• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Adat istiadat 1 sebagai ikatan hubungan kerja sama secara terbuka dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Adat istiadat 1 sebagai ikatan hubungan kerja sama secara terbuka dalam"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Adat istiadat1 sebagai ikatan hubungan kerja sama secara terbuka dalam berbagai kegiatan sosial bermasyarakat. Adat istiadat sebagai warisan leluhur yang berfungsi menjaga hubungan sosial kemasyarakatan agar lebih beradab dan tertib. Eksistensi adat istiadat hingga kini masih jadi pedoman yang melekat dan diyakini oleh masyarakat adat dan berbagai suku di Indonesia, begitu pula halnya dengan adat istiadat bagi masyarakat adat di luhak Angkola.

Masyarakat adat di luhak Angkola sebagai salah satu etnik Batak yang berada di Sumatera Utara masih memedomani adat istiadat dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Masyarakat adat Angkola yang dikenal relegiutas pada umumnya beragama Islam tetapi, adat istiadat masih tetap digunakan. Kendatipun demikian intensitas penggunaan upacara adat mulai meluntur, hal ini disebabkan oleh banyak faktor seperti: a) pemahaman agama yang tidak ingin mencampuradukkannya dengan adat, b) faktor finansial yang terbatas, c) upacara adat yang membutuhkan waktu yang cukup lama, dan d) para pelaku adat yang terbatas. Walaupun demikian, performansi upacara adat atau adat istiadat masih digunakan.

1

Adat istiadat: tata kelakuan yang kekal dan turun temurun dari satu generasi ke generasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola perilaku masyarakat. (KBBI, 1995:6)

(2)

Masyarakat adat Angkola melakukan upacara adat mangupa sebagai bentuk kepercayaan adat atas peristiwa peruntungan atau upacara bergembira (siriaon) dan upacara musibah/ duka cita (siluluton). Performansi upacara adat

mangupa untuk peruntungan ada lima pembagian, yaitu: 1) upacara kelahiran

anak (hasosorang ni daganak), 2) upacara perkawinan (pabagas boru atau

patobang anak) atau mangupa anak laki-laki, 3) lepas dari marabahaya, 4)

tercapai niat, dan 5) memasuki rumah baru (marmasuk bagas na imbaru). Begitu pula pada upacara duka cita (siluluton) kejadian-kejadian berupa musibah seperti, upacara lolos dari marabahaya, upacara sembuh dari sakit, sehingga dengan peristiwa-peristiwa itu bagi masyarakat adat Angkola akan merasa terhindar dari mara bahaya sebagai rasa syukur atas tercapainya suatu maksud yang diinginkan.

Performansi pada upacara mangupa sebagai rangkaian puncak upacara perkawinan adat Angkola. Upacara mangupa adat pada horja godang (pesta besar) dibedakan oleh bahan mangupa yaitu seekor kerbau, tetapi walaupun bahan mangupa berbeda namun inti performansi upacara mangupa adat Angkola tetap sama yaitu berisi nasihat-nasihat sebagai tuntunan hidup berumah tangga. Sehingga, bagi kedua mempelai nasihat-nasihat hidup berumah-tangga tersebut dapat dijadikan pedoman hidup berkeluarga, yang diakhiri dengan pemberian gelar adat (gelar adat matobang).

Realitas fenomena yang ditemukan di masyarakat, para pelaku adat dan tokoh-tokoh yang masih memahami aturan-aturan adat istiadat tinggal beberapa orang lagi, akibatnya tokoh-tokoh adat yang terbatas itu dipanggil untuk melakukan upacara adat dibeberapa tempat. Hal itu berdampak pada pelaku adat harus dibayar oleh pemilik hajat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti:

(3)

1) proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, 2) usia tokoh-tokoh adat yang sudah tidak muda lagi, 3) generasi muda kurang tertarik melakukan aktivitas adat, 4) perubahan tradisi yang terjadi pada upacara adat mendapat banyak tantangan, 5) upacara adat bagi sebagaian orang merupakan upacara yang membosankan, 6) upacara adat banyak menyita waktu, 7) pembicaraan adat (kata-kata adat) selalu berputar-putar (berulang-ulang), 8) pemahaman agama yang melarang upacara perkawinan adat, 9) perkembangan zaman, sehingga tradisi masyarakat yang menjadi kebiasaan tersebut sedikit demi sedikit mulai disederhanakan (upacara adat sebelumnya tujuh hari, tiga hari, kini lebih sering satu hari saja), 10) faktor finansial dan efektivitas waktu, sehingga penyelenggaraan upacara adat mulai disederhanakan (Amri, 2011:212).

Berdasarkan pada kenyataan ini, upaya menjaga adat sebagai tradisi dan sebagai salah satu sumber pengetahuan masa kini dan yang akan datang perlu pengkajian sistem pewarisannya. Perlunya mengkaji adat Angkola sebagai salah satu sumber pengetahuan, pengkajian tentang sistem pewarisan yang dapat membentuk identitas budaya Angkola. Maka perlu dilakukan pengelolaan tradisi seperti: perlindungan, preservasi, dan revitalisasi adat sebagai tradisi yang perlu pengkajian hal-hal yang positif yang telah menjaga tatanan adat di masyarakat adat Angkola

Adat sebagai tradisi dilihat sebagai bentuk peristiwa budaya atau sebagai suatu bentuk tradisi yang diciptakan kembali (invented culture) agar dapat dimanfaatkan, dikembangkan, dan dilestarikan sebagai suatu bentuk tradisi suatu kebudayaan etnik, dengan suatu alasan tertentu yang tetap perlu dijaga kelestariannya, digali, dan serta dikembangkan potensi dan nilai-nilai adat sebagai

(4)

tradisi. Kemudian adat sebagai tradisi perlu mendapat perlindungan sebagai warisan tak benda budaya Indonesia, melalui penelitian yang terstruktur dan berkelanjutan. Jangan seperti fenomena yang terjadi selama ini, yaitu ketika kekayaan tak benda milik bangsa dikleim oleh bangsa lain sebagai milik mereka, barulah kita terperanjat dan „mencak-mencak‟ mengkleim kekayaan tak benda tersebut milik budaya bangsa kita.

Sementara kita sebagai pemilik sah adat yang merupakan warisan tak benda tersebut, malah menganggap adat dan tradisi kebudayaan sebagai barang yang tidak memiliki nilai-nilai dan manfaat. Adat Angkola sebagai tradisi leluhur jangan pula dipandang sebaliknya, adat Angkola dilihat sebagai barang antik yang harus diawetkan, kuno, beku, ketinggalan zaman, yang berasal dari masa lalu dan tidak pernah „boleh‟ berubah yang kemudian diagungkan dan diabadikan. Pandangan manusia modern, tradisi selalu diasosiasikan sebagai ketinggalan zaman, kuno, kolot, out of date, dan lain sebagainya. Dari sudut pandang tersebut, maka tradisi selalu sebagai sesuatu yang harus ditinggalkan mana kala ingin dianggap modern (M. Ridwan Lubis, 2013).

Perspektif tradisi diasosiasikan sebagai ketinggalan zaman, kuno, kolot,

out of date inilah yang keliru, karena asumsi peninggalan sejarah hanyalah yang

tampak seperti: candi, patung, ulos, bagas godang, alat musik gordang, gorga, tongkat tunggal panaluan dan lainnya tetap dijaga kelestariannya. Akan tetapi upacara-upacara adat yang merupakan seremoni adat sebagai tradisi leluhur sebagai warisan tak benda malah kita abaikan. Begitu pula, upacara adat

mangupa sebagai bagian dari rangkaian prosesi dari upcarara perkawinan adat.

(5)

bermanfaat bagi kehidupan. Di saat nilai-nilai tradisi adat sebagai identitas karakteristik bangsa yang merupakan ciri-ciri etnik Angkola yang makin terperosok, oleh jurang-jurang budaya luar yang instan dan hedonis serta materialis pragmatis.

Ada “pertentangan” dalam memandang tradisi budaya dan tradisi lisan. Sebagian memandang tradisi budaya yang mengalami perubahan merupakan

kekurangan, sedangkan sebagian lagi memandang bahwa perubahan atau

transformasi itu merupakan hal yang lumrah bahkan positif. Pandangan yang pertama, pada umumnya dimiliki oleh masyarakat atau tokoh masyarakat sebagai

penjaga kebudayaan, sedangkan pandangan kedua dimiliki oleh ilmuan sebagai

“peneliti budaya” (Sibarani, 2012:4)

Oleh karena itu, performansi upacara adat mangupa sebagai bagian dari rangkaian prosesi dari upacara adat perkawinan memiliki nilai-nilai tradisi adat sebagai identitas karakteristik bangsa yang merupakan ciri-ciri etnik Angkola perlu tetap dilestarikan, sementara pelaku adat semakin berkurang. Upacara adat

mangupa sudah melekat pada komunitas masyarakat adat yang dianut oleh nenek

moyang suku Angkola (Batak , Mandailing, Tapanuli Selatan, Angkola, Sipirok) karena mangupa adat erat kaitannya dengan adat yang diyakini sebagai ritual religi sebelum masuknya agama Islam.

Setelah masuknya agama Islam ke tanah Angkola, Mandailing, Tapanuli Selatan, yang kini pada umumnya dianut oleh masyarakat Angkola, Sipirok. Pelaksanaan tradisi mangupa disesuaikan dengan ajaran agama Islam, karena hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam telah dihapuskan seperti: kepala

(6)

kerbau/ kambing utuh di atas tampi (anduri) diganti dengan simbol-simbol binatang tersebut (kuping, mata, lidah, otak, kaki, ekor yang sudah dimasak). Upacara besar mangupa adat Angkola melibatkan dalihan na tolu, raja

panusunan bulung, hatobangon (orang yang dituakan), tetangga (ambar balok)

sekampung.

Tradisi adat mangupa yang telah disesuaikan dengan ajaran agama Islam, dapat diterima oleh tokoh-tokoh adat serta pelaku adat, karena hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam dapat ditinggalkan oleh komunitas adat. Kini, masyarakat adat Angkola menerima ajaran agama Islam dan adat dapat menyesuaikan diri, sehingga ada pepatah adat yang menyebutkan: “Ombar do

adat dohot ibadat/ ugama” (seiringan antara adat dengan agama).

Performansi upacara adat mangupa kini, telah mengalami akulturasi adat yang disesuaikan dengan ajaran agama Islam, sehingga performansi prosesi

mangupa dipengaruhi unsur ajaran agama Islam. Pengaruh itu seperti: setiap

pembukaan upacara mangupa dengan menggunakan ajaran agama Islam (salam pembuka dan salam penurup menyertakan nama Allah SWT), kata-kata nasihat juga menyertakan ayat-ayat suci Al-Quran dan hadist tetapi, di sisi yang lain penganut agama Islam murni, tidak ingin mencampur-adukkan antara agama Islam dengan adat, maka performansi mangupa bagi mereka tidak benar, karena tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, hal itu disebut dengan bid‟ah yang berarti tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, karena menambah-nambahi yang telah diajarkan dalam pelaksanaan ajaran agama Islam dengan adat. Sehingga, perspektif masyarakat dalam melaksanakan upacara adat memiliki pemahaman yang berbeda-beda hal ini sesuai dengan pertentangan antara adat dan agama yang

(7)

ditanamkan oleh orang tua, keluarga, dan masyarakat dalam memandang upacara adat.

Padahal, pada performansi upacara mangupa adat Angkola banyak menyampaikan kata-kata nasihat yang disampaikan sesuai dengan ajaran agama Islam, tuntunan hidup berumah tangga, hormat kepada orang tua dan sanak saudara, agar bersosialisasi untuk hidup bermasyarakat. Inti dari tradisi lisan

mangupa adat Angkola adalah memberikan nasihat berumah tangga, memberi

makan (mambutung-butongi mangan), dan memberikan gelar adat pada kedua mempelai. Selain itu, upacara mangupa juga menunjukkan kebesaran hati orang tua kepada anak dan menantu karena telah selesai tanggung jawab orang tua kepada anak dan menantu, karena anak telah menentukan pilihan hidup untuk mengarungi bahtera hidup berumah tangga (langka matobang ‟langka matua

bulung‟).

Jadi, upacara mangupa adat Angkola merupakan tradisi yang diyakini masyarakat adat yang harus dijalankan, walaupun, besar kecilnya upacara

mangupa adat Angkola disesuaikan dengan kemampuan finansial pemilik hajat mangupa. Oleh karena itu, besar kecilnya upacara mangupa tidak mengurangi

nilai-nilai pelaksanaan upacara adat mangupa tersebut. Besar kecilnya bahan

pangupa (lahanan pangupa) dimulai dengan satu ekor kerbau, satu ekor kambing,

satu ekor ayam, dan satu butir telur ayam.

Bahan pangupa yang paling kecil (pangupa namenek) berupa satu butir telur sudah dapat melaksanakan upacara mangupa walaupun hanya dilaksanakan oleh orang dalam satu rumah, satu butir telur bulat melambangkan “kebulatan”

(8)

semangat (tondi) dan badan, sehingga pada upacara mangupa selalu ada ungkapan „Horas tondi madingin, pir tondi matogu‟ berarti „Sehat/ selamatlah semangat (tondi) agar tetap dalam keadaan dingin/ sejuk, kuatkan semangat bersatu padu dengan badan agar dapat menjalani hidup dan segala cobaan yang harus dihadapi.

Nilai-nilai adat mangupa tidak ditentukan oleh besar kecilnya bahan

pangupa (lahanan na) tetapi niat baik dan kata-kata nasihat pada pelaksanaan

tradisi mangupa adat itulah yang sangat penting. tradisi lisan mangupa adat Angkola dilakukan dengan menggunakan bahasa lisan. Oleh karena itu, pelaku adat selalu menggunakan media bahasa yang disampaikan secara lisan seperti kata-kata nasihat. Kata ungkapan dan nasihat mangupa seperti: mulak tondi dohot

badan (memulihkan atau menguatkan semangat), mulak tondi tu badan

(kembalilah semangatmu), Horas tondi madingin yang berarti Keselamatan dan kebahagiaan. Jadi bahasa adat mangupa menggunakan bahasa berkias atau simbol-simbol dalam bentuk ungkapan.

Bahasa yang dipakai suatu kelompok etnik, baik dalam tataran interaksional makro maupun dalam tataran interaksional mikro, seperti dalam peristiwa tutur atau tindak tutur tertentu, merupakan cerminan kebudayaan yang dianutnya (Duranti, 2001; Bustan, 2005). Dikatakan demikian karena, menurut Humbolt (Cassirer, 1987:183-184; Foley,1997:19), Perspektif bahasa sebagai sistem simbol bermakna, merupakan cerminan kebudayaan suatu kelompok masyarakat bersifat refleksif, sistematis, dan terstruktur yang digunakan suatu kelompok masyarakat untuk mengungkapkan objek, peristiwa, dan hubungannya dalam dunia (de Vito, 1970:7).

(9)

Bahasa adalah sistem simbol bunyi arbitraris yang memungkinkan warga dalam satu kebudayaan tertentu atau orang lain yang sudah mempelajari kebudayaan itu, berkomunikasi atau berinteraksi (Finochiaro, 1974:3). Karena itu, tidak heran jika bahasa sering digunakan sebagai sumber rujukan dalam menelaah berbagai aspek kebudayaan, termasuk sistem kepemimpinan sebagai salah satu aspek struktur sosial (Foley, 1997:3; Duranti, 2001). Jadi, ada interelasi bahasa dan kebudayaan pada struktur sosial karena pemakaiannya sebagai sarana komunikasi dalam konteks sosial dan konteks budaya suatu kelompok masyarakat adalah membentuk dan mempertahankan struktur sosial (Foley, 1997:3).

Adat istiadat dan budaya Angkola pada khususnya dan budaya Batak pada umumnya melakukan prosesi mangupa adat dengan tradisi lisan. Tradisi lisan di Padangsidimpuan dilakukan untuk menyampaikan maksud dan tujuan dilakukannya upacara mangupa adat Angkola seperti: martahi, mambuka

galanggang, panaek gondang, maronang-onang, manortor, maralok-alok, marosong-osong, tu tapian raya bangunan, mangupa, haroan boru, malehen mangan, dan lain-lain. Sehingga, pada upacara tersebut terkandung nilai-nilai

kearifan lokal.

Kearifan lokal tidak terlepas dari adat istiadat serta kebudayaan yang terbentuk dari hasil kesepakatan masyarakat yang dimulai dari kebiasaan yang diproduksi secara sadar maupun tanpa sadar dari kehidupan keseharian. Hasil dari kesepakatan menjalankan kearifan lokal melahirkan produk aturan dan peraturan adat istiadat dan hukum adat, yang terakumulasi pada tatanan adat. Kearifan lokal yang terbentuk memiliki keragaman tersendiri yang faktor utamanya terletak pada

(10)

kultur bahasa serta budaya, suku sebagai identitas yang membedakan setiap komunitas adat.

Realitas pada masyarakat menunjukkan bahwa, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin berkurang dan pemahaman tentang kegiatan adat istiadat semakin meluntur. Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat. Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya menjaga tradisi lisan pada upacara adat Angkola sebagai pengetahuan pada masa kini dan yang akan datang adalah sistem pewarisan adat istiadat dan budaya Angkola.

Nilai-nilai kearifan lokal pada rangkaian upacara mangupa adat Angkola menunjukkan Sebagai produk kultural, tradisi lisan mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, misalnya sistem nilai, kepercayaan dan agama, kaidah-kaidah sosial, etos kerja, bahkan cara bagaimana dinamika sosial itu berlangsung (Pudentia, 2003:1). Dengan kata lain, tradisi lisan pada upacara mangupa adat Angkola mengandung kearifan lokal (local wisdom) sehingga dapat memberikan nilai-nilai luhur dan berguna dalam pemberdayaan masyarakat.

Ada indikasi bahwa, pengetahuan masyarakat tentang upacara mangupa adat Angkola, belum dikembangkan melalui jalur pendidikan, sehingga tradisi lisan pada upacara mangupa adat Angkola, kian tergerus serta terabaikan. Akibatnya generasi muda di Angkola pun berpaling kepada nilai-nilai Barat yang membuatnya terasing dan kehilangan kepribadian (Nasution, 2005; 483). Padahal

(11)

bila dikaji dan analisis, tradisi lisan tersebut mengandung kearifan lokal dan nilai-nilai filosofis adat yang kaya makna sehingga tradisi adat yang terpatri pada komunitas adat Angkola.

Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan Sinar (2010:70) bahwa banyak bahasa daerah di Indonesia berada diambang kritis, semakin sulit untuk “hidup”, bertahan, berfungsi, dan terwaris secara utuh. Banyak nilai yang tergusur dan punah. Belum lagi dengan ancaman hegemoni dan dominasi beberapa bahasa internasional, regional, dan nasional yang semakin mendesak bahasa-bahasa minoritas.

Begitu pula pemikiran Nasution (2005:485) yang menyatakan bahwa tidak sedikit adat dan pola-pola tradisi masyarakat disebabkan karena hantaman palu pembangunan seperti diketahui pembangunan yang dilancarkan dengan semangat kapitalisme yang tanpa moral, ekologi, hutan, dan tanah adat digusur demi pembangunan.

Sejalan dengan pendapat di atas hasil penelitian Amri (2011) menyatakan, penelitian ini mengkaji tradisi lisan yang dipakai pada upacara perkawinan adat di Tapanuli Selatan, telah terjadi penyusutan pemahaman konsepsi makna leksikal padahal memiliki nilai-nilai yang estetis dan pesan-pesan sebagai nasihat, upacara adat yang semakin renggang dengan komunitas remaja sebagai pewaris adat. dalam keadaan yang demikian itu banyak di antara bagian-bagian penting dari kebudayaan Mandailing/ Tapanuli Selatan yang punah sama sekali, misalnya:

(12)

masih dipakai hata somal, demikian juga gordang sambilan, gordang dua, dan juga sastra lisan, upacara mangupa adat Angkola:

Pada upacara mangupa adat Angkola memiliki makna semiotik berbahasa yang bila dikaji akan menemukan keunikan makna yang tersirat pada upacara

mangupa adat Angkola. Sehingga, akan diperoleh nilai-nilai tradisi lisan yang

tersirat dalam perspektif upacara mangupa adat Angkola sehingga secara implisit dapat dikaji nilai-nilai tradisi dan kearifan lokal.

1.2 Batasan Masalah

Tradisi lisan pada upacara adat Angkola di Padangsidimpuan digunakan untuk berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya. Tradisi lisan yang digunakan pada upacara adat merupakan kearifan lokal (local

wisdom), karena berfungsi mengatur sistem kehidupan yang terbentuk dari hasil

kesepakatan masyarakat yang dimulai dari kebiasaan yang diproduksi secara sadar maupun tanpa sadar dari kehidupan keseharian, hasil dari kesepakatan menjalankan kearifan lokal melahirkan produk aturan dan peraturan adat istiadat dan hukum adat, yang terakumulasi pada tatanan adat.

Kajian yang akan dibahas ada beberapa fokus kajian yaitu: 1) Pendeskripsian tradisi lisan mangupa adat Angkola, 2) Menganalisis teks, koteks, dan konteks tradisi lisan mangupa adat Angkola, 3) Kajian semiotik dan maknanya, 4) Tradisi lisan dan nilai-nilai kearifan lokalnya, agar lebih jelas dapat dilihat pada rumusan masalah berikut.

(13)

1.3 Rumusan Masalah

Kajian penelitian ini akan meretas dan menguraikan tradisi lisan mangupa pada masyarakat Angkola sebagai bagian dari upacara adat, berkaitan dengan penelitian tersebut yang dikaji secara performasi upacara adat mangupa deskriptif dan penelitian kualitatif, dengan demikian dapatlah dirumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah performansi tradisi lisan mangupa adat Angkola?

2. Bagaimanakah teks, koteks, dan konteks tradisi lisan dalam performansi

Mangupa Adat Angkola?

3. Bagaimanakah fungsi, makna,dan nilai-nilai kearifan lokal Tradisi lisan

mangupa adat angkola yang terkandung dalam tradisi mangupa adat

Angkola?

4. Bagaimanakah upaya revitalisasi tradisi lisan mangupa adat Angkola sebagai model pelestarian?

1.4 Tujuan Penelitian

Merujuk pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan performasi upacara mangupa adat Angkola.

2. Untuk menemukan hasil analisis performansi teks, koteks, dan konteks tradisi lisan mangupa adat Angkola.

3. Meretas fungsi, makna,dan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung pada tradisi lisan upacara mangupa adat Angkola.

(14)

4. Upaya revitalisasi tradisi lisan mangupa adat Angkola sebagai model pelestarian dan membuat model penelitian sebagai model pelestarian.

1.5 Manfaat Penelitian

Temuan penelitian ini, diharapkan bermanfaat secara teoritis dan praktis.

1.5.1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, temuan penelitian ini dapat:

a. Mendokumentasi kajian tradisi lisan upacara mangupa adat Angkola sebagai kajian yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal.

b. Memperkaya kajian bidang linguistik yang dikaitkan dengan kajian tradisi

mangupa, kajian teks, koteks, konteks, dan nilai-nilai kearifan lokal tradisi

masyarakat adat Angkola di Padangsidimpuan secara spesifik.

c. Menawarkan model revitalisasi sebagai acuan bagi para peneliti yang memofuskan pada kajian tradisi lisan dan kajian antropolingistik, upacara sesaji, semiotik secara khusus melihat nilai-nilai kearifan lokal pada tradisi

mangupa adat Angkola.

1.5.2. Manfaat Praktis

Secara praktis, temuan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat luas agar:

(15)

a. Mengetahui tradisi lisan dan menemukan nilai-nilai kearifan lokal pada tradisi

mangupa adat Angkola dan memberi pengetahuan tentang upacara adat.

b. Setelah mengetahui analisis teks, koteks, dan konteks tradisi lisan mangupa adat Angkola serta berupaya melestarikan adat budaya yang mulai ditinggalkan komunitas pemakainya, sehingga nilai-nilainya dapat terjaga sebagai kearifan lokal yang memberi kekuatan yang bertujuan mempersatukan komunitas pemakainya.

c. Memberi kontribusi kepada stake holder adat seperti: pelaku adat, tokoh adat, masyarakat adat, peneliti adat dan budaya dan pemerintah sebagai model revitalisasi tradisi lisan upacara mangupa.

1.6 Penjelasan Istilah

Pada tulisan ini digunakan istilah-istilah yang memiliki makna yang berbeda dengan ilmu di luar linguistik, oleh karena itu, penjelasan istilah pada peneltitian ini dimaksudkan agar ada persepsi yang sama mengenai istilah yang digunakan. Penggunaan istilah tersebut sesuai dengan konsep istilah pada bidang linguistik, istilah tersebut yaitu:

1) Tradisi lisan, adalah berbagai pengetahuan dan adat istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan, lebih jauh Roger Tol dan Pudentia (1995:2) dalam B.H. Hoed (2008:184). Tradisi lisan adalah proses kelisanan yang tercermin dalam aturan-aturan tidak tertulis yang disimpan dalam dunia ingatan manusia dan diwariskan secara turun-temurun. Komunikasi adalah proses kegiatan berhubungan antara manusia dengan sesamanya menggunakan

(16)

seperangkat bahasa untuk menyampaikan pesan dalam mempertahankan kelangsungan hidup manusia.

2) Upacara mangupa. upacara mangupa atau upa-upa merupakan salah satu upacara adat yang berada di Luhat Angkola, Angkola, Tapanuli Selatan, di Provinsi Sumatera Utara. Upacara “mangupa” menurut Patuan Daulat Baginda Nalobi (1998;51) merupakan salah satu upacara dalam adat Angkola, Mandailing, Angkola, Tapanuli Utara, Padang Lawas, Padang Lawas Utara. Jadi, secara hakiki upacara mangupa bertujuan untuk mengembalikan tondi (semangat) ke badan dan memohon berkah dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa agar selalu mendapatkan keselamatan, kesehatan, dan memperoleh kemurahan rezeki dalam kehidupan. Prosesi mangupa sebagai upaya mengembalikan tondi ke badan, yang dilakukan dengan cara menghidangkan seperangkat bahan (perangkat pangupa) dan sertai dengan nasihat mangupa

(hata pangupa; hata upah-upah) yang disusun secara sistematis dan

sampaikan oleh berbagai pihak yang terdiri dari orang tua (suhut), jiran tetangga (ambar balok), raja-raja, dan pelaku adat lainnya. Upacara mangupa serangkaian upacara mangupa (seremonial) mempelai yang terikat pada aturan tertentu menurut agama atau adat yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala yang dipimpin oleh pengetua adat atau pemuka agama.

3) Adat Angkola, adalah kebiasaan yang berlaku menurut masyarakat adat atau peraturan tentang tingkah laku menurut orang Angkola biasa bertingkah laku. Jadi di dalamnya termuat peraturan-peraturan hukum yang melingkupi dan mengatur hidup bersama dari orang-orang Tapanuli Selatan.

(17)

4) Dalihan Na Tolu, dalihan na tolu pada masyarakat adat Mandailing mengandung arti, tiga kelompok masyarakat yang merupakan tumpuan. Dalam upacara-upacara adat lembaga dalihan na tolu ini memegang peranan yang penting dalam menetapkan keputusan-keputusan. Dalihan na tolu yang terdiri dari 3 (tiga) unsur tersebut terdiri dari kelompok: a) Suhut dan

kahangginya; b) Anak boru; c) Mora.

5) Antropologi linguistik atau antropolinguistik disebut juga dengan etnolinguistik yang menelaah struktur masyarakat dalam menggunakan bahasa yang diikuti oleh fungsi, dan pemakaiannya dalam konteks situasi sosial budaya. Antropolinguistik memandang bahasa dari konsep inti antropologi yang mengkaji budaya untuk mencari makna dibalik penggunaan, ketimpangan penggunaan maupun tanpa menggunakan bahasa dalam bentuk register dan gaya yang berbeda. Hakikinya, antropolinguistik memuat interpretasi bahasa untuk menemukan pemahaman secara budaya. “Antropological linguistics views language through the prism of the core

anthropological concept, culture, and such, seeks to uncover the meaning behind the use, misuse, or non-use of language, its different forms, registers and style. It understandings.” (Foley, 1997:3) Melalui pendekatan antropolinguistik, perlu mencermati yang dilakukan oleh manusia dengan kebudayaannya dengan menggunakan bahasa sebagai ujaran-ujaran yang diproduksi, bahasa dihubungkan dengan konteks pemakaiannya. Oleh karena itu, ada tiga bagian penting dalam antropolinguistik modern, menurut Duranti (2001:14) menyatakan pendekatannya melalui (1) performance, (2) indexcality, dan (3) participation. Menurut Sibarani (2004:50) fokus kajian

(18)

antropolinguistik yaitu hubungan dan peranan bahasa dan kebudayaan pada masyarakat serta bagaimana hubungannya pada terminologi budaya. Komunikasi verbal dan nonverbal antara seseorang dengan orang lain dalam kegiatan sosial dan budaya tertentu sesuai dengan konteks budayanya, dan bagaimana bahasa masyarakat dahulu sesuai dengan perkembangan budayanya. Pengkajian antropolinguistik terhadap tradisi lisan mangupa, yang akan mengkaji unsur verbal dan nonverbal tradisi lisan mangupa dapat dijelaskan melalui permasalahan yang mengkaji struktur teks, koteks, dan konteksnya dengan objek kajian tradisi lisan mangupa dengan kajian antropolinguistik.

6) Semiotik, berasal dari bahasa Yunani yaitu kata seme atau semeion, yang berarti penafsiran tanda, semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Teori semiotika mengulas tentang pengkajian yang sistematis tentang interpretasi tanda. Dengan mempelajari penafsiran tanda sehingga dimaknai manfaatnya dalam kehidupan, sehingga cara kerjanya dipahami untuk bekerja sama sesama anggota masyarakat. Pelopor semiotik yang dianggap sebagai peletak dasar adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913) seorang ahli linguistik berkebangsaan Swis dan seorang ahli filsafat yaitu, Charles Sander Peirce (1839-1914) berkebangsaan Amerika, dan Rolland Barthes berkebangsaan Prancis. Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi, sedang Peirce menyebutnya semiotik (semiotics). Kemudian nama itu sering dipergunakan berganti-ganti dengan pengertian yang sama. Di Perancis dipergunakan nama semiologi untuk ilmu itu, sedang di Amerika lebih banyak dipakai nama semiotik. Pemikiran mereka menjabarkan tanda dibentuk atas aspek, yaitu

(19)

penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formal yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu, jadi tanda yang terjadi dari petanda dan penanda merupakan suatu kesatuan. Tanda ada beberapa macam antara lain ikon, indeks, dan simbol semua dikategorikan berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Ikon merupakan tanda yang berhubungan dengan sifat alamiah antara penanda dan petandanya, yaitu hubungan persamaan. Indeks menggambarkan hubungan sebab-akibat penanda dan petandanya. Simbol menunjukkan hubungan yang bersifat arbitrer dan alamiahnya hubungan penanda dengan petandanya, Aneka tanda untuk satu makna berarti adanya “manasuka” tanda yang digunakan sebagai lambing bahasa.

7) Nilai, adalah sesuatu yang sesuai dengan norma ideal menurut masyarakat pada masa tertentu. Roland Barthes (1957: 140-142) ada tiga ciri-ciri nilai, yaitu: 1) nilai yang berkaitan dengan subyek; 2) nilai tampil dalam konteks praktis, di mana subyek ingin membuat sesuatu; 3) nilai menyangkut sifat-sifat yang „ditambah‟ oleh subyek pada sifat-sifat-sifat-sifat yang dimiliki oleh obyek, nilai tidak dimiliki oleh obyek pada dirinya.

Teori nilai (kelima bagian ini dianggap sebagai orientasi nilai budaya (value

orientations) kelima nilai budaya tersebut menjabarkan tentang nilai-nilai

yang paling tinggi dalam kebudayaan hidup manusia ada lima hal: a) makna hidup manusia; b) makna hubungan manusia dengan alam sekitarnya; c) persepsi manusia tentang waktu; d) nilai pekerjaan, karya, dan amal perbuatan manusia; e) hubungan manusia dengan sesama manusia. Lebih jauh

(20)

pemahaman konsepsi pemaknaan nilai hidup manusia adalah penderitaan dan keprihatinan (evil) sebagai orientasi nilai budaya, di sisi yang lain kehidupan adalah sumber kesenangan, keindahan, kenyamanan (good) (Florence Kluckhohn dan Strodtbeck (1961)

8) Kearifan lokal, adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat

“local wisdom” atau pengetahuan setempat “local knowledge”atau

kecerdasan setempat “local genious”.

9) Revitalisasi kebudayaan, merupakan proses dan usaha memvitalkan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat atau usaha membuat kebudayaan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat menurut Grenoble dan Whaley (2006) dalam Saragih (2010:1) menyebutkan, revitalisasi merupakan proses penambahan daya (vitality) budaya/ bahasa yang terancam kemusnahan dengan tujuan agar memenuhi fungsinya bagi komunitasnya. Penambahan daya bahasa mencakupi upaya perlindungan dan pengembangan bahasa serta pembinaan penutur bahasa.

Referensi

Dokumen terkait

Batang tubuh (teks) terdiri dari bagian atau bab yalg berbeda menurut jenis karya ilmiah yang ditulis. 1) Bab I, merupakan bab pendahuluan, berisi uraian tentang latar belakang atau

3 Hukum Kewarisan menurut hukum Islam sebagai salah satu bagian dari hukum keluarga (Al-ahwalus Syakhshiyyah) sangat penting dipelajari agar dalam pelaksanaan

(2003) menyatakan bahwa seorang mahasiswa yang belajar berdasar regulasi diri cenderung tidak melakukan prokrastinasi karena mereka memiliki tiga karakteristik

menurut Subroto dalam wulan (2008:2) menyatakan bahwa “dalam pelaksanaan proses belajar mengajar pendidikan jasmani keempat faktor ini tidak dapat dipisahkan satu

Hambatan konsentrasi ini sangat berpengaruh terhadap banyak hal dalam kehidupan Anak ADHD, menurut Baihaqi dan Sugiarmin (2006, hlm. 3) menyatakan bahwa

merupakan radio dari Rusia untuk menekan permasalahan tersebut sesuai yang tertulis pada bagian 2 dan bagian 3 dalam MoU yang dimana tertulis bahwa masing – masing pihak bersedia

Menurut pasal 1634 KUHPerdata, para sekutu tidak boleh berjanji bahwa jumlah bagian mereka masing-masing dalam maatschap ditetapkan oleh salah seorang sekutu dari

Penulis tertantang dan tertarik mengangkat musik dan lagu atau nyanyian liturgi sebagai bagian yang tidak lepas keterkaitannya dengan upacara keagamaan dalam Gereja