• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRASASTI CEMPAGA SEBAGAI SIMBOL PEMERSATU MASYARAKAT CEMPAGA, BANGLI, BALI DAN SUMBER BELAJAR SEJARAH LOKAL DI SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRASASTI CEMPAGA SEBAGAI SIMBOL PEMERSATU MASYARAKAT CEMPAGA, BANGLI, BALI DAN SUMBER BELAJAR SEJARAH LOKAL DI SMA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

Artikel

Judul

PRASASTI CEMPAGA SEBAGAI SIMBOL PEMERSATU

MASYARAKAT CEMPAGA, BANGLI, BALI DAN SUMBER

BELAJAR SEJARAH LOKAL DI SMA

Oleh

NI KOMANG ARYA KUSUMA DEWI

NIM 1314021025

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

SINGARAJA

2017

(2)

2

PRASASTI CEMPAGA SEBAGAI SIMBOL PEMERSATU

MASYARAKAT CEMPAGA, BANGLI, BALI DAN SUMBER

BELAJAR SEJARAH LOKAL DI SMA

Ni Km. Arya Kusuma Dewi

1

, Dr. Tuti Maryati M.Pd

2

, Dr. Drs. I Made Pageh

M.Hum

3

Jurusan Pendidikan Sejarah

Universitas Pendidikan Ganesha

Singaraja, Indonesia

e-mail:

aryashakura20@gmail.com

,

tuty.maryati@undiksha.ac.id

,

madepagehundiksha@gmail.com

Abstrak

Penelitian dilakukan di Desa Pakraman Cempaga, Bangli, Bali yang bertujuan untuk mengetahui: (1) Persebaran Penduduk Desa Cempaga Batur Kintamani; (2) Isi Prasasti Cempaga sebagai Simbol Pemersatu Masyarakat Cempaga; dan (3)Nilai-nilai dari Prasasti Cempaga dalam mempersatukan desa Cempaga yang dapat diimplementasikan sebagai sumber belajar sejarah lokal di SMA. Penelitian ini merupakan penelitian sejarah, sehingga langkah yang dilakukan adalah (1) Heuristik pengumpulan data (observasi, wawancara, studi dokumen), (2) Kritik Sumber, (3) Interpretasi, dan (4) Penulisan Sejarah Historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Desa

Pakraman Cempaga sudah ada di abad ke XII. Dalam Prasasti Cempaga dapat ditemukan

petunjuk bahwa Desa Cempaga merupakan sebuah desa yang awalnya terletak di Batur, Kintamani, kemudian karena konflik dengan desa Tampurhyang masyarakat desa Cempaga tersebar ke Bangli dan Buleleng. Prasasti Cempaga menyebutkan bahwa Raja Bhatara Sri Mahaguru memberikan perlindungan dan agar masyarakat desa Cempaga kembali membangun desanya, masyarakat Cempaga yang terpisah masih memiliki identitas yang sama dalam bidang adat istiadat, budaya dan masyarakat Cempaga sebagai masyarakat Bali Aga. Prasasti Cempaga dalam mempersatukan desa Cempaga sebagai sumber pembelajaran sejarah lokal dapat diambil (a) nilai sejarah, (b) nilai persatuan dan kesatuan, dan (c) nilai cinta damai. Diharapkan peneliti lainnya untuk dapat menyempurnakan penelitian ini

Kata kunci: Desa Pakraman Cempaga, Prasasti Cempaga

Abstract

This research was conducted in Desa Pakraman Cempaga, Bangli, Bali which aims to know: (1) Spreading of Cempaga Batur Kintamani Village Population; (2) Contents of Cempaga Inscription as a Unifying Symbol of Cempaga Community; And (3) Cempaga inscriptions in unifying Cempaga village as a source of local history learning. This is a historical research, so the steps taken are (1) data collection heuristics (observation, interview, document study), (2) Source Criticism, (3) Interpretation, and (5) Historiography. Desa Pakraman Cempaga there already in XII century. Cempaga is a village originally located in Batur, Kintamani then Cempaga village community spread because of attacks by Tampurhyang village. The Cempaga inscription states that King Bhatara Sri Mahaguru gave protection and for people of Cempaga village to rebuild their village, the separate Cempaga community still has the same identity in their place customs, culture and society of Cempaga as a Bali Aga community. Cempaga inscriptions in unifying Cempaga village as a source of local history learning can be taken (a) historical value, (b) the value of unity and unity, and (c) the value of peace love. For other researchers are expected to be able enhance this research.

(3)

3 PENDAHULUAN

Bali merupakan sebuah pulau unik yang memiliki kebudayaan adiluhung dengan adat istiadat yang tumbuh dan dijiwai agama Hindu. Desa-desa di Pulau Bali dikategorikan menjadi dua yakni desa Bali Aga atau Bali Mula dan desa Bali Dataran (Majapahit). Orang-orang Bali Aga sering juga disebut orang Bali Pegunungan, atau Bali Mula yang berarti Bali Asli (Danandjaja, 1998:1). Bali Aga merupakan orang Bali yang menganggap diri mereka sebagai penduduk Bali yang asli. Bali Aga juga disebut dengan Bali Pegunungan dan tidak terpengaruh oleh ekspansi kerajaan Majapahit.

Ciri-ciri religi yang dianut di desa-desa Bali Aga dan Mula menampakkan perkembangan secara bertahap. Akarnya dapat ditelusuri pada zaman megalitik dengan ajaran Rsi Markandeya di abad ke-8, Mpu Kuturan di abad ke-11 dan

Danghyang Nirartha di abad ke-16.

Munculnya dua ideologi berdasarkan

rwabhineda yang kemudian bersaing

dengan ideologi trimurti untuk selanjutnya bergabung dengan Dewa Nawa Sanga. Dualisme rwabhineda dan trimurti didukung oleh Raja Bali Kuno, dengan sentrum Kediri/Daha Jawa Timur sedangkan Dewa

Nawa Sanga didukung oleh desa Apanage

wong Majapahit dimulai pada zaman Majapahit saat Bali diperintah dinasti Kepakisan. Pemaksaan ideologi Trimurti dan Dewa Nawa Sanga yang menjadi kebijakan kerajaan/pemerintahan selanjutnya melalui berbagai kewajiban menjadikan proses Mojopahitisasi makin keras sejak abad ke-16 hingga kini, dan sangat memarginalkan desa pakraman Bali Aga. (Pageh, 2011)

Desa Bali Aga dengan desa Bali Dataran dapat diklasifikasikan dilihat dari Desa Bali Aga tidak mengenal kasta, sedangkan pada desa Bali Dataran (Majapahit) dikenal dengan kasta golongan

Triwangsa. Desa Bali Aga menggunakan

sistem pemerintahan Ulu Ampad.

Berdasarkan senioritas, desa pakraman dibentuk menggunakan macapat dan

rwabhineda, di tengah-tengahnya ada

perempatan agung, sedangkan Bali

Dataran kekuasaan diutamakan dipegang oleh Triwangsa dan mandat dari penguasa Gelgel turun-temurun. Desa Bali Aga menempatkan ruang pura, menggunakan

triangga, dasar Gunung, yaitu Kaki, Badan

dan Puncak (Pura Penulisan). Sedangkan desa Dataran penempatan ruang pura menggunakan Trimandala yaitu jaba sisi, jaba tengah dan jeroan. (Suasthawa. 1995)

Desa Bali Aga tersebar di berbagai daerah di seluruh Bali, beberapa diantaranya yaitu desa Tenganan terdapat di kabupaten Karangasem, Desa Sidatapa, Desa Pedawa, dan Desa Tigawasa terdapat di kabupaten Buleleng, Desa Sukawana, dan Desa Trunyan terdapat di kabupaten Bangli. Khusus untuk Desa Cempaga yang juga merupakan desa Bali Aga tidak hanya terdapat di kabupaten Bangli saja melainkan desa ini tersebar ke beberapa daerah seperti di Batur Kintamani, di Bangli dan di Banjar Buleleng. Kalau ditelusuri hal ini terjadi karena Desa Cempaga yang awalnya berpusat di Batur Kintamani pada disekitar abad ke-13, diganggu oleh orang-orang dari desa Tampurhyang dengan membakar rumah-rumah dan merampas semua binatang peliharaan masyarakat desa Campaga. Karena serangan itu, semua penduduk Desa Cempaga lari ketakutan dan pindah ke desa lain (Prasasti Cempaga). Prasasti Cempaga terdiri dari 9 lempeng, menjadi petunjuk awal tentang Desa kuno Cempaga yang ada di Bali. Sampai sekarang prasasti itu tersimpan di pura Penataran Cempaga yang di sungsung oleh masyarakat lingkungan adat banjar Cempaga Bangli. Keberadaan prasasti Cempaga tidak terlepas dari konflik yang terjadi antara desa Tampurhyang dengan Desa Cempaga, Prasasti ini dikeluarkan oleh seorang raja Bali yang bernama Bhatara Sri Mahaguru. Prasasti Cempaga dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu Prasasti Cempaga A, Prasasti Cempaga B dan Prasasti Cempaga C. (Sukarto,1975)

Desa Cempaga yang dahulunya merupakan satu desa dan berpusat di Batur

(4)

4 Kintamani, saat ini telah tersebar di Kecamatan Banjar-Buleleng dan di Kecamatan Bangli. Untuk menjaga keterikatan dengan daerah asal mereka desa tujuan yang baru diberikan nama Cempaga. Tersebarnya Desa Cempaga ini tidak menghilangkan kesatuan dari desa tersebut, kesatuan tersebut dapat dilihat dari adat istiadat, budaya, dan masyarakat Cempaga sebagai masyarakat Bali Aga.

Berdasarkan wawancara dengan

Kelian Adat lingkungan banjar Cempaga,

Pemangku Pura Penataran Cempaga dan warga desa, penulis mendapatkan permasalahan bahwa Desa Cempaga Bangli merupakan pecahan dari Desa Cempaga Batur, hal ini terjadi karena konflik yang terjadi antara Desa Cempaga dengan desa Tampurhyang. Setelah terjadinya penyerangan tersebut Desa Cempaga mendapatkan hak istimewa berupa diberikannya prasasti oleh raja Bhatara Cri Mahaguru, Desa Cempaga sangat menjunjung tinggi perintah raja yang dituliskan dalam prasasti Cempaga.

Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa terdapat beberapa keunikan yang menyatukan Desa Cempaga ini berdasarkan wawancara terhadap tokoh masyarakat Desa Cempaga Bangli. Keunikan ini menarik untuk diteliti, karena bisa memperkaya pemahaman tentang sejarah lokal. Pemahaman sejarah lokal dapat diperoleh melalui sumber-sumber sejarah yang ada di sekitar siswa, seperti Prasasti Cempaga. Penggunaan prasasti sebagai sumber sejarah sudah sepantasnya dilestarikan, karena isi dari prasasti tersebut mengandung nilai historis yang tinggi. Namun sejauh ini yang peneliti ketahui sumber sejarah yang dipakai nasional Indonesia pada materi sejarah Kerajaan Hindu dan Budha selalu menggunakan contoh prasasti yang ada di Pulau Jawa, padahal masih banyak contoh-contoh prasasti yang terdapat di sekitar siswa seperti Prasasti Cempaga. Akan tetapi potensi dari sejarah lokal yang ada di sekitar siswa tidak disinggung oleh guru, ini yang menyebabkan wawasan siswa terhadap sejarah hanya itu-itu saja dan

tidak dapat memperluas pengetahuannya tentang potensi yang ada di sekitar siswa.

Jika kita mengacu pada Kurikulum 2013, kompetensi lulusan yang diharapkan yaitu dalam dimensi sikap siswa memiliki pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab serta dampak fenomena dan kejadian. Dalam dimensi keterampilan siswa memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sebagai pengembangan dari yang dipelajari di sekolah secara mandiri. Sehingga dalam proses belajar pembelajaran guru dapat memanfaatkan sumber belajar sejarah yang ada di lingkungan sekitar yang bisa dipakai untuk membantu guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran seperti artefact, mentefact dan sosiofact. Dalam penelitian ini prasasti termasuk kedalam artefak yakni benda peninggalan bersejarah, Prasasti Cempaga di Desa Cempaga, Bangli juga memiliki potensi sebagai sumber belajar sejarah lokal untuk menunjang proses pembelajaran sejarah khususnya di SMA. Dalam prakteknya prinsip-prinsip metodelogi sejarah di SMA muncul dalam kurikulum sejarah peminatan kelas XI. Pembelajaran sejarah di SMA Negeri 1 Bangli sudah menerapkan Kurikulum 2013 dan juga yang paling dekat dengan Desa

Pakraman Cempaga.

Prasasti tergolong sebagai sumber sejarah yang bersifat kebendaan (fisik) yang dapat dilihat oleh peserta didik dan memiliki peranan penting dalam perjalanan sejarah masyarakat desa Pakraman

Cempaga di masa lampau yang tercermin dari isi prasasti Cempaga. Tinjauan tentang Prasasti Cempaga, jika dikaitkan dengan proses pembelajaran sejarah pada kurikulum 2013. Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik yaitu pembelajaran yang terdiri atas kegiatan mengamati (untuk mengidentifikasi hal-hal yang ingin diketahui), merumuskan pertanyaan (dan merumuskan hipotesis),

(5)

5 mencoba/mengumpulkan data (informasi) dengan berbagai teknik, mengasosiasi/ menganalisis/mengolah data (informasi) dan menarik kesimpulan serta mengkomunikasikan hasil yang terdiri dari kesimpulan untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap. Maka prasasti Cempaga dapat dimanfaatkan oleh guru atau sekolah sebagai sumber pembelajaran Sejarah Peminatan di SMA Negeri 1 Bangli pada kelas XI mengacu pada kurikulum 2013, dengan Kompetensi Inti (KI) “Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.” Kemudian Kompetensi Dasarnya (KD) “Menganalisis sistem pemerintahan, sosial, ekonomi, dan kebudayaan masyarakat Indonesia pada masa kerajaan-kerajaan besar Hindu-Buddha yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat Indonesia masa kini.”

Penulisan tentang prasasti sebagai sumber sejarah sudah banyak dilakukan, kajian tersebut menunjukkan bahwa telah banyak kajian tentang keberadaan prasasti serta berbagai potensinya, antara lain: Dila Apsari (2015) dengan judul penelitian “Prasasti Bengkala Sebuah Kajian Epigrafi” mengkaji tentang Prasasti Bengkala dari aspek kebahasaan dan aspek pranata sosial yang terdapat dalam Prasasti Bengkala. Prihandari, Ida Ayu Wayan (2013) dengan judul penelitian “Prasasti Mayungan Di Desa Pakraman Mayungan, Desa Antapan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan” mengkaji tentang isi prasasti Mayugan, yang menyebutkan secara langsung peristiwa yang terjadi di Desa Mayungan (karāmani Mayungan), dan merupakan salah satu prasasti tembaga terlengkap yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus yang masih dilestarikan oleh

penduduk setempat, Wirtawan, I Wayan (2013) dengan judul penelitian “Unsur Birokrasi Kemasyarakatan Desa Sukawana Pada Masa Bali Kuno: Kajian Berdasarkan Data Prasasti Sukawana D”. Setiawan, I Ketut (2011) dengan judul penelitian “Usaha-Usaha Pelestarian Lingkungan Hidup Pada Masyarakat Bali Kuno Berdasarkan Rekaman Prasasti”

Penulis sangat tertarik untuk mengangkat Desa Cempaga karena keberadaan Desa Cempaga yang merupakan salah satu desa Bali Aga, Desa Cempaga juga tersebar pada beberapa daerah di Bali. Selain itu kajian tentang isi Prasasti Cempaga belum penulis temukan ada yang menulis tentang prasasti ini dan memiliki potensi sebagai sumber belajar, diharapkan dengan penulisan karya tulis ini akan memberikan sebuah alternatif dalam pembelajaran sejarah di tingkat SMA dengan menyelipkan nilai-nilai sejarah lokal kedalam Kompetensi Inti dan Kometensi Dasar terkait Prasasti Cempaga. Dari uraian diatas, maka penulis ingin mengkaji dan meneliti lebih jauh tentang keberadaan Prasasti Cempaga dengan judul penulisan Prasasti Cempaga Sebagai Simbol Pemersatu Masyarakat Cempaga, Bangli, Bali dan Sumber Belajar Sejarah Lokal di SMA

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah (1) untuk mendeskripsikan Penduduk Cempaga Batur, Kintamani Menyebar Keluar Desa, (2) untuk mendeskripsikan Isi Prasasti Cempaga Sehingga Disebut Sebagai Simbol Pemersatu Desa Cempaga Yang Tersebar di Beberapa Desa Bali Aga Di Bali, (3) untuk mendeskripsikan nilai-nilai dari Prasasti Cempaga dalam mempersatukan Desa Cempaga yang dapat diimplementasikan sebagai sumber belajar sejarah lokal di SMA

METODE PENELITIAN

Peneliti menggunakan langkah-langkah dalam metode penelitian sejarah, dengan menggunakan cara-cara serta prosedur atau teknik untuk merekonstruksi peristiwa sejarah sehingga menjadi suatu

(6)

6 cerita yang menggambarkan secara akurat apa yang benar-benar terjadi (as actuality), kapan terjadinya (when), dimana terjadinya (where), siapa pelakunya (who), apa penyebabnya (what), mengapa terjadi (why) serta bagaimana terjadinya (how) (5W + IH). Langkah-langkah penelitian yang akan dilaksanakan adalah (1) Teknik penentuan informan, (2) Heuristik melalui langkah-langkah (observasi, wawancara, studi dokumen, kritik sumber, interpretasi, dan hitoriografi)

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Dalam penelitian ini yang menjadi tempat penelitian adalah Desa Pakraman Cempaga Bangli. Desa Pakraman

Cempaga adalah desa yang berada di wilayah kelurahan Cempaga, kecamatan Bangli, kabupaten Bangli. Dilihat dari segi orbitasinya Desa Pakraman Cempaga terletak pada suatu lalulintas yang strategis, karena desa ini berada di wilayah yang dilalui jalur Provinsi yang menghubungkan Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar dengan Kabupaten Buleleng. Jarak desa Pakraman Cempaga dari ibu kota provinsi kurang lebih 43 km, dengan waktu tempuh sekitar 1 jam perjalanan dengan kendaraan bermotor. Jarak antara desa Pakraman Cempaga dengan ibu kota kecamatan Bangli yaitu 1 km dengan waktu tempuh 8 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor. Untuk mendapat gambaran umum mengenai kawasan yang akan diteliti maka akan diuraikan wilayah Desa Pakraman Cempaga secara umum. Melalui uraian ini akan dapat diperoleh karakteristik dan gambaran umum mengenai lokasi dari penelitian ini.

Secara administratif, Desa Cempaga terdiri dari tujuh banjar atau lingkungan yaitu banjar Cempaga, banjar Pekuwon,

banjar Brahmana Pande, banjar Pande, banjar Puri Bukit, banjar Gunaksa, dan banjar Brahmana Bukit. Dari kelima banjar

adat tersebut masing-masing memiliki kelian adat yang mempunyai wewenang untuk mengatur sistem pemerintahan di

masing-masing banjar adat. Adapun penelitian yang dilakukan peneliti terletak di

Banjar Cempaga.

Secara geografis Desa Pakraman Cempaga termasuk daerah dataran dengan ketinggian 500 mdl sampai 550 mdl dari permukaan laut dan beriklim tropis, dengan temperatur 26°c dan maksimum 35°c. Sepanjang tahun 2015 dan 2016 di desa

Pakraman Cempaga curah hujan atau

musim hujan terjadi sebanyak 6 bulan dalam setahun yaitu Januari s/d Juni, sedangkan curah/musim kemarau sebanyak 6 bulan dalam setahun yaitu bulan Juli s/d Desember

Desa Cempaga merupakan salah satu desa yang berada di kecamatan Bangli dengan batas-batas desa/kelurahan sebagai berikut:

Sebelah Utara : Kelurahan Kubu kecamatan Bangli

Sebelah Selatan : Kelurahan Kawan kecaatan Bangli

Sebelah Timur : Desa Jehem kecamatan Tembuku

Sebelah Barat : Desa Sulahan kecamatan Susut

Desa Cempaga memiliki 4 organisasi subak yaitu, subak mandi, subak anyar, subak munggu, subak abian karangsari sidewas. Desa Cempaga memiliki potensi pada sektor peternakan khusunya babi, sapi, ayam dan bibit ikan nila yang berjalan cukup baik. Selain peternakan, kelurahan Cempaga juga memiliki potensi pada bidang persawahan dan perladangan sebagai pekerjaan pokok dan juga pekerjaan tambahan bagi masyarakat. Pembahasan

I. Latar Belakang Penduduk Cempaga Batur, Kintamani Menyebar Keluar Desa

Desa Cempaga awalnya terletak di Batur, sebuah desa yang menjadi satu kesatuan dengan desa Tampurhyang. Desa Tampurhyang merupakan sebuah perkumpulan desa-desa yang ada di Batur atau di sekitar Bintang Danau Batur wilayah

(7)

7 ini berada di Songan termasuk desa Cempaga. Di bawah pemerintahan Paduka Cri Maharaja Haji Jayapangus diketahui bahwa kehidupan desa Cempaga aman dan makmur. Dr. R. Goris (dalam Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978:26) menilai raja Cri Maharaja Haji Jayapangus termasuk raja Bali Kuno yang termasyur di samping raja Ugrasena dan raja Udayana. Pada prasasti-prasastinya dijelaskan bahwa baginda mengeluarkan prasastinya bersama-sama dengan kedua permaisurinya. Jayapangus menyatakan dirinya sebagai maharaja yang berkuasa di seluruh wilayah pulau Bali. Seperti yang terdapat dalam kutipan teks Prasasti Cempaga A yang berangka tahun saka 1103 menyebutkan:

…“Nguniwoh gatinya sampun pineket

pinatohpatoh ring dasasila, pancasiksa, samargganyan tuturing swakarmmanya ring thaninya mengta ri swabhawani kramanya ring alawas ri purwwasangkaning hayu krkta subhiksa ri pati ngkahanya ri swadecanya, tirunen dening wka wet putu buyutnya”…

artinya bahwa segala peraturan atau ketentuan desa sudah disebut di dalam undang-undang Dasasila dan Pancasiksa, dan agar penduduk menaati serta mematuhinya. Selain itu supaya seluruh masyarakat ingat kembali suasana aman dan makmur waktu dahulu dan berusaha mempertahankan kemakmuran tersebut, sehingga akhirnya akan ditiru oleh anak keturunan mereka.

Dapat diketahui dari kutipan teks prasasti diatas bahwa kehidupan desa Cempaga dan desa Tampurhyang baik-baik saja. Di antara raja-raja yang memerintah di Bali, prasasti dari raja Jayapangus yang paling banyak ditemukan. Sampai sekarang kurang lebih 43 buah prasasti telah dikeluarkan oleh raja Jayapangus selama beliau memerintah Bali (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978). Raja Jayapangus memerintah pulau Bali bersama dua orang permaisurinya yang bernama Shri Parameswari Indujaketana (Dewi Danuh) dan Shri Mahadewi Sasangkajacihna (Kang Ching Wie). Wibawanya sebagai seorang raja

yang berkuasa di Bali bagaikan raja diraja yang selalu didampingi oleh permaisurinya sebagai penaung pulau Bali, bahkan hampir semua prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus selalu menyebutkan kedua istrinya. Beliau melaksanakan tugas kewajiban sebagai pimpinan seluruh masyarakat Bali, karena beliau sangat bijaksana, bertingkah laku yang baik, cakap serta muda, menguasai ilmu pemerintahan, ajaran agama, beliau didampingi oleh kedua orang permaisurinya, para patih, mentri, menguasai ilmu tentang akal dan taktik peperangan, karena jasa beliaulah yang menyebabkan pulau Bali aman dan tertib (Sudarsana).

Pengaruh Cina terlihat pada pemerintahan Jayapangus karena salah satu istri beliau merupakan seorang gadis Cina bernama Kang Ching Wei dengan gelar Shri Mahadewi Sasangkajacihna. Pengaruh unsur kebudayaannya dapat dilihat dari penggunaan uang kepeng yang menjadi alat transaksi pada zaman itu, seni tari Baris Cina (Baris Presi) dan tari Barong Landung yang merupakan simbolisasi perkawinan Cina-Bali yaitu antara Raja Jayapangus dan Kang Ching Wei. Dalam bidang bahasa juga banyak ditemukan kata-kata bahasa Cina dalam bahasa Bali seperti cawan, pinggan, dacin, guci dan ada juga dijadikan sebagai nama desa di sekitar desa Bintang Danau Batur seperti desa Pinggan, desa Siakin, desa Songan dan yang lainnya. Dalam permainan Ceki misalnya sangat jelas ditemukan betapa luasnya ideologi Cina dimasukkan pada masyarakat Bali

Setelah berakhirnya masa pemerintahan Paduka Cri Maharaja Haji Jayapangus Desa Cempaga diganggu oleh desa Tumpuhyang dengan membakar rumah-rumah dan merampas semua binatang peliharaan desa Cempaga. Karena serangan itu, semua penduduk desa Cempaga lari ketakutan dan pindah ke desa lain, seperti dalam teks prasasti Cempaga C berangka tahun 1246 saka menyebutkan:

…”tuha-tuha rama, kabayan arga bapa

tampih, kabayan tuwa bapa ringed,

(8)

8

noman bapa mtus, makasopana para mangudu mantra sirahprana manambah, i sira Paduka Bhatara Sri Mahaguru, ri gati

nikanang karaman ing Campaga,

ingusikusik deni karaman ing Tumpuhyang, wkasan rinampas tinunon pomahanya, henti tke hingohingonya kbaih tiwanan deni karaman ing Tumpuhyang, lunga ta ya aleslesan maring desa salen”…

Artinya, para pemuka desa kabayan arga bapa Tampih, kabayan tuwa bapa Ringed, kabayan tngah bapa Nganter, kabayan noman bapa Mtus menyembah kepada Paduka Bhatara Sri Mahaguru bahwa desa Cempaga diganggu oleh desa Tampurhyang, rumah mereka dibakar dan semua binatang peliharaan habis dirampas oleh masyarakat desa Tampurhyang. Karena itulah semua penduduk lari ketakutan pindah ke desa lain.

Namun di dalam prasasti tidak disebutkan secara jelas permasalahan apa yang melatarbelakangi penyerbuan Desa Cempaga oleh Desa Tampurhyang. Besar kemungkinan penyerbuan ini terjadi karena raja Jayapangus mempunyai istri seorang gadis Cina yang beragama Budha. Pageh (dalam Ardhana dan Setiawan. 2014:154) Raja Jayapangus tertarik dengan gadis Cina yang bernama Kang Ching Wie dan ingin menikahinya akan tetapi mendapat larangan dari purohito Ciwa Gandu, karena perkawinan beda agama (Hindu dengan Budha). Tetapi nasehat Rsi Ciwa Gandu diabaikan, perkawinan tetap diselenggarakan sesuai dengan tata kerajaan. Perkawinan antara agama Hindu (Raja) dengan istrinya Budha dari Cina menyebabkan terjadinya konflik besar antara Raja dengan Ciwaisme yang diwakili oleh Mpu Ciwa Gandu, pada saat itu juga ada sembilan sekta, dan sering memunculkan konflik keyakinan pada masyarakat. Konflik lain yang menyebabkan diserangnya desa Cempaga oleh Desa Tampurhyang, nampaknya permusuhan masyarakat Batur dengan Songan secara laten, dapat dijelaskan awal sejarahnya. Dewi Danuh adalah berasal dari Pura Ulun Danu Songan (lebih dulu ada), tidak ada pelinggih Subandarnya. Sedangkan masyarakat Batur, sebagai

masyarakat bertrah pedagang sejak zaman Bali Kuno mungkin mendukung raja Jayapangus beristri Kang Ching Wie, sehingga Pura Ulun Danu Songan dibuat lagi Pura Ulun Danu Batur yang Sekarang. Pageh (dalam Ardhana dan Setiawan, 2014). Pandit (1963:73) juga menyatakan: Persoalan yang terjadi antra penduduk desa Batur dengan desa Cempaga. Kedua desa itu dahulu memuja Ganapati ring

Tumpuk Hyang. Kemudian penduduk desa

Cempaga memohon agar mereka dibebaskan dari pemujaan itu, karena mereka telah memuja dewa-dewa dari Gunung Batur. Dalam keputusan itu raja memperkenankan penduduk desa cempaga memuja dewa-dewa Gunung Batur, dalam pada itu bagi mereka yang memuja Ganapati dibebaskan dari pajak.

Dapat diketahui bahwa setelah wafatnya raja Jayapangus terdapat beberapa persoalan sehingga menyebabkan konflik yang terjadi pada desa-desa Bali Aga Khususnya desa Cempaga dengan Desa Tampurhyang.

Seorang raja yang mengeluarkan prasasti kepada desa Cempaga adalah Raja Paduka Bhatara Sri Mahaguru beliau merupakan seorang raja Bali yang memerintah pada tahun saka 1246-1250. Beliau bergelar Cri Maharaja Cri Bhatara Mahaguru Dharmattungga Warmadewa. “Pada prasasti 803 Hyang Putih (bulan Crawana Caka 1246) menyebutkan Paduka Bhatara Guru memerintah bersama cucunya yaitu paduka Haji Tarunajaya” (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978:27).

Pada akhirnya penyerbuan desa Cempaga oleh masyarakat desa Tampurhyang telah didengar oleh Paduka Bhatara Sri Mahaguru setelah disaksikan memang benar bahwa desa Cempaga telah kosong, kacau, rusak dan sunyi, bahkan tidak seorangpun yang tinggal di desa Cempaga. Maka Paduka Bhatara Sri Mahaguru membuatkan prasasti kepada masyarakat desa Cempaga untuk dijadikan sebagai pegangan bahwa desa Cempaga telah bebas dan agar tidak diganggu lagi oleh masyarakat desa Tampurhyang. Penyerbuan ini yang melatarbelakangi

(9)

9 tersebarnya desa Cempaga “dulu desa itu mungkin terletak di dekat Kintamani, tetapi sekarang desa itu ada di dekat Bangli” (Pandit, 1963) sehingga menyebabkan masyarakat desa Cempaga berada di Bangli. Bukan hanya persebarannya di sekitar daerah Bangli, tetapi ada juga yang pergi ke denbukit yaitu ke Buleleng, dengan membuat catur desa di Bali Utara yaitu SCTP (Sidetapa, Cempaga, Tigewasa, dan Pedawa) desa ini ada pada kecamatan

Banjar Buleleng Bali. Untuk Desa Cempaga

Buleleng tidak diteliti dalam penelitian ini karena terbatasnya waktu, dana dan tenaga yang penulis miliki.

II. Isi Prasasti Cempaga Sebagai Simbol

Pemersatu Desa Cempaga yang

Tersebar di Beberapa Desa Bali Aga di Bali

Dari latar belakang tersebarnya masyarakat desa Cempaga di atas, pada akhirnya raja Paduka Bhatara Sri Mahaguru yang bergelar Cri Maharaja Cri Bhatara Mahaguru Dharmattungga Warmadewa mendengar bahwa desa Cempaga telah diserang oleh masyarakat desa Tampurhyang, sehingga raja mengeluarkan perintah yang dituliskan dalam prasasti Cempaga C berangka tahun saka 1246 menyatakan :

…”pi net ta ya padha ingulihaken ri

pomahanya sowang sowang, samana ta karaman ing campaga pinisahaken masadi

karaman ing tumpuhyang”…

artinya perintah Paduka Bhatara Sri Mahaguru kepada desa Cempaga supaya penduduk kembali ke rumahnya masing-masing dan bahwa desa Cempaga telah dipisahkan dari desa Tampurhyang. (Prasasti Cempaga C tahun 1246 saka)

Kutipan prasasti diatas menerangkan bahwa desa Tampurhyang yang merupakan sebuah perkumpulan desa-desa yang ada di Batur atau di sekitar Bintang Danau Batur wilayah ini berada di Songan termasuk desa Cempaga. Akan tetapi karena letak desa Cempaga yang berada dekat dengan Batur kemudian desa Cempaga mendapatkan serangan akibat dari konflik yang terjadi antara Batur dengan Songan. Raja Paduka Bhatara Sri

Mahaguru kemudian memisahkan desa Cempaga dengan desa Tampurhyang agar tidak lagi terjadi penyerangan pada masyarakat desa Cempaga.

…”mangkana panganugrahanira Paduka Bhatara Cri Mahaguru, I karaman ing

campaga, ateher wineh makmitan

sangyhang rajaprasasti agammagam

makatmayan umagehaken sarintenya

tunggu karaman, samarmmanya

tanpawiruddha mangke hlam lahaning dlaha”…

artinya kepada desa Campaga diberikan pula pegangan berupa prasasti yang harus dijaga baik-baik, dan sebagai bukti bahwa desa Campaga telah bebas dari desa Tumpuhyang. Kebebasan itu semoga berlangsung sampai akhir jaman. (Prasasti Cempaga C tahun 1246 saka)

Dari kutipan prasasti diatas dapat dianalisis yaitu raja menganugerahkan Prasasti kepada masyarakat desa Cempaga untuk dijaga dengan baik, agar desa Cempaga tidak diganggu lagi oleh desa Tampurhyang dan sebagai bukti bahwa desa Cempaga telah terbebas dari segala gangguan dan kemudian desa Cempaga juga tidak lagi terpecah seperti sebelumnya.

…”karaman ing campaga tan kna batun

sabar, mwang papadam, tan kna

pakrangan, mwang tikasan salunding, tan kna pawangkis, apan tan kna mulanya katmu tinmu purwwastiti ri lagi, mangkana panganugrahanira Paduka Bhatara, hana pwa rumuddha panganugrahanira, tan wurung danda, su 3 ma 2”…

artinya desa Cempaga dibebaskan dari pajak (iuran) seperti yang disebutkan “tan kna batun sabar, mwang papadam, tan kna pakrangan, mwang tikasan salunding, tan kna pawangkis” dan barang siapa yang berani merubah peraturan tersebut akan dikenakan denda su 3 ma 2 (mas). (Prasasti Cempaga C tahun 1246 saka) Masyarakat Cempaga yang telah membangun kembali desanya nantinya tidak akan dikenai denda (pajak) yang sebelumnya dibayarkan kepada desa Tampurhyang karena desa yang sekarang ditempati sudah tidak lagi berada di daerah Batur dan raja Paduka Bhatara Sri

(10)

10 Mahaguru juga membebaskan masyarakat Cempaga untuk bebas dari pajak.

Dari isi prasasti di atas terlihat bahwa raja sangat memperhatikan penduduk desa Cempaga yang mengalami kesusahan dan kelangsungan kehidupan masyarakat desa Cempaga yang tersebar. Dengan diberikannya pegangan prasasti masyarakat Cempaga kembali membangun desanya dan tetap mempertahankan identitas asalnya. Seperti desa Bali Aga lainnya, tradisi atau budaya khas yang dimiliki masyarakat Desa Cempaga masih tetap dijaga dengan baik. Dapat disimpulkan bahwa raja menginginkan agar penduduk desa Cempaga tidak terpisah, dan memiliki pelindung dalam mempertahankan keutuhan desa. Tentu saja masyarakat desa Cempaga mematuhi perintah raja dan identitas yang dimiliki tidak akan begitu saja dilupakan sehingga kemanapun dan dimanapun masyarakat desa Cempaga berada akan tetap menjunjung adat-istiadat dan tradisi yang dimiliki.

Nilai-Nilai Dari Prasasti Cempaga Dalam Mempersatukan Desa Cempaga yang

Dapat Diimplementasikan Sebagai

Sumber Belajar Sejarah Lokal di SMA Hasil penelitian ini nantinya akan mampu memberikan sumbangan terhadap dunia pendidikan, khususnya mata pelajaran sejarah yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar sejarah agar para peserta didik dapat memetik sebuah pelajaran, pengetahuan, pemahaman serta nilai-nilai dari prasasti Cempaga sebagai simbol pemersatu masyarakat Cempaga, Bangli. Nilai-nilai yang terkandung didalamnya bisa dijadikan sebuah rujukan dalam melangkah nantinya baik dalam kaitannya menjadi seorang siswa maupun setelah lulus nantinya.

Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam prasasti Cempaga sebagai simbol pemersatu masyarakat Cempaga, Bangli yang bisa dijadikan sebagai sumber belajar sejarah yaitu:

Nilai sejarah

Sejarah adalah gambaran tentang peristiwa masa lampau yang dialami oleh

manusia. Ilmu sejarah berusaha mengungkap masa lampau manusia berdasarkan sumber-sumber sejarah dan dibantu dengan ilmu bantu sejarah serta ilmu-ilmu sosial. Nilai sejarah yang terdapat dalam prasasti Cempaga sebagai simbol pemersatu masyarakat Cempaga, Bangli dapat dilihat dari tersebarnya masyarakat desa Cempaga Batur dalam pelarianya untuk menyelamatkan diri dari serangan desa Tampurhyang sehingga desa Cempaga terdapat di beberapa daerah di Bali, yaitu di Batur-Kintamani, di Bangli dan di Banjar-Buleleng sehingga dari kejadian tersebut desa Cempaga diberikan hak istimewa oleh raja Paduka Bhatara Sri Mahaguru yaitu sebuah prasasti sebagai pegangan bahwa desa Cempaga telah bebas dari serangan desa Tampurhyang dan bebas dari pajak.

Berdasarkan nilai sejarah (historis) tersebut siswa mampu memberikan suatu penjelasan tentang tersebarnya masyarakat desa Cempaga yang ditandai dengan adanya beberapa desa Cempaga di Bali dengan masyarakatnya yang masih Bali Aga. Selain itu dengan mengetaui nilai historisnya siswa akan lebih memahami tentang perubahan dan perkembangan dari tersebarnya masyarakat desa Cempaga. Nilai persatuan dan kesatuan

Persatuan dan kesatuan adalah sikap yang mengutamakan kepentingan bersama dan mengharuskan sitiap anggota masyarakat selalu menjaga kebersamaan di tengah ancaman ketidakharmonisan yang bisa datang dari dalam maupun dari luar masyarakat.

Nilai persatuan dan kesatuan di desa Cempaga dapat dilihat dari rasa solidaritas yang dimiliki oleh masyarakat desa Cempaga, yaitu masyarakat desa Cempaga Bangli masih tetap menjaga keutuhan desa dengan menggunakan nama asal desa mereka yang berada di Batur sama halnya dengan desa Cempaga yang ada di Banjar-Buleleng meski mereka tersebar di beberapa tempat. Pura Penataran Cempaga yang merupakan tempat tersimpannya prasasti Cempaga strukturnya masih mencirikan dimana desa Cempaga itu berasal, yaitu seperti

(11)

11

pelinggih-pelinggih di pura tersebut

diberikan nama pelinggih Dewi Danu,

pelinggih Betara Sakti Ayu Batur, Pelinggih

Betara Dalem Segara dan Pelinggih Betara Dalem Balingkang. Ukiran-ukiran di

pelinggih juga melukiskan keadaan di Batur

dan masyarakat desa Cempaga Bangli yang merupakan orang-orang Bali Aga masih tetap mempertahankan adat istiadat yang dimiliki.

Nilai persatuan dan kesatuan ini patut dijadikan dasar bagi generasi muda dalam hidup bermasyarakat. Generasi muda tentunya harus dapat mengambil nilai persatuan dan kesatuan ini supaya kebersamaan dan rasa saling memiliki bisa terjaga dengan baik. Hal tersebut demi keberlangsungan suatu masyarakat yang telah tersebar namun masih tetap memiliki rasa persatuan dan kesatuan agar tercipta suasana yang solid dan harmonis.

Nilai cinta damai.

Cinta damai merupakan sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebbkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Bentuk nilai cinta damai yang terdapat pada prasasti Cempaga sebagai simbol pemersatu masyarakat Cempaga, Bangli terlihat dari amannya desa Cempaga Bangli dari konflik-konflik atau pertikaian yang disebabkan oleh perbedaan pandangan antar masyarakat setelah diserangnya desa Cempaga oleh desa Tampurhyang. Dengan desa Cempaga di Batur dan di Buleleng pun tidak ada konflik-konflik yang terjadi. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan

kelihan adat banjar Cempaga yaitu I Wayan

Sukasana (61) menyatakan:

“pada saat diserangnya desa Cempaga oleh desa Tampurhyang, masyarakat Cempaga terpencar ke beberapa tempat, mereka yang terpencar itu berkumpul membangun wilayah/desa masing-masing masih dengan identitas asalnya dan masyarakat antar desa Cempaga masih berhubungan baik, karena desa Cempaga sudah dibekali prasasti Cempaga sebagai pemersatu masyarakat desa Cempaga yang tersebar itu.”

Berdasarkan penjelasan di atas sudah jelas bahwa memang benar

masyarakat Desa Cempaga memiliki sikap cinta damai dengan tidak adanya konflik-konfik yang terjadi antar desa Cempaga maupun antar Masyarakat Cempaga.

Jadi nilai-nilai yang terdapat dalam prasasti Cempaga sebagai simbol pemersatu masyarakat Cempaga, Bangli, dapat diselipkan dalam proses pembelajaran. Berdasarkan nilai-nilai diatas, dalam penananman nilai karakter kepada siswa tidak hanya ditanamkan saat proses belajar mengajar di ruang kelas, tetapi dengan melibatkan siswa secara langsung dalam proses mencari, menelusuri, mengamati, menyeleksi serta mengkaji nilai-nilai kehidupan dari masa lalu dari jejak-jejak kesejarahan yang masih ada sampai sekarang seperti halnya dengan prasasti Cempaga sebagai simbol pemersatu masyarakat Cempaga, Bangli. Selain siswa dalam hal ini guru juga harus ikut terlibat dan mengarahkan siswanya memahami, dan menghayati hal-hal yang terjadi pada masa lalu. Dengan mendapat pengertian dan pemahaman tentang prasasti Cempaga sebagai simbol pemersatu masyarakat Cempaga, Bangli diharapkan siswa mampu mengembangkan nilai-nilai tersebut untuk menghadapi permasalahan hidup dimasa kini dan di masa yang akan datang.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis data dapat diperoleh simpulan prasasti Cempaga digunakan sebagai simbol pemersatu masyarakat desa Cempaga yaitu dapat dilihat dari identitas yang masih dipertahankan oleh masyrakata Cempaga, larangan-larangan yang tertulis di dalam prasasti masih dipatuhi, adat istiadat, ritual dan budaya menandakan bahwa desa Cempaga merupakan desa Bali Aga dan tidak terlepas dari tempat asalnya yaitu desa Cempaga di Batur yang hingga kini masih berhubungan dengan baik. Ciri budaya yang masih ada di desa Cempaga Bangli dapat dilihat dari Desa Bali Aga menggunakan kubayan sebagai pembuka dan penutup acara keagamaan, beberapa tari sakral Bali Aga yang masih dilestarikan di desa Cempaga yaitu tari Sang Hyang,

(12)

12 Rejang Renteng dan Baris. Penduduk desa Cempaga merupakan keturunan dari Pasek Kayu Selem yang menandakan warga Bali Aga.

Desa Cempaga Batur dengan desa Cempaga Bangli masih berhubungan dengan baik dalam hal keagamaan yaitu dapat dilihat pada saat puja wali di Pura Penataran Cempaga, air suci (tirta) diambil (nunas tirta) di pura Cempaga Tampurhyang Batur yaitu di tempat asal desa Cempaga yang dilakukan oleh masyarakat desa Cempaga Bangli. Selain itu di dalam Pura Penataran Cempaga juga menandakan bahwa desa Cempaga Bangli berasal dari Batur yaitu dapat dilihat dari pelinggih-pelinggih yang terdapat didalam pura seperti nama pelinggih Dewi Danu,

pelinggih Betara Sakti Ayu Batur, Pelinggih

Betara Dalem Segara dan Pelinggih Betara Dalem Balingkang. Ukiran-ukiran di

pelinggih juga melukiskan keadaan di

Batur.

Adapun sumber belajar sejarah lokal yang dpat diambil dari penelitian ini yaitu nilai-nilai yang terkandung di dalamnya seperti nilai historis, nilai persatuan dan kesatuan dan nilai cinta damai yang nantinya akan diterapkan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari, siswa juga dapat memperluas wawasan/pengetahuan tentang sejarah desa Cempaga sebagai desa Bali Aga yang ada di berbgai tempat. SARAN

Berdasarkan penelitian di atas, maka dapat disampaikan beberapa saran yakni:

1. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk mengkaji desa Cempaga Buleleng, penulis tidak melakukan penelitian sebab terbatasnya waktu, dana dan tenaga yang penulis miliki, penulis hanya terfokus kepada desa Cempaga yang ada di Bangli. 2. Penelitian di Desa Pakraman Cempaga masih banyak hal yang menarik yang belum diteliti seperti Pura Penataran Cempaga sebagai tempat tersimpannya Prasasti Cempaga, karena keterbatasan peneliti,

sehingga diharapkan peneliti lain dapat meneliti aspek-aspek lain dari Desa

Pakraman Cempaga.

DAFTAR PUSTAKA

Bandem, I Made. 1983. Ensiklopedi Tari

Bali. Denpasar: Akademi Seni Tari

Indonesia (ASTI)

Kabul, Budiyono. 2007. Nilai-Nilai

Kepribadian Dan Perjuangan

Bangsa Indonesia. Bandung:

Alfabeta

Korn, V. E. 1932. Hukum Adat Bali

(terjemahan) cetakan kedua. Proyek

Pembinaan Hukum, Biro Hukum dan Organisasi & Tatalaksana, Kantor Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali

M.M Sukarto dan K Atmojo. 1975. Catatan

Singkat Sementara: Prasasti

Cempaga. Gianyar: Lembaga

Purbakala dan Peninggalan Nasional

Pandit Shastri, N.D. 1963. Sedjarah Bali

Dwipa. Denpasar: Bhuana

Saraswati

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1978. Sejarah

Daerah Bali. Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan

Riana, I Ketut. 2011. Lalintih Sang Catur

Sanak Bali: Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, Kaywan Balingkang Lan Warga Bali Aga. Gianyar: Yayasan

Tan Mukti Palapa

Semadi Astra, I Gde. 1977. Jaman

Pemerintahan Maharaja

Jayapangus di Bali. Denpasar:

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai salah satu peninggalan sejarah, tentunya keberadaan Situs Ngurawan ini memiliki arti penting bagi Pemerintah kabupaten Madiun dan juga masyarakat Madiun

84 4.5 Potensi Hasil Penelitian Agroekosistem Kebun Berbasis Pengetahuan Ekologi Lokal Masyarakat Using Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi Sebagai Sumber

Dengan perspektif kearifan local atau local genius Candi Pura Sada di Desa Adat kapal sebagai sumber belajar sejarah, maka siswa akan sedikit tidaknya mengetahui

Dalem Pemayun memiliki tiga putra salah satunya yakni Dewagung Mayun PutraDewagung Mayun membuat Puri Baru yang terletak di Desa Pejeng, Struktur fisik Puri Soma

Penelitian ini bertujuan untuk memecahkan masalah terkait dengan tujuan penelitian: (1) sejarah Pura Tampurhyang dijadikan pusat Kawitan Catur Sanak di Desa

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui Sejarah Peninggalan Purbakala Di Pura Subak Apuan, Singapadu, Gianyar, Bali, (2) mengetahui Struktur dari Peninggalan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, (1) sejarah keberadaan arca megalitik di Pura Sibi Agung Desa Pakraman Kesian, Gianyar, Bali, (2) wujud, dan fungsi arca

KECERDASAN EKOLOGIS DALAM NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KAMPUNG CIKONDANG SEBAGAI SUMBER BELAJAR IPS Di Desa Lamajang, Kecamatan Pengalengan Kabupaten Bandung Jawa