• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN BAHASA PERTAMA (BAHASA JAWA) DI DALAM KELAS ANAK USIA 7 TAHUN PADA SISWA SD N KATEGUHAN BOYOLALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGGUNAAN BAHASA PERTAMA (BAHASA JAWA) DI DALAM KELAS ANAK USIA 7 TAHUN PADA SISWA SD N KATEGUHAN BOYOLALI"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Progdi Manajemen, Universitas Nahdlatul Ulama

PENGGUNAAN BAHASA PERTAMA (BAHASA JAWA)

DI DALAM KELAS ANAK USIA 7 TAHUN

PADA SISWA SD N KATEGUHAN BOYOLALI

Anni Nurul Hidayati

Abstrak : Penelitian  ini  bertujuan  untuk  melihat  proses  pemerolehan  bahasa  anak  usia  7  tahun  dari

keluarganya di dalam penggunaan bahasa Jawa saat proses belajar dan berinteraksi di kelas.

Penelitian  ini  merupakan  studi  kasus  yang  menggunakan  pendekatan  deskriptif.  Subjek  penelitian  ini adalah  beberapa  siswa  Sekolah  Dasar  usia  7  tahun.  Objek  dalam  penelitian  ini  berupa  kalimat  dan  konteks penggunaan  kalimat  bahasa  Jawa  yang  digunakan  oleh  subjek.  Teknik  pengumpulan  data  dilakukan  dengan pengamatan dan dokumentasi. Hasil pengamatan dan dokumentasi kemudian dideskripsikan.

Hasil dari pengamatan terhadap siswa kelas 2 SD N kateguhan usia 7 tahun menunjukan bahwa semua anak-anak  dikelas  tersebut  menggunakan  bahasa  Jawa  Ngoko  ketika  berkomunikasi.  Anak-anak  tidak menggunakan bahasa  Jawa yang baik dan halus. Mereka menggunakan bahasa  Jawa Ngoko, hanya ada  satu anak yang menggunakan bahasa Indonesia. Pembelajaran bahasa Jawa yang sesuai dengan anak usia 7 tahun adalah belajar melalui bercerita dan bercakap-cakap. Metode ini sangat mudah dan menyenangkan, sehingga siswa akan  lebih mudah memahami bahasa Jawa.

Kata kunci: pemerolehan  bahasa  pertama, bahasa  jawa,  proses  pembelajaran

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Bahasa (language) merupakan sistem lambang bunyi  yang  arbiter,  yang  dipergunakan  oleh  para anggota  suatu  masyarakat  untuk  bekerja  sama, berinteraksi,  dan  mengidentfikasi  diri  (Harimurti Kridalaksana,  2008:  24).  Bahasa  pada  dasarnya digunakan untuk menyampaikan ide dan gagasan dari penutur.  Ar tinya,   bahasa   merupa kan  sa rana komunikasi utama.

Proses  anak  mulai  mengenal  bahasa  untuk berkomunikasi  dengan  lingkungannya  secara  verbal disebut  dengan  pemer olehan  bahasa  a nak.

Pemerolehan bahasa pertama terjadi bila anak  yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak,  anak lebih  mengarah  pada  fungsi  komunikasi  dari  pada bentuk  bahasanya.  Pemerolehan  bahasa  anak-anak dapat  dikatakan  mempunyai  ciri  kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan  satu  kata  sederhana  menuju  gabungan  kata yang lebih rumit.

Menurut  Kiparsky  (Tarigan,  1986:  243) pemerolehan  bahasa  merupakan  suatu  proses   yang dipergunakan  oleh  anak-anak  untuk  menyesuaikan serangkaian hipotesis yang makin bertambah rumit, ataupun  teori-teori  yang  masih  terpendam  atau

(2)

tersembunyi  yang  mungkin  sekali  terjadi,  dengan ucapan-ucapan  orang  tuanya  sampai  dia  memilih, berdasarkan suatu ukuran atau dari bahasa tersebut. Artinya bahwa anak-anak mulai berbahasa bisa dilihat dari pengamatan dalam perkembangan hidup sehari-hari anak. Anak-anak biasanya mendengar dan melihat bunyi  bahasa  disekelilingnya    tanpa  mereka  sadari. Kata-kata yang didengar oleh anak tersebut akan terus berkembang tahap demi tahap menjadi kata yang lebih bermakna.  Proses  perkembangan  tersebut  mulalui berbagai  tahapan-tahapan  perkembangan  bahasa anak, mulai kanak-kanak sampai dengan penguasaan usia sekolah.

Kemampuan  ber bahasa  jawa  termasuk kemampuan berbahasa jawa karma sangatlah penting untuk  diajarkan  kepada  anak-anak  sejak  mereka masih kecil, sebab anak-anak adalah calon generasi penerus  dima napada  gilirannya  nanti  akan menggantikan peranan orang tua. Kegiatan-kegiatan kemasyarakatan  yang  banyak  diwarnai  oleh  tata krama  jawa  perlu  dipersiapkan.  Selain  itu menggunakan bahasa daerah merupakan upaya untuk menjaga  dan  melestarikan  budaya  daerah  sebagai warisan budaya. Hal ini harus diajarkan dan diterapkan sejak usia  dini, khususnya pada tahap seorang anak memperoleh  bahasa  pertama  kali  dari  ibunya  atau biasa disebut bahasa ibu. Proses anak  mulai mengenal dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan peme-rolehan  bahasa  anak.  Pemerolehan  bahasa pertama  terjadi  bila  anak  yang  sejak  semula  tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi  komunikasi  dari  pada  bentuk  bahasanya. Dengan  demikian,  seorang  anak  akan  mempunyai kemampuan  bahasa  secara  utuh  dalam  pemakaian bahasa pertama yaitu bahasa daerah.

Bahasa ibu adalah satu sistem linguistik yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari ibu atau keluarga yang memelihara seorang anak (Chaer dan Agustina,  2004:  81).  Ibu  menjadi  salah  satu  faktor penentu utama bagi seorang anak untuk memperoleh bahasa  pertamanya.  Ibu  juga  berperan  besar  untuk memilihkan  kata  mana  saja  yang  layak  digunakan untuk berinteraksi di dalam masyarakat sehingga anak mampu  menggunakan  kata  dengan  baik.  Untuk mendorong anak supaya mau menggunakan kata-kata dengan baik, seorang ibu dalam berinteraksi dengan si anak “meluluhkan” atau mengakomodasikan diri ke dalam bahasa anak (Sumarsono, 2007: 139).  Berbahasa ada sepanjang umur hidup manusia. Pemerolehan bahasa terjadi sejak manusia lahir dan berkembang  terus  sampai  akhir  hayatnya.  Para psikolog mendefinisikan perkembangan bahasa sebagai kemampuan  individu  dalam  menguasai  kosakata, ucapan, gramatikal, dan etika pengucapannya dalam kurung waktu tertentu sesuai dengan perkembangan umur kronologisnya. Perkembangan bahasa individu  menurut Laura E. Berk  merupakan kemampuan khas manusia yang paling komplek dan mengagumkan. (Mohammad Ali & Mohammad Asrori, 2004: 122). Meskipun bahasa itu kompleks, tapi pada umumnya berkembang pada anak  dengan  kecepatan  yang  luar  biasa.  Demikian cepatnya perkembangan bahasa pada anak sehingga dalam  waktu  singkat  dapat  menguasai  banyak kosakata, ucapan, dan bahkan cara mengucapkannya. Pembelajaran  bahasa  pertama  adalah  proses memahaminya  seorang  atau lebih  individu  terhadap suatu bahasa sampai batas tertentu. Dengan demikian, belajar  bahasa  pertama  berarti  belajar  menguasai bahasa  yang  kedua  diberikan  kepada  mereka. Menurut Ellis (dalam Chaer, 2009: 324), menyebutkan

(3)

adanya  dua  tipe  pembelajaran  bahasa,  yaitu  tipe naturalistik  dan  tipe  formal  di  dalam  kelas.  Yang pertama, tipe naturalistik yaitu bersifat alamiah, tanpa guru, serta tanpa kesengajaan. Pembelajran dalam tipe ini terjadi dalam lingkungan suatu masyarakat. Seorang anak  yang  di  dala m  lingkungan  keluarganya menggunakan  bahasa  pertama  bahasa  Jawa.  Yang kedua yaitu tipe formal berlangsung di dalam kelas. Tipe ini seharusnya hasil yang diperoleh lebih baik dari tipe naturalistik, karena dalam tipe formal ini segalanya sudah dipersiapkan, dengan adanya guru, materi, alat-alat bantu belajar, dsb. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas dua di  SD  N  Kateguhan  Boyolali.  Penelitian  bertujuan untuk melihat proses pemerolehan bahasa anak dari keluarganya  di  dalam  penggunaan  bahasa  Jawa  di kelas saat berinteraksi dengan teman-teman. Peneliti membatasi subyek penelitian kepada beberapa anak. Alasan kenapa pemilihan tempat di SD N Kateguhan Boyolali  semata-mata  karena  peneliti  tinggal  di didaerah lokasi tersebut. Penelitian ini dipandang perlu sebab  setiap  anak  memiliki  kemampuan  masing-masing berbeda sesuai dengan faktor lingkungan dan keluarga  khusunya  ibu.  Dalam  penelitian  yang dilakukan  oleh  penulis  menunjukkan  bahwa  bahasa jawa  yang  digunakan  anak-anak  SD  N  Kateguhan Boyolali  adalah  bahasa  Jawa  Ngoko.  Hal  tersebut terjadi kemungkinan karena ibu tidak mengajarkan dan membiasakan  anak-anaknya  menggunakan  bahasa Jawa Kromo halus sebagai bahasa pertamanya. Oleh karena  itu,  anak  tidak  memiliki  kompetensi  dan kemampuan  berbahasa  Jawa  yang  baik  dan  halus. Penelitian  ini  menggunakan  metode  deskriptif kualitatif. Setiap data yang diperoleh didalam penelitian kemudian  dideskripsikan  dan  dianalisis  sesuai  yang terjadi di lapangan. Selanjutnya peneliti menganalisa

hasil penelitian didalam pemebelajaran bahasa Jawa anak kelas 2 SD Kateguhan Sawit Boyolali.

LANDASAN TEORI

Pragmatik

Pragmatik,  menurut  Harimurti  (2008:  198) pragmatik adalah syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi. Komponen  pragmatik  ini  lebih  merujuk  pada  sisi komunikatif  dari  bahasa.  Ini  berkenaan  dengan bagaimana  menggunakan  bahasa  yang  baik  dalam berkomunikasi  dengan  orang  lain.  Pragmatik merupakan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya  pemakaian  bahasa  dalam  komunikasi  dan aspek-aspek  pemakaian  bahasa  atau  konteks  luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujara. Pragmatik mempelajari bagaimana bahasa itu digunakan untuk berkomunikasi.

Menurut  definisi  diatas,  segi  penggunaan baha sa  utama   dalam  pragmatik,  bagaimana penggunaan bahasa dalam tuturan dan dalam konteks bagaimana  tuturan  itu  digunakan.  Yang  dimaksud dengan  konteks  adalah  siapa  yang  menuturkan, mengatakan  pada  siapa,  tempat  dan  waktu  yang diujarkan  suatu  kalimat,  anggpapan-anggapan mengenai  sesuatu  yang  terlibat  didalam  tindakan menuturkan kalimat.

Pengertian Pemerolehan Bahasa Pertama

Pemerolehan  bahasa  (language acquisition) adalah suatu proses yang diperlukan oleh anak-anak untuk  menyesuaikan  serangkaian  hipotesis  yang semakin  bertambah  rumit  ataupun  teori-teori  yang masih  terpendam  atau  tersembunyi  yang  mungkin sekali  terjadi  dengan  ucapan-ucapan  orang  tuanya sampai  ia  memilih  berdasarakn  suatu  ukuran  atau

(4)

takaran penilaian, tata bahasa yang baik serta paling sederhana  dari  bahasa.

Bahasa yang pertama kali dikenal dan diperoleh anak-anak  dalam  kehidupannya  adalah  bahasa  Ibu (mother language)  atau  sering  disebut  dengan bahasa pertama (first language). Bahasa inilah yang mula-mula dikenal oleh anak kecil dan dipergunakan dalam  kehidupannya  sehari-hari  sebagai  bahasa komunikasi.  Anak-anak  biasanya  mendengar  dan mengamati bunyi-bunyi bahasa di sekelilingnya tanpa disuruh  atau  disengaja.  Kemudian  lama  kelamaan apa-apa yang didengar dan apa-apa yang diamatinya itu berkembang terus menerus tahap demi tahap sesuai dengan  perkembangan  kemampuan  intelegensi  dan latar belakang sosial-budaya yang membentuknya.

Stephen Krashen adalah satu ahli dalam bidang linguistik,  mengkhususkan  di  dalam  teori-teori pemerolehan bahasa dan pengembangan. Banyak dari riset terbarunya yang sudah melibatkan studi dari non- English dan pemerolehan bahasa kedua. Acquisition-Learning adalah asas paling utama dari semua hipotesis di dalam teori Krashen dan yang paling luas mengenal antar praktisi-praktisi ahli dan bahasa. Menurut Krashen (1988) ada dua sistem yang mandiri  dari  kinerja  bahasa  kedua:  system  yang diperoleh dan sistem yang dipelajari/terpelajar:

a. Sistem yang diperoleh atau didapatnya. Merupakan  produk  dari  suatu  proses  bawah sadar yang sangat serupa  dengan anak-anak, proses ini dialami merek  ketika mereka memperoleh bahasa yang pertama. Hal itu memerlukan interaksi  penuh arti di dalam sasaran bahasa komunikasi alami (wajar) dimana para pembicara dipusatkan bukan dalam wujud ucapan-ucapan  mer eka,  tetapi  da lam  tindak komunikatif.

b.  Sistem  yang  dipelajari/terpelajar  atau pelajaran. 

Merupakan  produk  dari  instruksi  dan  formal yang meliputi suatu proses sadar yang mengakibatkan pengetahuan  sadar  sekitar  bahasa,  sebagai  contoh pengetahuan  tentang  tata  bahasa  memerintah. Menurut Krashen yang penting adalah pelajaran lebih sedikit dibanding ‘didapatnya’.

Ciri-ciri Proses Pemerolehan Bahasa Pertama

Untuk  dapat  berbahasa  (bahasa  pertama  dan bahasa  kedua)  dengan  baik,  seseorang  harus menguasai tiga komponen, yaitu kompetensi semantik, kompetensi  sintaksis,  dan  kompetensi  fonologis. Karena  itu  dapat  disimpulkan  tidak  ada  perbedaan substansi antara proses yang terjadi pada pemerolehan bahasa pertama  dan kedua. Perbedaan antara keduanya akan muncul pada suasana pemerolehan, yaitu ditandai beberapa macam 1. Kesadaran  pembelajaran 2. Waktu 3. Tempat 4. Motivasi dan tujuan 5. Praktik dan penelitian 6. Umur pembelajar 7. Alat bantu  pemerolehan 8. Pengorganisasian

Dala m  pemerolehan  ba hasa  per tama berlangsung seolah-olah mengalir dengan sendirinya. Pemerolehan tidak menyadari bahwa dirinya sedang mendapatkan bahasa . pemerolehan bahasa pertama berlangsung sejak lahir. Kesempatan untuk mencoba pada pemerolehan bahasa pertama waktunya sangat luas.  Dalam  pemerolehan  bahasa  pertama  dapat memperolah  bahasa  keduanya  dimana  saja  dalam

(5)

lingkungan  rumah  dan  masyarakat  yang  akrab  dan dinamis.

Pada  pemerolehan  bahasa  pertama  (anak-anak)  akan  sangat   menent ukan  keberhasilan pemerolehan  bahasa  kedua,  yang  berkaitan  dengan waktu  ,  tempat  dan  motivasi.  Pemebelajar  bahasa pertama  memiliki  kesempatan  untuk  berlatih  lebih banyak.  Pemerolehan  bahasa  pertama  anak  adalah bahasa daerah karena bahasa itulah yang diperolehnya pertama kali. Perolehan bahasa pertama terjadi apabila seorang  anak  yang  semula  tanpa  bahasa  kini  ia memperoleh  bahasa.  Bahasa  daerah  merupakan bahasa  pertama  yang  dikenal  anak  sebagai  bahasa pengantar dalam keluarga atau sering disebut sebagai bahasa ibu.

Tingkat Tutur Bahasa Jawa

Tingkat  tutur  atau  ungah-ungguh  menurut Harimurti Kridalaksana adalah system ragam bahasa menurut  hubungan  antara  pembicara;  secara  kasar terjadi dari ngoko, krama dan madya.  Sistem ragam baha sa  itu  merupakan  bentuk–bentuk  yang diungkapkan dalam situasi formal maupun non formal. Tingkat tutur yang diungkapkan dalam situasi formal adalah  krama,  sedangkan  dalam  situasi  nonformal digunakan bentuk ngoko.

Tingkat  tutur  yaitu  variasi  bahasa  yang perbedaan-perbedaannya  ditentukan  oleh  anggapan penutur  akan  relasinya  dengan  orang  yang  diajak. Relasi yang dimaksud dapat bersifat akrab, sedang, berjarak, menaik, mendatar, dan menurun. Relasi yang bersifat  akrab,  sedang,  dan  mendatar  dapat disejajarkan dengan dimensi horisontal atau hubungan yang simentris sedangkan relasi yang bersifat berjarak, menaik,  dan  menurun  dapat  disejajarkan  dengan dimensi vertikal (hubungan asimetris).

Pengertian  tingkat  tutur  tersebut mengisyaratkan adanya dua hal yang berkaitan, yaitu (1) penanda lingual dan (2) faktor penentu nonlingual. Pena nda  lingual  ber upa  var iasi  ba hasa mengisyaratkan  bentuk  bahasa  yang  heterogen, sedangkan faktor penentu nonlingual berupa anggapan akan  relasinya  dengan  orang  yang  diajak  bicara mengisyaratkan  relasi  yang  beranekan  macam. Pembicaraan mengenai tingkat tutur, khususnya dalam bahasa Jawa biasanya berkisar  pada bentuk tingkat tutur.

Soepomo  Poedjosoedarmo  membagi  tingkat tutur bahasa Jawa menjadi tiga jenis, yaitu (1) tingkat tutur krama, (2) tingkat tutur madya, dan (3) tingkat tutur ngoko.

1. Tingkat Tutur Ngoko

Tingkat  tutur  ngoko mencerminkan  rasa tak  berjarak antara  penutur  (O1) terhadap  mitra tutur (O2 ), artinya O1 tidak memiliki rasa segan terhadap  O2.   Jadi,  bagi  orang  yang  ingin menyatakan keakraban terhadap orang lain, tingkat ngoko inilah yang seharusnya digunakan. Dengan perkataan  lain  hubungan  antara  keduanya  tidak diba tasi  oleh  semacam  rasa   segan  atau “pekewuh”.  Oleh  karena  tidak  ada  rasa  yang sedemikian,  maka  tingkat ngoko yang  dipakai di dalam bertutur.Tuturan yang muncul antarteman sejawat akrab biasa menggunakan tingkat ngoko. Orang  yang  berpangka t  tinggi  juga  biasa menggunakan tingkat tutur ngoko untuk berbicara dengan  orang  yang  berpangkat  rendah.  Antara orang yang akrab, tetapi antarkeduanya terdapat saling menghormati akan digunakan tingkat tutur ngoko  yang  sifatnya  halus.  tingkat  Tersebut dinamakan antyabasa atau basaantya.

(6)

2. Tingkat Tutur Madya

Tingkat  tutur   madya  a dalah  ba hasa pertengahan antara ngoko dan krama. Tingkat tutur yang  madya  menunjukkan  kesopanan  menengah atau  sedang.  Dalam  kehidupan  bermasyarakat lebih  sering  digunakan  oleh  orang-orang  yang tinggal  di  pedesaan.  Ungkapan-ungkapan  dalam bahasa madya biasanya merupakan bentuk singkat dari  bentuk  yang  sudah  baku  bentuk  krama  dan ngoko. a. Madya ngoko. b. Madyantara. c. Madya krama. 3. Tingkat Tutur Krama Tingkat tutur krama yaitu tingkat tutur yang mengungkapkan arti penuh sopan santun. Tingkat ini  menanda kan  ada nya  per asaan  segan (pakewuh) penutur terhadap  lawan tutur,  karena lawan tutur adalah orang yang belum dikenal, atau berpangkat atau priyayi, berwibawa, dan lain-lain. Dalam  peristiwa  tutur,  ada  jarak  antara  O1  dan O2.  O1  bersikap  hormat  kepada  O2  dan  tidak boleh  berbuat  semaunya  .  Tingkat  tutur  krama mempunyai beberapa tingkatan  yang merupakan kontinyu (kesinambungan)  sebagai  berikut. a. Mudha krama

Mudha krama ialah tingkat yang paling sopan dan hormat yang biasa dipakai oleh O1 terhadap O2 yang mempunyai kelas sosial tinggi atau  terhormat  dan  kalimatnya  mengandung kata-kata  dan  imbuhan  krama  serta mengandung krama inggil dan karma andhap. Pemakaian  krama  inggil  bertujuan  untuk menghormati  orang  yang  diajak  bicara  dan pemakaian  krama  andhap  bertujuan  untuk merendahkan penutur (diri sendiri). Bentuk ini

adalah bentuk yang paling sopan dan hormat, yang biasanya diajarkan oleh penutur kepada mitra  tutur  yang  berkelas  sosial  tinggi  atau dianggap  berkedudukan  terhormat.  Tingkat tutur  ini  digunakan  oleh  orang  muda  kepada orang tua. Sebagai contoh dapat dilihat dalam kalimat berikut ini : ‘Nembe kemawon, bapak kesah dating kantor lan miyos griya panjenengan’. artinya ‘Baru saja, kalau jadi, bapak  pergi  ke kantor  dan  juga  lewat  rumah mu.’ Kalimat  tersebut  merupakan  bentuk kalimat krama yang diramu dengan inggil dan krama  andhap  terdapat  pada  kata  ‘kesah’ berarti  ‘pergi’  dan  bentuk  krama  inggil  pada kata ‘miyos’ berarti ‘lewat’ dan ‘panjenengan’ artinya ‘kamu’.

b. Kramantara

Kramantara ialah  tingkat  krama  yang hanya mengandung kata-kata krama, sehingga tidak  ditemukan  adanya  kata-kata  krama inggil ata u  krama andhap di  dalam kalimatnya. Tingkat tutur ini biasanya digunakan oleh orang tua terhadap orang yang lebih muda dan  orang-orang  yang  sama  kedudukan sosialnya  misalnya   pangka t,  umur   dan sebagainya. Sebagai contoh dapat dilihat pada kalimat berikut ini : “Nembe kemawon, Bapak kesah  dateng kantor lan langkung griya sampeyan”.  artinya  ‘Baru  saja,  bapak  pergi ke  kantor  dan  lewat  rumahmu’.  Kalimat tersebut menggunakan kalimat krama dan tidak mengandung  unsur  krama  inggil  atau  krama andhap.

c. Wredha krama

Wredha krama ialah tingkat krama yang tidak  mengandung  krama  inggil  atau  karma

(7)

andhap,  bahkan  mengandung  sufiks  ngoko. Tingkat tutur ini biasanya digunakan oleh orang tua (wredha) kepada orang  yang  lebih  muda. Afiks yang digunakan adalah afiks {di},  {e}, dan  {-ake}.  Penggunaan  afiks  ngoko  akan menurunkan tingkat kesopanan yang tercermin dalam ttur wredha krama ini. Tingkat tutur ini hanya dipakai oleh orang yang berstatus sosial tinggi kepada orang yang status sosialnya sedikit lebih  rendah  (Supana,  2003  :  23).  Sebagai contoh dapat dilihat pada kalimat ini : ‘Nyuwun sewu, griyane Aji pundi, nggih ?’ artinya ‘minta  maaf,  dimana  rumah Aji  ?’.  Terdapat kata ‘griyane’ sufiks {-e} menunjukkan tingkat tutur  ngoko.  Kalimat  tersebut  menunjukkan penggunaan tingkat tutur wredha krama yang ditujukkan dengan sufiks {di}, {e}, dan {-ake} yang merupakan afiks bentuk ngoko.

Faktor Penentu Kesantunan Dan Ketaksantunan Berbahasa

Faktor  penentu  kesantunan  adalah  segala  hal yang dapat mempengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun  atau  tidak.  Faktor  penentu  kesantunan berbahasa  meliputi  dua  hal  pokok,  yaitu  factor kebahasaan  dan  non  kebahasaan.

1. Faktor  Kebahasaan

Faktor  kebahasaan  tersebut  adalah  segala unsur yang berkaitan dengan masalah bahasa, baik bahasa verbal maupun non verbal. Meliputi : a. Pemakaian Diksi yang Tepat

Pemakaian  diksi  atau  kata  yang  tepat saat  bertutur  dapat  mengakibatkan  tuturan menjadi  santun.  Ket ika  penutur  sedang bertutur,  kata-kata  yang  digunakan  dipilih dsesuai dengan topik yang dibicarakan, konteks pembicaraan, suasana mitra tutur, pesan yang disampaikan, dan sebagainya.

b. Pemakaian Gaya Bahasa yang Santun Dalam berbahasa juga diperlukan suatu gaya  bahasa  karena  gaya  bahasa  dapat  juga menimbulkan pemakaian bahasa yang santun. Dengan pemakaian gaya bahasa yang santun, penutur telah menunjukan sebagai orang yang bijaksana  menyampaikan  pesan  atau  maksud kepada mitra tutur.

c. Pemakaian Struktur Kalimat yang Benar Pemakaian struktur kalimat yang benar dan  baik  meliputi  ;  kelengkapan  kontruksi kalaimat, keefektifan kalimat, dan penggunaan bentuk  kebahasaan,  tentu  saja  penggunaan bentuk bahasa yang santun yang sesuai dengan konteks tuturan.

d. Aspek  Intonasi

Aspek  intonasi  dalam  bahasa  lisan sangat menentukan santun tidaknya pemakaian baha sa.  Ket ika  penutur  menyampa ikan maksud  kepada  mitra  tutur  dengan menggunakan  intonasi  keras  padahal  jarak mitra  tutur  berada  jarak  yang  sangat  dekat dengan  penutur,  penutur  akan  dinilai  tidak santun. Seblaiknya, jika penutur menyampaikan intonasi  dengan  lembut  penutur,  akan  dinilai sebagai orang yang santun.

e. Aspek  Nada  Bicara

Aspek nada  dalam bertutur  lisan dapat juga  mempengaruhi  kesantunan  berbahasa seseorang.  Nada adalah naik turunnya ujaran yang  menggambarkan  suasana  hati  penutur ketika sedang bertutur.

2. Faktor  Kenonbahasaan

Pada  saat  berkomunikasi,  penutur  tidak hanya  melibatkan  faktor  kebahasaan.  Namun penutur  juga  melibatka  fa ktor-fa ktor

(8)

kenonbahasaan yang akan menentukan kesantunan bertutur. Meliputi :

a. Topik Pembicaraan

Topik  pembicaraan  a dalah  pokok masalah  yang  diungkapkan  ketika  terjadinya komunikasi  antara  penutur  dan  mitra  tutur. Topik pembicaraan dalam  suatau  komunikasi sering mendorong seseorang untuk berbahasa secara santun dan tidak santun.

b. Konteks Situasi Komunikasi

Faktor  non  kebahasaan  yang  berupa konteks situasi ini adalah segala keadaan yang melingkupi terjadinya komunikasi. Hal ini dapat berhubungan dengan tempat, waktu, dan kondisi psikologis penutur, respon lingkungan terhadap tuturan, dan sebagainya. c. Pranata Sosial

Pranata  sosial  budaya  masyarakat sebagai  penentu  kesantunan  berbahasa  dari aspek  non  kebahasaan  memamg  perlu diperhatikan  bagi  penutur.  Misalnya,  aturan anak kecil  atau anak  muda yang harus selalu hormat kepada oaring yang lebih tua, berbicara tidak boleh sambil makan, perempuan tertawa terbaha-bahak, dan sebagainya. METODOLOGI PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif.    Edi  subroto  (2007)  menjelaskan  bahwa penelitian  kualitatif  adalah  penelitian  yang  data-datanya  berwujud  konsep-konsep,  kategori-kategori dan bersifat asbtrak, serta metode penelitian terhadap suatu  masalah  tidak  didesain  menggunakan  metode statistik. Penelitian ini menggunakan metode deskirptif kualitatif  berdasarkan  pada  fakta-fakta  yang  ada

dida lam  dir i  penutur.  Ja di  penelitian  ini mendeskripsikan  penggunaan  bahasa  Jawa  dalam aktivitas belajar di kelas.

Subyek Penelitian

Subyek  penelitian  ini  adalah  siswa  kelas  7 Sekolah  Dasar  Negeri    Kateguhan  Boyolali.  Siswa kelas 7 berjumlah 25 anak. Mereka berasal dari daerah sekitar, hanya satu yang berasal dari Jakarta.

Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2001:112),  sumber  data  utama  dalam  penelitian kualitatif  adalah  kata-kata  atau  tindakan.  Data tambahan  adalah  berupa  dokumen  dan  lain-lain. Penelitian  ini  berusaha  mendeskripsikan  dengan cermat  fakta   bahasa  yang  digunakan  dalam percakapan di dalam kelas.

Teknik  pengumpulan  data  yang  digunakan adalah sebagai berikut:

1. Observasi Langsung, yaitu melihat fenomena yang  terdapat  dalam  lokasi  penelitian.  Peneliti melihat secara langsung menggunakan alat indra proses  penggunaan  bahasa  pertama  di  dalam kelas.

2. Wawancara,  yaitu  merupakan  salah  satu cara  pengumpulan  data  dengan  menanyakan masalah-masalah  penggunaan  bahasa  pertama anak kelas 7 dalam pembelajaran di dalam kelas kepa da  nara sumber.   Narasumber  adalah pendukung yang mengetahui permasalahan dalam penelitian,  yaitu  guru.  Jenis  wawancara  yang digunakan  adalah  wawancara  tidak  terstruktur, yaitu  wawancara  yang  dilakukan  dengan  luwes dan akrab. Tujuan melakukan wawancara adalah untuk  menyusun  dan  mengatur  serta  menata, memperluas kosntruksi, dan meramalkan berbagai

(9)

informasi  dari  masyarakat,  peristiwa,  perasaan, mptivasi, kepedulian, dan lain-lain (Lincoln&Guba, 1985).

Teknik Analisis Data

Tahap-tahap yang digunakan dalam pengolahan data dalam penelitian ini yaitu reduksi data, sajian data dan  penarikan  kesimpulan. Tiga  komponen  tersebut terlibat dalam proses yang saling berkaitan satu dengan lain serta menentukan hasil akhir (Sutopo, 2002:91). 1. Reduksi  data,  setelah  data  terkumpul

kemudian dilanjutkan proses seleksi, pemfokusan, penyerdehana an.  Tujuannya  adalah  untuk menyaring  data  yang  sesuai  dengan  tujuan penelitian.

2. Penyajian  data,  adalah  kegiatan  yang dilakukan  untuk  menyatukan  data  yang  telah direduksi,  sehingga  berguna  untuk  analisi selanjutnya. Kemudian dilanjutkan kembali dengan mereduksi hasil penyajian data.

3. Penarikan  kesimpulan,  setelah  semua  data dianalisis  kemudia n  dirumuskan  untuk mendapatkan hasil pengkajian yang kuat. Peneliti berusaha secara cermat mendapatkan kesimpulan setelah  data  diperoleh  secara  bertahap  dalam sebuah siklus. PEMBAHASAN Dalam penelitian ini kemampuan bahasa anak adalah pengetahuan bahasa yang dimiliki seorang anak sejak kecil yang penggunaanya secara konkrit berupa ujaran-ujaran yang dihasilkan untuk berkomunikasi di dalam  kelas  dan  lingkunganya.  Peneliti  telah mengamati bahasa percakapan yang digunakan anak-anak  SD  N  Kateguhan  dalam  berinteraksi.  Mereka menggunakan  bahasa  Jawa  Ngoko  saat  bercakap-cakap.  Percakapan  ini  terjadi  saat  proses  belajar

mengajar  berlangsung  sebelum  waktu  istirahat  tiba antara Azis dan Rudi mereka duduk sebangku paling belakang.

Azis  :  “ngko nek ngaso tuku iwak sepat koyok wingi yo”

“nanti waktu istirahat beli ikan sepat seperti kemarin ya”

Rudi : “wegah sanguku mung sitik,tak terke wae” “ tidak mau uang sakuku cuma sediki,saya antarkan saja.

Azis  :  “naknu pilihke iwak sing apik,ojo koyok wingi blawus”

“kalau begitu pilihkan ikan yang bagus, jangan seperti kemarin jelek”

Rudi  :  “opo,salahe dewe milih kae” “ salah sendiri milih yang itu”

Azis  :  “sing milihke yunita og wingi,kui wonge tekonono

“yang memilih yunita kemarin tanya saja” Blawus adalah kata umpatan yang diucapkan karena kurang senang atau puas terhadap sesuatu hal. Dalam  percakapan  itu Azis  kurang  puas  pada  ikan yang dibeli kemarin, mungkin karena ikannya terlalu kecil atau warnanya tidak menarik.

Selanjutnya  penulis  mengamati  percakapan siswa yang lain, yaitu antara Resti dan Nurma.

Resti  :  “aku due coklat beng-beng telu”. (sambil mengeluarkan coklat dari tas)

“saya punya coklat beng-beng tiga” Nurma  :  “njaluk siji ya,sesuk tak ijoli tango”

“minta  satu  ya  besok  saya  tukar  dengan tango”

Resti  :  “  emoh enak beng-beng og” “tidak mau lebih enak beng-beng”

(10)

Nurma : “Yowis” “ya udah “

Anak-anak seusia mereka suka pamer dengan apa  yang  dimiliki.  Mereka  ingin  terlihat  lebih  dari teman-teman  lainya.  Percakapan  diatas  menunjuka bahwa ibu dari resti suka memanjakan nya dirumah, terbukti  dengan  apa  yang  dikatakan  R esti memamerkan makanan  yang dia  bawa.

Suasana  kelas  pada  saat  itu  sedikit  gaduh karena  tidak  dijaga  bapak  ibu  guru.  Anak-anak berceloteh  mengutarakan  apa  yang  ada  dipikiran mereka. Mereka saling menceritakan tentang apa saja yang  disukai.  Tetapi  ada  anak  yang  hanya  diam mendengar dan mengamati teman-temanya bersenda gurau. Ada percakapan yang penulis berhasil amati.

Tyas  :  “Abdiii,ojo dijupuk bolpenku!” “Abdi, jangan diambil bolpenku!

(Terjadi tarik-menarik bolpoin antara Tyas dan Abdi. Abdi berusaha mengambil bolpoin dengan paksa.)

Abdi  :  “  aku jileh sedilit go ngorek-ngorek yo” “saya pinjam sebentar ya untuk coret-coret”. Tyas :   “ ojoo, lagi ta go nulis. Gowo rene cepet!” “  jangan,  baru  saya  pakai  menulis.  Bawa kesini  cepat!

Kemudian teman bangku Tyas membelanya. Anora : “ kamu jangan paksa kalau tyas gak mau

minjemin! (berteriak)

Abdi  :  “  kowe ki ngopo melu-melu” “kenapa kamu ikut-ikutan”

Teman  bangku  Tyas  menggunakan  bahasa Indonesia  saat  mer eka  berinteraksi.  Peneliti menanyakan  darimana  asal  Anora.  Siswa  tersebut pindahan dari SD didaerah Bekasi. Saat pulang sekolah Anora  dijemput  Ibunya  yang  juga  menggunakan bahasa  Indonesia.  Ibu  menjadi  salah  satu  faktor penentu  utama  ketika  seorang  anak  memperoleh bahasa pertamanya. Bahasa pertama yang diperoleh Anora  adalah  bahasa  Indonesia.  Anora  lahir  dan dibesarkan selama 6 tahun di Bekasi. Ibunya dari kecil mengajarkan  bahasa  Indonesia  dikarena  mereka tinggal  di  Bekasi  yang  mayoritas  penduduknya berbahasa Indonesia.  Lingkungan juga  berpengaruh terhadap  pemeroleha  bahasa  anak.  Saat  mereka bermain dengan teman-temanya diluar rumah mereka menggunakan bahasa yang diperoleh dari ibu juga dari teman  bermainya.  Seperti  yang  dikatakan  Krashen (2002) bahwa lingkungan informal adalah lingkungan alami  dan  na tural  ya ng  memungkinkan  anak berinteraksi dengan bahasa tersebut. Sehingga anak-anak  mempunyai  tambahan  perolehan  bahasa  dari lingkungan bermainya.

Pembelajaran  bahasa  pertama  adalah  proses memahaminya  seorang  atau lebih  individu  terhadap suatu bahasa sampai batas tertentu. Dengan demikian, belajar  bahasa  pertama  berarti  belajar  menguasai bahasa yang kedua  diberikan kepada mereka.

Perbedaan  pemerolehan  dan  pembelajaran bahasa bisa dilihat pada tabel berikut ini.

(11)

Pembelajaran Bahasa

  

1.  Berfokus pada bentuk-bentuk bahasa  2.    Keberhasilan  didasarkan  pada  penguasaan  

bentuk-bentuk bahasa  3.  Pembelajaran ditekankan pada tipe-tipe       bentuk dan struktur bahasa,  aktivitas       dibawah perintah guru  4.  Koreksi kesalahan sangat penting untuk        mencapai tingkah penguasaan  5.  Belajar merupakan proses sadar untuk        menghafal kaidah, bentuk, dan struktur  6.  Penekanan pada kemampuan produksi       mungkin  dihasilkan  dari  ketertarikan  pada 

tahap awal.  Pemerolehan Bahasa    1.  Berfokus pada komunikasi penuh makna  2.   Keberhasilan didasarkan pada penggunaan  bahasa untuk  melaksanakan sesuatu;  3.   Materi ditekankan pada ide dan minat anak  aktivitas berpusat pada anak  4.   Kesalahan merupakan hal yang wajar  5.   Pemerolehan merupakan proses bawah        sadar  dan  terjadi  melalui  pemajanan  dan  

masukan yang dapat dipahami anak  6.  Penekanan pada tumbuhnya kecakapan        bahasa secara alamiah  

Ada beberapa faktor-faktor yang  mempengaruhi pembelajaran bahasa pertama.. Pertama, faktor motivasi. Belajar bahasa yang dilandasi oleh motivasi yang kuat, akan  memperoleh hasil yang lebih baik. Motivasi, dalam perspektif  ini  meliputi dorongan,  hasrat,  kemauan,  alasan,  atau  tujuan  yang  menggerakkan  seseorang  untuk belajar bahasa. Motivasi berasal dalam diri individu, yang dapat digolongkan sebagai motivasi integratif dan motivasi instrumen. Motivasi integratif berkaitan dengan keinginan untuk menjalin komunikasi dengan penutur, sedangkan motivasi instrumen mengacu pada keinginan untuk memperoleh prestasi atau pekerjaan tertentu.

Kedua, adalah faktor lingkungan, meliputi lingkungan formal dan informal. Lingkungan formal adalah lingkungan sekolah  yang  dirancang  sedemikian rupa, artifisial,  bagian dari pengajaran,  dan  diarahkan untuk melakukan aktivitas yang berorientasi kaidah (Krashen, 2002). Lingkungan informal adalah lingkungan alami dan natural yang memungkinkan anak berinteraksi dengan bahasa tersebut. Menurut Dulay (1982), lingkungan informal, terutama teman sebaya, memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam proses pemerolehan bahasa. Selain itu, lingkungan yang diperkaya pun sangat membantu anak menguasai bahasa. Tersedianya materi-materi cetak, buku-buku bergambar, dan media-media yang setiap saat dapat dilihat anak merupakan bagian dari lingkungan yang diperkaya.

Sebagai  materi  muatan  lokal,  bahasa  Jawa  memang  telah  diajarkan  di  daerah-daerah  yang  memiliki penutur bahasa Jawa, yakni DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.   Meskipun demikian, pembelajaran bahasa Jawa,  terutama  Krama,  dinilai  kurang  memenuhi  sasaran.  Pelajaran  bahasa  jawa  yang  diberikan  terkadang tidak sesuai dengan kehidupan sehari-hari.

(12)

Penggunaan metode dan teknik yang beragam dan terintegrasi (Bredekamp, 1987) membuat memiliki kesempatan untuk menguatkan masukan dari berbagai sumber selain sumber lisan, seperti melihat gambar, menyentuh,  menyanyi,  melakukan,   dan mempraktikkannya dalam interaksi verbal sehari-hari. Adapun metode yang akan diintegrasikan dalam model ini adalah bercerita dan bercakap-cakap.

Belajar melalui bercerita

Dialog dalam cerita dapat menjadi model bagi anak untuk  menghasilkan   tuturan yang  gramatikal. Fitur  (ciri)  struktur  kalimat  bahasa  Indonesia  dan daerah dapat diidentifikasi anak melalui contoh dialog cerita.  Didalam  buku  materi  bahasa  Jawa  terdapat banyak cerita. Guru harus mengekplorasi  Selain itu, anak juga memperoleh keluasan kata sehingga kalimat yang dihasilkan lebih baik.

Belajar melalui Bercakap-cakap

Bercakap-cakap  merupakan  metode pembelajaran  bahasa  yang  sangat  efektif  untuk mengembangkan  kecakapan  berbicara  (termasuk kecakapan pragmatik) sekaligus dapat dipergunakan untuk  mengukur  seberapa  tingkat  penguasaan  anak terhadap  bahasa  target.  Sayangnya,  apabila  tidak dilakukan secara hati-hati, metode ini akan membuat anak diam seribu bahasa.

Sebenarnya,  metode  bercakap-cakap  sangat efektif  untuk  membiasakan  anak  bersikap  sopan, seperti  dalam  mengucapkan  salam,  mengajukan permohonan,  meminta  tolong,  dan  mengucapkan terima kasih. Oleh karena itu, pembiasaan berbicara dalam  bahasa  Jawa  Krama  sangat  penting  untuk diterapkan.

Dengan  pembelajaran  bahasa  Jawa  melalui bercerita dan bercakap-cakap, diharapkan siswa dapat

memahami bahasa  Jawa dengan mudah.  Metode ini asik  dan  tidak  membosankan,  sehingga  siswa  akan lebih mudah  memahami  dan mempraktekkan secara langsung di dalam kelas saat pelajaran berlangsung.

SIMPULAN  DAN  SARAN

Hasil dari pengamatan terhadap siswa kls 2 SD N kateguhan usia 7 tahun menunjukan bahwa semua anak-anak  dikelas  tersebut  menggunakan  bahasa Jawa Ngoko  ketika berkomunikasi.  Hanya ada  satu anak  yang  menggunakan  bahasa  Indonesia.  Anak-anak  yang  menggunakan  bahasa  jawa  Ngoko  oleh Ibunya pada saat kecil diajarkan dengan bahasa Jawa Ngoko.  Jadi  bahasa  pertama  mereka  adalah  bahasa Jawa lebih khususnya Ngoko. Sedangkan anak yang menggunakan bahasa Indonesia, dari kecil diajarkan bahasa  Indonesia  oleh  ibunya  sehingga  bahasa pertamanya  adalah bahasa  Indonesia.  Pembelajaran bahasa Jawa  yang sesuai dengan  anak  usia  7 tahun adalah belajar melalui bercerita dan bercakap-cakap. Metode  ini  sangat  mudah  dan  menyenangkan, sehingga siswa akan lebih mudah memahami bahasa Jawa.

Pemerolehan  bahasa  Jawa  di  lingkungan  SD N Kateguhan Boyolali masih rendah. Anak-anak tidak menggunakan  bahasa  Jawa  yang  baik  dan  halus. Mereka menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Semoga kedepannya  para  orang  tua  terutama  ibu  dapat memberikan  bahasa  pertama  anak  dengan  bahasa daerah  yang  baik  dan  halus.  Sehingga  anak-anak mengerti  unggah ungguh  atau  tata  krama  kepada sesama  dan  bapak  ibu  guru.  Sebab  kemampuan berbahasa jawa termasuk kemampuan berbahasa jawa krama sangatlah penting untuk diajarkan kepada anak-anak  sejak  mereka  masih  kecil,  sebab  anak-anak adalah calon generasi penerus dimana pada gilirannya nanti  akan  menggantikan  peranan  orang  tua.

(13)

Kegiatan-kegiatan  kemasyarakatan  yang  banyak diwarnai  oleh  tata  krama  jawa  perlu  dipersiapkan. Selain  itu  menggunakan  bahasa  daerah  merupakan upaya untuk menjaga dan melestarikan budaya daerah sebagai warisan budaya. Hal ini harus diajarkan dan diterapkan  sejak  usia  dini,  khususnya  pada  tahap seorang  anak memperoleh  bahasa  pertama kali  dari ibunya.

Proses belajar-mengajar bahasa Jawa sebagai bahasa pertama perlu diperhatikan beberapa variabel, seperti yang bersifat linguistik maupun yang bersifat nonlinguistik  yang  dapat  menentukan  keberhasilan

dalam  proses  mempelajari  bahasa.  Kedua  variabel tersebut  bukan  merupakan  hal  yang  terpisah  atau berdiri sendiri-sendiri, melainkan merupakan hal yang saling berhubungan, berkaitan, serta berpengaruh.

Dalam  pelajaran  bahasa Jawa,  bukan  saja   kema mpuan   berbahasa   pa ra    anak   didik  ditingkatkan,  tetapi  juga  anak  didik  harus  diajari   sopan-santun  dalam  berbahasa.  Para  guru  harus  mengajari  para    anak    didik   bukan   saja   tentang  arti  kata-kata  dan  ungkapan (termasuk  peribahasa), melainkan  juga  harus  mengajari   para  anak  didik  tentang   penggunaan   bahasa  dalam  masyarakat. 

(14)

DAFTAR  PUSTAKA

Abdul Chaer. 2009. Psikolinguistik: kajian teoritik. Jakarta: Rineka Cipta.

Abdul  Chaer   dan  Leoni  Agustina.  2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta  : Rineka Cipta.

Bredekamp,  Sue.  1987.Development ally Appropriate Practice in Early Childhood Programs Serving C hildren from Birth Throught Age 8.  Washington  :  NAEYC. Edi Subroto, D. 2007. Pengantar Metode Penelitian

Linguistik  Struktural.  Surakarta:  Universitas Sebelas  Maret  Press.Harimurti  Kridalaksana. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka  Utama.

Guba, E. G., & Lincoln, Y. S. 1985. Naturalistic Inquiry. Newbury Park, CA: Sage.

HB Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta:  UNS  Press.

Krashen,  Stephen  D.  1988.  Second Language Acquisition and Second Language Learning.  US: Prentice- Hall International.

Lexy  J,  Moleong.  2001.  Metode Pnenelitian Kualitatif. Bandung:  Remaja  Rosdakarya Moha mmad  Ali  &  Moha mmad  Asrori.  2004.

Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta:  Bumi Aksara

Subiyakto N, Sri Utari. 1988. Psikolinguistik: Suatu Pengantar.  Jakarta:  Depdikbud.

Sumarsono.  2007.  Sosiolinguistik.Yogyakarta: Pustaka  Pelajar.

Tarigan,  Henry  Guntur.  1986. Psikolinguistik, Bandung: Angkasa.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

199 I PUTU AGUS PUTRA ADNYANA PENELITIAN DAN EVALUASI PENDIDIKAN. 200 SI NGURAH GEDE OKADANA PENELITIAN DAN

Adanya pengaruh yang positif menunjukkan bahwa ketika nilai ROE meningkat, maka akan menyebabkan peningkatan pada Harga Saham Syariah PT.. Unilever Indonesia

Bank Rakyat Indonesia sebagai salah satu bank pemerintah yang memiliki fasilitas kredit yang bisa mendukung para pengusaha mikro, kecil, menengah dan koperasi yaitu

Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh staf Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama

aplikasi [1]. Agar dapat mengetahui ukuran tubuh pada aplikasi ruang ganti virtual, proses akan diawali dengan mengatur posisi pengguna terhadap Kinect untuk

2 I WAYAN ADNYANAS.Sn., M.Sn Modal sosial Institusional Pita Maha (Praktik Sosial Pelukis Bali 1930-an) Seni Murni FSRD DISERTASI DOKTOR 50,000,000 PUSAT.. 3 Drs.I WAYAN MUDANA,

[r]