• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Maqasid al Syariah terhadap pendapat Imam Malik dan Imam Syafi'i tentang 'iddah wanita yang haid tidak teratur.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Maqasid al Syariah terhadap pendapat Imam Malik dan Imam Syafi'i tentang 'iddah wanita yang haid tidak teratur."

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul Analisis Maqās}id Al-Syarī‘ah Terhadap Pendapat Imam Malik Dan Imam Syafi’i Tentang ‘Iddah Wanita Yang Haid Tidak Teratur, merupakan hasil penelitian pustaka (library research) yang bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut: pertama, Bagaimana Pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i Tentang ‘Iddah Wanita yang Haid Tidak Teratur. Kedua, Bagaimana Analisis Maqās}id Al-Syarī‘ah Terhadap Pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i Tentang‘Iddah Wanita yang Haid Tidak Teratur.

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dihimpun melalui dokumentasi dan selanjutnya dianalisis dengan metode deskriptif analitis dan dengan pola pikir deduktif untuk memperoleh kesimpulan yang khusus dan dianalisis menurut maqās}id al-syarī‘ah.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Pendapat Imam Malik tentang ‘Iddah Wanita yang Haid Tidak Teratur adalah menunggu selama sembilan bulan, jika tidak hamil maka ‘iddah selama tiga bulan. Sedangkan Pendapat Imam Syafi’i tentang ‘Iddah Wanita yang Haid Tidak Teratur adalah berdasarkan ‘iddah haid (tiga kali quru’) walaupun jaraknya saling berjauhan, bahkan selamanya berada dalam masa ‘iddah, hingga mencapai usia putus haid (menopause) ketika sampai usia putus haid (menopause), maka ber‘iddah sesuai ‘iddahnya orang yang putus haid (menopause) yakni tiga bulan. Dalam maqa>s}id al-syari>’ah, pendapat Imam Malik tentang‘iddah wanita yang haid tidak teratur sesuai dengan kebutuhan daru>riyah yakni memelihara keturunan (hifz al-nasl), memelihara jiwa (hifz al-nafs), dan memelihara harta benda (hifz al-‘ma>l), sedangkan Pendapat Imam Syafi’i tentang‘iddah wanita yang haid tidak teratur belum memenuhi tujuan maqa>s}id al-syari>’ah dalam hal kebutuhan ha>jiyah memelihara jiwa (hifz al-nafs), jika dilihat dari satu sisi apabila jaraknya lama antara haid satu dengan haid selanjutnya, namun apabila melihat dari sisi yang lain yaitu ternyata haidnya rutin kembali, maka tidak menyulitkan pihak wanita, bahkan lebih ringan. Sehingga kemaslahatan bisa tercapai.

Bagi wanita yang mengalami keadaan tersebut, yakni menjalani ‘iddah dalam keadaan haid tidak teratur, lebih ringan mengikuti pendapat Imam Malik yaitu menunggu selama sembilan bulan, namun jika haidnya rutin kembali atau jarak antara haid sampai tiga kali quru’ adalah tidak sampai sembilan bulan, maka lebih ringan mengikuti pendapat Imam Syafi’i. Bagi bagi pihak yang berwenang dalam menetapkan hukum diharapkan adanya ketentuan khusus yang mejelaskan tentang ‘iddah bagi wanita yang haid tidak teratur demi kemaslahatan. Dan bisa mempertimbangkan lagi mengenai alat medis atau kedokteran tes (USG) sebagai salah satu cara mengetahui kehamilan sesorang, yang merupakan salah satu tujuan dari ditetapkannya ‘iddah.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

MOTTO ... xv

PERSEMBAHAN... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Kajian Pustaka... 8

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 12

G. Definisi Operasional ... 13

H. Metode Penelitian ... 15

I. Sistematika Pembahasan ... 19 BAB II MAQĀS}ID AL-SYARĪ‘AH DAN ‘IDDAH DALAM HUKUM

(8)

A. Maqās}id al-Syarī‘ah ... 21

1. Pengertian Maqās}id al-Syarī‘ah ... 21

2. Kategori Maqās}id al-Syarī‘ah ... 24

3. Tujuan Maqāsid al-Syarī‘ah ... 35

B. ‘Iddah Dalam Hukum Islam ... 38

1. Pengertian ‘Iddah ... 38

2. Macam-macam ‘Iddah ... 39

BAB III PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SYAFI’I TENTANG ‘IDDAH WANITA YANG HAID TIDAK TERATUR A. Imam Malik ... 41

1. Biografi Imam Malik ... 41

2. Metode Istinba>t Hukum Imam Malik ... 45

3. Pendapat Imam Malik tentang ‘Iddah Wanita yang Haid Tidak Teratur ... 52

B. Imam Syafi’i ... 55

4. Biografi Imam Syafi’i ... 55

5. Metode Istinba>t Hukum Imam Syafi’i ... 60

6. Pendapat Imam Syafi’i tentang ‘Iddah Wanita yang Haid Tidak Teratur ... 64

(9)

B. Analisis Maqās}}id Al-Syarī‘ah terhadap Pendapat Imam Syafi’i

tentang ‘Iddah Wanita yang Haid Tidak Teratur ... 70 BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN ... 74 B. SARAN ... 74 DAFTAR PUSTAKA ... 76

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah pernikahan (perkawinan). Suatu pernikahan mempunyai tujuan yaitu ingin membangun keluarga yang sakinah mawaddah warohmah serta ingin mendapatkan keturunan yang sholih solihah.1 Tujuan perkawinan dalam Islam tidak dapat lepas dari pernyataan Al-Quran yang menjelaskan:

Artinya: ‚Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir‛. (Q.S. Ar-Rum: 21).2

Ayat tersebut di atas mengungkapkan tujuan dasar dari setiap pembentukan rumah tangga, yaitu selain mendapatkan keturunan yang sah adalah untuk dapat hidup tenteram dan adanya suasana sakinah yang disertai rasa kasih sayang.

1 Ahmad Rafi Baihaqi, Membangun Syurga Rumah Tangga (Surabaya:Gita Media Press, 2006), 8.

(11)

2

Dalam kehidupan rumah tangga, walaupun pada awal mulanya penuh dengan rasa kasih sayang seolah-olah tidak akan terjadi pertengkaran ataupun suatu permasalahan, tetapi pada kenyataannya jika rasa kasih sayang itu tidak dibina maka menjadi pudar. Jika suami istri sulit mencari jalan keluar, baik karena tidak adanya rasa pengertian, maupun tidak ada rasa peduli terhadap pernikahan mereka, maka berujung pada perceraian, putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.

Menurut ajaran Islam, perceraian diakui atas dasar ketetapan hati setelah mempertimbangkan secara matang, serta dengan alasan yang bersifat darurat atau sangat mendesak. Perceraian diakui secara sah untuk mengakhiri hubungan perkawinan berdasarkan petunjuk syariat. Namun demikian, Rasulullah saw memperingatkan dalam sabdanya:

َلاَق اَمُهْ َع َُللا َيِضَر َرَمُع ِنْبا ِنَع

:

ُضَغْ بَا َمَلَسَو ِْيَلَع َُللا ىَلَص َِللا ُلْوُسَر َلاَق

ُ َ َللا َِللا َ ِا ِلَ َِْا

.

دواد وبا هاور

Artinya: Diceritakan dari Ibn Umar, Rasulullah saw bersabda: ‚Tidak ada sesuatu yang halal yang dibenci Allah selain daripada thalak ‛. (HR. Abu Dawud).3

Dengan demikian secara tersirat Rasulullah mengajarkan agar keluarga muslim sedapat mungkin menghindarkan perceraian. Dan dibalik kebencian Allah itu terdapat suatu peringatan bahwa perceraian itu sangat berbahaya dan berdampak negatif terhadap keluarga.

Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri, maka berlaku atas istri yang dicerai ketentuan ‘iddah. Kewajiban menjalani masa ‘iddah

(12)

3

Artinya:‚Perempuan-perempuan yang ditalak oleh suaminya hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak halal perempuan itu menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya‛(Al-Baqarah:228).4

Secara singkat ‘iddah dapat dirumuskan sebagai masa lamanya perempuan (isteri) menunggu dan tidak boleh menikah setelah kematian suaminya atau setelah cerai dari suaminya.5‘Iddah adalah bahasa Arab yang berasal dari akar kata ‘adda ya’uddu-‘idatan dan jamaknya adalah ‘idad yang secara arti kata (etimologi) berarti: menghitung atau hitungan. Kata ini digunakan untuk maksud ‘iddah karena dalam masa itu si perempuan yang ber‘iddah menunggu berlalunya waktu.6

‘iddah diwajibkan karena perceraian yang dijatuhkan suami masih

hidup atau sudah meninggal, pernah menggauli (ba’da dukhul), akan tetapi lain halnya jika suami itu belum pernah menggauli, maka tidak wajib ‘iddah. ‘Iddah baik bagi wanita yang cerai hidup atau cerai mati adakalanya ia masih

mengalami haid ada juga yang sudah putus haid (menopause) dan terkadang juga wanita tersebut sedang hamil.

4 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya ..., 37.

5 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid 8 (Bandung: Al-Ma’arif, 1997), 140.

(13)

4

Apabila suami yang mentalak istrinya yang semula tidak pernah haid kemudian di dalam masa ‘iddah ia haid, maka masa suci tempat ditalaknya tidak terhitung quru’. Sebab tidak berada di antara dua periode haid, tetapi harus ber’iddah tiga kali masa suci setelah haid yang disambungkan dengan masa suci ditalaknya tersebut. Bila istri mengalami haid setelah habis masa ‘iddahnya, maka tidak perlu memulai masa ‘iddahnya dengan hitungan

quru’.7

Istri yang mempunyai haid, merdeka dan teratur masa haidnya, maka ‘iddahnya adalah tiga kali quru’ (yakni tiga kali suci atau tiga kali haid). Istri

yang sedang hamil ‘iddahnya adalah sampai melahirkan kehamilannya. Dan istri yang sudah menopause (putus haidnya) ‘iddahnya adalah tiga bulan. Ketentuan-ketentuan ini tidak diperselisihkan lagi dikalangan fuqaha, karena telah ditegaskan pada Firman Allah Q.S. Al-Baqarah ayat 228 dan Q.S. At-Thalaq ayat 4.8

Artinya:‚Perempuan-perempuan yang ditalak oleh suaminya hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak halal perempuan itu menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya‛(Al-Baqarah:228).9

7 Zainuddin Bin Abdul Azis Al Malibari, Terjemahan Fathul Mu’in, jilid II (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), 1405-1406.

8 Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatul Mujtahid, jilid ll (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), 533. 9 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya ..., 37.

(14)

5

Dan Firman Allah Q.S At-Thalaq ayat 4:



Artinya:"Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya), Maka masa ‘iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya."10 watak/kodrat wanita, dan tidak setelah melahirkan.11 Haid tidak teratur merupakan siklus haid yang tidak pasti setiap bulan, tanda-tandanya adalah haid yang maju atau mundur sehingga datangnya haid tidak bisa dipastikan. Terkadang 2 bulan baru mendapatkan haid, atau 3 bulan, bahkan 1 tahun sekali baru mendapatkan haid.12

10 Ibid., 558.

11 Muhammad Ardani Bin Ahmad, Risalah Haid Nifas & Istihadlah (Surabaya: Al-Miftah, 2011), 11.

12 http://anorectal.blogdetik.com/2013/12/29/pengertian-haid-tidak-teratur/, Diakses pada 8 November 2016.

(15)

6

Istri yang diceraikan kemudian tidak mengalami haid, sedang ia masih berada dalam usia haid, dan tidak ada keraguan tentang adanya kehamilan atau sebab-sebab lain, seperti menyusui atau sakit, maka Imam Malik berpendapat bahwa istri tersebut harus menunggu selama sembilan bulan. Jika selama masa itu istri tersebut tidak juga mengalami haid, maka ia menjalani ‘iddah selama tiga bulan. Jika ia mengalami haid sebelum sempurna masa tiga bulan, maka haid tersebut dihitung dan menunggu kedatangan haid berikutnya. Apabila telah berlau masa sembilan bulan, tetapi belum datang haid yang kedua, maka ia ber’iddah selama tiga bulan. Jika ia mengalami haid sebelum selesai tiga bulan dari tahun yang kedua, maka ia menunggu haid yang ketiga. Jika ia sudah berlalu sembilan bulan sebelum datangnya haid, maka ia ber’iddah tiga bulan. Jika ia mengalami haid yang ketiga kalinya pada masa tiga bulan, maka telah sempurnalah ‘iddah haidnya dan telah sempurna pula ‘iddahnya. Dan bagi suami boleh

merujukinya selama istri tersebut belum lepas dari ‘iddahnya.13

Imam Syafi’i dalam qaul jadidnya mengatakan bahwa, wanita tersebut selamanya berada dalam ‘iddah hingga ia mengalami haid atau memasuki usia menopause, dan sesudah itu ber’iddah selama tiga bulan.14

Berawal dari pendapat Imam Malik dan pendapat Imam Syafi’i

tersebut, maka penulis merasa perlu untuk melakukan kajian terhadap permasalahan ini karena wanita yang mengalami siklus haid tidak teratur terkadang bingung dengan apa yang harus ia lakukan dalam hal ibadah

13 Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatul Mujtahid ..., 537-538.

(16)

7

apalagi ketika ia ditalak oleh suaminya dalam keadaan haidnya tidak teratur. Alasan penulis di antara pendapat empat Imam Maz|hab memilih pendapat Imam Syafi’i karena pendapat beliau yang paling moderat dan muslim di

Indonesia pada umumnya mengikuti ajaran atau Madzhab Syafi’i. Begitupun pendapat Imam Malik yang berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i. Sehingga Penulis berkeinginan untuk mengetahui lebih jauh tentang pendapat-pendapat tersebut dengan harapan bahwa hal itu bisa menjadi kontribusi positif dan menambah wacana serta memperkaya khazanah keilmuan kita, oleh karena itu penulis mendeskripsikannya dalam sebuah penelitian yang berjudul ‚Analisis MaqƗs}id Al-SyarƯ‘ah Terhadap Pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i Tentang ‘iddah Wanita Yang Haid Tidak

Teratur‛.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas akan timbul permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

1. Pengertian ‘iddah

2. Tujuan dan Manfaat ‘iddah 3. Macam-macam ‘iddah

4. Pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur

(17)

8

5. Analisis maqās}id al-syarī‘ah terhadap pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur

Kemudian untuk menghindari penjelasan yang akan keluar dari pembahasan maka peneliti membatasi masalah sebagai berikut:

1. Pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur

2. Analisis maqās}id al-syarī‘ah terhadap pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur?

2. Bagaimana analisis maqās}id al-syarī‘ah terhadap pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur?

D. Kajian Pustaka

(18)

9

pengulangan atau duplikasi dari kajian/ penelitian yang telah ada. Berdasarkan deskripsi tersebut, posisi penelitian yang akan dilakukan harus dijelaskan.15

1. ‚Analisis Komparatif Tentang Metode Penetapan Masa ‘Iddah dalam KHI dan UU No. 1 Tahun 1974‛, skripsi yang ditulis M. Ramadhanul Akhir, Sarjana Fakultas Syariah Dan Hukum Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah UIN Sunan Ampel Surabaya (2013). Dalam skripsi ini menjelaskan didalam KHI masa ‘iddah dimulai sejak ada keputusan yang tetap dari Pengadilan Agama sebagaimana Pasal 153 ayat 4, sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 masa ‘iddah dimulai sejak perceraian dinyatakan didepan sidang pengadilan, hasil komparasi memberikan kesimpulan bahwa masa ‘iddah sebaiknya dimulai setelah adanya keputusan pengadilan tentang terjadinya perceraian yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.16

2. ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Pernikahan dalam Masa ‘Iddah: Studi Kasus di Desa Sepulu Kecamatan Sepulu Kabupaten Bangkalan‛, skripsi yang ditulis oleh A Solakhuddin, Sarjana Fakultas Syariah Dan Hukum Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah UIN Sunan Ampel Surabaya (2013). Dalam skripsi ini menjelaskan pernikahan dilakukan dalam masa ‘iddah di desa tersebut dilakukan dikediaman mempelai perempuan dengan bantuan tokoh agama daerah tersebut, dengan berbagai alasan di antaranya

15 Tim penyusun Fakultas Syariah dan Hukum, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016), 8.

16M. Ramadhanul Akhir, ‚Analisis komparatif tentang metode penetapan masa iddah dalam KHI dan UU No. 1 Tahun 1974‛, Skripsi, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2013.

(19)

10

kebutuhan biologis, ekonomi, minimnya pengetahuan tentang masa ‘iddah dan pemikiran warga desa bahwasannya menikah dalam masa

‘iddah lebih baik dibanding berhubunga dengan laki-laki yang belum

menjadi suami. Dan pernikahan ini jelas telah melanggar hukum Islam dan UU perkawinan.17

3. ‚Studi Analisis Terhadap Ketentuan KHI Pasal 153 Ayat 5 Tentang ‘Iddah Bagi Perempuan yang Berhenti Haid Ketika Menjalani Masa

‘Iddah Karena Menyusui‛, skripsi yang ditulis oleh Abdul Ghofur,

Sarjana Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang (2012). Dalam skripsi ini menjelaskan perempuan yang sedang menyusui kaitannya dengan masalah ‘iddah dianalogikan sebagai wanita yang berpenyakit, bukan berarti susu itu adalah penyakit. menyusui yang mengakibatkan berhentinya haid itulah yang menjadikan wanita ini disamakan dengan wanita yang memiliki penyakit (illat), dalam KHI pasal 153 ayat 5 mengandung ketentuan bahwa jika wanita haidnya berhenti karena menyusui atau sebab penyakit itu telah mencapai usia monopause, maka ber’iddah 3 bulan. ketentuan ‘iddah dalam KHI tersebut berdasar pada pendapat ulama yang bermadzhab syafi’i yaitu syaikh sulaiman.18

4. ‚Analisis Pendapat Imam Malik Tentang ‘Iddah Bagi Wanita yang Istihadah‛, skripsi yang ditulis oleh Ulya Mukhiqqatun Ni’mah, Sarjana

17A Solakhuddin, ‚Analisis hukum Islam terhadap pernikahan dalam masa iddah: studi kasus di desa Sepulu Kecamatan Sepulu Kabupaten Bangkalan‛, Skripsi UIN Sunan Ampel Surabaya, 2013.

18Abdul Ghofur, ‚Studi analisis terhadap ketentuan KHI pasal 153 ayat 5 tentang iddah bagi perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui‛, Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, 2012.

(20)

11

Fakultas Syari’ah jurusan Al-Ahwal Al-Syahsiyah IAIN Walisongo

Semarang (2008). Dalam skripsi ini menjelaskan menurut pendapat Imam Malik ‘iddah bagi wanita yang istihadhah adalah satu tahun, apabila wanita tersebut tidak bisa membedakan antara dua darah apabila bisa membedakan antara dua darah maka wanita tersebut ber’iddah dengan hitungan quru’.19

5. ‚’Iddah Wanita Karena Khuluk (Studi Pemikiran Imam Malik dan Ibnu Taimiyyah)‛, skripsi yang ditulis oleh Cahyo Muhammad Yusuf, Sarjana Fakultas Syariah Dan Hukum Jurusan Perbandingan Madzhab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2014). Dalam skripsi ini menjelaskan menurut Imam Malik khuluk mempunyai kedudukan sebagai talak, sehingga khuluk mempunyai sifat mengurangi jumlah talak yang dimiliki suami. konsekuensi lain dari hal tersebut adalah khuluk tidak boleh lebih tiga kali. jika lebih dari tiga kali maka suami tidak dapat rujuk kembali kepada mantan istrinya sebelum adanya muhallil. pendapat Imam Malik berbeda dengan pendapat Ibn Taimiyyah yang menyatakan khuluk berkedudukan sebagai fasakh, khuluk tidak mengurangi jumlah talak yang tiga, maka khuluk dapat dijatuhkan meskipun lebih dari tiga kali tanpa adanya

19Ulya Mukhiqqatun Ni’mah, ‚Analisis pendapat Imam Malik tentang Iddah bagi wanita yang istihadah‛, Skripsi Fakultas Syari’ah jurusan Al-Ahwal Al-Syahsiyah IAIN Walisongo Semarang , 2008.

(21)

12

muhallil. Ibnu Taimiyyah memberika waktu ‘iddah bagi wanita yang khuluk selama satu kai haid untuk mengetahui kosongnya rahim.20

Secara singkat, bahwa dari beberapa karya tulis ilmiah di atas, penulis melakukan penelitian yang berbeda. Penulis melakukan penelitian kepustakaan yaitu analisis maqās}id al-syarī‘ah terhadap pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur,

sehingga tidak mengulangi penelitian-penelitian yang sudah ada.

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur.

2. Untuk mengetahui analisis maqās}id al-syarī‘ah terhadap pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat dan berguna dalam dua aspek:

1. Aspek keilmuan (teoritis)

Kegunaan toeritis dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan, memperkaya dan mengembangkan

20Cahyo Muhammad Yusuf, ‚Iddah wanita karena khuluk (studi pemikiran Imam Malik dan Ibnu Taimiyyah)‛, Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Jurusan Perbandingan Madzhab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta , 2014.

(22)

13

wawasan keilmuan bidang kajian hukum keluarga Islam, memberikan sumbangsi ataupun solusi bagi wanita yang mengalami haid tidak teratur (dalam masa ‘iddah), serta memberi kontribusi kepada pembuat perundang-undangan dari hasil penelitian dapat dijadikan pertimbangan ataupun dimasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan, seperti dalam KHI agar terdapat kejelasan ataupun spesifikasi mengenai ketentuan ‘iddah bagi wanita yang haid tidak teratur.

2. Secara terapan (praktis)

a. Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan masyarakat muslim (pembaca) sebagai informasi, masukan dan solusi yang tepat untuk mengatasi ‘iddah wanita yang haid tidak teratur.

b. Sebagai pedoman dan dasar bagi peneliti lain dalam mengkaji yang lebih mendalam.

G. Definisi Operasional

Berdasarkan judul skripsi yang telah diangkat oleh penulis yaitu ‚Analisis maqās}id al-syarī‘ah terhadap pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur, maka dapat diberikan

suatu pendefinisian yang lebih terperinci jelas guna menghindari kerancuan, sehingga spesifikasi masalah tampak jelas.

(23)

14

1. Analisis: menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.21 Sedangkan dalam kamus hukum analisis secara sederhana berarti penyelidikan terhadap peristiwa.22

2. Maqa>s}id Al- Syari>’ah: merupakan tujuan hukum Islam yang terdiri atas al maqa>s}id al-khamsah yakni Memelihara agama (hifdz al- din), pemeliharaan jiwa (hifdz al-nafs), pemeliharaan akal (hifdz al-‘aql), pemeliharaan keturunan (hidz al-nasl), pemeliharaan harta (hifdz al-mal-wa al-‘irdh).

3. Imam Malik: mempunyai nama asli Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Harits bin Ghaaiman bin Kutail bin Amr bin Harits al-Ashbahi lahir di Madinah pada tahun 94 H/716 M, dan meninggal pada tahun 179 H/795 M. Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadits, serta pendiri Maz|hab Maliki.

4. Imam Syafi‛i: mempunyai nama asli Abu Abdullah Muhammad ibn Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i, lahir pada tahun 150 H, bisa baca dan hafal al-Quran pada umur 7 tahun dan hafal al-Muwatta’ karya Imam Malik pada umur 10 tahun, dan dijadikan mufti pada umur 15 tahun H. Ia wafat pada tahun 204 H. dan juga pendiri maz|hab Syafi’i.

5. ‘Iddah: masa menunggu atau tenggang waktu (belum boleh menikah) bagi seorang perempuan yang berpisah dengan suami, baik karena perceraian atau mati, untuk memberikan kesempatan kepada suami untuk rujuk

21 Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), 43. 22 Sudarsono, Kamus Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 32.

(24)

15

kembali dengan mantan istrinya, menentukan hamil atau tidaknya perempuan setelah ditinggal mati atau ditalak oleh suaminya.

6. Haid tidak teratur: siklus haid yang tidak pasti setiap bulan, tanda-tandanya adalah haid yang maju atau mundur sehingga datangnya haid tidak bisa dipastikan. Terkadang 2 bulan baru mendapatkan haid, atau 3 bulan, bahkan 1 tahun sekali baru mendapatkan haid.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) yaitu penelitian yang dilakukan terhadap pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i

tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur. Penelitian ini berbentuk penelitian deskriptif, yaitu suatu bentuk penelitian yang memaparkan dan menafsirkan data-data yang telah terkumpul.23 Artinya, penelitian ini akan memaparkan pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita

yang haid tidak teratur. Kemudian pendapat tersebut akan dianalisis dengan maqās}id al-syarī‘ah. Adapun metode yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Data yang dikumpulkan

Dalam penelitian ini, peneliti telah mengumpulkan data yang dapat mendukung penelitian yang akan dilakukan. Peneliti mendapatkan data tentang maqās}id al-syarī‘ah dan ‘iddah wanita yang haid tidak teratur menurut pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i didalam kitab

(25)

16

karangan beliau. Selain itu peneliti mengumpulkan kitab-kitab atau buku-buku, yang berhubungan dan berkesesuaian dengan pembahasan tersebut yaitu ‘iddah wanita yang haid tidak teratur.

2. Sumber Data

Untuk mendapatkan data yang valid dan kongkrit dalam penelitian ini, maka sumber data yang digunakan sebagai bahan rujukan pencarian data adalah sumber data primer dan skunder.

a. Sumber Data Primer

Sumber Data Primer adalah sumber yang bersifat utama dan penting yang memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah informasi yang diperlukan dan berkaitan dengan penelitian.24 Sumber data primer antara lain:

1) Al-Umm yang disusun oleh Muhammad ibn Idris bin Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ lebih dikenal dengan Imam Syafi’i.

2) Al-Muwatta’ yag disusun oleh M lik ibn Anas bin Malik bin Abi ‘ mir al-Asbahi atau yang lebih dikena dengan Imam Malik

b. Sumber Data Sekunder

Sumber Data Sekunder dalam penelitian adalah kitab-kitab, buku-buku, dokumen yang berkaitan dengan penelitian serta bahan pustaka lainnya yang dapat menunjang penelitian seperti karya

(26)

17

ilmiah, data atau sumber lain yang ada hubungannya dengan penelitian.25 Sumber data sekunder antara lain:

1) Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatul Mujtahid jilid ll

2) Zainuddin Bin Abdul Azis Al Malibari, Terjemahan Fathul Mu’in jilid II

3) Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Madzab

4) Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia 3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam rangka mendapatkan data yang akurat untuk mendukung penelitian ini, maka teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah secara dokumentasi, yaitu dengan mencari, membaca dan mempelajari serta mencatat data yang diperoleh dari kitab, buku, dan sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini menurut pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i.

4. Teknik Pengolahan Data

Setelah data yang diperlukan terkumpul, maka penulis menggunakan teknik berikut ini untuk mengolah data, adapun teknik yang digunakan adalah:

a. Editing, Yaitu kegiatan memeriksa atau meneliti data yang diperoleh dengan memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai segi yang meliputi kesesuaian, keselarasan satu dengan yang lainnya, keaslian, kejelasan serta relevansinya dengan

(27)

18

permasalahn.26 Penulis memeriksa data-data yang diperoleh dari kitab-kitab maupun buku-buku, kemudian di edit maupun dipilah-pilah, disesuaikan mana yang berkaitan dengan pendapat Imam Malik tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur dan pendapat Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur.

b. Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai dengan rumusan masalah. Penulis menyusun data mengenai pendapat Imam Malik tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur dan pendapat Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur, yang mana

data tersebut disesuaikan dengan permasalahan yang dibahas. 5. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan upaya untuk menganalisis dan menata secara sistematis seluruh hasil pengumpulan data yang diperoleh. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan penelitian pustaka. Sehingga teknis analisis data yang digunakan adalah deskriptif analitis yaitu menggambarkan dan menguraikan secara menyeluruh mengenai objek yang diteliti. Dengan menggunakan pola pikir deduktif, yaitu dengan cara mengemukakan teori-toeri yang bersifat umum kemudian selanjutnya dikemukakan suatu pendapat bersifat khusus. Memanfaatkan sejumlah perangkat untuk menarik kesimpulan dari

26Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), 91.

(28)

19

sebuah dokumen atau bahan pustaka.27 Penulis menjelaskan pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur, kemudian dikaitkan dengan teori maqās}id al-syarī‘ah dan ‘iddah dalam hukum Islam yang terdapat dalam literatur sebagai analisis, sehingga mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus.

I. Sistematika Pembahasan

Agar penelitian ini terarah dan sistematis, serta untuk mempermudah memahami tulisan ini, maka penulis mengatur sitematika pembahasan terdiri dari lima bab, sebagai berikut:

Bab pertama, Pendahuluan, menggambarkan keseluruhan isi skripsi yang terdiri dari: latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian (meliputi data yang dikumpulkan, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan dan analisis data), dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, berisi kajian teoritis tentang maqa>s}id al- syari>’ah, meliputi pengertian maqās}id al-syarī‘ah, kategori maqās}id al-syarī‘ah, tujuan maqās}id al-syarī‘ah, dan ‘iddah dalam hukum Islam, meliputi pengertian ‘iddah, macam-macam ‘iddah.

Bab ketiga, berisi tentang pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur, dalam bab ini membahas

(29)

20

biografi Imam Malik dan Imam Syafi’i, metode istinba>t hukum Imam Malik dan Imam Syafi’i, serta pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur.

Bab keempat, dalam bab ini analisis maqās}id al-syarī‘ah terhadap pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid

tidak teratur.

Bab kelima, merupakan hasil paling akhir dalam pembahasan penelitian ini yang berkaitan dengan kesimpulan dan kemudian ditutup dengan saran-saran.

(30)

BAB II

MAQƖS}ID AL-SYARƮ‘AH DAN ‘IDDAH DALAM HUKUM ISLAM

A. MaqƗs}id al-SyarƯ‘ah

1. Pengertian MaqƗs}id al-SyarƯ‘ah

Sebagai sumber ajaran, Al-Quran tidak memuat pengaturan-pengaturan yang terperinci tentang ibadah dan muamalah, hanya terdapat 368 ayat dalam Al-Quran yang berkaitan dengan aspek-aspek hukum. Hal ini mengandung arti bahwa sebagian besar masalah-masalah hukum dalam Islam oleh Allah hanya diberikan dasar-dasar atau prinsip-prinsip dalam Al-Quran. Bertitik tolak dari dasar atau prinsip ini, dituangkan pula oleh Nabi penjelasan melalui hadis-hadisnya. Berdasarkan atas dua sumber inilah kemudian aspek-aspek hukum dikembangkan oleh para ulama diantaranya adalah Al-Syatibi yang telah mencoba mengembangkan pokok atau prinsip yang terdapat dalam dua sumber ajaran Islam itu dengan mengaitkannya dengan maqās}id al-syarī‘ah.1

Maqās}id al-syarī‘ah terdiri dari dua kata, yakni maqās}id dan al-syarī‘ah. Maqās}id adalah bentuk jamak dari maqs}u>du yang berarti kesengajaan atau tujuan. Al-Syarī‘ah secara bahasa berarti ( ردحت عضاوملا ءاملا ىلا) yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.2 Dari

1

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 1996), 60.

(31)

22

segi bahasa maqās}id al-syarī‘ah berarti maksud atau tujuan disyariatkan hukum Islam. Maqās}id al-syarī‘ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.3

Kajian tentang tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam merupakan kajian dalam bidang ushul fiqh, dan dalam perkembangan berikutnya, kajian ini merupakan kajian utama dalam filsafat hukum Islam, sehingga dapat dikatakan bahwa istilah maqās}id al-syarī‘ah identik dengan istilah filsafat hukum Islam.4

Maqās}id al-syarī‘ah secara istilah sebenarnya tidak didefinisikan secara khusus oleh para ulama ushul fiqh klasik, boleh jadi hal ini sudah maklum di kalangan mereka. Al-Syatibi mempergunakan kata yang berbeda-beda berkaitan dengan maqās}id al-syarī‘ah. Kata-kata itu ialah maqās}id al-syarī‘ah, al-maqās}id al-Syar’iyya>h fi al-Syarī‘ah, dan maqās}id min syar’i al-hu>km. Walau dengan kata-kata yang berbeda, mengandung

pengertian yang sama yakni tujuan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT.5 Menurut Al-Syatibi sebagai yang dikutip dari ungkapannya sendiri:

3 Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), 233.

4 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 123. 5

(32)

23

اَيْ ندلاَو ِنْيِدلا ِِ ْمِهِِِاَصَم ِماَيِق ِِ ِعِراَشلا ِدِصاَقَم ِقْيِقْحَتِل ْتَعَضَو ِةَعْ يِرَشلا ِهِذَ َنَا

اًعَم

‚Sesungguhnya syariat itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat‛.6

ِداَبِعْلا ِحِلاَصَمِل ٌةَعْوُرْشَم ُماَكْحَأْا

‚Hukum-hukum disyariatkan untuk kemaslahatan hamba‛.7

Apabila ditelaah pernyataan Al-Syatibi tersebut, dapat dikatakan bahwa kandungan maqās}id al-syarī‘ah atau tujuan hukum adalah kemaslahatan umat manusia. Bertitik tolak dari pandangannya bahwa semua kewajiban (taklif) diciptakan dalam rangka merealisasi kemaslahatan hamba. Tak satupun hukum Allah dalam pandangan Al-Syatibi yang tidak mempunyai tujuan, hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tak dapat dilaksanakan.8

Muhammad Abu Zahrah dalam kaitan ini menegaskan bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan. Tak satupun hukum yang disyariatkan baik dalam Al-Quran maupun Sunnah melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan.9

Dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer, perlu diteliti terlebih dahulu hakikat dari masalah tersebut. Penelitian terhadap kasus yang akan ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya. Artinya, bahwa dalam menetapkan nash terhadap satu kasus yang baru, kandungan nash

6 Al-Sha>t}ibiy, al-Muwafaqat fi Us}ul al-Shari’ah, Jilid II (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th), 2-3. 7

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah ..., 64. 8

Ibid., 65.

(33)

24

harus diteliti dengan cermat, termasuk meneliti tujuan disyariatkan hukum tersebut. Tujuan Allah mensyariatkan hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat.10

Penekanan maqās}id al-syarī‘ah yang dilakukan oleh al-Syatibi secara umum bertitik tolak dari kandungan ayat-ayat Al-Quran yang menunjukkan bahwa hukum-hukum Allah mengandung kemaslahatan. Al-Syatibi mengatakan bahwa maqās}id al-syarī‘ah dalam arti kemaslahatan terdapat dalam aspek-aspek hukum secara keseluruhan, artinya apabila terdapat permasalahan-permasalahan hukum yang tidak ditemukan secara jelas dimensi kemaslahatannya, dapat dianalisis melalui maqās}id al-syarī‘ah yang dilihat dari syariat dan tujuan umum dari agam Islam. Al-Quran sebagai sumber ajaran agama Islam memberikan pondasi yang penting yakni prinsip membentuk lemaslahatan manusia.11

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa maqās}id al-syarī‘ah adalah makna dan tujuan yang dijaga oleh syar’i dalam pembentukan hukum Islam untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.12

2. Kategori MaqƗshid al-SyarƯ‘ah

Hukum-hukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Abu Ishaq Al-Syatibi

10 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam ..., 124-125. 11

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah ..., 68.

12Muhammad Sa’ad bin ahmad bin mas’ud al-yubi, Maqa@sid al-Shari@’ah al islamiyyah wa ‘alaqatuha bi al adillah al-shar’iyyah (Riyadh: da@r al hijrah, 1998), 36.

(34)

25

melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasulullah bahwa ‚hukum-hukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat‛.

Kemaslahatan itu dapat diwujudkan apabila lima unsur pokok dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok itu menurut al-Syatibi adalah agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok itu, menurut al-Syatibi dikategorikan menjadi tiga tingkatan, yaitu kebutuhan Daru>riyah, kebutuhan Ha>jiyah, dan kebutuhan Tahsi>niyah.13

a. Kebutuhan Daru>riyah

Kebutuhan daru>riyah ialah tingkat kebutuhan yang harus ada, atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.14 Kebutuhan primer ini hanya bisa dicapai bila terpeliharanya lima tujuan hukum Islam yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara harta, dan memelihara keturunan.

1) Memelihara agama (hifz al-din), manusia disuruh beriman, mengucapkan dua kalimat syahadat, melaksanakan shalat lima waktu, mengeluarkan zakat, puasa di bulan ramadhan, serta

13

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah ..., 71. 14 Satria Effendi, Ushul Fiqh ..., 234.

(35)

26

melakukan ibadah yang pokok lainnya.15 Untuk menjaga agama, Allah menyuruh manusia untuk berjihad di jalan Allah sebagaimana banyak ditegaskan dalam Al-Quran yang diantaranya pada surat At-Taubah ayat 41:

Artinya: ‚Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui‛.16

2) Memelihara jiwa (hifz al-nafs), manusia harus melakukan banyak hal seperti makan, minum, menutup aurat, mencegah penyakit, dll. Manusia juga perlu berupaya dengan melakukan segala sesuatu yang memungkinkan untuk meningkatkan kualitas hidup. Segala usaha yang mengarah pada pemeliharaan jiwa itu adalah perbuatan baik, karenanya disuruh Allah untuk melakukannya. Sebaliknya, segala sesuatu yang dapat merusak jiwa adalah perbuatan buruk yang dilarang Allah.17

3) Memelihara akal pikiran (hifz al-‘aql) dalam peringkat daru>riyah, seperti diharamkan minum minuman keras, jika ketentuan ini

15 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung, 1995), 101.

16

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Bandung: Penerbit J-ART, 2005), 106. 17 Amir Syarifudin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2011), 234.

(36)

27

tidak diindahkan, maka berakibat terancamnya eksistensi akal.18 Akal yang diciptakan Allah khusus bagi manusia, diharuskan berbuat segala sesuatu untuk menjaga keberadaannya dan meningkatkan kualitasnya dengan cara menuntut ilmu. Manusia disuruh menuntut ilmu tanpa batas usia dan tidak memperhitungkan jarak atau tempat.

4) Memelihara harta benda (hifz al-‘ma>l), manusia memerlukan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti makan, minum, dan pakaian. Untuk itu diperlukan harta dan manusia harus berupaya mendapatkan secara halal dan baik.19

Di jelaskan dalam Al-Quran Surat Al-Jumu’ah ayat 10:



Artinya: ‚Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung‛.20

Untuk mendapatkan harta, Islam mensyariatkan wajib usaha mencari rezeki, dan melarang melakukan pencurian ataupun kejahatan yang lainnya.

5) Memelihara keturunan (hifz al-nasl) yang sah dan jelas. Untuk maksud itu Allah melengkapi makhluk hidup ini dengan nafsu

18

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam ..., 129. 19 Amir Syarifudin, Ushul Fiqh ..., 225.

20

(37)

28

syahwat yang mendorong untuk melakukan hubungan kelamin yang dilakukan secara sah adalah baik. Dalam hal ini Allah mensyariatkan nikah dan dilarang berzina.21 Sebagaimana Firman-Nya dalam surat An-Nur ayat 32:

Artinya: ‚Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui‛.22

Segala usaha yang mengarah pada penghapusan atau perusakan keturunan yang sah adalah perbuatan buruk. Oleh karena itu, Nabi sangat melarang membujang karena mengarah pada peniadaan keturunan. Islam juga melarang zina yang dinilai sebagai perbuatan keji dan dapat merusak tatanan sosial, mengaburkan nasab keturunan serta akan mendatangkan bencana.23 Firman Allah dalam Al-Quran Surat Al-Isra’ ayat 32:



Artinya: ‚Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk‛.24

21

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam ..., 130. 22

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya ..., 311. 23 Amir Syarifudin, Ushul Fiqh ..., 226.

24

(38)

29

Dalam kebutuhan Daru>riyah. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka akan mengacam keselamatan umat manusia di dunia maupun diakhirat.25

b. Kebutuhan Ha>jiyah

Secara bahasa berarti kebutuhan-kebutuhan sekunder. Apabila kebutuhan ini tidak terwujud tidak sampai mengancam keselamatan, namun akan mengalami kesulitan. Kesulitan atau kesempitan hidup tersebut tidak akan mengakibatkan kerusakan yang menimbulkan kerusakan hidup manusia secara umum. Untuk menghilangkan kesulitan tersebut, dalam Islam terdapat hukum rukhsah (keringanan) yaitu hukum yang dibutuhkan untuk meringankan beban, sehingga hukum dapat dilaksanakan tanpa rasa tertekan dan terkekang.26 Kebutuhan sekunder ini bisa dicapai bila terpeliharanya lima tujuan hukum Islam yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara harta, dan memelihara keturunan.

1) Memelihara Agama

Memelihara agama dalam peringkat ha>jiyah yaitu melaksanakan ketentuan agama dengan maksud untuk menghindari kesulitan seperti shalat jama’ dan shalat qashar bagi

orang yang sedang bepergian. Dan apabila ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksitensi agama

25 A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Bandung: Prenada Media, 2003), 397. 26 Satria Effendi, Ushul Fiqh ..., 235.

(39)

30

melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya.27

2) Memelihara Jiwa

Memelihara jiwa dalam peringkat ha>jiyah ini seperti diperbolehkan berburu binatang untuk menikmati makanan lezat dan halal, apabila hal ini diabaikan maka tidak akan mengancam eksistensi manusia melainkan hanya mempersulit hidupnya.28 3) Memelihara Akal

Memelihara akal dalam peringkat ha>jiyah ini seperti dianjurkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Dan apabila sekiranya hal tersebut tidak dilakukan maka tidak akan merusak akal akan tetapi mempersulit diri seseorang dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.29

4) Memelihara Keturunan

Memelihara keturunan dalam peringkat ha>jiyah ini seperti memelihara status pengakuan legalitas anak sebagai sarana untuk memudahkan mendapatkan hak keperdataan dan nasab.

5) Memelihara Harta

Memelihara harta dalam peringkat ha>jiyah ini seperti syari’at tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak

27

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam ..., 128. 28 Ibid., 129.

29

(40)

31

dilakukan maka tidak akan mengancam eksistensi harta melainkan akan mempersulit orang yang melaukan modal.30

c. Kebutuhan Tahsi>niyat

Kebutuhan tahsi>niyat Secara bahasa berarti hal-hal penyempurna (tersier). Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al-Syatibi, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.31 Pencapaian tujuan tersier hukum Islam ini biasanya terdapat dalam bentuk budi pekerti yang mulia atau akhlaqul karimah yang mencakup etika hukum, baik etika hukum ibadah, muamalat, adat, pidana atau jinayah, dan keperdataan.32 Tahsi>niyat ini terbagi menjadi 5 kelompok, yaitu: 1) Memelihara agama (hifz al-din)

Memelihara agama dalam peringkat tahsi>niyat yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan. Misalnya menutup aurat, baik didalam maupun diluar shalat, membersihkan badan, pakaian dan tempat. Kegiatan ini

30 Ibid., 131.

31

Satria Effendi, Ushul Fiqh ..., 236. 32

(41)

32

erat kaitannya dengan akhlak terpuji, kalau hal ini tidak mungkin dilakukan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melaukannya.33

2) Memelihara jiwa (hifz al-nafs)

Memelihara jiwa dalam peringkat tahsi>niyat seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubunga dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.34

3) Memelihara akal pikiran (hifz al-‘aql)

Memelihara akal dalam peringkat tahsi>niyat seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah, hal ini tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.

4) Memelihara harta benda (hifz al-‘ma>l)

Memelihara harta dalam peringkat tahsi>niyat seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis.

5) Memelihara keturunan (hifz al-nasl)

Memelihara keturunan dalam peringkat tahsi>niyat seperti disyariatkan khitbah atau walimah dalam perkawinan, hal ini

33

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam ..., 128. 34

(42)

33

dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan, jika diabaikan maka tidak akan mengacam eksistensi keturunan, dan tidak pula mempersulit orang yang melangsungkan perkawinan.35 Pada hakikatnya, baik kelompok daru>riyah, ha>jiyah, maupun tahsi>niyat dimaksudkan memelihara ataupun mewujudkan kelima pokok seperti yang disebutkan diatas. Hanya saja peringkat kepentingannya berbeda satu sama lain. Menurut Al-Syatibi, penetapan kelima pokok diatas didasarkan atas dalil-dalil Al-Quran dan Sunnah. Tidak terwujud aspek daru>riyah dapat merusak kehidupan manusia dunia dan akhirat secara keseluruan. Pengabaian terhadap aspek ha>jiyah, tidak sampai merusak lima unsur pokok, akan tetapi tetapi hanya akan membawa kesulitan bagi manusia sebagai mukallaf dalam merealisasikannya. Sedangkan pengabaian aspek tahsi>niyat, membawa upaya memelihara lima unsur pokok tidak sempurna.36

Dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, maka ketiga tingkat maqās}id diatas tidak dapat dipisahkan. Menurut Al-Syatibi tingkat ha>jiyah adalah penyempurna tingkat daru>riyah, tingkat tahsi>niyat merupakan penyempurna lagi bagi tingkat ha>jiyah. Sedangkan daru>riyah menjadi pokok ha>jiyah dan tahsi>niyat. Pengkategorian yang dilakukan oleh Al-Syatibi ke dalam maqāshid daru>riyah, ha>jiyah dan tahsi>niyat menunjukkan bahwa betapa pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok itu dalam kehidupan manusia, disamping

35

Ibid., 130. 36

(43)

34

itu pula pengkategorian itu mengacu tidak hanya kepada pemeliharaan lima unsur, akan tetapi mengacu kepada pengembangan dan dinamika pemahaman hukum yang diciptakan oleh Tuhan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia.37

Mengetahui urutan peringkat maslahat diatas menjadi penting artinya apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya, ketika kemaslahatan yang satu berbenturan dengan kemaslahatan yang lain, dalam hal ini tentu peringkat pertama daru>riyah harus didahulukan dari pada tingkat kedua ha>jiyah dan peringkat ketiga tahsi>niyat. Ketentuan ini menunjukkan bahwa dibenarkan mengabaikan hal-hal yang termasuk dalam peringkat kedua dan ketiga manakala kemaslahatan yang masuk peringkat pertama terancam eksistensinya.38

Keadaan diatas hanya terbatas pada yang berbeda peringkat. Adapun dalam kasus yang peringkatnya sama, seperti peringkat daru>riyah dengan peringkat daru>riyah dan seterusnya, maka penyelesaiannya adalah sebagai berikut:39

a) Jika perbenturan itu terjadi dalam urutan yang berbeda dari lima pokok kemaslahatan tersebut, maka skala prioritas didasarkan pada urutan yang sudah baku yakni agama harus didahulukan dari pada jiwa, dan jiwa harus didahulukan dari pada akal, begitu seterusnya. Dengan kata

37

Ibid., 73. 38

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam ..., 132. 39

(44)

35

lain urutan kelima pokok kemaslahatan itu sudah dianggap baku dan mempunyai pengaruh atau akibat tersendiri.

b) Jika perbenturan terjadi dalam peringkat dan urutan yang sama, seperti sama-sama menjaga harta atau menjaga jiwa di dalam peringkat daru>riyah, maka mujtahid berkewajiban untuk meneliti dari segi cakupan kemaslahatan itu sendiri atau adanya faktor lain yang menguatkan salah satu kemaslahatan mana yang harus didahulukan.

3. Tujuan MaqƗs}id Al-SyarƯ‘ah

Hukum Islam datang ke dunia membawa misi yang sangat mulia,

yaitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia di muka bumi. Pembuat

Syariah (Allah dan Rasul-Nya) menetapkan syariah bertujuan untuk

merealisasikan kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatan, dan

menghindarkan kemafsadatan bagi umat manusia.40

Pengetahuan tentang maqās}id al-syarī‘ah adalah hal yang sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-Quran dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam Al-Quran dan Sunnah.41

Tujuan hukum Islam itu menjadi arah setiap perilaku dan tindakan manusia dalam rangka mencapai kebahagiaan hidupnya dengan mentaati

40 Mukhtar yahya dan Faturrahman, Dasar-dasar Pembinaan Fiqih Islami ( Bandung: Al-Ma’arif, 1993), 333.

41

(45)

36

semua hukum-hukum-Nya. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, yakni Al-Quran dan Sunnah. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan di akhirat, berdasarkan penelitian para ushul fikih, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, kelima pokok tersebut adalah agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.42

Tujuan Allah mensyariatkan hukumNya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat. Terkait dengan ini, Abu Zahrah mengatakan bahwa “setiap hukum Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu

kemaslahatan”. Tidak ada perintah dalam Al-Quran dan Sunnah yang tidak

memiliki kemaslahatan yang hakiki, meskipun kemaslahatan itu tidak

tampak dengan jelas. Kemaslahatan di sini adalah kemaslahatan hakiki

yang bersifat umum dan tidak didasarkan pada pemenuhan hawa nafsu.43

Prof DR. H Mustafa dalam bukunya Hukum Islam Kontemporer

mengatakan bahwa “secara umum tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan

hidup manusia di dunia dan di akhirat, dengan jalan mengambil (segala)

manfaat dan menolak atau mencegah segala mudarat, yaitu yang tidak

berguna bagi hidup dan kehidupan”.44

Maqās}id al-syarī‘ah Berarti tujuan Allah dan RasulNya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam

42 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam ..., 125.

(46)

37

ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.45

Tujuan hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Quran dan Sunnah. Lebih dari itu tujuan hukum harus diketahui dalam rangka mengetahui apakah suatu kasus masih dapat diterapkan berdasarkan satu ketentuan hukum, karena adanya perubahan struktur sosial hukum tersebut tidak dapat diterapkan. Dengan demikian pengetahuan tentang maqās}id al-syarī‘ah menjadi kunci bagi keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya.46

Dengan diketahuinya tujuan hukum Islam, dapat ditarik suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya secara tepat dan benar dan selanjutnya dapat ditetapkan hukum peristiwa yang tidak ada nashnya. Senada dengan pendapat diatas, Al-Shatibi mengembangkan doktrin maqās}id al-syarī‘ah dengan menjelaskan bahwa tujuan akhir hukum Islam adalah satu, yaitu kemaslahatan atau kebaikan dan kesejahteraan bagi umat mausia. Pendapat Al-Shatibi didasarkan pada prinsip bahwa Tuhan melembagakan syari’ah demi kemaslahatan manusia, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

45 Satria Efendi, Ushul Fiqh ..., 233. 46

(47)

38

B. ‘Iddah Dalam Hukum Islam 1. Pengertian ‘Iddah

Secara singkat ‘iddah dapat dirumuskan sebagai masa tunggu yang dihadapi seorang wanita yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya.47 ‘iddah adalah bahasa Arab yang berasal dari akar kata ‘adda

ya’uddu-‘idatan dan jamaknya adalah ‘idad yang secara arti kata (etimologi)

berarti: menghitung atau hitungan. Kata ini digunakan untuk maksud ‘iddah karena dalam masa itu si perempuan yang ber‘iddah menunggu

berlalunya waktu.48

‘Iddah diwajibkan karena perceraian yang dijatuhkan suami masih hidup atau sudah meninggal, pernah menggauli (ba’da dukhul), akan tetapi lain halnya jika suami itu belum pernah menggauli, maka tidak wajib ‘iddah. ‘Iddah baik bagi wanita yang cerai hidup atau cerai mati adakalanya ia masih mengalami haid, ada juga yang sudah putus haid (menopause) dan terkadang juga wanita tersebut sedang hamil, ataupun wanita yang pernah haid namun tidak teratur haidnya.

Dalam Al-Quran banyak ayat yang menunjukkan kewajiban bagi perempuan untuk ber‘iddah, diantaranya dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 228:

Artinya:‚Perempuan-perempuan yang ditalak oleh suaminya hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.

47Abdul Muhaimin As’ad, Risalah Nikah (Surabaya : Bintang Terang, 1993), 101.

(48)

39

Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 234, yang artinya:

‚Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari‛.49

Dalam Al-Quran Surat Al-Ahzab ayat 49:



Artinya: ‚Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.50

2. Macam-Macam ‘Iddah

Secara garis besar dibagi menjadi dua: a. ‘Iddah karena suami meninggal dunia

Dalam hal ini posisi ada dua kemungkinan, yaitu wanita yang dalam keadaan hamil atau tidak hamil.51 Apabila wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil maka‘iddahnya sampai melahirkan. Seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran Surat At-Thalaq ayat 4. Sedangkan bagi istri yang ditinggal mati suaminya, baik ia sudah atau belum bercampur suaminya, maka ‘iddah mereka 4 bulan

49

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya ...,39. 50 Ibid., 424.

51

(49)

40

10 hari, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Quran Surat Al-Baqarah ayat 234.

b. ‘Iddah karena perceraian/talak

Mengenai ‘iddah karena talak ini ada beberapa macam:

1) Wanita yang ditalak suaminya dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya sampai melahirkan.

2) Wanita yang ditalak suaminya dan masih mempunyai haid, maka‘iddahnya adalah 3 kali quru’.

3) Wanita yang ditalak suaminya sudah tidak hamil dan tidak pula haid baik masih kecil atau sudah lanjut usia, maka ‘iddahnya 3 bulan.

4) Wanita yang dicerai sebelum dikumpuli, maka tidak ada ‘iddah baginya.

(50)

BAB III

PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SYAFI’I TENTANG ‘IDDAH WANITA YANG HAID TIDAK TERATUR

A. Imam Malik

1. Biografi Imam Malik

Nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Harits bin Ghaaiman bin Kutail bin Amr bin Harits al-Ashbahi, lahir di kota Madinah pada tahun 94 H/716 M.1 Imam Malik dilahirkan dari sepasang suami-istri Anas bin Malik dan Aliyah binti Suraik, bangsa Arab Yaman. Kakek Imam Malik bernama Malik ibn Abi ‘Amir yakni seorang ulama besar Tabi’in. Ia adalah salah

satu dari mereka yang menulis Mushaf di masa Amir al-Mukminin Utsman ibn ‘Affan, Ia memiliki empat orang anak, yaitu Anas (bapaknya

Imam Malik), Abu Suhayl yang nama sebenarnya adalah Nafi’, Ar-Rabi dan Uways.

Imam Malik Ibn Anas dilahirkan saat menjelang periode sahabat Nabi saw di Madinah.5 Tidak berbeda dengan Abu Hanifah, beliau juga termasuk ulama’ 2 zaman, ia lahir pada masa Bani Umayyah tepat pada

pemerintahan Al-Walid Abdul Malik (setelah Umar ibn Abdul Aziz) dan

1Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Hukum Islam 3 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), 139.

(51)

42

meninggal pada zaman Bani Abbas, tepatnya pada zaman pemerintahan Al-Rasyid (179 H).2

Imam Malik berasal dari sebuah keluarga yang kurang berada tetapi tekun dalam mempelajari ilmu agama dan tumbuh besar di Madinah. Yang mana Madinah ketika itu merupakan pusat perkembangan sunnah/hadis Rasulullah saw, dan Imam Malik sendiri merupakan seorang periwayat hadis yang masyhur.3

Sejak kecil beliau dikenal sebagai pribadi yang gemar menuntut ilmu. Imam malik belajar di kota Madinah pada masa pemerintahan Khalifah Sulaiman ibn Abd Malik dari Bani Umayyah VII. Pada waktu itu di kota tersebut hidup beberapa guru yang terkenal. Pelajaran pertama yang diterimanya adalah Al-Quran, yakni bagaimana cara membaca, memahami makna dan tafsirnya. Dihafalnya Al-Quran itu di luar kepala. Kemudian ia mempelajari hadits Nabi dengan tekun dan rajin, sehingga ia mendapat julukan sebagai ahli hadits.4 Dalam belajar Al-Quran dan menghafalnya beliau masih usia yang sangat muda, diajar oleh Imam Nafi’ ibn ‘Abd ar-Rahman ibn Nu’aym, Imam para pembaca Al-Quran

kota Madinah dan salah satu dari ‚tujuh pembaca Al-Quran‛. Selain itu Imam Malik mempelajari bermacam-macam bidang ilmu pengetahuan

2 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: Rosdakarya, 2000), 79. 3 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Hukum ...,140.

4 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 102-103.

(52)

43

seperti ilmu Hadits, Al-Rad al-Ahlil Ahwa Fatwa, Fatwa dari para sahabat-sahabat dan ilmu fiqh ahli ra’yu (fikir).5

Para ulama sepakat bahwa Imam Malik adalah tokoh terpercaya dalam meriwayatkan hadis, dalam hal penerimaan hadis beliau hanya menerima hadis dari orang yang memang dipandang ahli hadis dan terpercaya (tsiqah). Beliaupun hanya menerima hadis yang matannya (redaksi atau kandungannya) tidak bertentangan dengan Al-Quran. Dalam hal periwayatan hadis, beliau hanya meriwayatkan hadis-hadis yang ma’ruf dan mensyaratkan juga matan hadis itu sejalan dengan amalan

penduduk Madinah.6

Imam Malik memiliki daya hafal yang sangat kuat, apabila mendengar sesuatu langsung dapat dihafalnya, pernah mendengar 40 hadis sekaligus dan pada keesokan harinya ia mengemukakan hafalannya kepada gurunya tidak ada yang salah. Inilah yang menyebabkan beliau menjadi gudang ilmu. Ilmu pada saat itu diambil dengan cara menghafal dari guru bahkan dengan jalan membaca kitab, setiap apa yang telah dihafal ditulis dalam buku catatannya.7

Guru yang sekaligus menjadi sumber penerimaan hadis Imam Malik adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Sa’id Al-Ansari, dan Muhammad bin Munkadir.

5 Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Imam Empat Madzhab (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1993), 75.

6 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Hukum ...,140.

7 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab (Semarang: Pustaka Rizki Putera, 1997), 467.

(53)

44

Gurunya yang lain adalah Abdur Rahman bin Hurmuz (seorang tabi’in

ahli hadis, fiqih, fatwa dan ilmu berdebat).8 Adapun murid-murid Imam Malik antara lain Asy-Syaibani, Imam Syafi’i, Yahya bin Yahya Al-Andalusi, Abdurrahman bin Qasim di Mesir, Asad Al-Furat At-Tunisi, dan masih banyak lagi.9

Karya-Karya Imam Malik diantaranya adalah Al-Muwat}}t}a’, kitab ini adalah kitab hadis dan sekaligus kitab fiqih karena berisi hadis-hadis yang disusun sesuai dengan bidang-bidang yang terdapat dalam kitab fiqih. Dikatakan bahwa hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Al-Muwat}}t}a’ ini tidak seluruhnya musnad (hadis yang bersambung sanadnya)

karena di samping hadis di dalamnya terdapat pula fatwa para sahabat dan tabi’in.10

Selain Al-Muwat}}t}a’, beberapa kitab lainnya yang dinisbathkan (dihubungkan) kepada Imam Malik yang tersebar antara lain adalah kitab Al-Mudawwanah al-Kubro. Kitab ini adalah catatan seorang murid imam Malik, Abdus Salam bin Sa’id al-Tanukhi yang lebih dikenal dengan nama Sahnun (wafat 240 H), yang berisi tentang jawaban-jawaban Imam Malik terhadap pertanyaan-pertanyaan masyarakat.11

Pemikiran Imam Malik di bidang hukum Islam/fiqih sangat dipengaruhi oleh lingkungannya, Madinah sebagai pusat timbulnya sunnah Rasulullah saw dan sunnah sahabat merupakan lingkungan

8

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Hukum ...,140. 9 Ibid.

10 Ibid.

(54)

45

kehidupan Imam Malik sejak lahir sampai wafatnya. Oleh sebab itu, pemikiran hukum Imam Malik banyak berpegang pada sunnah-sunnah tersebut. Kalau terjadi perbedaan satu sunnah dengan yang lain maka beliau berpegang pada tradisi yang biasa berlaku di masyarakat Madinah. Menurut pendapatnya, tradisi masyarakat Madinah ketika itu berasal dari tradisi para sahabat Rasulullah saw yang dapat dijadikan sumber hukum. Kalau tidak menemukan dasar hukum dalam Al-Quran dan sunnah, maka beliau memakai Qiyas, dan Al-Maslahah Al-Mursalah (maslahat/kebaika umum).12

Akhir Riwayat Hidup Imam Malik yaitu setelah berusia lanjut Imam Malik menyelenggarakan halaqahnya di rumahnya sendiri yang luas dan banyak perabotan yang serba indah. Ia terkenal sebagai seorang yang senang bergaul tetapi setelah lanjut usia ia meninggalkan kebiasaan itu. Imam Malik mengalami sakit selama dua puluh hari. Pada malam beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir Imam Malik meninggal dunia di Madinah yaitu pada tanggal 14 Rabiul Awal 179 H/795 M dan dimakamkan di tanah kuburan al-Baqi’.13

2. Metode Istinba>t Hukum Imam Malik

Sebagai seorang ulama besar, tentu saja dalam memberikan fatwa dan menyelesaikan persoalan yang menyangkut agama, Imam Malik tidak sembarangan dalam memakai dasar hukumnya.

12 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Hukum ...,140. 13 Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi ..., 138.

(55)

46

Imam Malik merupakan imam maz|hab yang memiliki perbedaan istinbath hukum dengan imam maz|hab lainnya. Imam Malik sebenarnya belum menuliskan dasar-dasar fiqhiyah yang menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-pemuka madzhab ini, murid-murid Imam Malik dan generasi yang muncul sesudah itu, mengumpulkan dasar-dasar fiqhiyah Imam Malik kemudian menuliskannya. Dasar-dasar fiqhiyah itu kendatipun tidak ditulis sendiri oleh Imam Malik, akan tetapi mempunyai kesinambungan pemikiran, paling tidak beberapa isyarat itu dapat dijumpai dalam fatwa-fatwa Imam Malik terutama dalam bukunya ‚al-muwat}t}a’‛. Dalam ‚al-muwat}t}a’ ‛, secara jelas Imam Malik menerangkan bahwa beliau mengambil ‚tradisi orang-orang madinah‛ sebagai salah satu sumber hukum setelah Al-Quran dan sunnah. Bahkan ia mengambil hadis munqot}i’ dan mursal selama tidak bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah. Dalam menetapkan hukum dan ketika memberi fatwa, beliau sangat berhati-hati. Adapun metode istinbath hukum Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam berpegang kepada:14

a. Al-Quran

Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan olehnya dengan perantara malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah saw. dengan lafaz} bahasa Arab dan dengan makna yang benar, agar menjadi hujjah Rasul atas pengakuannya sebagai Rasul saw. Juga sebgai undang-undang yang

Referensi

Dokumen terkait

Dengan 2 (dua) peranan ini maka lebih besar kemungkinan untuk mencari dan mengumpulkan bukti, baik alat bukti maupun barang bukti berupa dokumen elektronik, yang

Untuk perlindungan yang diberikan pemerintah setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014, pemerintah masih belum bisa memberikan perlindungan hukum

Pengaruh Kompetensi Sumber Daya Manusia, Pemberian Tunjangan Prestasi Kerja, Tekanan Kerja, dan Penerapan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah Terhadap Kinerja

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi bubuk batang kecombrang bagian dalam (K) tidak berpengaruh nyata terhadap total mikroba, sedangkan lama

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek ekstrak etanol daun kacang panjang ( Vigna unguiculata (L.) Walp) terhadap morfometri (perimeter dan diameter) insula

Maka terdapat 10 (sepuluh) strategi mitigasi dari dampak alih fungsi lahan padi sawah di Kecamatan Setia Janji, Kabupaten Asahan dimana yang terutama yaitu

Tahap yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pembuatan cuka umbi bit, persiapan hewan uji tikus, perhitungan dosis induksi aloksan, dosis cuka umbi bit, dan dosis obat

pada anak, nilai rata-rata anak dalam kemampuan vocabulary bahasa Inggris di lingkungan sekolah adalah sebesar 60%. 3) Eksperimen Ketiga, setelah guru melakukan