akan menghubungkan Jakarta hingga Surabaya, namun dikarenakan panjangnya rute dan mahalnya biaya operasional untuk memulainya, maka diputuskan untuk membagi proyek ini menjadi dua tahap. Yang pertama menyambungkan Jakarta hingga Bandung. Lalu tahap kedua menyambungkan dari Bandung hingga sisanya. Hubungan Indonesia dengan Tiongkok sendiri pada dasarnya cukup beragam dan tidak terlalu mulus ataupun baik. Mengingat bagaimana isu Laut Tiongkok Selatan atau Laut Natuna yang masih menjadi perhatian bagi negara-negara di Asia Tenggara, terutama Indonesia, dengan Tiongkok. Isu mengenai wilayah kedaulatan yang diperebutkan sendiri menjadi salah satu bukti bahwa hubungan Indonesia dengan Tiongkok tidak berjalan dengan baik. Tetapi, terlepas dari hal tersebut, dikemukakan oleh Andika dan Aisyah (2017) dalam Analisis Politik Luar Negeri Indonesia-Tiongkok di Era
Universitas Pertamina - 6
Joko Widodo, dimana dalam paper tersebut dikatakan bahwa tidak adanya kesinambungan antara satu sektor dengan sektor lainnya ketika dihadapkan pada suatu masalah tertentu. Dalam hal ini, situasi yang cukup tegang di Laut Natuna antara Indonesia dengan Tiongkok, membuat sektor lain terancam untuk tidak bisa memiliki hubungan yang baik ketika akan melakukan kerja sama dengan Tiongkok. Seperti yang ada dalam kerja sama bidang ekonomi dan isu kedaulatan. Kedua sektor telah terinisiasi bentuk kerja sama antara Indonesia dengan Tiongkok. Yang menjadi perhatian adalah bagaimana salah satu sektor tidak berpengaruh terhadap sektor lain ketika salah satunya mengalami masalah. Hal ini terjadi dikarenakan adanya perbedaan karakteristik ataupun kepentingan yang ingin tercapai. Dalam isu kedaulatan, hubungan kedua negara lebih ditekankan pada kepentingan strategis yang membuat keduanya memiliki kepentingan masing-masing. Sedangkan dalam kerja sama ekonomi, situasi yang terjadi adalah kedua negara lebih pada tujuan peningkatan investasi serta hubungan perdagangan. Ini menjadi bukti lain bahwa terlepas dari ketegangan yang terjadi di wilayah Utara Indonesia tidak memengaruhi kerja sama yang dalam pembangunan proyek KCJB.
Elisabeth (2018) dalam artikelnya terkait hubungan Indonesia yang lebih ditekankan pada sektor ekonominya pasca krisis 97-98. Poin dari artikel ini menekankan bahwa Indonesia masih belum bisa mengoptimalkan dari peluang yang ditawarkan oleh Tiongkok dalam hal kerja sama. Ini terjadi dikarenakan beberapa hal dasar, seperti bentuk ekonomi dan sistem politik, antara satu dengan yang lainnya tidak sama. Sinaga (2018) yang menggarisbawahi bahwa hubungan Indonesia dan Tiongkok juga mengalami kesulitan untuk dibangun kembali semenjak Partai Komunis Indonesia (PKI) dibubarkan dan membuat keduanya
Universitas Pertamina - 7 sempat mengalami hubungan yang renggang. Kebijakan Indonesia yang terus mengalami perubahan dikarenakan perubahan rezim yang berbeda juga membuat Indonesia cukup sulit dalam menanggapi aksi Tiongkok yang saat ini tengah mengalami kenaikan. Sukma (2009) menilai bahwa apabila Indonesia bisa merespon dengan tepat proses bangkitnya Tiongkok, hal tersebut mampu menciptakan hubungan yang baik dan menguntungkan bagi kedua pihak. Kembali ke Elisabeth (2018), yang juga mengatakan bahwa Indonesia perlu lebih mempersiapkan diri agar bisa merespon “panggilan” Tiongkok untuk melakukan kerja sama dan mengambil keuntungan dari momentum yang ada. Perlu adanya perubahan mindset kebijakan makro-ekonomi meningkatkan kualitas produk dalam negeri, serta diperlukan adanya investasi yang terintegrasi bersamaan dengan perkembangan inovasi agar lebih tepat dalam merespon Tiongkok.
Masyarakat Indonesia melihat bahwa peluang untuk bekerja sama dengan Tiongkok cukup besar dan menguntungkan. Melihat bagaimana investasi serta banyak melakukan tindakan dalam kepentingan domestik di Indonesia, Tiongkok masih menjadi perhatian utama masyarakat-baik secara positif maupun negatif. Meskipun masih banyak media yang memberitakan ketidaktertarikannya terhadap Tiongkok, ada banyak pihak yang juga merasa bahwa menerima mereka sebagai migran atauapun investasinya bukan langkah yang buruk (Herlijanto, 2017). Dalam hal ini, masyarakat Indonesia menekankan pada kinerja pemerintah yang diharapkan lebih ketat dalam memeberi kuota bagi para pekerja asing dan lokal. Sehingga ada prioritas terhadap lokal daripada asing di dalam lapangan kerja.
Secara garis besar, hubungan Indonesia dengan Tiongkok sendiri cukup mengalami naik turun, dari pembubaran PKI hingga isu Laut Natuna dan saat ini
Universitas Pertamina - 8
tengah melakukan kerja sama untuk pembangunan proyek KCJB. Peluang yang ada sendiri perlu dimanfaatkan dan digunakan sebaikn mungkin untuk bisa mendapatkan keuntungan yang maksimal. Momentum ini perlu dioptimalkan apabila Indonesia ingin merespon kebangkitan Tiongkok dengan langkah yang tepat. Terlepas dari peluang yang terbuka lebar, masyarakat Indonesia menaruh harapan besar kepada pemerintah untuk bisa lebih mengontrol keadaan yang ada. Menciptakan suasana yang seimbang dan memberikan prioritas terhadap pekerja lokal dibandingkan asing, mengingat bagaimana pekerja asing-terutama Tiongkok-cukup banyak di Indonesia. Hubungan kedua negara akan membawa keuntungan yang besar apabila keduanya mampu bekerja sama dengan baik dalam berbagai sektor, terutama melalui pembangunan KCJB.
Seperti yang sudah dijelaskan di awal, Jepang merupakan pihak pertama yang mengajukan proyek Kereta cepat di Indonesia. Meskipun terbilang cukup lama, sejak 2008, Jepang sudah melakukan uji kelayakan bersama dengan Bappenas untuk kesiapan rute yang akan dibangun nantinya. Dengan keputusan Indonesia yang lebih memilih Tiongkok sebagai pemegan utama proyek ini sontak membuat Jepang menilai bahwa Indonesia sendiri kurang memiliki kredibilitas dalam membangun suatu hubungan kerja sama. Berangkat dari sini kemudian cukup terlihat juga bahwa Tiongkok dan Jepang merupakan pemain dalam industri kereta cepat yang cukup banyak berperan dalam pembangunan moda transportasi tersebut. Hubungan keduanya sendiri bisa dikatakan sebagai suatu ajang untuk menunjukan siapa yang lebih baik dalam industri kereta cepat (Pavlicevic & Kratz, 2017). Tidak bisa dikesampingkan bahwa Jepang sendiri terbilang memiliki reputasi yang cukup terkenal dalam industri kereta cepatnya dengan Shinkansen di
Universitas Pertamina - 9 negaranya. Sedangkan Tiongkok sendiri masih terbilang “lebih muda” dibandingkan dengan Jepang. Kecelakaan kereta cepat di tahun 2011 di Wenzhou menutupi eksistensi dari industri kereta cepat di Tiongkok. Sejak saat itu, Tiongkok sendiri masih belum mengeluarkan kembali industri kereta cepatnya. Sehingga cukup meninggalkan pertanyaan besar bagi Indonesia yang memilih Tiongkok dibandingkan Jepang untuk menangani proyek kereta cepat.
Dengan kemenangan Tiongkok dalam proyek ini, terlihat bahwa hal ini sekaligus menjadi bentuk kebangkitan Tiongkok yang bisa mengancam kestabilan regional tersebut. Tidak lupa untuk menyebutkan bahwa kegigihan Tiongkok untuk bisa mendapatkan proyek ini di Indonesia merupakan salah satu motif agar proyek BRI bisa berjalan dengan baik. Sehingga bisa dikatakan bahwa ini merupakan langkah untuk bisa memuluskan proyek BRI tersebut. Melihat bagaimana keinginan Tiongkok dalam hal ini, yang menjadi perhatian khusus adalah bagaimana Tiongkok dalam proses pembangunan proyek KCJB ini nantinya mampu melepaskan diri dari bayang-bayang Jepang yang memiliki keunggulan dalam berbagai segi. Meskipun Tiongkok memiliki fokus atau tujuan yang besar dalam proyek ini, memberikan kualitas yang lebih baik daripada pihak yang sudah dikalahkan menjadi tantangan tersendiri. Reputasi yang dimiliki Jepang sendiri pada dasarnya cukup baik dan hal itu terlihat dengan terkenalnya kereta Shinkansen di negaranya yang juga cukup menjadi perhatian dunia. Tiongkok, sebagai salah satu pemain dalam industri yang sama, baru memulai proyek kereta cepat di negaranya pada tahun 2007. Pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung sendiri pada dasarnya akan menjadi salah satu portofolio Tiongkok dalam membangun
Universitas Pertamina - 10
reputasi dalam industri kereta cepat dan melangkahkan “kakinya” ke negara lain untuk membangun proyek yang sama.
Keputusan Tiongkok untuk melakukan ekspansi pengaruhnya hingga Indonesia sendiri pada dasarnya merupakan langkah lanjutan dari mega proyek BRI. Sebagai salah satu jalur yang dilewati oleh proyek BRI, penting bagi Tiongkok untuk bisa mendapatkan dukungan penuh dari Indonesia. Pembangunan proyek KCJB sendiri menjadi keuntungan atau batu loncatan bagi Tiongkok untuk mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Pertama mempermudah jalannya mega proyek BRI. Yang kedua adalah mendapatkan reputasi yang baik apabila proyek KCJB sukses dijalankan di Indonesia. Hal ini sendiri menjadi salah satu tindakan yang berhasil dikeluarkan oleh Tiongkok melalui proses perumusan kebijakan luar negerinya. Sebagai salah satu negara dengan kekuatan yang cukup besar, baik secara ekonomi maupun politik, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Tiongkok sangat penting untuk diawasi.
Dibawah Presiden Xi, Tiongkok berhasil menghidupkan kembali “jalur sutra” yang telah lama redup. Dengan sedikit modifikasi, Tiongkok siap menguasai jalur perdagangan darat dan laut sepanjang Asia hingga pasar Eropa. Elizabeth Economy (2018), mengatakan bahwa Xi suskes membawa Tiongkok kearah yang lebih baik dan “baru”. Dengan pengalamannya dalam Partai Komunis Cina (PKC), Xi sendiri telah menunjukan reputasinya dalam menjadi pemimpin Tiongkok hingga saat ini. Lanteigne (2015) dalam bukunya juga menulis mengenai proses perumusan kebijakan luar negeri Tiongkok yang cenderung lebih tersentralisasi. Hal ini kemudian didukung oleh dominasi satu partai politik yaitu Chinese
Universitas Pertamina - 11 tantangan yang perlu dihadapi oleh Tiongkok, yaitu bagaimana menetapkan konsistensi dalam kekuatan Tiongkok yang tengah naik dan bagaimana kebijakan tersebut mampu direkonstruksi serta tidak hanya sebatas pada ekspansi saja. Kedua tantangan tersebut terbilang menjadi penting diperhatikan oleh Tiongkok, mengingat bagaimana tujuannya tidak hanya sebatas untuk melakukan ekspansi saja tetapi juga melakukan rekonstruksi terhadap hal yang ada. Bisa dikatakan bahwa Tiongkok tidak hanya melakukan penyebaran pengaruhnya, tetapi juga meletakan dasar-dasarnya, sehingga pengaruhnya lebih memiliki dasar yang baik.
Zhang (2010) yang lebih dulu menuliskan analisisnya terkait kebijakan luar negeri Tiongkok, mengemukakan bahwa kebijakan luar negeri Tiongkok tengah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Dalam artikelnya sendiri, Zhang menekankan bahwa sikap Tiongkok yang lebih proaktif dalam berpartisipasi di kegiatan internasional menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi bangkitnya negara tersebut. Kebijakan-kebijakan luar negeri yang lebih bersifat aktif dinilai mampu menjadi dorongan bagi Tiongkok untuk semakin bisa menjadi negara dengan kekuatan global yang besar.
Sebagai bentuk kesiapan Tiongkok untuk bisa menjadi negara dengan kekuatan global, seperti yang sudah disebutkan diatas, membangun proyek KCJB di Indonesia merupakan langkah dari kebijakan luar negeri Tiongkok untuk menyebarkan pengaruhnya sekaligus membangun reputasi baik di dalam industri kereta cepat di dunia. Kratz & Pavlicevic (2016) berani menyebutkan bahwa langkah Tiongkok merupakan konsep yang disebut sebagai High Speed Rail
Diplomacy. Secara gamblang, kedua penulis tersebut menilai bahwa menggunakan
Universitas Pertamina - 12
untuk bisa menyebarkan pengaruhnya. Meskipun Tiongkok masih harus melalui beberapa tantangan dalam pembangunannya, tetapi negara tersebut berani untuk terus melebarkan pengaruhnya dalam rangka mendapatkan dukungan penuh dari negara-negara tujuan serta demi memenuhi kepentingan ekonominya.
Cukup terlihat bagaimana kebijakan luar negeri Tiongkok telah berhasil mematahkan Jepang dalam proyek kereta cepat di Indonesia. Selain itu, Tiongkok juga menggunakan diplomasi kereta cepat sebagai instrumennya dalam strateginya, seperti yang sudah dijelaskan oleh Kratz & Pavlicevic (2016). Dibawah Presiden Xi, Tiongkok telah berhasil membangun kembali jalur sutra yang telah lama mati. Sedikit modifikasi serta adanya penambahan jalur manjadi poin utama dalam “jalur sutra” yang baru atau BRI dalam menguasai jalur perdagangan Asia hingga Eropa. Proses pengambilan kebijakan atau keputusan yang cenderung tersentralisasi menjadi kemudahan tersendiri bagi Tiongkok untuk bisa lebih bersikap proaktif dalam kegiatan internasional ataupun melebarkan pengaruhnya kemanapun. Sikap yang lebih proaktif ini juga yang kemudian dinilai menjadi salah satu latar belakang bangkitnya Tiongkok hingga saat ini.
Dharma & Suryadinata (2018) menyebut bahwa proyek KCJB ini merupakan proyek vital di era Joko Widodo dalam agenda pembangunan infrastrukturnya. Mengingat bahwa ini merupakan kerja sama antara Tiongkok dengan Indonesia, maka proyek ini sekaligus menjadi nilai tambahan dalam menjaga relasi antara kedua pihak. Tidak bisa dikesampingkan juga bahwa proyek ini menjadi wadah bagi kedua pihak untuk tetap menjaga hubungan yang baik. Proyek yang direncakan selesai pada tahun 2019 ini harus tersendat dikarenakan masalah pembebasan lahan yang terjadi. Apabila diteruskan atau memutuskan
Universitas Pertamina - 13 untuk terus mengerjakan proyek tersebut di tahun 2019, hal tersebut dinilai akan mengganggu proses pemilihan presiden yang akan berlangsung.
Melihat bagaimana keuntungan yang mampu ditawarkan oleh Tiongkok dalam hal ini, Salim & Negara (2016) menilai bahwa proyek KCJB ini sangat penting bagi keduanya untuk bisa sama sama mendapatkan hal yang positif. Masyarakat Indonesia bisa memotong waktu tempuh Jakarta-Bandung sekaligus menarik perhatian wisatawan internasional, sedangkan bagi Tiongkok mampu menjadi portofolio tersendiri dan menciptakan reputasi bagi dunia internasional nantinya. Sebagai salah satu dari 2 negara dengan pemilik industri kereta cepat yang cukup baik di dunia internasional, penting bagi Tiongkok untuk bisa menyaingi Jepang dalam hal yang sama. Yamin & Windymadaksa (2017) melihat bahwa peluang yang ditawarkan Tiongkok melalui proyek KCJB ini bisa berdampak jangka panjang nantinya. Fleksibilitas keuangan dari Tiongkok juga menjadi poin penting dalam strategi Tiongkok dalam memenangkan proyek tersebut.
Poin lain yang kemudian menjadi perhatian tersendiri adalah adanya geopolitik Tiongkok yang dinilai mampu berpengaruh besar terhadap dinamika kawasan Asia Tenggara. Besarnya proyek BRI juga berperan besar dalam mempengaruhi orientasi setiap negara di Asia Tenggara. Blanchard & Flint (2017) berpendapat bahwa proyek BRI, terutama dari jalur maritim, mampu menciptakan sebuah hubungan yang bersifat interdependensi antar pihak. Baik dari level negara hingga perusahaan-perusahaan di bawahnya, seperti BUMN di negara tersebut. Hal ini kemudian menjadi dasar mengapa proyek ini bisa menimbulkan dinamika baru di kawasan ini. Suksesnya proyek BRI juga akan menjadi titik balik Tiongkok dalam menguasai kawasan Asia Tenggara. Dalam penerapannya, proyek KCJB
Universitas Pertamina - 14
masih bersifat abu-abu ketika dikaitkan dengan proyek BRI. Ini terjadi dikarenakan proyek KCJB tidak memberi dampak secara langsung kepada BRI, namun, bukan berarti bahwa proyek tersebut dikerjakan oleh Tiongkok tanpa tujuan yang pasti.
Secara garis besar, poin penting dalam paper ini adalah memberi informasi terkati proyek KCJB yang tengah diusung oleh Tiongkok dan bagaimana Tiongkok mampu memenangkan proyek ini daripada Jepang. Terlepas dari segala studi yang telah dilakukan oleh Jepang, penting bagi Tiongkok untuk segera memberikan kontribusi terhadap Indonesia dan melepaskan diri dari bayang-bayang Jepang yang telah bertindak sebagai penginisiasi proyek awal. Peneliti melihat adanya celah dari segi geopolitik yang nantinya akan berpengaruh terhadap Indonesia dan juga Tiongkok bagi keberlangsungan proyek KCJB nantinya. Hal ini kemudian menjadi pembaharu dalam tulisan ini yang mengatakan bahwa ada pengaruh geopolitik yang diberikan serta hubungan antara proyek KCJB dengan BRI.
1.5 KERANGKA BERPIKIR DAN METODOLOGI 1.5.1 Kebijakan Luar Negeri
Negara, sebagai aktor utama dalam kebanyakan fenomena ataupun kejadian yang terjadi dalam tatanan global, tentu memiliki kepentingan-kepentingan tersendiri yang mereka bawa ketika berada dalam ranah tersebut. Kepentingan atau tujuan tersebut sendiri tidak pernah lepas dari situasi serta apa yang ingin dicapai dalam keadaan domestik suatu negara tersebut. Pentingnya bagi setiap negara untuk memiliki kepentingan domestik sendiri bisa dikatakan merupakan hal yang melandasi suatu negara bisa tetap berjalan ataupun berada dalam situasi yang
Universitas Pertamina - 15 mereka inginkan. Perlu diketahui juga, politik domestik dalam tatanan suatu negara juga berperan cukup besar dalam menentukan kebijakan luar negeri yang hendak diambil.
Banyaknya negara dengan sistem pemerintahan mereka masing-masing membuat setiap kebijakan luar negeri yang mereka miliki juga berbeda-beda. Ada yang bersifat diplomasi, militer, hingga intervensi pada pihak tertentu. Dari setiap strategi yang ada sendiri juga menimbulkan implikasi yang berbeda-beda, tergantung dari situasi serta aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Kebijakan luar negeri yang mereka miliki juga memerlukan adanya faktor-faktor eksternal yang sekiranya menjadi tujuan mereka ketika menerapkan kebijakan luar negeri tersebut. Salah satunya adalah geopolitik yang memiliki pengaruh besar dalam menentukan target ataupun strategi seperti apa yang perlu dilancarkan untuk bisa memenuhi kepentingan negara tersebut.
1.5.2 Geopolitk
Di dalam penerapan kebijakan luar negeri, diperlukan adanya kesadaran bagi setiap negara ketika menentukan strategi tertentu. Salah satunya adalah peran geografi, geostrategi, dan geopolitik yang nantinya bisa menentukan ke arah mana strategi tersebut akan dibuat. Pada dasarnya, ketiga konsep tersebut merupakan suatu dasar yang perlu dipahami dalam perumusan strategi kebijakan luar negeri tertentu. Geografi merupakan bentuk fisik dari realita yang terbentuk dari kumpulan, gunung, sungai, laut, angin, dan sebagainya. Ini juga menjelaskan bagaimana pengaruh dari tanah, udara, dan lautan dalam membentuk suatu wilayah. Terlepas dari setiap bencana alam ataupun adanya perubahan kesepakatan terkait
Universitas Pertamina - 16
batas negara, variabel geografis selalu bernilai konstan dan kurang bisa menjelaskan kedalaman terkait kebijakan luar negeri yang ada.
Geostrategi merupakan arah atau tujuan dari suatu kebijakan luar negeri tersebut memutuskan untuk memusatkan proyeksi kekuatan militernya dalam bentuk kegiatan diplomatis. Asumsi dasar dari konsep geostrategi adalah setiap negara selalu memiliki keterbatasan sumber daya dan tidak mampu, meskipun mereka bisa, melakukan kebijakan yang bersifat menyeluruh. Maka dari itu, mereka perlu fokus pada sektor militer di beberapa wilayah dunia. Poin penting dari konsep ini menjelaskan mengenai kebijakan luar negeri namun tidak sampai pada tahap motivasi ataupun dorongan untuk proses pengambilan keputusan suatu negara. Konsep ini terbentuk tanpa terpengaruhi oleh faktor geografis atau geopolitik, sehingga suatu rancangan geostrategi bisa dibangun berdasarkan suatu kepentingan kelompok, ideologi di suatu daerah ataupun hanya sebatas keinginan pemimpin.
Geopolitik sendiri merupakan salah satu konsep yang juga melibatkan faktor manusianya. Dimana poin utamanya ada pada distribusi sumber daya ke wilayah tertentu serta menyebarkan pengaruhnya ke kawasan yang sudah dijadikan tujuan terlebih dahulu. Situasi geopolitik yang terbangun merupakan hasil interaksi antar teknologi yang tersebar secara luas dan geografi yang mengubah kepentingan ekonomi, politik, dan strategis dari suatu lokasi. Contohnya adalah ketika sebuah rute logistik atau transportasi baru ditemukan dikarenakan pengembangan teknologi di wilayah tersebut ataupun dengan yang sudah dimiliki. Hal ini berlaku untuk pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya mengubah dinamika kekuasaan di dunia serta bagaimana peran teknologi yang mengubah kebutuhan sumber daya
Universitas Pertamina - 17 di seluruh kawasan. Pada akhirnya, geopolitik bukan sebuah variabel yang konstan, tetapi lebih menjelaskan terkait distribusi sumber daya dan pertumbuhan ekonomi. 1.5.3 Rational Choice Theory
Rational Choice Theory merupakan sebuah usaha untuk membuat model
matematik tentang perilaku social dan ekonomi aktor internasional.2 Teori ini pada
awalnya dikenalkan melalui seorang ahli sejarah yang bernama Gary Becker, dimana poin utama dari teori ini ada pada para pembuat keputusan yang cenderung bersifat rasional dalam menentukan pilihan setelah melihat setiap kemungkinan yang ada. Baik dari segi untung-rugi hingga dampak yang nantinya akan diberikan. Teori ini mengasumsikan bahwa setiap individu akan bertindak secara rasional ketika dihadpkan pada suatu pilihan tertentu. Hal ini yang kemudian menjadi dasar mengapa rational choice bisa dilihat dari aktor internasional dalam setiap keputusan yang akan, maupun telah mereka ambil.
Theodore Sorensen (1965) berpendapat bahwa dalam kebijakan luar negeri ada tindakan-tindakan rasional yang ditunjukkan oleh para pengambil keputusan. Ketika ada suatu permasalahan yang mengharuskan negara tersebut mengambil keputusan, maka setiap badan yang berperan langsung di dalam proses pengambilan keputusan akan mempertimbangkan setiap kemungkinan yang ada. Tindakana atau kebijakan yang dikeluarkan juga cenderung bersifat lebih subjektif dan relatif. Hal ini kemudian menempatkan faktor-faktor lain, seperti hubungan yang sudah ada, permasalahan terkait, mitra kerja sama, ataupun hal-hal historis
2 Hadiwinata, B. S. (2017). Studi dan teori hubungan internasional: arus utama,
Universitas Pertamina - 18
lainnya, menjadi dikesampingkan dan lebih mengedepankan mana yang menguntungkan bagi negara yang akan mengambil keputusan tersebut.
Di dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan teori geopolitik serta
rational choice theory untuk bisa menganalisa pilihan mana yang terbaik di antara
kedua proposal yang sudah masuk ke Indonesia. Baik Tiongkok maupun Jepang memiliki keunggulan masing-masing serta perkembangan dan reputasi teknologi yang terbaik di negaranya. Analisis nantinya akan membandingkan dan memberi pendapat pribadi terkait mana yang terbaik bagi Indonesia dan mana yang mampu menghasilkan keuntungan terbesar bagi Indonesia. Penulis juga akan melihat masa depan dari Tiongkok yang akan banyak berperan di dalam dinamika Asia Tenggara, terutama dalam pembangunan infrastruktur di salah satu wilayah di Semenanjung Asia Tenggara.
Universitas Pertamina - 19 1.5.4 ALUR BERPIKIR / MODEL PENELITIAN
1.6 Metodologi
Penulis nantinya akan menggunakan metode kualitatif sebagai penelitiannya. Penulis melihat adanya variabel-variabel penting dalam setiap permasalahan ini, seperti bunga yang ditawarkan, skema kerja sama, hingga nilai investasinya. Dalam proses pengumpulan data nantinya, penulis akan mengumpulkan data dari portal berita yang kredibel serta melakukan wawancara dengan narasumber terkait.
Indonesia
Penunjukan
pemenang
proyek utama
KCJB
Bentuk Kerja
Sama Investasi
Asing
B2 BRivalitas antara
Jepang dan
Tiongkok
PPP G2 GProposal KCJB
Tiongkok & Jepang
Universitas Pertamina - 20 1.7 Jangkauan Penelitian
Penulis akan memfokuskan pada tahun dimana kesepakatan antara Tiongkok dengan Indonesia terjadi, yaitu tahun 2014 hingga 2016. 2014 adalah tahun dimana Presiden Jokowi mencoba kereta cepat di Beijing bersama dengan Presiden Xi, sedangkan tahun 2016, merupakan waktu dimana kesepakatan antara Tiongkok dan Indonesia terbentuk untuk pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Nantinya, penulis juga akan melihat dari sejarah atau kejadian-kejadian sebelumnya yang membentuk ataupun menguatkan kesepakatan yang terjadi antara Tiongkok dengan Indonesia. Penulis juga menggunakan beberapa poin penting dari proposal yang sudah ada dengan Jepang untuk menguatkan mengapa kemudian Indonesia lebih memilih Tiongkok untuk menjadi pemenang proyek utama. Sebagai tambahan, penulis akan mengaitkan dengan mega proyek yang saat ini tengah menjadi perhatian utama dari Tiongkok, yaitu BRI. Meskipun Indonesia sendiri tidak banyak terlewati oleh jalur tersebut, tetapi salah satu wilayah di Indonesia berkontribusi di dalam jalur tersebut.
1.8 SISTEMATIKA PENELITIAN BAB I
Terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan serta signifikansi penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka berpikir serta alur berpikir, metodologi penelitian, dan jangkauan penelitian. Selain itu, dijelaskan pula terkait apa yang menjadi permasalahan utama, serta metode seperti apa yang akan
Universitas Pertamina - 21 digunakan. Dijelaskan juga bagaimana alur berpikir masalah sekaligus poin-poin apa yang menjadi faktor pembangun di dalam pembahasan.
BAB II
Membahas terkait kerja sama yang dilakukan Indonesia bersama Tiongkok di dalam proyek KCJB. Disini juga akan dijelaskan secara lebih dalam dan rinci terkait alur cerita dari permasalahan yang ada. Berawal dari era Presiden SBY, Jepang yang telah melakukan studi kelayakan terlebih dahulu, hingga kesepakatan yang telah terbentuk dengan Tiongkok. Penulis juga akan menjelaskan dari skema kerja sama yang ditawarkan oleh kedua negara kepada Indonesia, seperti G2G, B2B, dan PPP.
BAB III
Di bab III akan membahas terkait strategi dari kebijakan luar negeri Tiongkok di dalam proyek KCJB ini sekaligus menjadi titik penting dari penelitian ini. Penulis nantinya akan mengelaborasikan dengan teori yang ada untuk bisa dianalisi serta membandingkan kedua proposal dari Jepang dan Tiongkok. Nantinya, berdasarkan proposal tersebut, penulis akan melihat secara dalam, mana yang lebih menguntungkan bagi Indonesia dan dampak apa yang akan diberikan nantinya. Penulis juga akan menambahkan bagaimana kelanjutan dari kebijakan luar negeri Tiongkok terkait pembangunan infrastruktur di wilayah tersebut.
BAB IV
Berisi terkait kesimpulan dari setiap permasalahan yang telah dibahas sebelumnya. Di bab IV akan merangkum pokok permasalahan sekaligus bagian penutup dari tugas akhir ini
Universitas Pertamina - 22 BAB II
2.1 Sejarah Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung
Kereta cepat merupakan salah satu infrastruktur yang mampu meningkatkan pendapatan perekonomian sekaligus menunjang pariwisatanya. Hal ini juga mampu meningkatkan efisiensi waktu tempuh antar wilayah di suatu daerah. Di Indonesia, pembangunan kereta cepat tengah berada pada beberapa tahap. Untuk tahap awal sendiri akan dibangun jalur dari Jakarta hingga Bandung yang saat ini sudah memasuki pemasangan girder pertama di Cikarang serta proses pembebasan lahan yang mencapai angka 99%.3 Proses pembangunan ini juga diharapkan mencapai
target 50% di akhir tahun 2019, dan pembangunan fisik bisa selesai di akhir tahun 2020. Target operasional dari kereta cepat sendiri ada di pertengahan tahun 2021, dimana kereta cepat sudah bisa beroperasi secara resmi4. Terlepas dari setiap target
yang telah disampaikan, ada sejarah yang cukup menjadi perhatian hingga saat ini Tiongkok menjadi pemilik utama dari proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung pada tahun 2008 diusulkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) bersama dengan Kemeterian Perhubungan (Kemenhub). Awalnya proyek ini berniat untuk menyambungkan dari Jakarta hingga Surabaya. Tahap awal dari
3 CNN Indonesia. (2019). “Girder Pertama Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Dipasang”, diunduh pada tanggal 1 November 2019 melalui
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190930120354-92-435293/girder-pertama-kereta-cepat-jakarta-bandung-dipasang
4 Anwar, M. (2019). CNBC Indonesia. “Akhir 2019, Mimpi RI Punya Kereta
Cepat bisa Separuh Terwujud”, diunduh pada tanggal 1 November 2019 melalui
https://www.cnbcindonesia.com/news/20191001085804-4-103395/akhir-2019-mimpi-ri-punya-kereta-cepat-bisa-separuh-terwujud
Universitas Pertamina - 23
pembangunan proyek ini sendiri sudah berada pada tahap feasibility study atau studi kelayakan yang dilakukan oleh Jepang melalui Japan International Cooperation
Agency (JICA) bersama dengan Bappenas. Tetapi, dikarenakan beberapa
pertimbangan, seperti pertimbangan politis dan dana yang dibutuhkan cukup besar, maka proses pembangunan proyek tersebut terbagi menjadi 2 tahap. Dimana tahap awalnya adalah membuka rute Jakarta-Bandung, kemudiang rute sisanya akan diselesaikan setelah tahap pertama selesai.
Melansir Liputan65, Bambang Prihartono, selaku Direktur Transportasi
Bappenas, menyatakan bahwa pemilihan dua kota awal tersebut berdasar pada pertumbuhan ekonomi yang dilewati koridor ini mempunyai potensi yang sangat besar. Berangkat dari potensi yang besar ini, pada tahun 2012, wacana pembangunan dari proyek kereta cepat kembali digulirkan untuk bisa diproses lebih lanjut. Di tahun tersebut, skema pembayaran yang ditawarkan dari Jepang adalah
Public-Private Partnership (PPP) atau lebih dikenal dengan Kerja sama
Pemerintah-Swasta (KPS). Hal ini kemudian menjadi perhatian bagi Indonesia ketika ingin melanjutkan kerja sama dengan Jepang terkait proyek kereta cepat dikarenakan, proyek ini tidak termasuk di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Pemerintah juga tidak menginginkan adanya pendanaan yang keluar dari APBN ataupun APBD, sehingga hal ini juga menjadi cukup berat bagi Jepang ketika ingin melanjutkan kerja sama. Jepang sendiri semata-mata tidak ingin pemerintah keluar atau “lepas tangan” dari proyek ini,
5 Deny, S. (2016). Liptuan6. “Ini Cerita Awal Proyek Kereta Cepat
Jakarta-Bandung”, diunduh pada tanggal 1 November 2019 melalui
https://www.liputan6.com/bisnis/read/2434749/ini-cerita-awal-proyek-kereta-cepat-jakarta-bandung
Universitas Pertamina - 24 karena Jepang membutuhkan adanya suatu jaminan dari Indonesia apabila suatu saat proyek tersebut menemui kegagalan ataupun tidak berhasil dijalankan. Dalam hal ini, Jepang berada pada titik aman apabila Indonesia setuju untuk melibatkan pemerintah di dalamnya. Tetapi, seperti yang sudah menjadi perhatian dari pemerintah sendiri, Jepang dan Indonesia tidak berhasil menemui kata sepakat terkait proyek pembangunan kereta cepat tersebut.
Di dalam proses pembicaraan yang cukup sulit, di 2 tahun berikutnya, pada saat Konferensi Tingkat Tinggi Asia Pacific Economic Corridor (KTT APEC) ke-26 pada tahun 2014 di Beijing, Indonesia yang saat itu sudah berganti era kepemimpinan, dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Presiden Joko Widodo (Jokowi), menghadiri kegiatan yang diikuti oleh negara-negara dari Asia Pasifik terkait pembahasan ekonomi. Di dalam pertemuan tersebut, Presiden Jokowi juga sempat mencoba kereta cepat buatan Tiongkok bersama dengan Presiden Xi Jinping. Kereta cepat tersebut menempuh jarak 120 km dari kota Beijing ke Tianjin hanya dalam waktu 33 menit. Berangkat dari sini, Tiongkok mulai masuk ke dalam peta dinamika pembangunan kereta cepat di Indonesia. Proposal dari pihak Tiongkok mulai diajukan sekaligus menjadi bahan pertimbangan untuk dibandingkan dengan proposal dari Jepang, yang memang sudah lebih dulu menjadi pemenang proyek kereta cepat.
Proposal dari Tiongkok akhirnya dipilih dengan berbagai pertimbangan, terutama dari dana yang ditawarkan serta skema kerja sama yang lebih menguntungkan bagi kedua belah pihak. Kontrak disepakati di akhir tahun 2015, bersamaan dengan pembentukan PT. Kereta Cepat Indonesia Cina (PT. KCIC), yang merupakan gabungan dari Konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Universitas Pertamina - 25
Indonesia dan Tiongkok. Dimana BUMN dari Indonesia tergabung di dalam PT. Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PT. PSBI) yang terdiri dari PT. Kereta Api Indonesia, PT Wijaya Karya tbk, PT. Jasa Marga tbk, dan PT. Perkebunan Nusantara VIII. Sedangkan BUMN Tiongkok yang tergabung di dalamnya adalah
China Railway International Co. Ltd. Proses groundbreaking telah dilaksanakan di
tanggal 21 Januari 2016, yang juga menjadi tanda bahwa proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung untuk dimulai.
2.2 Proposal KCJB Tiongkok dan Jepang
Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, ada berbagai perbedaan dalam proposal antara Tiongkok dan Jepang yang menjadi perhatian bagi Indonesia, terutama dari sistem pendanaan6. Dari Jepang, total nilai proyek yang
ditawarkan ada di angka US$ 6,2 miliar serta membutuhkan jaminan dari pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia juga bertanggung jawab dalam melakukan pembebasan atau pengadaan lahan dalam proyek kereta cepat tersebut. Untuk sistem pendanaan sendiri, Jepang menawarkan pinjaman sebesar 75% dengan tenor waktu 40 tahun serta menerapkan 0,1% bunga per tahun. Dalam hal ini, berarti Jepang masih mengharapkan adanya bantuan dari pemerintah berupa pendanaan dari APBN untuk bisa turut serta mendanai proyek kereta cepat. Kemudian, untuk sistem kerja samanya, Jepang cenderung ingin menggunakan
Public-Private Partnership (PPP) atau lebih dikenal dengan Kerja sama
Pemerintah-Swasta (KPS). Dengan rincian 10% ditanggung swasta, 74%
6 Praditya, I. (2016). Liputan6. “Perbedaan Proposal Proyek Kereta Cepat China
dan Jepang”, diunduh pada tanggal 1 November 2019 melalui
https://www.liputan6.com/bisnis/read/2440916/perbedaan-proposal-proyek-kereta-cepat-china-dan-jepang
Universitas Pertamina - 26 ditanggung BUMN khusus, dan 16% sisanya ditanggung oleh pemerintah. Jepang juga menggunakan model kontraktor Engineering, Procurement, dan Construction (EPC) dengan catatan setiap resiko yang ada akan ditanggung oleh pemerintah. Dari sektor pegawai, Jepang membuka lapangan pekerjaan sebesar 35.000 orang yang juga memperbolehkan apabila ada pekerja Jepang untuk ikut andil di dalamnya serta adanya penggunaan konten lokal sebesar 40%.
Dari proposal yang diajukan Tiongkok, proyek kereta cepat berniali US$ 5,5 miliar serta tidak membutuhkan adanya jaminan dari pemerintah. Tiongkok juga menawarkan untuk membentuk suatu konsorsium gabungan antara Tiongkok dan Indonesia yang nantinya akan bertanggung jawab penuh dalam segala hal selama proyek tersebut berlangsung. Model kerja sama yang ditawarkan oleh Tiongkok adalah membentuk suatu Joint Venture Company (JVC) antara BUMN Indonesia dengan Tiongkok serta pembagian kepemilikan yang terdiri dari 40% Tiongkok dan 60% Indonesia. Tiongkok juga sama sekali tidak melibatkan pemerintah dalam aspek pendanaan dan semua subsidi tarif dan cost overrun akan ditanggung oleh konsorsium gabungan BUMN Indonesia dan Tiongkok. Berangkat dari sini, cukup terlihat bahwa Tiongkok lebih ingin adanya kerja sama dalam bentuk Business to Business (B2B). Dari segi konten lokal, Tiongkok menawarkan penggunaan konten lokal sebesar 58,6% serta membuka lapangan pekerjaan sebesar 39.000 orang. Terkait pembukaan lapangan pekerjaan, Tiongkok akan memberikan peluang bagi orang-orang Tiongkok yang ingin mendaftar, tetapi hanya sebatas tenaga ahli saja. Sehingga, peluang orang-orang lokal untuk bisa masuk ke dalam proyek kereta cepat cukup terbuka lebar. Untuk sistem pendanaan sendiri,
Universitas Pertamina - 27
Tiongkok menginginkan adanya 25% modal awal untuk didanai secara bersama, setelah itu baru akan dipinjamkan dengan tenor 40 tahun serta 2% bunga per tahun.
Dari segi teknologi7, Tiongkok dan Jepang sama-sama memiliki teknologi
kereta cepat yang telah dikembangkan dan digunakan di negaranya terlebih dahulu. Jepang menawarkan kereta peluru yang sudah terkenal lebih dahulu, Shinkansen Series E5 dengan kecepatan 320km/jam. Perkiraan waktu tempuh antara Jakarta hingga Bandung sendiri akan memakan kurang lebih 36 menit. Selain itu, Jepang juga menentukan sendiri harga tiket yang akan diterapkan nantinya. Untuk tiket kereta cepat, ditentukan biaya tiketnya berkisar di angka Rp 200.000,- hingga Rp 220.000,- per orang. Terkait dari teknologi yang ditawarkan, Jepang tidak membuka adanya peluang terkait transfer teknologi yang terbuka, serta tidak adanya alih teknologi dari Jepang ke Indonesia. Sehingga, terkait pengembangan lebih lanjut, kegiatan perawatan, hingga berbagai aspek teknis di dalam kereta cepat, akan dilakukan oleh Jepang sepenuhnya, meskipun tetap akan melibatkan Indonesia di dalamnya.
Di dalam proposal Tiongkok8, yang ditawarkan adalah teknologi Siemens
yang telah dikembangkan sejak tahu 2003. Jenis kereta cepat yang ditawarkan adalah CRH 380A dengan kecepatan maksimal 380km/jam. Untuk harga tiket sendiri, Tiongkok memberi harga berkisar Rp 160.000,- hingga Rp170.000,- per orang. Teknologi ini juga dinilai cocok dengan iklim tropis yang ada di Indonesia.
7 Jakarta Greater. (2015). “Persaingan China Jepang di Kereta Cepat Jakarta
Bandung”, diunduh pada tanggal 1 November 2019 melalui
https://jakartagreater.com/persaingan-china-jepang-di-kereta-cepat-jakarta-bandung/
Universitas Pertamina - 28 Selain itu, Tiongkok membuka peluang untuk adanya transfer teknologi yang terbuka dari Indonesia. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Tiongkok memang memberikan ruang atau menawarkan penggunaan konten lokal sebesar 58,6% untuk Indonesia, sehingga lebih mudah bagi kedua pihak untuk bisa melakukan transfer teknologi. Tiongkok juga mencamtukan di proposalnya terkait adanya alih teknologi kepada Indonesia untuk bisa dikembangkan lebih lanjut.
Secara garis besar, cukup banyak perbedaan yang terlihat dari proposal yang ditawarkan oleh Tiongkok dan Jepang. Diantaranya dari segi total nilai proyek, teknologi yang dipakai, model kerja sama yang dibangun, harga tiket per orang, lapangan pekerjaan yang dibuka, hingga adanya peluang transfer serta alih teknologi dari setiap pihak. Terlepas dari perbedaan yang ada, kedua pihak menawarkan keunggulan serta kekurangan dari masing-masing aspek. Seperti Jepang yang memiliki teknologi yang lebih dulu ada dan terbukti dengan reputasi Shinkansennya tetapi memiliki kekurangan dari segi transfer teknologi serta pendanaan yang masih memberatkan APBN Indonesia. Begitu pula dengan Tiongkok yang cukup unggul dari segi pendanaan, membentuk konsorsium gabungan dan sama sekali tidak melibatkan pemerintah ataupun penggunaan APBN dalam proyek nantinya. Namun, dari segi teknologi sendiri, Tiongkok terbilang sebagai pemain muda yang baru mengembangkan teknologinya dari tahun 2003 dan belum menciptakan reputasi sebaik Shinkansen-nya Jepang.
2.3 Kerja sama PPP-G2G-B2B
Dalam melakukan kerja sama, ada beberapa model kerja sama yang bisa dibentuk dan disepakati. Beberapa diantaranya adalah, Public-Private Partnership
Universitas Pertamina - 29
(PPP) atau lebih umum dikenal dengan Kerja sama Pemerintah-Swasta (KPS). Dalam melakukan kerja sama pemerintah juga tidak jarang melibatkan sesama pemerintah yang dikenal dengan Government to Government (G2G). Konsep dari G2G ini juga merupakan penerapan dari E-Government yang sudah cukup marak di kalangan masyarakat saat ini. Pemerintah juga juga terkadang melakukan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan tertentu yang membentuk suatu model
Government to Business (G2B) ataupun sebaliknya (B2G). Pelaku bisnis ataupun
perusahaan cenderung memiliki model bisnis yang berorientasi pada pelanggan atau Consumer. Maka dari itu, banyak model bisnis yang dibentuk adalah Business
to Customer (B2C) dengan harapan mampu mendapatkan pasar yang tepat untuk
penjualan jasa ataupun produk yang mereka tawarkan. Dalam beberapa kasus juga sering terjadi adanya pelanggan yang menjual produk yang mereka buat kepada para pelaku bisnis atau bahkan pemerintah. Model dari kerja sama ini seringkali dikenal dengan Customer to Business (C2B) atau Customer to Government (C2G). Dalam bagian ini, akan dijelaskan 3 model kerja sama yang cukup sering terlihat dan pada akhirnya teraplikasi dalam proyek kereta cepat Jakarta Bandung. 3 model kerja sama tersebut adalah PPP, G2G, dan B2B.
Melansir buku Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) (2008), mendefinisikan PPP atau KPS sebagai kesepakatan antara pemerintah dan satu atau lebih pihak swasta. Dimana pihak swasta memberikan layanan sehingga tujuan dari pemerintah sejalan dengan tujuan dari pihak swasta dan efektivitas dari kerja sama ada pada risiko yang juga dirasakan oleh pihak swasta. Menurut Internasional Monetary Fund (IMF, 2006: 1 dan 2004: 4), KPS merujuk pada pengaturan di mana pihak swasta memberi pasokan aset dan layanan
Universitas Pertamina - 30 infrastruktur yang dari awal telah disediakan oleh pemerintah. Sebagai tambahan, KPS memiliki dua karakteristik penting lainnya: ada penekanan pada penyediaan layanan, serta investasi, oleh pihak swasta, dan risiko yang signifikan yang juga dirasakan dari pemerintah ke pihak swasta. KPS juga terlibat dalam berbagai proyek infrastruktur sosial dan ekonomi, tetapi mereka juga digunakan untuk membangun dan mengoperasikan rumah sakit, sekolah, penjara, jalan, jembatan dan terowongan, jaringan kereta api, sistem kontrol lalu lintas udara, dan pabrik air. Dari European Comission (EC, 2004), istilah KPS didefinisikan secara umum, istilah ini mengacu pada bentuk kerja sama antara otoritas publik dan dunia bisnis yang bertujuan untuk memastikan pendanaan, konstruksi, renovasi, manajemen, dan pemeliharaan infrastruktur penyediaan layanan. European Investment Bank (EIB, 2004: 2) mendefinisikan KPS sebagai istilah umum dalam hubungan yang dibentuk antara pihak swasta dan badan publik atau pemerintah yang seringkali bertujuan untuk memperkenalkan sumber daya pihak swasta dan keahlian untuk membantu menyediakan dan memberikan aset dan layanan sektor publik.
Secara garis besar, kerja sama dalam bentuk KPS sendiri melibatkan pihak pemerintah dan swasta dalam membangun sektor tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kemudahan, terutama, dalam sistem pendanaan yang tidak memberatkan APBN. Selain itu, pihak swasta juga akan mendapatkan reputasi ataupun mendapatkan keuntungan dengan melakukan kerja sama dengan pemerintah, seperti mendapatkan reputasi tertentu, jaringan yang luas, serta bisa melakukan kesepakatan dalam sektor lain dengan badan pemerintah yang lain. Tetapi, terlepas dari setiap keuntungan yang ada, pihak swasta juga akan menanggung beban yang sama dengan pemerintah. Apabila proyek ataupun kontrak
Universitas Pertamina - 31
tersebut gagal dijalankan maka, pihak swasta juga akan mengalami imbas yang sama dengan pemerintah. Sesuai dengan gambaran di atas, Jepang menawarkan untuk menggunakan sistem kesepakatan KPS yang melibatkan pemerintah sebagai penjamin sekaligus menggunakan dana APBN untuk proyek kereta cepat.
Model kerja sama G2G pada dasarnya bisa dikategorikan untuk masuk ke dalam sistem pelayanan yang ditawarkan oleh pemerintah tertentu. Namun, dalam studi kasus tertentu, G2G bisa menjadi modal awal untuk melakukan kerja sama antara satu pihak dengan pemerintah lain. Penjelasan dari Luiz Joia dalam buku
Encyclopedia of E-Commerce, E-Commerece, E-Government, and Mobile Commerce (2006), G2G merupakan aspek yang paling banyak dipelajari dari
bidang e-government sebagai bentuk respon terhadap perkembangan teknologi yang sangat pesat dalam rangka meningkatkan kinerja efektivitas administrasi publik. Dalam pengaplikasiannya, G2G bisa diterapkan dalam bentuk hubungan adminstrasi antara kantor pemerintahan atau dengan kedutaan-kedutaan besar dalam penyediaan data dan informasi yang akurat. Penerapan lainnya adalah adanya situs resmi dari suatu pemerintahan tertentu yang bisa menjadi modal awal untuk mengadakan kerja sama. Dalam hal ini, G2G bisa memiliki 2 arti yang mendefinisikan perannya masing-masing. Dalam bentuk terapan yang berfungsi sebagai tempat awal untuk melakukan kerja sama, serta dalam bentuk pelayanan yang memberikan jasa kepada pihak-pihak yang membutuhkan, terutama antar pemerintah yang ada.
Model B2B pada dasarnya ada pada kategori electronic commerce atau
e-commerce. Meskipun pada dasarnya B2B merupakan suatu bentuk interaksi yang
Universitas Pertamina - 32
Internasional Business School (2006), pasar bisnis merupakan situasi dimana suatu
perusahaan, institusi, atau pemerintah yang memperoleh barang dan jasa baik untuk penggunaannya sendiri, untuk dimasukkan ke dalam produk atau layanan yang mereka miliki, atau untuk dijual kembali bersama dengan produk atau layanan lain kepada perusahaan, institusi, atau pemerintah lain. Pada dasarnya memberikan produk atau pertukaran jasa antara 2 perusahaan atau pelaku bisnis dalam rangka mendapatkan keuntungan yang ingin dicapai.
Dalam terapannya di proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, Tiongkok menawarkan kerja sama dalam bentuk B2B yang melibatkan konsorsium gabungan dari BUMN Indonesia dan Tiongkok. Model B2B yang terlihat sendiri adalah adanya pertukaran teknologi serta transfer teknologi yang ditawarkan oleh Tiongkok di dalam proposalnya. Menarik definisi dari Jonkoping, Tiongkok membuka peluang bagi Indonesia untuk bisa memiliki teknologi yang tadinya ditawarkan oleh Tiongkok untuk bisa dikembangkan sendiri lebih lanjut setelah proyek tersebut selesai dikerjakan. Tidak berhenti disitu, perkembangan teknologi yang telah dimiliki Tiongkok sendiri kemudian akan memiliki dampak bagi Indonesia dalam perkembangan perindustrian kereta cepat di Indonesia. Seperti pembangunan di wilayah lain di Indonesia, atau bahkan di beberapa wilayah di Asia Tenggara.
2.4 Rivalitas Industri Kereta Cepat Tiongkok dan Jepang
Rivalitas indusrti kereta cepat Tiongkok dan Jepang pada dasarnya menarik garis historis dari perkembangan teknologi di kedua negara. Keduanya sama-sama memiliki teknologi kereta cepat yang cukup berkembang pesat. Tiongkok memiliki