• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN WUJUD FISIK RUMAH TRADISIONAL MINAHASA DI KOTA TOMOHON DAN TONDANO PROVINSI SULAWESI UTARA (DESA TONSEALAMA DAN DESA RURUKAN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERUBAHAN WUJUD FISIK RUMAH TRADISIONAL MINAHASA DI KOTA TOMOHON DAN TONDANO PROVINSI SULAWESI UTARA (DESA TONSEALAMA DAN DESA RURUKAN)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN WUJUD FISIK RUMAH TRADISIONAL MINAHASA

DI KOTA TOMOHON DAN TONDANO PROVINSI SULAWESI UTARA

(DESA TONSEALAMA DAN DESA RURUKAN)

Debbie A.J.Harimu 1), Shirly WUNAS 2)

ABSTRAK

The purpose of this presentation is to explain the characteristics physical changes traditional minahasa house in the center of town (urban) and out of town (rural) also factors that influence these whole changes, through describing changes on house form also factors that influence these changes. This research uses qualitatif descriptive method through inductive analysis. Data collection method uses observation, document collection, in depth interview, measuring and literature.

The object are minahasa traditional houses in Tonsealama (Tondano city) and Rurukan (Tomohon city) that was built in 1897 to 1945. The result indicates, most changes after 1900 are space pattern and space function, and followed by material and construction changes. There were not many different with physical changes traditional house in Kota Tondano and Kota Tomohon. Factors that influence physical form change are exogeen and indogeen factors.

Key word : Phisical form, traditional house, culture.

Pembahasan ini bertujuan untuk menjelaskan karakteristik perubahan wujud fisik rumah tradisional minahasa di wilayah kota dan di periphery kota serta faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan–perubahan tersebut, dengan cara mendiskripsikan perubahan yang terjadi pada wujud fisik rumah serta faktor–faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut. Tipe penelitian kualitatif deskriptif dengan analisis induktif. Metode pengambilan data dengan observasi, wawancara secara mendalam, pemeriksaan dokumen dan sketsa konstruksi wujud fisik rumah.

Objek pengamatan adalah unit rumah tradisional minahasa di desa Tonsealama (Kota Tondano) dan di desa Rurukan (Kota Tomohon) yang dibangun tahun 1897-1945. Hasil penelitian menunjukkan perubahan terbesar adalah sesudah tahun 1900, pada pola ruang dan fungsi ruang, kemudian perubahan material dan konstruksi. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap perubahan wujud fisik rumah tradisional pada kedua desa di Kota Tomohon dan Kota Tondano. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan wujud fisik adalah, faktor dari luar dan faktor dari dalam masyarakat minahasa sendiri.

Kata kunci : bentuk fisik, Rumah Tradisional, dan Budaya Masyarakat.

1)

Debbie A.J.Harimu, ST, MT. Fakultas Teknik Unima, e-mail : harimu@plasa.com

2)

▸ Baca selengkapnya: sub tema : kehidupan di kota dan di desa

(2)

PENDAHULUAN

Arsitektur tradisional yang memiliki unsur identitas budaya akan segera punah, akibat dari perubahan nilai-nilai tradisional yang disertai lemahnya kemampuan ekonomi penghuninya. Sardadi dalam Budihardjo (1997) menyatakan bahwa kemajuan teknologi, sarana komunikasi dan semakin transparannya masyarakat telah membuat perubahan nilai-nilai rumah tradisional. Sesuai Turner (1976), rumah selalu berkembang seiring dengan kondisi sosial dan ekonomi penghuninya, dan menurut Kirmanto (2001), rumah merupakan simbol status sosial bagi pemiliknya, cerminan jati diri (jaminan dan pengakuan akan eksisitensi diri dan keluarga dalam masyarakat), dan investasi yang menjamin kelangsungan status dan kehidupan sosial. Menurut Silas (2000), rumah beserta lingkungannya dapat melambangkan peradaban manusia dan dapat menjadi cermin jati diri dan taraf hidup penghuninya, sebagai gambaran perikehidupan dan penghidupan yang menyeluruh.

Rumah tradisional dapat diartikan sebagai rumah yang dibangun dan digunakan dengan cara yang sama sejak beberapa generasi. Tradisi bukan suatu yang lestari, melainkan tetap mengalami perubahan/ transformasi (.Yudohusodo, 1991). Menurut Budhisantoso dalam Budihardjo (1996), Bangunan tradisional sebagai cermin nilai budaya masih jelas tergambar dalam perwujudan bentuk, struktur, tata ruang dan hiasannya. Bentuk fisik rumah tradisional walaupun tidak mengabaikan rasa keindahan (estetika), namun tetap terikat oleh nilai nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat. Jika ditelusuri perkembangan arsitektur selama beberapa abad lalu, maka telah terjadi pergeseran arsitektur dipandang dari cara orang membangun, yaitu dari kerajinan tangan ke mekanisasi. Di masa lalu karya arsitektur merupakan produksi setempat, produksi yang dirancang dan dibangun sesuai dengan ketrampilan setempat, memakai bahan setempat. Sekarang bergeser menjadi hasil susunan komponen industri. Seiring dengan perubahan tersebut, Sidharta dalam Budihardjo (1997) mengkhawatirkan, dan memprediksi kemungkinan budaya Indonesia akan hilang, dan mengusulkan kepada para Arsitek Indonesia untuk dapat mensenyawakan inovasi dan teknologi baru dengan kaidah kaidah perencanaan arsitektur yang bersumber dari daerah tempat bangunan berpijak, mempertimbangkan norma, dan tingkah laku pemakainya.

Rumah tradisional Minahasa sebagai identitas lokal tidak luput dari fenomena perubahan. Di beberapa kota Propinsi Sulawesi Utara, seperti kota Tomohon, kota Kawangkoan, kota Airmadidi, kota Tondano dan sekitarnya tidak banyak ditemukan rumah

(3)

tradisional, umumnya rumah tradisional yang tersisa sudah direnovasi atau diubah pada bagian–bagian tertentu, walaupun beberapa unsur–unsur unik tetap dipertahankan.

Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka pembahasan ini bertujuan untuk menjelaskan karakteristik perubahan wujud fisik rumah tradisional minahasa di wilayah kota dan di periphery kota serta faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan–perubahan tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA

Rumah tradisional merupakan bagian dari kebudayaan fisik yaitu kebutuhan benda-benda hasil karya manusia. Menurut Widiarso dalam Santosa (2000), rumah tradisional Nusantara beratapkan rumbia/ ijuk, dan berdinding bilah kayu/ bambu. Menurut Prijotomo (1999), arsitektur Indonesia adalah arsitektur rumah panggung dari kayu, yaitu teknik konstruksi yang mempergunakan sambungan tanpa paku atau alat dan bahan penyambung selain kayu. Bahkan Mangunwijaya dalam Budihardjo (1996) menjelaskan prinsip rumah panggung tersebar dalam kebudayaan Indonesia, Jepang dan Hawai. Ciri umum dari rumah panggung adalah rumah dibangun dengan bertiang, lantai rumah di atas tanah, terbuat dari papan atau bambu, kecuali bagian dapur tidak berkolong (Adimihardja 1999).

Demikian halnya di Minahasa, rumah tradisional berbentuk rumah panggung atau rumah kolong, baik yang terdapat di atas air maupun di dataran. Bahan material yang dipergunakan umumnya adalah kayu dari jenis pohon yang diambil dari hutan, yaitu kayu besi, linggua, jenis kayu cempaka utan atau pohon wasian /michelia celebia, jenis kayu nantu/

palagium obtusifolium, dan kayu maumbi/artocarpus dayphyla mig (Watuseke 1995). Kayu

besi digunakan untuk tiang, kayu cempaka untuk dinding dan lantai rumah, kayu nantu untuk rangka atap. Bagi masyarakat strata ekonomi rendah menggunakan bambu petung/ bulu jawa untuk tiang, rangka atap dan nibong untuk lantai rumah, untuk dinding dipakai bambu yang dipecah.

Arsitektur rumah tradisional Minahasa dapat dibagi dalam periode sebelum gempa bumi tahun 1845 dan periode pasca gempa bumi 1845-1945. Sesuai Mamengko (2002), sebelum 1845 adalah masa Tumani, sebelum kedatangan bangsa-bangsa barat di Minahasa, masyarakat telah membuat rumah yang besar di atas tiang-tiang tinggi besar, rumah dihuni 10-20 keluarga batih. Dibangun secara gotong-royong/ mapalus (lihat gambar 1).

(4)

Karakteristik konstruksinya, rangka atapnya adalah gabungan bentuk pelana dan limas, konstruksi kayu/ bambu batangan, diikat dengan tali ijuk pada usuk dari bambu, badan bangunan menggunakan konstruksi kayu dan sistem sambungan pen, kolong bangunan terdiri dari 16-18 tiang penyangga dengan ukuran ∅80-200 cm (ukuran dapat dipeluk oleh dua orang dewasa) dengan tinggi tingginya 3-5 cm, tangga dari akar pohon besar atau bambu Karakteristik ruang dalam rumah, hanya terdapat satu ruang bangsal untuk semua kegiatan penghuninya. Pembatas territorial adalah dengan merentangkan rotan atau tali ijuk dan menggantungkan tikar (Graafland,1898). Orientasi rumah menghadap ke arah yang ditentukan oleh Tonaas yang memperoleh petunjuk dari Empung Walian Wangko (Tuhan).

Gambar 1 Rumah Tradisional Minahasa tahun 1821. Sumber : Supit 1986;198

Gambar 2 Rumah Tradisional Minahasa tahun 1900. Sumber : Supit 1986; 50

Konstruksi rumah tradisional Minahasa tahun 1845-1945 (gambar 2)., mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan sebelumnya, yaitu atap bentuk pelana atau gabungan antara bentuk pelana dan limas, demikian juga pada kerangka badan bangunan rumah yang terdiri dari kayu dengan sambungan pen, dan kolong rumah terdiri dari 16-18 tiang penyanggah. Perbedaanya hanya tiang penyanggah berukuran lebih kecil dan lebih pendek dari masa sebelumnya, yaitu sebesar 30/30 cm atau 40/40 cm, tinggi 1,5-2,5 meter.

Karakteristik ruang dalam rumah masa 1845-1945 adalah berbeda dengan sebelumnya, karena sudah terdapat beberapa kamar, seperti badan rumah terdepan berfungsi sebagai ruang tamu/ ruang setup emperan, ruang tengah/ pores difungsikan untuk menerima kerabat dekat, dan ruang tidur untuk orang tua dan anak perempuan, ruang tengah belakang tempat lumbung padi (sangkor). Ruang masak terpisah pada bangunan lainnya. Fungsi loteng/ soldor adalah sama dengan masa sebelumnya yang diperuntukkan menyimpan hasil panen (gambar 3 dan gambar 4).

(5)

Gambar 3. denah rumah tradisional minahasa, tahun 1845-1945.

Gambar 4, lay out rumah tradisional minahasa, tahun 1845-1945.

METODE PENELITIAN

Objek pengamatan dalam penelitian ini adalah semua unit rumah tradisional Minahasa yang masih ada di Desa Tonsealama 11 rumah (Kota Tondano) dan di Desa Rurukan 9 rumah (Kota Tomohon) yang dibangun tahun 1897-1945. Adapun pertimbangan memilih dua desa ini karena:1. Ke-dua desa terletak di daerah pegunungan ini mewakili ciri khas orang Minahasa. Objek penelitian adalah rumah tradisional Minahasa yaitu rumah tradisional dari masyarakat Minahasa yang dikenal dengan nama Bergbewoners atau Bergbevolking atau

Alfoeren yang menurut istilah setempat disebut “Orang Gunung”. 2). Kedua desa memiliki

rumah–rumah tua yang memenuhi kriteria tradisional paling banyak di bandingkan desa-desa lain di Minahasa. Tipe Penelitian kualitatif deskriptif dengan analisis induktif. Metode pengambilan data dengan observasi, wawancara secara mendalam, pemeriksaan dokumen dan sketsa konstruksi wujud fisik rumah.

Perubahan bentuk fisik rumah tradisional Minahasa di Kota Tondano/ Desa Tonsealama (rural) dan Kota Tomohon/ Desa Rurukan (urban) dinilai dari 1) aspek fisik dari konstruksi atap, kolong, tangga, pintu jendela dan sambungan kayu, 2) aspek material dari penutup atap, rangka atap, kolong, tangga dan pintu jendela. Faktor pengaruh dinilai dari agama, pendidikan, pekerjaan, status sosial, struktur keluarga, teknologi dan status kepemilikan. Metode analisis yang dipakai adalah secara kualitatif dengan analisis data

(6)

secara induktif. Data diperoleh dari hasil pengamatan langsung dan wawancara mendalam dengan pemilik rumah.

Skala pengukuran yang dipergunakan adalah berdasarkan prosentase rata-rata perubahan dari aspek-aspek fisik seluruh populasi masing-masing di kedua desa yang dikategorikan perubahan besar jika terjadi 67%-100%, perubahan sedang jika 35%-66% dan perubahan kecil/ hampir tidak terjadi perubahan jika < 34%.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Tonsealama Kecamatan Airmadidi Kota Tondano dan Desa Rurukan Kecamatan Tomohon, Kota Tomohon. Luas Desa Tonsealama adalah 1.033,5 ha, terdapat 450 KK (2003), rata rata 5-6 jiwa/KK, dan 73,82% mempunyai pendidikan dasar (<SLTP) dan bekerja sebagai petani/ peternak. Asal usul desa ini adalah pada masa Tumani, sebelum gempa bumi tahun 1845.

Gambar 5. Lokasi Penelitian.

Desa Tonsealama berada di tepi jalan raya menuju ke Kema yang pada abad ke 16 tempat bertahta raja Manado.

Luas Desa Rurukan adalah 350 ha, terdapat 423 KK (2003), mempunyai sosial ekonomi yang hampir sama dengan Desa Tonsealama, yaitu rata rata 5-6 jiwa/ KK, dan 66,99% berpendidikan dasar dan bermata pencaharian sebagai petani/ peternak. Pola perkampungan konsentrik, dengan pola jalan grid, bentuk rumah panggung, ladang pertanian terletak di sekitar perkampungan. Desa Rurukan didirikan setelah bangsa Belanda masuk ke Minahasa, dengan peraturan tanam kopi paksa, terisolasi, dengan menempuh jalan ke perkebunan kopi

(7)

melalui sungai Ruruk. Pada tanggal 19 April 1948 perkampungan diresmikan sebagai satu desa dengan nama Rurukan. Pada tahun 1970 penduduk menjadi petani agribisnis, dan 1990 menjadi desa agrowisata.

2. Perubahan Fisik Rumah Tradisional Minahasa

Material rangka atap yang dipakai adalah kayu, dan untuk penutup/ pelapis atap digunakan daun rumbia. Perubahan bentuk dan konstruksi atap yang terdapat di Desa Tonsealama terdapat 72,7%, dan di Desa Rurukan terdapat 88,9%.

Perubahan fisik rumah tradisional Minahasa nampak pada perubahan konstruksi dan material, sebagai berikut:

1) Perubahan konstruksi atap kasau di Desa Tonsealama menjadi konstruksi atap peran dengan kuda kuda berdiri, perubahan dilakukan setelah 30-40 tahun pembangunan ( pada waktu daya tahan kayu menurun sesuai dengan umur konstruksi kayu).

Gambar 6. Variasi perubahan bentuk atap di desa Tonsealama

Di Desa Rurukan, masyarakat tetap mempertahankan konstruksi atap rumahnya, baik dalam bentuk konstruksi atap kasau ataupun atap peran.

tahun 1900 tahun 2003

Gambar 7. Rumah didirikan tahun 1915 di desa Tonsealama yang pada tahun 2003 diubah material penutup atap rumbia menjadi atap seng.

(8)

Material konstruksi atap rumbia diganti dengan atap seng. Perubahan material konstruksi atap di Desa Tonsealama, dilakukan sejak tahun 1920 sampai saat ini, dan di Desa Rurukan perubahan dilakukan sejak 1932 sampai saat ini. Sesuai penuturan penghuni rumah, umur atap rumbia adalah 10-15 tahun, dan saat ini material atap rumbia sulit diperoleh dan kualitasnya menurun karena masa pakainya hanya 1-3 tahun.

2) .Rangka badan rumah tetap, tetapi perubahan nampak pada pengisi konstruksi dinding dan konstruksi jendela. Perubahan konstruksi dinding terjadi setelah bangunan rumah berumur 70 tahun. Material konstruksi dinding terpasang horisontal dirubah dengan memasang secara vertikal (khususnya di Desa Tonsealama). Konstruksi jendela 2 sayap diubah menjadi jendela kaca nako/ jalusi (di Desa Tonsealama dan Desa Rurukan).

Konstruksi awal Konstruksi yang telah berubah Gambar 8.

Konstruksi jendela tanpa engsel (kanan)

Gambar 9. Jendela kaca nako pada rumah R8 di Rurukan (kiri) dan di rumah T6 di Tonsealama (kanan) Sumber: Pegamatan lapangan Maret 2003.

3) Perubahan konstruksi kolong rumah terdapat di Desa Rurukan dan Tonsealama, yaitu perubahan pada peran bantalan bawah yang telah diabaikan, akibat dari pengaruh umur bangunan, kayu lapuk dan hancur. Dampaknya nampak pada struktur rumah yang labil, terutama bila beban hidup yang diterima besar. Perubahan juga nampak pada batu alas

watulanei yang sudah tenggelam dalam tanah dan diganti dengan beton cor. Perubahan

tiang kolong kayu diganti dengan tiang beton, sehingga tidak memerlukan elemen bantalan bawah, skor dan batu alas.

(9)

Tinggi kolong rumah tetap dipertahankan 1,5-2,5 meter, karena kolong rumah dimanfaatkan untuk kegiatan sehari-hari. Namun demikian beberapa rumah tradisional Minahasa di Desa Rurukan telah merubah tinggi kolong rumah yang sesuai dengan ukuran dan kualitas kayu, seperti ungkapan dari Pongoh Bogia, rumah yang didirikan tahun 1925, dan Pondaa Makarawung, rumah yang didirikan tahun 1935 :

Ung kayu-kayu pa wangker aki pasar sa sangke’ran kayu-kayu sombor, seng kayu si’i doi keta’wan ung keketedan wo ung keawetan na.

.

Gambar 10. Konstruksi awal. Sambungan Tiang penyanggah dengan Kancingan dobel

Konstruksi kolom tidak lagi ada kancingan bawah dan rumah tidak diletakkan di atas watulinei diganti dengan beton cor

Konstruksi kolom tidak lagi ada kancingan bawah/Bantalan bawah

Gambar 11. Konstruksi kolong/ Tiang penyanggah setelah mengalami perubahan

4) Perubahan elemen tangga ditinjau dari posisi/ perletakan tangga dan jumlah anak tangga. Di Desa Tonsealama masih terdapat (54,5%) rumah tradisional Minahasa yang mempertahankan posisi 2 buah tangga di depan rumah, terletak di samping kiri dan kanan

(10)

depan rumah, terletak segaris berlawanan arah, dengan jumlah anak tangga ganjil. Posisi letak tangga di Desa Rurukan berbeda, terdapat 66,7% rumah tradisional yang masih mempertahankan masing masing 1 buah tangga yang terletak di depan dan di belakang rumah, pada posisi samping kiri atau kanan rumah, posisi berlawanan arah dan jumlah anak tangga ganjil. Adapun material kayu untuk tangga tetap dipertahankan di Desa Rurukan, tetapi 54,5% rumah tradisional Minahasa di Desa Tonsealama telah mengganti tangga kayu menjadi tangga beton.

Gambar 12. Konstruksi awal dua tangga kayu di depan rumah

Didirikan tahun 1907 Didirikan tahun 1920

Gambar 13. Rumah yang mengalami perubahan dari konstruksi tangga kayu diganti konstruksi tangga beton.

5) Perubahan fungsi dan pola ruang.(1) Ruang Loteng. Ruang loteng pada rumah tradisional Minahasa periode 1845–1945 memiliki fungsi antara lain sebagai kamar tidur anak laki– laki, tempat menyimpan hasil kebun. Fungsi ini kemudian berkembang menjadi tempat menjemur pakaian di musim hujan, menyimpan barang–barang atau gudang. Sejak listrik

(11)

masuk desa ruang loteng tidak difungsikan lagi. (2) Ruang Kolong. Di desa Tonsealama 72.7% dan di desa Rurukan 33.3% telah mengalami perubahan. Lancarnya arus transportasi dan mobilisasi penduduk dari desa ke desa menimbulkan iklim preventif.

Di Tonsealama ada yang menjadikan tempat menjual makanan, disewakan untuk menitipkan bendi/delman atau disewakan. Di desa Rurukan disewakan untuk menyimpan kuda pacu. (3) Fungsi kamar tidur tidak mengalami perubahan. (4) Ruang tengah belakang. Di ruang ini tidak lagi ditempatkan sankor atau lumbung padi, tetapi hanya difungsikan untuk ruang makan atau ruang keluarga atau ruang belajar.

Gambar 16. Variasi perubahan pola ruang.

Keterangan

1.Teras 3. Kamar Tidur 5. Teras belakang

(12)

(6) Dapur. Terjadi penegasan fungsi dapur. Fungsi dapur menjadi lebih khusus sebagai tempat memasak saja di dapur kering dan tempat mencuci peralatan dapur dan bahan untuk dimasak di dapur basah. (7)Pola rumah tradisional Minahasa di desa Tonsealama berbeda dengan di desa Rurukan. Di desa Tonsealama, denah awalnya simetris, sama dengan bentuk asli rumah tradisional Minahasa. Di desa Rurukan sejak didirikannya, denah awal rumah telah asimetris. Di desa Tonsealama terdapat 72.7% rumah dan di desa Rurukan hanya 11,1 % yang pola tatanan ruang awalnya sama dengan bentuk asli, 88.9% lainnya telah berubah. Kamar tidur tambahan diletakkan di depan atau di belakang pada salah satu sisi letak kamar tidur yang ada. Perubahan lain adalah perubahan perletakan dapur. Saat didirikan letak dapur terpisah dari rumah utama/induk. Sekarang dapur ditempatkan di dalam rumah utama/induk berdampingan dengan ruang makandan dapur sabua dijadikan dapur basah.

3. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Fisik dan Perubahan Penggunaan Ruang Dalam Rumah Tradisional Minahasa

Beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan fisik konstruksi rumah tradisional Minahasa adalah; 1)Faktor status kepemilikan rumah dan lahan mempengaruhi kualitas perawatan fisik rumah, sesuai Turner (1976), tanpa adanya jaminan kepastian tentang status kepemilikan rumah dan lahan, penghuni rumah tidak merasa aman untuk menginvestasikan dananya pada rumah tempat tinggalnya. Akibatnya kayu lapuk, dan diganti seadanya telah mempengaruhi sistim konstruksi rumah tradisionalnya 2)Faktor ekonomi penghuni mempengaruhi perubahan material konstruksi rumah. Penggunaan material-material baru pada rumah tinggal menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi penghuninya.

Adapun faktor faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan ruang dalam rumah adalah; 1) Faktor kebutuhan ruang, karena bagi keluarga di Desa Tonsealama dan Rurukan, rumah tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan fisiologis dan kebutuhan rasa aman saja, tetapi telah meningkat pada kebutuhan untuk bersosialisasi. Ruang tidur dipindahkan pada satu sisi bangunan, untuk memperoleh ruang tamu yang luas untuk dapat beribadah bersama keluarga dan tetangga di lingkungannya (aktivitas beribadah kolom).2) Faktor perkembangan teknologi juga mempengaruhi perubahan fisik rumah, karena pengolahan hasil produksi

(13)

padi, jagung sudah mempergunakan mesin pemipil dan mesin pemilah, sehingga penghuni rumah tidak membutuhkan lagi ruang penyimpanan di loteng atau sangkor.

KESIMPULAN

Wujud fisik rumah tradisional Minahasa mengalami perubahan, tetapi tingkat perubahan fisik rumah tradisional Minahasa untuk konstruksi relatif kecil (<34%), perubahan material relatif sedang (35%-66%), perubahan pola ruang relatif besar (67%-100%). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap perubahan wujud fisik rumah tradisional pada kedua Kota Tomohon (Urban) dan Kota Tondano (rural). Perubahan fisik konstruksi terbanyak terdapat pada Kota Tondano/ Desa Tonsealama, pada rumah tradisional yang sudah ada sejak sebelum 1897, umumnya terjadi perubahan karena pengaruh umur bangunan, kayu sudah lapuk diganti dengan material lainnya, sehingga mempengaruhi sistim konstruksinya. Kondisi tersebut mengekspresikan firnitas bangunan, karena kekukuhan bangunan terhadap pengaruh luar dalam waktu yang cukup lama

90.1 0 0 0.9 0 27.3 0.9 63.6 45.5 45.5 54.5 0 0 0 0 0 11.1 0 33.3 22.2 22.2 22.2 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 RA NGK A ATA P RA NGK A IN TI LA N T A I DI NDI NG PIN T U JE N D E L A B A NT AL AN AT A S B A NT AL AN BA W A H TI AN G SKO R BA TU AL AS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

ATAP INTI KOLONG

TONSEALAMA n=11 RURUKAN n=9 Tonsealama 28.9% Rurukan 10 %

Gambar 17. Histogram volume perubahan konstruksi

0 90.1 0 0 18.2 45.5 45.5 0.9 63.6 45.5 45.5 54.5 0 88.9 0 0 0 33.3 33.3 0 33.3 22.2 22.2 22.2 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 RA NG K A P E NUT UP RA NG KA INT I LA N T A I DINDI NG PI NT U JENDE L A BA NTAL A N AT AS BA NTAL A N BA W A H TI AN G SKO R BA TU AL A S 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

ATAP INTI KOLONG

TONSEALAMA n=11 RURUKAN n=9 Tonsealama 31.2% Rurukan 23.2%

(14)

100 54.5 0 0 63.6 72.7 81.8 0 0 100 33.3 0 0 22.2 11.1 33.3 0 0 0 20 40 60 80 100 120 LO T E NG TE RA S RG .TA M U R G TIDUR RG TE NG A H TE RA S BELAKAN G KO LO N G D APU R MC K 1 2 3 4 5 6 7 8 9

ATAP INTI KOLONG LUAR INDUK

TONSEALAMA n=11 RURUKAN n=9 Tonsealama 41.4% Rurukan 18.5%

Gambar 19. Histogram volume perubahan fungsi ruang

0.9 90.1 90.1 90.1 90.1 90.1 18.2 22.2 88.9 88.9 88.9 88.9 88.9 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 TERAS -MELINTANG DI DEPAN RG.TAMU-MELINTANG DI DEPAN RG TIDUR-SIMETRIS DI TENGAH RG TENGAH-MELINTANG DI TENGAH TERAS BELAKANG-MELINTANG DI BELAKANG DAPUR-DILUAR RUMAH INDUK MCK- DILUAR RUMAH INDUK 1 2 3 4 5 6 7 INTI TONSEALAMA n=11 RURUKAN n=9 Tonsealama 67% Rurukan 66.7%

Gambar 20. Histogram volume perubahan pola ruang

Faktor faktor yang mempengaruhi perubahan fisik konstruksi rumah tradisonal Minahasa adalah faktor status kepemilikan rumah dan lahan, serta faktor ekonomi penghuninya. Faktor faktor yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan ruang dan pola ruang dalam rumah adalah faktor kebutuhan ruang dan faktor kemajuan teknologi.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, K. 1999. Traditional Kampung and Architecture of Kasepuhan,West Java.

Monuments and Sites Indonesia, Icomos. Palapa. Bandung.

Budihardjo,E. 1996. Menuju Arsitektur Indonesia. Alumni. Bandung. --- 1997. Jati Diri Arsitek Indonesia. Alumni. Bandung

Graafland, N. 1898. Minahasa Masa Lalu Dan Masa Kini. De Minahasa, Haar Verleden en

Haar Tegenwoordige toestans. De Erven F. Bohn. Haarlem.

Kirmanto, D. 2001. Kebijakan Dan Strategi Nasional Perumahan Dan Permukiman (KSNPP), (Online),

(http://www.kimpraswil.go.id/Ditjen_mukim/ensiklopedia/perumahan/ksnpp.pdf, diakses 10 Nopember 2004).

Mamengko, R. 2002. Etnik Minahasa Dalam Akselerasi Perubahan. Telaah Historis

Teologis Antropologis. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Prijotomo J. 1999. Javanese Architecture, Monument dan Situs Indonesia, Icomos. Palapa. Bandung

Santosa. 2000. Suistainable Environmental Architecture. International Seminar. ITS. Surabaya.

Silas J. dkk 2000. Rumah Produktif Dalam Dimensi Tradisional Dan Pemberdayaan, UPT ITS. Surabaya.

Supit, B. 1986. Minahasa Dari Amanat Watu Pinawetengan Sampai Gelora Minawanua, Sinar Harapan, Jakarta.

Turner, J.F.C. 1976 Housing By People. Marion Boyars London

Watuseke, F.S. 1995. Profil Rumah Adat Minahasa dan Maknanya,Makalah Musyawarah I Kebudayaan Minahasa.Tomohon.

Yudohusodo. 1991. Rumah Untuk Seluruh Rakyat, INKOPPOL, Unit Percetakan Bharakerta. Jakarta.

Gambar

Gambar 3. denah rumah  tradisional  minahasa, tahun 1845-1945.
Gambar 6. Variasi perubahan bentuk atap di desa Tonsealama
Gambar 9. Jendela kaca nako pada rumah R8 di Rurukan  (kiri) dan di rumah T6 di Tonsealama (kanan)  Sumber: Pegamatan lapangan Maret 2003
Gambar 11. Konstruksi kolong/ Tiang penyanggah setelah mengalami perubahan
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pada masing-masing kuadran pengamatan terdapat empat hingga enam jenis lamun yang berasosiasi, kondisi ini mencerminkan bahwa perairan dan lingkungan pesisir Desa Bahoi

Pembahasan menunjukkan bahwa terjadi perubahan secara fisik terhadap bentuk dan fungsi bangunan rumah tinggal tradisional di Desa Pedawa yang disebabkan oleh empat faktor

Permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana struktur pendapatan rumah tangga petani kelapa sawit pola swadaya di Desa Kota Tengah

Berdasarkan latar belakang maka akan dilakukan penelitian untuk mengetahui upaya nelayan tradisional pancing ulur dalam meningkatkan ekonomi keluarga saat normal baru di Desa

Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu, di Air Terjun Tunan Desa Talawaan Minahasa Utara dan Taman Hutan Raya Gunung Tumpa Manado.Proses penelitian ini

Yang menjadi factor penghambat Partisipasi politik masyarakat dalam pilgub tahun 2015 di Desa Koha Selatan Kecamatan Mandolang Kabupaten Minahasa terdiri dari beberapa

Tidak terdapat hubungan antara penggunaan air bersih, penggunaan jamban, dan mencuci tangan dengan kejadian diare di desa Ranowangko kecamatan Tombariri

Saat ini di Kabupaten Minahasa Selatan khususnya Desa Lopana Satu sudah ada SOP dan Buku Panduan pelaksanaan mengenai implementasi kebijakan program PPIP ini yang mengatur, akan tetapi