Progdi Manajemen, Universitas Nahdlatul Ulama
PENGGUNAAN BAHASA PERTAMA (BAHASA JAWA)
DI DALAM KELAS ANAK USIA 7 TAHUN
PADA SISWA SD N KATEGUHAN BOYOLALI
Anni Nurul Hidayati
Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk melihat proses pemerolehan bahasa anak usia 7 tahun dari
keluarganya di dalam penggunaan bahasa Jawa saat proses belajar dan berinteraksi di kelas.
Penelitian ini merupakan studi kasus yang menggunakan pendekatan deskriptif. Subjek penelitian ini adalah beberapa siswa Sekolah Dasar usia 7 tahun. Objek dalam penelitian ini berupa kalimat dan konteks penggunaan kalimat bahasa Jawa yang digunakan oleh subjek. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan dan dokumentasi. Hasil pengamatan dan dokumentasi kemudian dideskripsikan.
Hasil dari pengamatan terhadap siswa kelas 2 SD N kateguhan usia 7 tahun menunjukan bahwa semua anak-anak dikelas tersebut menggunakan bahasa Jawa Ngoko ketika berkomunikasi. Anak-anak tidak menggunakan bahasa Jawa yang baik dan halus. Mereka menggunakan bahasa Jawa Ngoko, hanya ada satu anak yang menggunakan bahasa Indonesia. Pembelajaran bahasa Jawa yang sesuai dengan anak usia 7 tahun adalah belajar melalui bercerita dan bercakap-cakap. Metode ini sangat mudah dan menyenangkan, sehingga siswa akan lebih mudah memahami bahasa Jawa.
Kata kunci: pemerolehan bahasa pertama, bahasa jawa, proses pembelajaran
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Bahasa (language) merupakan sistem lambang bunyi yang arbiter, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentfikasi diri (Harimurti Kridalaksana, 2008: 24). Bahasa pada dasarnya digunakan untuk menyampaikan ide dan gagasan dari penutur. Ar tinya, bahasa merupa kan sa rana komunikasi utama.
Proses anak mulai mengenal bahasa untuk berkomunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemer olehan bahasa a nak.
Pemerolehan bahasa pertama terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi dari pada bentuk bahasanya. Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit.
Menurut Kiparsky (Tarigan, 1986: 243) pemerolehan bahasa merupakan suatu proses yang dipergunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang makin bertambah rumit, ataupun teori-teori yang masih terpendam atau
tersembunyi yang mungkin sekali terjadi, dengan ucapan-ucapan orang tuanya sampai dia memilih, berdasarkan suatu ukuran atau dari bahasa tersebut. Artinya bahwa anak-anak mulai berbahasa bisa dilihat dari pengamatan dalam perkembangan hidup sehari-hari anak. Anak-anak biasanya mendengar dan melihat bunyi bahasa disekelilingnya tanpa mereka sadari. Kata-kata yang didengar oleh anak tersebut akan terus berkembang tahap demi tahap menjadi kata yang lebih bermakna. Proses perkembangan tersebut mulalui berbagai tahapan-tahapan perkembangan bahasa anak, mulai kanak-kanak sampai dengan penguasaan usia sekolah.
Kemampuan ber bahasa jawa termasuk kemampuan berbahasa jawa karma sangatlah penting untuk diajarkan kepada anak-anak sejak mereka masih kecil, sebab anak-anak adalah calon generasi penerus dima napada gilirannya nanti akan menggantikan peranan orang tua. Kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang banyak diwarnai oleh tata krama jawa perlu dipersiapkan. Selain itu menggunakan bahasa daerah merupakan upaya untuk menjaga dan melestarikan budaya daerah sebagai warisan budaya. Hal ini harus diajarkan dan diterapkan sejak usia dini, khususnya pada tahap seorang anak memperoleh bahasa pertama kali dari ibunya atau biasa disebut bahasa ibu. Proses anak mulai mengenal dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan peme-rolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi dari pada bentuk bahasanya. Dengan demikian, seorang anak akan mempunyai kemampuan bahasa secara utuh dalam pemakaian bahasa pertama yaitu bahasa daerah.
Bahasa ibu adalah satu sistem linguistik yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari ibu atau keluarga yang memelihara seorang anak (Chaer dan Agustina, 2004: 81). Ibu menjadi salah satu faktor penentu utama bagi seorang anak untuk memperoleh bahasa pertamanya. Ibu juga berperan besar untuk memilihkan kata mana saja yang layak digunakan untuk berinteraksi di dalam masyarakat sehingga anak mampu menggunakan kata dengan baik. Untuk mendorong anak supaya mau menggunakan kata-kata dengan baik, seorang ibu dalam berinteraksi dengan si anak “meluluhkan” atau mengakomodasikan diri ke dalam bahasa anak (Sumarsono, 2007: 139). Berbahasa ada sepanjang umur hidup manusia. Pemerolehan bahasa terjadi sejak manusia lahir dan berkembang terus sampai akhir hayatnya. Para psikolog mendefinisikan perkembangan bahasa sebagai kemampuan individu dalam menguasai kosakata, ucapan, gramatikal, dan etika pengucapannya dalam kurung waktu tertentu sesuai dengan perkembangan umur kronologisnya. Perkembangan bahasa individu menurut Laura E. Berk merupakan kemampuan khas manusia yang paling komplek dan mengagumkan. (Mohammad Ali & Mohammad Asrori, 2004: 122). Meskipun bahasa itu kompleks, tapi pada umumnya berkembang pada anak dengan kecepatan yang luar biasa. Demikian cepatnya perkembangan bahasa pada anak sehingga dalam waktu singkat dapat menguasai banyak kosakata, ucapan, dan bahkan cara mengucapkannya. Pembelajaran bahasa pertama adalah proses memahaminya seorang atau lebih individu terhadap suatu bahasa sampai batas tertentu. Dengan demikian, belajar bahasa pertama berarti belajar menguasai bahasa yang kedua diberikan kepada mereka. Menurut Ellis (dalam Chaer, 2009: 324), menyebutkan
adanya dua tipe pembelajaran bahasa, yaitu tipe naturalistik dan tipe formal di dalam kelas. Yang pertama, tipe naturalistik yaitu bersifat alamiah, tanpa guru, serta tanpa kesengajaan. Pembelajran dalam tipe ini terjadi dalam lingkungan suatu masyarakat. Seorang anak yang di dala m lingkungan keluarganya menggunakan bahasa pertama bahasa Jawa. Yang kedua yaitu tipe formal berlangsung di dalam kelas. Tipe ini seharusnya hasil yang diperoleh lebih baik dari tipe naturalistik, karena dalam tipe formal ini segalanya sudah dipersiapkan, dengan adanya guru, materi, alat-alat bantu belajar, dsb. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas dua di SD N Kateguhan Boyolali. Penelitian bertujuan untuk melihat proses pemerolehan bahasa anak dari keluarganya di dalam penggunaan bahasa Jawa di kelas saat berinteraksi dengan teman-teman. Peneliti membatasi subyek penelitian kepada beberapa anak. Alasan kenapa pemilihan tempat di SD N Kateguhan Boyolali semata-mata karena peneliti tinggal di didaerah lokasi tersebut. Penelitian ini dipandang perlu sebab setiap anak memiliki kemampuan masing-masing berbeda sesuai dengan faktor lingkungan dan keluarga khusunya ibu. Dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis menunjukkan bahwa bahasa jawa yang digunakan anak-anak SD N Kateguhan Boyolali adalah bahasa Jawa Ngoko. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena ibu tidak mengajarkan dan membiasakan anak-anaknya menggunakan bahasa Jawa Kromo halus sebagai bahasa pertamanya. Oleh karena itu, anak tidak memiliki kompetensi dan kemampuan berbahasa Jawa yang baik dan halus. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Setiap data yang diperoleh didalam penelitian kemudian dideskripsikan dan dianalisis sesuai yang terjadi di lapangan. Selanjutnya peneliti menganalisa
hasil penelitian didalam pemebelajaran bahasa Jawa anak kelas 2 SD Kateguhan Sawit Boyolali.
LANDASAN TEORI
Pragmatik
Pragmatik, menurut Harimurti (2008: 198) pragmatik adalah syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi. Komponen pragmatik ini lebih merujuk pada sisi komunikatif dari bahasa. Ini berkenaan dengan bagaimana menggunakan bahasa yang baik dalam berkomunikasi dengan orang lain. Pragmatik merupakan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi dan aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujara. Pragmatik mempelajari bagaimana bahasa itu digunakan untuk berkomunikasi.
Menurut definisi diatas, segi penggunaan baha sa utama dalam pragmatik, bagaimana penggunaan bahasa dalam tuturan dan dalam konteks bagaimana tuturan itu digunakan. Yang dimaksud dengan konteks adalah siapa yang menuturkan, mengatakan pada siapa, tempat dan waktu yang diujarkan suatu kalimat, anggpapan-anggapan mengenai sesuatu yang terlibat didalam tindakan menuturkan kalimat.
Pengertian Pemerolehan Bahasa Pertama
Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah suatu proses yang diperlukan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang semakin bertambah rumit ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi dengan ucapan-ucapan orang tuanya sampai ia memilih berdasarakn suatu ukuran atau
takaran penilaian, tata bahasa yang baik serta paling sederhana dari bahasa.
Bahasa yang pertama kali dikenal dan diperoleh anak-anak dalam kehidupannya adalah bahasa Ibu (mother language) atau sering disebut dengan bahasa pertama (first language). Bahasa inilah yang mula-mula dikenal oleh anak kecil dan dipergunakan dalam kehidupannya sehari-hari sebagai bahasa komunikasi. Anak-anak biasanya mendengar dan mengamati bunyi-bunyi bahasa di sekelilingnya tanpa disuruh atau disengaja. Kemudian lama kelamaan apa-apa yang didengar dan apa-apa yang diamatinya itu berkembang terus menerus tahap demi tahap sesuai dengan perkembangan kemampuan intelegensi dan latar belakang sosial-budaya yang membentuknya.
Stephen Krashen adalah satu ahli dalam bidang linguistik, mengkhususkan di dalam teori-teori pemerolehan bahasa dan pengembangan. Banyak dari riset terbarunya yang sudah melibatkan studi dari non- English dan pemerolehan bahasa kedua. Acquisition-Learning adalah asas paling utama dari semua hipotesis di dalam teori Krashen dan yang paling luas mengenal antar praktisi-praktisi ahli dan bahasa. Menurut Krashen (1988) ada dua sistem yang mandiri dari kinerja bahasa kedua: system yang diperoleh dan sistem yang dipelajari/terpelajar:
a. Sistem yang diperoleh atau didapatnya. Merupakan produk dari suatu proses bawah sadar yang sangat serupa dengan anak-anak, proses ini dialami merek ketika mereka memperoleh bahasa yang pertama. Hal itu memerlukan interaksi penuh arti di dalam sasaran bahasa komunikasi alami (wajar) dimana para pembicara dipusatkan bukan dalam wujud ucapan-ucapan mer eka, tetapi da lam tindak komunikatif.
b. Sistem yang dipelajari/terpelajar atau pelajaran.
Merupakan produk dari instruksi dan formal yang meliputi suatu proses sadar yang mengakibatkan pengetahuan sadar sekitar bahasa, sebagai contoh pengetahuan tentang tata bahasa memerintah. Menurut Krashen yang penting adalah pelajaran lebih sedikit dibanding ‘didapatnya’.
Ciri-ciri Proses Pemerolehan Bahasa Pertama
Untuk dapat berbahasa (bahasa pertama dan bahasa kedua) dengan baik, seseorang harus menguasai tiga komponen, yaitu kompetensi semantik, kompetensi sintaksis, dan kompetensi fonologis. Karena itu dapat disimpulkan tidak ada perbedaan substansi antara proses yang terjadi pada pemerolehan bahasa pertama dan kedua. Perbedaan antara keduanya akan muncul pada suasana pemerolehan, yaitu ditandai beberapa macam 1. Kesadaran pembelajaran 2. Waktu 3. Tempat 4. Motivasi dan tujuan 5. Praktik dan penelitian 6. Umur pembelajar 7. Alat bantu pemerolehan 8. Pengorganisasian
Dala m pemerolehan ba hasa per tama berlangsung seolah-olah mengalir dengan sendirinya. Pemerolehan tidak menyadari bahwa dirinya sedang mendapatkan bahasa . pemerolehan bahasa pertama berlangsung sejak lahir. Kesempatan untuk mencoba pada pemerolehan bahasa pertama waktunya sangat luas. Dalam pemerolehan bahasa pertama dapat memperolah bahasa keduanya dimana saja dalam
lingkungan rumah dan masyarakat yang akrab dan dinamis.
Pada pemerolehan bahasa pertama (anak-anak) akan sangat menent ukan keberhasilan pemerolehan bahasa kedua, yang berkaitan dengan waktu , tempat dan motivasi. Pemebelajar bahasa pertama memiliki kesempatan untuk berlatih lebih banyak. Pemerolehan bahasa pertama anak adalah bahasa daerah karena bahasa itulah yang diperolehnya pertama kali. Perolehan bahasa pertama terjadi apabila seorang anak yang semula tanpa bahasa kini ia memperoleh bahasa. Bahasa daerah merupakan bahasa pertama yang dikenal anak sebagai bahasa pengantar dalam keluarga atau sering disebut sebagai bahasa ibu.
Tingkat Tutur Bahasa Jawa
Tingkat tutur atau ungah-ungguh menurut Harimurti Kridalaksana adalah system ragam bahasa menurut hubungan antara pembicara; secara kasar terjadi dari ngoko, krama dan madya. Sistem ragam baha sa itu merupakan bentuk–bentuk yang diungkapkan dalam situasi formal maupun non formal. Tingkat tutur yang diungkapkan dalam situasi formal adalah krama, sedangkan dalam situasi nonformal digunakan bentuk ngoko.
Tingkat tutur yaitu variasi bahasa yang perbedaan-perbedaannya ditentukan oleh anggapan penutur akan relasinya dengan orang yang diajak. Relasi yang dimaksud dapat bersifat akrab, sedang, berjarak, menaik, mendatar, dan menurun. Relasi yang bersifat akrab, sedang, dan mendatar dapat disejajarkan dengan dimensi horisontal atau hubungan yang simentris sedangkan relasi yang bersifat berjarak, menaik, dan menurun dapat disejajarkan dengan dimensi vertikal (hubungan asimetris).
Pengertian tingkat tutur tersebut mengisyaratkan adanya dua hal yang berkaitan, yaitu (1) penanda lingual dan (2) faktor penentu nonlingual. Pena nda lingual ber upa var iasi ba hasa mengisyaratkan bentuk bahasa yang heterogen, sedangkan faktor penentu nonlingual berupa anggapan akan relasinya dengan orang yang diajak bicara mengisyaratkan relasi yang beranekan macam. Pembicaraan mengenai tingkat tutur, khususnya dalam bahasa Jawa biasanya berkisar pada bentuk tingkat tutur.
Soepomo Poedjosoedarmo membagi tingkat tutur bahasa Jawa menjadi tiga jenis, yaitu (1) tingkat tutur krama, (2) tingkat tutur madya, dan (3) tingkat tutur ngoko.
1. Tingkat Tutur Ngoko
Tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara penutur (O1) terhadap mitra tutur (O2 ), artinya O1 tidak memiliki rasa segan terhadap O2. Jadi, bagi orang yang ingin menyatakan keakraban terhadap orang lain, tingkat ngoko inilah yang seharusnya digunakan. Dengan perkataan lain hubungan antara keduanya tidak diba tasi oleh semacam rasa segan atau “pekewuh”. Oleh karena tidak ada rasa yang sedemikian, maka tingkat ngoko yang dipakai di dalam bertutur.Tuturan yang muncul antarteman sejawat akrab biasa menggunakan tingkat ngoko. Orang yang berpangka t tinggi juga biasa menggunakan tingkat tutur ngoko untuk berbicara dengan orang yang berpangkat rendah. Antara orang yang akrab, tetapi antarkeduanya terdapat saling menghormati akan digunakan tingkat tutur ngoko yang sifatnya halus. tingkat Tersebut dinamakan antyabasa atau basaantya.
2. Tingkat Tutur Madya
Tingkat tutur madya a dalah ba hasa pertengahan antara ngoko dan krama. Tingkat tutur yang madya menunjukkan kesopanan menengah atau sedang. Dalam kehidupan bermasyarakat lebih sering digunakan oleh orang-orang yang tinggal di pedesaan. Ungkapan-ungkapan dalam bahasa madya biasanya merupakan bentuk singkat dari bentuk yang sudah baku bentuk krama dan ngoko. a. Madya ngoko. b. Madyantara. c. Madya krama. 3. Tingkat Tutur Krama Tingkat tutur krama yaitu tingkat tutur yang mengungkapkan arti penuh sopan santun. Tingkat ini menanda kan ada nya per asaan segan (pakewuh) penutur terhadap lawan tutur, karena lawan tutur adalah orang yang belum dikenal, atau berpangkat atau priyayi, berwibawa, dan lain-lain. Dalam peristiwa tutur, ada jarak antara O1 dan O2. O1 bersikap hormat kepada O2 dan tidak boleh berbuat semaunya . Tingkat tutur krama mempunyai beberapa tingkatan yang merupakan kontinyu (kesinambungan) sebagai berikut. a. Mudha krama
Mudha krama ialah tingkat yang paling sopan dan hormat yang biasa dipakai oleh O1 terhadap O2 yang mempunyai kelas sosial tinggi atau terhormat dan kalimatnya mengandung kata-kata dan imbuhan krama serta mengandung krama inggil dan karma andhap. Pemakaian krama inggil bertujuan untuk menghormati orang yang diajak bicara dan pemakaian krama andhap bertujuan untuk merendahkan penutur (diri sendiri). Bentuk ini
adalah bentuk yang paling sopan dan hormat, yang biasanya diajarkan oleh penutur kepada mitra tutur yang berkelas sosial tinggi atau dianggap berkedudukan terhormat. Tingkat tutur ini digunakan oleh orang muda kepada orang tua. Sebagai contoh dapat dilihat dalam kalimat berikut ini : ‘Nembe kemawon, bapak kesah dating kantor lan miyos griya panjenengan’. artinya ‘Baru saja, kalau jadi, bapak pergi ke kantor dan juga lewat rumah mu.’ Kalimat tersebut merupakan bentuk kalimat krama yang diramu dengan inggil dan krama andhap terdapat pada kata ‘kesah’ berarti ‘pergi’ dan bentuk krama inggil pada kata ‘miyos’ berarti ‘lewat’ dan ‘panjenengan’ artinya ‘kamu’.
b. Kramantara
Kramantara ialah tingkat krama yang hanya mengandung kata-kata krama, sehingga tidak ditemukan adanya kata-kata krama inggil ata u krama andhap di dalam kalimatnya. Tingkat tutur ini biasanya digunakan oleh orang tua terhadap orang yang lebih muda dan orang-orang yang sama kedudukan sosialnya misalnya pangka t, umur dan sebagainya. Sebagai contoh dapat dilihat pada kalimat berikut ini : “Nembe kemawon, Bapak kesah dateng kantor lan langkung griya sampeyan”. artinya ‘Baru saja, bapak pergi ke kantor dan lewat rumahmu’. Kalimat tersebut menggunakan kalimat krama dan tidak mengandung unsur krama inggil atau krama andhap.
c. Wredha krama
Wredha krama ialah tingkat krama yang tidak mengandung krama inggil atau karma
andhap, bahkan mengandung sufiks ngoko. Tingkat tutur ini biasanya digunakan oleh orang tua (wredha) kepada orang yang lebih muda. Afiks yang digunakan adalah afiks {di}, {e}, dan {-ake}. Penggunaan afiks ngoko akan menurunkan tingkat kesopanan yang tercermin dalam ttur wredha krama ini. Tingkat tutur ini hanya dipakai oleh orang yang berstatus sosial tinggi kepada orang yang status sosialnya sedikit lebih rendah (Supana, 2003 : 23). Sebagai contoh dapat dilihat pada kalimat ini : ‘Nyuwun sewu, griyane Aji pundi, nggih ?’ artinya ‘minta maaf, dimana rumah Aji ?’. Terdapat kata ‘griyane’ sufiks {-e} menunjukkan tingkat tutur ngoko. Kalimat tersebut menunjukkan penggunaan tingkat tutur wredha krama yang ditujukkan dengan sufiks {di}, {e}, dan {-ake} yang merupakan afiks bentuk ngoko.
Faktor Penentu Kesantunan Dan Ketaksantunan Berbahasa
Faktor penentu kesantunan adalah segala hal yang dapat mempengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak. Faktor penentu kesantunan berbahasa meliputi dua hal pokok, yaitu factor kebahasaan dan non kebahasaan.
1. Faktor Kebahasaan
Faktor kebahasaan tersebut adalah segala unsur yang berkaitan dengan masalah bahasa, baik bahasa verbal maupun non verbal. Meliputi : a. Pemakaian Diksi yang Tepat
Pemakaian diksi atau kata yang tepat saat bertutur dapat mengakibatkan tuturan menjadi santun. Ket ika penutur sedang bertutur, kata-kata yang digunakan dipilih dsesuai dengan topik yang dibicarakan, konteks pembicaraan, suasana mitra tutur, pesan yang disampaikan, dan sebagainya.
b. Pemakaian Gaya Bahasa yang Santun Dalam berbahasa juga diperlukan suatu gaya bahasa karena gaya bahasa dapat juga menimbulkan pemakaian bahasa yang santun. Dengan pemakaian gaya bahasa yang santun, penutur telah menunjukan sebagai orang yang bijaksana menyampaikan pesan atau maksud kepada mitra tutur.
c. Pemakaian Struktur Kalimat yang Benar Pemakaian struktur kalimat yang benar dan baik meliputi ; kelengkapan kontruksi kalaimat, keefektifan kalimat, dan penggunaan bentuk kebahasaan, tentu saja penggunaan bentuk bahasa yang santun yang sesuai dengan konteks tuturan.
d. Aspek Intonasi
Aspek intonasi dalam bahasa lisan sangat menentukan santun tidaknya pemakaian baha sa. Ket ika penutur menyampa ikan maksud kepada mitra tutur dengan menggunakan intonasi keras padahal jarak mitra tutur berada jarak yang sangat dekat dengan penutur, penutur akan dinilai tidak santun. Seblaiknya, jika penutur menyampaikan intonasi dengan lembut penutur, akan dinilai sebagai orang yang santun.
e. Aspek Nada Bicara
Aspek nada dalam bertutur lisan dapat juga mempengaruhi kesantunan berbahasa seseorang. Nada adalah naik turunnya ujaran yang menggambarkan suasana hati penutur ketika sedang bertutur.
2. Faktor Kenonbahasaan
Pada saat berkomunikasi, penutur tidak hanya melibatkan faktor kebahasaan. Namun penutur juga melibatka fa ktor-fa ktor
kenonbahasaan yang akan menentukan kesantunan bertutur. Meliputi :
a. Topik Pembicaraan
Topik pembicaraan a dalah pokok masalah yang diungkapkan ketika terjadinya komunikasi antara penutur dan mitra tutur. Topik pembicaraan dalam suatau komunikasi sering mendorong seseorang untuk berbahasa secara santun dan tidak santun.
b. Konteks Situasi Komunikasi
Faktor non kebahasaan yang berupa konteks situasi ini adalah segala keadaan yang melingkupi terjadinya komunikasi. Hal ini dapat berhubungan dengan tempat, waktu, dan kondisi psikologis penutur, respon lingkungan terhadap tuturan, dan sebagainya. c. Pranata Sosial
Pranata sosial budaya masyarakat sebagai penentu kesantunan berbahasa dari aspek non kebahasaan memamg perlu diperhatikan bagi penutur. Misalnya, aturan anak kecil atau anak muda yang harus selalu hormat kepada oaring yang lebih tua, berbicara tidak boleh sambil makan, perempuan tertawa terbaha-bahak, dan sebagainya. METODOLOGI PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif. Edi subroto (2007) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang data-datanya berwujud konsep-konsep, kategori-kategori dan bersifat asbtrak, serta metode penelitian terhadap suatu masalah tidak didesain menggunakan metode statistik. Penelitian ini menggunakan metode deskirptif kualitatif berdasarkan pada fakta-fakta yang ada
dida lam dir i penutur. Ja di penelitian ini mendeskripsikan penggunaan bahasa Jawa dalam aktivitas belajar di kelas.
Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas 7 Sekolah Dasar Negeri Kateguhan Boyolali. Siswa kelas 7 berjumlah 25 anak. Mereka berasal dari daerah sekitar, hanya satu yang berasal dari Jakarta.
Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2001:112), sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata atau tindakan. Data tambahan adalah berupa dokumen dan lain-lain. Penelitian ini berusaha mendeskripsikan dengan cermat fakta bahasa yang digunakan dalam percakapan di dalam kelas.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Observasi Langsung, yaitu melihat fenomena yang terdapat dalam lokasi penelitian. Peneliti melihat secara langsung menggunakan alat indra proses penggunaan bahasa pertama di dalam kelas.
2. Wawancara, yaitu merupakan salah satu cara pengumpulan data dengan menanyakan masalah-masalah penggunaan bahasa pertama anak kelas 7 dalam pembelajaran di dalam kelas kepa da nara sumber. Narasumber adalah pendukung yang mengetahui permasalahan dalam penelitian, yaitu guru. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur, yaitu wawancara yang dilakukan dengan luwes dan akrab. Tujuan melakukan wawancara adalah untuk menyusun dan mengatur serta menata, memperluas kosntruksi, dan meramalkan berbagai
informasi dari masyarakat, peristiwa, perasaan, mptivasi, kepedulian, dan lain-lain (Lincoln&Guba, 1985).
Teknik Analisis Data
Tahap-tahap yang digunakan dalam pengolahan data dalam penelitian ini yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan. Tiga komponen tersebut terlibat dalam proses yang saling berkaitan satu dengan lain serta menentukan hasil akhir (Sutopo, 2002:91). 1. Reduksi data, setelah data terkumpul
kemudian dilanjutkan proses seleksi, pemfokusan, penyerdehana an. Tujuannya adalah untuk menyaring data yang sesuai dengan tujuan penelitian.
2. Penyajian data, adalah kegiatan yang dilakukan untuk menyatukan data yang telah direduksi, sehingga berguna untuk analisi selanjutnya. Kemudian dilanjutkan kembali dengan mereduksi hasil penyajian data.
3. Penarikan kesimpulan, setelah semua data dianalisis kemudia n dirumuskan untuk mendapatkan hasil pengkajian yang kuat. Peneliti berusaha secara cermat mendapatkan kesimpulan setelah data diperoleh secara bertahap dalam sebuah siklus. PEMBAHASAN Dalam penelitian ini kemampuan bahasa anak adalah pengetahuan bahasa yang dimiliki seorang anak sejak kecil yang penggunaanya secara konkrit berupa ujaran-ujaran yang dihasilkan untuk berkomunikasi di dalam kelas dan lingkunganya. Peneliti telah mengamati bahasa percakapan yang digunakan anak-anak SD N Kateguhan dalam berinteraksi. Mereka menggunakan bahasa Jawa Ngoko saat bercakap-cakap. Percakapan ini terjadi saat proses belajar
mengajar berlangsung sebelum waktu istirahat tiba antara Azis dan Rudi mereka duduk sebangku paling belakang.
Azis : “ngko nek ngaso tuku iwak sepat koyok wingi yo”
“nanti waktu istirahat beli ikan sepat seperti kemarin ya”
Rudi : “wegah sanguku mung sitik,tak terke wae” “ tidak mau uang sakuku cuma sediki,saya antarkan saja.
Azis : “naknu pilihke iwak sing apik,ojo koyok wingi blawus”
“kalau begitu pilihkan ikan yang bagus, jangan seperti kemarin jelek”
Rudi : “opo,salahe dewe milih kae” “ salah sendiri milih yang itu”
Azis : “sing milihke yunita og wingi,kui wonge tekonono
“yang memilih yunita kemarin tanya saja” Blawus adalah kata umpatan yang diucapkan karena kurang senang atau puas terhadap sesuatu hal. Dalam percakapan itu Azis kurang puas pada ikan yang dibeli kemarin, mungkin karena ikannya terlalu kecil atau warnanya tidak menarik.
Selanjutnya penulis mengamati percakapan siswa yang lain, yaitu antara Resti dan Nurma.
Resti : “aku due coklat beng-beng telu”. (sambil mengeluarkan coklat dari tas)
“saya punya coklat beng-beng tiga” Nurma : “njaluk siji ya,sesuk tak ijoli tango”
“minta satu ya besok saya tukar dengan tango”
Resti : “ emoh enak beng-beng og” “tidak mau lebih enak beng-beng”
Nurma : “Yowis” “ya udah “
Anak-anak seusia mereka suka pamer dengan apa yang dimiliki. Mereka ingin terlihat lebih dari teman-teman lainya. Percakapan diatas menunjuka bahwa ibu dari resti suka memanjakan nya dirumah, terbukti dengan apa yang dikatakan R esti memamerkan makanan yang dia bawa.
Suasana kelas pada saat itu sedikit gaduh karena tidak dijaga bapak ibu guru. Anak-anak berceloteh mengutarakan apa yang ada dipikiran mereka. Mereka saling menceritakan tentang apa saja yang disukai. Tetapi ada anak yang hanya diam mendengar dan mengamati teman-temanya bersenda gurau. Ada percakapan yang penulis berhasil amati.
Tyas : “Abdiii,ojo dijupuk bolpenku!” “Abdi, jangan diambil bolpenku!
(Terjadi tarik-menarik bolpoin antara Tyas dan Abdi. Abdi berusaha mengambil bolpoin dengan paksa.)
Abdi : “ aku jileh sedilit go ngorek-ngorek yo” “saya pinjam sebentar ya untuk coret-coret”. Tyas : “ ojoo, lagi ta go nulis. Gowo rene cepet!” “ jangan, baru saya pakai menulis. Bawa kesini cepat!
Kemudian teman bangku Tyas membelanya. Anora : “ kamu jangan paksa kalau tyas gak mau
minjemin! (berteriak)
Abdi : “ kowe ki ngopo melu-melu” “kenapa kamu ikut-ikutan”
Teman bangku Tyas menggunakan bahasa Indonesia saat mer eka berinteraksi. Peneliti menanyakan darimana asal Anora. Siswa tersebut pindahan dari SD didaerah Bekasi. Saat pulang sekolah Anora dijemput Ibunya yang juga menggunakan bahasa Indonesia. Ibu menjadi salah satu faktor penentu utama ketika seorang anak memperoleh bahasa pertamanya. Bahasa pertama yang diperoleh Anora adalah bahasa Indonesia. Anora lahir dan dibesarkan selama 6 tahun di Bekasi. Ibunya dari kecil mengajarkan bahasa Indonesia dikarena mereka tinggal di Bekasi yang mayoritas penduduknya berbahasa Indonesia. Lingkungan juga berpengaruh terhadap pemeroleha bahasa anak. Saat mereka bermain dengan teman-temanya diluar rumah mereka menggunakan bahasa yang diperoleh dari ibu juga dari teman bermainya. Seperti yang dikatakan Krashen (2002) bahwa lingkungan informal adalah lingkungan alami dan na tural ya ng memungkinkan anak berinteraksi dengan bahasa tersebut. Sehingga anak-anak mempunyai tambahan perolehan bahasa dari lingkungan bermainya.
Pembelajaran bahasa pertama adalah proses memahaminya seorang atau lebih individu terhadap suatu bahasa sampai batas tertentu. Dengan demikian, belajar bahasa pertama berarti belajar menguasai bahasa yang kedua diberikan kepada mereka.
Perbedaan pemerolehan dan pembelajaran bahasa bisa dilihat pada tabel berikut ini.
Pembelajaran Bahasa
1. Berfokus pada bentuk-bentuk bahasa 2. Keberhasilan didasarkan pada penguasaan
bentuk-bentuk bahasa 3. Pembelajaran ditekankan pada tipe-tipe bentuk dan struktur bahasa, aktivitas dibawah perintah guru 4. Koreksi kesalahan sangat penting untuk mencapai tingkah penguasaan 5. Belajar merupakan proses sadar untuk menghafal kaidah, bentuk, dan struktur 6. Penekanan pada kemampuan produksi mungkin dihasilkan dari ketertarikan pada
tahap awal. Pemerolehan Bahasa 1. Berfokus pada komunikasi penuh makna 2. Keberhasilan didasarkan pada penggunaan bahasa untuk melaksanakan sesuatu; 3. Materi ditekankan pada ide dan minat anak aktivitas berpusat pada anak 4. Kesalahan merupakan hal yang wajar 5. Pemerolehan merupakan proses bawah sadar dan terjadi melalui pemajanan dan
masukan yang dapat dipahami anak 6. Penekanan pada tumbuhnya kecakapan bahasa secara alamiah
Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran bahasa pertama.. Pertama, faktor motivasi. Belajar bahasa yang dilandasi oleh motivasi yang kuat, akan memperoleh hasil yang lebih baik. Motivasi, dalam perspektif ini meliputi dorongan, hasrat, kemauan, alasan, atau tujuan yang menggerakkan seseorang untuk belajar bahasa. Motivasi berasal dalam diri individu, yang dapat digolongkan sebagai motivasi integratif dan motivasi instrumen. Motivasi integratif berkaitan dengan keinginan untuk menjalin komunikasi dengan penutur, sedangkan motivasi instrumen mengacu pada keinginan untuk memperoleh prestasi atau pekerjaan tertentu.
Kedua, adalah faktor lingkungan, meliputi lingkungan formal dan informal. Lingkungan formal adalah lingkungan sekolah yang dirancang sedemikian rupa, artifisial, bagian dari pengajaran, dan diarahkan untuk melakukan aktivitas yang berorientasi kaidah (Krashen, 2002). Lingkungan informal adalah lingkungan alami dan natural yang memungkinkan anak berinteraksi dengan bahasa tersebut. Menurut Dulay (1982), lingkungan informal, terutama teman sebaya, memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam proses pemerolehan bahasa. Selain itu, lingkungan yang diperkaya pun sangat membantu anak menguasai bahasa. Tersedianya materi-materi cetak, buku-buku bergambar, dan media-media yang setiap saat dapat dilihat anak merupakan bagian dari lingkungan yang diperkaya.
Sebagai materi muatan lokal, bahasa Jawa memang telah diajarkan di daerah-daerah yang memiliki penutur bahasa Jawa, yakni DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Meskipun demikian, pembelajaran bahasa Jawa, terutama Krama, dinilai kurang memenuhi sasaran. Pelajaran bahasa jawa yang diberikan terkadang tidak sesuai dengan kehidupan sehari-hari.
Penggunaan metode dan teknik yang beragam dan terintegrasi (Bredekamp, 1987) membuat memiliki kesempatan untuk menguatkan masukan dari berbagai sumber selain sumber lisan, seperti melihat gambar, menyentuh, menyanyi, melakukan, dan mempraktikkannya dalam interaksi verbal sehari-hari. Adapun metode yang akan diintegrasikan dalam model ini adalah bercerita dan bercakap-cakap.
Belajar melalui bercerita
Dialog dalam cerita dapat menjadi model bagi anak untuk menghasilkan tuturan yang gramatikal. Fitur (ciri) struktur kalimat bahasa Indonesia dan daerah dapat diidentifikasi anak melalui contoh dialog cerita. Didalam buku materi bahasa Jawa terdapat banyak cerita. Guru harus mengekplorasi Selain itu, anak juga memperoleh keluasan kata sehingga kalimat yang dihasilkan lebih baik.
Belajar melalui Bercakap-cakap
Bercakap-cakap merupakan metode pembelajaran bahasa yang sangat efektif untuk mengembangkan kecakapan berbicara (termasuk kecakapan pragmatik) sekaligus dapat dipergunakan untuk mengukur seberapa tingkat penguasaan anak terhadap bahasa target. Sayangnya, apabila tidak dilakukan secara hati-hati, metode ini akan membuat anak diam seribu bahasa.
Sebenarnya, metode bercakap-cakap sangat efektif untuk membiasakan anak bersikap sopan, seperti dalam mengucapkan salam, mengajukan permohonan, meminta tolong, dan mengucapkan terima kasih. Oleh karena itu, pembiasaan berbicara dalam bahasa Jawa Krama sangat penting untuk diterapkan.
Dengan pembelajaran bahasa Jawa melalui bercerita dan bercakap-cakap, diharapkan siswa dapat
memahami bahasa Jawa dengan mudah. Metode ini asik dan tidak membosankan, sehingga siswa akan lebih mudah memahami dan mempraktekkan secara langsung di dalam kelas saat pelajaran berlangsung.
SIMPULAN DAN SARAN
Hasil dari pengamatan terhadap siswa kls 2 SD N kateguhan usia 7 tahun menunjukan bahwa semua anak-anak dikelas tersebut menggunakan bahasa Jawa Ngoko ketika berkomunikasi. Hanya ada satu anak yang menggunakan bahasa Indonesia. Anak-anak yang menggunakan bahasa jawa Ngoko oleh Ibunya pada saat kecil diajarkan dengan bahasa Jawa Ngoko. Jadi bahasa pertama mereka adalah bahasa Jawa lebih khususnya Ngoko. Sedangkan anak yang menggunakan bahasa Indonesia, dari kecil diajarkan bahasa Indonesia oleh ibunya sehingga bahasa pertamanya adalah bahasa Indonesia. Pembelajaran bahasa Jawa yang sesuai dengan anak usia 7 tahun adalah belajar melalui bercerita dan bercakap-cakap. Metode ini sangat mudah dan menyenangkan, sehingga siswa akan lebih mudah memahami bahasa Jawa.
Pemerolehan bahasa Jawa di lingkungan SD N Kateguhan Boyolali masih rendah. Anak-anak tidak menggunakan bahasa Jawa yang baik dan halus. Mereka menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Semoga kedepannya para orang tua terutama ibu dapat memberikan bahasa pertama anak dengan bahasa daerah yang baik dan halus. Sehingga anak-anak mengerti unggah ungguh atau tata krama kepada sesama dan bapak ibu guru. Sebab kemampuan berbahasa jawa termasuk kemampuan berbahasa jawa krama sangatlah penting untuk diajarkan kepada anak-anak sejak mereka masih kecil, sebab anak-anak adalah calon generasi penerus dimana pada gilirannya nanti akan menggantikan peranan orang tua.
Kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang banyak diwarnai oleh tata krama jawa perlu dipersiapkan. Selain itu menggunakan bahasa daerah merupakan upaya untuk menjaga dan melestarikan budaya daerah sebagai warisan budaya. Hal ini harus diajarkan dan diterapkan sejak usia dini, khususnya pada tahap seorang anak memperoleh bahasa pertama kali dari ibunya.
Proses belajar-mengajar bahasa Jawa sebagai bahasa pertama perlu diperhatikan beberapa variabel, seperti yang bersifat linguistik maupun yang bersifat nonlinguistik yang dapat menentukan keberhasilan
dalam proses mempelajari bahasa. Kedua variabel tersebut bukan merupakan hal yang terpisah atau berdiri sendiri-sendiri, melainkan merupakan hal yang saling berhubungan, berkaitan, serta berpengaruh.
Dalam pelajaran bahasa Jawa, bukan saja kema mpuan berbahasa pa ra anak didik ditingkatkan, tetapi juga anak didik harus diajari sopan-santun dalam berbahasa. Para guru harus mengajari para anak didik bukan saja tentang arti kata-kata dan ungkapan (termasuk peribahasa), melainkan juga harus mengajari para anak didik tentang penggunaan bahasa dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer. 2009. Psikolinguistik: kajian teoritik. Jakarta: Rineka Cipta.
Abdul Chaer dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : Rineka Cipta.
Bredekamp, Sue. 1987.Development ally Appropriate Practice in Early Childhood Programs Serving C hildren from Birth Throught Age 8. Washington : NAEYC. Edi Subroto, D. 2007. Pengantar Metode Penelitian
Linguistik Struktural. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.Harimurti Kridalaksana. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Guba, E. G., & Lincoln, Y. S. 1985. Naturalistic Inquiry. Newbury Park, CA: Sage.
HB Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: UNS Press.
Krashen, Stephen D. 1988. Second Language Acquisition and Second Language Learning. US: Prentice- Hall International.
Lexy J, Moleong. 2001. Metode Pnenelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Moha mmad Ali & Moha mmad Asrori. 2004.
Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara
Subiyakto N, Sri Utari. 1988. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Depdikbud.
Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Psikolinguistik, Bandung: Angkasa.