PENAFSIRAN SURAT AL-TAKA<THUR
(STUDI METODE PENAFSIRAN ‘A<ISHAH ABD AL-RAHMA<N
BINT AL-SHA<TI’
)
Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-I) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
MOKHAMMAD FATIKHUL ASRO (E73213133)
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SUNAN AMPEL
PENAFSIRAN SURAT AL-TAKA<THUR
(STUDI METODE PENAFSIRAN ‘A<ISHAH ABD AL-RAHMA<N
BINT AL-SHA<TI’
)
Skripsi
Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata
Satu (S-1) Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Oleh:
MOKHAMMAD FATIKHUL ASRO (E73213133)
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Mokhammad Fatikhul Asro, 2017. Penafsiran Surat al-Taka>thur (Studi
Metode Penafsiran‘A<ishah Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>t}i’)
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan metode yang digunakan Bint
Sha>t}i’ dalam menafsirkan Al-Qur’an serta pengaplikasian metode Bint Sha>t}i’
dalam penafsiran surat al-Taka>thur.
Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini bersifat kepustakaan (library researching) dengan menggunakan metode penyajian secara deskriptif dan analitis. Sesuai dengan tujuan tersebut, sumber data primer yang digunakan penelitian ini adalah kitab tafsir dari Bint al-Sha>t}i’ sendiri, Tafsi>r Baya>ni> li al-Qur’a>n al-Kari>m. Sementara sumber data sekundernya berasal dari kitab-kitab
tafsir lainnya dan kitab-kitab ulu>m al-Qur’a>n. Sementara analisisnya dilakukan
dengan menggunakan metode content analisis.
Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa Bint al-Sha>t}i’
menggunakan empat metode dalam menafsirkan Al-Qur’an. Pertama,
mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai tertib nuzul yang berhubungan dengan
tema yang akan dibahas. Ini yang membedakan penafsiran Bint al-Sha>t}i’ dengan
yang lainnya, bahwa ia menggunakan tafsir nuzuli sedangkan kebanyakan
mufassir munggunakan tafsir nuzuli. Kedua, riwayat asba>b al-nuzu>l sangat
penting untuk mengetahui sebab turunnya ayat dan makna yang sesungguhnya. Ketiga, memahami makna harus dari kata dasar atau linguistiknya. Keempat,
menukil pendapat mufasir lain dan menolak penafsiran sektarian dan isra>’iliyya>t.
Keempat metode tersebut telah Bint al-Sha>t}i’ aplikasikan pada penafsiran surat
al-Taka>thur. Seperti ketika mencari makna dari al-taka>thur, Bint al-Sha>t}i’
terlebih dahulu terlebih dahulu mencari arti secara harfiyah. Setelah itu, ia
melacak lafadz al-taka>thur yang terdapat di dalam Al-Qur’an dengan tujuan
memahami maknanya untuk mendapatkan penafsiran yang tepat, Bint Sha>t}i’
menambahkan pendapat beberapa mufassir. Ada yang berpendapat bahwa makna
dari al-taka>thuradalah berlebih-lebihan dalam harta. Ada pula yang berpendapat
bahwa al-taka>thur bermakna berlebih-lebihan atau persaingan yang menyangkut
jumlah anak dan pengikut. Pendapat ini didasarkan pada riwayat sebab turunnya ayat ini. Dan dalam hal asba>b al-nuzu>l ini, Bint al-Sha>t}i’ menggunakan kaidah al-ibrah bi umu>m al-lafz}i la> bi h}us}us} al-sabab. Menyikapi perbedaan tersebut, Bint Sha>ti’ menafsirkan lafadz tersebut dengan melacak beberapa kali lafadz yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dengan tujuan memahami maknanya. Yang
akhirnya didapatkan makna al-taka>thur, yaitu siapa saja yang lalai karena
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... ii
ABSTRAK ... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
PENGESAHAN SKRIPSI ... v
PERNYATAAN KEASLIAN ... vi
MOTTO ... vii
PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
PEDOMAN TRANSLITRASI ... xiii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Tujuan Penelitian ... 7
E. Kegunaan Penelitian ... 8
F. Telaah Pustaka ... 8
G. Metode Penelitian ... 9
BAB II : A<ISHAH ABD AL-RAHMA<N BINT AL-SHA<T{I’DAN KITAB TAFSIRNYA
A. Biografi A<ishah Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>t}i’ ... 13
1. A<ishah Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>t}i’ ... 13
2. Karir intelektual dan karya-karyaBint al-Sha>t}i’ ... 17
B. Kitab tafsir Bint al-Sha>t}i’ ... 23
BAB III : METODE PENAFSIRANBINT AL-SHA<T{I’ A. Al-Qur’an Dalam Pandangan Bint al-Sha>t}i’ ... 25
B. Metode Penafsiran Bint al-Sha>t}i’ ... 30
BAB IV : APLIKASI METODE BINT AL-SHA<T{I’ PADA SURAT AL-TAKA<THUR DAN ANALISISNYA A. Pengaplikasian Metode Bint al-Sha>t}i’ Pada Surat al-Taka<thur ... 34
1. Surat al-Taka<thur dan saba>b al-nuzu>lnya ... 34
2. Penafsiran Surat al-Taka<thur ... 35
B. Analisis Surat al-Taka>thur Perspektif Bint al-Sha>t}i’ ... 75
BAB IV : PENUTUP A. Simpulan ... 82
B. Saran ... 83 DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Khazanah intelektual Islam memiliki sejarah yang sangat panjang dan berkaitan erat dengan berbagai situasi dan kondisi yang berada di sekitarnya dan tafsir Al-Qur’an merupakan salah satu kekayaan intelektual Islam tersebut. Studi tafsir Al-Qur’an senantiasa mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan lain seperti linguistik, hermeneutika, sosiologi, antropologi dan juga komunikasi yang dipandang sebagai ilmu bantu bagi ilmu-ilmu Al-Qur’an berkenaan dengan objek penelitian dalam kajian teks Al-Qur’an.
Ilmu tafsir Al-Qur’an sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud-maksud ayat-ayat Al-Qur’an telah melahirkan banyak karya tafsir. Dinamika kegiatan penafsiran tersebut berkembang seiring dengan tuntutan zaman. Keanekaragaman latar belakang individu dan kelompok manusia turut memperkaya metode pendekatan memahami Al-Qur’an. Dalam perkembangannya dari waktu ke waktu hingga sekarang, tafsir Al-Qur’an memiliki berbagai corak penafsiran sesuai dengan keahlihan, kecenderungan mufasir dan perkembangan zaman yang melingkupinya.1
Menurut M. Quraish Shihab, ada enam corak-corak penafsiran yang dikenal luas dewasa ini. Pertama, corak penafsiran bahasa dan sastra yang timbul karena banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam serta akibat
1Wahyuddin, Corak dan Metode Interpretasi Aishah Abdurrahman Bint Shati’,
2
kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra yang membutuhkan penjelasan tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an di bidang ini.2 Corak tafsir ini pada masa klasik diwakili oleh al-Zamakhshari
dengan tafsirnya al-Kashshaf dan pada masa sekarang oleh ‘A<ishah Abd
al-Rahman Bint al-Sha>t}i’ dengan tafsirnya al-Tafsi>r al-Baya>n li> al-Qur’a>n al-Kari>m.
Kedua, corak penafsiran filsafat dan teologi yang muncul akibat penerjemahan buku filsafat yang mempengaruhi pemikiran Muslim dan masuknya penganut-penganut agama lain ke dalam Islam dengan membawa kepercayaan lama mereka yang menimbulkan pendapat yang tecermin dalam tafsirnya.3
Menurut al-Z{ahabi>, corak penafsiran demikian antara lain nampak dalam kitab
Mafa>tih} al-Ghayb karya al-Ra>zi>,Fus}u>s}ul al-H{ika>m karya al-Farabi dan penafsiran
Ibn Sina> dalam Rasa>il Ibn Sina>.
Ketiga, corak penafsiran ilmiah yang muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang sejalan dengan perkembangan ilmu.4 Di antara pendukung penafsiran ini adalah al-Ghazali dalam
karyanya Jawa>hir al-Qur’a>n dan T}ant}awiy Jauhariy dengan tafsirnya al-Jawa>hir.
Keempat, corak penafsiran fikih yang muncul akibar berkembangnya ilmu fikih dan terbentuknya maz}hab-maz}hab fikih yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.5 di antara kitab-kitab tafsir dengan corak fiqih adalah
2M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2014), 107.
3
tafsir Ah}ka>m al-Qur’a>n karya dari al-Jass}as}, tafsir Ah}ka>m al-Qur’a>n karya dari
Ibn ‘Araby dan tafsir al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n karya al-Qurt}uby.
Kelima, corak penafsiran tasawuf atau sering disebut pula dengan istilah tafsir isyari. Corak penafsiran ini muncul akibat lahirnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi kecenderungan terhadap materi atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.6 Di antara karya tafsir yang bercorak demikian adalah
Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m karya al-Tustariy dan H{aqa>iq al-Tafsi>r karya al-Sulami.
Keenam, corak penafsiran sastra budaya dan kemasyarakatan yang lahir lantaran keinginan untuk menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat dan usaha untuk menanggulangi masalh-masalah mereka dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk Alquan dengan bahasa yang mudah dimengerti dan indah didengar.7
Corak penafsiran ini dipelopori oleh Muhammad Abduh dalam tafsirnya
al-Mana>r.
Sejak dimulainya gerakan modernisasi Islam di Mesir oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, era modern mencatat adanya penafsiran kesusastraan (balaghah) tanpa bermaksud meniadakan penafsiran kesusastraan (balaghah) pada masa klasik di dalam menafsirkan Al-Qur’an. Penafsiran ini cenderung menjelaskan berbagai kemukjizatan dari segi al-bayan di dalam Al-Qur’an. Ruang lingkupnya lebih banyak diarahkan pada bidang ada’ (sastra dan budaya) dan bidang sosial kemasyarakatan, terutama politik dan perjuangan. Diantara produk tafsirannya adalah Tafsir Al-Mara>ghi karya Ahmad Must}afa
6Ibid, 108.
4
Mara>ghi, Tafsir Fi> Z{ila>l al-Qura>n karya Sayyid Qut}b dan Shafwah al-Tafa>sir karya ‘Ali> al-Shabu>ni.8
Puncak penafsiran penafsiran Al-Qur’an menggunakan penafsiran kesusastraan dicapai pada masa Ami>n al-Khu>li. Ia meniti jalan pembaharuan terhadap metode penafsiran. Walaupun Ami>n al-Khu>li tidak pernah menerbitkan karya-karya tafsir, namun tulisannya mengenai Al-Qur’an, Mana>hij al-Tajdid
sangat signifikan peranannya. Metode-metode penafsiran Ami>n al-Khulli ini kemudian diterapkan oleh ‘A<ishah Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>ti’ dalam al-Tafsi>r al-Baya>ni li al-Qur’a>n al-Kari>m. Karakteristik tafsir yang lebih memperhatikan perkembangan filologis, di mana selain dari segi bahasanya, nilai dari historis dari bahasa itu juga sangat diperhatikan.9
Bint al-Sha>t}i’ telah menawarkan metode pemaknaan Al-Qur’an yang cukup monumental. Prinsip bagaimana Al-Qur’an berbicara sendiri tanpa melibatkan unsur lain lebih dahulu dipegang. Mengartikan Qur’an dengan Al-Qur’an itu sendiri, sehingga makna yang digali lebih valid dan otentik. Sikap anti
Isra>iliyya>t juga diterapkan dalam karya-karyanya, khususnya dalam Tafsi>r
al-Baya>ni li al-Qur’a>n al-Kari>m.10
Dalam menafsirkan suatu ayat, hal yang dilakukan Bint al-Sha>ti’ adalah menganalisis suatu ayat terlebih dahulu kemudian melangkah ke ayat berikutnya. Ia terkadang menyebutkan korelasi ayat yang dibahas dengan ayat lainnya. Dalam
8Nasruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia (Semarang: Tiga
Serangkai Mandiri, 2003), 20-22.
9Abu Bakar, Pemikiran Tafsir Mesir Modern J.J.G Jansen: (Tela’ah atas Karya J.J.G
Jensen The Interpretation of The Koran in Modern Egypt), Al-Ihkam, Vol. IV, No. I (Juni 2011), 9.
10Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin, Studi Al-Qur’an Kontemporer
5
analisisnya, Bint al-Sha>ti’ membedah kata-kata kunci dari suatu ayat. Dari penelitiannya, ia berkesimpulan bahwa satu kata hanya memberikan satu arti dalam satu tempat dan tidak ada kata yang bisa menggantikannya sekalipun kata itu berasal dari akar kata yang sama. Ia berkeyakinan bahwa jika suatu kata digantikan oleh kata yang lain akan berakibat hilangnya bukan hanya efek, tetapi juga keindahan dan esensinya. Analisis ini mengartikan bahwa tidak ada sinonim dalam Al-Qur’an yang kemudian muncul teori sinonim yang tidak dapat diterapkan dalam konteks gaya sastra arab tinggi.11
Dalam kasus sinonim dapat dikemukakan contoh yaitu penggunaan lafadz aqsama dan h}alafa yang dalam kamus dan oleh beberapa mufassir dianggap sebagai sinonim yang mempunyai arti bersumpah. Menurut penelitian Bint al-Sha>ti’, lafadz tersebut bukan sinonim karena lafadz h}alafa yang disebutkan sebanyak 13 kali di dalam Al-Qur’an mengacu kepada makna sumpah palsu yang selalu dilanggar. Sedangkan lafadz aqsama digunakan untuk sumpah sejati yang tidak diniatkan untuk dilanggar.12
Salah satu penafsirannya di dalam surat al-Taka>thur, Bint al-Sha>t}i’
berusaha menjelaskan satu persatu makna dari beberapa ayat di dalam surat tersebut. Pada ayat pertama yaitu:
ْٰﳍَا
ُﺮُـﺛﺎَﻜﱠﺘﻟا ُﻢُﻜ
)
۱
(
Pada lafadz al-taka>thurdi dalam tafsirnya, Bint Shati’ terlebih dahulu mencari arti secara harfiyah. Setelah itu, ia melacak lafadz al-taka>thuryang terdapat di dalam
11Wahyuddin, Corak dan Metode...., 97.
12Aisyah Abdurrahman,, Tafsir Bintusy-Syathi’, terj. Mudzakir Abdussalam (Bandung:
6
Al-Qur’an dengan tujuan memahami maknanya. Untuk mendapatkan penafsiran yang tepat, Bint Sha>t}i’ menambahkan pendapat beberapa mufassir. Ada yang berpendapat bahwa makna dari al-taka>thur adalah berlebih-lebihan atau ketamakan dalam harta. Ada pula yang berpendapat bahwa al-taka>thur bermakna berlebih-lebihan atau persaingan yang menyangkut jumlah anak dan pengikut. Pendapat ini didasarkan pada riwayat yang menyebut sebab turunnya ayat ini. Dan dalam hal asba>b al-nuzu>l ini, Bint al-Sha>t}i’ menggunakan kaidah al-ibrah bi umu>m al-lafz}i la> bi h}us}us} al-sabab, artinya mengetahui riwayat-riwayat asba>b al-nuzu>l sebagai konteks yang menyertai turunnya ayat dengan berpegang pada keumuman lafadz, bukan pada sebab khusus turunnya ayat. Menyikapi perbedaan tersebut, Bint Sha>ti’ menafsirkan lafadz tersebut dengan melacak beberapa kali lafadz yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dengan tujuan memahami maknanya. Dengan begitu, diperoleh apa makna lafadz al-taka>thur menurut Bint Sha>ti’.
7
penafsirannya atas surat al-Taka>thur yang merupakan salah-satu surat pendek yang sudah ia selesaikan.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari latar belakang di atas terdapat beberapa masalah yang menarik untuk dibahas, yatitu:
1. Bagaimana metode Bint Sha>t}i’ dalam menafsirkan Al-Qur’an? 2. Bagaimana penafsiran surat al-Taka>thur menurut Bint Sha>t}i’?
3. Bagaimana aplikasi metode Bint Sha>t}i’ dalam penafsiran surat al-Taka>thur? 4. Bagaimana pendekatan Bint Sha>t}i’ dalam menafsikan Al-Qur’an?
5. Bagaimana pendekatan yang digunakan Bint Sha>t}i’ dalam penafsirannya atas surat al-Taka>thur?
Dari beberapa identifikasi masalah di atas, penelitian ini dibatasi pembahasannya hanya pada penafsiran surat al-Taka>thur menurut Bint Sha>t}i’
yang meliputi metode dan pendekatan yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Maka permasalahan yang akan diangkat dalam rangka memproyeksikan penelitian lebih lanjut dan mengkonsentrasikan hanya pada surat al-Taka>thur. Hal ini agar fokus masalah yang penulis teliti terarah dan tidak meluas.
C. Rumusan Masalah
Dari beberapa permasalahan di atas, terdapat beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana metode Bint Sha>t}i’ dalam menafsirkan Al-Qur’an?
2. Bagaimana aplikasi metode Bint Sha>t}i’ dalam penafsiran surat al-Taka>thur?
8
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Menjelaskan metode yang digunakan Bint Sha>t}i’ dalam menafsirkan
Al-Qur’an.
2. Menjelaskan pengaplikasian metode Bint Sha>t}i’ dalam penafsiran surat al-Taka>thur.
E. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini yaitu:
1. Secara teoritik, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan pemikiran wacana keagamaan dan menambah khazanah literatur studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di Indonesia.
2. Secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat memberi pemahaman terhadap metode dan pendekatan yang digunakan tokoh tersebut dalam menafsirkan Al-Qur’an dan mengetahui penafsirannya terhadap surat al-Taka>thur.
F. Telaah Pustaka
Ada beberapa penelitian terdahulu yang membahas tentang Bint Shati’ diantaranya:
9
2. Corak dan Metode Interpretasi‘A<ishah ‘Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>t}i’, Jurnal al-Ulum, Volume 11 Nomor 1, Juni tahun 2013 oleh Wahyuddin IAIN Sultan Amai Gorontalo. Dalam penelitian tersebut, Wahyuddin hanya menjelaskan corak dan metode dari Bint Sha>t}i’ dalam menafsirkan Al-Qur’an.
3. Nuansa Etis dalam surat al-Balad (Sebuah penafsiran Linguistik Model Bint al-Sha>ti’), Jurnal Teologia, Volume 16 Nomor 1, Juni tahun 2016 oleh Imam Taufiq. Dalam penelitiannya tersebut, Taufiq berusaha menjelaskan penafsiran Bint Sha>t}i’ tentang surat al-Balad.
Dengan melihat kajian penelitian yang dilakukan sebelumnya, kajian tentang Penafsiran Surat al-Taka>thur menurut A<ishah Abd Rahma>n Bint
al-Sha>ti’ secara spesifik belum dilakukan. Sehingga tema ini diambil untuk skripsi penelitian ini.
G. Metode Penelitian
Metode merupakan upaya agar kegiatan penelitian dapat dilakukan secara optimal.13 Berikut pemaparan motode yang digunakan dalam penelitian ini.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis seperti buku atau kitab yang berkenaan dengan topik pembahasan, sehingga diperoleh data-data yang jelas.
13Winarno Surachmad, Pengantar Metodologi Ilmiah Dasar Metode dan Teknik
10
2. Model Penelitian
Model penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang datanya berupa data non statistik.14 Penelitian kualitatif ini dimaksudkan
untuk mendapatkan data tentang kerangka ideologis, epistimologis dan asumsi-asumsi metodologis pendekatan terhadap kajian tafsir dengan menelusuri secara langsung pada literatur yang terkait.
3. Teknik Pengumpulan Data
Karena jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah mengkaji dan menelaah berbagai kitab tafsir, kitab ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, buku, artikel dan sumber lainnya yang mempunyai relevansi dengan kajian ini, baik yang bersifat primer maupun sekunder.
4. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua klasifikasi, yaitu:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer dari penetitian ini adalah kitab Tafsi>r al-Baya>ni> li al-Qur’a>n al-Kari>m karya Bint al-Sha>ti’
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah kitab-kitab tafsir, kitab ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, buku, artikel dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dan relevan dengan topik yang dibahas.
11
5. Analisis Data
Adapun isi dari analisis data pada tahap pertama adalah penelitian ini berupaya mengetahui secara intens kitab tafsir Tafsi>r al-Baya>ni> li al-Qur’a>n
al-Kari>m melalui biografi pengarangnya, latar belakang penulisannya, prinsip-prinsip metodenya dalam menafsirkan Al-Qur’an. Hal ini terutama dimaksudkan untuk mengetahui pemikiran Bint al-Sha>ti’ dalam hubungannya dengan tafsir.
Pada analisis berikutnya, penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan penafsiran surat al-Taka>thur menurut Bint al-Sha>ti’, kemudian menganalisa bagaiman Bint al-Sha>ti’ mengaplikasikan prinsip-prinsip metodenya terhadap surat al-Taka>thur.
H. Sistematika Pembahasan
Garis besar kerangka penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab pertama berisi tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab ini digunakan sebagai pedoman, acuan dan arahan sekaligus target penelitian agar target penelitian dapat terlaksana secara terarah dan pembahasannya tidak melebar.
12
akan dilanjutkan dengan penjelasan tentang kitab tafsirnya, al-Tafsi>r al-Baya>ni> li al-Qur’a>n al-Kari>m.
Bab ketiga menjelaskan tentang metode penafsiran A<ishah Abd al-Rah}ma>n Bint al-Sha>t}i’. Berisi tentang pandangan Bint al-Sha>t}i’ terhadap Al-Qur’an yang akhirnya melahirkan metode penafsiran Al-Al-Qur’an menurut Bint al-Sha>t}i’.
Bab keempat menjelaskan tentang pengaplikasian metode penafsiran
Bint al-Sha>t}i’ pada surat al-Taka>thur dan analisisnya. Berisi tentang pengaplikasian metode penafsiran Bint al-Sha>t}i’ terhadap surat al-Taka>thur pada kitab tafsirnya, al-Tafsi>r al-Baya>ni> li al-Qur’a>n al-Kari>m dan diakhiri dengan analisis terhadap Bint al-Sha>t}i’ dalam menafsirkan surat al-Taka>thur.
BAB II
A<ISHAH ABD AL-RAHMA<N BINT AL-SHA<T{I’
DAN KITAB TAFSIRNYA
A. Biografi A<ishah Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>t}i’ 1. A<ishah Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>t}i’
Bint al-Sha>t}i’ lahir pada 6 November 1913 di barat Delta Nil,
tepatnya di Dumyat. A<ishah Abd al-Rahma>n lebih dikenal dengan nama
samaran Bint al-Sha>t}i’ yang berarti anak perempuan tepian sungai. Nama
samaran itu digunakan karena sejak kecil Bint al-Sha>t}i’ selalu menghabiskan
waktunya untuk membaca buku dan belajar di tepi sungai Nil.1 Ia tumbuh
dalam lingkungan keluarga Muslim yang taat dan tergolong konservatif.
Walaupun ia memiliki pandangan dan sikap yang konservatif, tetapi ia
memiliki daya tarik untuk seorang perempuan Arab modern yang berbudaya,
yang harus diperhitungkan karena memiliki kemampuan pengungkapan diri
yang kuat dan artikulatif, diilhami oleh nilai-nilai Islam dan pengetahuan,
sehingga menjadikannya seorang pakar tafsir yang hidup di era modern.
Abd al-Rahma>n, ayah Bint al-Sha>t}i’ adalah seorang anggota
kerukunan sufi. Selain itu, ia adalah seorang guru yang mengajar di sekolah
teologi Dumyat. Dengan pandangan yang sangat konservatif, ia berasumsi
bahwa seorang anak gadis yang telah menginjak masa remaja harus tinggal di
rumah untuk belajar. Ayah Bint al-Sha>t}i’ sebenarnya bukan penduduk asli
14
Dumyat. Ia berasal dari salah satu daerah kecil yang disebut shubra, tepatnya
di Maufiyyah. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas al-Azhar,
Kairo, ia diangkat menjadi guru SD di Dumyat. Di tempat ini, ia bertemu
seorang putri Syekh Ibrahim Damhuj dan menikahinya, yang akhirnya
melahirkan seorang putri yang bernama A<ishah Abd al-Rahma>n Bint
al-Sha>t}i’.2
Pada masa kecil, Bint al-Sha>t}i’ hampir tidak memiliki waktu untuk
bermain dengan teman-teman sebayanya. Hal itu disebabkan karena ayahnya
selalu memerintahkannya untuk belajar sampingan semacam “ngaji” di rumah
maupun di kantornya Universitas al-Bah}r, ketika itu Bint al-Sha>t}i’ sering
mendengarkan Al-Qur’an yang dibaca ayah dan teman-temannya. Berkat
kemampuan intelektual yang dimilikinya, Bint al-Sha>t}i’ mampu menghafal
beberapa ayat Al-Qur’an terutama surat-surat pendek yang ia dengar berulang
kali.3
Adapun pendidikan formal Bint al-Sha>t}i’dimulai dari belajar menulis
dan membaca bahasa Arab pada Syekh Murshi di tempat ayahnya berasal,
Shubra Bakhum pada usia lima tahun. Selanjutnya, ia masuk sekolah dasar
untuk belajar gramatika bahasa Arab dan dasar-dasar kepercayan Islam di
Dumyat dan berhasil menyelesaikannya dengan predikat cumlaude. Hal ini
yang mendorongnya untuk senantiasa menekuni ilmu-ilmu Islam.
Setelah menyelesaikan studi ilmu pendidikan di madrasah ta’limiyyah
t}anta pada tahun 1929, Bint al-Sha>t}i’ berinisiatif untuk hijrah ke kota Kairo
2Ibid, 22.
15
untuk mencari pengalaman yang lebih. Di ibu kota Mesir tersebut, seluruh
bakat dan kecerdasannya mulai ditempa dengan baik. Dengan posisi sebagai
penulis di Giza, ia pun memulai karirnya dengan banyak melayangkan
tulisannya ke beberapa media masa terkenal di Mesir. Dari sinilah mulai
muncul nama besar Bint al-Sha>t}i’.
Kesibukan dalam dunia menulis bukan merupakan penghambat
baginya untuk melanjutkan proses studi. Pada tahun 1936, Bint al-Sha>t}i’
berhasil menyelesaikan program sarjananya di Universitas Fuad I Kairo,
jurusan sastra Arab. Kemudian merampungkan program magisternya di
Universitas dan jurusan yang sama pada tahun 1941 dengan judul tesis
al-H{ayya>t al-Insa>niyyah ‘Inda Abi> ‘Ala.
Di Universitas tersebut, Bint al-Sha>t}i’ dipertemukan dengan sang
pujaan hati, Ami>n Khu>li> yang kemudian menjadi suaminya. Ami>n Khu>li>
merupakan pakar ilmu tafsir, sehingga ia banyak memeberikan pengaruh
terhadap pemikiran Bint al-Sha>t}i’. Hal ini terlihat dari corak beberapa
pemaparan yang Bint al-Shati’ sampaikan. Tahun 1950, Bint al-Sha>t}i’
berhasil merampungkan studi doktornya dengan meraih gelar PhD. T{aha>
Husain sebagai pengujinya pada sidang disertasinya yang berjudul Risa>lat
al-Ghufra>n li> Abi> al-A’la dan Bint al-Sha>t}i’ meraih predikat cumlaude.4
Lantaran studinya mengenai sastra dan tafsir Al-Qur’an,
mengantarkan Bint al-Sha>t}i’ menjadi Guru Besar sastra dan bahasa Arab di
Universitas ‘Ayn Shams, Mesir. Terkadang ia menjadi Guru Besar Tamu di
16
Universitas Islam Umm Durma>n Sudan dan Universitas Qarawiyyi>n Maroko.
Pada tahun 60-an, Bint al-Sha>t}i’ memberikan kuliah dan konferensi di
hadapan para sarjana di Roma, Aljazair, New Delhi, Baghdad, Kuwait,
Yerussalem, Rabat, Fez, Khartoum dan lain-lain.
Kajian-kajiannya yang telah dipublikasikan meliputi studinya
mengenai Abu> al-A’la> al-Marri>, al-Khansa> dan penyair-penyair atau
penulis-penulis lain mengenai biografi ibunda Nabi Muhammad SAW, istri-istri Nabi
SAW, anak-anak perempuannya serta cucu dan buyut perempuannya. Selain
itu juga mengenai monografi-monografi dan cerita-cerita pembebasan
perempuan dalam pemahaman Islam dan karya-karya kesejarahan mengenai
masa hidup Nabi SAW. Bint al-Sha>t}i’ juga menulis mengenai isu-isu
mutakhir di dunia Arab, seperti tentang nilai dan otoritas masa kini sebagai
warisan budaya masa lampau, tentang bahasa Arab di dunia modern yang
sedang berubah dan tentang dimensi sejarah dan intelektual perjuangan
orang-orang melawan imperialisme Barat dan Zionisme.5
Pada awal bulan Desember 1998, Bint al-Sha>t}i’ meninggal dunia pada
umur 85 tahun karena serangan jantung. Syekh al-Azhar menshalatinya saat
pemakaman untuk kepergian ilmuwan besar di zaman modern.
Pemakamannya juga dihadiri oleh para ilmuwan, penulis dan kaum
intelektual yang datang dari berbagai negara.6 Tulisan terakhirnya yang
sempat diterbitkan oleh koran al-Ah}ram berjudul ‘Ali bin Abi Thalib
5Bint al-Sha>ti’, Tafsir Bintusy-Syathi’...., 9-10.
17
Karramallahu Wajha tanggal 26 Februari 1998. Seluruh karyanya menjadi
saksi atas kehebatannya dan metode tafsir yang ia kembangkan dalam
karyanya Tafsi>r al-Baya>ni li al-Qur’a>n al-Kari>m banyak menjadi rujukan
metode penafsiran pada zaman kontemporer
2. Karir intelektual dan karya-karya Bint al-Sha>t}i’
Karir akademik Bint al-Sha>t}i’ dimulai sebagai guru sekolah dasar
khusus perempuan di al-Mansu>riyyah pada tahun 1929. Kemudian pada tahun
1932, Bint al-Sha>t}i’ menjadi supervisior di sebuah lembaga bahasa untuk
Inggris dan Perancis, menjadi asisten Lektur di Universitas Fuad I Kairo pada
tahun 1939, menjadi inspektur bahasa Arab pada sebuah lembaga bahasa pada
tahun 1942 sekaligus sebagai kritikus bahasa pada koran al-Ah}ra>m, menjadi
Lektur bahasa Arab di Universitas Ayn al-Shams pada tahun 1950, menjadi
asisten profesor di Universitas yang sama pada tahun 1951 sampai 1957.
Pada tahun 1968, Bint al-Sha>t}i’ menjadi profesor sastra Arab di
Universitas khusus perempuan dan akhirnya menjadi profesor penuh sastra
Arab di Universitas ‘Ayn al-Shams pada tahun 1967, di Unversitas al-Azhar,
menjadi Guru Besar Tamu di Universitas Islam Umm Durma>n, Khartoum,
Sudan pada tahun 1968. Pada tahun 1970, Bint al-Sha>t}i’ menjadi Guru Besar
dalam tafsir Al-Qur’an di fakultas hukum, Universitas Qarawiyyi>n Fez,
Maroko, menjadi Guru Besar Tamu di Universitas Bairut pada tahun 1972,
menjadi Guru Besar di Universitas Emirates pada tahun 1981 dan menjadi
Guru Besar fakultas pendidikan di Riyad pada tahun 1983.7
18
Disamping minat dalam pendidikan dan sastra, Bint al-Sha>t}i’ juga
memiliki bakat jurnalistik yang besar. Ia menulis artikel di media masa sejak
di pendidikan lanjutan, suatu prestasi yang jarang terjadi di lingkungannya.
Bakat ini kemudian dikembangkan dengan menerbitkan majalah
al-Nahdhiyyah al-Nisa>iyyah pada tahun 1933, dimana ia juga menjabat sebagai
redakturnya. Disamping itu, ia juga menulis untuk koran al-Hila>l dan menjadi
kolomnis di koran al-Akhra>m.
Minat Bint al-Sha>t}i’ terhadap kajian tafsir dimulai sejak
pertemuannya dengan Ami>n al-Khu>li>, seorang pakar tafsir yang kemudian
menjadi suaminya ketika ia bekerja di Universitas Fuad I Kairo. Dari sini,
Bint al-Sha>t}i’ mendalami tafsir dan menulis kitab tafsirnya yang terkenal
yaitu al-Tafsi>r al-Baya>ni li al-Qur’a>n al-Kari>m yang diterbitkan pada tahun
1962. Karya ini mendapat sambutan luar biasa dari kalangan intelektual,
sehingga ia diundang untuk kuliah dan konferensi di berbagai kota, seperti
Roma, Aljazair, New Delhi, Baghdad, Kuwait, Yerussalem, Rabat, Fez dan
Khartoum. Dalam karyanya ini, Bint al-Sha>t}i’ memberikan dan menerapkan
metode baru dalam menafsirkan Al-Qur’an yang belum dikenal sebelumnya.8
Bint al-Sha>t}i’ adalah sekian dari ulama yang produktif, yang
dikukuhkan dengan karya-karya yang telah dipublikasikannya sebanyak 60
karya dalam bentuk buku dan ratusan artikel dalam berbagai bidang, seperti
19
keislaman, bahasa Arab, sastra, isu-isu sosial, emansipasi wanita, antropologi
dan lain sebagainya. Di antara karya-karyanya tersebut antara lain:9
a. Al-Hayya>t al-Insa>niyyah ‘Inda Abi> al-‘Ala, Da>r al-Ma’a>ri>f, 1944 (Tesis
M.A. pada Universitas Fuad I, Kairo, 1941)
b. Risalah al-Ghufra>n li> ‘Abi> al-‘Ala>, Kairo: Da>r al-Ma”ari>f , 1950. Edisi II,
1957; edisi III, 1963; edisi IV, 1968; edisi V, 1969.
c. Al-Ghufra>n li Abi> al-Ala’ al-Ma’arri>, Kairo: Da>r al-Ma’ari>f, 1954. Edisi
II, 1962; edisi III, 1968 (Disertasi Doktor pada Universitas Fuad I, Kairo,
1950)
d. Ardh al-Mu’jiza>t, Rih{lah fi> Jazi>rah al-‘Arab, Kairo: Da>r al-Ma’a>ri>f,
1956.
e. Nisa’ al-Nabiy, Kairo: Da>r al-Hila>l, 1961.
f. Umm al-Nabiy, Kairo: Da>r al-Hila>l, 1961.
g. Bana>t al-Nabiy, Kairo: Da>r al-Hila>l, 1963.
h. Sukaynah bint al-H{usayn, Kairo: Da>r al-Hila>l, 1965.
i. Bat}ala>t al-Karbala>, Kairo: Da>r al-Hila>l, 1965 .
j. Abu> al-‘Ala al-Ma’arri>, Kairo: al-Mu’assasah al-Mis{riyyah al-Ammah,
1965.
k. Al-Khansa>, Kairo: Da>r al-Ma’ari>f, 1965.
l. Al-Mafhu>m al-Isla>mity li Tah}rir al-Mar’ah, Mut}ba’ah Mukhaymir,
1967.
20
m. Turathuna Bayna Ma>dhin wa H{a>dhirin, Kairo: League of Arab States,
Ma’had al-Dira>sah al-‘Arabiyyah, 1968.
n. A’dha’ al-Bashar, Kairo: Higher Council for Islamic Affair, Lajnah
al-Ta’rif bi al-Isla>m, 1968.
o. Al-Ab’a>d al-Ta>rikhiyyah wa al-Fikriyyah li Ma’rakatina>, Kairo:
Mat}ba’ah al-Mukhaymir, 1968.
p. Lughatuna> wa al-H{ayya>t, Kairo: League of Arab States, Ma’had
al-Dira>sah al-‘Arabiyyah, 1969.
q. Ma’a al-Mus}t}afa> fi al-‘As}r al-Mab’ath, Kairo: Da>r Ma’ari>f, 1969.
r. Bayn al-Aqi>dah wa al-Ikhtiya>r, Beirut: Da>r al-Naja>h, 1973.
Sementara itu, buku-buku Bint al-Sha.ti’ yang berhubungan dengan
kajian-kajian Al-Qur’an mencakup judul-judul berikut:10
a. Al-Tafsi>r al-Baya>ni li> al-Qur’an al-Kari>m, Vol. I, Kairo: Da>r al-Ma’ari>f,
1962. Edisi II, 1966; edisi III, 1968. Selanjutnya disebut al-Tafsi>r, I.
Tafsir ini memuat penafsiran dari tujuh surat pendek, yaitu su>rah
D{uh}a>, Su>rah Sharh}, Su>rah Zalzalah, Su>rah ‘A<diya>t, Su>rah
al-Na>zi’a>t, Su>rah al-Balad dan Su>rah al-Taka>thur.11
b. Al-Tafsi>r al-Baya>ni li> al-Qur’an al-Kari>m, Vol. II, Kairo: Da>r al-Ma’ari>f,
1967. Selanjutnya disebut al-Tafsi>r, II. Dalam tafsir ini, Bint al-Sha>ti’
menafsirkan tujuh surat pendek, yaitu Su>rah al-Alaq, Su>rah al-Qalam,
10Ibid, 11.
21
Su>rah al-‘As}r, Su>rah al-Layl, Su>rah al-Fajr, Su>rah al-Humazah dan
Su>rah al-Ma>’u>n.12
c. Kita>buna> Akbar, Umm Durma>n: Ja>mi’ah Umm Durma>n
al-Isla>miyyah, 1967. Buku ini mengungkapkan tentang Al-Qur’an yang
mempunyai ungkapan yang khas dan penggunaan-penggunaan yang
secara tersendiri dikhususkan untuk Al-Qur’an.
d. Maqa>l fi al-Insa>n, Dira>sah Qur’a>niyyah, Kairo: Da>r Ma’ari>f, 1969.
Merupakan karya Bint al-Sha>ti’ yang membahas tentang risalah manusia
menurut tinjauan Al-Qur’an dan mengikuti metode sebagaimana
tafsirnya.13
e. Al-Qur’a>n wa al-Tafsi>r al-As}riy, Kairo: Da>r Ma’ari>f, 1970. Merupakan
serangkaian artikel yang dikumpulkan jadi satu. Artikel-artikel tersebut
berisi tentang ketidaksetujuan Bint al-Sha>ti’ terhadap tafsir as}ri yang
dicetuskan oleh Mus}t}afa> Mah}mud, seorang ahli fisika yang mengadopsi
gagasan sains modern dan mencoba menemukan gagasan tersebut dalam
konsep Al-Qur’an.14
f. Al-Ijaz al-Baya>ni al-Qur’a>n, Kairo: Da>r Ma’ari>f, 1971. Selanjutnya
disebut al-I’jaz yang merupakan usaha Bint al-Sha>ti’ dalam mengkaji
kemukjizatan Al-Qur’an serta pembicaraan mengenai nilainya
(pembahasan mengenai nas} Al-Qur’an harus mendahului semua kajian
12‘A<ishah ‘Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>ti’, al-Tafsi>r al-Baya>ni li> al-Qur’a>n al-Kari>m Juz II (Kairo: Da>r al-Ma’ari>f, 1969), 193.
13‘A<ishah ‘Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>ti’, Maqa>l fi al-Insa>n, Dira>sah Qur’a>niyyah (Kairo: Da>r Ma’ari>f, 1969), 4.
22
lainnya) dan pembahasan mengenai beberapa metode tafsir yang
diterapkan dalam penafsirannya.15
g. Al-Shikhshiyyah al-Isla>miyyah---Dira>rah Qur’a>niyyah, Beirut: Da>r
al-‘Ilm li al-Malayi>n, 1973.
Selain karir intelektual dan karya-karyanya, Bint al-Sha>t}i’ berhasil
mengantarkan mahasiswa-mahasiswanya kepada kehidupan ilmiah dan
masuk ke dalam ulama-ulama muda yang terpilih, yang mengambil
spesialisasi dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an, beberapa diantaranya adalah:16
a. ‘Abd al-Sala>m al-Kanu>ni>, Guru Besar Fakultas Ushuluddin di Tat}wan.
Dia menyelesaikan karyanya yang pertama dengan judul Madrasah
al-Qur’a>niyyah fi> al-Maghrib, min al-Fath} ila> ibn ‘At}iyyah, disusul dengan
disertasinya yang berjudul Mukhtas}ar Tafsi>r Yah}ya> bin Sala>m, Li Abi>
Abd Alla>h Ibn Abi> Zumni>n: Tah}qi>q wa dira>sah.
b. Abd al-Kabi>r al- Madghari>, Guru Besar Fakultas Shari’ah di Faz. Dia
menyelesaikan disertasinya yang berjudul al-Na>sikh wa al-Mansu>kh lil
Qad}i Abi> Bakr Ibn al-‘Arabi>: Tah}qi>q wa dira>sah.
c. Muh}ammad al-Rawandi>, Asisten Guru Besar di Da>r H{adi>th
al-H{asaniyyah. Dia menulis karya besarnya yaitu al-S{aha>bah al-Shu’ara>’,
yang mana di dalamnya menjelaskan tentang masalah-masalah Islam dan
puisi, meluruskan kesalahan-kesalahan pengkaji yang menangani
masalah masalah tersebut, dan memperkenalkan ilmu tentang generasi
15‘A<ishah ‘Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>ti’, Al-Ijaz al-Baya>ni al-Qur’a>n (Kairo: Da>r Ma’ari>f, 1971), 19.
23
penyair Islam yang pertama, yaitu para murid Madrasah Nubuwwah yang
menurut t}abaqah al-Zami>l Li al-S{ah}a>bah al-Shu’ara>’ jumlahnya
mencapai emapat ratus penyair.
d. Sahi>r Muh}ammad Khali>fah, yang tak lain adalah putra dari Bint al-Shat}i’
sendiri. Dia merupakan seorang pengajar di Universitas al-Azhar dengan
risalahnya yang berjudul al-Shawa>hid al-Qur’a>niyyah fi> Kita>b Siba>waih
untuk meraih gelar magister dari Universitas al-Azhar dengan hasil
Cumlaude. Dan dia juga meraih gelar doktor pada 12 Juli 1977 dengan
judul disertasi al-Shawa>hid al-Qur’a>niyyah fi> Kita>b Mughni> al-Labi>b Li
Ibn Hisha>m dengan hasil summa cumlaude yang kemudian atas saran
penguji dicetak dengan biaya dari Universitas al-Azhar.
B. Kitab TafsirBint al-Sha>t}i’
Kitab yang memiliki nama asli yaitu Tafsi>r Baya>ni li Qur’a>n
al-Kari>m, merupakan sebuah kitab yang merupakan salah satu karya monumental
Bint al-Sha>t}}i’ dalam bidang tafsir yang sangat menaruh banyak perhatian para
peminat kajian-kajian Al-Qur’an, baik dari timur maupun dari barat. Kitab ini
terdiri dari dua jilid, masing-masing mencakup tujuh surat. Dengan demikian
kitab ini hanya memuat 14 surat pendek yang diambil juz ‘Amma atau juz ke-30
dari Al-Qur’an.
Juz pertama telah dipublikasikan pada tahun 1962 dan telah dicetak ulang
sebanyak dua kali yaitu tahun 1966 dan 1968. Jilid pertama ini berisi tujuh surat
pendek, yaitu su>rah al-D{uh}a>, Su>rah al-Sharh}, Su>rah al-Zalzalah, Su>rah al-‘A<diya>t,
24
baru dipublikasikan pada tahun 1967 dan juga berisi tujuh surat pendek, yaitu
Su>rah al-Alaq, Su>rah al-Qalam, Su>rah al-‘As}r, Su>rah al-Layl, Su>rah al-Fajr, Su>rah
al-Humazah dan Su>rah al-Ma>’u>n. Kedua jilid tersebut diterbitkan oleh Da>r
Ma’a>rif, Kairo, Mesir.
Dalam menulis kitab tafsirnya ini, Bint al-Shat}i’ mendasarkan
penafsirannya pada metode penafsiran yang dirintis oleh suaminya, Ami>n Khu>lli>
(1895-1966) seorang pakar filologi dan teologi mesir. Metode penafsiran Ami>n
Khu>lli> ini dikemukakan dalam karya monumentalnya, Mana>hij Tajdid fi
al-Nah}w wa al-Balaghah wa al-Tafsi>r wa al-Ada>b. Ami>n Khu>li> sangat
menganjurkan pendekatan tematik dalam menafsirkan Al-Qur’an dan sangat
menekankan signifikasi interpretasi filologi yang didasarkan pada kronologi teks
dan penggunaan semantik bahasa Arab untuk menganalisis kosa kata Al-Qur’an.17
Pendekatan tematik ini merupakan respon terhadap penafsiran klasik yang
dinilainya cenderung bersifat persial dan atomistik. Metode ini selanjutnya
diaplikasikan oleh Bint al-Sha>t}i’ dalam tafsirnya, al-Tafsi>r al-Baya>ni> li al-Qur’a>n
al-Kari>m. Kitab tafsir yang menggunakan corak tafsir dengan pendekatan sastra
ini terlebih dahulu menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang menyangkut masalah
yang dibahas dengan memperhatikan kemungkinan seluruh arti yang dapat
dikandung oleh lafadz tersebut menurut penggunaan bahasa. Selain itu juga
menggunakan konsep asba>b al-nuzu>l dengan kaidah al-ibrah bi umu>m al-lafz}i la>
bi h}us}us} al-sabab. Yang terakhir, mengutip pendapat mufasir-mufasir terdahulu
tanpa menggunakan penafsiran yang berbentuk sektarian dan isra>iliyya>t.
BAB III
METODE PENAFSIRAN
BINT AL-SHA<T{I’
A. Al-Qur’an dalam PandanganBint al-Sha>t}i’
Ami>n Khu>li> merupakan guru sekaligus suami dari Bint al-Sha>t}i’ yang
sangat memberi pengaruh besar padanya dalam memandang Al-Qur’an. Bahkan,
Bint al-Sha>t}i’ secara jujur mengakui bahwa metode dan karya tafsirnya lahir
sebagai langkah lanjut dari tawaran Ami>n Khu>li>.1 Pengakuan Bint al-Sha>t}i’
tersebut menunjukkan signifikannya gagasan yang diberikan Ami>n Khu>li> yang
dikembangkan dalam karya tafsirnya. Tawaran inovatif dari Ami>n Khu>li> tersebut
tertuang dalam dua ide besar, yaitu:
1. Al-Qur’an sebagai kitab karya sastra terbesar
Sejarah sudah membuktikan betapa besarnya respon dunia Islam
terhadap Al-Qur’an, sehingga tidak terhitung lagi jumlah mufasir dan ahli
dari berbagai cabang keilmuan yang berdialektika dengan Al-Qur’an dalam
sepanjang sejarah Islam. Sebagian dari para mufasir dan tokoh keilmuan
Al-Qur’an lainnya adalah para pembaharu yang mempunyai inisiatif untuk
menemukan cara-cara baru yang kreatif dalam pemecahan masalah tafsir
Al-Qur’an atau persoalan lain yang terkait dengan disiplin ilmu tafsir. Dalam
jajaran para inisiator penggagas lahirnya cara pemahaman baru dalam studi
Al-Qur’an pada abad ke-20, muncul nama Ami>n Khu>li> sebagai penggagas
gaya baru tafsir Al-Qur’an yaitu al-Tafsi>r al-Baya>ni.
26
Memang apa yang dilakukannya dalam upaya pembaharuan terhadap
studi Al-Qur’an atau tafsir khususnya, tidak dengan cara menyusun sebuah
karya tafsir monumental, tetapi dengan cara memperbarui pola berfikir dan
cara pandang orang terhadap Al-Qur’an. Kalaupun Ami>n Khu>li> menulis karya
tulis praktis, seperti karyanya yang berjudul Min Hu>d al-Qur’a>n, itu
merupakan bukan target akhirnya. Itu mengapa, dari banyak karya tulisnya
yang lebih menitik beratkan pada aspek metodologis teoritis tafsir. Di antara
aspek teoritis yang ia rancang adalah upayanya menggeser cara pandang
terhadap Al-Qur’an.
Sejarah panjang penafsiran Al-Qur’an sejak massa abad pertengahan
hingga awal abad modern, menunjukkan betapa cara pandang ideologis
terhadap Al-Qur’an sangat dominan. Akibatnya, penafsiran Al-Qur’an lebih
merupakan upaya latihan intelektual bidang tertentu, seperti kalam, sufisme,
fiqh, grametika Arab, sejarah bahkan dalam bidang sains. Dalam tafsir
semacam ini, Al-Qur’an diperlakukan lebih sebagai alat justifikasi
kecenderungan tertentu para mufasirnya.
Untuk mengubah cara pandang seperti ini, Ami>n Khu>li> mencetuskan
prinsip dasar yang harus dimiliki dan dipegangi para mufasir sebelum
menafsirkan Al-Qur’an, supaya tidak terjebak pada upaya mencari
pembenaran dari Al-Qur’an atas kecenderungan pribadinya. Gagasan tersebut
adalah memandang Al-Qur’an sebagai karya sastra besar sebelum
memandangnya sebagai kitab suci.2
27
Al-Qur’an harus dianggap sebagai kitab al-Arabiyyah al-Akbar, karena
Al-Qur’an mengabadikan bahasa Arab sehingga menjadikan kebanggaan
tersendiri bagi bahasa Arab dan kearabannya diakui oleh semua orang Arab
apapun agamanya sepanjang mereka masih mengakui kearabannya. Dengan
cara pandang seperti ini, Ami>n Khu>li> memprediksi hasil penafsiran dari
Al-Qur’an akan menjadi sama antara para mufasir baik itu muslim, kristen, kaum
pegan, materialis atau ateis.3 Bukan kepentingan agama yang harus menjadi
tolak ukur penafsiran Al-Qur’an, adapun hasil akhirnya untuk kepentingan
agama itu adalah persoalan lain. Karena dalam kasus seperti ini, upaya
penafsiran tidak boleh terpengaruh oleh konsepsi agama apapun sehingga
relatif lebih obyektif. Penafsiran dengan cara pandang seperti ini, akan
mendapatkan dan memperoleh makna sejati dari Al-Qur’an.
2. Aspek eksternal dan internal Al-Qur’an
Untuk mewujudkan adanya penafsiran yang memperoleh makna sejati
dari Al-Qur’an seperti dijelaskan di atas, Ami>n Khu>li> menetapkan tugas
pokok seorang mufasir dalam usaha menafsirkan Al-Qur’an, yaitu dengan
langkah studi eksternal teks (dira>sah ma> h}aul al-Qur’a>n) dan studi internal
teks (dira>sah fi> al-Qur’a>n nafsih). Kalau dua langkah ini terpenuhi oleh
seorang mufasir, maka menurut Ami>n Khu>li>, akan lahir tafsir yang
berorientasi pada makna obyektif Al-Qur’an.
Studi aspek eksternal Al-Qur’an (dira>sah ma> h}aul al-Qur’a>n) yang
dimaksud adalah ketika Al-Qur’an dipandang sebagai teks bahasa maka tidak
28
akan muncul situasi hampa budaya, oleh karenanya lingkungan dan waktu di
mana Al-Qur’an di turunkan pertama kali akan sangat penting bagi
pemahaman mufasir.
Jadi dalam menafsirkan Al-Qur’an, menurut Ami>n Khu>li> seorang
mufasir harus melacak terlebih dahulu kondisi lingkungan material maupun
non material yang ada ketika Al-Qur’an turun, hidup, dihimpun, ditulis,
dibaca dan dihafal, juga bagaimana Al-Qur’an berbicara pada audiennya yang
pertama. Dan juga berbagai kondisi non material ketika Al-Qur’an
diturunkan, seperti sistem sosial, keluarga, qabilah, pemerintahan dalam batas
tertentu, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan dan perilaku. Dengan kata
lain, seorang mufasir pada tahap ini harus mengetahui tentang keadaan
masyarakat Arab pada waktu turunnya Al-Qur’an sebagai sarana untuk
memahami Al-Qur’an.4
Sedangkan studi aspek internal Al-Qur’an (dira>sah fi> al-Qur’a>n nafsih)
yang dimaksudkan adalah seorang mufasir harus mengetahui perkembangan
makna dan signifikasi kata-kata tertentu Al-Qur’an dalam bentuk tunggalnya.
Kemudian mencari indikasi dari makna ini dalam setiap akar katanya agar
dapat diketahui pergeseran makna katanya serta pengaruhnya secara
psikologis sosial dan peradapan umat.
Kemudian makna kata dalam bentuk tunggalnya ini dicocokkan dalam
konteks penyebutan atau susunan kalimat dalam suatu ayat. Dengan cara ini,
tidak bermaksud untuk menjadikan pembahasan gramatik sebagai hasil akhir
29
sebagaimana dalam tafsir klasik, melainkan untuk menjadi sarana
menentukan makna.5
Selain itu, mufasir harus mencari muatan psikologis dan kondisi sosial
yang ada pada kata tersebut serta struktur dan dinamikanya yang terekam
dalam kata tertentu. Untuk mendapatkannya, mufasir dapat menggunakan
berbagai studi terdahulu sebagai bahannya.
Tawaran inovatif Ami>n Khu>li> kemudian dikembangkan oleh Bint
al-Sha>t}ti’ dengan mengatakan bahwa metode pertama penafsiran kesusastraan
adalah dengan memperlakukan Al-Qur’an sesuai dengan apa yang diinginkan
Al-Qur’an secara obyektif. Hal ini berkaitan erat dengan aspek tekstualitas
Al-Qur’an. Bahasa Al-Qur’an yang menggunakan bahasa Arab tentu
mewakili apa yang ingin disampaikan Allah SWT kepada manusia, karena
bahasa merupakan alat komunikasi yang sifatnya konfeksi dan fleksibel.
Maka langka yang kemudian digunakan Bint al-Sha>t}ti’ adalah dengan
mengumpulkan ayat-ayat yang memuat lafadz yang sama untuk kemudian
dibandingkan dan ditentukan makna manakah yang paling representatif.
Metode yang pertama ini berkutat pada aspek bahasa dan sastra,
seperti apakah akar kata term kunci dalam sebuah ayat, evolusi
penggunaannya dan pengertian yang dikandung dalam sebuah term.
Permasalahan bahasa juga dijelaskan dengan mencari arti asli linguistiknya
dan dalam memahami pertanyaan-pertanyaan sulit dalam sebuah ayat, maka
30
ayat tersebut harus dipelajari dan diperhitungkan kemungkinan maksudnya
dan dikomparasikan dengan pendapat para ulama.
Sedangkan studi kontekstual yang gagas Ami>n Khu>li> kemudian
dikembangkan oleh Bint al-Sha>ti’ menjadi dua metode dari empat
metodenya, yaitu untuk memahami konteks pewahyuan maka ayat-ayat
disekitar gagasan tersebut harus disesuaikan dengan kronologi pewahyuan
(Asba>b al-Nuzu>l). Akan tetapi, sebab-sebab peristiwa tersebut bukan
merupakan syarat mutlak dari pewahyuan.
B. Metode PenafsiranBint al-Sha>t}i’
Pada dasarnya prinsip dan metode yang dilakukan Bint al-Sha>t}i’ dalam
menafsirkan Al-Qur’an adalah sebagai berikut:6
1. Sebagian ayat Al-Qur’an menafsirkan sebagian ayat yang lain
2. Al-Qur’an harus dipelajari dan dipahami keseluruhannya sebagai kesatuan
dengan karakteristik-karakteristik ungkapan dan gaya bahasa yang khas, atau
bisa disebut dengan metode muna>sabah yaitu mengaitkan lafadz atau ayat
dengan lafadz atau ayat yang di dekatnya, dan bahkan bisa yang tidak di
dekatnya.
3. Prinsip al-ibrah bi umu>m al-lafz}i la> bi h}us}us} al-sabab, yaitu ketentuan suatu
masalah berdasarkan keumuman lafadz bukan kekhususan sebab.
4. Keyakinan bahwa lafadz-lafadz di dalam Al-Qur’an tidak ada sinonim,
dimana satu lafadz hanya mempunyai satu makna. jika suatu lafadz
31
digantikan oleh makna lafadz yang lain akan berakibat hilangnya bukan
hanya efektifitasnya, tetapi juga keindahan dan esensinya.
Dari prinsip di atas, Bint al-Sha>t}i’ kemudian menetapkan empat
langkah sebagai metode penafsiran Al-Qur’an. Keempat langkah ini
merupakan pengembangan terhadap prinsip-prinsip metode yang dicetuskan
oleh Ami>n Khu>li>. Empat langkah tersebut antara lain:7
1. Basis metodenya adalah memperlakukan apa yang ingin dipahami dari
Al-Qur’an secara obyektif. Dan hal ini dimulai dengan mengumpulkan semua
surat dan ayat yang ada di dalam Al-Qur’an ke dalam tema yang akan
dibahas.
2. Dalam memahami nas, yang terpenting adalah menyusun ayat-ayat sesuai
tertib nuzulnya untuk mengetahui situasi waktu dan tempatnya, seperti yang
diungkapkan oleh riwayat-riwayat asba>b al-nuzu>l sebagai konteks yang
menyertai turunnya ayat dengan berpegang pada keumuman lafadz, bukan
pada sebab khusus turunnya ayat (ibrah bi umu>m lafz}i la> bi h}us}us}
al-sabab). Asba>b al-nuzu>l hendaknya tidak dipandang sebagai penentu atau
alasan yang tanpanya suatu ayat tidak akan diturunkan.
3. Dalam memahami petunjuk lafal, Bint al-Sha>t}i’ menegaskan bahwa bahasa
Arab adalah bahasa Al-Qur’an. Maka untuk memahami arti kata-kata yang
termuat dalam Al-Qur’an harus dicari arti linguistik aslinya yang memiliki
rasa kearaban kata tersebut dalam berbagai penggunaan material dan
figuratifnya. Dengan demikian, makna Al-Qur’an diusut melalui
32
pengumpulan seluruh bentuk kata di daalam Al-Qur’an dan mempelajari
konteks spesifik kata itu dalam ayat-ayat dan surat-surat tertentu serta konteks
umumnya dalam Al-Qur’an.
4. Dalam memahami rahasia-rahasia ungkapan, Bint al-Sha>t}i’ mengikuti
konteks nash di dalam Al-Qur’an, baik berpegang pada makna nash maupun
semangatnya. Kemudian makna tersebut dikonfirmasikan dengan pendapat
para mufasir terdahulu untuk diuji dan disesuaikan dengan nash ayat. Seluruh
penafsiran yang berbentuk sektarian dan isra>iliyya>tharus ditinggalkan.
Lebih jelasnya, pertama, untuk mencapai makna makna yang tepat dari
kata-kata dan gaya pernyataan semaksimal mungkin dilakukan melalui studi-studi
literal dengan cermat. Bint al-Sha>t}i’ mengawali kegiatan penafsiran ini dengan
mengumpulkan semua ayat mengenai topik yang dibahas dengan menggunakan
pendekatan tematik. Kedua, guna memahami topik tertentu dalam Al-Qur’an
menurut konteksnya, ayat-ayat yang membahas topik ini disusun menurut tatanan
kronologis pewahyuan (tartib nuzulnya) sehingga keterangan mengenai wahyu
dan tempatnyadapat diketahui. Riwayat-riwayat yang berkaitan dengan asba>b
al-nuzu>l tetap perlu dipertimbangkan dengan catatan bahwa itu hanya merupakan
keterangan-keterangan kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat,
bukan tujuan atau sebab kenapa pewahyuan terjadi. Pentingnya pewahyuan
terletak pada generalitas kata-kata yang digunakan, bukan pada kekhususan sebab
peristiwa pewahyuan.
33
linguistik aslinya melalui bahasa Arab. Makna sebuah kosa kata Al-Qur’an
ditelusuri melalui seluruh bentuk kata di dalam Al-Qur’an dan mengkkaji konteks
spesifik kata itu. Dengan kata lain, Al-Qur’an memiliki peran utama sekaligus
menjadi standar untuk menilai berbagai pendapat dari para mufasir.
Keempat, untuk memahami persyataan yang sulit, naskah ditelaah baik secara tekstual maupun kontekstual. Disamping itu, pendapat-pendapat para
mufasir juga ditelaah berdasarkan petunjuk bayan Al-Qur’an. Bint al-Sha>t}i’
dalam tafsirnya, berupaya menghindari intervensi aneka ragam elemen dalam
Al-Qur’an dan mencoba mempertimbangkan penerapan teori kronologis dan konteks
historis dari ayat-ayat Al-Qur’an. Seluruh penafsiran yang bersifat sekterian dan
BAB IV
PENGAPLIKASIAN METODE PENAFSIRAN
BINT AL-SHA<T{I’
PADA SURAT
AL-TAKA<THUR
DAN ANALISISNYA
A. Pengaplikasian Metode Penafsiran Bint al-Sha>t}i’ pada Surat al-Taka<thur 1. Surat al-Taka<thur dan saba>b al-nuzu>lnya
ْٰﲪﱠﺮﻟا ِﷲا ِﻢْﺴِﺑ
ِﻢْﻴِﺣﱠﺮﻟا ِﻦ
ْٰﳍَا
ُﺮُـﺛﺎَﻜﱠﺘﻟا ُﻢُﻜ
)
۱
(
ّٰﱴَﺣ
ﺎَﻘَﻤْﻟا ُُﰎْرُز
َﺮِﺑ
)
۲
(
َنْﻮُﻤَﻠْﻌَـﺗ َفْﻮَﺳ ﱠﻼَﻛ
)
۳
(
ﱠُﰒ
َنْﻮُﻤَﻠْﻌَـﺗ َفْﻮَﺳ ﱠﻼَﻛ
)
٤
(
ِْﲔِﻘَﻴْﻟا َﻢْﻠِﻋ َنْﻮُﻤَﻠْﻌَـﺗْﻮَﻟ ﱠﻼَﻛ
)
٥
(
َﻢْﻴِﺤَْﳉا ﱠنُوَﺮَـﺘَﻟ
)
٦
(
ﱠُﰒ
ِْﲔِﻘَﻴْﻟا َْﲔَﻋ ﺎﱠُوَﺮَـﺘَﻟ
)
٧
(
ﱠُﰒ
ِﻢْﻴِﻌﱠﻨﻟا ِﻦَﻋ ٍﺬِﺌَﻣْﻮَـﻳ ﱠﻦُﻟَﺄْﺴُﺘَﻟ
)
۸
(
1Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur, janganlah begitu kelak kamu akan mengetahui (akibat dari perbuatan itu), dan janganlah begitu kelak kamu akan mengetahui, janganlah begitu jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yakin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).2
Ada dua pendapat mengenai saba>b al-nuzu>l dari surat al-Taka>thur ini.
Pertama, ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa turunnya ayat
al-Taka>thur ini berkenaan dengan dua kabilah (suku) dari penduduk Makkah,
yaitu Bani Sahm dan Bani ‘Abdi Manaf saling berbangga satu sama lain,
siapa di antara mereka yang lebih banyak jumlahmya. Ternyata Bani Abdi
Manaf lebih banyak jumlahnya, maka Bani Sahm mengatakan bahwa
1Al-Qur’an, 102: 1-8.
35
sesungguhnya kejahatan telah membinasakan kami pada masa jahiliyah, maka
hendaknya dihitung orang-orang yang masih hidup dan orang-orang yang
sudah mati. Dan mereka pun melakukan hal yang demikian, ternyata Bani
Abdul Manaf kalah jummlahnya dari Bani Sahm.3
Kedua, diriwayatkan oleh Ibn Abi> H{a>tim dari Abu> Buraidah, ia
berkata: “al-ha>kumu al-taka>thur turun berkenaan dengan dua kabilah dari
kaum Ans}a>r, yaitu Bani H{arithah dan Bani H{arth. Mereka saling
membanggakan kabilahnya masing-masing berkenaan dengan orang yang
mempunyai kedudukan atau orang besar di antara mereka. Sampai mereka
pergi ke pekuburan untuk bisa membanggakan orang yang paling besar dari
kabilah mereka.4 Riwayat yang kedua ini lebih shahih dibandingkan dengan
yang pertama, akan tetapi hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk
menyatakan bahwa surat al-Taka>thur turun di Madinah. Karena bisa saja
yang dimaksud dalam riwayat tersebut adalah bahwa kasus pada peristiwa itu
telah dicakup kandungannya dalam surat al-Taka>thur ini.5
2. Penafsiran surat al-Taka>thur
Surat ini termasuk Makiyyah, tanpa ada perselisihan di antara para
ulama, dan menurut yang masyhur, surat al-Taka>thur merupakan surat ke-16
di dalam tartib nuzu>l. Surat ini turun sesudah surat al-Kawthar. Sebagian
mufasir, seperti al-Ni>sa>bu>ri> menghubungkannya dengan surat al-Qa>ri’ah.
3A<ishah ‘Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>ti’, al-Tafsi>r al-Baya>ni li> al-Qur’a>n al-Kari>m Juz I (Kairo: Da>r al-Ma’ari>f, 1962), 199.
4Ahmad Must}afa al-Maraghi, Tafsi>r al-Maraghi Juz 30, terj. Bahrun Abu Bakar (Semarang: Toha Putra, 1993), 402.
36
Akan tetapi, al-Taka>thur sendiri turun tiga belas surat sebelum al-Qa>ri’ah
sehingga tidak ada alasan untuk menghubungkan keduanya kecuali pada
tertib letak keduanya di dalam mushaf dan suasana peringatan yang sangat
mendominasi. Meskipun demikian, banyak surat dan ayat yang mirip
dengannya dalam hal tersebut khususnya surat-surat yang memaparkan
keadaan-keadaan mengerikan pada hari kebangkitan, perhitungan dan
pembalasan.6
Surat al-Taka>thur ini dimulai dengan kalimat berita yang singkat:
ْٰﳍَا
ﱠﺘﻟا ُﻢُﻜ
ُﺮُـﺛﺎَﻜ
)
۱
(
ّٰﱴَﺣ
َﺮِﺑﺎَﻘَﻤْﻟا ُُﰎْرُز
)
۲
(
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam
kubur.
Bint al-Sha>t}i’ mengutip sebuah pendapat dikemukakan Al-Ra>zi>, yang
menganggap bahwa bentuk kalimat dari kedua ayat di atas sebagai bentuk
istifha>m (pertanyaan) dengan makna taubi>kh (celaan) dan taqri>’ (cercaan).7
Namun Bint al-Sha>t}i’ tidak sependapat dengannya, menurutnya kalimat
berita lebih mengena, lebih mengesankan dan menyimpan ancaman. Kalimat
itu seperti saksi bahwa kelalaian dan bermegah-megahan merupakan
kenyataan sebagian orang sehingga kalimat tersebut bukan kalimat istifha>m,
melainkan penjelasan tentang apa yang ada di balik bermegah-megahan yang
merugikan dan telah melalaikan.8
6Bint al-Sha>ti’, al-Tafsi>r al-Baya>ni...., 195.
7Muh}ammad Fakhr Di>n Ra>zi>, Tafsi>r Fakhr Ra>zi> Mushtahir bi Tafsi>r al-Kabi>r wa Mafa>ti>h} al-Ghai>b Juz 32 (Bairut: Da>r al-Fikr, 1981), 76.
37
Al-lahwu menurut bahasa adalah apa yang melalaikan manusia. Asal
penggunaan dari al-lahwah yaitu apa yang dilemparkan penggiling ke mulut
penggilingan dan menyibukkannya sehingga ia tidak berputar.9
Di dalam Al-Qur’an, al-lahwu bukan sinonim dari al-mushghilah
(yang menyibukkan), karena al-shughl (kesibukan) artinya bisa bermanfaat
dan tidak bermanfaat. Al-Ra>ghib memaknai al-lahwu di dalam surat
al-Taka>thur sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat, dia memilihnya sebagai
kesibukan. Sedangkan al-Ra>zi memaknainya dengan al-ilha’, yaitu menuruti
dorongan hawa nafsu.10 Abu> Hila>l al-‘Askari menulis di dalam Faru>q
al-Lughawiyyah, al-lahwu adalah al-la’ib (mainan) dan amainan kadang tidak
melalaikan.
Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa al-lahwu kadang bukan mainan.
Al-lahwu selalu diikuti al-la’ib atau sebaliknya, seperti dalam ayat-ayat berikut:
ٰﻴَْﳊا ﺎَﻣَو
ٌﻮَْﳍَو ٌﺐِﻌَﻟ ﱠﻻِإ ﺎَﻴْـﻧﱡﺪﻟا ُةﻮ
Dan tidaklah kehidupan di dunia ini melainkan main-main dan senda gurau
belaka (QS. Al-An’a>m [6]: 32).11
ٰﻫﺎَﻣَو
ٰﻴَْﳊا ِﻩِﺬ
ٌﻮَْﳍَو ٌﺐِﻌَﻟ ﱠﻻِإ ﺎَﻴْـﻧﱡﺪﻟا ُةﻮ
Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main
(QS. Al-Ankabut [29]: 64).12
َْﳊا ﺎَﱠﳕِإ
ٰﻴ
ٌﻮَْﳍَو ٌﺐِﻌَﻟ ﺎَﻴْـﻧﱡﺪﻟا ُةﻮ
9Ibid, 195.
38
Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanya permainan dan senda gurau (QS.
Muhammad [47]: 36).13
ٰﻴَْﳊا ﺎَﱠﳕَأ اُﻮُﻤَﻠْﻋِإ
ٌﻮَْﳍَو ٌﺐِﻌَﻟ ﺎَﻴْـﻧﱡﺪﻟا ُةﻮ
Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan
dan suatu yang melalaikan (QS. Al-Hadi>d [57]: 20).14
Al-lahwu adalah kesibukan yang tidak bermanfaat, baik terjadi hanya
karena main-main atau tidak.15 Misalnya, al-lahwu disebabkan karena orang:
ﻰَﻌْﺴَﻳ َكَءﺎَﺟ ْﻦَﻣ ﺎﱠﻣَأَو
)
۸
(
ﻰَﺸَْﳜ َﻮُﻫَو
)
٩
(
ﻰﱠﻬَﻠَـﺗ ُﻪْﻨَﻋ َﺖْﻧَﺎَﻓ
)
۱۰
(
Dan adapun orang yang datang kepadamu kepadamu dengan bersegera
(untuk mendapatkan pengajaran). Sedang dia takut (kepada Allah). Maka engkau
mengabaikannya (QS. ‘Abasa [80]: 8-10).16
Atau harta dan anak-anak:
ٰا َﻦْﻳِﺬﱠﻟا ﺎَﻬﱡـﻳَأﺎَﻳ
ِﷲاِﺮْﻛِذ ْﻦَﻋ ْﻢُﻛُدَﻻْوَأ َﻻَو ْﻢُﻜُﻟاَﻮْﻣَأ ْﻢُﻜِﻬْﻠُـﺗَﻻ اْﻮُـﻨَﻣ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan
anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah (QS. Al-Muna>fiqu>n [63]: 9).17
Atau perniagaan atau jual beli:
ِﷲاِﺮْﻛِذ ْﻦَﻋ ٌﻊْﻴَـﺑَﻻَو ٌةَرﺎَِﲡ ْﻢِﻬْﻴِﻬْﻠُـﺗَﻻ ٌلﺎَﺟِر
Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual
beli untuk mengingat Allah (QS. Al-Nu>r [24]: 37).18
13Ibid, 510.
14Ibid, 540.
15Bint al-Sha>ti’, al-Tafsi>r al-Baya>ni...., 196.
16Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an..., 585. 17Ibid, 555.
39
Atau angan-angan:
َنْﻮُﻠَﻤْﻌَـﻳ َفْﻮَﺴَﻓ ُﻞَﻣَﻷا ُﻢِﻬِﻬْﻠُـﻳَو اْﻮُﻌﱠـﺘَﻤَﺘَـﻳَو اْﻮُﻠُﻛْﺄَﻳ ْﻢُﻫْرَذ
Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan
dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui
(akibat perbuatan mereka) (QS. Al-H{ijr [15]: 3).
Menurut Bint al-Sha>t}i’, kelalaian di dalam surat al-Taka>thur karena
berlebih-lebihan. Secara bahasa, ia adalah interaksi dari al-kathrah (banyak),
lawan dari al-qillah (sedikit) dan bertambahnya jumlah. Pendapat al-Ra>ghib
di dalam al-Mufrada>t mengatakan bahwa al-qillah dan al-kathrah digunakan
untuk kuantitas terperinci, seperti bilangan. Sebagaimana al-iz}am (besar) dan
al-s}ighar (kecil) yang digunakan bagi tubuh.19
Al-dhillah (kehinaan) disejajarkan dengan al-qillah (sedikit), begitu
pun dengan al-‘izzah (kemuliaan) disejajarkan dengan al-kathrah (banyak).
ِﺮِﺛﺎَﻜْﻠِﻟ ُةﱠﺰِﻌْﻟا ﺎَﱠﳕِإَو
Sesungguhnya kemuliaan itu bagi yang banyak (harta)
Dan dalam firman Allah:
ْﻢُﻛَﺮﱠـﺜَﻜَﻓ ًﻼْﻴِﻠَﻗ ْﻢُﺘْﻨُﻛْذِإ اْوُﺮُﻛْذَو
Dan ingatlah kamu ketika jumlah kamu dahulu sedikit, lalu Allah
memperbanyak jumlah kamu (QS. Al-A’ra>f [7]: 86).
Al-Taka>thur termuat di dalam Al-Qur’an sebanyak dua kali yaitu
alha>kumu al-taka>thur pada surat al-Taka>thur dan ayat pada surat al-H{adi>d:20
40
ٰﻴَْﳊا ﺎَﱠﳕَأ اْﻮُﻤَﻠْﻋِإ
ِدَﻻْوَْﻷاَو ِلاَﻮْﻣَﻷا ِﰱ ٌﺮُـﺛﺎَﻜَﺗَو ْﻢُﻜَﻨْـﻴَـﺑ ُﺮُﺧﺎَﻔَـﺗَو ٌﺔَﻨْـﻳِزَو ٌﻮَْﳍَو ٌﺐِﻌَﻟ ﺎَﻴْـﻧﱡﺪﻟا ُةﻮ
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dun