Pertunjukkan Shadow Puppet Berbahasa Jawa Sebagai Strategi Pengayaan Kosakata Pada Siswa
Kenfitria Diah Wijayanti, Djoko Sulaksono, Dewi Pangestu Said, Favorita Kurwidaria Universitas Sebelas Maret
Email: kenfi3a@ymail.com Abstrak
Bahasa Jawa ragam krama berposisi menjadi pembelajaran bahasa kedua. Hal ini dikarenakan pemerolehan bahasa ibu masyarakat Jawa menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko. Padahal penggunaan bahasa Jawa dalam proses pembelajaran cenderung menggunakan bahasa Jawa ragam krama. Pembelajaran yang menyenangkan tidak lepas dari metode dan media pembelajaran. Ketepatan pemilihan metode pembelajaran dan penggunaan media dapat mempengaruhi keberhasilan suatu proses pembelajaran. Penggunaan shadow puppet berbahasa Jawa mempermudah siswa mempelajari bahasa. Selain memperbanyak kosakata, shadow puppet juga mengenalkan siswa pada budaya Jawa. Pengenalan kosakata berbahasa Jawa ragam krama pada siswa akan membentuk karakter menjadi lebih santun. Artikel ini menyoroti penggunaan shadow puppet berbahasa Jawa dalam rangka memperkaya kosakata bahasa Jawa pada siswa.
Kata kunci: pembelajaran bahasa kedua, media shadow puppet, pendidikan karakter. Abstract
Javanese varieties of krama are positioned as second language learning. This is because the acquisition of the mother tongue of Java people using the Java language variety ngoko. Whereas the use of Java language in the learning process tends to use the Javanese variety of krama. Fun learning can not be separated from the methods and learning media. The accuracy of selection of learning methods and the use of media can influence the success of a learning process. The use of shadow puppet in Java makes it easier for students to learn the language. In addition to multiplying the vocabulary, shadow puppet also introduces students to Javanese culture. The introduction of Javanese vocabulary to the various manners of the students will shape the character to be more polite. This article highlights the use of Javanese shadow puppet in order to enrich the vocabulary of the Javanese language in the students.
Keywords: second language learning, shadow puppet media, character education. A. Pendahuluan
Bahasa Jawa dari masa ke masa mengalami perkembangan. Berawal dari bahasa Jawa kuno, kemudian berkembang menjadi bahasa Jawa tengahan, dan sekarang berkembang menjadi bahasa Jawa modern. Namun perkembangan tersebut tidak diiringi dengan minat masyarakat dalam mempergunakannya.
Bahasa Jawa ragam krama dianggap sulit dituturkan. Aturan yang mengikat dalam tuturan menjadikan masyarakat Jawa enggan untuk menggunakannya. Kedudukan mitra tutur sangat diperhatikan. Usia, jabatan, tingkat keakraban merupakan beberapa syarat yang harus diperhatikan. Usia penutur lebih muda harus menggunakan bahasa Jawa ragam
krama, tetapi hal-hal yang berkaitan dengan pribadinya tidak boleh disampaikan menggunakan ragam krama. Contoh: Eyang tindak peken, wekdal kula taksih nedha. Kata tindak kepada eyang „nenek/kakek‟ sepadan dengan kata nedha yang ditujukan kepada diri sendiri. Akan menjadi salah apabila kata nedha digantikan dengan dhahar „makan‟ yang level kehalusannya lebih tinggi. Dalam bahasa Jawa ragam krama tidak selalu kata yang lebih halus itu tepat digunakan.
Pembelajaran bahasa di sekolah perlu mendapat perhatian dari para praktisi pendidikan. Hal ini karena keberadaan bahasa sebagai alat komunikasi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dalam masyarakat. Penggunaan bahasa Jawa yang baik dan benar sesuai dengan unggah-ungguh dapat membantu individu dalam berkomunikasi.
Penyampaian materi pembelajaran dengan menggunakan metode yang inovatif mampu membentuk suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan. Keaktifan siswa dalam belajar juga dapat ditumbuhkan dengan penggunaan metode yang inovatif. Suasana pembelajaran yang menyenangkan dan keaktifan siswa dalam belajar mendukung kemudahan penerimaan materi yang diajarkan. Saberan (2012: 1) mengemukakan bahwa “sarana belajar sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar karena dapat memberikan, rangsangan dan pengalaman belajar secara menyeluruh bagi siswa melalui semua indera, terutama indera pandang dengar”. Siswa yang aktif bertanya maupun menjawab pertanyaan mengindikasikan perhatian siswa yang baik terhadap proses pembelajaran.
Pengayaan kosakata dalam pembelajaran bahasa Jawa dapat dilakukan dengan berbagai metode dan media. Penggunaan media shadow puppet dipilih karena dalam pelaksanaannya dapat sekaligus mengenalkan wayang kulit kepada siswa. Pengayaan kosakata sekaligus mengajarkan tokoh, cerita, dan amanat dari wayang kulit tersebut yang sarat akan pendidikan karakter.
B. Kondisi Bahasa Jawa
Bahasa Jawa mengenal adanya speech level „tingkat tutur‟ atau unggah-ungguh basa atau undha usuk. Tingkatan tuturan yang ada dalam bahasa Jawa memiliki tujuan yakni sebagai penghormatan kepada mitra tuturnya. Beberapa pakar berpendapat bahwa bahasa Jawa terdiri dari beberapa ragam.
Berikut ini adalah bentuk ragam bahasa Jawa menurut dua versi.
1. Unggah-ungguh Bahasa Jawa menurut Poedjasoedarma dkk. (1979) (dalam Sasangka, 2007: 17)
Tingkat Tutur
Ngoko Krama
Ngoko Lugu Mudha Krama
Basa Antya Kramantara
Antya Basa Wredhakrama
Madya
Madya Krama Madyantara Madya Ngoko
Bagan 1. Unggah-Ungguh Bahasa Jawa menurut Poedjasoedarma dkk. (1979) 2. Unggah-ungguh Bahasa Jawa menurut Sudaryanto (1989) atau Ekowardono
dkk.(1993) (dalam Sasangka, 2007:18)
Tingkat Tutur
Ngoko Krama
Ngoko Ngoko Alus Krama Krama Alus (Ngoko Lugu) (Krama Lugu)
Bagan 2. Unggah-ungguh Bahasa Jawa menurut Sudaryanto (1989) atau Ekowardono dkk.(1993)
Masyarakat bahasa dikategorikan sebagai penutur setia apabila dalam kehidupan kesehariannya lebih banyak menggunakan bahasa tersebut secara baik dan benar sesuai dengan kaidah. Bahasa Jawa memiliki kaidah yang telah ditetapkan sesuai kesepakatan berdasar kongres. Dalam kesehariannya masyarakat Jawa lebih cenderung
mengaplikasikan teori unggah-ungguh dari Sudaryanto, karena dianggap lebih sederhana. Berikut penjelasan dari pembagian ragam bahasa menurut Sudaryanto dan Ekowardono dkk (dalam Sasangka, 2007:103-125).
1. Ragam ngoko
Memiliki unsur inti berupa leksikon ngoko termasuk afiksasi yang mengikutinya. Ragam ngoko dituturkan penutur kepada mitra tutur yang sudah akrab atau memiliki status sosial yang lebih tinggi. Ragam ngoko dibagi menjadi dua kategori yakni ngoko lugu dan ngoko alus yang berbeda secara etik tetapi sama secara emik.
a. Ngoko lugu
Ngoko lugu kosakatanya disampaikan menggunakan bentuk ngoko dan netral. Contoh:
Klambiku disilih Tutik wingi sore. „Bajuku dipinjam Tutik kemarin sore.‟
Dheweke mlaku saka omah bareng karo Sukat. „Dia berjalan dari rumah bersama Sukat‟
Dapat dilihat pada contoh di atas, semua kata dalam kalimat menggunakan leksikon ngoko tanpa ada campuran leksikon lain. Tuturan ngoko lugu dituturkan dengan teman yang sudah akrab, atasan kepada bawahan, atau seseorang yang usianya lebih tua kepada usia yang lebih muda.
b. Ngoko alus
Ragam ngoko alus dituturkan menggunakan leksikon campuran, yakni krama inggil, krama andhap, dan krama. Leksikon tersebut digunakan sebagai bentuk penghormatan penutur kepada mitra tuturnya.
Ibune Rina kae tindak karo sapa? „Ibunya Rina itu pergi dengan siapa?‟ Jenang sing mau esuk didhahar bulik. „Bubur yang tadi pagi dimakan tante.‟
Dalam ragam ngoko alus di atas terdapat campuran leksikon yakni ngoko dan krama inggil. Tuturan ragam ngoko alus biasanya digunakan teman yang sudah akrab namun usia mitra tutur lebih tua, sehingga masih ada kesan penghormatan tetapi tidak formal.
2. Ragam krama
Disampaikan menggunakan leksikon inti krama. Afiksasi yang menyertai ragam krama juga menyesuaikan dengan bentuk krama. Ragam krama dibagi menjadi dua ragam yakni krama lugu dan krama alus.
Berikut penjelasan dari dua ragam tersebut. a. Krama Lugu
Leksikon inti pada krama lugu adalah leksikon krama, madya, dan/ netral. Sebagai penghormatan kepada mitra tutur digunakan leksikon campuran berupa krama inggil atau krama andhap. Sementara itu, kata tugas yang menyertai berbentuk leksikon madya.
Contoh:
Wonten ngriki boten namung dolanan ning bisa uga sinau. “Di sini tidak hanya bisa bermain tetapi bisa juga belajar.” Rasukan niki mangbekta mawon.
“Baju ini dibawa anda saja.”
Apabila dilihat contoh di atas, ragam krama lugu memiliki kadar kehalusan yang rendah. Afiksasi yang menyertai seringkali masih berbentuk leksikon ngoko lugu. Selain itu, tampak juga kemunculan klitik madya mang.
b. Krama alus
Ragam krama alus menggunakan leksikon inti berupa krama inggil. Pada ragam krama alus dapat bercampur dengan leksikon krama andhap. Adapun ragam ngoko tidak akan mungkin muncul dalam penggunaannya.
Para tamu sami ngedhapi sedaya pasugatanipun. „Para tamu sedang menikmati semua suguhannya.‟ Cekap semanten anggenipun kula matur.
„Cukup sekian saya berbicara.‟
Tujuan utama penggunaan ragam krama alus adalah untuk penghormatan pada mitra tutur. Selain itu, hubungan simetris ketidakakraban menjadi penyebab penutur menggunakan raga mini. Afiksasi yang menyertai ragam krama alus juga mengalami penyesuaian.
C. Pembelajaran Bahasa Kedua
Berdasarkan pengamatan sederhana yang telah dilakukan, bahasa Jawa yang digunakan dalam keseharian masyarakat Jawa mayoritas adalah ragam ngoko. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan siswa berdialog menggunakan bahasa Jawa yang dominan menggunakan ragam ngoko, karena dianggap lebih mudah dan akrab untuk berkomunikasi. Apabila dirunut penyebabnya adalah faktor pembiasaan dari lingkungan keluarga yang artinya pemerolehan bahasa yang didapat mayoritas siswa tersebut adalah bahasa Jawa ragam ngoko. Oleh karena itu, bahasa Jawa ragam krama dapat dikategorikan sebagai pembelajaran bahasa kedua bagi para siswa tersebut.
Language learning „pembelajaran bahasa‟ didapat seseorang ketika berada di luar lingkungan keluarga inti. Chaer (2009: 242) memaparkan bahwa pembelajara bahasa mengacu pada proses pemerolehan bahasa kedua (B2) setelah seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya (B1). Latar belakang terjadinya pembelajaran bahasa dipengaruhi oleh adanya kegiatan interaksi antara anggota masyarakat satu dengan anggota masyarakat lain yang memiliki bahasa yang berbeda. Bahasa yang berbeda yang terjadi dalam kasus bahasa Jawa ini berupa perbedaan tingkat ragamnya, yakni antara ragam ngoko dengan ragam krama.
Pembelajaran bahasa dapat dilakukan secara formal maupun nonformal. Ellis (1986: 215) menggolongkan pembelajaran bahasa menjadi dua tipe yaitu tipe naturalistik dan tipe formal. Berikut penggolongan pembelajaran bahasa tersebut.
1. Tipe Naturalistik
Pada tipe naturalistik seseorang memperoleh bahasa kedua secara alami. Proses alami di sini berarti tanpa ada guru dan berjalan tanpa sengaja. Biasanya terjadi pada kondisi lingkungan yang multilingual. Anak akan mendengar, mengamati, dan meniru karena kebutuhan untuk berkomunikasi dengan lingkungannya.
2. Tipe Formal
Tipe formal merupakan kebalikan dari tipe naturalistik. Dalam tipe formal seseorang mendapatkan bahasa kedua dengan proses pembelajaran formal. Pada proses ini sangat tergantung akan keberadaan guru sebagai pengajar, dan tentunya proses ini berlangsung dengan kesengajaan.
Penutur bilingual dapat menguasai B1 dan B2 sama baiknya, namun ada juga yang timpang dan lebih condong pada salah satu bahasa. Penutur bilingual yang memiliki kemampuan penguasaan B1 dan B2 sama baiknya disebut berkemampuan bahasa sejajar (Iskandarwassid dan Sunendar, 2011: 91). Penutur yang memiliki penguasaan terhadap dua bahasa atau lebih dapat menyesuaikan produksi ujaran dengan kondisi lingkungan tuturnya.
Pembelajaran bahasa kedua tidak semudah pemerolehan bahasa pertama, karena adanya pengaruh penguasaan bahasa ibu yang lebih dominan. Semakin dini seseorang mempelajari sebuah bahasa, maka akan semakin kuat terekam dalam ingatannya. Sebanyak apapun bahasa yang dikuasai seseorang dalam hidupnya, pasti tidak akan melupakan bahasa pertamanya. Pembelajaran bahasa kedua perlu dilakukan dengan strategi yang menarik, sehingga pembelajar bahasa tersebut akan memiliki kesan mendalam dan masuk pada long term memory.
D. Media Shadow Puppet
Shadow Puppet merupakan pertunjukkan bayangan boneka atau wayang. Dalam pagelaran shadow puppet sangat bergantung adanya pencahayaan. Seperti yang dikemukakan B. Yudi Dwiandiyanta, etc (2012):
Shadows are formed because light travels in straight lines. When an opaque object or material is placed in the path of rays of light, shadows are created. Usually shadow refers to an area without direct light or with weak direct light due to an object blocking light to other objects. Shade refers to light variation caused by change of shape of the object itself. shadows and shade all refer to the darker part in an area. In shadow areas, there is no direct light but only scattered and reflected light [17].
Bayangan terbentuk karena cahaya bergerak dalam garis lurus. Bila benda buram atau material diletakkan di jalur sinar terang, bayangan dibuat. Biasanya bayangan mengacu pada area tanpa cahaya langsung atau dengan cahaya langsung yang lemah karena objek menghalangi cahaya ke benda lain. Shade mengacu pada variasi cahaya yang disebabkan oleh perubahan bentuk benda itu sendiri. Bayangan dan bayangan semua mengacu pada bagian yang lebih gelap di suatu daerah. Di daerah bayangan, tidak ada cahaya langsung tapi hanya berserakan dan pantulan cahaya [17].
Wayang menjadi sentra pembelajaran dari berbagai aspek kehidupan. Tokoh-tokoh yang dimunculkan merupakan pencerminan karakter masyarakat Jawa. Wayang ditampilkan dalam sebuah pagelaran dengan menghadirkan dalang sebagai sutradara pementasan tersebut. Dalam pementasannya wayang membutuhkan pencahayaan, karena yang ditampilkan adalah bayangan dari wayang tersebut.
Wayang kulit yang berkembang di masyarakat Jawa dapat digolongkan dalam kategori shadow puppet. Pencahayaan yang disorotkan pada wayang membuat bayangan wayang dapat hidup. Selain itu, pertunjukkan shadow puppet juga bergantung pada dalang yang memainkan peran tersebut. Cerita yang dikemas dalam pertunjukkan shadow puppet bagi siswa akan lebih menarik jika dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Suguhan cerita yang sarat akan makna dengan penyampaian menggunakan kosa kata berbahasa Jawa akan semakin menambah perbendaharaan kata untuk anak.
Gambar 1. Shadow Puppet Modern (Boneka/Tokoh)
Gambar 2. Shadow Puppet Berbahasa Jawa (Wayang Kulit)
Shadow puppet di atas menampilkan audio visual. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa ragam krama. Hal ini bertujuan untuk memperkenalkan kepada siswa bagaimana berbahasa Jawa yang baik dan benar terutama ragam krama. Penggunaan shadow puppet akan lebih efektif apabila dilakukan secara teratur dan menyenangkan.
Dalam setiap kegiatan pembelajaran di sekolah tentu erat kaitannya dengan proses berbahasa. Guru dalam menyampaikan materi harus jelas dan dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh siswa. Salah satu metode pengajaran yang dapat diterapkan adalah metode mendongeng. Ekspresi dan gerakan yang ditonjolkan dalam kegiatan mendongeng dapat menarik perhatian siswa dan mempermudah siswa dalam menerima informasi. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Bashir (2011: 36) menyatakan bahwa “students may duplicate gestures and movements to show comprehension”. Pengamatan siswa terhadap ekspresi
dan gerakan yang ditampilkan akan mempermudah siswa dalam belajar.
Penggunaan media audio visual tentu lebih menarik dan mudah diterima dibandingkan dengan pengajaran dengan metode yang hanya mengandalkan tuturan saja. Media shadow puppet merupakan sebuah media grafis yang menggambarkan karakter berwujud wayang. Metode mendongeng dan media shadow puppet merupakan perpaduan yang tepat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berbicara, membaca, dan mendengarkan siswa. Kegiatan mendengarkan dongeng yang dilakukan memungkinkan siswa memperoleh banyak informasi. Banyaknya informasi yang diterima oleh siswa berbanding lurus dengan penguasaan kemampuan berbahasa siswa. Proses belajar setiap individu diawali dengan proses mendengarkan – mengumpulkan informasi – yang kemudian diolah dan disampaikan kembali. Mendengarkan dongeng dengan media shadow puppet dapat membantu meningkatkan kemampuan berbicara, membaca, dan menulis siswa sesuai dengan unggah-ungguh bahasa Jawa.
E. Simpulan
Pembelajaran bahasa kedua berlangsung di luar lingkungan keluarga inti. Terdapat dua tipe pembelajaran yakni tipe naturalistik dan tipe formal. Pengayaan kosakata bahasa Jawa pada siswa akan membentuk karakter, sehingga siswa mengenal adanya unggah-ungguh. Penggunaan shadow puppet membantu siswa mengenal dan menghafal kosakata bahasa Jawa lebih mudah. Pembelajaran bahasa Jawa ragam krama digolongkan dalam language learning merupakan salah satu alternatif penyelamatan bahasa Jawa yang semakin ditinggalkan masyarakat tuturnya. Penanaman kebanggaan berbahasa Jawa seharusnya dilakukan sejak dini, karena pembelajaran bahasa ibu menggunakan shadow puppet pada young leaner sangat bermanfaat bagi kelangsungan bahasa Jawa itu sendiri.
Daftar Pustaka
Arifin, Ferdi. 2017. Learning Islam from the Performance of Wayang Kulit (Shadow Puppets). Hunafa: Jurnal Studia Islamika, [S.l.], v. 14, n. 1, p. 99-115, July 2017.ISSN2355-7710.
<https://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/457>.
B. Yudi Dwiandiyanta, Antonius Bima Murti Wijaya, Martinus Maslim and Suyoto. 2012. New Shadow Modeling Approach Of Wayang Kulit. International Journal of Advanced Science and Technology Vol. 43, June, 2012.
Bashir, Marriam, Muhammad Azeem, dan Ashiq Hussain Dogar. 2011. “Factor Effecting Students‟ English Speaking Skills”. British Journal of Arts and Social Sciences. vol. 2 (1). hlm. 36.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ellis, Rod. 1986. Understanding Second Language Acquisition. New York: Oxford University Press.
Hasan, Maimunah. 2011. Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Diva Press.
Iskandarwassid & Sunendar, Dadang. 2011. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: Pascasarjana UPI dan Remaja Rosda Karya.
Nababan, Sri Utari Subyakto. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Saberan, Riduan. 2012. “Penggunaan Media Audio Visual dalam Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Siswa”. LENTERA: Jurnal Ilmiah Kependidikan. vol. 7 (2). hal. 1.
Sanaky, Hujair AH. 2011. Media Pembelajaran: Buku Pegangan Wajib Guru dan Dosen. Yogyakarta: Kaukaba.
Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 2007. Unggah-ungguh Bahasa Jawa. Jakarta: Yayasan Paramalingua.
Wijayanti, Kenfitria Diah, Djoko Sulaksono, Dewi Pangestu Said, Favorita Kurwidaria. 2017. Metode Mendongeng dengan Media Shadow Puppet untuk Meningkatkan Kemampuan Bahasa Jawa dengan Baik dan Benar Berbasis Unggah Ungguh. Semarang: Griya Jawi, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.