SURAT AL-‘A<DIYA<T PERSPEKTIF
‘A<ISYAH
‘ABD AL-RAH{MAN BINT AL-SHA<T{I’
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Oleh:
NAILUN NAHDIYYAH NIM. E03212069
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR JURUSAN Al-QUR’AN DAN HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
SURAT AL-‘A<DIYA<T PERSPEKTIF
‘A<ISYAH
‘ABD AL-RAH{MAN BINT AL-SHA<T{I’
Skripsi
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Oleh:
NAILUN NAHDIYYAH NIM. E03212069
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
ABSTRAK
Nailun Nahdiyyah, 2016. Surat al-‘A<diya>t Perspektif ‘A<isyah ‘Abd al-Rah}man Bint al-Sha>t}i’.
Masalah yang diteliti dalam skripsi ini yakni mengenai. 1. Bagaimana metode Bint al-Sha>t}i’ dalam menafsirkan al-Qur’an? 2. Bagaimana aplikasi metode Bint al-Sha>t}i’ dalam penafsirannya terhadap surat al-‘A<diya>t?
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana prinsip-prinsip metode yang digunakan Bint al-Sha>t}i’ dalam menafsirkan al-Qur’an, yang kedua untuk mengetahui bagaimana aplikasi metode Bint al-Sha>t}i’ dalam penafsirannya terhadap surat al-‘A<diya>t.
Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan berdasarkan kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode penyajian secara deskriptif dan analitis. Sesuai dengan tujuan tersebut, data primer yang digunakan penafsiran Bint al-Sha>t}i’ dalam kitab tafsirnya yaitu Tafsi>r al-Baya>ny li al-Qur’a>n al-Kari>m, serta data sekunder lainnya yang berasal dari kitab tafsir lainnya dan buku-buku ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Sementara analisis dilakukan dengan menggunakan metode content analisis.
Dalam penelitian ini telah ditemukan gaya penafsiran Bint al-Sha>t}i’ yang berbeda dengan mufassir lainnya, prinsip metodenya dalam menafsirkan al-Qur’an ada empat, diantaranya Bint al-Sha>t}i’ berusaha menafsirkan secara obyektif, yaitu menafsirkan sesuai tertib nuzulnya. Kedua, Bint al-Sha>t}i’
menganggap asba>b al-nuzul sangat penting untuk mengetahui sebab turun ayat. Ketiga, memahami makna harus dari dasar linguistiknya. Keempat, Bint al-Sha>t}i’
mengikuti konteks nash al-Qur’an, mengkonfirmasikan dengan pendapat mufassir terdahulu untuk diuji, disesuaikan dengan nash ayat. Adanya metode tersebut telah diaplikasikan oleh Bint al-Sha>t}i’ dalam penafsirannya surat al-‘Adiya>t yang mana telah dijelaskan perbedaan makna al-‘Adiya>t dikalangan para mufassir antara kuda dan unta, dengan menanggapi hal itu beliau melakukannya dengan melacak lafadz tersebut dan menjelaskan sebab turunnya ayat disertai kutipan-kutipan riwayat mufassir lainnya.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah Bint al-Sha>t}i’ merupakan mufassir di abad modern yang menafsirkan al-Qur’an menggunakan prinsip metode yang diadopsi dari suaminya. Metodenya yang sangat menonjol yaitu menafsirkan secara tertib nuzul. Dalam mengaplikasikan metodenya pada surat al-‘A<diya>t,
Bint al-Sha>t}i’ terlihat konsisten hal itu dibuktikan dengan pemaknaan lafadz-lafadz tertentu, seperti maknaal-‘Adiya>t, pada lafadz al-Khair, dan al-Kanud.
xii
DAFTAR ISI
COVER ... i
COVER DALAM ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
ABSTRAK ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI. ... xii
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Tujuan Masalah ... 8
E. Kegunaan Penelitian... 8
F. Kajian Pustaka ... 8
G. Metode Penelitian... 10
H. Sistematika Pembahasan ... 13
BAB II PENDEKATAN DALAM TAFSIR, TEORI SEMANTIK DAN TEORI ASBA<B AL-NUZUL ... 15
A. Ragam Pendekatan Dalam Tafsir ... 14
B. Teori Semantik ... 22
BAB III BINT AL-SHA<T{I’ DAN PENAFSIRAN DALAM SURAT
AL-‘A<DIYA<T ... 35
A. Biografi Bint al-Sha>t}i’ ... 35
a. Bint al-Sha>t}i’ ... 35
b. Karya-karya Bint al-Sha>t}i’ ... 38
c. Kitab Tafsir Bint al-Sha>t}i’ ... 39
B. Penafsiran Surat al-‘A<diya>t ... 42
a. Ayat dan Terjemahannya Qs. al-‘A<diya>t ... 42
b. Munasabah ... 43
c. Penafsiran ... 43
BAB IV ANALISIS SURAT AL-‘A<DIYA<T PERSPEKTIF ‘A<ISYAH ‘ABD AL-RAH{MANBINT AL-SHA<T{I’... 71
A. Analisis ... 71
BAB V PENUTUP ... 77
A. Kesimpulan ... 77
B. Saran ... 79
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Studi tafsir al-Qur’an senantiasa mengalami perkembangan seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan lain seperti linguistik, hermeneutika, sosiologi,
antropologi dan juga komunikasi yang dipandang sebagai ilmu bantu bagi ‘ulu>m
al-Qur’a>n(ilmu-ilmu al-Qur’an) berkenaan dengan objek penelitian dalam kajian teks al-Qura’n.
Ilmu tafsir al-Qur’an sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan
maksud-maksud ayat-ayat al-Qur’an telah melahirkan sejumlah karya tafsir.
Dinamika kegiatan penafsiran tersebut berkembang seiring dengan tuntutan
zaman. Keanekaragaman latar belakang individu dan kelompok manusia, turut
pula memperkaya tafsir dan metode pendekatan memahami al-Qur’an. Dalam
perkembangan tafsir al-Qur’an dari waktu ke waktu hingga masa sekarang dikenal
berbagai corak penafsiran, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir
dan perkembangan zaman yang melingkupinya.1
Perkembangan tafsir al-Qur’an telah terjadi sejak periode Nabi saw. dan
sahabat pada abad I H atau VII M. Dalam periode ini pola dan metode penafsiran
al-Qur’an yang diberikan oleh para sahabat tidak ada perbedaan yang berarti dari
penafsiran yang diberikan oleh Nabi, kecuali dari sudut sumber. Kalau penafsiran
2
Nabi berasal dari Allah langsung atau lewat Jibril atau dari pribadi beliau sendiri,
sedangkan para sahabat bersumber dari al-Qur’an, nabi, dan ijtihad mereka. Jadi,
perbedaan teknis antara kedua tafsir itu tidak terlalu jauh. Namun, dari segi
kualitas jelas penafsiran Nabi jauh lebih unggul dan lebih terpercaya karena beliau
langsung menerima ayat al-Qur’an dari Allah. Dilihat dari segi metode penafsiran,
ternyata para sahabat memakai metode ijmali yaitu global. Periode ini berakhir
pada masa meninggalnya sahabat yang terakhir bernama Abu Tufail al-Laisi pada
tahun 100 H di kota Mekkah.2
Periode selanjutnya yaitu periode Tabi’in dan Tabi’in al-Tabi’in pada
abad II H atau VII M. Para tabi’in dalam menafsirkan al-Qur’an bersumber pada
ayat-ayat al-Qur’an, hadis-hadis yang diriwayatkan Rasulullah saw. dan tafsir
yang diberikan oleh para sahabat Nabi serta cerita-cerita dari para ahli Kitab. Di
samping itu, mereka juga menggunakan dasar hasil ijitihad mereka sendiri, baik
bersandar pada kaidah-kaidah bahasa Arab maupun ilmu-ilmu pengetahuan ini.
Dalam segi penafsirannya, mereka secara umum memakai metode ijmali. Metode
ini agak lebih luas jika dibandingkan dengan tafsir para sahabat, tetapi belum
masuk kategori tahlili.3
Periode selanjutnya, periode mutaqaddimin yaitu zaman para penulis
tafsir al-Qur’an yang mulai memisahkan tafsir dari hadis. Metode yang diterapkan
dalam periode ini yaitu metode tahlili, dan muqarin walaupun dalam bentuk yang
masih sederhana. Ruang lingkup tafsir mulai terfokus sehingga banyak kitab tafsir
2 Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), 6.
3
yang penafsirannya difokuskan kepada bidang pembahasan tertentu, seperti kitab
Tafsir al-Kashaf karya Ima>m al-Zamakhshari yang pembahasannya difokuskan
dalam bidang bahasa dan pemikiran Theologis, khususnya Muktazilah.4
Adapun periode ulama’ Muta’akhirin yaitu zaman para ulama yang
menuliskan tafsir terpisah dari hadis. Generasi ini muncul pada zaman
kemunduran Islam, yaitu sejak jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M
sampai timbulnya gerakan kebangkitan Islam pada tahun 1286 H/1888 M atau
dari abad VII sampai XIII H. Metode tafsir muta’akhirin tidah jauh dengan
mutaqaddimin, yaitu memakai metode tahlili dan muqarin sebagaimana telah
dijelaskan. Ruang lingkup penafsiran muta’akhirin lebih mengacu kepada
spesialisasi ilmu, seperti dalam bidang fikih kitab tafsir Ja>mi’ li Ahka>mi
al-Qur’a>n karya al-Qurthubi.5
Periode setelah zaman ulama’ muta’akhirin yaitu periode ulama modern,
zaman modern di sini sejak abad XIV H/XIX M sampai sekarang. Sejak
dimulainya gerakan modernisasi Islam di Mesir Oleh Jamaluddin al-Afghani
(1254 H/1838 M), Muhammad Abduh (1266 H/1845 M). Era modern mencatat
adanya penafsiran kesusatraan (bala>ghah) tanpa bermaksud meniadakan
penafsiran kesusatraan (bala>ghah) pada masa klasik di dalam menafsirkan
al-Qur’an. Penafsiran ini cenderung menjelaskan berbagai kemukjizatan dari segi
al-baya>n di dalam al-Qur’an. Ruang lingkupnya lebih banyak diarahkan pada bidang ada (sastra, budaya) dan bidang sosial kemasyarakatan. Terutama politik dan
perjuangan. Diantara produk tafsir pada masa ini adalah : Syeikh Ah}mad Must}afa
4
al-Mara>ghi (w. 1952 M) penulis tafsir al-Mara>ghi tafsir ini sangat modern dan
praktis, Sayyid Qut}b penulis tafsir Fi Z{ila>l al-Qur’an. ‘Ali al-S{abu>ni pengarang
tafsir Rawa>’i al-Baya>n, Tafsir Ayatul ah}ka>m min al-Qur’a>n dan kitab Sofwah
al-Tafa>sir.6
Puncak aliran sastra di dalam menafsirkan al-Qur’an dicapai oleh Amin
al-Khu>li (w. 1967 M). Ia meniti jalan pembaruan metodologi penafsiran.
Walaupun Amin al-Khu>li tidak pernah menerbitkan karya-karya tafsir, namun
tulisannya mengenai al-Qur’an, Mana>hij al-Tajdi>d, sangat signifikan peranannya.
Teori-teori penafsiran Amin al-Khuli ini kemudian diterapkan oleh Bint al-Sha>t}i’
dalam al-Tafsi>r al-Baya>ni> li al-Qur’a>n al-Kari>m. Karakteristik tafsir yang lebih memperhatikan perkembangan filologis, di mana selain dari segi bahasanya, nilai
historis dari bahasa itu juga sangat diperhatikan.7
Bint al-Sha>t}i’ telah menawarkan metodologi pemaknaan al-Qur’an yang
cukup monumental. Prinsip bagaimana al-Qur’an berbicara sendiri tanpa
melibatkan unsur lain lebih dahulu dipegang. Mengartikan Qur’an dengan
al-Qur’an itu sendiri, sehingga makna yang digali lebih valid dan otentik. Sikap anti
isra>iliyyat juga diterapkan dalam karya-karyanya, khususnya dalam Tafsi>r al-Baya>ni li al-Qur’a>n al-Kari>m.8
Dalam menafsirkan suatu ayat, hal yang dilakukan oleh Bint al-Sha>t}i’
adalah menganalisis suatu ayat terlebih dahulu, lalu melangkah ke ayat
6 Baidan, Perkembangan Tafsir..., 20-22.
5
berikutnya. Beliau terkadang menyebutkan korelasi ayat yang dibahas dengan
ayat lainnya. Dalam analisisnya, Bint al-Sha>t}i’ membedah kata-kata kunci dari
suatu ayat. Dari penelitiannya ia berkesimpulan bahwa satu kata hanya
memberikan satu arti dalam satu tempat, dan tidak ada kata yang dapat
menggantinya sekalipun kata itu berasal dari akar kata yang sama. Beliau
berkeyakinan bahwa jika suatu kata digantikan oleh kata yang lain akan berakibat
hilangnya bukan hanya efek, tetapi juga keindahan dan esensinya.
Dalam kasus sinonim dapat dikemukakan contoh yaitu penggunaan kata
aqsama dan h}alafa yang dalam kamus dan oleh beberapa mufassir diangap
sinonim. Menurut penelitian Bint al-Sha>t}i’, kata tersebut bukan sinonim karena
kata h}alafa yang disebutkan sebanyak 13 kali dalam al-Qur’an semuanya
menunjukkan dosa dan pelanggaran. Sedangkan kata aqsama pada dasarnya
digunakan untuk hal-hal yang benar.
Salah satu penafsirannya di dalam surat al-‘A<diya>t, Bint al-Sha>t}i’ telah menjelaskan satu persatu makna dari beberapa ayat di dalam surat tersebut.
Lafadz تﺎﻳدﺎﻌﻟا di dalam tafsirnya, beliau menyebutkan beberapa pendapat para
mufassir terlebih dahulu, ada yang berpendapat maknanya adalah kuda, adapula
yang berpendapat dengan makna lain yaitu unta. Menyikapi perbedaan mengenai
lafadz تﺎﻳدﺎﻌﻟا, Bint al-Sha>t}i’ menafsirkan lafadz tersebut dengan melacak berapa
kali kata yang telah disebutkan dalam al-Qur’an, dengan tujuan memahami makna
dari تﺎﻳدﺎﻌﻟا . Beliau juga menyebutkan riwayat turunnya surat tersebut sehingga
6
Lafadz ﺎﺤﺒﺿ dalam hal ini juga menjadi perdebatan para ulama’ terkait
dengan kedudukan lafadz tersebut. Bint al-Sha>t}i’ juga menjelaskan satu-persatu
lafadz yang ada di dalam surat al-‘A<diya>t yaitu lafadz ةﲑﻐﳌا , ﺎﻌﲨ , ﲑﳋا , ﻞﺼﺣ, dan
lafadz-lafadz yang lainnya dengan melacak berapa kali lafadz tersebut disebutkan
dalam al-Qur’an, serta penafsirannya dengan gaya berbeda.
Berdasarkan uraian di atas, penulis sangat tertarik dalam mengkaji
pembahasan tentang Bint al-Sha>t}i’ mengenai penafsirannya dalam surat
al-‘A<diya>t. Maka dari itu, tulisan ini bermaksud untuk menjelaskan “SURAT AL-‘A<DIYA<T PERSPEKTIF ‘A<ISYAH ABD AL-RAH{MAN BINT AL-SHA<T{I”. Menelaah kitab tafsirnyaal-Tafsi>r al-Baya>ni> li al-Qur’a>n al-Kari>m merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Dalam hal ini, penulis menjelaskan metode
penafsiran Bint al-Sha>t}i’ dalam menafsirkan al-Qur’an, memaparkan
prinsip-prinsip metodenya dalam menafsirkan al-Qur’an. Penulis juga ingin
mendiskripsikan bagaimana Bint al-Sha>t}i’ mengaplikasikan metodenya dalam
penafsirannya atas surat al-‘A<diya>t.Surat al-‘A<diya>t merupakan salah satu surat pendek yang sejauh ini sudah diselesaikan oleh beliau.
B. Identifikasi Masalah Dan Batasan Masalah
a. Identifikasi Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa
masalah yang timbul terkait Penafsiran Surat al-‘A<diya>t Perspektif Bint
Al-Sha>t}i’ yaitu meliputi:
7
2. Bagaimana penafsiran surat al-‘A<diya>t menurut Bint Al-Sha>t}i’?
3. Bagaimana aplikasi metode Bint Al-Sha>t}i’ dalam penafsiran surat
al-‘A<diya>t?
4. Bagaimana pendekatan Bint al-Sha>t}i’ dalam menafsirkan al-Qur’an?
5. Bagaimana karakteristik penafsiran Bint al-Sha>t}i’ dalam menafsirkan
al-Qur’an?
6. Bagaimana pendekatan yang diterapkan Bint al-Sha>ti’ dalam
penafsirannya atas surat al-‘A<diya>t?
b. Batasan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka perlu adanya batasan
masalah yaitu penelitian ini fokus terhadap penafsiran surat al-‘A<diya>t
menurut Bint Al-Sha>t}i’ yang meliputi metode dan pendekatan yang
digunakannya dalam menafsirkan al-Qur’an, maka permasalahan yang akan
diangkat dalam rangka memproyeksikan penelitian lebih lanjut adalah
mengkosentrasikan pada surat al-‘A<diya>t saja.
C. Rumusan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, penulis dapat merumuskan beberapa
permasalahan untuk fokus penelitian ini, di antaranya:
1. Bagaimana metode Bint al-Sha>t}i’dalam menafsirkan al-Qur’an?
2. Bagaimana aplikasi metode Bint al-Sha>t}i’ dalam penafsirannya terhadap
8
D. Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini di antaranya:
1. Untuk mengetahui metode Bint al-Sha>t}i’dalam menafsirkan al-Qur’an?
2. Untuk mengetahui aplikasi metode Bint al-Sha>t}i’ dalam penafsirannya
terhadap surat al-‘A<diya>t?
3. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan teoritik: Menambah kajian ilmu tafsir terutama yang menyangkut
kajian-kajian tokoh, dan mengetahui metode dan pendekatan yang dipakai
oleh tokoh tersebut dalam menafsirkan al-Qur’an, dan mengetahui
penafsirannya terhadap surat al-‘A<diya>t.
2. Kegunaan praktis: Dapat digunakan sebagai kajian lebih lanjut dalam ilmu
tafsir serta menjadi bahan informasi yang bernilai akademis tentang
permasalahan yang menyangkut kajian tokoh, permasalahan metode dan
pendekatan yang dipakai oleh tokoh tersebut dalam menafsirkan al-Qur’an.
4. Kajian Pustaka
Ada beberapa karya yang telah membahas tentang Bint al-Sha>t}i’, semisal
dalam skripsi yang ditulis oleh Muh. Taqiyudin yang berjudul “Qasam dalam
al-Qur'an (Studi komparasi pemikiran Ibn al-Qoyyim al-Jauziyyah dan Aisyah
9
penelitiannya menjelaskan penelitian yang bersifat komparatif terhadap pemikiran
Ibn al-Qoyyim dan Bint al-Sha>t}i’ dalam kajian qasam.
Adapula dalam skripsi Siti Hamidah dengan judul “Asbab al-Nuzul
dalam Surat al-Dhuha (Studi analisis atas Tafsir Muhammad Abduh, Bintu
Syathi’, dan Quraish Shihab)”. Dalam skripsinya, telah dijelaskan sebab-sebab
turunnya surat al-Dhuha kemudian dikomparasikan dengan tiga mufassir tersebut.
Terdapat pula pembahasan tentang Bint al-Sha>t}i’ dalam skripsi Nuril
Hidayah dengan judul “Konsep I’jaz Al-Qur’an Dalam Perspektif Mazhab tafsir
Sastra”. Penelitiannya ini mengkomparasikan pemikiran Bint al-Sha>t}i’ dengan
Nasr Hamid Abu Zayd.
Jurnal al-Ulu>m, Vol 11, No. 1 juni 2013, yang ditulis oleh Wahyuddin,
“Corak dan Metode Interpretasi Aisyah Abdurrahman Bint al-Sha>t}i’. Dalam
penelitian tersebut wahyuddin hanya menjelaskan corak dan metode yang
digunakan Bint al-Sha>t}i’ dalam menafsirkan al-Qur’an.
Jurnal Teologia, Vol 16, No 1 Januari, 2005 Imam Taufiq, “Nuansa Etis
dalam Surat al-Bala>d: (Sebuah Penafsiran Linguistik Model Bint al-Sha>t}i’).
Dalam penelitiannya Taufiq menjelaskan penafsiran Bint al-Sha>t}i’ dalam surat
al-Bala>d.
Dengan melihat kajian yang telah dilakukan sebelumnya sebagaimana
tertulis di atas, penulis memandang bahwa kajian tentang “SURAT AL-‘A<DIYA<T
PERSPEKTIF ‘AISYAH ‘ABD AL-RAH{MAN BINT AL-SHA<T}I’ ” secara
spesifik belum dilakukan. Sehingga penulis dalam penelitian ini mengambil tema
10
5. Metodologi Penelitian
1. Model Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu data penelitian
berupa data non statistik.9 Penelitian kualitatif ini dimaksudkan untuk
mendapatkan data tentang kerangka ideologis, epistimologis dan
asumsi-asumsi metodologis pendekatan terhadap kajian tafsir dengan menulusuri
secara langsung pada literatur yang terkait.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penilitian pustaka (library research), yaitu
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan
lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiyah dan memanfaatkan berbagai
metode ilmiyah. .10
Jadi data yang dimaksud di sini adalah data yang disajikan dalam
bentuk kata verbal, bukan dalam bentuk angka. Sumber-sumber yang
dijadikan sebagai bahan penelitian kualitatif berasal dari bahan-bahan tertulis
yang ada kaitannya dengan tema yang dibahas.
3. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis, yaitu
penulis akan mencari dan mengumpulkan data-data tentang obyek penelitian,
kemudian disusun dan dijelaskan secara sistematis.
9 Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), 62.
11
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian ini, teknik yang ditempuh oleh penulis
dalam mengumpulkan data yaitu mengumpulkan dokument-dokument yang
berkaitan dengan fokus pembahasan. Kemudian mengklarifikasi sesuai
dengan sub bahasan dan penyusunan data yang akan digunakan dalam
penelitian berdasarkan konsep-konsep kerangka penulisan yang telah
dipersiapkan sebelumnya.
5. Sumber Data
Melihat sumber penelitian ini adalah literer (pustaka), maka teknik
yang digunakan untuk mengumpulkan data-datanya adalah library research.
Dalam konteks ini, ada dua sumber data yang dihimpun oleh peneliti untuk
memperoleh data-data penelitian tersebut, yaitu; sumber primer dan sekunder.
a. Sumber data primer
Sumber data primer merupakan sumber rujukan utama yang
dijadikan acuan dalam penggalian data, berkenaan dengan informasi yang
dibutuhkan. Adapun yang menjadi sumber data primer dalam penelitian
ini adalah: Tafsir al-Baya>ni> li al-Qur’a>n al-Kari>m karya ‘Aisyah ‘Abd
al-Rah}man Bint al-Sha>t}i’.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder, merupakan data pendukung yang dapat
membantu untuk memberikan informasi pelengkap berkenaan dengan
objek penelitian yang dikaji. Sumber data sekunder dari penelitian ini
12
1) Tafsir Sastra, karya Amin al-Khuli.
2) Tafsir Juz ‘amma, karya Muhammad Abduh.
3) Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, karya Muhammad Quraish Shihab.
4) Al-Qur’an Dan Tafsirnya, karya Kementerian Agama RI.
5) Maba>hith fi> 'Ulu>m al-Qur’a>n, karya Manna>' Khali>l Al-Qat}t}an
6) Studi al-Qur’an Kontemporer, karya Abdul Mustaqim dan Sahiron
Syamsudin.
7) Pemikiran Tafsir Mesir Modern J.J.G JANSEN dalam Jurnal al-Ihkam
Vol. VI No. 1 Juni 2011, karya Abu Bakar.
8) Metodologi Tafsir Modern-Kontemporer, dalam Jurnal Rausyan Fikr,
Vol. 10 No. 2 Juli-Desember, 2014, karya Ali Al-Jufri.
9) Semantik Leksikal, karya Mansoer Pateda.
6. Metode Analisis Data
Adapun isi analisis data yaitu pada tahap pertama, penulis berupaya
mengetahui secara intens kitab Tafsir al-Baya>ni li al-Qur’a>n al-Kari>m melalui biografi pengarangnya, latar belakang penulisan tafsir, prinsip-prinsip
metodenya dalam menafsirkan al-Qur’an. Hal ini terutama dimaksudkan
untuk mengetahui konstruk pemikiran Bint al-Sha>t}i’ dalam hubungannya
dengan tafsir.
Pada analisis berikutnya, penulis maksudkan untuk mengetahui
penafsiran surat al-‘A<diya>t menurut Bint al-Sha>t}i’, kemudian menganalisa
bagaimana Bint al-Sha>t}i’ mengaplikasikan prinsip-prinsip metodenya
13
6. Sistematika Pembahasan
Uraian yang terdapat dalam skripsi ini akan disusun dalam lima bab,
dimulai dari hal-hal yang bersifat umum kemudian mengarah pada hal-hal yang
bersifat khusus. Uraian tersebut dijelaskan dalam sistematika berikut:
Bab pertama berisi tentang pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub
bab, yaitu latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, penegasan judul, kajian pustaka, metode
penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua memuat tentang landasan teori. Bab ini akan menjelaskan
tentang pengertian pendekatan dalam tafsir, menjelaskan ragam pendekatan dalam
tafsir. Teori semantik juga menjadi hal yang sangat penting untuk diuraikan,
begitu pula dengan teori asbab al-nuzul telah dijelaskan dalam bab kedua ini.
Bab ketiga menguraikan tentang data penelitian, yakni menjelaskan
tentang Bint al-Sha>t}i’, tafsirnya al-Baya>ny> li> al-Qur’a>n al-Kari>m, dan penafsiran surat al-‘A<diya>t menurut Bint al-Sha>t}i’. Bab ini diawali dengan memberikan penjelasan tentang biografi Bint al-Sha>t}i’, kitab tafsir Bint al-Sha>t}i’,
prinsip-prinsip metode Tafsir yang digunakan oleh Bint al-Sha>t}i’, dan Penafsiran
al-‘A<diya>t menurut Bint al-Sha>t}i’.
Bab keempat menjelaskan tentang analisis data. Merupakan analisis
terhadap Bint al-Sha>t}i’ dalam menafsirkan surat al-‘A<diya>t, dan melihat pula
bagaimana penafsiran surat al-‘A<diya>t menurut mufassir lainnya. Dalam bab ini
juga dijelaskan analisis bagaimana Bint al-Sha>t}i’ mengaplikasikan
14
Bab kelima sebagai penutup, berupa kesimpulan dan saran dari
15
BAB II
PENDEKATAN DALAM TAFSIR, TEORI SEMANTIK DAN
ASBA<B AL-NUZUL
A. Ragam Pendekatan Dalam Tafsir
Istilah “pendekatan” secara morfologis berasal dari kata “dekat” yang telah mendapat prefikks dan suffiks. Istilah tersebut secara leksikal berarti jarak, hampir, akrab. Secara etimologi berarti proses, perbuatan atau cara mendekati.1 Dalam perspektif terminologi, istilah pendekatan berarti paradigma yang terdapat dalam suatu disiplin ilmu tertentu yang selanjutnya dipergunakan untuk memahami suatu masalah tertentu.2
Seiring dengan berjalannya waktu, penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an terus berkembang dan perbedaan paham diantara umat Islam dalam memahami ayat al-Qur’an semakin tidak terhindarkan. Kata pendekatan bisa disebut juga dengan corak, dalam literatur sejarah tafsir biasanya digunakan sebagai terjemahan dari kata al-laun yang berarti warna. Sedangkan yang dimaksud dengan corak atau meminjam istilah Gusmian “nuansa tafsir” adalah ruang dominan sebagai sudut pandang dari suatu karya tafsir.3
Kata lain dari corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran, karena pada dasarnya tafsir merupakan salah satu bentuk
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet III (Jakarta: Balai
Pustaka, 1994), 625.
2 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Cet III (PT. Raja Grafindo Persada, 1999), 88.
16
ekspresi intelektual seorang mufassir ketika ia menjelaskan isi kandungan al-Qur’an sesuai dengan kemampuan dan horizon pengetahuan sang mufassir.4 Menurut M. Quraish Shihab, paling tidak terdapat corak penafsiran yang dikenal, diantaranya adalah:
1. Pendekatan atau Corak Bahasa
Penafsiran dengan menggunakan pendekatan kebahasaan dalam menjelaskan maksud ayat yang terkandung dalam al-Qur’an muncul karena selain al-Qur’an sendiri memberi kemungkinan-kemungkinan arti yang berbeda. Menurut M. Quraish Shihab, akibat banyaknya orang nonArab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman kandungan al-Qur’an di bidang ini.5
Perlu dimaklumi bahwa seseorang tidak bebas untuk memilih pengertian yang dikehendakinya atas dasar pengertian satu kosa kata pada masa pra-Islam, atau yang kemudian berkembang. Seorang mufassir disamping harus memperhatikan struktur serta kaidah-kaidah kebahasaan serta konteks pembicaraan ayat, juga harus memperhatikan penggunaan al-Qur’an terhadap setiap kosa kata. Sebagai contoh, sering al-al-Qur’an menggunakan lebih dari satu kali kata yang sama secara beruntun dalam satu
4Muh}ammad ‘Ali Ayazi, al-Mufassiru>n H{ayatuhum wa Manhajuhum (Teheran: Mu’assasah
al-Tiba’ah wa al-Nas}r, 1414 H), 33.
17
kalimat namun pengertiannya berbeda satu sama lain. Sebagaimana firman Allah swt., dalam Qs. al-Rum: 54:
ﱠﻮُـﻗ ِﺪْﻌَـﺑ ْﻦِﻣ َﻞَﻌَﺟ ﱠُﰒ ًةﱠﻮُـﻗ ٍﻒْﻌَﺿ ِﺪْﻌَـﺑ ْﻦِﻣ َﻞَﻌَﺟ ﱠُﰒ ٍﻒْﻌَﺿ ْﻦِﻣ ْﻢُﻜَﻘَﻠَﺧ يِﺬﱠﻟا ُﻪﱠﻠﻟا
ُﻖُﻠَْﳜ ًﺔَﺒْﻴَﺷَو ﺎًﻔْﻌَﺿ ٍة
ُﺮﻳِﺪَﻘْﻟا ُﻢﻴِﻠَﻌْﻟا َﻮُﻫَو ُءﺎَﺸَﻳ ﺎَﻣ
)
٥٤
(
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.6
Menurut Manna' al-Qaththan , bahwa yang dimaksud dengan dha'f
yang pertama itu adalah ketika masih seperti nutfah dan pengertian yang kedua adalah ketika masih kanak-kanak, dan yang ketiga ketika sudah tua renta.7
2. Pendekatan atau Corak penafsiran ilmiah
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka usaha penafsiran pun makin berkembang. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya kajian tafsir dengan melalui pendekatan ilmiah untuk menyingkap makna ayat-ayat dalam al-Qur’an. Ajakan al-Qur’an adalah ajakan ilmiah, yang berdiri di atas prinsip pembebasan akal dari takhayul dan kemerdekaan berpikir. Al-Qur’an menyuruh manusia untuk memperhatikan alam. Allah swt., di samping menyuruh memperhatikan ayat-ayat yang tertulis, juga
6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Qs: al-Ru>m (Bandung: CV Penerbit
J-ART, 2004),
7Manna>' Khali>l al-Qat}t}an. Maba>hith fi> 'Ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1993),
18
memerintahkan untuk memperhatikan ayat-ayat yang tidak tertulis, yaitu alam.8
Sampai sekarang, tafsir semacam ini belum dapat diterima oleh sebagian ulama’. Mereka menilai penafsiran al-Qur’an semacam ini keliru, sebab Allah tidak menurunkan al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang berbicara tentang teori-teori ilmu pengetahuan.
3. Pendekatan atau Corak filsafat dan teologi
Pendekatan ini dilakukan akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi beberapa pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Muh}ammad H}usain al-Dhahabi
mengemukakan bahwa para filosof yang berusaha mempertemukan antara agama dan filsafat mempunyai dua cara yang mereka tempuh, yaitu: Pertama, dengan cara mentakwilkan teks-teks al-Qur’an agar sesuai dengan pendapat filosof atau dengan menyesuaikan teks-teks al-Qur’an dengan pendapat filosof agar dapat sejalan. Kedua, menjelaskan teks-teks al-Qur’an dengan pendapat-pendapat atau teori-teori filsafat, dengan kata lain pendapat filsafat yang mengendalikan teks-teks al-Qur’an.9
Pendekatan-pendekatan seperti ini dalam penafsiran al-Qur’an menimbulkan pro dan kontra. Golongan yang kontra beranggapan apabila seorang mufasir menafsirkan al-Qur’an, kemudian tafsiran tersebut
8 Abdul Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu'i , terj. oleh Suryan A. Jamrah
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 23.
19
bertentangan dengan teori-teori filsafat, maka hendaknya seorang mufasir memaparkan dalam tafsirnya, apakah dengan jalan mendukung teori-teori tersebut kemudian menjelaskan bahwa teori tersebut tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an, dan jika teori tersebut memang benar dan dapat diterima, ataukah dengan jalan menolak teori tersebut mentah-mentah kemudian menjelaskannya bahwa teori itu tidak sejalan dengan nash al-Qur’an. Mufassir yang melakukan hal seperti ini adalah Imam Fakhr al-Ra>zi
dengan tafsirnya Mafa>tih al-Ghaib.
4. Pendekatan atau Corak Fiqih atau Hukum
Al-Qur’an yang diturunkan mengandung ayat-ayat yang berisikan hukum-hukum fiqh yang menyangkut kemaslahatan seorang hamba. Umat Islam pada masa Rasulullah sebagian besar memahami ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan fiqh. Hal tersebut didukung oleh pemahaman bahasa Arab yang mereka miliki, adapun yang sulit mereka pahami ditanyakan langsung kepada Rasulullah. Penafsiran al-Qur'an dengan melalui pendekatan fiqh dan hukum pada masa awal turunnya al-Qur'an sampai munculnya mazhab fiqh yang berbeda-beda, para mufassir ketika itu jauh dari sikap fanatik yang berlebihan, atau ada tujuan-tujuan tertentu dalam menafsirkan al-Qur'an.
20
bertentangan dengan aliran mereka. Sebagai hasil dari pendekatan semacam ini dapat dilihat pada kitab Ahka>m al-Qur'an yang ditulis oleh Abu Bakar
al-Ra>zi, juga pada kitab yang ditulis oleh Abu H{asan al-T{abari yang berjudul
Ahkam al-Qur'a>n.
5. Pendekatan atau Corak Historis
Seseorang yang ingin memahami al-Qur’an secara benar, maka yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya al-Qur’an yang disebut sebagai ilmu Asba>b al-Nuzul. Dengan pendekatan ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari'at dari kekeliruan memahaminya. Mengetahui latar belakang turunnya ayat, orang dapat mengenal dan menggambarkan situasi dan keadaan yang terjadi ketika ayat itu diturunkan, sehingga hal itu memudahkan untuk memikirkan apa yang terkandung di balik teks-teks ayat itu.10
Selain dari hal tersebut, mengetahui Asba>b al-Nuzul adalah cara yang paling kuat dan paling baik dalam memahami pengertian ayat, sehingga para sahabat yang paling mengetahui tentang sebab-sebab turunnya ayat lebih didahulukan pendapatnya tentang pengertian dari satu ayat, dibandingkan dengan pendapat sahabat yang tidak mengetahui sebab-sebab turunnya ayat.
10 Ahmad Soleh Sakni, “Model Pendekatan Tafsir dalam Kajian Islam”, JIA, Th. XIV, No. 2
21
6. Pendekatan atau Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan
Sebagaimana diketahui bahwa dalam al-Qur’an banyak ayat yang berkaitan dengan masalah sosial. Dalam hal ini, pengertian dari corak tersebut adalah suatu corak yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat serta usaha menanggulangi masalah-masalah mereka bedasarkan petunjuk ayat dan mengemukakannya dengan bahasa yang mudah dimengerti dan tetap indah didengar.11
Seorang mufasir berusaha memahami teks-teks secara teliti, lalu menjelaskan makna yang dimaksud dan berusaha menghubungkan teks-teks al-Qur’an yang dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat. Pendekatan seperti ini bermula pada masa Syaikh Muhammad Abduh, di mana perhatian lebih banyak tertuju kepada penafsiran yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat.12
Al-Qur’an mempunyai ajaran dengan proporsi terbesar berkenaan dengan urusan muamalah dengan perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus, untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah.13 Maka untuk memahami
11 Ali Al-Jufri, Metodologi Tafsir Modern-Kontemporer, Jurnal Rausyan Fikr, Vol. 10 No. 2
(Juli-Desember, 2014), 132.
12Abdullah Mah}mud Syahatah, Manhaj al-Ima>m Muh}ammad Abduh fi Tafsir al-Qur’a>n al-Kari>m
22
ayat-ayat muamalah serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari diperlukan pendekatan sastra budaya kemasyarakatan.
B. Teori Semantik
Kata semantik bahasa Inggrisnya adalah semantics yang berarti ilmu semantik.14 Mengenai sejarah istilah ini dapat dibaca karangan A.W Read yang berjudul, An Account of the World Semantics yang dimuat dalam majalah World, No. 4, Tahun 1948, halaman 78-97. Meskipun sudah ada istilah semantik, misalnya dalam kelompok kata semantic philosophy pada abad ke-17, istilah semantik baru muncul dan diperkenalkan melalui organisasi filologi Amerika (American Philological Association) tahun 1894 yang judulnya Reflected Meanings a Point in Semantics.15
Kata semantik sendiri berasal dari bahasa Yunani, semantikos (berarti), semainein (mengartikan) dari akar kata sema (nomina) yang berarti tanda; atau dari verba samaino yang berarti menandai. Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian studi tentang makna.16 Ini artinya, semantik berhubungan dengan simbol-simbol linguistik dengan mengacu kepada apa yang mereka artikan dan apa yang mereka acu.17 Jadi, semantik merupakan cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti.18
14 John M. Echols dkk, Kamus Inggris – Indonesian (Jakarta: PT Gramedia, 1996), 512. 15 Mansoer Pateda, Semantik Leksikal (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001), 2-3
16 Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi tentang Makna (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2008), 15.
17 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), 981.
23
Menurut Lehrer yang dikutip Mansoer Pateda, semantik adalah studi tentang makna. Lebih lanjut Lehrer menyatakan bahwa semantik merupakan kajian yang sangat luas karena menyinggung aspek-aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi, filsafat, dan antropologi. Menurut Kambartel semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari stuktur menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek pengalaman dunia manusia.
Definisi yang sama dikemukakan pula oleh George, sedangkan Verhaar mengatakan bahwa semantik berarti teori makna atau teori arti. Dalam Ensiklopedia Britanica semantik adalah studi tentang hubungan antara satu pembeda linguistik dengan hubungan proses mental atau simbol dalam aktivitas bicara.19 Memang secara empiris sebelum seseorang berbicara dan ketika seseorang mendengar ujaran seseorang, terjadi proses mental pada diri keduanya. Proses mental itu berupa proses menyusun kode semantis, kode gramatikal, dan kode fonologis pada pihak pembicara, dan proses memecahkan kode fonologis, gramatikal, dan kode semantis pada pihak pendengar. Kata lainnya, pihak pembicara maupun pihak pendengar terjadi proses pemaknaan. Soal makna menjadi urusan semantik. Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa semantik adalah subdisiplin linguistik yang membicarakan makna, dengan kata lain semantik berobjekan makna.
Sedangkan menurut Toshihiko Izutsu, yang dimaksud semantik adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan
24
yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara dan berpikir, tetapi yang lebih penting lagi, pengonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Semantik dalam pengertian ini adalah semacam weltanschauungslehre kajian tentang sifat dan struktur pandangan dunia sebuah bangsa saat sekarang atau periode sejarah yang signifikan dengan menggunakan alat analisis metodologis terhadap konsep-konsep pokok yang dihasilkan untuk dirinya sendiri dan telah mengristal ke dalam kata-kata kunci bahasa itu.20
Dalam mengkaji kosakata-kosakata Arab dengan pendekatan semantik harus dilakukan dengan teliti, sebab kosakata jika dipandang dari segi metodologisnya ada dua macam, yaitu tinjauan diakronik (‘ilm dila>lah al-ta‘a>qubî) dan sinkronik (‘ilm al-dila>lah al-a>nî). Diakronik secara etimologis merupakan analisis bahasa yang menitikberatkan kepada proses terbentuknya kosakata. Dengan pandangan tersebut, kosakata merupakan sekumpulan kata yang tumbuh dan berubah secara bebas dengan caranya sendiri yang khas. Beberapa kelompok kata dapat berhenti tumbuh dan mulai tidak digunakan lagi oleh masyarakat pemakai bahasa tersebut dalam jangka waktu tertentu, sedangkan kelompok kata yang lain dapat bertumbuh dan berkembang dalam jangka waktu yang lama.21
20 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, terj. Agus Fahri Husein dkk (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2003), 3.
21 Ahmad Fawaid, “Makna D{alal dalam Al-Qur’an Perspektif Teori Dila>lat al-Alfa>d”, Jurnal
25
Apabila dihadapkan dengan kosakata al-Qur’an, cara kerja analisis diakronik memiliki beberapa tahapan. Pertama, menganalisis kata tertentu yang terdapat dalam al-Qur’an sebelum al-Qur’an diwahyukan, atau pada masa Jahiliyah. Kedua, menganalisis kata pada masa turunnya al-Qur’an. Ketiga, menganalisis kata setelah turunnya al-Qur’an. Tiga analisis diakronik ini tertuju pada model struktur bahasa yang digunakan oleh tiga kelompok masyarakat. Pertama, kosakata Badui murni. Kedua, kosakata kelompok pedagang yang memiliki karakteristik hampir sama dengan kosakata Badui. Ketiga, kosakata Yahudi-Kristen yang memiliki sistem religius. Ketiga poin tersebut merupakan unsur-unsur analisis diakronik yang urgen terhadap kosakata Arab pra-Islam.22
Sedangkan sinkronik adalah suatu analisis terhadap bahasa pada masa tertentu dan memfokuskan diri pada struktur bahasanya, bukan perkembangannya. Misalnya pada masa tertentu sebelum Islam datang, kata Allah dan derivasinya telah dikenal luas oleh bangsa Arab Yahudi, Nasrani dan masyarakat Arab Badui sebagai nama tuhan (dengan t kecil). Eksisistensi kata Allah masa Arab pra-Islam setara dengan kata A<lihah, dewa-dewa yang lain. Setelah Islam yang dibawa Muhammad datang dengan panduannya berupa al-Qur’an, Islam tidak merubah kata Allah sebagai nama tuhan dalam agama baru tersebut. Islam tetap menggunakan kata Allah sebagai nama Tuhan, namun dengan konsep dan pandangan dunia yang berbeda. Konsep kata Allah yang ada pada pra-Islam berupa nama tuhan yang bersifat politeistik, dirubah sejak Islam datang menjadi monoteistik, Tuhan yang tunggal. Analisis worldview kata Allah pra-Islam
26
merupakan kajian diakronik, dan analisis kata pada masa tertentu setelah proses perjalanan sejarah bahasa dinamakan analisis sinkronik. Kata Allah dipengaruhi oleh sistem relasional Islam sebagai agama yang membawa ajaran monoteisme.23
Dalam penerapan metode semantik, analisis diakronik dan sinkronik mencangkup teori semantik yang lain dalam menganalisa kata kunci tertentu dalam al-Qur’an, yaitu:24
1. Makna Dasar (al-Ma‘na> al-Asa>si>)
Dalam teori semantik, suatu kata dapat dilacak dengan mencari makna atau arti dari kata itu sendiri secara diakronik dan sinkronik. Pelacakan seperti ini dalam pendekatan semantik disebut dengan makna dasar. Makna dasar menjadi langkah awal dalam pendekatan semantik untuk mencari makna dari sebuah teks atau kata tertentu. Makna dasar dari sebuah kata tertentu biasanya akan selalu melekat kapanpun dan dimanapun kata itu diletakkan.
Suatu teks atau ujaran dapat diteliti dengan cara mencari makna kata tersebut secara leksikal dan meneliti melalui pandangan historis perkembangannya, dengan cara ini otomatis akan mengetahuai worldview kata tersebut. Misalnya kata Allah, memiliki makna dasar tuhan atau dzat transendental. Pemahaman ini berkembang sejak pra-Islam sampai Islam turun. Makna dasar kata Allah akan melekat pada kata tersebut dan tidak akan berubah meskipun dalam ruang waktu yang berbeda, kendatipun substansinya berbeda.
27
2. Makna Relasional (al-Ma‘na> al-‘Ala>qi>)
Setelah Islam datang, kata Allah mengalami pergeseran makna konotatif dengan kosakata yang terdapat dalam konsep Islam, al-Qur’an. Makna kata Allah setelah mengalami pergeseran memiliki konsep yang berbeda, yaitu Tuhan yang bersifat monoteisme. Pergeseran itu terjadi karena ada relasional yang menyertainya. Makna relasional tugasnya menganalisa makna konotatif yang diberikan dan ditambahkan kepada makna dasar yang sudah ada dengan meletakkan kata dasar tersebut pada posisi tertentu, bidang tertentu dan dalam relasi tertentu dengan kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut. Dalam studi al-Qur’an, makna relasional mengkaji hubungan gramatikal dan konseptual kata dengan kata yang lain dalam posisi tertentu.
3. Struktur Batin (Deep Structure)
28
4. Bidang Semantik (Semantic Field)
Dalam bahasa ada banyak kosakata yang memiliki makna mirip atau bahkan sama (sinonim), terlebih dalam bahasa Arab. Aspek budaya terkadang juga masuk ke dalam aspek kebahasaan, meski kosakata itu sama secara letterlijk, namun penggunaannya berbeda. Bidang semantik memahami
jaringan konseptual yang terbentuk oleh kata-kata yang berhubungan erat, sebab tidak mungkin kosakata akan berdiri sendiri tanpa ada kaitan dengan kosakata lain. Al-Qur’an sering menggunakan kata yang hampir memiliki kesamaan, namun memilki titik tekan tersendiri.
C. Teori Asba>b al-Nuzul
1. Pengertian Asba>b al-Nuzul
Secara estimologi asbab al-nuzul terdiri dari dua kata “asba>b” yang mempunyai arti latar belakang, alasan atau sebab. Sedangkan kata “nuzul” berasal dari kata “nazala” yang berarti turun. Secara terminologi, M. Hasbi Ash-Shiddiqy mengartikan asbab al-nuzul sebagai kejadian yang karenanya diturunkan al-Qur’an untuk meneranhkan hukumnya di hari timbul kejadian-kejadian itu dan suasana yang di dalamnya al-Qur’an diturunkan.25
Menurut Manna>’ Khalil al-Qat}t}an, yang dimaksud dengan asbab al-nuzul yaitu peristiwa yang menyebabkan turunnya al-Qur’an berkenaan dengan waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa
25 Tim Penyusun MKD Uin Sunan Ampel, Studi Al-Qur’an (Surabaya: Anggota IKAPI, 2011),
29
pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.26 Subhi al-Salih juga berpendapat tentang asba al-nuzul yaitu sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi.27
Berdasarkan beberapa pendapat sebagaimana disebutkan di atas, secara umum para ulama’ berpendapat bahwa berkaitan dengan latar belakang turunnya, ayat-ayat al-Qur’an turun dengan dua cara. Pertama, ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah tanpa suatu sebab atau peristiwa tertentu yang melatarbelakangi. Kedua, ayat-ayat yang diturunkan karena dilatarbelakangi oleh peristiwa tertentu. Berbagai hal yang menjadi sebab turunnya ayat inilah yang kemudian disebut dengan asbab nuzul. Dengan demikian asbab al-nuzul adalah suatu konsep, teori atau berita tentang sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw. baik berupa satu ayat maupun rangkaian ayat.
2. Cara Mengetahui Riwayat Asbab al-Nuzul
Asbab al-nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah saw. oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain berdasarkan periwayatan yang benar dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung turunnya ayat al-Qur’an, serta tidak mungkin dapat diketahui dengan jalur Ra’yi atau pikiran manusia.28
26al-Qat}t}an, Maba>hith fi> ..., 106.
30
Dalam hal lain al-Wahidi berkata, “tidak boleh memperkatakan tentang sebab-sebab turunnya al-Qur’an melainkan dengan dasar riwayat ayat itu diturunkan dengan mengetahui sebab-sebab serta membahas pengertiannya”. Singkatnya, asbab al-nuzul diketahui melalui riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. tetapi tidak semua riwayat yang disandarkan kepadanya dapat dipegang. Riwayat yang bisa dipegang adalah riwayat yang memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana ditetapkan para ahli hadis. Secara khusus dari riwayat asbab al-nuzul ialah riwayat dari orang-orang yang terlibat dan mengalami peristiwa yang diriwayatkan, yaitu pada saat wahyu turun. Riwayat yang berasal dari tabi’in yang tidak merujuk pada Rasulullah saw dan para sahabatnya dianggap lemah atau dhaif.29
3. Redaksi dan Makna Ungkapan Asbab al-Nuzul
Adapun ungkapan-ungkapan yang digunakan oleh para sahabat untuk menunjukkan sebab turunnya al-Qur’an tidak selamanya sama. Ungkapan-ungkapan itu secara garis besar dikelompokkan dalam dua kategori yaitu:30
a. S}arih} (jelas)
Ungkapan riwayat sarih yang memang sudah jelas menunjukkan asbab
al-nuzul dengan indikasi menggunakan lafadz, اﺬﻫ ﺔﻳﻻا ﻩﺬﻫ لوﺰﻧ ﺐﺒﺳ (sebab
turun ayat ini adalah), ﺔﻳﻵا ﺖﻟﺰﻨﻓ ...اﺬﻫ ثﺪﺣ (telah terjadi… maka turunlah
ayat), ﺔﻳﻵا ﺖﻟﺰﻨﻓ ...اﺬﻛ ﻦﻋ ﷲا لﻮﺳر ﻞﺌﺳ (Rasulullah pernah ditanya tentang…
maka turunlah ayat…).
31
b. Muhtamilah (Mungkin atau belum pasti)
Ungkapan muhtamilah adalah ungkapan dalam riwayat yang belum dipastikan sebagai asbab al-nuzul karena masih terdapat keraguan. Hal
tersebut dapat berupa ungkapan, اﺬﻛ ﰱ ﺔﻳﻵا ﻩﺬﻫ ﺖﻟﺰﻧ (ayat ini diturunkan
berkenaan dengan…), اﺬﻛ ﰱ ﺖﻟﺰﻧ ﺔﻳﻵا ﻩﺬﻫ ﺐﺴﺣا (saya kira ayat ini diturunkan
berkenaan dengan…), اﺬﻛ ﰱ ﻻا ﺔﻳﻵا ﻩﺬﻫ ﺖﻟﺰﻧ ﺐﺴﺣاﺎﻣ (saya kira ayat ini tidak
diturunkan kecuali berkenaan dengan…).
4. Pandangan Ulama Tentang Asbab al-Nuzul
Para ulama’ tidak sepakat mengenai kedudukan asbab al-nuzul. Mayoritas ulama’ tidak memberikan keistimewaan khusus kepada ayat-ayat yang mempunyai asbab al-nuzul, karena yang terpenting bagi mereka adalah apa yang tertera di dalam redaksi ayat. Jumhur ulama’ kemudian menetapkan suatu kaidah, yaitu:31
ﺐﺒﺴﻟا صﻮﺼﲞﻻ ﻆﻔﻠﻟا مﻮﻤﻌﺑ ةﱪﻌﻟا
Dalam kaidah ini, yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab.Sedangkan sebagian kecil ulama’ memandang penting keberadaan riwayat-riwayat asbab al-nuzul di dalam memahami ayat. Golongan ini juga menetapkan suatu kaidah yaitu:
ﻆﻔﻠﻟا مﻮﻤﻌﺑ ﻻ ﺐﺒﺴﻟا صﻮﺼﲞ ةﱪﻌﻟا
32
Kaidah ini menjelaskan, yang dijadikan pegangan ialah kekhususan sebab, bukan keumuman lafadz.
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa ayat-ayat yang diturunkan berdasarkan sebab khusus tetapi diungkapkan dalam bentuk lafadz umum, maka yang dijadikan pegangan adalah lafadz umum. Sebagai contohnya turunnya Qs. Al-Maidah: 38:
ُقِرﺎﱠﺴﻟاَو
ٌﻢﻴِﻜَﺣ ٌﺰﻳِﺰَﻋ ُﻪﱠﻠﻟاَو ِﻪﱠﻠﻟا َﻦِﻣ ﻻﺎَﻜَﻧ ﺎَﺒَﺴَﻛ ﺎَِﲟ ًءاَﺰَﺟ ﺎَﻤُﻬَـﻳِﺪْﻳَأ اﻮُﻌَﻄْﻗﺎَﻓ ُﺔَﻗِرﺎﱠﺴﻟاَو
)
٣٨
(
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Ayat ini turun berkenaan dengan pencurian sejumlah perhiasan yang dilakukan seseorang pada masa Nabi saw. Tetapi lafadz ini menggunakan lafadz ‘am, yaitu isim mufrad yang dita’rifkan dengan alif lam jinsiyyah. Mayoritas ulama memahami ayat tersebut berlaku umum, tidak hanya tertuju kepada yang menjadi sebab turunnya ayat.
Sedangkan kelompok minoritas yang menekankan pentingnya riwayat asbab al-nuzul dengan memberikan contoh tentang Qs. Al-Baqarah: 115:
ٌﻢﻴِﻠَﻋ ٌﻊِﺳاَو َﻪﱠﻠﻟا ﱠنِإ ِﻪﱠﻠﻟا ُﻪْﺟَو ﱠﻢَﺜَـﻓ اﻮﱡﻟَﻮُـﺗ ﺎَﻤَﻨْـﻳَﺄَﻓ ُبِﺮْﻐَﻤْﻟاَو ُقِﺮْﺸَﻤْﻟا ِﻪﱠﻠِﻟَو
)
١١٥
(
33
Jika hanya berpegang pada redaksi ayat, maka hokum yang dipahami dari ayat di atas ialah tidak wajib menghadap kiblat pada waktu shalat, baik dalam keadaan musafir atau tidak. Pemahaman seperti inijelas keliru karena bertentangan dengan dalil lain dan ijma’ para ulama’. Akan tetapi dengan memperhatikan asbab al-nuzul ayat tersebut, maka dipahami bahwa ayat itu bukan ditujukan kepada orang-orang yang berada pada kondisi biasa atau bebas. Akan tetapi kepada orang-orang yang karena sebab tertentu tidak dapat menentukan arah kiblat.
Kaidah kedua terasa lebih kontekstual, tetapi persoalannya adalah tidak semua ayat-ayat al-Qur’an mempunyai asbab al-nuzul. Ayat-ayat yang mempunyai asbab al-nuzul jumlahnya sangat terbatas. Sebagian diantaranya tidak shahih, ditambah lagi satu ayat kadan-kadang mempunyai dua atau lebih riwayat asbab al-nuzul.
5. Fungsi Asbab al-Nuzul
Asbab al-nuzul mempunyai arti penting dalam menafsirkan al-Qur’an. Hal ini sangat membantu dalam memahami konteks turunnya ayat. Dalam kaitannya dengan kajian ilmu shari’ah dapat ditegaskan bahwa pengetahuan tentang asbab al-nuzul berfungsi antara lain:32
1. Mengetahui hikmah dan rahasia diundangkannya suatu hokum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum, tanpa membedakan etnik, jenis kelamin dan agama.
2. Mengetahui asbab al-nuzul membantu kejelasan terhadap beberapa ayat.
34
3. Pengetahuan asbab al-nuzul dapat mengkhususkan hukum terbatas pada sebab, terutama ulama’ yang menganut kaidah sebab khusu.
4. Asbab al-nuzul juga membantu memahami apakah suatu ayat berlaku umum atau khusus, selanjutnya dalam hal apa ayat itu diterapkan.
35
BAB III
BINT AL-SHA<T{I’
DAN PENAFSIRAN SURAT
AL-‘A<DIYA<T
A. BIOGRAFI BINT AL-SHA<T}I’ a. Bint al-Sha>t}i’
Di wilayah sebelah barat Delta Nil, tepatnya di Dumyat, ‘Aisyah
‘Abd al-Rah}man yang dikenal dengan nama samaran Bint al-Shat}i’.
Dinamakan Bint al-Shat}i’ yang memiliki arti anak perempuan tepian
(sungai). Nama samaran tersebut digunakan karena sejak kecil Bint al-Shat}i’
selalu menghabiskan waktunya di pinggir sungai Nil untuk membaca buku
dan belajar. Beliau lahir pada tanggal 6 November 1913.1 Beliau tumbuh
dalam lingkungan keluarga muslim yang taat dan tergolong konservatif.
Walaupun ia memiliki pandangan dan sikap yang konservatif, ia memiliki
daya tarik untuk seorang perempuan Arab modern yang berbudaya, yang
harus diperhitungkan dan dicirikan oleh kemampuan pengungkapan diri yang
kuat dan artikulatif, yang diilhami oleh nilai-nilai Islam dan informasi
pengetahuan yang meluap, sebagai seorang pakar yang hidup di era modern.2
‘Abd al-Rah}man, ayah Bint al-Sha>t}i’ adalah salah seorang anggota kerukunan sufi, di samping itu ia adalah guru di sekolah teologi di Dumyat.
Pandangannya yang sangat konservatif, dengan itu ia berasumsi bahwa
seorang anak gadis yang telah menginjak masa remaja harus tinggal di rumah
36
untuk belajar. Ayah Bint al-Sha>t}i’ sebenarnya bukan penduduk asli dumyat.
Ia berasal dari salah satu kampung kecil yang disebut Subra, di Manufiyyah.
Setelah berhasil menyelesaikan pendidikannya pada Universitas Al-Azhar di
Kairo, ia diangkat menjadi guru SD di Dumyat. Di tempat yang terakhir
disebutkan inilah ia bertemu dan mempersunting seorang gadis, putri Syaikh
Ibra>him Damhuj (ibu Bint al-Sha>t}i’).
Pada masa kecil, Bint al-Sha>t}i’ hampir tidak memiliki waktu untuk
bermain dengan teman-teman sebayanya, karena ayahnya selalu
mengikutsertakan di kamarnya baik di rumah maupun di kantornya di
Universitas al-Bah}r untuk belajar sampingan semacam “ngaji”, ketika itu ia
sering mendengar al-Qur’an dibaca ayahnya dan temannya. Berkat
kemampuan intelektual yang dimiliki oleh Bint al-Sha>t}i’, ia mampu
menghafal beberapa ayat al-Qur’an, terutama surah-surah pendek yang ia
dengar al-Qur’an berulangkali dibaca.3
Karya tafsirnya yang berjudul Tafsi>r Baya>ni> li Qur’a>n
al-Kari>m merupakan karya spesialisasi beliau dalam bidang tafsir, sehingga
dengan karyanya tersebut Bint al-Sha>t}i’ mendapatkan jabatan dosen tetap
bahasa dan sastra Arab di Universitas ‘Ain Syams. Kemudian beliau
melanjutkan studi pascasarjana di universitas tersebut dalam bidang
“Penerapan Metodologi Ilmu al-Qur’an al-Karim” mengenai nash-nya yang
kukuh dan penjelasannya yang bermukjizat. Studinya tersebut berusaha
menunjukkan rahasia-rahasia bahasa Arab yang telah hilang dan jalan keluar
37
yang jelas bagi berbagai masalah kebangsaan dan kehidupan kontemporer
lainnya. Sejak saat itulah beliau menekuni al-Qur’an dan merenungkan
rahasia-rahasia penjelasannya.
Bint al-Sha>t}i’ kadang-kadang menjadi guru besar tamu pada Universitas Islam Umm Durman, Sudan; dan saat ini ia adalah guru besar
tamu pada Universitas Qarawiyyin, Maroko. Pada kesempatan-kesempatan
memberi kuliah dan konferensi pada tahun 60-an, ia telah berbicara di
hadapan para sarjana di Roma, Aljazair, New Delhi, Baghdad, Kuwait,
Yerussalem, Rabat, Fez, Khartaom, dan lain-lain.
Kajian-kajiannya yang telah dipublikasikan meliputi studinya
mengenai Abu al-A’la al-Ma’arri, al-Khansa’, dan penyair-penyair atau
penulis-penulis lain; biografi ibunda Nabi Muhammad, istri-istri beliau,
anak-anak perempuannya, serta cucu dan buyut perempuannya;
monografi-monografi dan cerita-cerita pembebasan perempuan dalam pembahasan
Islam, dan karya-karya kesejarahan mengenai hidup dan masa Nabi
Muhammad. Ia juga telah menulis isu-isu muta’akhir di dunia Arab, seperti
tentang nilai dan otoritas masa kini sebagai warisan budaya masa lampau,
tentang bahasa Arab di dunia modern yang sedang berubah, dan tentang
dimensi-dimensi sejarah dan intelektual perjuangan orang-orang melawan
imperialisme Barat dan Zionisme.4
38
b. Karya-karya Bint al-Sha>t}i’5
1. Al-Haya>h al-Insaniyyah ‘inda abi> al-Ala>’, Da>r al-Ma’a>rif, 1944. (Tesis M.A pada Universitas Fuad 1, Kairo, 1941).
2. Risalah al-Ghufra>n li abi> al-Ala>’, Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1950.
3. Al-Ghufra>n li abi al-Ala>’ al-Ma’arri>, Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1954. (Disertasi Doktor pada Universitas Fuad 1, Kairo, 1950).
4. Ardh al-Mu’jiza>t, Rih}lah fi jazirah al-‘Arab. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1956.
5. Abu> al-‘Ala>’ al-Ma’arri>, Kairo: al-Mu’assasah al-Mishriyyah al-‘ammah, 1965.
6. Al-Mafhu>m al-Isla>mity li Tah}rir al-Mar’ah, Mathba’ah Mukhaymir, 1967.
7. Tura>tsuna bayna Ma>dhin wa H{adhirin, Kairo: League of Arab State
Ma’had al-Dirasa>h al-‘Arabiyyah, 1968.
8. A’dha>’ al-Basyar, Kairo: Higher Concil for islamic Affairs, Lajnah al-Ta’rif bi al-Isla>m, 1968.
9. Al-Ab’a>d al-Ta>ri>khiyyah wa al-Fikriyyah li Ma’rakatina>, Kairo:
Mat}ba’ah al-Mukhaimir, 1968.
10. Lughatuna> wa al-H{aya>h, Kairo: League of Arab States, Ma’had al-Dira>sah al-‘Arabiyyah, 1969.
11.Ma’a al-Musht}afa> fi ‘Ashr al-Mab’ats, Kairo: Da>r al-Ma’a>ri>f, 1969. 12.Bayn al-Aqi>dah wa al-Ikhtiya>r, Beirut: Da>r al-Naja>h, 1973.
39
Sementara itu, buku-bukunya yang berkaitan dengan
kajian-kajian al-Qur’an mencakup judul-judul berikut:6
1. Al-Tafsi>r al-Baya>niy liy al-Qur’a>n al-Kari>m, Vol I, Kairo: Da>r al-Ma’a>ri>f , 1962; edisi II, 1966; edisi III, 1968.
2. Al-Tafsi>r al-Baya>niy liy al-Qur’a>n al-Kari>m, Vol II, Kairo: Da>r al-Ma’a>ri>f , 1969.
3. Kita>buna> al-Akbar, Umm Durma>n: Ja>mi’ah Umm Durma>n al-Isla>miyyah, 1967.
4. Maqa>l fiy al-Insa>n, Dira>sah Qur’a>niyyah, Kairo: Da>r al-Ma’a>ri>f, 1969. 5. Al-Qur’a>n wa al-Tafsi>r al-‘Asriy, Kairo: Da>r al-Ma’a>ri>f, 1970.
6. Al-I’jaz al-Baya>niy liy al-Qur’a>n, Kairo: Da>r al-Ma’a>ri>f, 1971.
7. Al-Shakhshiyyah al-Isla>miyyah-Dira>sah Qur’a>niyyah, Beirut: Da>r al-‘Ilm liy al-Malayi>n, 1973.
c. Kitab Tafsir Bint al-Sha>t}i’
Nama asli dari kitab tafsir ini Tafsir Baya>ni> li Qur’an
al-Kari>m. Kitab ini merupakan salah satu karya monumental Bint al-Sha>t}i’
dalam bidang tafsir yang sangat menaruh perhatian para peminat kajian-kajian
al-Qur’an, baik dari Timur maupun dari Barat. Kitab ini terdiri dari dua jilid,
masing-masing mencakup 7 surat, dengan demikian kitab ini hanya memuat
14 surat pendek, yang diambil dari juz ‘Ammah, juz 30 dari al-Qur’an. Juz
pertama telah dipublikasikan pada tahun 1962 dan telah dicetak ulang dua
40
kali, yakni pada tahun 1966 dan 1968, juz kedua baru dipublikasikan pada
tahun 1969. Jilid pertama yang berisi tujuh surat tersebut diantaranya,
Dhuha, Inshirah, Zalzalah, Nazi’at, ‘Adiyat, Balad, dan
Takathur. Jilid yang kedua ada tujuh surat juga yaitu ‘Alaq, Qalam,
al-‘Asr, al-Lail, al-Fajr, al-Humazah, dan al-Ma’un. Kedua jilid tersebut
diterbitkan oleh Da>r al-Ma’arif Cairo, Mesir.
Dalam menulis kitab tafsirnya ini, Bint al-Sha>t}i’ mendasarkan
penafsirannya pada metode yang dirintis oleh suaminya, Prof Amin al-Khu>li
(1895-1966) seorang pakar filologi dan teologi Mesir. Metode tafsir al-Khu>li
ini dikemukakan dalam karya monumentalnya, Mana>hij al-Tajdi>d fi al-Nahw
wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa al-Adab. Amin al-Khu>li sangat menganjurkan pendekatan tematik dalam menafsirkan al-Qur’an dan menekankan
signifikansi interpretasi filologi yang didasarkan pada kronologis teks dan
penggunaan semantik bahasa Arab untuk menganalisis kosa kata al-Qur’an.7
Pendekatan tematik ini merupakan respons terhadap metode
penafsiran klasik yang dinilainya cenderung bersifat parsial dan atomistik.
Metode ini selanjutnya diaplikasikan oleh Bint al-Sha>t}i’ dalam tafsirnya.
Corak tafsir dengan pendekatan sastra ini terlebih dahulu menghimpun
ayat-ayat al-Qur’an menyangkut masalah yang dibahas dengan memperhatikan
kemungkinan seluruh arti yang dapat dikandung oleh kata tersebut menurut
penggunaan bahasa.
41
Prinsip-prinsip metode tafsir yang ditawarkan al-Khu>li menurut Bint
al-Sha>t}i’ setidaknya bermuara pada empat hal sebagai berikut:8
1. Basis metodenya adalah memperlakukan apa yang ingin dipahami
al-Qur’an secara objektif, dan hal itu dimulai dengan mengumpulkan semua
surat dan ayat yang ada dalam al-Qur’an ke dalam tema yang akan dikaji.
2. Dalam memahami nash al-Qur’an menurut konteksnya, ayat-ayat di sekitar
gagasan itu harus disusun menurut kronologi pewahyuannya untuk
mengetahui situasi, tempat, pelaku, dan lain sebagainya. Riwayat-riwayat
asba>b al-nuzul dipandang sebagai sesuatu yang perlu dipertimbangkan
hanya sejauh dan dalam pengertian bahwa peristiwa itu merupakan
keterangan kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat.
Sebab, peristiwa itu bukanlah tujuan atau sebab mengapa pewahyuan itu
terjadi. Menurut Bint al-Sha>t}i’, pentingnya pewahyuan terletak pada
generalitas kata-kata yang digunakannya, bukan pada kekhususan
peristiwa pewahyuannya. Perkataan beliau ini terangkum dalam kaidah,
ةﺮﺒﻌﻟا
ﺐﺒﺴﻟا صﻮﺼﺨﺑ ﻻ ﻆﻔﻠﻟا مﻮﻤﻌﺑ ungkapan itu dengan lafadz yang umum, bukan
dengan sebab yang khusus, yang banyak dipilih pakar tafsir, misalnya
Muh}ammad ‘Abduh, al-Suyu>t}i, ‘Abd al-‘Az}im al-Zarqani.
3. Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab. Untuk memahami petunjuk kata
yang termuat dalam al-Qur’an harus dilacak arti linguistik aslinya dalam
berbagai bentuk penggunaan, baik yang bersifat haqiqi maupun majazi.
Dengan demikian, makna al-Qur’an diusut dengan cara mengumpulkan
42
seluruh bentuk bangunan kata itu dalam ayat-ayat dan surat, sehingga
diketahui konteks spesifik atau konteks umumnya dalam al-Qur’an secara
keseluruhan.
4. Dalam memahami rahasia ungkapan, Bint al-Sha>t}i’ mengikuti konteks
nash al-Qur’an, baik dengan berpegang pada makna maupun semangatnya.
Kemudian makna tersebut dikonfirmasikan dengan pendapat mufassir
terdahulu untuk diuji, disesuaikan dengan nash ayat. Seluruh penafsiran
yang bersifat sektarian atau berbau Isra>’iliyya>t harus disingkirkan.
B. PENAFSIRAN SURAT AL-‘A<DIYA<T a. Ayat dan Terjemahan Qs. Al-‘A<diya>t
ﺎًﺤْﺒَﺿ ِتﺎَﻳِدﺎَﻌْﻟاَو
)
١
(
ﺎًﺣْﺪَﻗ ِتﺎَﻳِرﻮُﻤْﻟﺎَﻓ
)
٢
(
ﺎًﺤْﺒُﺻ ِتاَﲑِﻐُﻤْﻟﺎَﻓ
)
٣
(
ﺎًﻌْﻘَـﻧ ِﻪِﺑ َنْﺮَـﺛَﺄَﻓ
)
٤
(
ﺎًﻌَْﲨ ِﻪِﺑ َﻦْﻄَﺳَﻮَـﻓ
)
٥
(
ٌدﻮُﻨَﻜَﻟ ِﻪﱢﺑَﺮِﻟ َنﺎَﺴْﻧﻹا ﱠنِإ
)
٦
(
ٌﺪﻴِﻬَﺸَﻟ َﻚِﻟَذ ﻰَﻠَﻋ ُﻪﱠﻧِإَو
)
٧
(
ِْﲑَْﳋا ﱢﺐُِﳊ ُﻪﱠﻧِإَو
ٌﺪﻳِﺪَﺸَﻟ
)
٨
(
ِرﻮُﺒُﻘْﻟا ِﰲ ﺎَﻣ َﺮِﺜْﻌُـﺑ اَذِإ ُﻢَﻠْﻌَـﻳ ﻼَﻓَأ
)
٩
(
ِروُﺪﱡﺼﻟا ِﰲ ﺎَﻣ َﻞﱢﺼُﺣَو
)
١٠
(
ْﻢِِ ْﻢُﻬﱠـﺑَر ﱠنِإ
ٌﲑِﺒََﳋ ٍﺬِﺌَﻣْﻮَـﻳ
)
١١
(
“Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah, Dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya), Dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi, Maka ia menerbangkan debu, Dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh, Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya, Dan Sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya, Dan Sesungguhnya Dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta, Maka Apakah Dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, Dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada, Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha mengetahui Keadaan mereka