• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENINJAU KONSISTENSI PENERAPAN METODE TAFSIR BINT AL-SYĀTHI TERHADAP PENAFSIRAN Q.S. AL- NĀZI ĀT (81): 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENINJAU KONSISTENSI PENERAPAN METODE TAFSIR BINT AL-SYĀTHI TERHADAP PENAFSIRAN Q.S. AL- NĀZI ĀT (81): 1"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal At-Tahfizh: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 44 Vol. 2 No. 01 Juli-Desember 2020

MENINJAU KONSISTENSI PENERAPAN METODE TAFSIR

BINT SYĀTHI’ TERHADAP PENAFSIRAN Q.S.

AL-NĀZI’ĀT (81): 1

Hamdi Putra Ahmad

Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga e-mail: [email protected]

ABSTRACT

With an educational background in Arabic Linguistics and Literature, Bint al-Syāthi’ has revealed that al-Qur'an is the core of the unity of intuition possessed by various nations who make Arabic as their language. The basic premise is that the Qur'an must be comprehended objectively as it was first revealed. To find this objective meaning, Bint al-Syāthi’ based her analysis on literary and historical aspects (based on asbāb al-nuzūl). Her book, entitled al-Tafsīr al-Bayānī li al-Qur'ān al-Karīm covers some of Bint al-Syāthi’s commentary on a number of short surahs in the al-Qur'an as a representation of the method she introduced. Through a critical analysis of the application of literary-historical based interpretation method by Bint al-Syāthi’ on Q.S. al-Nāzi'āt (81): 1, this paper will reveal whether Bint al-Syāthi’ succeeded in applying the method of interpretation which she claimed to be completely objective in this verse or not. The results of this study will lead to a critical review of the application of the historical-literary-based interpretation method Bint al-Syāthi’ to other surahs in the al-Qur'an. In fact, furthermore, the emergence of improvements to the method of interpretation formulated by Bint al-Syāthi’ itself as well as other historical literary-based interpretation methods in general.

Keywords: Bintu al-Syāthi’, Q.S. Al-Nāzi’āt (81): 1, consistency, tafsir method,

(2)

Jurnal At-Tahfizh: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 45 Vol. 2 No. 01 Juli-Desember 2020

ABSTRAK

Berlatar pendidikan Ilmu Kebahasaan dan Sastra Arab, Bint al-Syāthi’ mengungkapkan bahwa al-Qur’an adalah inti dari kesatuan rasa dan intuisi yang dimiliki oleh berbagai bangsa yang menjadikan Bahasa Arab sebagai bahasanya. Pijakan dasarnya adalah bahwa al-Qur’an harus dipahami secara obyektif sebagaimana ia pertama kali diturunkan. Untuk menemukan pemaknaan obyektif tersebut, Bint al-Syāthi’ mendasarkan analisisnya pada aspek sastra dan historis (berbasis asbāb Nuzūl). Bukunya yang berjudul Tafsīr Bayāni li Qur’ān Karīm mencakup sebagian produk tafsir Bint Syāthi’ atas sejumlah surat pendek di dalam al-Qur’an sebagai representasi atas metode yang ia perkenalkan. Melalui analisis kritis terhadap penerapan metode tafsir berbasis sastra-historis oleh Bint al-Syāthi’ atas Q.S. al-Nāzi’āt (81): 1, tulisan ini akan menungkap apakah Bint al-Syāthi’ berhasil menerapkan metode tafsir yang ia klaim obyektif itu secara semupurna terhadap ayat ini atau tidak. Hasil dari penelitian ini akan mengantarkan kepada tinjauan kritis atas penerapan metode tafsir berbasis sastra-historis Bint al-Syāthi’ terhadap surat-surat lain di dalam al-Qur’an. Bahkan, lebih jauh lagi, munculnya penyempurnaan atas metode tafsir yang dirumuskan oleh Bint al-Syāthi’ itu sendiri maupun metode tafsir berbasis sastra-historis lain secara umum.

(3)

Jurnal At-Tahfizh: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 46 Vol. 2 No. 01 Juli-Desember 2020

Pendahuluan

Selalu muncul ide-ide dan perspektif baru dalam ranah penafsiran al-Qur‘an dari masa ke masa. Semenjak awal kemunculannya, al-Qur‘an telah menarik perhatian milyaran umat manusia dari berbagai latar belakang budaya dan sosial.1 Terlebih posisinya sebagai kitab suci dalam agama Islam, tentunya setiap orang terutama dari kalangan muslim akan berupaya untuk menggali makna al-Qur‘an guna memperoleh petunjuk darinya.

Eksistensi dan otentisitas al-Qur‘an yang terjaga hingga saat ini telah melahirkan banyak pemikir dan penafsir dengan latar belakang yang beragam. Salah satu dari sekian banyak penafsir yang telah ikut memberikan kontribusi nyata dalam ranah penafsiran terhadap kitab suci umat Islam ini adalah seorang wanita bernama Bint al-Syāthi‘ yang telah memberikan cara pandang baru dalam menafsirkan al-Qur‘an.

Melalui penelitian ini penulis akan mengkaji terkait konsistensi penerapan metode tafsir yang telah dirumuskan Bint al-Syāthi‘ dalam Q.S al-Nāzi‘āt (87): 7. Adapun alasan penulis memilih penafsiran Bint al-Syāthi‘ dalam Q.S. al-Nāzi‘āt (81): 1 adalah karena kosa kata yang terdapat dalam ayat ini dapat dikatakan ―asing‖, sehingga hal ini memungkinkan tercakupnya seluruh aspek motodis yang dirumuskan oleh Bint Syāthi‘ dalam penafsirannya terhadap al-Qur‘an.

Pembahasan

A. Bintu al-Syāthi‘ dan Perjalanan Akademiknya

Dr. ‗Aisyah ‗Abd al-Raḥmān, yang dikenal luas dengan nama samarannya Bint al-Syāthi‘, dilahirkan di Dumyat, wilayah di sebelah barat Delta Nil. Nama itu diambil karena memang dia lahir dan dibesarkan di tepian sungai Nil yang jika diartikan maka perpaduan dari kata bint dan syāthi‟ bermakna perempuan pinggir (sungai).2

Bint al-Syāthi‘ tumbuh dewasa di tengah sebuah

1 Sabagaimana yang ditekankan oleh Nicolai Sinai dan Angelika Neuwirth bahwa tidak hanya peneliti

al-Qur‘an saja, namun berbagai media di dunia saat ini menjadi sangat tertarik untuk membaca al-al-Qur‘an dari berbagai sudut pandang, baik dari segi asal muasal kemunculannya hingga penafsiran atasnya. Lihat: Nicolai Sinai dan Angelika Neuwirth, ―Introduction‖, The Qur‟an in Context: Historical and Literary Investigations into the Qur‟anic Milieu, (Leiden: Brill, 2010), hlm 1.

2 M. Yusron, “Mengenal Pemikiran bint al-Syati‘ tentang al-Qur‘an” dalam Studi Tafsir Kontemporer,

(4)

Jurnal At-Tahfizh: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 47 Vol. 2 No. 01 Juli-Desember 2020

keluarga Muslim yang shaleh.3 Ia menyelesaikan jenjang Pendidikan tingginya di Universitas Fuad I, Kairo. Ia memperoleh gelar doktor pada tahun 1950 dengan sebuah karya disertasi yang membahas tentang syair Abū al-A‘lā al-Ma‘ārrī.4

Ia merupakan Guru Besar sastra dan Bahasa Arab di Universitas ‗Ayn al-Syams, Mesir. Bahkan terkadang ia menjadi guru tamu pada universitas-universitas ternama di berbagai penjuru dunia seperti Universitas Islam Umm Durman, Sudan dan Universitas Qarawiyyin, Maroko, serta dalam banyak kesempatan ia juga diundang untuk mengisi ceramah kepada para sarjana di Roma, Aljazair, New Delhi, Baghdad, Kuwait, Yerusalem, Rebet, Fez, dan Khartoum.5 Sebagai seorang akademisi wanita yang dipandang memiliki pemikiran yang konservatif, Bint al-Syāthi‘ memiliki daya tarik tersendiri dalam hal kemampuan pengekspresian diri yang kuat dan artikulatif, yang diilhami oleh nilai-nilai Islam dan informasi pengetahuan yang luas.6

Kajian-kajiannya yang telah dipublikasikan meliputi studinya mengenai Abū A‘lā al-Ma‘ārrī, al-Khansa‘, biografi ibunda Nabi Muhammad, istri-istri Nabi Muhammad, cucu-cucu dan buyut perempuan beliau, monografi-monografi dan cerita-cerita pembebasan perempuan dalam pemahaman Islam, serta karya-karya kesejarahan lain yang berkaitan dengan kehidupan di masa Nabi Muhammad. Ia juga telah menulis mengenai isu-isu mutakhir di dunia Arab, seperti tentang nilai dan otoritas masa kini sebagai warisan budaya masa lampau, tentang Bahasa Arab di dunia modern yang sedang berubah, dan tentang dimensi-dimensi sejarah intelektual perjuangan orang-orang melawan imperialism Barat dan Zionisme.7

Bint al-Syāthi‘ merupakan seorang figur yang sangat produktif dalam menghasilkan karya-karya tulisan, terbukti dengan banyaknya buku yang telah ia karang dalam berbagai cabang keilmuan, seperti keilmuan al-Qur‘an, kritik sastra, femeinisme, sejarah, autobiografi, dan tulisan bebas lainnya. Menurut Muhammad Amin dan Hoffman Ladd, Bint al-Syāthi‘ telah menulis lebih dari 60 buku dalam lingkup keilmuan di atas. Abāzā al-Shabī‘i mengklasifikasikan buku

3 Issa J. Boullata, ―Modern Qur‘anic Exegesis: A Study of Bint al-Shati‘s Method,‖ dalam Tafsir

Bintusy-Syathi‟ , terj. Ihsan Ali Fauzi, (Bandung: Mizan, 1996), hlm.11.

4 Sahiron Syamsuddin, Tafsir Studies, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2009), hlm. 71. 5

M. Yusron, “Mengenal Pemikiran bint al-Syati‘ tentang al-Qur‘an” dalam Studi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: Teras 2006), hlm. 24.

6 Issa J. Boullata, ―Modern Qur‘anic Exegesis: A Study of Bint al-Shati‘s Method,‖ dalam Tafsir

Bintusy-Syathi‟ , terj. Ihsan Ali Fauzi, (Bandung: Mizan, 1996), hlm.11.

7

(5)

Jurnal At-Tahfizh: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 48 Vol. 2 No. 01 Juli-Desember 2020

karangan Bint al-Syāthi‘ ke dalam dua kategori, yaitu: (1) Kajian yang berkaitan dengan keilmuan al-Qur‘an; dan (2) Kajian-kajian lain yang bersifat umum.8 Berikut adalah diantara buku-buku umum yang telah ia publikasikan:9 Al-Hayāh al-Insāniyyah „inda Abī al-A‟lā, Risālah al-Ghufrān li Abī al-A‟lā, Al-Ghufrān li Abī al-A‟lā al-Ma‟arrī, „Ardh al-Mu‟jizāt, Riḥlah fī Jazīrah „Arab, Nisā‟ Nabiyy, Umm Nabiyy, Sukaynah bint Husain, dan Bayn al-„Aqīdah wa al-Ikhtiyār.

Sementara itu, buku-bukunya yang berkaitan dengan kajian-kajian al-Qur‘an mencakup judul-judul berikut: Al-Tafsīr Bayānī li Qur‟ān Karīm, Kitābunā Akbar, Maqāl fī Insān, Al-Qur‟ān wa Tafsīr „Aṣriy, Al-I‟jāz Bayānī li Qur‟ān, dan Al-Syakhṣiyyah al-Islāmiyyah.

Di antara buku-buku di atas, salah satu buku karangan Bint al-Syāthi‘ yang paling fenomenal dan banyak dijadikan obyek penelitian oleh para sarjana al-Qur‘an dan Tafsir di era kontemporer ini adalah Al-Tafsīr al-Bayānī li al-Qur‟ān al-Karīm. Di dalamnya terdapat penafsiran Bint al-Syāthi‘ terkait beberapa surat di dalam al-Qur‘an. Sebagai seorang sarjana yang bergelut di bidang sastra, Bint al-Syāthi‘ sering mengutip pandangan tokoh sastra Arab di dalam bukunya tersebut, sebut saja seperti Ragīb Aṣfahānī (pengarang kitab Mufradāt al-Qur‟ān) dan beberapa penafsir klasik yang juga berkutat di bidang lnguistik dan sastra seperti Fakhr Dīn Rāzī (pengarang kitab Mafātīḥ Gaīb), Zamakhsyari (pengarang kitab al-Kasysyāf), Abū Hayyān al-Andalūsī (pengarang kitab al-Baḥr al-Muḥith), dan Muḥammad ‗Abduh (pengarang kitab Tafsīr al-Manār).

B. Al-Qur‘an dan Tafsirnya dalam Pandangan Bint al-Syathi‘

Meskipun berlatar Pendidikan ilmu kebahasaan dan sastra Arab, Bint al-Syāthi‘ menaruh perhatian yang sangat besar terhadap al-Qur‘an beserta kajiannya. Ia menilai bahwa al-Qur‘an merupakan sebuah kitab suci yang dapat memberikan kepuasan kepada manusia, baik secara rasio maupun intuisi.10 Keindahan pengungkapan ayat-ayat al-Qur‘an diakuinya selalu menggiringnya kepada suatu rasa penasaran yang sangat mendalam setiap kali ia memperoleh

8

Sahiron Syamsuddin, An Examanation of Bint al-Shati‟s Method of Interpreting the Qur‟an, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999), hlm. 6.

9 Issa J. Boullata, ―Modern Qur‘anic Exegesis...Op.Cit., hlm. 10-11. 10

(6)

Jurnal At-Tahfizh: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 49 Vol. 2 No. 01 Juli-Desember 2020

ilmu baru yang berkaitan dengan Bahasa dan sastra. Menurutnya, gaya Bahasa dan sastra al-Qur‘an yang sangat tinggi itu merupakan salah satu faktor utama yang menjadi alasan mengapa orang-orang Arab (yang terkenal dengan keindahan syair-syairnya) pada masa Nabi merasa diletihkan oleh tuntutan al-Qur‘an untuk mendatangkan satu surah yang semisal dengannya.11 Dan terbukti bahwa mereka tidak mampu untuk mewujudkannya sehingga mereka pun beriman terhadap kenabian Muhammad SAW.12

Bint al-Syāthi‘ mengungkapkan bahwa al-Qur‘an adalah inti dari kesatuan rasa dan intuisi yang dimiliki oleh berbagai bangsa yang menjadikan Bahasa Arab sebagai bahasanya. Meskipun terdapat banyak dialek lokal, tempramen yang berbeda-beda, dan gaya bahasa yang khas dalam segi tutur, al-Qur‘an tetap memiliki orisinalitas yang jernih. Ia adalah kitab yang lurus, diterima oleh seluruh bangsa yang berbahasa Arab dengan berbagai dialeg, wilayah, dan pengaruh yang beragam yang dipengaruhi oleh faktor lokalitas. Lebih dari itu, mereka juga menerimanya sebagai kitab akidah, syariat, dan jalan hidup. Bint al-Syāthi‘ juga menyebutkan bahwa selama ini banyak penafsir yang terbelenggu dengan keyakinan-keyakinan sektarianisme yang melingkupi kehidupannya, sehingga pemahamannya terhadap al-Qur‘an menjadi tidak obyektif dan lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal dan kepentingan-kepentingan subyektif yang sama sekali bertentangan dengan maksud al-Qur‘an secara orisinal. Itulah alasan mengapa ia menaruh perhatian yang sangat besar terhadap aspek-aspek linguistik dan historisitas al-Qur‘an.

C. Standar dan Metode Penafsiran Bint al-Syāthi‘

Meskipun ia merupakan seorang sarjana di bidang sastra, namun perhatian Bint Bint al-Syāthi‘ terhadap kajian al-Qur‘an dan tafsir sangatlah besar. Bahkan hal tersebut berhasil ia aplikasikan dengan mengarang beberapa kitab tafsir seperti Al-Tafsīr Bayānī li Qur‟ān al-Karīm yang terangkum dalam dua jilid. Bint al-Syāthi‘ memiliki kriteria dan pandangan tersendiri dalam menafsirkan ayat-ayat Qur‘an. Ia menyatakan bahwa dalam menafsirkan

11 Hal ini agaknya senada dengan keterangan dalam sebuah prosa Arab yang ditulis oleh Tāhā Husayn yang

menerangkan bahwa keunikan bahasa al-Qur‘an dapat dilihat dari dua aspek, yaitu struktur literal (literary structure) dan asal mulanya (provenance). Struktur literal mencakup permainan rima dan bunyi di setiap ayat serta irama unik dari setiap katanya. Adapun aspek asal muasalnya adalah pernyataan al-Qur‘an yang mengatakan bahwa ia berasalh dari Zat yang Tunggal lagi Bijaksana. Lihat: Issa J. Boullata, Literary Structures of Religious Meaning in the Qur‟an, (New York: Routledge, 2000), hlm. Ix.

12 Bint al-Syāthi‘, Al-Tafsir al-Bayani li al-Qur‟an al-Karim, terj. Mudzakkir Abdussalam, (Bandung: Mizan,

(7)

Jurnal At-Tahfizh: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 50 Vol. 2 No. 01 Juli-Desember 2020

Qur‘an ia selalu berusaha untuk menjiwai setiap untaian katanya dengan metode yang akurat dan obyektif, yang melampaui tirai sektarinisme dan cita rasa yang asing, lalu memasuki ranah esensi dan puncak kejernihan al-Qur‘an dalam bentuk orisinal nya.13 Pijakan dasarnya adalah bahwa al-Qur‘an harus dipahami secara obyektif, sebagaimana ia pertama kali diturunkan. Untuk menemukan pemaknaan obyektif tersebut Bint al-Syāthi‘ mendasarkan analisisnya pada aspek sastra dan historis yang berbasis asbāb al-Nuzūl14. Adapun urutan surat yang ia tafsirkan secara kronologis hanya berisi 17 surat, di mana pada jilid 1 berisi 8 surat dan pada jilid 2 berisi 9 surat, di awali dengan QS. al-Dhūḥā dan ditutup dengan QS. al-Mā‗ūn. 15

Secara jujur ia mengakui bahwa metode yang ia gunakan dalam menafsirkan al-Qur‘an diperolehnya dari guru besarnya di Universitas Fuad I, yang selanjutnya menjadi suaminya, yakni Amīn al-Khūli (w. 1966)16

. Bint al-Syāthi‘ mengiskhtisarakan prinsip-prinsip itu sebagaimana yang ditulis oleh Amīn al-Khūlī di dalam bukunya “Manāhij al-Tajdīd” ke dalam empat butir:17

Pertama, metode dasarnya adalah untuk memahami al-Qur‘an secara obyektif, dan hal ini dimulai dengan cara mengumpulkan seluruh ayat dan surah mengenai tema yang akan dipelajari.

Kedua, untuk dapat memahami suatu gagasan yang terkandung di dalam al-Qur‘an menurut konteksnya, maka ayat-ayat di sekitar gagasan itu harus disusun menurut tatanan kronologis pewahyuannya, sehingga keterangan-keterangan mengenai wahyu dan tempat ia diturunkan dapat diketahui. Riwayat-riwayat tradisional mengenai ―peristiwa pewahyuan‖ dipandang sebagai sesuatu yang perlu dipertimbangkan hanya sejauh dan dalam pengertian

13 Bint al-Syāthi‘, Al-Tafsir al-Bayani li al-Qur‟an al-Karim, terj. Mudzakkir Abdussalam, (Bandung: Mizan,

1996), hlm. 35.

14 Asbab al-Nuzul sendiri dapat dikategorikan kepada dua jenis, yaitu mikro dan makro. Lihat: Muammar Zain

Qadafy, Buku Pintar Sababun Nuzul dari Mikro hingga Makro, (Yogyakarta: 2015). Menurut Andrew Rippin, asbab nuzul mikro dapat didefinisikan sebagai riwayat-riwayat yang sebagian besarnya diperoleh dari para sahabat Nabi yang berisi pejelasan detail tentang waktu, tempat, dan kondisi saat bagian al-Qur‘an diwahyukan. Lihat: Andrew Rippin, ―Occasions of Revelation,‖ dalam J. D. McAuliffe (ed.) Encyclopedia of the Qur‟an (Leiden: E.J. Brill, 2003), 3, hlm. 569. Sedangkan asbab nuzul makro, sebagaimana dikutip dari al-Diwlahi, merupakan segaladata dan keterangan mengenai kondisi di sekitar wilayah turunnya al-Qur‘an yang memperoleh respon dari al-Qur‘an. Lihat: Waliyullah al-Dihlawi, al-Fauz al-Kabīr fī Ushūl al-Tafsīr, (Kairo: Dār al-Syahwah, 1987), hlm. 31.

15 Lihat ‗A‘isyah ‗Abd Raḥmān bint Syāthi‘, Al-Tafsīr Bayānī li Qur‟ān Karīm, (Kairo: Dār

al-Ma‘ārif, 1990). Hal. 10.

16 Di dalam bukunya Manāhij al-Tajdīd fi al-Naḥw wa al-Balāghah wa al-Tafsīr wa al-Adab, Amīn al-Khūli

mendasarkan sumber data penafsiran yang dianggapnya ―obyektif‖ kepada dua hal, yaitu dirāsah mā ḥaul al-Qur‟ān (apa yang ada di sekitar Qur‘an) dan dirāsah mā fi Qur‟ān (apa yang ada di dalam Qur‘an). Lihat: Amīn al-Khūli, Manāhij al-Tajdīd fī al-Naḥw wa al-Balāghah wa al-Tafsīr wa al-Adab, (Ttp: Dār al-Ma‘rifah, 1961), hlm. 307

17

(8)

Jurnal At-Tahfizh: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 51 Vol. 2 No. 01 Juli-Desember 2020

bahwa peristiwa-peristiwa itu merupakan keterangan-keterangan kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat, sebab peristiwa-peristiwa itu bukanlah tujuan atau sebab (syarat mutlak) mengapa pewahyuan terjadi. Pentingnya pewahyuan terletak pada generalitas kata-kata yang digunakan, bukan pada kekhususan peristiwa pewahyuannya.

Ketiga, sebagai Bahasa yang digunakan oleh al-Qur‘an, maka Bahasa Arab menjadi sesuatu yang penting untuk dipelajari secara mendalam guna memahami arti kata-kata yang termuat di dalamnya. Hal itu harus dilakukan dengan cara mencari arti linguistic aslinya (meliputi leksikal, sintaksis, gramatikal, dan sebagainya) dalam berbagai penggunaan material maupun figuratifnya. Dengan demikian makna al-Qur‘an diusut melalui pengumpulan seluruh bentuk kata di dalam al-Qur‘an, dan mempelajari konteks spesifik kata itu dalam ayat-ayat dan surah-surah tertentu serta konteks umumnya dalam al-Qur‘an.

Keempat, ketika hendak memahami pernyataan-pernyataan yang sulit (asrār al-ta‟bīr), naskah yang ada dalam susunan al-Qur‘an harus dipelajari untuk mengetahui kemungkinan maksudnya. Baik bentuk lahir maupun semangat teks itu harus diperhatikan. Apa yang telah dikatakan oleh penafsir, dengan demikian, diuji kaitannya dengan naskah yang sedang dipelajari, dan hanya sejalan dengan naskah yang diterima. Seluruh penafsiran yang bersifat sektarian dan israiliyat yang mengacukan, yang biasanya dipaksakan masuk ke dalam tafsir al-Qur‘an, harus disingkirkan. Dengan cara yang sama, penggunaan tata-bahasa dan retorika dalam al-Qur‘an harus dipandang sebagai kriteria yang dengannya kaidah-kaidah para ahli tata bahasa harus dinilai, bukan sebaliknya. Sebab bagi kebanyakan ahli, bahasa Arab merupakan hasil capaian dan bukan bersifat ilmiah.

Dari empat standarisasi penafsiran yang digariskan oleh Bintu al-Syathi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa setidaknya terdapat tiga tahapan yang harus dilalui seorang penafsir dalam mengaplikasikan teori di atas, yaitu; pertama dengan mengungkap makna leksikal (makna dasar) dari setiap kosakata dalam al-Qur‘an; kedua dengan melibatkan seluruh ayat al-Qur‘an yang memiliki keterkaitan dengan persoalan yang tengah dikaji; dan ketiga dengan melacak keberadaan al-siyāq al-khashsh dan al-siyāq al-„ām guna mengetahui makna gramatikal dari sebuah kata dalam al-Qur‘an.18

18 Sahiron Syamsuddin, An Examanation of Bint al-Shati‟s Method of Interpreting the Qur‟an, (Yogyakarta:

(9)

Jurnal At-Tahfizh: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 52 Vol. 2 No. 01 Juli-Desember 2020

Setidaknya terdapat dua manfaat secara hermeneutis (hermeneutical advantages) yang dapat diperoleh dalam proses memahami al-Qur‘an menggunakan metode yang dirumuskan oleh Bint al-Syāthi‘ di atas –sebagaimana yang dijelaskan Dr. Sahiron Syamsuddin di dalam bukunya An Examination of Bint al-Shati‟s Method of Interpreting the Qur‟an— yaitu; pertama, bahwa dengan menerapkan metode ini, seorang penafsir akan mampu mengungkap makna dasar dari setiap kosakata di dalam al-Qur‘an (originally intended meaning of the Qur‟anic words) beserta prinsip-prinsip dasar yang dimiliki al-Qur‘an (originally intended Qur‟anic principles); kedua, bahwa metode di atas dapat mengarahkan seorang penafsir untuk memahami aspek pemaknaan retorika al-Qur‘an, dimana tidak akan didapati satu kata atau huruf pun yang bisa menggantikan kata yang lain dengan makna yang persis sama.19

D. Analisis Konsistensi Metode Penafsiran Bint al-Syāthi‘ dalam Q.S. al-Nāzi‘āt (81): 1

Dalam menafsirkan al-Qur‘an, Bint al-Syāthi‘ sebagaimana yang ia kutip dari pendapat gurunya Amin al-Khūlī menawarkan empat standar yang harus diperhatikan oleh seorang penafsir dalam mengungkap makna orisinal al-Qur‘an. Maka dalam sub-bab ini penulis akan melakukan analisis terhadap penafsiran Bint al-Syāthi‘ terkait Q.S. al-Nāzi‘āt (81): 1 yang ditulis di dalam bukunya al-Tafsīr al-Bayānī li al-Qur‟ān al-Karīm sekaligus meninjau sejauh mana konsistensi Bint al-Syāthi‘ dalam menerapkan metode-metode yang telah ia rumuskan tersebut ketika menafsirkan ayat ini.

1. Lafaz Q.S. al-Nāzi‘āt (81): 1:

اًق ْرَغ ِتاَعِزاَّنلاَو

2. Analisis penerapan metode:

a. Mengungkap makna leksikal (makna dasar) dari setiap kosakata dalam al-Qur‘an

Terkait pemaknaan kosa kata secara leksikal yang terdapat dalam Q.S. al-Nāzi‘āt (81): 1 di atas, Bint al-Syāthi‘ membaginya ke dalam tiga pembahasan, yaitu: (a) huruf waw; (b) al-nāzi‟āt; dan (c) gharqan.

19 Sahiron Syamsuddin, An Examanation of Bint al-Shati‟s Method of Interpreting the Qur‟an, (Yogyakarta:

(10)

Jurnal At-Tahfizh: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 53 Vol. 2 No. 01 Juli-Desember 2020

1) Dalam menjabarkan makna leksikal dari huruf waw pada ayat ini, Bint al-Syāthi‘ menjelaskan sebagai berikut:20

―dengan menelaah surat-surat yang diawali dengan huruf waw al-qasm (waw untuk menyatakan kesungguhan dan sumpah), jelaslah bagi kita bahwa al-Qur‘an sering mengalihkan fungsi sebenarnya dari sumpah (dimana biasanya sesuatu yang dijadikan obyek untuk bersumpah itu adalah hal yang mulia seperti Tuhan). Namun dalam banyak kasus pada al-Qur‘an malah yang dijadikan obyek untuk bersumpah adalah hal-hal kecil yang bersifat materialistik dan terindera.‖

Pada kutipan pernyataannya di atas kita dapat melihat bahwa Bint al-Syāthi‘ menerangkan fungsi dari waw al-qasm dengan sangat singkat. Menurut hemat penulis, hal ini ia lakukan dalam rangka efensiasi, karena penjelasan mengenai waw qasm itu sendiri telah dijelaskan secara lebih mendetail pada penafsiran surat-surat sebelumnya, yaitu pada surat al-Dhuḥā yang menempati urutan pertama dalam bukunya.21 Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa dalam hali ini Bintu al-Syathi telah menerapkan metode tafsirnya dengan baik, dan penjelasan yang sedikit tadi sama sekali tidak mengurangi konsistensinya dalam menerapkan metode tafsir yang telah ia rumuskan.

2) Dalam menjabarkan makna leksikal dari kata al-nāzi‟āt, Bint al-Syāthi‘ menjelaskan sebagai berikut:22

―kata al-naz‟u yang merupakan bentuk asal dari al-nāzi‟āt secara bahasa memiliki arti menarik, menyeret, dan mencabut. Dari kata tersebut kemudian muncul kata al-munāza‟ah yang berarti tarik-menarik dalam permusuhan.‖

Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Bint al-Syāthi‘ telah menerapkan metode ini dalam menafsirkan arti kata al-nāzi‟āt secara leksikal, meskipun hanya sekilas saja.

20

Bint al-Syāthi‘, Al-Tafsīr al-Bayānī li al-Qur‟ān al-Karīm, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1990), vol. 1, hlm. 124.

21

Penjelasan yang lebih detail terkait makna dan fungsi waw al-qasm secara leksikal dapat dilihat pada tafsir surat al-Dhuha: Bint al-Syāthi‘, Al-Tafsīr al-Bayāni li al-Qur‟ān al-Karīm, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1990), vol. 1, hlm. 25-26.

22

(11)

Jurnal At-Tahfizh: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 54 Vol. 2 No. 01 Juli-Desember 2020

3) Dalam menafsirkan kata gharqan, Bint al-Syāthi‘ menjelaskan sebagai berikut:23 ―Al-Gharq menurut asalnya berarti masuk ke dalam air. Ia sering digunakan secara majazi dengan maksud bencana dan nikmat. Misalnya dikatakan aghraqa al-nazi‟u fi al-qausi yang berarti orang yang melepaskan panah membentangkan busurnya dengan kuat. Ightaraqa al-farasu al-khailā yang berarti kuda berpacu dengan kuda (yang lain) kemudian ia menang. Dan imra‟atun taghtariqu nazharahum yang berarti mereka disibukkan dengan memandangi seorang wanita dan mengabaika (wanita yang lain) disebabkan kecantikannya.‖

Kutipan di atas menjelaskan secara cukup detail terkait makna leksikal kata gharqan. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa Bint al-Syāthi‘ telah menerapkan metode tafsirnya dengan baik.

b. Melibatkan seluruh ayat al-Qur‘an yang memiliki keterkaitan dengan persoalan yang tengah dikaji

1) Dalam menafsirkan huruf waw pada ayat ini, Bint al-Syāthi‘ menjelaskan sebagai berikut:24

―dengan menelaah surat-surat yang diawali dengan huruf waw al-qasm (waw untuk menyatakan kesungguhan dan sumpah), jelaslah bagi kita bahwa al-Qur‘an sering mengalihkan fungsi sebenarnya dari sumpah (dimana biasanya sesuatu yang dijadikan obyek untuk bersumpah itu adalah hal yang mulia seperti Tuhan). Namun dalam banyak kasus pada al-Qur‘an malah yang dijadikan obyek untuk bersumpah adalah hal-hal kecil yang bersifat materialistik dan terindera. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa surat di dalam Qur’an seperti Dhuḥā, al-‘Adiyāt, al-‘Ashr, al-Lail, al-Fajr, al-Syams, al-Mursalāt, al-Dzāriyāt, al-Tīn, al-Thūr, al-Qalam, dan al-Najm, dimana semua surat tersebut diturunkan di Makkah.‖

Dari kutipan pernyatan Bint al-Syāthi‘ (yang diberi font tebal) di atas kita dapat melihat bahwa beliau telah menerapkan metode ini dengan baik. Terbukti dengan pengkaitan makna dan fungsi huruf waw al-qasm pada ayat ini dengan ayat-ayat pada

23 Bint al-Syāthi‘, Al-Tafsīr al-Bayāni li al-Qur‟ān al-Karīm, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1990), vol. 1, hlm. 125. 24

(12)

Jurnal At-Tahfizh: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 55 Vol. 2 No. 01 Juli-Desember 2020

surat-surat lain di dalam al-Qur‘an, sehingga tercapailah sebuah kesimpulan yang komprehensif.

2) Dalam menafsirkan kata al-nāzi‟āt, Bint al-Syāthi‘ menjelaskan sebagai berikut:25 Kata ini (al-naz‟u) digunakan di dalam al-Qur‘an untuk menunjukkan kuatnya sebuah tarikan sehingga menjadi kokoh dan mantap. Tarikan yang dimaksud dapat meliputi tarikan syaithan ketika merlepaskan pakaian Adam dan Hawa (Q.S. al-A‘rāf: 27), saat Musa menarik tangannya sehingga muncullah cahaya yang sangat terang bagi orang yang melihatnya (Q.S. al-A‘rāf: 108; Q.S. al-Syu‘arā: 33), saat Allah mencabut nikmat-Nya dari manusia (Q.S. Hūd: 9; Q.S. Ali Imrān: 26) dan tumbangnya pohon-pohon kurma oleh angin kencang yang menjadi azab bagi kaum ‗Ad (Q.S. al-Qamar: 20).‖

Kutipan di atas menerangkan arti kata al-nāzi‟āt dengan cara menganalisis penggunaannya pada ayat-ayat yang berbeda di dalam al-Qur‘an, sehingga menghasilkan makna yang berbeda-beda secara gramatikal. Maka dari pernyataan Bint al-Syāthi‘ di atas kita dapat simpulkan bahwa dalam hal ini ia telah menerapkan metode yang pertama dengan baik.

3) Dalam menafsirkan kata gharqan, Bint al-Syāthi‘ menjelaskan sebagai berikut:26 Di dalam Qur‘an kata gharq, di samping termuat di dalam ayat al-Nāzi‘āt, disebutkan sebanyak dua puluh dua kali dalam berbagai posisi nya dalam kalimat, baik sebagai subyek, obyek, maupun prediket. Dan secara umum penggunaan kata ini di dalam al-Qur‘an diartikan dengan ―tenggelam‖.

Kutipan di atas menunjunkkan bahwa Bintu Syathi‘ sejauh ini masih konsisten dalam menerapkan metodenya, dimana kata gharq dikaji secara komprehensif dengan melibatkan posisinya di ayat-ayat lain yang berbeda,

c. Melacak keberadaan al-siyāq al-khashsh dan al-siyāq al-„ām guna mengetahui makna gramatikal dari sebuah kata dalam al-Qur‘an

25 Bint al-Syāthi‘, Al-Tafsīr al-Bayāni li al-Qur‟ān al-Karīm, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1990), vol. 1, hlm. 125. 26

(13)

Jurnal At-Tahfizh: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 56 Vol. 2 No. 01 Juli-Desember 2020

1) Dalam menjelaskan huruf waw al-qasm, penulis tidak menemukan satu keterangan pun dari Bint al-Syāthi‘ yang secara jelas menyinggung tentang aspek siyāq. Ia secara langsung mengatakan bahwa huruf waw di sana adalah huruf qasm yang berfungsi untuk menunjukkan sumpah (penekanan). Maka dalam hal ini kita dapat menyimpulkan bahwa Bint al-Syāthi‘ ―telah gagal‖ memberikan keterangan mengenai aspek siyāq al-kalām dari huruf waw pada Q.S. al-Nāzi‘āt (87): 1 ini. 2) Dalam menafsirkan kata al-nāzi‟āt, Bint al-Syāthi‘ menjelaskan sebagai berikut:27

―Di dalam surat al-‗Adiyāt, al-Qur‘an telah memalingkan perhatian kepada kuda yang berlari, terengah-engah, menerbangkan debu dan menyerang di pagi hari untuk menghadirkan suatu rasa kebangkitan, tatkala apa yang ada di dalam kubur kemudian dibongkar dan ditampakkan apa yang ada di dalam dada. Dan kami tidak melihat konteks surat al-Nāzi’āt kecuali serupa dengan apa yang terdapat pada surat al-‘Adiyāt.

Karena apabila kita menafsirkan al-Nāzi’āt dengan kuda (sebagaimana mengartikan lafaz al’ādiyāt) maka kita kita tidak akan menemukan kontradiksi sama sekali antara ayat ini dengan ayat-ayat yang datang sesudahnya. Misalnya dengan mengartikan bahwa kuda-kuda itu lepas dengan berlalu lalu tenggelam. Dengan alasan yang sama, kita bisa mengartikan kata sabḥ yang subyeknya adalah al-sābiḥ} dengan yang menghimpun kekuatan. Dengan larinya yang kencang itulah kuda-kuda tersebut akan sampai ke tujuan sehingga segala persoalan pun terselesaikan dengan baik.‖

Secara panjang lebar Bint al-Syāthi‘ menerangkan bahwa berdasarkan analisis siyāq (konteks) dalam rangkaian ayat-ayatnya, kata al-Nāzi‟āt lebih cocok diartikan sebagai ―kuda yang menyerang‖ daripada tafsiran-tafsiran lain yang menurutnya hanya didasari atas asumsi subyektif dari para penafsir. Maka dari kutipan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Bint al-Syāthi‘ telah benar-benar menerapkan metode analisis siyāq nya dalam menafsirkan kata al-Nāzi‟āt.

3) Dalam menafsirkan kata gharqan, Bint al-Syāthi‘ menjelaskan sebagai berikut:28

27 Bint al-Syāthi‘, Al-Tafsīr al-Bayāni li al-Qur‟ān al-Karīm, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1990), vol. 1, hlm. 125. 28

(14)

Jurnal At-Tahfizh: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 57 Vol. 2 No. 01 Juli-Desember 2020

―Di dalam Qur‘an kata gharq, di samping termuat di dalam ayat al-Nāzi‘āt, disebutkan sebanyak dua puluh dua kali dalam berbagai posisi nya dalam kalimat, baik sebagai subyek, obyek, maupun prediket. Dan secara umum penggunaan kata ini di dalam al-Qur‘an diartikan dengan ―tenggelam‖. Alasannya adalah bahwa pemaknaan ini lebih cocok dengan beberapa siyāq yang menyertainya seperti kata al-yamm (laut), al-baḥr (laut), dan al-mauj (badai di lautan), atau dengan penjelasan tentang ditenggelamkannya kaum Nabi Nuh (oleh banjir) dan kaum Nabi Musa (oleh lautan).‖

Dari kutipan (yang diberi font tebal) di atas dapat diketahui bahwa Bint al-Syāthi‘ telah melibatkan peran siyāq dalam mengungkap makna umum dari kata gharqan di dalam al-Qur‘an. Maka dalam hal ini kita dapat mengatakan bahwa Bint al-Syāthi‘ telah berhasil mengaplikasikan metode kajian siyāq.

3. Hasil Analisis

Dari analisis terhadap penafsiran Bint al-Syāthi‘ tentang tiga kosa kata (meliputi waw, al-Nāzi‟āt, dan gharqan) dalam Q.S. al-Nāzi‘āt (87): 1 dalam kaitannya dengan penerapan metode tafsir yang dirumuskannya, maka penulis menyimpulkan bahwa hampir secara keseluruhan Bintu al-Syathi berhasil menerapkan ketiga metode yang ia rumuskan, terbukti dengan kutipan-kutipan yang telah dijabarkan di atas. Namun demikian, pada salah satu kosa kata, yaitu huruf waw, ia gagal menerapkan metode penggalian makna menggunakan aspek siyāq. Sehingga penulis menilai bahwa dalam hal penafsiran terhadap Q.S. al-Nāzi‘āt (87): 1 ini Bint al-Syāthi‘ belum berhasil mengaplikasikan metode yang telah ia rumuskan sendiri secara konsisten (sempurna).

Kenyataan ini berimplikasi pada dua hal: pertama, klaim penafsiran obyektif atas surat-surat pilihan sebagaimana yang diutarakan oleh Bint al-Syāthi‘ melalui pesan muqaddimah di bagian awal al-Tafsīr al-Bayānī li al-Qur‟ān al-Karīm masih menyisakan tanda tanya karena ia belum sempurna menerapkan metode yang ia rumuskan sendiri secara utuh; kedua, kenyataan ini memberikan peluang bagi peneliti-peneliti lain untuk turut meninjau apakah penafsiran Bint al-Syāthi‘ atas surat-surat lain yang ia rangkum dalam kitab al-Tafsīr al-Bayānī li al-Qur‟ān al-Karīm memiliki ketidaksempurnaan analisis sebagaimana yang penulis temukan melalui penelitian ini atau tidak.

(15)

Jurnal At-Tahfizh: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 58 Vol. 2 No. 01 Juli-Desember 2020

Kesimpulan

Bint al-Syāthi‘ merupakan seorang tokoh akademisi wanita yang sangat gencar dalam melakukan kajian keislaman, terutama dalam ranah al-Qur‘an dan Tafsir. Puluhan buku telah berhasil ia tulis dengan ranah keilmuan yang beragam. Salah satu karya fenomenalnya yang banyak dijadikan obyek kajian oleh para akademisi al-Qur‘an dan Tafsir al-Tafsīr al-Bayānī li al-Qur‟ān al-Karīm. Dalam menafsirkan al-Qur‘an, Bint al-Syāthi‘ merumuskan beberapa kriteria dan metode guna memperolah makna al-Qur‘an secara orisinil. Ia meyakini bahwa hanya dengan mengkaji aspek linguistik al-Qur‘an menggunakan metode yang benarlah seorang penafsir akan bisa memahami maksud al-Qur‘an secara obyektif dan tepat. Ia sangat mengkritik penafsiran yang mengabaikan aspek kebahasaan al-Qur‘an dan hanya mengandalkan asumsi-asumsi subyektif penafsirnya.

Terkait penafsirannya dalam Q.S. al-Nāzi‘āt (87): 1, Bint al-Syāthi‘ telah mengaplikasikan metode-metode yang telah ia rumuskan, namun masih ditemukan kekurangan di dalamnya sehingga belum dapat dikatakan sepenuhnya konsisten. Analisis lanjutan dari peneliti-peneliti yang lain berpeluang untuk mengungkap mengenai apakah ketidaksempurnaan penerapan metode tafsir Bint al-Syāthi‘ ini juga ditemukan dalam tafsir-tafsirnya yang lain atas surat-surat pilihan di dalam al-Qur‘an. Hal ini selanjutnya dapat membuka jalan untuk penyempurnaan-penyempurnaan atas penerapan metode tafsir, baik terhadap metode yang dirumuskan oleh Bint al-Syāthi‘ itu sendiri maupun terhadap analisis tafsir sastra secara umum.

(16)

Jurnal At-Tahfizh: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 59 Vol. 2 No. 01 Juli-Desember 2020

DAFTAR RUJUKAN

Al-Syāthi‘, Bint. 1990. Al-Tafsīr al-Bayānī li al-Qur‟ān al-Karīm. Kairo: Dār al-Ma‘ārif. Vol. 1. _____________. 1990. Al-Tafsīr al-Bayānī li al-Qur‟ān al-Karīm. Kairo: Dār al-Ma‘ārif. Vol. 2 _____________. 1996. Al-Tafsir al-Bayani li al-Qur‟an al-Karim, terj. Mudzakkir Abdussalam.

Bandung: Mizan.

Boullata, Issa J. 1996. ―Modern Qur‘anic Exegesis: A Study of Bint al-Shati‘s Method‖ dalam Tafsir Bintusy-Syathi‟ . Terj. Ihsan Ali Fauzi. Bandung: Mizan.

____________. 2000. Literary Structures of Religious Meaning in the Qur‟an. New York: Routledge.

Dihlāwi, Waliyullāh al-. 1987. al-Fauz al-Kabīr fī Ushūl al-Tafsīr. Kairo: Dār al-Syahwah. Khūlī, Amīn al- . 1961. Manāhij al-Tajdīd fi al-Naḥw wa al-Balāghah wa al-Tafsīr wa al-Adab.

Ttp: Dār al-Ma‘rifah.

Qadafy, Muammar Zain. 2015. Buku Pintar Sababun Nuzul dari Mikro hingga Makro, Yogyakarta.

Rippin, Andrew. 2003. ―Occasions of Revelation,‖ dalam J. D. McAuliffe (ed.) Encyclopedia of the Qur‟an. Leiden: E.J. Brill. 3.

Sinai, Nicolai dan Angelika Neuwirth. ―Introduction‖. The Qur‟an in Context: Historical and Literary Investigations into the Qur‟anic Milieu. Leiden: Brill, 2010

Syamsuddin, Sahiron. 1999. An Examanation of Bint al-Shati‟s Method of Interpreting the Qur‟an. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

_____________. 2009. Tafsir Studies. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2009.

Yusron, M. 2006. “Mengenal Pemikiran bint al-Syati‘ tentang al-Qur‘an” dalam Studi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Teras.

Referensi

Dokumen terkait

Dimulai dari penen- tuan dimensi pondasi, jumlah tiang dalam kelompok pondasi, daya dukung pondasi, penurunan pondasi, daya dukung akibat beban lateral, penulangan pondasi,

Kerapatan papan w o l kayu yang ditetapkan dalam keadaan kering udara berkisa antara 0,42 g/cm^ (meranti putih) hingga 0,62 g/cm^ (dahu) sedangkai seharusnya 0,46 g/cm^. Rincian

Dalam penelitian selanjutnya diharapkan penambahan data yang digunakan sehingga diperoleh informasi yang lebih akurat mengenai hubungan antara SERVQUAL terhadap Kepuasan,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self-control dan kecenderungan kepribadian narsistik dengan perilaku konsumtif pada mahasiswa Fakultas Ilmu

Di SMA Negeri 1 Tebat Karai, evaluasi kegiatan kerja tim guru dalam menangani masalah disiplin siswa dilakukan secara bersama-sama anggota tim, beserta kepala sekolah

[r]

• Penelitian yang dilakukan oleh Achmad Ichwan [3] adalah mengestimasi posisi kapal selam dengan mengimplementasikan metode Extended Kalman Filter (EKF) pada persamaan sistem