• Tidak ada hasil yang ditemukan

NAMU MYOHO RENGE KYO Oleh: Sidin Ekaputra,SE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NAMU MYOHO RENGE KYO Oleh: Sidin Ekaputra,SE"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

PERHIMPUNAN BUDDHIS NICHIREN SHU INDONESIA

addharma Pundarika Sutra (Myo Ho Reng Kyo, Jpn) merupakan sutra yang dibabarkan oleh Buddha Sakyamuni dalam kurun 8 tahun terakhir sebelum Beliau memasuki Parinirvana. Saddharma Pundarika Sutra berisi kebenaran dan kebijaksanaan tertinggi dari Sang Buddha, yang secara pembabaran dan ajaran yang terkandung didalam berbeda dengan sutra-sutra sebelumnya. Sutra-sutra sebelum Saddharma Pundarika Sutra, dibabarkan berdasarkan kepada kapasitas dan tingkat pemahaman manusia yang artinya Sang Buddha menyesuaikan ajaranNya dengan kemampuan manusia untuk menerimanya, sedangkan Saddharma Pundarika Sutra dibabarkan oleh Sang Buddha berdasarkan keinginan dan kebijaksanaan yang sebenarnya dari Sang Buddha itu sendiri, tanpa terikat atau terpengaruh oleh kapasitas dan kemampuan dari mereka yang mendengarkan. Jelas point ini, memberikan perbedaan yang mendalam, sutra-sutra sebelum Saddharma Pundarika Sutra tidak mencerminkan atau mewakili keinginan dan kebijaksanaan sesungguhnya dari Sang Buddha.

DHARMA AGUNG

“NAMU MYOHO RENGE KYO”

Oleh: Sidin Ekaputra,SE

Buddha Sakyamuni sejak awal pencapaian Penerangan Agung, telah berkeinginan untuk membabarkan Saddharma Pundarika Sutra, namun akal bakat dan kemampuan manusia pada saat itu belum memadai sehingga, Ia mengambil kebijaksanaan membabarkan

sutra-sutra lain sebagai jalan Upaya saja. ichiren Daishonin, pendiri Nichiren Shu setelah menjalani masa pembelajaran yang mendalam dalam mengkaji sutra-sutra Sang Buddha, menemukan

S

(2)

bahwa hanya Saddharma Pundarika Sutra sebagai sebuah ajaran yang sesungguhnya dan sesuai keinginan hati dari Sang Buddha. Nichiren mengajarkan kita untuk menaruh hati kepercayaan yang mendalam tanpa keraguan akan kebenarannya ini, dan agar kita melaksanakan penyebutan O’daimoku “Namu Myoho Renge Kyo” sebagai sebuah wujud pencapaian Kesadaran Tertinggi yang diberikan oleh Sang Buddha. Beliau mengatakan bahwa O’daimoku tidak hanya mewakili sebuah kebenaran dari Sang Buddha tetapi merupakan Kebenaran itu sendiri, dan bahwa melalui penyebutan O’daimoku kita akan memperoleh seluruh karunia kebajikan, harta pusaka, dan kekuatan gaib dari Sang Buddha Sakyamuni dan juga para Buddha dari sepuluh penjuru dunia. Penambahan aksara “Namu” kepada “Myoho Renge Kyo”, jelas merupakan sebuah Pencerahan yang diperoleh Nichiren Daishonin. Manusia pada Masa Akhir Dharma sangat sulit untuk melakukan pelaksanaan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang suci, para arif bijaksana pada jaman dahulu, sehingga dengan penuh welas asih Sang Buddha memberikan permata pusaka ini dalam tujuh aksara “Na Mu Myo Ho Ren Ge Kyo” sebagai satu-satunya jalan bagi kita umat manusia untuk dapat mencapai Jalan Penerangan Agung.

amu, berasal dari kata sansekerta Namas. Namu atau Namas tidak dapat diterjemahkan kedalam bahasa lain, karena itu penerjemahan kedalam bahasa China atau lainnya hanya mengikuti lafal pengucapan saja. Namu dalam bhs.Jepang bisa berarti “Kimyo”. Nikko Shonin, salah satu dari Enam Bhiksu Senior (Pengikut Utama Nichiren Daishonin), mencatat pembabaran Nichiren Daishonin dijelaskan, “...Terdapat dua hal dimana kita mencurahkan hidup kita: Kepada manusia, yang mana adalah Buddha Sakyamuni dan kepada hukum, yang mana adalah Saddharma Pundarika Sutra... dalam istilah "Kimyo", aksara Ki (cina) berarti “Kembali atau Mencurahkan” ini menunjukkan pada aspek fisik dari hidup yang digambarkan dalam huruf Myo (“Hidup” ditulis berbeda aksara dengan Myo dari Myoho) adalah aspek spritual. Oleh karena itu, kata Namu mengandung suatu makna yang lengkap yaitu mengabdikan secara sungguh-sungguh seluruh hidup kita baik secara fisik maupun kejiwaan. Dengan kata lain, kita percaya sepenuhnya kepada Sang Buddha dan ajaranNya, terutama Saddharma Pundarika Sutra, dimana kita mencurahkan sepenuh jiwa kita dan dengan setiap cara yang memungkinkan. Dalam bagian Jigage (Sajak) dari Bab.II (Juryo) Saddharma Pundarika Sutra, terdapat

satu bagian kata berikut : “Isshin Yoku Ken Butsu, Fuji Shaku Shin’myo” ini berarti “Dengan sepenuh jiwa raga ingin bertemu dengan Buddha dalam kehidupan kali ini”. Secara jelas mengambarkan kata dari Namu, bahwa pendirian kita, pengertian, perlindungan dan pencurahan semuanya dimulai dari diri sendiri yang didasarkan pada ketulusan hati darikepercayaan dan pelaksanaan. Namu juga bisa berarti "Pasrah" dan "Maju". Pasrah bukan berarti mundur atau putus asa, "Pasrah" berarti menyadari, menerima, mengakui dan melihat kedalam diri sendiri atas segala kesalahan atau karma buruk yang telah dibuat. Namu berarti juga harus "Maju", maju bersemangat menatap masa depan, dengan menjadikan masa lalu sebagai pelajaran dan pengalaman yang berharga. O’daimoku yang sebenarnya, adalah

(3)

menerima dan mengakui segala kesalahan yang telah dilakukan dan intropeksi diri untuk menjadi lebih maju pada masa mendatang. Sebuah kesalahan besar jika diantara kita menyebut O’daimoku dengan landasan kesombongan dan egoisme diri sendiri. Odaimoku dengan dasar ego tidak akan menghasilkan apapun juga. Ketika kita Odaimoku dengan sikap menerima dan maju, maka diri kita akan “dihidupkan kembali”, kita menjadi seorang yang baru dan penuh vitalitas.

yoho berarti Saddharma (bhs.skt), yang berarti 'sangat dalam dan tidak terjangkau.' Sad atau Myo dari Myoho dapat diartikan sebagai Kebenaran, Kesempurnaan, Gaib, Sulit Dimengerti, Tak Terbandingkan, Sulit diterima dan Mencakupi Semuanya. Ho berarti Dharma atau Hukum. Maha Guru Tien T’ai, menjelaskan dalam (jp.Hokke Gengi) bahwa Myo berarti Sangat Sulit Dimengerti. Pertama, adalah analisa perbandingan dimana menjelaskan bahwa Saddharma Pundarika Sutra sangat unggul dibandingkan dengan seluruh Ajaran Buddha lainnya. Kedua, Myo berarti telah mencakupi seluruh Saddharma Pundarika Sutra, dalam hal ini termasuk secara menyeluruh termasuk semua ajaran Sakyamuni Buddha, dimana Beliau membabarkan Dharmanya selama 42 tahun hidupNya. Nichiren Daishonin juga menambahkan bahwa aksara Myo dari Myoho Renge Kyo adalah yang terpenting, Beliau menjelaskan dalam Surat “Daimoku dari Saddharma Pundarika Sutra”, bahwa “ Jika disana terdapat sebuah gudang penuh dengan pusaka yang berharga, tetapi jika tidak ada kunci, maka tidak dapat membukanya. Jika tidak dapat membukanya, pusaka yang ada didalam gudang

tersebut tidak dapat terlihat, aksara Myo dari Saddharma Pundarika Sutra (Myoho Renge Kyo) adalah kuncinya. Ini adalah sutra untuk membuka pintu dari semua ajaran Kebijaksanaan dan mengungkapkan segala aspek Kebenaran dari semua kenyataan”. Dan juga dalam Surat “Membuka Mata” (Kaimoku Sho) dikatakan, “Myo berarti Penuh dengan Kurnia, yang mana semua berarti Kesempurnaan… ini seperti meletakkan setetes air dari samudra luas, yang mana setetes air telah mencakupi air dari semua sungai yang mengalir ke laut”. Myo juga dapat diartikan Membangunkan “Sifat Sejati atau Jiwa Buddha” yang ada dalam diri kita dan dapat membuat hal yang tidak mungkin menjadi mungkin.

enge berarti Pundarika (skt) atau Bunga Teratai. Pundarika melambangkan

kemurnian dan

kesadaran Buddha. Pundarika juga melambangkan Sebab Akibat yang berkesinambungan seperti Bunga Teratai yang mempunyai Bunga dan Biji dalam waktu yang bersamaan, begitu juga dengan segala perbuatan (karma) yang kita lakukan memberikan akibat pada saat yang sama (Inga Guci). Bunga Teratai berkembang di air yang kotor, namun bunganya tetap putih dan bersih. Ini berarti kita sebagai seorang Buddhis harus mampu menjadikan dirinya tetap bersih dan suci meskipun tinggal dalam lingkungan yang kotor. Kita harus mampu menjadi teladan dan panutan dalam masyarakat, melalui pelaksanaan ajaran Buddha dalam

M

kehidupan sehari-hari. yo berarti Sutra, yaitu catatan-catatan pembabaran ajaran Buddha Sakyamuni. Sutra-sutra ini dituliskan setelah kemoksaan Sang Buddha oleh para murid-muridnya, agar ajaran Buddha tidak terlupakan atau hilang oleh jaman.

amu “Myoho Renge Kyo” atau O’daimoku secara keseluruhan berarti bahwa mereka yang menerima secara sepenuh hati dan sungguh-sungguh dalam pelaksanaan Saddharma Pundarika Sutra, akan mampu menghidupkan kembali dirinya dan lepas dari segala penderitaan dalam kehidupan, membangkitkan Sifat Sejati dalam diri masing-masing, membentuk watak, prilaku dan jiwa yang bersih, kuat dan suci sehingga pada akhirnya akan membawa kita mencapai Jalan Penerangan Agung. O’daimoku adalah Buah Kebijaksanaan Yang Tertinggi dari Sang Buddha. Buddha Sakyamuni dan Nichiren Daishonin memberikan Pusaka Yang Tak Terhingga dan Selalu Dijaga Oleh Para Buddha ini kepada kita, manusia Masa Akhir Dharma, sebagai satu-satunya jalan yang mampu membawa kita mencapai Kesadaran Buddha. Sebutlah O’daimoku dengan hati yang bersih dan hati kepercayaan yang kuat, serta laksanakan dalam kehidupan kita sehari-hari, maka Racun berubah menjadi Obat, Penderitaan menjadi Kebahagiaan. Gassho.

R

N

K

(4)

Bimbingan Oleh:

YM.Bhiksuni Myosho Obata

(Bhiksuni Pembimbing Indonesia)

etelah kita menyebut Do jo ge, Aku akan menceritakan tentang Tiga Pusaka (San Ki E Mon):

"Kami berlindung kepada Buddha ! Bersama-sama dengan semua mahluk hidup, marilah kita mencapai Jalan Agung."

"Kami berlindung kepada Dharma! Bersama-sama dengan semua mahluk hidup, marilah kita memasuki Gudang Sutra dan membuat Kebijaksanaan dan Welas asih kita dalam dan luas seperti samudera."

"Kami berlindung kepada Sangha! Bersama-sama dengan semua mahluk hidup, marilah kita membimbing semua mahluk untuk mencapai Kebebasan dari semua rintangan dan penderitaan."

Buddhisme Selatan mengucapkan dalam bahasa Pali: Buddham saranam gacchami. Dhammam saranam gacchami. Sangham saranan-i gacchami. Dalam teks Hua Yi, kata-katanya diucapkan seperti ini: Na Mo Fo

Na Mo Fa Na Mo Seng

TRI RATNA

(SAN KI E MON)

Dalam Buddhisme, Tiga Pusaka ini adalah objek pemujaan yang paling utama. Terdapat Empat Kebajikan Buddhisme dalam Nichiren Shu:

o Menghargai kebaikan yang diberikan oleh orangtua, o Menghargai kebaikan yang

diterima dari seorang raja (Negara),

o Menghargai kebaikan yang diterima dari semua orang (Masyarakat),

o Menghargai kebaikan yang diterima dari Tiga Pusaka (Buddha, Dharma, dan Sangha).

Mengambil perlindungan kepada Tiga Pusaka adalah suatu hal yang sangat penting bagi semua orang yang menyebut dirinya seorang Buddhis. Dari poin inilah perwujudan sebagai seorang Buddhis dimulai. Tiga Pusaka itu adalah Buddha, Dharma, dan Sangha.

S

(5)

Seri Pelajaran Mahayana

DELAPAN RUAS JALAN KEMULIAAN

( BAGIAN. 1 )

Sang Buddha bersabda : “ Di antara semua jalan, maka `Delapan Ruas Jalan Kemuliaan‘ adalah yang terbaik. Di antara semua kesunyataan, maka `Empat Kesunyataan Mulia‘ adalah yang terbaik. Di antara semua keadaan, maka keadaan tanpa nafsu adalah yang terbaik; dan di antara semua makhluk hidup, maka orang yang `Melihat’ adalah yang terbaik.” (Dhammapada, 273).

eperti seorang dokter yang berpengalaman, Sang Buddha mengenali dulu penyakit penderitaan tersebut. Beliau kemudian mengidentifikasikan penyebabnya dan menentukan penyembuhannya. Untuk kemudian guna kepentingan umat manusia, Beliau meracik penemuannya tersebut dalam suatu rumusan yang sistimatis, dimana dapat dengan mudah diikuti oleh umat manusia guna melenyapkan penderitaan. Rumusan tersebut mencakup pengobatan fisik dan mental, dimana salah satunya disebut Delapan Ruas Jalan Kemuliaan.

Delapan Ruas Jalan Kemuliaan yang ditemukan oleh Sang Buddha adalah salah satu jalan untuk melenyapkan penderitaan dan menuju Nirvana. Jalan ini menghindari penyiksaan diri yang berlebihan yang mana dapat melemahkan intelektual seseorang dan pemanjaan diri berlebihan yang dapat menghambat kemajuan spiritual seseorang. Delapan Ruas Jalan Kemuliaan tersebut terdiri dari Pandangan Benar, Pikiran Benar, Perkataan Benar,

Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Usaha Benar, Kesadaran Benar dan Konsentrasi Benar.

1.

Pandangan Benar

andangan Benar merupakan pengetahuan mengenai Empat Kebenaran Mulia. Dengan kata lain berusaha memahami diri sendiri sebagaimana adanya. Kata kunci dalam paham Buddhisme adalah Pandangan Benar. Ajaran Sang Buddha pada umumnya adalah berdasarkan pengetahuan dan bukan berdasarkan suatu kepercayaan yang tidak beralasan.

Pandangan Benar sangat penting dan merupakan hal utama yang harus kita pelajari terlebih dahulu, sebelum mempelajari lebih lanjut Ajaran Sang Buddha. Seperti proses tahapan dalam sekolah, maka Pandangan Benar dapat disebut kelas SD, kemudian berlanjut

kepada Hukum Sebab Akibat yang dapat disebut SLTP, lalu pengertian Sunyata (Kekosongan) yang dapat digolongkan tahap lanjutan atas atau SLTA, kemudian baru pengembangan Prajna (Kebijaksanaan) yang dapat dikategorikan sebagai sarjana lengkap.

Terdapat tiga Pandangan Utama yang harus diperhatikan agar kita selalu berada dalam jalur Pandangan Benar, yaitu :

a. Pandangan benar terhadap karma dimana semua makhluk adalah pemilik karmanya sendiri, lahir dari karmanya sendiri, dan ahli waris karmanya sendiri.

b. Pandangan benar terhadap sepuluh persoalan, yaitu : • Kebajikan tinggi dalam berdana • Kebajikan dalam pemberian

yang banyak

• Kebajikan dalam pemberian yang sedikit

• Akibat dari perbuatan yang buruk dan baik

• Kebajikan perbuatan terhadap ibu

• Kebajikan perbuatan terhadap ayah

• Adanya makhluk yang lahir secara spontan

• Adanya dunia ini

• Adanya dunia dan alam kehidupan yang lain

• Adanya makhluk hidup yang melakukan latihan yang benar dan memiliki pencapaian yang benar yang dengan usahanya sendiri dalam berbagai kehidupan dan kemudian mengajarkan Kebenaran kepada makhluk lainnya.

S

(6)

c. Pandangan benar terhadap Empat Kebenaran Mulia.

Pandangan benar dalam kenyataan kehidupan modern saat ini juga mencakup mengenai berbagai pengetahuan yang semestinya kita sadari, sehingga dapat membuka wawasan kita terhadap berbagai hal yang terjadi di sekeliling kita.

Katak Dalam Sumur

Ada seekor katak yang seumur hidup tinggal di suatu sumur. Katak tersebut sangat menyenangi kehidupannya di lingkungan sumur tersebut. Kalau siang hari yang panas dia berendam di kedalaman sumur, dan di malam hari dia loncat ke luar sumur, bermain di sekeliling pinggiran sumur. Sampai suatu hari datanglah seekor kura-kura dari lautan. Katak tersebut dengan bangganya menceritakan bagaimana senangnya dia menjalani kehidupannya di dalam sumur, dan menawarkan kura-kura tersebut untuk tinggal di dalamnya.

Kura-kura yang melihat kecilnya sumur tersebut tentu saja menolak, dan mengatakan bahwa dia senang tinggal di luar sumur, karena dapat menyelami berbagai lautan dengan berbagai corak kehidupannya. Sang kura-kura menceritakan berbagai hal-hal menarik di luar sumur yang belum pernah dialami oleh sang katak. Namun semua cerita kura-kura tersebut dianggap sebagai dongeng yang tidak masuk akal saja. Sehingga sang katak tidak peduli akan kehidupan di luar sumur, dan tetap memilih tinggal di sumur kecil kebanggaannya.

Demikian juga sering terjadi dalam kehidupan ini yang tanpa disadari telah menarik garis-garis pemisah yang menciptakan kotak yang menutup diri kita sendiri.

Memang kehidupan sang katak akan menyenangkan buat katak itu sendiri, tetapi dengan menceritakan kebahagiaan hidup di sumur kepada seekor kura-kura yang biasa hidup di lautan luas, akanlah tidak ada artinya. Demikian juga sebaliknya bagi seekor kura-kura yang menikmati kebahagian hidup di laut, menceritakan kehidupan tersebut kepada seekor katak di sumur juga sia-sia adanya. Kita sering terkotak oleh pengetahuan terbatas yang kita yakini. Buddha Dharma tidaklah terbatas, sebagaimana dicontohkan oleh Sang Buddha dengan segenggam daun ditanganNya dibandingkan dengan daun-daun yang ada di seluruh hutan. Bagaimana dapat melampaui pengetahuan yang tertulis, itulah yang penting untuk kita raih dalam kehidupan kali ini. Tentunya dengan suatu Pandangan Benar, maka segala pengetahuan akan dapat kita alami juga pada akhirnya.

2.

Pikiran Benar

ikiran Benar dapat dibagi atas tiga ruas pengertian, yaitu : 1. Pikiran yang tanpa keserakahan [lobha], kebencian [dosa] dan kebodohan batin [moha] ; 2.Pikiran yang berisi cinta kasih [metta] ; 3.Pikiran yang berisi kasih sayang [karuna]

Keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin adalah halangan utama atau tiga racun dunia bagi kita dalam menuju Pencerahan. Kita harus senantiasa berusaha untuk memelihara pikiran benar, agar bisa mengatasi tiga racun dunia tersebut, sehingga memasuki Jalan KeBuddhaan.

Pikiran merupakan hal yang sangat mempengaruhi dalam usaha kita memperoleh Pencerahan. Pikiran yang tidak dapat diatasi akan merupakan halangan sehingga dapat menimbulkan sifat kebencian kepada orang lain tanpa ada dasar sama

sekali.

Bhiksu Menggendong Wanita Cantik

Dalam perjalanan menuju kembali ke vihara, seorang Bhiksu tua bersama muridnya seorang bhiksu muda tiba di tepian sungai yang deras. Pada saat itu seorang wanita muda cantik dengan pakaian jaman dulu (panjang sampai ke tumit) berdiri kebingungan di tepian sungai. Melihat Bhiksu tua dan bhiksu muda yang bermaksud menyeberang tersebut, maka wanita muda ini meminta tolong untuk diseberangkan. Dengan spontan Bhiksu tua menawarkan kesediaannya untuk membantu, dan secara sigap mengendong wanita muda tersebut ke seberang. Bhiksu muda yang ikut menyeberang hanya bisa terpelongo menyaksikan pemandangan tersebut yang menurut pikiran dia sangatlah tidak pantas dilakukan oleh gurunya.

Namun sebagai seorang murid yang setia, maka bhiksu muda ini mengurungkan niatnya untuk menegur gurunya. Setelah tiga malam tidak bisa tidur karena selalu memikirkan tingkah laku gurunya tersebut, dimana sampai timbul kebencian yang sangat besar terhadap gurunya. Maka akhirnya bhiksu muda ini memutuskan untuk bertanya kepada gurunya, dimana apabila tidak diperoleh jawaban yang memuaskan maka dia akan berhenti menjadi muridnya.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan mata yang masih kuyuh, bhiksu muda tersebut menemui gurunya yang sedang duduk minum teh. Bhiksu tua agak kaget juga melihat kemunculan muridnya yang tidak biasanya tersebut. Sesampainya bhiksu muda ini, langsung dia menanyakan, “Guru, ini ada pikiran yang menganggu saya dan sampai saat ini masih belum dapat saya peroleh

(7)

jawabannya. Untuk itu harap guru mau memberikan penjelasan. Kenapa guru tiga hari yang lalu menggendong wanita muda cantik menyeberang sungai tanpa merasa risih, padahal itukan tidak sopan sama sekali?”

Bhiksu tua tersebut sempat bingung dan tidak mengerti apa yang dimaksud karena kejadian tersebut sudah tidak diingatnya lagi. Setelah dijelaskan lebih detail, dan sesudah Bhiksu tua mengerti duduk persoalannya, maka diapun tertawa sambil berkata, “Ha...ha...ha..., muridku yang malang, guru hanyalah mengendongnya untuk membantu dia menyeberangi sungai yang deras tersebut , tetapi Anda sungguh malang sekali, malah mengendongnya dari tiga hari yang lalu sampai sekarang!”

Buddha berarti Telah Mencapai Tempatnya dan Kebuddhaan adalah tujuan dari semua Buddhisme. Buddha Sakyamuni, pendiri dari Buddhisme, adalah manusia pertama dalam sejarah yang telah mencapai tingkatan ini. Berdasarkan inilah, semua Buddhis diseluruh dunia mengambil perlindungan dalam Buddha. Kemudian, dalam Buddhisme Mahayana, banyak terdapat Buddha-buddha lain selain Buddha Sakyamuni bermunculan. Sebagai contoh Buddha lain seperti Buddha Amitabha dan Buddha Obat – Bhaisajyaraja (Yakushi) Buddha, semua mulai bermunculan sebagai objek pemujaan.

Dan Dharma adalah salah satu dari Tiga Pusaka, Ini merupakan kumpulan tulisan (sutra) yang dikelompokkan secara bersama-sama dan disebut Tri-Pitaka (San Zou), Tiga Keranjang atau kumpulan. Diantara mereka, terdapat Sutra (Kyo) dan Vinaya (Aturan,Ritsu) semua adalah ajaran dan pembabaran yang disampaikan oleh Buddha Sakyamuni. Komentar dan penjelasan Sutra dan Vinaya (Ron), bagian ketiga dari tulisan, dibuat oleh para sarjana atau bhiksu-bhiksuni yang mempunyai kebajikan tinggi pada masa lampau.

Terakhir, Sangha adalah terdiri dari empat macam pengikut yakni Para Bhiksu, Bhiksuni, Upasaka dan Upasika. Ini termasuk semua orang yang percaya ajaran yang disebut Buddhisme dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kemudian ini juga termasuk seluruh Buddhis. Dan Nichiren Daishonin menulis dalam Itai Doshinji, semua hal adalah mungkin, jika semua bersatu dalam satu semangat. Tidak ada sesuatu apapun yang dapat dicapai

jika tidak bersatu.

Jika semua orang bersatu dalam satu pikiran dan tujuan meskipun berbeda badan. Mereka akan mencapai tujuan mereka. Bagaimanapun, jika mereka menjadi satu badan tetapi mempunyai pikiran yang berbeda, mereka akan tidak mampu untuk mencapai apa yang luar biasa. Nichiren Daishonin mengingatkan kita agar disatukan tujuan kita semua maka kita akan mencapai tujuan dari kita semua para pelaksana Saddharma Pundarika Sutra. Kata-kata Itai Doshin, berarti satu tujuan tetapi berbeda badan, sering digunakan untuk menguraikan tentang kesatuan didalam Sangha. Lagipula, Nichiren Daishonin berkata dalam Issho Jobutsu Sho, ‘Ketika kamu membersihkan sebuah cermin berdebu, maka akan bersinar seperti sebuah permata. Pikiran yang sesat dan belum dewasa adalah seperti sebuah cermin yang berdebu. Ketika kamu membersihkan pikiran berdebumu, ia akan menjadi sebuah cermin yang mencerminkan kebenaran yang sejati itu.' Taruhlah hati kepercayaanmu didalam Tiga Pusaka atau Tri Ratna (Buddha, Dharma dan Sangha) dan biarkanlah pikiranmu berkilau siang dan malam. Bagaimana cara agar kamu bisa bersinar ? Cukup hanya sebut, Namu Myoho Renge Kyo. Gassho.

Sambungan dari Hal. 4

(8)

Buku "Writing Of Nichiren Shonin" Doctrine 2

Edited by George Tanabe.Jr, Compiled by Kyotsu Hori

Terbitan : Nichiren Shu Overseas Propagation Promotion Association, Tokyo - Japan Diterjemahkan oleh Sidin Ekaputra,SE

Pengenalan

urat ini ditulis untuk Tuan

Toki, pada tahun Kenji

Ke-4 (1278) di Gunung

Minobu. Surat aslinya

masih tersimpan dengan baik di

Kuil Hokekyoji di Nakayama,

Propinsi Chiba (Baca tentang

Kuil ini pada Buletin Edisi Maret

2005). Ini merupakan surat

balasan untuk menyatakan rasa

terima kasih kepada Tuan Toki

atas sumbangannya dalam rangka

peringatan kematian ibunya. Surat

ini juga mendiskusikan sebuah

konsep Buddhisme yang penting.

Ajaran Saddharma Pundarika Sutra

mencakup dua jenis pelaksanaan,

yang terdiri atas 'Bibit Jurui'

dan 'Bibit Sotai' untuk mencapai

KeBuddhaan. Surat ini secara

jelas menyatakan bahwa apa

yang kita ketahui sebagai hawa

nafsu, karma, dan penderitaan

SHIMON BUTSUJO-GI

Hal. 245

dari ajaran sebelum Saddharma

Pundarika Sutra, termasuk paruh

awal dari Saddharma Pundarika

Sutra, dapat berubah ke dalam

Tiga Kebajikan: Badan Dharma,

Kebijaksanaan dan Kesadaran.

Konsep ini hanya dapat kita

temukan dalam Saddharma

Pundarika Sutra, kata Nichiren

Shonin, dan melalui hal inilah

kita dapat mencapai KeBuddhaan

dengan badan kita saat sekarang.

MAKNA AJARAN

BUDDHAYANA YANG

PERTAMA KALI DIDENGAR

ang 7 ikat telah kami

terima disini, Propinsi

Kai yang dikirimkan dari

Propinsi Shimofusa. Kita

menerima ini sebagai persembahan

untuk peringatan tiga tahun

kematian ibumu tercinta.

Pertanyaan: Pada bagian

awal dari Maka Shikan, Maha

Guru Chang-an memuji dengan

berkata, “Kita tidak pernah

mendengar tentang ajaran

yang disebut Kedamaian dan

Perenungan Maka Shikan.” Apa

arti dari pernyataan ini?

Jawab: ini merupakan

pujian kepada meditasi Sempurna

dan Seketika, salah satu dari tiga

konsep meditasi dari Maha Guru

T’ien-t’ai: Bertahap, Dapat

Berubah, dan Sempurna dan

Seketika.

Pertanyaan:

Apa

itu meditasi Sempurna dan

Seketika?

Jawab: Ini adalah nama

lain dari meditasi Saddharma

Pundarika

Pertanyaan: Apakah itu

Meditasi Saddharma Pundarika?

Jawab: Berdasarkan pada

pelaksanaan dalam Saddharma

Pundarika Sutra, bagi orang biasa

dan mereka yang belum

mencapai Pencerahan

pada masa akhir dharma

ini, terdapat dua ajaran

yakni “Bibit Jurui”

(Konsep Membuka dan

Sejenis) dan “Bibit

Sotai” (Membuka dan

S

(9)

Lain Jenis) yang akan

membimbing mereka

masuk dalam Kendaraan

Buddha (Buddhayana).

P e r t a n y a a n :

Apakah dasar dari makna

ini ?

Jawab: Berdasarkan

Saddharma Pundarika Sutra Bab.V

“Perumpamaan Tanaman Obat”

terdapat empat aksara yakni Shu

(Bibit), So (Wajah), Tai (Badan)

dan Sho (Sifat). "Bibit Jurui"

dan "Bibit Sotai" didasarkan

pada aksara pertama dari Empat

Aksara tersebut; Shu (Bibit),

Bibit Kebuddhaan. Dalam Hokke

Gengi menyatakan bahwa "Bibit

Jurui", adalah: “Segala sesuatu

yang memiliki jiwa mempunyai

Bibit KeBuddhaan. Jika dengan

sepenuh hati mendengar

meskipun sebait atau sepatah

kalimat dari Sutra, maka segera

akan menyadari bahwa semuanya

mempunyai Bibit KeBuddhaan.

Sekiranya seseorang dengan

tangan anjali dan memuja serta

berdoa kepada Buddha, maka

orang ini akan segera menuju

arah KeBuddhaan.” "Bibit Sotai"

berarti: "membuka dan merubah

Tiga Jalan Iblis dari Hawa Nafsu,

Karma Buruk, dan Penderitaan

ke jalan Tiga Kebajikan; Hosshin

(Badan Dharma), Hannya

(Kebijaksanaan) dan Gedatsu

(Kesadaran) seketika."

Kedua konsep ini, "Bibit

Jurui" didasarkan pada Saddharma

Pundarika Sutra, meskipun

beberapa aspek masih berkaitan

dengan berbagai sutra-sutra

sebelum Saddharma Pundarika

Sutra. Maha Guru Miao-le

menjelaskan dalam Hokke Mongu

bahwa, “Ajaran khusus hanya

mempunyai Bibit Jurui tidak ada

Bibit Sotai.” Ajaran khusus dalam

penjelasan ini, tidak mengacu pada

pengertian umum yang didasarkan

pada Empat Ajaran, Zo (Tripitaka),

Tsu (Umum), Betsu (Khusus), dan

En (Sempurna), tetapi melainkan

mengacu pada pengajaran

sempurna yang sudah ada sebelum

Saddharma Pundarika Sutra atau

pengajaran sempurna yang diajar

oleh guru-guru lain selain Maha

Guru T’ien-t’ai. Meskipun dalam

bagian teori atau bagian pertama

dari Saddharma Pundarika

Sutra, Bab II “Kebijaksanaan”

menyebutkan membuka dan

menemukan Bibit Jurui dari

manusia dan mahluk surgawi.

Ajaran ini dimulai dengan kalimat,

“Orang yang menyumbang

dan menghormati relik dari

Sang Buddha.”, diikuti oleh 20

atau lebih baris kalimat yang

menyatakan bahwa bahkan sebuah

kebajikan kecil sekalipun akan

mendorong kearah Penerangan

untu membuka dan menemukan

Bibit Jurui.

Pertanyaan: Bagaimana

dengan membuka dan menemukan

Bibit Sotai ?

Jawab : Dalam Maka

Shikan dikatakan: “Apa

yang dimaksud dengan telah

mendengarkan ajaran sempurna?

Ini berarti Badan Sementara ini

langsung berubah menjadi Badan

Kekal “Badan Dharma”, Hawa

Nafsu langsung berubah menjadi

Kebijaksanaan Tak Terbatas, dan

Karma Buruk langsung menjadi

Kesadaran. Kelihatannya terdiri

atas tiga nama, tetapi hanya satu

badan. Singkatnya, Tiga Aspek

tersebut menjadi satu peristiwa.

Dalam kenyataannya, sejak ke tiga

konsep ini menjadi satu kesatuan,

tidak terdapat perbedaan diantara

mereka. Jika Badan Dharma ini

menjadi wujud sebenarnya, maka

Kebijaksanaan dan Kesadaran

juga akan mengikutinya. Jika

Kebijaksanaan menjadi suci dan

bersih, maka akan diikuti oleh

Badan Dharma dan Kesadaran.

Jika ketika Kesadaran menjadi

Bebas, maka dapat disimpulkan

bahwa Badan Dharma dan

Kebijaksanaan juga demikian.

Dalam hal ini, kesatuan ini tidak

hanya antara Tiga Badan dan Tiga

Jalan Iblis, tetapi juga mencakupi

seluruh gejala dan penomena

yang ada. Oleh karena itu, seluruh

fenomena saling berhubungan

dengan Buddha Dharma, tidak ada

sesuatu pun yang kurang. Hal ini

yang dinamakan telah mendengar

ajaran sempurna.” Keterangan ini

memberikan panduan kita tentang

membuka dan menemukan Bibit

Sotai.

Pertanyaan: Apakah

maksudnya ?

Jawab : Kutipan diatas dari

Maka Shikan yang menyatakan

bahwa “Hidup dan Mati” mengacu

pada Pikiran dan Badan kita, yang

mana menyebabkan penderitaan

sebagai hasil dari karma masa

lampau kita---secara terperinci

(10)

digambarkan dalam Lima Unsur,

Dua Belas Perasaan (Enam Panca

Indera dan Aspek) dan Delapan

Belas “Dunia” (Enam Panca

Indera dan Enam Aspek ditambah

Enam Kesadaran). “Hawa Nafsu”

dapat dikategorikan sebagai “Tiga

Ilusi / Kesesatan”: Kesesatan dari

pandangan dan pikiran, Kesesatan

yang bagaikan butir-butir pasir,

dan Kesesatan kegelapan dasar

pokok jiwa. “Karma Buruk”

mengacu pada berbagai macam

karma buruk seperti Lima Dosa

Besar, Sepuluh Keburukan dan

Empat Dosa Utama. Badan

Dharma berarti mengacu pada

Badan Buddha (Dharmakaya),

Kebijaksanaan Tak Terbatas

berarti Badan Kebajikan Buddha

(Sambhogakaya), dan Kesadaran

mengacu pada Badan Kesadaran

dari Buddha (Nirmanakaya). Sejak

masa lampau yang tak terbatas,

kita telah terhubung dengan

Tiga Jalan Sesat: Hawa Nafsu,

Karma Buruk, dan Penderitaan.

Beruntung, sebab kita telah

bertemu dengan Saddharma

Pundarika Sutra, kita dipastikan

dapat merubah kesesatan dari

Tiga Jalan Sesat tersebut menjadi

Tiga Kebajikan; Badan Dharma,

Kebijaksanaan, dan Kesadaran.

Pertanyaan: Hal ini

sukar dimengerti, ini bagaikan

mengeluarkan air dari kobaran

api, atau dari dalam batu tumbuh

bunga yang indah. Sudah menjadi

hal yang umum dalam Buddhisme,

bahwa sebuah akibat buruk akan

timbul dari sebuah sebab buruk;

sebagaimana sebuah barang yang

bagus dihasilkan dari bahan yang

bagus pula. Meskipun demikian,

jika kita melihat dari mana kita

berasal, secara jelas bahwa kita

lahir dari percampuran dua tetes

merah dan putih, sel telur dan

sperma ibu ayah kita. Ini dapat

dikatakan akar keburukan tidak

dapat menghasilkan sebuah

hal yang suci. Meskipun kita

membersihkan diri dengan air dari

samudera, tetap tidak akan bersih

dan suci. Ketika kita melihat

pikiran dan badan kita---bahwa

akar pokok semua

penderitaan---kita dapat dikatakan semua itu

didasarkan pada Tiga Racun:

Keserakahan, Kemarahan dan

Kebodohan. Dengan kedua jalan

ini, Hawa Nafsu dan Tiga Racun

menghasilkan berbagai macam

karma buruk, Jalan Karma ini

menyebabkan kita terikat pada

penderitaan Triloka dan Enam

Dunia Buruk (Enam Dunia

terendah dari Sepuluh Tingkat

Dunia). Ini bagaikan seekor

burung yang terperangkap dalam

kurungan. Bagaimana mungkin ke

Tiga Jalan, Hawa Nafsu, Karma

Buruk, dan Penderitaan dapat

berubah menjadi Tiga Kebajikan;

Badan Dharma, Kebijaksanaan dan

Kesadaran dari Badan Buddha? Ini

seperti mengumpulkan kotoran

tinja untuk dibuat seperti kayu

cendana, bagaimana mungkin

mengharapkan dapat

mengeluarkan keharuman

cendana darinya.

J a w a b :

Pertanyaanmu ini adalah

hal yang wajar. Sangat

sulit bagi saya untuk dapat

menjawab secara memuaskan.

Namun Bodhisattva Nagarjuna,

pewaris ke-13 ajaran Sang

Buddha, sebagaimana Maha Guru

T’ien-t’ai yang dihormati sebagai

pendiri ajaran, menyatakan satu

aksara “Myo” dalam

Daichido-ron: “Ini sama seperti seorang

dokter terkenal dan alih yang

meramu racun menjadi obat.”

Apa yang dimaksud dengan

“Racun” disini? Hal ini mengacu

pada Tiga Jalan, itu adalah

Hawa Nafsu, Karma Buruk dan

Penderitaan kita. Kemudian apa

yang dimaksud dengan “Obat”?

Ini tidak lain berarti merubah

Tiga Jalan Sesat menjadi Tiga

Kebajikan. Maha Guru T’ien-t’ai

dalam Hokke Gengi dikatakan:

“Myo” dari Myoho Renge Kyo

berarti 'Gaib.” Dan dalam Maka

Shikan, Beliau menyatakan:

“Sekejap pikiran mengandung

sepuluh dunia, semua tidak kurang

dari 3.000 gejala keberadaan

terkandung dalam sekejap pikiran,

merupakan suatu hal yang mustahil

memisahkan sekejap pikiran dari

segala hal yang ada. Hubungan

ini sangat sulit untuk dijelaskan

dengan kata-kata, seperti

“Pikiran” yang jatuh dalam dunia

yang tidak dapat dimengerti.”

Mencapai KeBuddhaan dengan

Badan Apa adanya sangat sulit

dilukiskan. Sekarang, sekte

Kegon dan Shingon telah mencuri

konsep yang dibabarkan dalam

Saddharma Pundarika Sutra dan

(11)

menjadikan hal itu milik mereka

sendiri. Mereka para pencuri yang

ulung dan tersohor didunia ini.

Pertanyaan: Apakah

mungkin bagi kita, umat awam

pada masa akhir dharma ini, untuk

menerima ajaran yang sulit ini ?

Jawab: Kelihatannya

kamu tidak begitu yakin dengan

apa yang telah aku katakan, maka

ijinkan aku mengutip kalimat

dari Daichido-ron Nagarjuna jilid

93: “Berbeda dengan pendapat

umum bahwa seorang Arahat

yang telah mampu mengendalikan

semua hawa nafsunya tidak dapat

mencapai KeBuddhaan, namun

dalam kenyataannya dapat

mencapai KeBuddhaan, semua

ini hanya diketahui oleh Buddha.

Hal ini menjadi bahan diskusi bagi

para sarjana Buddhis; namun, ini

semua tidak akan dapat dibuktikan

hanya melalui sebuah polemik

dan perdebatan. Diskusi tanpa

hasil sepert ini tidak diperlukan.

Kenyataan ini akan menjadi

terbukti dengan sendirinya ketika

seseorang mencapai KeBuddhaan.

Mereka yang belum mencapai

Jalan Penerangan tidak perlu

berdebat perihal apakah seseorang

itu telah mencapai KeBuddhaan

atau tidak dan hanya percaya

saja.” Ini berarti pengertian

yang mendalam dari Saddharma

Pundarika Sutra (Konsep Bibit

Sotai dan segera mencapai

Jalan KeBuddhaan) sangat sulit

dimengerti bahkan oleh para

Bodhisattva sebelum Saddharma

Pundarika Sutra; mereka

yang percaya akan ajaran

khusus untuk mengatur

dan membersihkan diri

mereka dari Sebelas

Bentuk Ketidak-tahuan;

dan demikian juga para Maha

Bodhisattva dari ajaran sempurna

seperti Samantabhadra dan

Manjusri; yang terkenal telah

membebaskan diri mereka dari

Empat Puluh Satu Ketidak-tahuan.

Tidak perlu dilanjutkan lagi, hal ini

sangat membingungkan dan tidak

dimengerti oleh ke Tiga Kendaraan

(Sravaka, Pratyekabuddha,

dan Bodhisattva), mereka yang

mengikatkan diri pada ajaran

yang bersifat sementara seperti

Hinayana dan Vaipulya, atau untuk

mereka yang belum mencapai

penerangan pada masa akhir

dharma. Ini adalah pernyataan

dari Nagarjuna.

Berdasarkan

pada

Daichido-ron, kita diingatkan

kepada

kutipan

kalimat

yang terdapat dalam Bab.II

“Kebijaksanaan” Saddharma

Pundarika Sutra yang berbunyi:

“Hanya antara Buddha dan

Buddha saja yang dapat

mengerti.” Kutipan kalimat ini

merupakan jalan keluar bagi

Ke-dua Kendaraan (Sravaka

dan Pratyekabuddha), mereka

yang berpikir berdasarkan ajaran

sebelum Saddharma Pundarika

Sutra, harus mengalahkan

kesesatan yang timbul dari

pikiran dan pandangan yang

salah, menghancurkan sifat

keras, dan memusnahkan badan

dan kesadaran, dan akan dapat

memasuki Jalan Penerangan

karena kebajikan dari Saddharma

Pundarika Sutra, yang mana

dapat merubah Tiga Jalan Iblis;

(Hawa Nafsu), Karma Buruk

dan Penderitaan dengan seketika

menjadi Tiga Kebajikan; Badan

Dharma, Kebijaksanaan dan

Kesadaran. Dengan demikian

maka Kesadaran dapat dicapai

oleh Ke-Dua Kendaraan tersebut.

Hal ini menyebabkan baik bagi

Bodhisattva maupun manusia biasa

dapat mencapai Jalan Penerangan.

Maha Guru T’ien-t’ai dalam

Hokke Gengi dikatakan: “Ketika

seseorang yang berada dalam Jalan

Ke-Dua Kendaraan (Dwiyana)

mencapai sebuah tingkat kondisi

mental yang buruk dan phisik

yang kelelahan karena segala

keinginan, yang disebut sebagai

“Racun”, telah dapat dipadamkan,

kemudian dengan memasuki

Penerangan yang didasarkan

pada Saddharma Pundarika

Sutra, maka “Racun” tersebut

akan dirubah menjadi “Obat”. Ini

adalah kesimpulan dari Nagarjuna.

Nagarjuna “Daichido-ron”

juga menyatakan,”Saddharma

Pundarika Sutra merupakan

ajaran

rahasia

yang

sesungguhnya; ajaran-ajaran

lain selain sutra ini bukanlah

ajaran rahasia.”

Pertanyaan: Apakah

kebajikan yang ada, untuk kita

yang tidak berpendidikan ini,

mendengarkan pembabaran ajaran

penting ini ?

Jawab: Dengan ini, kita

baru dapat dikatakan telah

benar-benar mendengarkan Saddharma

(12)

Pundarika Sutra untuk pertama

kalinya. Maha Guru Miao-le

menyatakan dalam “Makashikan

fugyo-den guketsu”: “Jika percaya

bahwa Tiga Jalan Iblis dapat

menjadi Tiga Kebajikan, kemudian

dengan ini menyebabkan kita

dapat menyeberangi sungai

antara hidup dan mati; manusia

yang tersesat dalam kelahiran

dan para Bodhisattva yang

berusaha membebaskan diri

mereka dari segala ilusi, apalagi

kelahiran dalam Triloka dan

Enam Dunia Rendah. Ketika kita,

manusia yang belum mencapai

Pencerahan pada masa akhir

dharma ini, mendengarkan

ajaran ini, kita tidak hanya dapat

memperoleh Penerangan Agung,

tetapi kedua orangtua kita juga

mendapatkan kebajikan yang

sama. Tanpa diragukan lagi, ini

sungguh sebuah balas budi yang

utama. Maafkan Aku, karena

tidak dapat menjelaskan secara

terperinci, karena Aku sedang

kurang sehat, tetapi Aku berharap

akan membahas hal ini lagi pada

kesempatan lain.

Tanggal 28 Bulan kedua Tahun

Kenji Ke-4

Kepada Tuan Toki

Nichiren (Tanda tangan)

Buku "A Collection of Nichiren's Wisdom"

Volume 1 Nichiren Shonin Goibun

Terbitan : Nichiren Buddhist International Center Diterjemahkan oleh : Sidin Ekaputra,SE

Air mata Untuk Sutra

(Air Mata Madu)

Air mata mengalir jatuh ketika saya memikirkan kesulitan-kesulitan

besar yg harus saya jalani hari ini, tapi saya tidak bisa menghentikan air

mata bahagia ketika saya membayangkan mencapai Kesadaran Buddha

dimasa mendatang. Burung dan serangga menangis tanpa menjatuhkan

air mata. Nichiren tidak menangis namun air matanya terus mengalir.

Beliau mengalirkan airmata bukan untuk hal-hal duniawi, namun semata

hanyalah demi Saddharma Pundarika Sutra. Oleh karena itu ini dapat

dikatakan sebagai air mata madu.

Goibun "Shoho Jisso Sho"

Kenyataan Dari Semua Hal.

(Latar Belakang: 17 Mei, 1273, di Pulau Sado, Showa Teihon,

Hal.728)

Permata Yang Tak Terhingga Jumlahnya.

(Harta Karun)

Walaupun Saddharma Pundarika Sutra terdiri dari hanya delapan bagian, namun sutra ini sama

nilainya dengan membaca 16 bagian, karena sutra ini adalah ajaran yang disebarkan oleh Buddha

Sakyamuni dan Buddha Taho. Ke-enam belas bagian ini juga sama nilainya dengan bagian-bagian

yg tak terhingga jumlahnya karena para Buddha diseluruh alam semesta mengakuinya kebenarannya.

Dalam kata lain, satu huruf dari Saddharma Pundarika Sutra sama berharganya dengan 2 huruf,

karena Buddha Sakyamuni dan Buddha Taho mengakui kebenarannya; nilai dari satu huruf ini

sama dengan nilai huruf yg tak terhitung jumlahnya karena banyak Buddha dari seluruh penjuru

alam semesta mengakui kebenarannya. Sama seperti harta karun yg didapat dari permata ajaib

pengabul keinginan, yang nilainya sama dengan harta-harta karun yg didapat dari permata-permata

yg tak terhingga jumlahnya, karunia dari satu huruf Saddharma Pundarika Sutra adalah sama

berharganya dengan huruf-huruf yg tak terhingga jumlahnya.

Goibun "Nichimyo Shonin "

Surat untuk Nichimyo Shonin

(13)

ebelum Nichiren Daishonin meninggal, ketika Ia berusia 61 tahun, Beliau menetapkan Enam Murid Utama untuk meneruskan usahaNya dalam menyebarluaskan ajaran Nichiren. Hal itu ditetapkan pada Tanggal 8 Oktober 1282, ketika beristirahat di kediaman Ikegami Munenaka dan Munenaga, lima hari sebelum Beliau meninggal. Ke-Enam Murid Utama ini adalah: Nissho, Nichiro, Nikko, Niko, Nitcho and Nichiji. Semasa Nichiren Daishonin masih hidup, pemerintah Shogun mendukung para anggota dan pengikut dari berbagai sekte di Kamakura dan khususnya dari pengikut Tanah Suci, untuk mencegah dan menghentikan penyebaran ajaran Nichiren. Keinginan Nichiren Daishonin untuk mengembalikan ajaran Buddha yang sesungguhnya di Jepang mendapat tantangan yang keras. Ia menyebarkan hati kepercayaan terhadap Guru Buddhism yang sesungguhnya, Buddha Sakyamuni dan ajaran Penerangan Beliau, Saddharma Pundarika Sutra. Sebagai akibatnya Ia menghadapi banyak penganiayaan baik terhadap diriNya, murid-murid and pengikutNya. Sekian banyak usaha itu termasuk upaya pembunuhan terhadap Nichiren Daishonin seperti peristiwa di Komatsubara, Matsubagayatsu, dan Ryuko (Tatsunokuchi).

Dua kali Ia dihukum pembuangan, meskipun demikian Ia bisa selamat dari segala penganiayaan terhadap dirinya. Pertama, Ia dibuang

CERITA TENTANG

NICHIJI SHONIN

(Salah Satu Dari Enam Murid Utama Nichiren Daishonin)

Oleh:YM.Bhiksu. Shoryo Tarabini

ke semenanjung Izu dan kemudian ke Pulau Sado, yang sangat dingin dan dipenuhi orang-orang jahat, sehingga sangat sedikit orang yang dapat selamat dari hukuman pembuangan itu. Selama penganiayaan yang diterimanya, bukan hanya Nichiren Daishonin yang mendapat tekanan dari pemerintah dan sekte lain,namun juga dialami oleh murid-muridnya. Banyak murid yang tidak tahan terhadap tekanan yang dialami, ada yang dipenjara, kehilangan tanah milik, dicaci maki, dihina dan diasingkan dalam masyarakat. Beberapa ada yang mendapatkan hukuman pembuangan, dan ada juga yang dihukum mati. Bahkan setelah kematian Nichiren Daishonin, pemerintah tetap saja memberikan tekanan dan penganiayaan terhadap murid-muridnya. Namun dibawah bimbingan dari Enam Murid Utama, semua dapat menjaga dan mempertahankan hati kepercayaan terhadap Myoho Renge Kyo. Nissho Shonin memusatkan perhatian penyebarannya di Kamakura dan mendirikan Kuil Myohokke-ji. Nichiro Shonin memusatkan perhatian di daerah Kamakura juga dan mendirikan Kuil Myohoji dan juga diseluruh daerah Kanto (Sekarang Tokyo), yang terpusat pada Ikegami Honmonji, dimana tempat Nichiren Daishonin meninggal dunia. Nikko Shonin melakukan penyebaran di daerah Fuji, mendirikan Kitayama Honmonji dan Taiseikiji. Niko Shonin menyebarkan Nichiren Buddhisme di Propinsi Kazusa, dan kemudian

S

menjaga Kuil Kuon-ji di Gunung Minobu, namun pada akhirnya kembali ke kampung halamannya di Mobara.

Nitcho Shonin menjadi kepala bhiksu di Kuil Guhoji Mama di Chiba, setelah Toki Jonin merubah Kuil Tendai itu menjadi Kuil Nichiren Shu. Ia kemudian membantu Nikko Shonin di biara Omosu, di Kuil Kitayama Honmonji selama beberapa tahun. Banyak pengikut awam utama dari Nichiren Daishonin, yang kemudian meletakkan hati kepercayaan yang mendalam dan menjadi bhiksu Nichiren seperti Toki Jonin yang kemudian dikenal sebagai Nichijo Shonin, Soya Kyoshin (Soya Nyudo, atau Horen Nichirai), Bhiksuni Myoho-ama, Tuan Nambu (Hakii

(14)

menjadi murid langsung Nichiren Daishonin. Nichiji mempunyai murid-murid antara lain Daifu-bo Nikkyo dari keluarga Matsuno dan Jibu-bo Kenshu Nichi’I dari kuil Shijuku-in di Jissoji sebagaimana halnya Matsuno Jiro Saburo. Kuil Shijuku-in dalam komplek Jissoji dengan Nikko, Nichiji, para pengikut dan murid Nichiji, sebagaimana murid lainnya seperti Nichigen, menjadi pusat untuk penyebarluasan hati kepercayaan kepada Saddharma Pundarika Sutra didaerah tersebut. Nichigen kemudian menjadi Kepala pembelajaran di Kuil Shijuku-in. Kuil Jissoji adalah sebuah kuil yang sering dikunjungi oleh Nichiren Daishonin dalam tahap pembelajaran dan penyelesaian tulisannya yang terkenal sebagai Rissho Ankoku-ron (Risalah Menciptakan kedamaian dan ketenteraman negara melalui penegakkan ajaran Buddha yang sebenarnya). Kemudian hari secara keseluruhan komplek kuil Jisso-ji beralih kepada Nichiren Shu.

Nichiji Shonin dengan rajin melayani Nichiren Daishonin selama bertahun-tahun. Tidak hanya menemani Nichiren Daishonin pada tahun-tahun akhir di Gunung Minobu, tetapi Ia juga tinggal dan melayani ketika saat-saat tersulit dalam hidup guruNya, Nichiren. Ketika beberapa ratus prajurit datang ketempat kediaman Nichiren Daishonin di Matsubagayatsu di daerah Kamakura, mereka menangkap Nichiren Daishonin dan kemudian ingin memenggal kepalanya di Tatsunokuchi, para murid lainnya juga ditangkap. Nichiro Shonin dan empat orang murid lainnya seketika juga dipenjarakan. Nichiji Shonin tetap setia menjaga dan melayani Nichiren Daishonin, ketika hari-hari paling gelap dalam kehidupan Nichiren Daishonin...

Sanenaga, pendukung dana dari Kuil Kuonji di Gunung Minobu, kemudian merubah namanya menjadi Nichi’en Shonin), Shijo Kingo (Genshuiun Nichirai Shonin), dan juga bhiksuni seperti Endo Tamemori (Abutsu-bo Nittoku) dan Sennichi-ama, Ota Jomyo (Myonichi), Ishikawa No Hyoe (Ishikawa Nyudo, pendukung dana untuk biara Omosu dan Kuil Kitayama Honmonji), Ichinosawa Nyudo, Yadoya Mitsunori (yang bekerja didepartemen keamanan dan sipir penjara Kamakura), Ko Nyudo dan Ko-no-ama, Takahashi Rokuro Hyoe (Takahashi Nyudo) dan banyak yang lain lagi.

Nichiji Shonin, merasakan bahwa kata-kata dan keinginan Nichiren Daishonin harus diwujudkan yakni mewujudkan Tanah Buddha diseluruh dunia, oleh karenanya pada akhirnya ia memutuskan untuk menyebarluaskan ajaran Nichiren ke luar negeri, dan ia adalah Bhiksu Nichiren Shu pertama yang menjalani tugas misionaris ke luar negeri. Banyak bhiksu Jepang yang pergi ke China, setelah belajar membawa pulang ajaran yang dipelajari ke Jepang, namun tidak ada yang membawa ajaran dari Jepang ke negeri lain. Sebelum kita membicarakan tentang kegiatan penyebarluasan Nichiji Shonin ke luar negeri, mari kita melihat latar belakang dirinya. Nichiji Shonin adalah seorang pribadi yang berani, dan senang bertualang. Nichiji Shonin, yang mempunyai nama lengkap Renge Ajari Nichiji Shonin, dilahirkan dengan nama “Matsuchiyo” di keluarga samurai pada tahun 1250 di Mimatsu, kota Matsuno, daerah Ihara, Propinsi Suruga (Sekarang Propinsi Shizuoka). Ia adalah putra kedua dari Tuan Matsuno Rokuro Zaemon. Tempat kediaman orangtuanya di Matsuno sekarang dikenal sebagai kuil Nichiren Shu yang disebut Kuil Horen-ji.

Pada masa itu belum ada sekolah modern seperti saat sekarang. Matuchiyo dikirim ke sekolah kuil Jissoji di daerah Iwamoto pada umur tujuh tahun. Jissoji adalah sebuah institusi dan kuil utama cabang Jimon dari Sekte Tendai. Tempat ini juga mempunyai perpustakaan dan sutra-sutra Buddha yang luas dan lengkap. Matsuchiyo memulai pembelajarannya dibawah bimbingan dari seorang shami muda atau calon bhiksu, empat tahun lebih tua darinya, bernama Hoki-bo (yang kemudian hari dikenal sebagai Nikko Shonin, 1246-1333) yang tinggal di kuil Shijuku-in dalam kompleks Jissoji. Dari tahun ke tahun, keduanya tumbuh menjadi lebih dekat dan akrab. Matsuchiyo akhirnya menjalani upacara Tokudo, adalah sebuah upacara untuk menjadi seorang bhiksu Tendai, dan diberi nama Kai-ko. Berdasarkan catatan Betto Toki, Kai-ko dikatakan telah dikirim ke Gunung Hiei dibawah perlindungan dari kelompok Matsuno, dimana ia belajar dipusat pembelajaran Tendai, dan melakukan penelitian yang dalam mengenai ajaran rahasia dan pelaksanaan Tendai.

Pada tahun 1270, setelah Nikko Shonin menjadi seorang murid dari Nichiren Daishonin, untuk berkunjung melihat gurunya di Kamakura dan ia membawa Kai-ko bersamanya. Ketika Kai-ko bertemu dengan Nichiren Daishonin di gubuknya di Matsubagayatsu, ia merubah hati kepercayaannya kepada ajaran pokok dan pelaksanaan dari Saddharma Pundarika Sutra dan menjadi murid Nichiren Daishonin, ia menerima nama baru sebagai Nichiji. Ia telah berusi 21 tahun ketika itu. Bagaimanapun ia mempunyai hubungan yang erat dengan Nikko Shonin, ia pada awalnya murid pertama dari Nikko Shonin, namun setelah bertemu Nichiren Daishonin,

(15)

pacara Pernikahan adalah salah satu peristiwa terpenting dalam kehidupan kita. Bagaimanapun, jumlah pasangan yang siap menikah berkurang jumlahnya setiap tahun baik di Amerika maupun Jepang. 50 tahun yang lalu, setiap 12 orang dari 1.000 orang di Amerika menikah, tetapi sekarang hanya 8 orang dari setiap 1.000 orang saja. Berdasarkan sensus tahun 1975 di Jepang, terdapat 95 persen dari populasi yang berusia diatas 40 tahun telah menikah, namun sekarang hanya terdapat 70 persen saja.

Meskipun demikian, jumlah acara pernikahan mengalami peningkatan sejak 11 september 2001, ketika teroris menyerang di pantai timur Amerika, hal ini berkaitan dengan perasaan sendiri yang mendera orang-orang. Saya sendiri, secara pribadi telah melaksanakan tiga kali upacara pernikahan untuk pasangan muda disini.

Upacara Pernikahan dapat dilaksanakan di Kuil Nichiren Shu, dimana terdapat mandala Gohonzon disemayamkan. Namun, upacara pernikahan diluar ruangan sangat populer di Amerika saat sekarang. Mereka mengadakannya di berbagai tempat seperti ruang pertemuan di hotel, rumah pernikahan pribadi, pantai, atau Taman.

Saddharma Pundarika Sutra Bab.XXI mengatakan, “Baik didalam sebuah taman, dalam hutan, dibawah pohon, didalam sebuah biara, atau

hutan belantara, dirikanlah sebuah stupa dan buatlah persembahan, karena itu kalian ketahuilah bahwa tempat dimana stupa itu muncul adalah Tempat Penerangan. Ditempat itu Sang Buddha mencapai Anuttara-samyaku-sambodhi. Ditempat ini Sang Buddha memutarkan roda dharma. Ditempat ini Sang Buddha memasuki Pari-Nirvana.”

Oleh karena itu, ketika Aku melaksanakan sebuah Upacara Pernikahan diluar kuil, Aku menyiapkan satu set Altar, seperti Gohonzon, sepasang lilin, dan dupa serta juga sepasang bunga, dimana tempat akan diadakan upacara tersebut.

Musik yang dimainkan pada acara pernikahan itu dapat berupa musik tradisional pernikahan

dalam tradisi barat, gagaku (musik tradisional Jepang), lagu Hawai, atau lagu-lagu lainnya. Ini semua tergantung dari selera pasangan yang akan menikah. Hal yang terpenting adalah pasangan yang akan menikah, akan mengucapkan janji pernikahan didepan Mandala Gohonzon Nichiren Shu yang merupakan simbol dari keharmonisan alam semesta.

Upacara pernikahan bisa saja berbeda-beda tergantung efisiensi, karenanya aku tidak menguraikannya disini. Tradisi pertukaran cincin pernikahan juga dilakukan. Disamping pertukaran cincin, persembahan juzu, dupa, membaca (Dokyo) Saddharma Pundarika Sutra, menyebut (Shodai) Odaimoku, “Namu Myoho Renge Kyo” dengan sungguh hati dan

UPACARA PERNIKAHAN

DI AMERIKA

Oleh: YM.Bhiksu Shokai Kanai

(Kepala Kuil Nichiren Buddhist Los Angeles)

(16)

tradisi Jepang ‘san, san, kudo’ juga diperlukan. Upacara ini adalah

Ket.Altar untuk Upacara Pernikahan diluar ruangan (Pantai)

yang ada pada pasanganmu. Buatlah impian pasanganmu adalah impian mu juga. Kemudian bantulah satu sama lain untuk mewujudkannya. Kehidupan pernikahan adalah bagian dari pelaksanaan Buddhisme. Saddharma Pundarika Sutra, Bab II, mengatakan, “Ekka Shu Shin” yang berarti “Buddha membuat semua mahluk hidup berbahagia.” Bab. XVI dalam sutra yang sama dikatakan, “In Go Shin Ren Bo” yang berarti “Sebab kamu jatuh cinta kepada Sang Buddha.”

Buddha tidak berada diluar dirimu atau diluar pasanganmu. Ia ada dalam dirimu dan pasanganmu. Kehidupan pernikahan adalah pelaksanaan yang terindah dalam Saddharma Pundarika Sutra. Gassho.

Sumber: The “Bridge” Nichiren Shu Buddhist International Center, Edisi No.41, 2003

meminum tiga gelas kecil sake dengan tiga macam ukuran gelas yang berbeda diantara pasangan. “Tiga” adalah tidak terpisahkan dan merupakan nomor keberuntungan. Jadi sembilan kali tegukan sake melambangkan tiga kali kebahagiaan. Ini adalah sebuah harapan dan doa agar pasangan yang menikah ini tidak akan terpisahkan. Bagaimanapun, setelah beberapa tahun berlalu sejak pernikahan, banyak pasangan suami istri yang terikat oleh egoisme masing-masing. Mereka akan berkata, “Hidup pernikahan adalah merepotkan! Saya tidak dapat melakukan apa yang ingin aku lakukan!”. Namun, Pernikahan yang ideal adalah dimana kamu dapat merasakan kebahagiaan terhadap segala sesuatu LAGU NICHIREN SHU

TACHIWATARU

Syair Asli : Nichiren Shonin Musik : Hirota Ryutaro

Lirik : Ikeda Shiro

Tachi wataru Mi no ukikumo mo Harenu beshi Taenu minori no Washi no yamakaze

Even the clouds of sadness That spread over me

Would be blown clear away By the winds of Mt.Eagle

(17)

antera, pusaka, dan jimat di Jepang, dikenal sebagai “O'mamori”. Secara halfiah, kata O'mamori berarti “Melindungi atau Mempertahankan”. O'mamori ini digunakan dengan tujuan untuk memberikan perlindungan secara menyeluruh terhadap permasalahan dalam kehidupan seperti penyakit, kecelakaan, kebakaran, keselamatan dalam kelahiran bayi, kebangkrutan dan lain-lain.

O'mamori, biasanya terbuat dari potongan kain atau kertas, dan bahan lain yang berukuran kecil, dan diatasnya tertulis nama dewa atau suatu aksara doa. O'mamori dalam Nichiren Shu Buddhisme, dibuat dalam berbagai macam bentuk dan ukuran dan diatasnya tertera aksara Namu Myoho Renge Kyo, baik yang hanya mencakup Empat Raja Langit saja atau lengkap meliputi dewa-dewi lainnya. O'fuda adalah suatu jimat yang hampir sama dengan O'mamori. O'fuda juga dituliskan nama para dewa, atau nama suatu kuil suci, atau aksara doa khusus lainnya. Perbedaan antara O'mamori dan O'fuda sedikit hanya berdasarkan pada fungsi pengunaannya saja. Kedua-duanya selalu digunakan oleh kuil-kuil suci Shinto dan Buddha. Nichiren Shonin, pendiri Nichiren Shu pernah juga menuliskan sebuah jimat/O'fuda bagi Nanjo Tokimitsu, salah seorang muridnya untuk melindungi bangunan yang telah selesai dibangun. Penggunaan O'mamori dan O'fuda sangat luas dikalangan Buddhis, hampir semua sekte mempunyai O'mamori dan O'fuda dengan kegunaan dan karakteristiknya masing-masing.

Perbedaan antara O'mamori dan O'fuda dibedakan berdasarkan pengunaannya. Pada awalnya O'mamori disimpan dalam sebuah tabung bambu kecil dan dikenakan seperti sebuah kalung, sekarang ini telah dibuatkan kantong khusus dari kain (O'mamori Bukuro) dan dikenakan oleh mereka yang menginginkan perlindungan. Sedangkan, O'fuda biasanya digunakan untuk melindungi rumah dan diletakkan di pintu gerbang atau pintu masuk rumah atau ditempatkan di tempat suci keluarga (kamidana). Jimat digunakan oleh orang-orang dalam kaitan dengan kekuatan gaib yang mampu melindungi dari marabahaya, dan juga untuk mendapatkan kesejahteraan, kesehatan, kekayaan dan kebahagiaan.

O'mamori dalam Nichiren Shu Buddhisme, mempunyai pengertian yang jauh lebih dalam, yakni;

1. O'mamori tidak hanya semata-mata sebagai media perlindungan saja tetapi juga sebagai upaya untuk peningkatan hati kepercayaan;

2. O'mamori hanya sebuah jalan upaya, sebagai pintu gerbang menuju hati kepercayaan yang sebenarnya;

3. O'mamori mempunyai kekuatan karena hati kepercayaan orang yang bersangkutan, bahwa mereka yang melaksanakan Saddharma Pundarika Sutra pasti akan mendapatkan perlindungan dari para dewa-dewi.

4. O'mamori dalam Nichiren Shu yang bertuliskan Gohonzon, melambangkan kesempurnaan jiwa manusia yang sebenarnya, artinya dengan mengenakan O'mamori, kita hendaknya berusaha mewujudkan kesempurnaan jiwa tersebut.

5. O'mamori juga untuk mengingatkan kita pada ajaran Sang Buddha, agar kita selalu menjaga sikap dan tingkah laku, sehingga selalu sesuai dengan ajaran Buddhisme. Semua kebudayaan dan religius mempunyai O'mamori yang menjadi bagian kehidupan sehari-hari, hal ini tidak hanya terbatas pada kebudayaan timur tetapi juga kebudayaan barat. Di Jepang sendiri, O'mamori begitu populer dan sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Setiap orang berkunjung ke sebuah Kuil Buddha atau Shinto pasti akan menginginkan dan membawa pulang sebuah O'mamori baik bagi diri sendiri maupun keluarga. Gassho.

O'MAMORI DAN O'FUDA

Oleh: Sidin Ekaputra

(18)

Seri Penjelasan Saddharma Pundarika Sutra

Oleh: YM.Bhiksu Shokai Kanai

Sumber Acuan: Buku "The Lotus Sutra" By Senchu Murano Diterjemahkan oleh: Sidin Ekaputra,SE

BAB IV

PEMAHAMAN MELALUI KEPERCAYAAN

RINGKASAN

idaklah cukup hanya sekedar mempertahankan suatu kepercayaan secara buta. Pemahaman membantu kepercayaan, dan pada saat yang sama kepercayaan dan pemahaman akan berkembang menjadi tindakan.

Ke-empat Shomon Agung atau Pendengar Hukum Buddhisme diliputi oleh kegembiraan yang luar biasa pada saat mendengar Dharma yang belum pernah mereka dengar sebelumnya, dan setelah mengetahui bahwa Sariputra, salah satu rekan shomon mereka, dipastikan Kebuddhaannya di masa mendatang dengan gelar Buddha Cahaya Bunga dalam bab sebelumnya. Sehingga mereka berkomentar bahwa semua itu bagaikan mendapat harta karun yang tak ternilai tanpa perlu mencarinya. Kemudian mereka mengungkapkan perumpamaan tentang “Orang kaya dan Putranya yang miskin”.

Penjelasan

“Menyingkapkan bahu kanan mereka” (P.88, L.9):

Telah menjadi suatu kebiasaan di India untuk menyingkapkan bahu seseorang sebagai tanda hati yang tulus. Akibatnya, para bhiksu dan umat awam di Nichiren Shu

mengenakan kesa dari bahu kiri mereka dan bukan dari sebelah kanan. “ M e n g a t u p k a n tangan mereka dengan sepenuh hati” (P.88, L.10): D a l a m Nichiren Shu, kita mengatupkan tangan kita dalam gassho dan menyebut Odaimoku atau Mantra Agung

dari Saddharma Pundarika Sutra, “Namu Myôhô Renge Kyô”. “Namu” berarti Pengabdian, Cinta, Kepercayaan, dan Harapan. Oleh karena itu ketika kita menyebut Odaimoku, kita berjanji untuk mengabdikan diri kita kepada ajaran dari Saddharma Pundarika Sutra, mempercayai Buddha Abadi, menerima welas asih Sang Buddha, dan berharap agar doa kita terjawab. “Kami telah memperoleh harta tak ternilai meski kami tidak mencarinya.” (P.89, L. 7):

Ini bukanlah berarti bahwa kita hanya perlu duduk dan menunggu harta muncul begitu saja. Seperti yang akan Anda lihat dalam perumpamaan berikut, sama seperti sang anak yang memperbaiki sikap mentalnya

secara bertahap dalam jangka waktu 20 tahun, begitu pula kita harus berjuang untuk meningkatkan kualitas hidup kita. Penerangan memang seharusnya tercapai dalam kekacauan kehidupan kita sehari-hari, bukan dalam pengasingan yang sepi. Marilah kita selalu mencoba memperbaiki diri kita, memberi contoh kepada anak-anak kita, cucu-cucu kita, dan masyarakat, selangkah demi selangkah.

PERUMPAMAAN TENTANG ORANG KAYA DAN PUTRANYA YANG MISKIN (P.89, L.9 - P.92, Baris terakhir):

eorang anak laki-laki yang miskin melarikan diri dari ayahnya ketika ia masih amat muda. Ia tinggal di negeri lain selama

bertahun-Salinan Saddharma Pundarika Sutra dan Komentar Nichiren

T

Gambar

Foto bersama seluruh anggota

Referensi

Dokumen terkait

Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif, dengan siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4–6 orang secara heterogen

Pemimpin daerah yang dikenal dengan Kepala Daerah merupakan pemimpin bagi masyarakat di daerahnya yang dipilih langsung oleh rakyat di daerah tersebut, oleh karena itu,

Terpeliharanya jalan yang sudah dibangun Meningkatnya kelancaran lalulintas Meningkatnya Kelancaran Lalu Lintas √ 45 >. Pengaspalan Jalan Bontoparang-

Imbalan yang dialihkan dalam suatu kombinasi bisnis diukur pada nilai wajar, yang dihitung sebagai hasil penjumlahan dari nilai wajar pada tanggal akuisisi atas seluruh aset

Data penampilan reproduksi didapatkan dari data reproduksi sapi Bali betina yang dipelihara secara intensif di BPTU (Balai Pembibitan Ternak Unggul) Desa Pulukan,

Secara konvensional penyelesaian sengketa biasanya dilakukan melalui proses litigasi atau penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Dalam keadaan ini maka kedudukan

Untuk menghindari kerusakan hutan produksi lebih lanjut, perlu dilakukan upaya pembinaan masyarakat khususnya mencarikan alternatif sumber ekonomi baru sesuai potensi yang

Dari hasil penelitian yang dilakukan pada ternak domba, bahwa penggunaan kulit buah kakao dapat digunakan sebagai pengganti suplemen sebanyak 15 % atau 5 % dari