ABSTRAKSI Nama Penyusun : Saiful Islam
NIM : F0.5.4.10.241
Judul Tesisi : Dakwah Dan Kekerabatan (Strategi Pengorganisasi Anggota Majlis Ta’lim al-Hadi Pesantren Zainul Hasan Genggong Di Pajarakan Kabupaten Probolinggo).
Penyebaran agama Islam ke Nusantara pertama kalinya dilakukan dengan menggunakan berbagai macam cara dan saluran, perdagangan, politik kekuasaan dan sebagainya. Pelopor dakwah di Jawa, yang terkenal dengan
sebutan wali songo, memilih memanfaatkan medium jalinan kekerabatan
yang menghubungkan secara geneologis, baik antara mereka sesama pelaku
dakwah (da>‘i>) maupun dengan masyarakat strategis yang menjadi objek
pengislaman (mad‘u>). Dalam kenyataanya, model komunikasi dakwah
semacam itu terbukti sangat efektif meningkatkan keberhasilan dakwah Islam.
Dakwah Islam dengan kekerabatan memperoleh banyak keuntungan berkat jalinan kekerabatan. Seperti, hubungan kekerabatan yang mengacu pada skema anggota-anggota keluarga, baik yang bertalian darah segaris keturunan (lineage) atau nasab-atas (nenek moyang), ke bawah (anak cucu), serta samping kanan dan kiri (semendo), mampun yang diakibatkan oleh oleh suatu kontrak perkawinan. Dakwah dengan kekerabatan tidak hanya ditemukan pada massa wali songo yang sangat sukses mengislamkan tanah Jawa, hal itu juga ditemukan di media dakwah Majlis Ta’lim al-Ahadi Di Pesantren Zainul Hasan Genggong Kabupaten Probolinggo. Dakwah dengan
kekerabatan yang pereankan oleh Kyai (da>‘i>) dan anggota pengajian Majelis
Ta’lim al-Ahadi di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, merupakan fenomina dakwah yang menarik untuk diteliti, melihat dakwah dengan kekerabatan sangat sulit ditemukan pada saat sekarang apalagi dengan usianya Majlis Taklim ini sudah hampir satu abad. Karena itu peneliti menganggkat judul; Dakwah dan Kekerabatan, Kajian tentang Strategi
Pengorganisasian Anggota Pengajian Majelis Ta’lim al-Ahadi di pondok
Pesantren Zainul Hasan Genggong Pajarakan Kab. Probolinggo.
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian kualitatif dengan tujuaan untuk mendiskripsikan anggota
pengajian dan pelaku dakwah di Majlis Ta’lim al-Ahadi. Sedangkan teori
yang digunakan untuk membedah jamaah dan pelaku dakwah, penulis menggunakan teori Cliford Greertz tentang agama dan kebudayaan, dan teori James W. Zanden tentang terbentuknya kelompok.
itu sendiri, adapun anggota penggajian membentuk kekerabatan yaitu alumni santri yang dulu menjadi santri di pesantren mengikuti pengajian dan
mengajak saudara-saudaranya di Majlis Ta’lim al-Ahadi.
Keunikan dari media dakwah ini adalah masih bisa mempertahankan nilai nilai lama, meskipun media dakwah yang lain sudah menggunkan media elektronik seperti televisi untuk mempublikasin dan mensosialisasikan
dakwah islam kepada masyarakat. Hal inilah yang membuat Majlis Ta’lim
DAKWAH DAN KEKERABATAN
Kajian Tentang Strategi Pengorganisasian Anggota Pengajian Majelis Ta’lim al -Ahadi di Pesantren Zainul Hasan Genggong Pajarakan Kab. Probolinggo
TESIS
Diajukan Untuk memenuhi sebagian syarat
Memperoleh Gelar Magister Dalam Program Studi Ilmu Keislaman Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam
Oleh SAIFUL ISLAM N I M : F0.5.4.10.241
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER ... i
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... viii
ABSTRAKSI ... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 6
C. Perumusan Masalah ... 7
D. Tujuan Penelitian ... 8
E. Kegunaan Penelitian ... 8
F. Penelitian terdahulu ... 8
G. Sistematika pembahasan ... 13
BAB II KAJIAN TEORITIK METODE DAKWAH A. Kajian Pustaka ... 16
B. Teori Penelitian ... 25
1. Cliford Greetz Tentang Agama Dan Kebudayaan ... 32
2. James W. Zanden Teori tentang terbentuknya kelompok ... 32
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Dan Jeinis Penelitian ... 36
C. Sumber Data Dan Lokasi Penelitian ... 41
D. Tahap-Tahap Penelitian ... 42
E. Teknik Analisis Data ... 49
F. Teknik Keabsahan Data ... 51
G. Jadwal Penelitian ... 54
BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISA DATA A. Latar Belakang Berdirinya Majlis Ta’lim al-Ahadi ... 56
1. Majlis Ta’lim al-Ahadi Pada Masa KH. Moh. Hasan ... 57
2. Majlis Ta’lim al-Ahadi Masa KH.Moh. Hasan Saifurrizdal ... 61
3. Majlis Ta’lim al-Ahadi Masa KH. Moh. Hasan Saiful Islam ... 64
B. Visi Dan Misi Majlis Ta’lim Al-Ahadi ... 66
C. Perkembangan Majlis Ta’lim al-Ahadi ... 67
D. DESKRIPSI HASIL PENELITIAN ... 70
1. Pola Kekerabatan Majlis Ta’lim al-Ahad ... 70
2. Hubungan (interrelationship) Kekerabatan Anggota Majelis Ta’lim al-Ahadi ... 75
3. Strategi Majlis Ta’lim al-Ahadi Pesantren Zainul Hasan ... 77
a. Barokah dan Karomah Kyai Pesantren, Akan Dari Staregi Dakwah Majlis ta’lim al-Ahadi ... 77
b. Santri Sebagai Modal Stragi Dakwah Majlis Ta’lim al-Ahadi ... 81
E. ANALIS DATA 1. Pola Kekerabatan Pimpinan Majlis Ta’lim al-Ahadi ... 83
2. Pola Kekerabatan Anggota Pengajian Majlis Ta’lim al-Ahadi .... 85
3. Strategi Majelis Ta’lim al-Ahadi Bisa Bertahan Sampai Sekarang... 86
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan... 88
DAFTAR PUSTAKA ...
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyebaran agama Islam ke Nusantara pertama kalinya dilakukan
dengan menggunakan berbagai macam cara dan saluran, perdagangan,
politik kekuasaan dan sebagainya. Pelopor dakwah di Jawa, yang terkenal
dengan sebutan wali songo,1 memilih memanfaatkan medium jalinan
kekerabatan yang menghubungkan secara geneologis, baik antara mereka
sesama pelaku dakwah (da>‘i>) maupun dengan masyarakat strategis yang
menjadi objek pengislaman (mad‘u>). Dalam kenyataanya, model
komunikasi dakwah semacam itu terbukti sangat efektif meningkatkan
keberhasilan dakwah Islam.2
Wali-wali pun, pada waktu itu, diakui peranannya dalam struktur
komunitas penduduk pribumi bahkan melalui isyarat-isyarat
kesinambungan keturunan antarsesama wali sebagai da>‘i>, seperti wali
songo. Kekerabatan para wali songo ini dapat diterangkan dengan teori
ujung timur pulau Jawa, yang menyebutkan empat orang suci agama Islam
pada zaman kuno diperkirakan masih satu saudara. Mereka ialah Jumadil
1 Wali songo adalah wali yang berjumlah sembilan yang terdiri dari Malik Ibrahim (Gresik),
Sunan Ampel (Surabaya), Sunan Giri (Gresik), Sunan Bonang (Tuban), Sunan Drajat (Lamongan), Sunan Kudus (Kudus), Sunan Kali Jaga (Kadilangu Demak), Sunan Muria (Kudus), dan Sunan Gunung Jati (Cirebon). Lihat Sukarma, “Kekerabatan: Akar Keunggulan
Strategi Dakwah Wali Songo”, Ilmu Dakwah, Vol. 10, No. 2 (April, 2005), 3.
2
Kubra di mantingan,3 dan Nyampok di suku Dhomas, Dada Pethak di
Gunung Bromo dan Maulana Ishak dari blangbangan.
Pada paruh pertama abad ke-15, saat Islam memperoleh momentum
di istana dan wilayah kekuasaan majapahit, sebelumya prabu Kertawijaya
dan Brawijaya 1 yang masih menganut agama Hindu support kepada
pribadi dan aktifitas muslim, dalam hal ini adalah Santri Gresik, Raden
‘Alim atau Sunan Mejagung dan Raden Rahmat (Sunan Ampel), semantara
itu perkawinan raja legendaris Majapahit Brawijaya V dengan wanita
kebangsaan Tionghoa. Dara Pethak melahirkan Raden Fatah, jadi secara
geneologis raja Demak yaitu Raden Fatah, yang di kemudian hari menjadi
penguasa Muslim pertama di tanah Jawa. Jadi secara geonologis, raja
Demak itu masih tergolong kerabat dekat Sunan Ampel dari lingkungan
keraton Majapahit.
Raden Sahid atau Sunan Kalijaga adalah kerabat dari Sunan
Bonang bila dilihat dari ibunya yang berasal dari kedaton tua Tuban, dan
juga Sunan Kalijaga mempunyai hubungan dekat dengan Sunan Gunung
Jati karena menikahi saudara perempuanya yaitu Ratna Sitti Jainab, adapun
Sunan Sarif Hidayatullah mempunyai kekerabatan dengan Sultan
Tranggana Demak karena menikahi saudara perempuanya. Sunan Kudus
nama aslinya Jaf’ar Sodik di ketahui putra dari Sunan Maulana Ishak,
3 Mantingan atau pemantingan adalah suatu tempat di dekat Jepara. Sebelum zaman Islam,
3
saudara sekandung dari lain ibu, sementara Umar Sahid yang bergelar
Suna Muria adalah putra Sunan Kalijaga.
Penyebaran Islam dengan kekerabatan memperoleh banyak
keuntungan berkat jalinan kekerabata. Seperti, hubungan kekerabatan yang
mengacu pada skema anggota-anggota keluarga, baik yang bertalian darah
segaris keturunan (lineage) atau nasab-atas (nenek moyang), ke bawah
(anak cucu), serta samping kanan dan kiri (semendo), mampun yang
diakibatkan oleh oleh suatu kontrak perkawinan.4
Dakwah Islam mengalami akselerasi setalah para penyebar Islam
memanfaatkan kualitas-kualitas kenisbatan (ascriptive), seperti faktor
kekeluargaan di atas, dalam fungsi kolegial antar mereka selaku pembawa
risalah (pesan da‘wah) di bumi Indonesai. Selanjutnya, mereka menjalin
suatu pathnership dengan masyarakat pribumi, khususnya
penguasa-penguasa setempat. Sejarawan Tunisia Ibnu Khaldun (W. 808 H./322-1406
M) mengatakan, da‘wah agama sesungguhnya tidak akan berhasil tanpa
dukungan solidaritas keturunan. Para nabi sendiri selaku pelaku dakwah
dan diyakini paling mampu melakukan hal-hal laur biasa sekalipun, masih
memerlukan perlindungan dari anak kerabatnya.
Untuk menegakkan suatu agama, memang motivasi keagamaan saja
tidak cukup bila tidak ditunjang oleh adanya kekuatan solidaritas sosial
yang bertumpu, pada ikatan darah atau persamaan keturunan. Misalnya,
usaha-usaha Muhammad b. Abd al-Wahab memperbaharui agama Islam
4
(gerakan wahabi) baru berhasil menuai hasil yang lebih luas setelah sang
pelopor menjalin “aliansi genealogis” dengan keluarga penguasa Saudi.
Dakwah dengan kekerabatan tidak hanya di temukan pada masa
para wali songo, yang menuai keberhasilan menanamkan Islam pada
masyarakat Jawa dan pemabaharuan Islam (gerakan wahabi) yang
dilakukan oleh Muhammad B. Abd al-Wahab di Arab Saudi. Dakwah
dengan kekerabatan, juga ditemukan di Majelis Ta’lim al-Ahadi di
Pesantren Zainul Hasan Genggong.
Dakwah dengan kekerabatan di Majelis Ta’lim al-Ahad di perankan
oleh Kyai dan anggota pengajian.5 Pola kekerabatan yang dilakukan oleh
Kyai-santri dan simpatisan (masyarakat) sebagai anggota dakwah. Pertama,
Kyai mewariskan kepada potranah (putra) untuk menggantikan
kepemimpinan Majelis Ta’lim al-Ahadi. Kedua, anggota pengajian yang
terdiri dari alumni santri dan non-alumni (simpatisan) mewariskan tradisi
pengajian kepada saudaranya.
Dakwah dengan kekerabatan yang dilakukan oleh Kyai pesantren
dan anggota pengajian, memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi
keberlangungan dakwah Majelis Ta’lim al-Ahadi. Strategi yang masih
konvensional masih di pertahankan dan nyaris tidak ada perubahan dalam
strateginya.
5 Kyai Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, meliputi. KH. Moh. Hasan Sepuh, KH. Moh.
5
Di lihat dari usianya media dakwah Majelis Ta’lim al-Ahadi sudah
lebih dari 80 tahun, keunikan tersendiri bagi Majelis Ta’lim al-Ahadi
sebagai media dakwah untuk menyebarkan agama Islam kepada masyarakat
sebagai sasaran dakwah (mad’u>>), melihat perkembangan media dakwah
yang digunakan oleh para pelaku dakwah (da>’i) sekarang dengan
menggunakan media dakwah modern, seperti. Televisi, Hanphond, Koran,
Majalah, Tabloid, Internet.6
Tujuan didirikanya Majelis Ta’lim al-Ahadi sebagai media dakwah
untuk menamkan imam dan takwah kepada masyarakat, dari lahirnya
sampai sekarang Majelis Ta’lim al-Ahadi sudah memilki 5000 lebih
anggota pengajian.7 Untuk memperluas tujuan didirikanya Majelis Ta’lim
al-Ahadi, pelau dakwah (Kyai) mereformasi tujuan pengajian, dari
imam-takwah kepada penyuluhan dan penerangan yang dikenal dengan sebutan
(P2), dengan memberi pemahaman kepada anggota pengajian tentang
penyuluhan-penerangan, supaya masyarakata khususnya anggota pengajian
lebih memahami pentinganya penyuluhan-penerangan di kehidupan
sehari-hari.
Dakwah dengan kekerabatan yang pereankan oleh Kyai (da>‘i>) dan
anggota pengajian Majelis Ta’lim al-Ahadi di Pondok Pesantren Zainul
Hasan Genggong, merupakan fenomina dakwah yang menarik untuk
diteliti, melihat dakwah dengan kekerabatan sangat sulit ditemukan pada
6 Hasan Malik, Wawancara, Probolinggo, 20 Maret, 2012.
7Arief Umar, 150.Tahun Menebar Ilmu di Jalan Allah, Sejarah Perjalanan dan Perkembanganya
6
saat sekarang apalagi dengan usianya Majlis Taklim ini sudah hampir satu
abad.
Karena itu peneliti menganggkat judul; Dakwah dan Kekerabatan,
Kajian tentang Strategi Pengorganisasian Anggota Pengajian Majelis
Ta’lim al-Ahadi di pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Pajarakan
Kab. Probolinggo.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dalam berdakwah, da>‘i> merupakan seorang komunikator yang
menyampaikan pesan-pesan dakwah melalui berbagai cara dalam
ber-dakwah, dengan tujuan supanya mad’u> menerima pesan dari da>‘i> dan mad’u>
bisa memahami sekaligus mengamalkan.
Seorang da>‘i> tidak bisa efektif menyampaikan pesanya apabila tidak
mempunyai metode dan strategi dalam berdakwah dengan katagori
efektifitas materi yang di sampaikan, bertahan atau tidaknya media dakwah
yang dilakukan oleh da>‘i> karena petimbangan peminat dari pengajian
tersbut, bukan hanya melulu di dasarkan pada pesan atau materi yang di
sampaikan oleh para da>‘i> dengan alasan kurang sesuai dengan harapan
mad‘u> .
Tetapi pengusaan strategi dakwah yang juga harus di teliti oleh para
da>‘i> demi keberlangsungan dari media dakwah yang menjadi tempat Kyai
untuk menyampaikan pesan-pesanya kepada masyarakat. Strategi
7
Kesuksesan para wali songo menyebarkan ajaran-ajaran agama
Islam di Jawa faktor yang sangat menentukan adalah jalinan kekerabatan
yang di perankan oleh para wali songo. Wali satu dengan wali yang lainya
mempunya hubungan kekerabatan.8
Setelah abad 13 M, saat da>‘i> profisional mengantikan kedudukan
pedagang dalam proses islamisasi Nusantara, jaringan kekerabatan melalui
perkawinan ini tetap merupakan salah satu media dakwah yang efektif.
Senada dengan A.H. Jhones, suksesnya guru-guru sufi yang mengislamkan
Nusantara adalah juga dengan mengawini puteri-puteri bangsawan lokal.
Praktek perkawinan tersebut justru merupakan faktor strategis
penyebaran agama Islam yang paling mudah, dimana individu-individu
terlibat, suami istri membangun keluarga inti (nuclear family), kemudian
menghimpun pertalian kekerabatan lebih besar antara trah (keluarga besar)
samapai membentuk emberio masyarakat muslim.
Karena itu peneliti ingin membatasi pada persoalan Dakwah dan
Kekerabatan, Kajian Tentang Strategi Pengorganisasian Anggota
Pengajian Majelis Ta’lim al-Ahadi di Pondok Pesantren Zainul Hasan
Genggong Pajarakan Kabupaten Probolinggo.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi dan pembatasan
masalah, maka dapat rumusan masalah sebagai berikut:
8
1. Bagaiman Pola Kekerabatan Anggta dan Pimpinan Pengajian Majelis
Ta’lim al-Ahadi di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Pajarakan
Kab. Probolinggo?
2. Bagaimana Strategi Pengajian Majelis Ta’lim al-Ahadi di Pondok
pesantren Zainul Hasan Genggong Pajarakan Kab. Probolinggo bisa
bertahan.
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pola kekerabatan anggota pengajian Majelis T>a’lim
al-Ahadi di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Pajarakan Kab.
Probolinggo.
2. Untuk mengetahui strategi pengajian Majelis Ta’lim al-Ahadi di Pondok
Pesantren Zainul Hasan Genggong Pajarakan Kab. Probolinggo bisa
bertahan sampai sekarang.
E. Kegunaan Penelitian
1. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan memiliki arti akademis
menambah data informasi dan dipertimbangkan dalam memperkaya
tentang strategi dakwah ksusunya dakwah dengan kekeratabatan,.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
pertimbangan oleh para tokoh dakwah dalam proses dakwahnya, untuk
selalu mempertimbangkan sebaik mungkin strategi dakwah yang
digunakan.
9
Beberapa karya tulis ilmiah yang membahas dakwah. dalam
searching yang dilakukan peneliti, sangat jarang sekali di temukan
penelitian yang meneliti dakwah dengan kekerabatan. Hanya saja, ada
penelitian dalam jurnal ilmu Dakwah. Yang bisa dijadikan peneliti sebagai
bahan pertimbangan dalam melakukan penelitian ini.
Tulisan Sukarma Dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel
Surabaya dalam jurnal ilmu dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, dengan
judul Kekerabatan: Akar Keunggulan Strategi Dakwah wali songo. Di
terbitkan tahun 2004.
Artikel tersebut membahas tentang gerakan dakwah wali songo
yang membuai kesuksesan mengislamkan masyarakat pada waktu. Generasi
pelopor dakwah di Jawa, yang terkenal disebut wali songo dalam tulisan
Sukarma di sebabkan dengan keunggulan strategi kekerabatannya yang di
pakai oleh para wali songo. Dalam kenyataannya, model komunikasi
dakwah seperti sangat efektif mengislamkan masyarakat non muslim pada
waktu itu.
Wali songo sangat di akui keberhasilannya oleh para peneliti dan
masyarakat umum tentang jasanya mengislamkan masyarakat Jawa pada
khusunya, wali-wali secara umum semakin di akui peranannya dalam
struktur komunitas penduduk pribumi. Bahkan kemudian, melalui
isyarat-isyarat kesinambungan keturunan, dakwah dengan personal beralih pada
dakwah yang sifatnya kesinambungan keturunan, sebagaimana yang kita
10
Penelitian Agus Sunyoto.9 Sebuah tulisan dalam jurnal yang
membahas tentang Sunan Ampel sebagai raja Surabaya dan dakwah
kekerabatan menjadi suksesnya islam di tanah Jawa.
Berdakwah adalah tugas setiap muslim sesuai sabda Nabi
Muhammad Saw: sampaikan apa yang dari aku sekalipun satu ayat. Itu
sebabnya, tidak perduli apakah seorang muslim berkedudukan sebagai
pedagang, tukang, petani, nelayan, pejabat, atau raja sekali pun memiliki
kewajiban utama menyampaikan kebenaran Islam kepada siapa saja dan di
mana saja. Sunan Ampel, raja Surabaya, sebagaimana para penyebar agama
Islam lainnya terbukti menjalankan amanat agama itu dengan sangat baik
melalui prinsip dakwah, maw’iz}atul hasanah wa muja>dalah billati> hiya
ahsan. Malahan, sejak sebelum menjadi raja Surabaya, Sunan Ampel sudah
menyampaikan dakwah kepada Arya Damar Adipati Palembang dan kepada
Prabhu Brawijaya sebagaimana dituturkan Serat Walisongo.
Sunan Ampel berdakwah juga melalui ikatan-ikatan kekerabatan
lewat jalan pernikahan dengan keluarga para tokoh. Usaha-usaha dakwah
Sunan Ampel lewat jalinan kekerabatan dengan keluarga para tokoh, dapat
dipaparkan sebagai berikut.
Penelitian menggunakan metode penilitian historiografi lokal yang
menuturkan bahwa Raden Rahmat kelak termashur dengan gelar Sunan
Ampel adalah orang asing. Ibunya yang bernama Candrawati,
9 Agus Sunyoto, Membaca Kembali Dinamika Perjuangan Dakwah Islam di Jawa Abad
11
berkebangsaan Campa. Ayahnya yang bernama Ibrahim as-Samarqandi,
berasal dari Samarkand. Kemudian melalui bibinya, Darawati, yang
dinikahi Maharaja Majapahit Prabhu Kertawijaya (Brawijaya V), Raden
Rahmat masuk ke dalam ikatan kekerabatan dengan penguasa di Majapahit.
Menurut Serat Kandha, atas keinginan Prabhu Kertawijaya, suami bibinya,
Raden Rahmat dinikahkan dengan Nyi Ageng Manila, puteri Arya Teja,
adipati Tuban.
Menikahi puteri Arya Teja, Raden Rahmat telah masuk ke dalam
lingkungan keluarga raja Surabaya, Arya Lembu Sura. Sebab ibu Nyi
Ageng Manila, adalah puteri Arya Lembu Sura. Atas kehendak Prabhu
Kertawijaya pula, kakak Raden Rahmat, Ali Murtadho, dinikahkan dengan
puteri Arya Baribin di Pamekasan. Tokoh Arya Baribin ini juga putera
Arya Lembu Sura.
Masuknya Raden Rahmat ke dalam lingkungan keluarga Arya
Lembu Sura, dapat dilihat sebagai titik tolak bagi menguatnya kedudukan
tokoh asal Campa itu di Surabaya. Sebab dengan menjadi keluarga Arya
Lembu Sura, berarti Raden Rahmat telah menjadi bagian dari keluarga
besar Maharaja Majapahit. Dengan kedudukannya sebagai pangeran
Majapahit pertama yang beragama Islam, Arya Lembu Sura dihormati
tidak saja oleh keluarga Maharaja Majapahit tetapi juga oleh umat Islam
yang mulai tumbuh di kawasan pesisir. Dan sebagai cucu menantu raja
Surabaya yang dihormati itu, tentu saja Raden Rahmat ikut dihormati
12
Sekalipun keberadaan Arya Lembu Sura sebagai raja Surabaya
banyak diabaikan oleh cerita tutur maupun historiografi lokal, tampaknya
tokoh tersebut memiliki peran yang tidak kecil dalam usaha pengembangan
Islam di Surabaya. Salah satu bukti tak terbantah tentang kedudukan Arya
Lembu Sura, adalah keberadaannya sebagai tonggak yang menjalin
hubungan genealogi antara para penyebar agama Islam dengan keluarga
penguasa-penguasa Majapahit. Setelah Raden Rahmat dan Ali Murtadho
masuk ke dalam lingkaran keluarga Arya Lembu Sura, misalnya, masuk
pula seorang penyebar Islam bernama Khalifah Husein yang menikahi cucu
Arya Lembu Sura, puteri Arya Baribin, Raja Pamekasan
Serat Kandha menuturkan, bahwa Khalifah Husein adalah kerabat
Sunan Ampel. Jadi wajar jika Sunan Ampel memerintahkan Khalifah
Husein untuk mengislamkan Madura, Sumenep, Balega, dan Surabaya,
karena penguasa-penguasa di Madura dewasa itu adalah kerabat dan
keturunan Arya Lembu Sura. Arya Baribin, raja Pamekasan, adalah putera
Arya Lembu Sura.
Lembu Peteng, Raja Gili Mandangin pulau kecil di Sampang, adalah
kemenakan Arya Lembu Sura. Arya Menak Sunaya, raja Pamadegan
berpusat di pesisir laut sampai saat ini menjadi pelabuhan yang
menghubungkan antara Sampang dan pulau Gili Mandangin, putera Arya
Damar Adipati Palembang, adalah cucu kemenakan Arya Lembu Sura.
Jaran Panoleh, raja Sumenep, adalah kemenakan Arya Lembu Sura juga.
13
Syeikh Waliy al-Islam telah menikah dengan Retna Sambodhi puteri
penguasa Pasuruaan.
Dari jalinan kekerabatan yang dilakukan oleh Sunan Ampel sebagai
raja Surabaya dalam catatan Agus Suyonto sangat ampuh mengislamkan
masyarakat Jawa, pada waktu itu nusantara khususnya Jawa beragama
Hindu.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pemahaman mengenai penelitian ini, maka
dipandang perlu adanya sistematika pembahasanya sebagai berikut:
BAB I : Yaitu bagian pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah
yang dijadikan pijakan awal untuk merumuskan masalah,
sehingga bisa menentukan penelitian dan kegunaan hasil
penelitian. Difenisi operasional merupakan penjelasan
variabel-variabel yang diteliti yang bersifat operasional. Penelitian yang
dilakukan mempunyai metode penelitian yang dalam penulisanya
menggunakan sistematika pembahasan yang merupakan alur
logis dari bangunan bahasan sekripsi.
BAB II : Landasan teori yang memuat deskripsi tentang Dakwah dan
Kekerabatan Majelis Ta’lim al-Ahadi Pesantren Zainul Hasan
Genggong Probolinggo dengan sub bab sebagai berikut: Konsep
Kekeraban dan Konsep Dakwah Majelis Ta’lim al-Ahadi dengan
pokok bahasan teori Zanden teori tentang terbentuknya
14
kebudayaan yaitu model of dan model for teori ini di
perkenalkan oleh Cliforrd Greert.
BAB III : Pokok pembahasan mengenai sejarah kekerabatan media dakwah
Majelis Ta’lim al-Ahadi Pondok Pesantren Zainul Hasan
Genggong Probolinggo yang di dalamnya sejarah media dakwah
Majelis Ta’lim al-Ahadi Pondok Pesantren Zainul Hasan
Genggong Probolinggo, pemimpin atau pengasuh media dakwah
Majelis Ta’lim al-Ahadi dari KH. Moh. Hasan Sepuh, KH. Moh.
Hasan Saifurrizdhal, KH. Moh. Hasan Saiful Islam. Visi Majelis
Ta’lim al-Ahadi Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong
Probolinggo serta perkembangan media dakwah Majelis Ta’lim
al-Ahadi Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo.
BAB IV : Analisa, yaitu setelah mengumpulkan dan mendiskripsikan data
yang kemudian di analisa dengan teknik analisa yang telah
ditentukan untuk menjawab untuk mengkategorikan pola
Kekerabatan dan strategi kekerabatan Majelis Ta’lim al-Ahadi di
Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo, pola
kekerabatan media dakwah Majelis Ta’lim al-Ahadi terbagi dalam
3 katagori yaitu, pola kekerabatan pemimpin Majelis Ta’lim al
-Ahadi Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo,
pola kekerabatan alumni Pondok Pesantren Zainul Hasan
Genggong Probolinggo yang aktif menjadi anggota dakwah
15
Probolinggo, pola kekerabatan non alumni atau masyarakat umum
yang menjadi anggota dakwah Majelis Ta’lim al-Ahadi Pondok
Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo.
BAB V: Merupakan bagian penutup antara lain berisi kesimpulan dari hasil
kajian terhadap permasalahan yang ada, yang kemudian diakhiri
dengan beberapa saran yang dapat dijadikan sebagai bahan
16
BAB II
KAJIAN TEORETIK
A. Kajian Pustaka 1. Dakwah
Kata dakwah berasal dari bahasa Arab da‘wah yang berarti:
panggilan, ajakan, atau seruan, sebagai bentuk mas}dar dari kata kerja
da‘a>, yadau>, yang artinya: memanggil, mengajak, atau menyeru.10 Arti
kata dakwah seperti ini sering dipergunakan dalam ayat-ayat al-Qur’an,
antara lain:
a. Mengharap dan berdoa kepada Allah swt., seperti terdapat dalam
surah al-Baqarah ayat 186.
كلأس
ع
يّنع
يّنإف
بيرق
بيج
وْع
ّ ل
ع
يجتْسيْ ف
و
يل
11
شْري ْم ّ عل يب ونمْ يْل
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan dalam kebenaran.12
b. Memanggil dengan suara lantang, seperti terdapat dalam surah
al-Rum ayat 25.
ْنم
ت يآ
ے
ْ
و ت
ء ّسل
ضْ أ
هرْمأب
ے
ّمث
ْمك ع
وْع
نم
13
وجرْ ت ْمتْن ضْ أ
10 Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983)., 17-18. 11 Ibid., 2: 186.
17
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradah-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).14
c. Mendorong seseorang untuk memeluk suatu keyakinan tertentu,
seperti terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 221.15
ا
وحكْنت
كرْش ْل
ّتح
مْ ي
ّن
مأ
نمْ م
رْيخ
ْنم
كرْشم
ْول
ْت جْع
ْمك
ا
وحكْنت
نيكرْش ْل
ّتح
ونمْ ي
ْ عل
نمْ م
رْيخ
ْنم
رْشم
ْول
جْع
ْمك
ك ل
وعْ ي
ل
ّنل
َّ
وعْ ي
ل
ّنجْل
رفْغ ْل
نْ إب
ے
نّي ي
هت يآ
س ّن ل
ْم ّ عل
رّك تي
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.16
Dari segi istilah, banyak pendapat tetang definisi dakwah.
Diantaranya pendapat itu adalah sebagai berikut:
a. Muhammad Natsir, dalam tulisannya yang berjudul “Fungsi
Dakwah Islam Dalam Rangka Perjuangan” mendefinisikan bahwa
sebagai: “Usaha-usaha menyerukan dan menyampaikan kepada
perorangan manusia dan seluruh umat konsepsi amal ma’ruf nahi>
mun\kar dengan berbagai macam media cara yang diperbolehkan
14 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 644. 15 Ibid., 2: 221.
18
akhlaq dan membimbing pengalamannya dalam peri kehidupan
berumah tangga (usrah), peri kehidupan bermasyarakat dan peri
kehidupan bernegara.
b. Dalam bukunya “Teori Dan Praktek Dakwah Islamiyah”, HSM
Nasaruddin Latif mendefinisikan Dakwah:
Setiap usaha atau aktivitas dengan lisan, tulisan dan lainnya yang
bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk
beriman dan mentaati Allah SWT, sesuai dengan garis-garis Aqidah
dan syariat serta akhlaq islamiyah.
c. Dalam bukunya “Sosiologi Dakwah” Prof. Shonhadji Sholeh, Dip.Is
mendifinisikan Dakwah dalam pandangan sosiologi”,.
Dakwah sebagai upaya mengubah masyarakat dari satu tingkat
keberagamaan tertentu ke tingkat yang lebih tegas tinggi, merupakan
aktivitas untuk menggerakan proses perubahan, dan dakwah juga
sebagai aktivitas keagamaan, memang terbukti mampu menpengaruhi
perubahan masyarakat. Perubahan masyarakat biasanya, dimulai dari
perubahan wacana, yakni gagasan, pemikiran, sikap dan perilaku. Dalam
masyarakat tradisional, khususnya di Indonesia, perubahan wacana
menggunakan pola tersendiri dan mereka masih berpegang teguh pada
tradisi, dan ada kalanganya tradisi tersebut direkontruksi.17
17 Shonhaji Sholeh, Dakwah dan Perubahan Masyarakat.Ilmu Dakwah , Vol. 10, No.2. Oktober,
19
Dari definisi diatas, meskipun terdapat perbedaan dalam perumusan,
tetapi apabila diperbandingkan satu sama lain dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
a. Dakwah itu adalah merupakan proses penyelenggaraan suatu usaha
atau aktivitas yang dilakukan dengan sadar dan sengaja.
b. Usaha yang diselenggarakan itu adalah, mengajak orang untuk
beriman dan mentaati Allah swt atau memeluk agama Islam dan
Amar Ma’ruf Nahi> Mungkar, perbaikan dan pembangunan
masyarakat (Islah).
Berdakwah, melaksanakan amar-ma'ruf dan nahi mungkar adalah
salah satu kewajiban setiap muslim di manapun mereka berada menurut
kemampuannya. Juga merupakan kewajiban umat secara keseluruhan.18
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur'an, surat al-nahl
ayat 104.19
ّ
ني ّل
ا
ونمْ ي
ي ب
َّ
ا
م ي ْ ي
َّ
ْم ل
ع
ميل
Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah (al-Qur'an) Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka dan bagi mereka azab yang pedih.20
Dalam perkembanganya pengertian dakwah banyak dijelaskan oleh
para pelaku dakwah dan para akademisi untuk memperjelas disiplin ilmu
pengetahuan baru tentang dakwah, dan berkembang kepada tujuan,
18 Hamzah Ya'qub, Publisistik Islam Teknik Dakwah dan Leadership (Bandung: Diponegoro,
1986), 21.
19 Ibid., 16: 104.
20
sasaran, metode, dan medium dakwah yang di gunakan oleh pelaku
dakwah (da>‘i>) dalam menjalankan aktivitas dakwanya.
a. Orentasi Dakwah
Menurut A. Rasyad Saleh, tujuan dakwah terbagi dalam dua
katagori.21 Pertama. terwujudnya kebahagian dan kesejahteraan hidup
manusia di dunia dan di akhirat yang diridai Allah Swt, Kedua.
tujuan departemental yang merupakan tujuan perantara demi tujuan
utama, yaitu kebagian dan kesejahteraan di berbagai bidang, antara
lain sperti, bidang pendidikan, bidang sosial ekonomi, bidang sosial
politik, bidang sosial kebudayaan.
Dari paparan di atas, jelaslah betapa luasnya permasalahan yang
harus dimiliki dan dikuasai oleh para para pelaku dakwah (da>‘i>).
secara tersurat, dakwah dapat diartikan sekedar penyampaian
pesan-pesan nilai-nilai agama Islam. Namun secara tersirat, sebagai
seseorang pelaku dakwah (da>‘i>) harus merasa dituntut kemampuan
problem solving atas masalah-masalah ummat manusia sesuai dengan
kebutuhan objek dakwah (mad‘u>)
b. Metode Dakwah
Menurut KH. A. Syamsuri Siddiq, Khafiyat Dakwah, atau yang
lazim disebut metode dakwah, meliputi:
a. Hikmah (kebijaksanaan)
b. Mauizah Hasanah (nasehat yang baik)
21
c. Mujadalah bi al-lati hiya ahsan (bertukar pikiran)
Rumusan pembagian diatas mengacu pada firman Allah dalam
surah al-Nahl ayat 125.22
ْ
ل
لي س
كّب
ْكحْل ب
عْو ْل
نسحْل
ْم ْل ج
يتّل ب
يه
نسْح
ّ
كّب
وه
م ْع
ْن ب
ّلض
ْنع
ے ي س
وه
م ْع
ني تْ ْل ب
Serulah manusia kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.23
Adapun yang termasuk dalam hikmah kebijaksanaan adalah,
(a) Uswah Hasanah (suri taulada). (b) percontohan. (c)
pelaksanaan sosial. (d) seni budaya yang bernafaskan Islam. (e)
pameran pembangunan. (f) bantuan sosial Islam. (g) pelayanan
kesehatan. Dakwah yang dapat dikatagorikan kedalam bagian
maw’idah hasanah adalah meliputi. (a) kunjungan keluarga. (b)
Sarasehan/obrolan. (c) penantara atau kursus. (d) pengajian berkala
di Majelis Ta’lim. (e) ceramah umum, (f) tabling. (g) penyuluhan.
Sedangkan yang temasuk dalam katagori muja>dalah bi allati>
hiya ahsan (bertukar pikiran) meliputi, (a) dialog, (b) debat, (c)
diskusi, (d) lokarkarya, (e) polemik. Lebih lanjut Syamsuri Siddiq
menjelaskan, untuk menerapkan hal-hal di atas, menekankan agar
da>‘i> berpegang pada lima prinsip dalam berdakwah, yaitu. (a)
22 Ibid., 16: 125.
22
bijaksana, (b) mudah dan bulat, (c) Jelas, (d) sopan, (e)
bertanggung jawab.24
Dalam perkembanganya metode dakwah tidak terlepas dari
kualitas dari seorang pelaku dakwah (da>‘i>) dalam melakukan
dakwah. Sebagaimana kualitas dakwah wali songo, dengan
mendirikan masjid, (a) dakwah dengan kesenian, wayang kulit,
seni suara/tembang, seni ukir, (b) mencetak kader,
menyelenggarakan pendidikan, (c) dakwah dengan kekerabatan,
sebagaiman penjelasan dalam latar belakang diatas dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana objek dakwah
berada.25
c. Media dakwah
Media dan dakwah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
pisahkan, dakwah membutuhkan media sebagai penunjang untuk
menyampai pesan-pesan (materi) dakwahya oleh pelaku dakwah
(da>‘i>), sedangkan media sebagai alat dari dakwah itu sendiri.
Dalam pengertianya media berasal dari bahasa latin medius
yang secara harfiah berarti perantara, tengah atau pengantar. Dalam
bahasa inggris media merupakan bentuk jamak dari medium yang
berarti tengah, antara, rata-rata. Dari pengertian ini ahli
komunikasikan pengartikan media sebagai alat yang menghubungkan
24 Syamsuri Siddinq, Dakwah dan Teknik Berkhutbah (Bandung, Al-Ma’arif, 1982), 20
25 M. Ridwan Nasir, Dinamikan Sistem Pendidikan, Baca Nur Fattah, Methode Dakwah
23
pesan komunikasi yang di sampaikan oleh komunikator (da>‘i>) kepada
komunikan (mad‘u>) dalam pengertian komunikasinya orang yang
menerima pesan. Dalam bahasa Arab media sama dengan wasi>lah
atau dalam bentuk jamak, wasa>il yang berarti alat atau perantara.26
Seorang pelaku dakwah (da>‘i>) dalam menyampaikan ajaran
agama Islam kepada umat manusia tidak akan terlepas dari sarana
atau media (wasi>lah) dakwah itu sendiri. Kepandaian untuk memilih
media dakwah yang tepat merupakan unsur keberhasilan dakwah.
Media apa saja yang dapat memperjelaskan dari
pengertian-pengertian media dakwah diatas, dalam hal ini Hamzah Ya’qub
sebagai tokoh media modern dan A. Hasymy mewakili media dakwah
tradisional. Membagi media dakwah sebagai berikut.
a. Lisan adalah media dakwah yang sederhana yang menggunakan
lidah dan suara, dakwah dengan media ini dapat berbentuk pidato,
ceramah, kuliah, penyuluhan.
b. Tulisan adalah media dakwah melalui tulisan buku, majalah,
tabloid, jurnal, koran, surat menyurat, spanduk, dan sebagainya.
c. Lukisan adalah media dakwah melalui gambar, karikatur, dan
sebagainya.
24
d. Audiovisual adalah media yang dapat merangsang indra
pengindraan, penglihatan atau kedua-keduanya, seperti televise,
film, slide, ohp, internet dan sebagainya.27
Menurut A. Hasymy menyebutkan media yang digunakan dalam
pelaksanaan proses dakwah adalah selain dayah-dayah (surau) atau
pesantren-pesantren dan mimbar-mimbar masjid, Majelis Ta’lim, juga
para ulama dan juru dakwah Indonesia menggunakan pena atau qalam
sebagai media dakwah.28
2. Kekerabatan
Untuk memahami pengertian kekerabatan lebih mendalam penulis
menggunakan dua pengertian, Pertama. Menurut Dawan Rahardjo,
ummah dalam hal ini adalah organisasi tapi penulis lebih memfokuskan
pada mengartikan kekerabatan pengertian lain dari ummah, dalam
al-Qur’an di sebut sebanyak 64 kali dalam surat.29dalam frekwensi
sebanyakm itu, ummah mengandung banyak arti seperti, marga (clan,
bangsa (nation), masyarakat atau kelompok masyarakat (community),
agama (religion), atau kelompok keagamaan (religious community).
Semestara tribe atau suku disebut dalam al-Qur’an dengan istilah-istilah
‘asyirah, qabil, raht, dan asbath.
Levi-Strauss dalam strukturalisme adalam hubungan kekerabatan
atau kekeluargaan merupakan hubungan antara tiap entitas yang
27 M. Munir dan Wahyu Ilaihi, Menejemen Dakwah (Jakarta: Kencana, 2006), 32. 28 A. Hasymy, Dustur Dakwah Menurut Al-Quran (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 390.
29 Dawan Raharjdjo, Eksiklopedia Al-Qur’an, Tafsir Social Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci,
25
memiliki asal-usul silsilah yang sama, baik melalui keturunan biologis,
asumsi adasarnya adalah bahwa aturan-aturan yang diikuti oleh
suku-suku primitive di bidang kekerabatan dan perkawinan merupakan sebuah
sistem yang terdiri dari relasi-relasi dan oposi-oposi seperti suami istri,
bapak anak, saudara lelaki saudara perempuan,saudara jauh][saudara
dekat, dan sebagainya.30
Jalinan kekerabatan sebagaimana dalam pranata keluarga, menjadi
sesuatu yang bermanfaat bagi keberlangsungan komunitas tertentu.
Seperti, lembaga-lembaga dakwah, lembaga pendidikan dan seterusnya.
Sehingga keberadaan dari comuniti, perkumpulan, atau lembaga yang di
bentuknya bisa eksis dan bermanfaat kepada masyarakat yang lain.
Sebagaimana lembaga Majelis Ta’lim al-Ahadi Pondok Pesantren Zainul
Hasan Genggong dan anggota pengajian membentuk pola kekerabatan
sangat solid, sehingga Majelis Ta’lim al-Ahadi bisa bertahan sampai
sekarang.
B. Teori Penelitian
Penjelasan dalam bab sebelumnya pola kekerabatan yang
diperankan oleh pelaku dakwah (da>‘i>) dalam hal ini adalah Kyai dan
sasaran dakwahnya anggota Majelis Ta’lim al-Ahadi, terdiri dari alumni
santri dan non alumni (simpatisan) membentuk hubungan kekerabatan
diantarasa sesama anggota. Hubungan persaudaraan pelaku dakwah dan
26
anggota pengajian mempunyai motivasi tersediri bagi pelaku dakwah dan
anggota pengajian.
Pola yang ada dalam Majelis Ta’lim al-Ahadi penneliti,
menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan Clifford Greertz tentang
agama dan budaya, serta. pendekatan W Teor James W. Vander Zanden
Theory, tentang terbentuknya kelompok sosial.
1. Cliford Greertz, Tentang Agama dan Kebudanyaan
Agama di lihat sebagai pola bagi tindakan (pattern for behavior).
agama merupakan pedoman yang dijadikan sebagai kerangka
interpretasi dari tindakan manusia dan Agama juga merupakan pola dari
tindakan, yaitu sesuatu yang hidup dalam diri manusia yang tampak
dalam kehidupan keseharianya, sekaligus agama dianggap sebagai
bagian dari sistem kebudayaan.31 Karena dalam agama terdepat
seperangkat nilai yang menghubungan manusia dengan identitas nilai,
tidak menutup kemungkinan para individu dalam anggota Majelis
Ta’lim al-Ahadi menginterpretasi nilai dengan alasan apa yang
dilakukan mendapat sesuatu yang bermanfa’at bagi dirinya.
Bisa juga dengan mengikuti pengajian dirinya bermotif untuk
mendapatkan nilai-nilai yang berbeda dengan apa yang di dapatkan
dalam kehidupannya-barokah. Kepercanyaan terhadap barokah Kyai
didasarkan pada karakter masyarakat Jawa yang masih mempercanyai
31 Clifford Geertz, Kebudayaan danAgama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 8-9, juga diedit oleh
27
bahwa Kyai yang sudah meninggal masih memiliki kekuatan sama
halnya dengan Kyai masih hidup.32
Disisi lain dimungkinkan motifnya juga dilatar belakangi oleh
sesuatu yang berbeda, sebelum dirinya tidak mendapatkan apa-apa,
tetapi ketika mengikuti aktifitas keagamaan mendapatkan sesuatu yang
beda, seperti, ketenangan karena sudah mendapatkan barokah Kyai
pesantren. Keamanan bisa juga diartikan dirinya merasa nyaman karena
menjadi anggota dalam media dakwah Majelis Ta’lim al-Ahadi, disisi
lain bertambahnya ilmu agama Islam yang tidak pernah di dapatkan
pada hari-hari sebelumnya ketika mengikuti pengajian-pengajian di
comunitas yang lain.
Adapun pola bagi (model for) tindakan terkait dengan sistem nilai
(barokah, ilmu,) dan pola dari (model of) tindakan terkait dengan sistem
kognitif yaitu terbentuknya sebuah pengetahuan karena anggota
pengajian menginterpretasi dari nilai-nilai yang ada di Majelis Ta’lim
al-Ahadi. Interpretasi dari nilai (pedoman) menghasilkan kesepakatan
untuk mempertankan tradisi pengajian yang sudah lama dilakukan oleh
pesantren dimana dirinya menambah ilmu, bagi non alumni sangat
memungkinkan dirinya beralasan tradisi mengikuti pengajian sudah
dilakukan oleh orang tua, saudara, yang pada akhirnya dirinya mengikuti
pengajian Majelis Ta’lim al-Ahadi. Faktor yang lain tidak menutup
kemungkinan apa yang dilakukan oleh alumni satri sama dengan
32 M. Bambang Pranowo. Memahami Islam Jawa ((Jakarta: Pustaka Alvabet, Oktober 2009),
28
individu yang bukan santri di pesantren dimana Majelis Ta’lim berada,
sama-sama mengharapkan barokah, karomah dan ilmu dari para pelaku
dakwah (da>‘i>) di Majelis Ta’lim al-Ahadi.33
Pada perkembanganya Geertz memberikan pengertian kebudayaan
dan membagi dalam dua elemen, berangkat dari pemaparan diatas.
Yaitu, kebudayaan sebagai sistem kognitif serta sistem makna dan
kebudayaan sebagai sistem nilai. Sistem kognitif dan sistem makna
ialah representasi dari pola dari atau model of, sedangkan sistem nila
ialah representasi dari pola bagi atau model for. Jika “pola dari” adalah
representasi dari kenyataan sebagaimana wujud nyata dari perilaku.34
Tindakan dari anggota Majelis Ta’lim al-Ahadi maka “pola bagi”
adalah hasil representasi dari apa yang menjadi pedoman bagi manusia
atau individu anggota Majelis Taklim al-Ahadi untuk melakukan
tindakan-tindakan yang sesuai dengan pedoman baginya. Sederhananya
adalah upacara keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat, upacara
keagaamaan dicirikan mengacu pada sifat dan tujuan mistis.35
Cliforrd Greetz memberi istilah pola dari (model of), sedangkan
ajaran yang diyakini kebenaranya sebagai dasar atau acuan melakukan
upacara keagamaan adalah pola bagi atau model untuk (model for).36
Pola bagi dalam fenomena dakwah kekerabatan adalah barokah dan
33Pelaku dakwah di Majelis Ta’lim al-Ahadi adalah Alm. KH. Moh. Hasan Sepuh, KH. Moh.
Hasan Saifurrizdhal, KH. Moh. Hasan Saiful Islam, KH. Moh. Mutawakkil Alallah, KH. Moh. Hasan Abdul Bar, KH. Moh. Hasan Naufal, dll.
34 Nur Syam, Mazhab-Mazhab Antropologi (Yogyakarta: LKIS, 2009), 10.
35 Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Local Potret Dari Cirebon (Jakarta: Logos,
2001), 114.
29
karomah Kyai Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong.37 yang
dinyakini bisa memberikan barokah dan karomah, kepada masyarakat
khususnya santri. barokah Kyai menjadi objek penafisiran terhadap
individu, dimungkinkan penafsiran untuk mendapatkan barokah Kyai
alumni santri dan simpatisan mengikuti pengajina.
Beragamnya penafisran mengapa menjadi anggota Mejelis Ta’lim
al-Ahadi, dalam hal ini di bagi menjadi dua elemen. yaitu, alumni dan
masyarakat umum (simpatisan), berbedaan latar belakang memberikan
penafsiran berbeda beda oleh anggota pengajian
Karomah KH. Moh. Hasan Sepuh pernah dipertegas oleh KH. Hamid Pasuruan ketika wafatnya, KH Moh. Hasan Sepuh adalah wali Kutub dan memilki karomah yang jarang dimiliki oleh orang lain.38 cerita yang lain karomah KH. Moh. Hasan Sepuh,
bertemunya dengan Nabiyuallah Khidir pada tengah malam beliau almarhum Habib Mukhsin bersowan kepada almarhum KH. Moh. Hasan Sepuh, ketika sedang pembicaraan sudah dimulai beberapa menit kemudian ada seorang tamu berbaju hitam, tamu tersebut member uang kepada Habib Mukhsin sebanyak 7 ringgit uang belanda, setelah uang diterima oleh habib, lantas dirinya shodoqohkan kepada pemeberi tadi, dan tamu baju hitam tadi mengucapkan terima kasih kepada habib, setelah tamu pergi Habib Mukhsin bertanya kepada KH. Moh. Hasan sepuh. Siapa tamu berbaju hitam itu Kyai, KH. Moh. Hasan Sepuh tidak menjawab, pertanyaan ketiga kalinya KH. Moh. Hasan Sepuh menjawab dari pertanyaan Habib Mukhsin, bahwah tamu tadi itu adalah Nabinyullah Khidir, mendapat jawaban begitu dari Kyai Habib Mukhsin merangkul KH. Moh. Hasan sepuh.39
Kembali pada teori, Perbedaan penafsiran dalam teori diatas
disebabkan oleh pola dari melihat dari pola bagi yang berbeda
37 KH. Moh. Hasan Sepuh, KH. Moh. Hasan Saifurrizdhal, KH. Moh. Hasan Saiful Islam, KH.
Moh. Hasan Mutawakkil Alallah, KH. Moh. Hasan Abdil Bar. Dan muassis Pesantren Zainul Hasan Genggong
38 Ahmad Taufiq, Wawancara, 20 Maret, 2012
30
dikarenakan pemaknaan yang menghasilkan alasan berbeda dari anggota
Majelis Ta’lim al-Ahadi, seperti. Perbedaan latar belakang sosial,
pendidikan, budaya dan lain-lain.
Berlanjut pada upaya menyatukan dari pola dari dan pola bagi atau
model of dan for, Geertz melihat hal itu terletak pada simbol, yang
memungkinkan manusia menangkap hubungan antara dunia nilai dengan
dunia pengetahuan. Kecermatan Geertz upaya menjawab dari pertayaan
bagaimana untuk menyatukam dari pola dari dan bagi, jawaban simbol
juga di pertegas dengan pembagian tiga prasarat terjadinya kebudayaan.
Yaitu, pengetahuan (kognitif), nilai (evaluatife) dan simbol yang
memungkinkan pemaknaan atau interpretasi terjadi.40
Miller senada dengan teori Clifford Gerrtz dalam bukunya Material
Cultural And Mass Comsumtion. Menurutnya kehidupan berbudaya,
manusia melakukan proses objektivikasi terhadap yang benda yang ada
disekitarnya, proses obejektifikasi menurut Miller. Melibatkan
hubungan diantara subjek dalam hal ini adalah manusia dan biasanya
bersifat kolektif, kebudayaan sebagai bentuk ekternal, dan artefak
sebagai ciptaan manusia, dalam kaitan ini, menginternalisasikan dirinya
melalui penciptaan objek-objek, yang dimaksudkan untuk menciptakan
diferensiasi yaitu penciptaan perbedaan dengan objek-objek sebelumnya
dan kemudian menginternalisasi sesuatu yang mengembalikan pada
40 Ignaz Kleden dari Clifford Geertz, Etnografi keEtnografi dalam tiga tahap After The Fact,
31
dirinya, nilai-nilai ciptaan tersebut melaui proses sublasi atau
memberikan pengakuan.41
Akan tetapi dalam proses sublasi, subjek selalu merasa tidak puas
dengan hasil ciptaanya sendiri karena, selalu membandingankan dengan
ciptaan pengetahuan absolut, yang justru beranjak lebih jauh tatkala ia
didekati oleh subjek. Kemudian yang terjadi adalah rasa ketidakpuasan
tanpa akhir serta penciptaan terus menerus untuk pemenuhanya. Rasa
ketidakpuasan abadi dan daya yang tak habis-habisnya bagi
membangkitkan motivasi dan daya yang tak habis-habisnya bagi
pengembangan lebih lanjut dalam suatu dialektika penciptan.
Ketidakpuasan subjek dalam hal ini adalah individu yang berada
dalam anggota pengajian merasa dirinya tidak puas kerana objek yang
dilihatnya bukan sesuatu yang berbentuk material akan tetapi benbentuk
nilai, seperti, barokah dan karomah Kyai pesantren, ketidakpusaan
subjek mengakibatkan motivasinya untuk mengetahuinya terhadap
objek sangat begitu tinggi sekali demi pengembangan diri subjek.
Bertahanya individu dan berkembangnya pengetahuan individu Majelis
Ta’lim al-Ahadi bisa dikabitkan ketidakpuasanya dari hasil ciptaanya
dirinya terhadap barokah dan karomah.
Pengertian kebudayaan dalam, Canadian commission for unesco
kesepatan pada tahun 1977. 42 Kebudayaan dinyatakan sebagai, dynamic
value system of learned elements, with assumptions, convention, beliefs
32
and rules permitting members of group to relate to each and to the word,
to comunecate and to develop their creative potential. Ada beberapa
elemen penting di dalam definisi di atas, bahwa kebudayaan adalah
sebuah sistem nilai yang dinamis dari elemen-elemen pembelajaran yang
berisi asumsi, kesepatakatan, keyakinan dan aturan-aturan yang
berhubungan dengan yang lain. Pengertian kebudayaan ini termasuk di
sebagai sistem nilai, yaitu kebudayaan sebagai sistem normatif yang
mengatur kehidupan masyarakat.43 Sehingga dapat ditarik benang merah
dari teori Gerrtz, anggota penagajian yang terdiri dari alumni
santri-simpatisan. Tujuan mengikuti pengajian di sebabkan oleh barokah-ilmu
dari Kyai pesantren, faktor yang lain disebabkan oleh intrpretasi darinya
terhadap Kyai.
2. Teori James W. Vander Zanden Theory.
Pada tahun (1979), Zanden teori, memfokuskan terbentuk kelompok
kekerabatan yang didasarkan pada 3 (tiga) kretia di bawah, karena
penelitian ini tentang kelompok-kelompok berdasarkan 3 (tiga) kriteria
di kutip dari Robert Biersted pada tahun (1948),44 yaitu:
a. Conciousness of Kind (kesadaran akan jenis yang sama)
Pranata sosial seperti lemabga keagamaan, pendididkan dan
lainnya, ada faktor yang menyadari sebuah individu terlibat dalam
pranata sosial. Faktor itu bisa berupa latar belakang pendidikan,
43 Nur Syam, Memhami Agama danBudaya Dalam Prespektif Antropologi (Yogyakarta: LKIS,
33
idiologi, ras dan status sosial meskipun keterlibatan individu dalam
lembaga sudah lama atau sebentar. Kesamaan latar belakang
membuat individu itu mengikuti berbagai acara yang diadakan oleh
kelompok sosial, baik momentum yang bersifat keagamaan,
aktivitas politik, pendidikan, organisasi sosail dan lainya.
b. Relationship Between Individualis (adanya hubungan sosial antar
individu social)
Hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi dalam hal
perasaan, sikap, dan tindakan yang di lakukan oleh individu yang
berada dalam kelompok organisasi menjadi poin penting untuk
mempertahankan kelompok organisasi tersebut.
c. Goal-Oriented Associations (orientasi tujuan yang sudah
ditentukan)
Sebuah unit sosial yang secara sengaja dibuat untuk mencapai
tujuan tertentu, tujuan mengupanyakan bagaimana individu yang
berada dalam unit sosial bisa menerima dan memahami dari tujuan
unit sosial tersebut.
Terbentuknya kelompok, selalu ada dalam setiap masyarakat
organisasi, termasuk di lembaga dakwah Majelis Ta’lim al-Ahadi
Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong. Tergabung individu dalam
lembaga dakwah, tentu tidak bisa lepas dari ketiga penyebab
terbentuknya kelompok di atas. Sebab bergabungnya individu dalam
34
yang sama supaya individu bertahan cukup lama, kalau tidak di dasarkan
kepentingan dan latar yang sama begitu sulit individu bertahan dalam
kelompok organisasi seperti halnya dalam Majelis Ta’lim al-Ahadi
Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong. Sangat mustahil bila
individu tidak dilatar belakangi kepentingan, indiologi, perasaaan yang
sama individu bisa menyatu dalam comunitas-kelompok.
Dengan bergabungnya individu dalam Majelis Ta’lim al-Ahadi,
seorang individu terlebih dahulu melihat dan menanyakan apakah
kelompok organisasi yang pingin diikutinya memiliki kesamaan latar
belakang dengan dirinya. Karena kesamaan latar belakang itu yang
membuat dirinya bertahan apakah tidak, dalam bab sebelumnya
dijelaskan keberadaan Majelis Ta’lim al-Ahadi berada dalam Pondok
Pesantren Zainul Hasan Genggong adapun para pelaku dakwah (da>‘i>)
adalah Kyai Pesantren Zainul Hasan Genggong dimana Majelis Ta’lim
berdomisili, sedangkan anggota pengajian (mad‘u>) Majelis Ta’lim al
-Ahadi, yaitu. santri Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong dan
masyarakat pedesaan yang sarat butuh akan pesan-pesan ajaran agama
Islam.
Kesamaan bukan hanya di latar belakangi oleh asal muasal santri itu
mondok akan tetapi kesamaan idiologi Pesantren Zainul Hasan
Genggong dengan anggota Majelis Ta’lim al-Ahadi yaitu, paham
Ahlusunnah Wal-jamaah, paham tersebut modal bagi pimpinan Majelis
35
sebagai negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan Indonesia juga
terkenal dengan pandangan Keislamanya yang sangat homogen.
Para kyai sering mengungkapkan bahwa ajaran Imam Safi’I,
al-Asya’ri-Maturidi, dan Imam Junaid sangat cocok dengan watak
Indonesia karena mereka mengajarkan “tawassut” (memilih jalan
tengah), “tasamuh”(toleran), dan “tawazun” (menjaga keseimbangan).45
Demikianya dengan masyarakat Probolinggo, Islam Ahlusunnah
Wal-Jamaah merupakan pilihan utama dalam menjalankan aktifitas
keagamaanya, dan tidak bisa dipungkiri bahwa anggota Majelis Ta’lim
al-Ahadi memilih Islam Ahlussunnah Wal-Jamaah di bandingan dengan
Islam Syiah, Muhammaddiyah dan sebagainya.
Disamping itu perasaan, sikap, dan tindakan individu dalam
kelompok organisasi menjadi poin penting untuk mempertahankan
kelompok organisasi tersebut. Karena perasaan yang sama antara
individu dengan individu dalam organisasi apapun menjadi faktor
penting keberlangsungan dari organisasi apapun. Perasaan akan
butuhnya siraman rohani dari Kyai pesantren, individu dengan individu
anggota Majelis Ta’lim al-Ahadi sikap atau keinginanya untuk
mendapatkan barokah dari Kyai pesantren dengan cara mengikuti
pengajian di Majelis Ta’lim al-Ahadi Pondok Pesantren Zainul Hasan
Genggong merupakan faktor terbentuknya sebuah kelompok atau
organiasi dan sejenisnya. Sebagaimana di bawah ini.
45 Zamakhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Study Pandangan Hidup Kyai dan Visinya
36
Dengan sikap dan perasaan sama antara anggota sehingga
menghasilkan tindakan dan komitmen untuk mengikuti pengajian dan
mempertahankan pengajian Majelis Ta’lim al-Ahadi sampai dirinya
wafat. Sikap dan perasaan yang sama tidak mungkin bertahan lama
apabila tidak terjadi hubungan timbale balik antara anggota dan unit
sosial, Sebuah unit sosial yang secara sengaja dibuat untuk mencapai
tujuan tertentu, tujuan mengupanyakan bagaimana individu yang berada
dalam unit sosial bisa menerima dan memahami dari tujuan unit sosial
tersebut. Bagaimanapun unit sosial harus memilki tujua supaya individu
dalam unit sosial bisa bertahan, ketiaka unit sosial tidak memiliki
tujuaan dalam sebuah organisasi visi-misi sangat sulit unit sosial bisa
bertahan sampai lama meskipun individunya solit, lama tapi tidak
membuah hasil apa-apa.46
Sedangakan ciri-ciri kelompok sosial yang berlandaskan, kepada
idiologi-latar belakang-tujuan yang sama, mempunyai cirri sebagai
berikut.
a. Bersifat kultural
b. Relatif bertahan lama
c. Memiliki organisasi cultural dengan arah pembagian dan tujuan
sesuai dengan ajaran Islam
46 Unit sosial, meliputi, lembaga agama,pendidikan, ekonomi, budaya. Adapun visi-misi
37
d. Jika berbentuk lembaga-lembaga sosial-keagamaan, didasarkan pada
kebiasaan-kebiasaan tradisional individu-individu yang membentuk
anggota dalam kelompok organisisai keagamaan
e. Memilki perangkat kaidah terhadap dimana aktifitas kelompok
menyerasikan diri.
Dengan demikian, jika diteliti ciri-ciri utamanya. Organisasi Majelis
Ta’lim al-Ahadi merupakan organisasi kultural, yang masih
dipertahankan oleh para Kyai (pemimpin). Kulturalnya organiasasi ini
bisa di lihat dari metode konvensional yang masih di pertahankan, dan
tanpa menggunakan media cetak dan elektronik sebagaimana media
dakwah sekarang, dan organisasi ini juga tidak memilki anggaran dasar
dan anggaran rumah tangga (AD-ART). Untuk menyampaikan pesan
dakwah terhadap mad‘u> pelaku dakwah menggunakan metode
kultural-halaqoh. Dan organisasi dakwah ini memiliki nilai-barokah yang
dijadikan pedoman oleh para anggota, sehingga anggota Majelis Ta’lim
al-Ahadi begitu mempercanyai pedoman tersebut, dan memberikan nilai
positif bagi anggota pengajian (mad‘u>). Dengan pedoman turun temurun
yang selalu diajarkan oleh para Kyai, sehingga Majelis Ta’lim al-Ahadi
88
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis kemukakan, maka sesuai dengan
judul dan rumusan masalah tesis ini, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Ada dua pola kekerabatan Majelis Ta’lim al-Ahadi, (a) Pola pimpinan,
Kyai sebagai pelaku dakwah mewariskan kepemimpinan Majelis Ta’lim
al-Ahadi kepada putranya (gus), supaya trah kepemimpinan Kyai di
Majelis Ta’lim al-Ahadi masih terjaga (b) Pola anggota, kekerabatan
dalam Majelis Ta’lim al-Ahadi perankan oleh alumni santri Pondok
Pesantren Zainul Hasan Genggong, santri mengajak saudara, kerabat,
tetangga kedalam pengajian, adapun motif santri mengikuti pengajian
supaya hubungan dengan Kyai masih terjaga, sekaligus untuk
mendapatkan barokah Kyai sebagaimana harapan anggota yang lainya.
2. Majelis Ta’lim Al-ahadi memiliki 2 (dua) strategi, (a) Barokah kyai
pesantren menjadi motivasi tersendiri bagi anggota pengajian. Barokah
yang dimiliki oleh Kyai pesantren, yang selalu disebutkan dalam
momentum, harlah, haul, halal bihalal, membuat masyarakat
mempercanyai tentang barokah yang dimiliki oleh para muasiss
pesantren, kepercanyaan anggota pengajian terhadap barokah juga di
dapatkan dari cerita-cerita santri terdahulu pada masa KH. Moh. Hasan
89
pesantren membuat masyarakat mengikuti pengajian. (b) Mengharuskan
santri menggikuti pengajian. Anggota pengajian mayoritas adalah santri
Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, Kyai mengharuskan kepada
santri untuk menjalin hubungan dengan Kyai pesantren dengan cara
mengikuti pengajian Majelis Ta’lim al-Ahadi, dengan mengikuti
pengajian hubungan kyai dengan guru, dan ilmu yang di dapatkan akan
barokah.
B. Saran
Majelis Ta’lim al-Ahadi Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong,
mematahkan pandangan para pelaku dakwah (mad’>u) yang mengatakan,
untuk mempertahan media dakwah, para pelaku dakwah harus mengikuti
strategi media dakwah modern, tidak seperti Majelis Ta’lim Al-Ahadi,
mempertahankan medium dakwah dengan menggunakan hubungan
kekerabatan antar sesame anggota pengajian, dengan motivasi barokah, dan
konsistenya para pelaku dakwah dalam menjalankan dakwahya.
Bagi pelaku dakwah kegunanaan strategi yang digunakan oleh
pelaku dakwah untuk mempertahankan dakwahya tidak melulu dengan
menggunakan strategi yang mengikuti media dakwah modern atau dengan
strategi modern pula, akan tetapi nilai-nilai seperti barokah, karokamah,
ikhlas pelaku dakwah yang ada dalam pengajian menjadi hal penting yang
DAFTAR PUSTAKA
Zanden, W James. Sociology. Toronto: Willey 1979
Sunyoto, Agus, Sunan Ampel Raja Surabaya: Membaca Kembali Dinamika
Perjuangan Dakwah Islam di Jawa Abad XIV-XV M. Surabaya, PT.
Diantama, 2004
Syukir, Asmuni, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya, Al-Ikhlas,1983
Amin, Mansyur, Dakwah Islam & Pesan Moral. Yogyakarta: Al-Amiin Press,
1997
Sholeh, Shonhadji, Dakwah dan Perubahan Masyarakat. Penerbit Dakwah IAIN
Sunan Ampel Surabaya, 2004
Ya'qub, Hamzah Publisistik Islam Teknik Dakwah dan Leadership. Bandung :
Diponegoro, 1986
Saleh, Rasyad, Menegement Dakwah Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1977
Siddinq, Syamsuri, Dakwah dan Teknik Berkhutbah. Bandung, Al-Ma’arif, 1982
Ali Aziz, Moh., Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana, 2009
Strauss, Levi-, Strukturalisme. Yogyakarta: LKIS, 2006
Geertz, Clifford. Kebudayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1992)
Pranowo, M. Bambang. Memahami Islam Jawa. Jakarta : Pustaka Alvabet
Oktober 2009
Syam, Nur. Mazhab-Mazhab Antropologi. Yogyakarta: LKIS, 2009
Geertz, Clifford. Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta: LKIS, 1999)\
Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: Penerbit LKIS, 2005
Dhofier, Zamakhasyari. Tradisi Pesantren “Study Pandangan Hidup Kyai Dan
Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta Barat, LP3S 2011
Bagoes Mantra, Ida. Filsafat Penelitian & Metode Penelitian Sosial .
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Moleong, Lexy J. “Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2008)
Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya: Airlangga University
Press, 2001
Nasir, Moh. Metodologi Penelitian. Jakarta: Galia Indonesia, 1988
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2008)
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial (Surabaya: Airlangga University
Press, 200)
Sayyed Hossen Nasr, Islam And The Pling Of Modern Man (London and New
York: Longman, 1795.
Gus Hasan Malik, Wawancara, Probolinggo, 2 Oktober 2012
Mohohammad Taufiq, Wawancara, Probolinggo, 24 Oktober 2012
Mohammad Taufiq, Wawancara, Probolinggo 24 Oktober 2012
Gus Hasan Malik, Wawancara, 2 Oktober 2012
Gus Alba, Wawancara, 2 Oktober 2012
KH. Moh. Hasan Saiful Islam, Statemen Pilpres, 2004.
KH. Moh. Hasan Saiful Islam, Wawancara, 1 Oktober 2021
Ahmad Zainullah Fatah, Wawancara, Probolinggo,