ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG SEWA MENYEWA
TANAH FASUM
YASBHUM
(Studi Kasus di Perumahan TNI-AL Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo)
SKRIPSI
Oleh
Afis Sunani Khoiroiswa NIM. C02211007
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)
Surabaya
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Afis Sunani Khoiroiswa
NIM : C02211007
Fakultas/Jurus- : Syariah dan Hukum/Hukum Perdata Islam/Hukum
an/Prodi Ekonomi Syariah/Muamalah
Judul Skripsi : Analisis Hukum Islam tentang Sewa-Menyewa Tanah
Fasum Yasbhum ( Studi Kasus di Perumahan TNI-AL Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo)
Menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya.
Surabaya, 24 Mei 2015 Saya yang menyatakan,
Afis Sunani Khoiroiswa
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi yang ditulis oleh Afis Sunani Khoiroiswa NIM. C02211007 ini telah diperiksa dan disetujui untuk dimunaqasahkan.
Surabaya, Mei 2015
Pembimbing,
iv
PENGESAHAN
Skripsi yang ditulis oleh Afis Sunani Khoiroiswa NIM. C02211007 ini telah dipertahankan di depan sidang Majelis Munaqasah Skripsi Fakultas Syariah da Hukum UIN Sunan Ampel pada hari Selasa, tanggal 30 Juni 2015, dan dapat diterima sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program sarjana strata satu dalam Ilmu Syariah.
Majelis Munaqasah Skripsi:
Surabaya, Juli 2015 Mengesahkan,
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Dekan,
Dr. H. Sahid HM., M. Ag NIP. 196803091996031002 Ketua
Dr. H. Abd. Salam, M. Ag NIP. 195708171985031001
Sekretaris
H. Mohamad Budiono, S. Ag., M.Pd.I NIP. 197110102007011052
Penguji I,
Dr. Abd. Basith Junaidy, M. Ag NIP. 197110212001121002
Pembimbing,
Dr. H. Abd. Salam, M. Ag NIP. 195708171985031001 Penguji II,
viii ABSTRAK
Skripsi dengan judul ‚Analisis Hukum Islam Tentang Sewa-Menyewa
Tanah Fasum YASBHUM di Perumahan TNI-AL Desa Sugihwaras Kecamatan
Candi Kabupaten Sidoarjo‛ ini adalah hasil penelitian lapangan dengan tujuan untuk menjawab rumusan masalah yaitu, 1) Bagaimana praktik sewa menyewa tanah fasum YASBHUM yang belum dimanfaatkan oleh Pemerintah yang berlokasi di Perumahan TNI AL Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo? 2) Bagaimana analisis hukum Islam tentang sewa menyewa tanah fasum YASBHUM yang belum dimanfaatkan oleh Pemerintah yang berlokasi di Perumahan TNI AL Desa Sugihwaras Candi Sidoarjo?
Adapun jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan mengumpulkan data dari wawancara dan dokumentasi yang selanjutnya disusun secara deskriptif untuk menguji tata cara sistem sewa tanah fasum berdasarkan norma-norma yang berlaku pada hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
Hasil penelitian mengetahui bahwa praktik sewa-menyewa tanah fasum yang dilakukan oleh para pengurus RW di Perumahan TNI-AL Desa Sugihwaras Candi Sidoarjo karena adanya kesempatan warga yang merasa bahwa tanah fasum tersebut tidak dimanfaatkan atau ditelantarkan pemerintah. Dalam melakukan akad tersebut orang yang menyewakan tanah fasum tanpa ijin dari Pemerintah Daerah dan merubah fungsi dari peruntukan tanah fasum.
Dalam hukum Islam hal tersebut tidak sesuai dengan persyaratan yang ada, karena adanya pelanggaran terhadap syarat rukun al-ija>rah khususnya terhadap obyek sewa dalam hal kepemilikan, dengan arti orang yang menyewakan harus mempunyai hak kepemilikan atau kekuasaan penuh atas objek al-ija>rah Dalam teori kepemilikan diterangkan bahwa dalam memanfaatkan benda juga harus ada sebuah perizinan (tidak sewenang-wenang dalam menggunakan hak) untuk menggunakan fasilitas umum. Walaupun penggunaan hasil sewa dengan tujuan baik tetap saja tidak diperbolekan karena cara memperolehnya dengan cara melawan hukum sehingga tidak sesuai dengan syariat Islam.
xi
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN... ... iv
MOTTO... ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... ... xi
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 4
C. Rumusan Masalah ... 5
D. Kajian Pustaka ... 6
E. Tujuan Penelitian ... 8
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 8
G. Definisi Operasional ... 8
H. Metode Penelitian ... 10
I. Sistematika Pembahasan ... 14
BAB II Sewa Menyewa ( Al-Ija>rah ) dalam Hukum Islam A. Pengertian Al-Ija>rah ... 16
B. Dasar Hukum Al-Ija>rah ... 18
C. Jenis-Jenis Al-Ija>rah ... 21
D. Rukun dan Syarat Al-Ija>rah ... 21
E. Prinsip Transaksi Al-Ija>rah ... 27
xii
Kepemilikan dalam Hukum Islam
A. Pengertian Kepemilikan ... 30
B. Pembagian Hak Milik ... 32
C. Sebab-Sebab Kepemilikan ... 33
D. Akibat HukumSuatu Hak ... 34
E. Akibat Hukum Penggunakan Hak Sewenang-Wenang ... 37
F. Pembagian Harta Dikaitkan dengan Kepemilikan ... 38
Ketentuan Mengenai Fasum dalam Peraturan Perundang-Undangan A. Pengertian Fasum ... 39
B. Jenis-Jenis Fasum ... 40
C. Aturan Mengenai Penyewaan Tanah ... 41
D. Hak dan Kewajiban Warga Perumahan terhadap Tanah Fasum ... 43
BAB IIIDeskripsi Pelaksanaan Sewa Menyewa Tanah Fasum A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 46
B. Latar Belakang Sewa Menyewa Tanah Fasum ... 48
C. Subyek dan Obyek Sewa Menyewa Tanah Fasum ... 50
1. Subyek Sewa Menyewa ... 50
2. Obyek Sewa Menyewa ... 54
D. Praktek Persewaan Tanah Fasum ... 58
BAB IV Analisis Hukum Islam Terhadap Sewa Menyewa Tanah Fasum A. Analisis Tentang Sudut Kepemilikan Obyek Sewa Tanah Fasum ... 66
B. Analisis Hukum Islam Tentang Penggunaan Hasil Sewa Tanah Fasum... 71
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 74
B. Saran ... 75
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lingkungan hunian yang tepatnya berada di kawasan Perumahan
TNI-AL Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo terjadi salah satu
kegiatan muamalah yaitu sewa-menyewa, kegiatan ini mempunyai peranan
penting dalam kehidupan sehari-hari sejak zaman dahulu hingga kini. Kita
tidak dapat membayangkan betapa kesulitan akan timbul dalam kehidupan
sehari-hari, seandainya sewa menyewa ini tidak dibenarkan oleh hukum.
Sewa-menyewa juga mempunyai fungsi tolong-menolong dalam pemenuhan
kebutuhan manusia yang tidak terbatas sifatnya.
Dalam hal ini terjadi sewa-menyewa tanah di lingkungan fasum
Perumahan Non Dinas TNI-AL yang berlokasi di Desa Sugihwaras
Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2011. Sedangkan yang
dimaksud fasilitas umum adalah fasilitas yang disediakan untuk kepentingan
umum, misalnya jalan dan alat penerangan umum.1
Perumahan ini didirikan pada tahun 1994 oleh Brigjen Mar Machmud
Tadjir sebagai ketua BALADIARUMAL (Badan Pengelola dan Penyedia
Perumahan TNI-AL) pada tahun 1994-1998. Pada tahum 1998-2015 sampai
sekarng berganti nama menjadi YASBHUM (Yayasan Sosial Bhumyamca)
berfungsi sebagai pemelihara, pengelola dan penyedia rumah angkatan laut
2
atau development yang sekarang ini dipimpin oleh Kolonel Laut Ignatius
Bobby Padawangi.2
Berdasarkan pengamatan sementara bahwa banyaknya tanah fasum
yang ada di perumahan ini sekitar kurang lebih 10.000 m2 yang disewakan,
yang sebagaian besar digunakan untuk pendirian toko dan stand buat
pedagang. Pihak yang menyewakan tanah fasum adalah pengurus RW 05
Desa Sugihwaras yang tinggal di perumahan itu dengan izin lisan kepada
pengembang, alasan pengurus RW 05 menyewakan tanah fasum tersebut
dikarenakan tidak dimanfaatkan atau ditelantarakan oleh pemerintah.
Islam juga menerangkan apabila seorang muslim memiliki tanah,
maka dia harus memanfaatkan tanah tersebut. Islam sama sekali tidak
menyukai dikosongkannya tanah, sebab hal tersebut berarti menghilangkan
nikmat dan membuang-buang harta, sedang Rasulullah melarang keras
disia-siakannya harta. Dalam hal ini penyewa atau masyarakat sangat
membutuhkan tanah tersebut yang tujuannya digunakan untuk kesejahteraan
perekonomian masyarakat di sekitar desa tersebut dan penggunaan hasil
sewa oleh pihak yang menyewakan juga digunakan untuk kepentingan umum.
Menurut keterangan dari Bapak Sholeman yang bekerja di Dinas
Pekerjaan Umum dan Bina Marga bahwa tanah fasum ini terkena lintasan
proyek pembangunan Jalan Lingkar Barat yang akan selesai tahun 2014. 3
3
Tanah fasum ini juga sudah diserahkan Pengembang kepada
pemerintah daerah pada tahun 2011 dan dijelaskan juga bahwa dalam urusan
sewa menyewa tanah fasum di Perumahan itu harus berurusan dengan Pemda
walaupun tanah fasum itu sudah diserahkan ataupun tidak diserahkan ke
Pemerintah Daerah.4 Diterangkan juga dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan, Sarana, dan
Utilitas Perumahan dan Pemukiman Daerah dalam pasal 22 disebutkan bahwa
pengelolaan prasarana, sarana, utilitas yang telah diserahkan kepada
pemerintah daerah sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah
yang bersangkutan.5
Dalam teori kepemilikan didefinisikan sebagai kekhususan terdapat
pemilik suatu barang menurut syariah untuk bertindak secara bebas yang
bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang syar’i.6 Barang yang disewa harus barang yang dapat diserahkan dan dapat
dipinjamkan.7 Maka tanah fasum dalam hal ini sebenarnya yang menguasai
adalah pemerintah, bukan pengembang perumahan tersebut, tetapi
masyarakat di sekitar perumahan memanfaatkan tanah yang menganggur
karena sampai saat ini tanah fasum yang digunakan untuk proyek
pembangunan Jalan Lingkar Barat kenyataannya belum selesai juga di tahun
2015.
4 Bambang, Wawancara, Sidoarjo, 27 September 2014.
5http://storage.jakstik.ac.id/ProdukHukum/PerumahanRakyat/Permendagri%20No%209%20Tahu
n%202009.pdf diakses tanggal 13 januari 2015
6 Nawawi Ismail, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Galia Indonesia, 2012), 57.
4
Berdasarkan dari kenyataan di atas, penyewaan tanah fasum tampak
bertentangan dengan norma-norma sewa-menyewa. Atas daripada itu, penulis
tertarik dan mencoba untuk menganalisis praktik sewa menyewa tanah fasum
melalui suatu penelitian dengan judul: ‚Analisis Hukum Islam Tentang Sewa
Menyewa Tanah Fasum YASBHUM ‛ (Studi Kasus di Perumahan TNI-AL
Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo).
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari hasil penelitian sementara, maka muncul beberapa masalah
yang muncul diantaranya:
a. Praktik sewa menyewa tanah fasum YASBHUM yang belum
dimanfaatkan oleh Pemerintah yang berlokasi di Perumahan TNI-AL
Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.
b. Analisis Hukum Islam tentang sewa menyewa tanah fasum
YASBHUM yang belum dimanfaatkan oleh Pemerintah yang
berlokasi di Perumahan TNI-AL Desa Sugihwaras Kecamatan Candi
Kabupaten Sidoarjo.
c. Kehidupan ekonomi masyarakat Desa Sugihwaras Kecamatan Candi
Kabupaten Sidoarjo.
d. Pengaruh Pemerintah tidak memanfaatkan tanah fasum di Perumahan
5
e. Tindakan Pemerintah mengetahui tanah fasum dimanfaatkan oleh
Rukun Warga di Perumahan TNI-AL Desa Sugihwaras Kecamatan
Candi Kabupaten Sidoarjo.
2. Batasan Masalah
Dari beberapa masalah tercantum di atas masih bersifat umum,
sehinggah diperlukan batasan-batasan masalah dalam pembahasannya
supaya lebih terarah pada ruang lingkup dan permasalahannya yakni
sebagai berikut:
a. Praktik sewa menyewa tanah fasum YASBHUM yang belum
dimanfaatkan oleh Pemerintah yang berlokasi di Perumahan TNI-AL
Desa Sugihwaras Candi Sidoarjo.
b. Analisis Hukum Islam tentang sewa menyewa tanah fasum
YASBHUM yang belum dimanfaatkan oleh Pemerintah yang
berlokasi di Perumahan TNI AL Desa Sugihwaras Candi Sidoarjo.
C. Rumusan Masalah
Agar lebih jelas dan terarah, maka perumusan masalah dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana praktik sewa-menyewa tanah fasum YASBHUM yang belum
dimanfaatkan oleh pemerintah yang berlokasi di Perumahan TNI-AL
6
2. Bagaimana Analisis hukum Islam tentang sewa-menyewa tanah fasum
YASBHUM yang belum dimanfaatkan oleh pemerintah yang berlokasi di
Perumahan TNI-AL Desa Sugihwaras Candi Sidoarjo?
D. Kajian pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkasan tentang kajian atau
penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang diteliti
untuk menghindari adanya pengulangan atau duplikasi dari kajian atau
penelitian tersebut.8
Maka penulis menemukan penelitian yang membahas masalah
‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Sewa Tanah Tegalan Yang
Dikelola Kelompok Tani di Desa Putat Kecamatan Tanggulangin Kabupaten
Sidoarjo‛ yang ditulis oleh Selamet Riyadin. Skripsi ini memberi kesimpulan, sistem sewa selama ini dilaksanakan belum sesuai dengan ketentuan hukum
Islam. Sebab, pelaksanaan sewa-menyewa yang mereka laksanakan ada unsur
paksaan.9
Ada lagi yang dibahas oleh Afif Rahman ‚Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Sistem Sewa Tanah Lahan Pertanian di Desa Golokan Kecamatan
Sidayu Kabupaaten Gresik‛. Skripsi ini memberikan kesimpulan, perjanjian sewa-menyewa tanah lahan pertanian tidak sah menurut ketentuan hukum
8 Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Edisi Revisi, Cetakan V, 2014), 8.
9Selamet Riyadin, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Sewa Tanah Tegalan Yang Dikelola
7
Islam karena mengandung unsur merugikan salah satu pihak dan saat
melakukan perjanjian sewa-menyewa tanah, diharapkan melakukan perjanjian
secara tertulis adanya hitam di atas putih, jangan melakukan perjanjian sewa
menyewa tanah hanya secara lisan.10
Selain itu ada yang membahas ‚Analisis Hukum Islam dan Undang Undang Pokok Agraria Terhadap Kasus Sewa-Menyewa Tanah Sawah
Menjadi Tambak di Desa Mojopurogede Kecamatan Bungah Kabupaten
Gresik‛. Dalam skripsi ini menjelaskan bahwa pelaksanaan sewa-menyewa tanah sawah dijadikan tambak adalah tidak menggunakan hukum adat tetapi
sudah berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dengan
bukti adanya surat perjanjian yang disaksikan oleh beberapa orang saksi dan
dilakukan dihadapan kepala desa setempat. Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa mengenai praktek pelaksanaan sewa-menyewa tanah sawah dijadikan
tambak tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Islam karena praktek
sewa-menyewa tersebut adalah termasuk dalam kategori bermuamalah dalam
Islam yang hukumnya adalah mubah (diperbolehkan).11
Berdasarkan penelusuran kepustakan di atas yang telah penulis
temukan, maka setidaknya dapat diketahui bahwa judul skripsi yang dikaji
penulis memiliki pokok permasalahan yang berbeda dari segi obyek, masalah
dan tempat penelitian yang berbeda.
10Afif Rahman, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Sewa Tanah Lahan Pertanian di Desa
Golokan Kecamatan Sidayu Kabupaaten Gresik‛ (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013. 11 Muhammad Fathur Rahman, ‚Analisis Hukum Islam dan Undang Undang Pokok Agraria Terhdap Kasus Sewa-Menyewa Tanah Sawah Menjadi Tambak di Desa Mojopurogede
8
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan di atas, maka tujuan penelitian
yang ingin dicapai dalam penulisan ini ialah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui praktik sewa-menyewa tanah fasum YASBHUM yang
berlokasi di Perumahan TNI-AL Desa Sugihwaras Candi Sidoarjo
2. Untuk mengetahui analisis hukum Islam tentang sewa menyewa tanah
fasum YASBHUM di Perumahan TNI-AL Desa Sugihwaras Candi
Sidoarjo
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sekurang-kurangnya
untuk hal-hal sebagai berikut:
1. Secara teoritis, sebagai upaya untuk menambah dan memperluas wawasan
dan pengetahuan tentang sewa tanah fasum YASBHUM di Desa
Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo, sehingga dapat
dijadikan sebagai informasi untuk menambah pengetahuan tentang sewa
tanah dalam hukum Islam.
2. Secara praktis, sebagai acuan dan bahan pertimbangan untuk penelitian
selanjutnya yang berhubungan dengan sewa tanah fasum.
G. Definisi operasional
Untuk mempermudah dalam memahami skripsi ini terutama mengenai
9
Menyewa Tanah fasum YASBHUM (Studi Kasus di Perumahan TNI-AL
Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo), maka penulis
jelaskan beberapa istilah operasional sebagai berikut:
Hukum Islam : Ketentuan hukum Islam mengenai ija>rah yang
tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits serta pendapat para ulama Fikih.
Sewa tanah : Perjanjian sewa menyewa dalam bentuk tanah yang
diberikan oleh pihak yang menyewakan dan pihak
penyewa memberikan uang sewa yang berlokasi di
Perumahan TNI-AL Desa Sugihwaras Kecamatan
Candi Kabupaten Sidoarjo.
Tanah fasum : Tanah fasilitas umum yang diadakan untuk
kepentingan umum seperti pembuatan jalan,
pembuangan sampah, jaringan listrik, jaringan air
bersih, sarana olahraga (Pemendagri No 9 Tahun
2009)12 yang dikelola oleh YASBHUM (Yayasan
Sosial Bhumyamca TNI-AL) yang berlokasi di
Perumahan TNI-AL Sugihwaras Candi Sidoarjo.
12http://storage.jakstik.ac.id/ProdukHukum/PerumahanRakyat/Permendagri%20No%209%20Tah
un%202009.pdf diakses pada tanggal 15 Februari 2015.
10
H. Metode Penelitian
Metode Penelitian Untuk memperoleh data yang dibutuhkan secara
terarah dan sistematika, penyusun menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Data yang dikumpulkan
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research)
yakni data yang diperoleh langsung dari masyarakat tentang sewa tanah
fasum yang dilaksanakan di Desa Sugihwaras Kecamatan Candi
Kabupaten Sidoarjo.
Adapun data yang dikumpulkan dalam penelitian ini tentang
pelaksanaan sewa tanah fasum YASBHUM yang selama ini telah
dilakukan di Perumahan TNI-AL Desa Sugihwaras Kecamatan Candi
Kabupaten Sidoarjo, di antaranya yaitu:
1) Data tentang obyek yang disewakan (tanah fasum)
2) Data tentang pelaku sewa tanah fasum
3) Data tentang perjanjian sewa-menyewa tanah fasum
4) Data lain tentang berbagai ketentuan yang terkait sewa menyewa
tanah fasum
5) Ketentuan mengenai fasum dalam peraturan perundang-undangan.
2. Sumber Data
Sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini,
11
a. Sumber data primer adalah data yang diterima langsung dari objek
yang akan diteliti (responden) dengan tujuan untuk mendapatkan data
yang kongkrit.13 Data tentang pelaku, perjanjian sewa menyewa, dan
ketentuan yang terkait sewa menyewa digali dari sumber data primer
yang berupa para responden yang terlibat langsung dalam pelaksanaan
sewa menyewa tanah fasum, yaitu Pihak penyewa (orang-orang yang
menyewa tanah di perumahan TNI AL Sugihwaras Candi Sidoarjo),
dan Pihak yang menyewakan (pengurus RW).
b. Sumber data sekunder adalah data yang tidak diperoleh langsung oleh
peneliti sendiri. Data sekunder biasanya berwujud dokumentasi atau
data laporan yang tersedia.14 Data tentang obyek yang disewakan
(tanah fasum) digali dari sumber data sekunder yang berupa dokumen
tentang tanah fasum yang dikeluarkan oleh :
1) Dinas Pekerjaan Umum dan Bina Marga (site plan jalan lingkar
barat Sidoarjo 2013)
2) BAPPEDA (daftar perumahan yang menyerahkan fasilitas umum)
3) YASBHUM ( denah perumahan TNI-AL Candi Sidoarjo)
4) Peraturan perundang-undangan mengenai tanah fasum
(Pemendagri No 9 tahun 2009 tentang Penyerahan Prasarana
Lingkungan, Utilitas Umum dan Fasilitas Sosial Perumahan
13 Bagong Suryanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), 55.
12
Kepada Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No 1 Tahun
2011 tentang Perumahan dan Permukiman )
3. Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui
beberapa cara, antara lain:
a. Wawancara yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
berhadapan secara langsung dengan yang diwawancarai.15 Data yang
bersumber dari para responden dikumpulkan melalui wawancara
kepada pihak yang dipandang berkompeten untuk diwawancarai.
Orang yang diwawancarai baik penyewa maupun yang menyewakan
tersebut berjumlah 15 orang. Pihak penyewa yaitu Bapak Ilham,Bapak
Tukin, Bapak Kardi, Bapak Zaini, Bapak Nanang, Bapak Ari, Ibu
Novi, Ibu Anton, Ibu Suroso, dan Ibu Ririn. Pihak yang menyewakan
(Pengurus RW) yaitu Bapak Sukowiyono, Bapak Gunawan, Bapak
Purwanto,Bapak Iskandar, dan Bapak Gentur.
b. Dokumentasi adalah suatu teknik pengumpulan data yang diperoleh
dari data tertulis.16 Data yang bersumber dari dokumen dikumpulkan
melalui teknik dokumentasi yang diperoleh dari arsip dan
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan data sewa tanah fasum di Desa
Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.
13
4. Teknik Pengolahan data
Data yang diperoleh langsung dari pihak yang bersangkutan dan
bahan pustaka selanjutnya diolah dengan tahapan-tahapan sebagai
berikut:
a. Editing adalah kegiatan yang dilaksanakan setelah peneliti selesai
menghimpun data di lapangan17
b. Organizing adalah mengatur dan menyunsun data sedemikian rupa
sehingga menghasilkan bahan untuk menyunsun skripsi ini dengan
baik. 18
c. Analizing adalah tahapan terakhir dengan menganalisis lebih lanjut
untuk memperoleh kesimpulan atas rumusan masalah yang ada.
5. Teknik Analisis Data
Taknik analisis data adalah mengorganisasikan data yang
terkumpul yang meliputi catatan lapangan, komentar peneliti, gambar,
foto, dokumen (laporan, biografi, artikel).19
Teknik deskriptif analisis adalah penelitian yang
menggambarkan data dan informasi yang berdasarkan fakta-fakta yang
diperoleh dilapangan dengan melakukan kajian secara mendalam terhadap
fakta-fakta yang ada dan memberi penilaian terhadap permasalahan yang
17 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi ..., 182.
18 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi , (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2013), 142.
19
14
diangkat melalui interprestasi yang tepat dan akurat untuk diambil
kesimpulan.
Analisis deskriptif ini digunakan untuk mendiskripsikan
persoalan-persoalan tentang pelaksanaan sewa menyewa tanah fasum di
Perumahan TNI-AL Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten
Sidoarjo kemudian dianalisis menurut hukum Islam.
I. Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan skripsi ini sistematis dan terarah, maka penulis
membagi masing-masing pembahasan menjadi lima bab yang akan dibagi lagi
dalam sub bab-sub bab, seperti diperinci dalam uraian berikut:
Bab kesatu merupakan pendahuluan yang berisi uraian tentang latar
belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,
tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode
penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua membahas tentang gambaran umum tentang konsep
al-ija>rah dalam hukum Islam, yang merupakan kajian dari beberapa literatur
atau kitab-kitab fiqih untuk memahami fenomena yang terjadi dalam
perkembangan sistem ekonomi Islam. Bab ini menjelaskan tentang
pengertian dan landasan hukum al-ija>rah, rukun dan syarat sahnya al-ija>rah,
15
Bab ketiga merupakan hasil penelitian yang berisi tentang perjanjian,
obyek, dan pelaku sewa menyewa tanah fasum di Perumahan TNI-AL Desa
Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.
Bab keempat merupakan analisis terhadap sudut kepemilikan dari
obyek sewa dan analisis hukum Islam penggunaan hasil sewa menyewa tanah
fasum di Perumahan TNI-AL Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten
Sidoarjo.
Bab Kelima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran dari analisis terhadap praktik sewa-menyewa tanah fasum di
Perumahan TNI-AL Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo
16 BAB II
KETENTUAN UMUM SEWA MENYEWA
A. Konsep Akad Sewa (Ija>rah) Dalam Hukum Islam
1. Pengertian Ija>rah
Dalam bahasa Arab sewa adalah al-ija>rah, al-Ija>rah berasal dari
kata bahasa Arab al-’ajru atau al-‘iwad} (ganti).20 Sedangkan al-ija>rah menurut istilah adalah transaksi antara berbentuk jasa atau manfaat, yang
mana dalam hal ini terjadi pertukaran antara jasa atau manfaat dengan
imbalan tertentu.21Sewa-menyewa merupakan jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan kompensasi. Lafadz al-ija>rah mempunyai
pengertian umum yang meliputi upah atas pemanfaatan sesuatu benda
atau imbalan suatu kegiatan, atau upah karena melakukan sesuatu
aktifitas. Al-Ija>rah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat
sesuatu dengan memberikan imbalan dengan jumlah tertentu dalam waktu
tertentu. Hal ini, sama artinya dengan menjual manfaat sesuatu benda,
bukan menjual ‘ayn dari benda itu sendiri.22
Dalam fiqih muamalah, ija>>rah mempunyai dua pengertian yaitu:
a. Perjanjian sewa-menyewa benda
b. Perjanjian sewa-menyewa jasa atau pekerjaan.23
20 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 13, (Kairo: Dar al-Fikr, 2001), 239.
17
Secara umum al-ija>rah mempunyai definisi bahwa akad
sewa-menyewa antara pemilik obyek sewa (ma’ju>r) dan penyewa (musta’jir)
untuk mendapatkan imbalan atas obyek yang telah disewakan.24
Perjanjian antara penyewa dan orang yang menyewakan untuk menjual
manfaat atas suatu objek berupa jasa maupun barang dengan menentukan
biaya sewa yang disepakati oleh pihak penyewa dan pihak yang menyewa
dengan jumlah dan batas tertentu yang telah disepakati kedua belah
pihak.
Sedangkan menurut istilah ulama berbeda-beda pedapat tentang
mendifinisikan akad al-Ija>rah antara lain sebagai berikut:
a. Menurut Hanafiyah25
َا ِْل
َج
َرا ُة
َع ْق
د
ْلا ىَلَع
َم ْ
َف َع
ِة
ِب ِع
َو
ٍض
ُ
َو َم
لا
Artinya: ‚Ija>rah adalah akad atas suatu kemanfaatan dengan imbalan berupa harta‛.
b. Menurut Malikiyah
َع ْق
د
ُي ِف ْي
ُد
َْت ِل ْي
َك
َم َ
ِف ا
ٍع
َش
ْي ٍء
ٍحاَبُم
ُم
د ًة
َم ْع
ُل ْو َم
ًة ِب
ِع َو
ٍض
َغ
ِْي
َن
ِش ا
ٍءي
َع
ِن
ْلا َم
ْ َف
َع ِة
Artinya: ‚Suatu akad yang memberikan hak milik atas manfaat suatu
barang yang mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat‛.26
c. Menurut Syafi’iyah27
َع ْق
د
َع َل
ى
َم ْ َف
َع ِة
َم ْق
ُص
ْو َد ٍة
َم ْع
ُل ْو َم
ٍة
ُم َب
َحا
ٍة
َق ِبا
َل ٍة
ِل ْل
َب ْذ
ِل
َو
َْا
ِء َب
َحا
ِة
ِب ِع
َو
ٍض
َم ْع
ُل ْو ٍم
24 Ivan Rahmawan. A, Kamus Istilah Akutansi Syariah (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2004), 87.
25 Ahmad Wardy Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Amzah, 2013), 316. 26 Ibid.
18
Artinya: ‚Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan penggati tersebut‛.
d. Menurut Hanabilah28
َو ِ
َي
َع ْق
د
َع َل
ْلا ى
َم َ
ا ِف
ِع
َ ت ْ َع
ِق ُد
ِب َل
ْف
ِظ
ْا
ِل
َجا
َر ِة
َو ْلا
َك َر
ِءا
َو َم
ِْف ا
َم ْع
َ
َُه ا
ا
Artinya: ‚Ija>rah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ija>rah dan kara>’ dan semacamnya‛.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat dipahami bahwa
ija>rah adalah menjual kemanfaatan atas barang atau jasa bukan bendanya.
Dapat diterjemahkan, berarti sewa menyewa dan upah mengupah yiatu:
a. Sewa menyewa adalah menjual manfaat suatu benda
b. Upah mengupah adalah menjual tenaga atau kekuatan
Adapun menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional bahwa al-ija>rah
adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa
dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Dengan demikian
akad al-ija>rah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan
hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.29
2. Dasar Hukum Al-Ija>rah
Al-Ija>rah disyariatkan berdasarkan al-Qur’an, al-Sunnah, dan Ijma’. a. Al-Qur’an
Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman pada surat al-Baqarah ayat 233:
28 Ahmad Wardy Muslich, Fiqih Muamalah ..., 317.
19 ...
ْنِإَو
ُْتْدَرَأ
ْنَأ
اوُعِضْرَ تْسَت
ْمُكَدَْوَأ
اَف
َحاَُج
ْمُكْيَلَع
اَذِإ
ْمُتْم لَس
اَم
ْمُتْيَ تآ
ِفوُرْعَمْلاِب
...Artinya: ‚...Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut...‛.30
Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman pada surat al-Qas}as} ayat 26:
ْتَلاَق
اَُهاَدْحِإ
اَي
ِتَبَأ
ُْر ِجْأَتْسا
نِإ
َرْ يَخ
ِنَم
َتْرَجْأَتْسا
يِوَقْلا
ُيِمأا
Artinya: ‚Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". 31
Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman pada surat al-T}ala>q ayat 6:
...
ْنِإَف
َنْعَضْرَأ
ْمُكَل
نُوُتآَف
نَُروُجُأ
اوُرَِتْأَو
ْمُكَْ يَ ب
ٍفوُرْعَِِ
ْنِإَو
ُْتْرَساَعَ ت
ُعِضْرُ تَسَف
َُل
ىَرْخُأ
Artinya: ‚...kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu
untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya‛.32
b. Al-Sunnah
Diriwayatkan dari Ibn Abbas r.a. Rasulallah saw bersabda:
ََْ اًماَرَح َناَكْوَلَو َُرْجَأ َُمَجَح ىِذ لا ىَطْعَأَو َم لَسَو ِْيَلَع ُها ى لَص ِها ُلوُسَر َمَجَتْحِا
ِِطْعُ ي
Artinya: ‚Beberkamlah dan beliau memberikan upah kepada orang yang membekamnya itu. Seandainya pembekamnya haram
niscaya beliau tidak memberinya upah‛. (HR. Bukhari)33 Diriwayatkan dari Ibn Umar r.a. Rasulallah saw bersabda:
30Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,. (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2010), 37.
31Ibid., 388. 32Ibid., 559.
20
َآ ْع
ُط
َأااو
ِج
ْ ي َر َآ
ْج َر
ُ
ُقَرَع فََِ ْنآ َلْبَ ق
ُ
Artinya: ‚Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.‛(HR.
Abu Dawud)34
c. Ijma’
Mengenai disyariatkan al-ija>rah, para ulama keilmuan dan
cendekiawan bersepakat tentang keabsahan al-ija>rah, sekalipun ada
hanya sebgaian kecil diantara mereka yang berbeda pendapat tetapi itu
tidak dianggap.35 Dari ayat-ayat al-Qur’an dan beberapa hadis Rasulallah tersebut jelaslah bahwa akad al-ija>rah atau sewa menyewa
hukumnya dibolehkan, karena memang akad tersebut dibutuhkan oleh
masyarakat.
Disamping al-Qur’an dan sunnah, dasar hukum al-ija>rah
adalah ijma’. Sejak zaman sahabat sampai sekarang al-ija>rah telah disepakati oleh para ahli hukum Islam. Hal tersebut dikarenakan
masyarakat sangat membutuhkan akad ini36. Dalam kenyataan
kehidupan sehari-hari, ada orang kaya yang memiliki rumah yang tidak
ditempati. Di sisi lain ada orang yang tidak memiliki tempat tinggal.
Dengan dibolehkannya al-ija>rah maka orang yang tidak memeiliki
tempat tinggal bisa menempati rumah orangg lain yang tidak
digunakan untuk beberapa waktu tertentu, dengan memberikan
imbalan berupa uang sewa yang disepakati bersama tanpa harus
membeli rumah tersebut.
34Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats, Ensiklopedi Hadist 5, (Jakarta: Almahira, 2013), 728. 35 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13..., 11.
21
3. Jenis-Jenis Al-Ija>rah37
a. Al-Ija>rah ‘Ala> al-Mana>fi\‘. Al-Ija>rah atas manfaat, disebut juga sewa menyewa. Dalam al-ija>rah bagian pertama ini, objek akadnya adalah
manfaat dari suatu benda.
b. Ija>rah al-Dhimmah. Al-Ija>rah atas pekerjaan, disebut juga
upah-mengupah. Dalam al-ija>rah bagian kedua ini, objek akadnya adalah
amal atau pekerjaan sesorang.
4. Rukun dan Syarat Al-Ija>rah
a. Rukun al-Ija>rah 38
Menurut ulama Hanafiyah, rukun ija>rah dalah ijab dan qabul,
antara lain dengan menggunakan kalimat: al-Ija>rah, al-Isti’ja>r, al-Iktira>’, dan al-Ikra>’.
Adapun menurut jumhur ulama, rukun al-ija>rah ada empat,
yaitu:39
1) ‘A>qid (orang yang berakad). 2) S{i>ghat akad.
3) Ujrah (upah).
4) Manfaat.
b. Syarat-syarat al-ija>rah adalah :
1) syarat yang berkaitan dengan orang yang melakukan akad
sewa-menyewa (‘a>qid). 40
37 Ibid., 329.
22
Menurut ulama Hanafiyah orang yang melakukan akad
disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun), serta
tidak disyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan barang
miliknya sendiri, akad al-ija>rah anak mumayyiz dipandang sah bila
diizinkan walinya. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyi>z
adalah syarat al-ijara>h dan jual beli, sedangkan baligh adalah syarat
penyerahan. Dengan demikian, akad anak mumayziz adalah sah,
tetapi bergantung atas keridaan walinya.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang
akad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak
mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli akad. Dimana
disyaratkan pada mu’jir dan musta’jir harus berakal dan mumayyiz menurut Hanafiyah dan baligh dan berakal menurut Syafi’iyah dan
Hanabilah. Dalam Syarat pelakasanaan (nafa>dh), barang yang harus
dimiliki ‘a>qid memiliki kekuatan penuh untuk akad. Dalam arti orang yang menyewakan mempunyai hak kepemilikan atau
kekuasaan penuh atas objek al-ija>rah. 41
Adanya keridaan kedua belah pihak yang akad, syarat ini
didasarkan pada firman Allah SWT:
23
ْوُلُكْأَت ََ اْوَ َمَا َنْيِذ لااَه يَاآَي
ْمُكِْم ٍضارَت ْنَع ًةَرَِِ َنوُكَت ْنَا َِا ِلِطاَبْلاِب ْمُكَْ يَ ب ْمُكَلاوْمَاا
Artinya: ‚Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakai harta sesamamu dengan jalan yang batal, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka.‛ (QS. al-Nisa>’: 29)42
2) Syarat yang berkaitan dengan shighat akad adalah43
a) Ijab dan qabul harus jelas maksudnya sehingga dipahami oleh
yang melangsungkan akad. Namun demikian, tidak disyaratkan
menggunakan bentuk tertentu.
b) Antara ijab dan qabul harus sesuai.
c) Antara ijab dan qabul harus bersambung dan berada ditempat
yang sama jika kedua pihak hadir, atau berada di tempat yang
sudah diketahui oleh keduanya.
d) Harus ditempat yang sama. Namun demikian dibolehkan
ditempat yang berbeda, tetapi sudah dimaklumi oleh keduanya
sehingga keduanya saling memahami. Oleh karena itu,
dibolehkan ijab qabul dengan telepon, surat, dan lain-lain.
Qabul tidak disyaratkan harus langsung dengan tujuan untuk
memberikan kesempatan berpikir kepada yang akad. Begitu
pula dibolehkan mengucapkan ijab dan qabul sambil berjalan.
e) Tidak boleh tampak adanya penolakan dari salah seorang yang
akad dan juga tidak boleh ada ucapan lain yang memisahkan di
antara perkataan akad.
24
f) Ijab tidak boleh diulangi atau dibatalkan sebelum ada jawaban
qabul. Begitu pula dianggap tidak sah jika ijab dan qabul
diucapkan dalam waktu bersamaan.
3) Syarat yang berkaitan dengan ujrah adalah
a) syarat upah berupa harta yang bernilai dan diketahui 44
Mengetahui upah tidak sah kecuali dengan isyarat dan
penentuan, ataupun dengan penjelasan. Menurut Abu Hanifah,
diharuskan mengetahui tempat pelunasan upah jika upah itu
termasuk barang yang perlu dibawa dan membutukan biaya.
Sedangkan menurut Sahiban, hal itu tidak disyariatkan dan
tempat akad cukup dijadikan tempat untuk pelunasan.
Syarat mengetahui upah ini memiliki beberapa bentuk
masalah, seperti jika seorang menyewa orang lain dengan upah
tertentu ditambah makan, atau menyewa hewan dengan upah
tertentu ditambah makanannya, maka akad itu tidak
dibolehkan. Hal itu karena makanan tersebut menjadi bagian
dari upah, padahal ukurannya tidak jelas. Ulama Malikiyah
membolehkan menyewa seseorang untuk melayani atau
menyewa hewan ditambah makannya dan pakaian atau
sejenisnya untuk pembantu itu. Hal itu sudah menjadi hal yang
umum dalam masyarakat.
25
b) Upah tidak berbentuk manfaat yang sejenis dengan ma’qu>d alayhi (obyek akad)45
Upah tidak berbentuk manfaat yang sejenis dengan
ma’qu>d alayhi (obyek akad). Misalkan, al-ija>rah tempat tinggal dibayar dengan tempat tinggal, jasa dibayar dengan jasa,
penunggagan dibayar dengan penunggangan, dan pertanian
dibayar dengan pertanian. Menurut ulama Malikiyah, penerapan
prinsip ini dalam al-ija>rah adalah bahwa akad ini menurut
mereka terjadi secara sedikit demi sedikit sesuai dengan
terjadinya manfaat. Maka manfaat pada waktu akad itu tidak
ada seutuhnya, sehingga salah satu pihak menjadi terlambat
dalam menerima manfaat secara seutuhnya.
4) syarat yang berkaitan dengan ma’qu>d ‘alayhi (barang yang menjadi objek akad) adalah:
a) Bermanfaat dengan jelas46
Adanya kejelasan pada ma’qu>d ‘alayhi (barang), untuk menghilangkan pertentangan diantara ‘a>qid. Di antaranya dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau
menjelaskan jenis pekerjaan jika al-ija>rah atas pekerjaan atau
jasa.
b) Hendaknya dihalalkan oleh syara’47
45 Ibid., 404.
26
Oleh sebab itu, para ulama fiqih sepakat menyatakan tidak
boleh menyewa seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir,
menyewa seseorang untuk membunuh orang lain (pembunuh
bayaran), dan orang Islam tidak boleh menyewahkan rumah
kepada non muslim untuk dijadikan tempat ibadah mereka.
Menurut mereka, obyek sewa-menyewa dalam contoh di atas
termasuk maksiat, sedangkan kaidah fiqih menyatakan:
ْس َا
ِت ْئ
َج
ُرا
َع َل
ْلا ى
َم ْع
ِص
َي ِة
ََ
ََُ ْو
ُز
Artinya: ‚Sewa menyewa dalam masalah maksiat tidak boleh‛
c) Dapat diserahkan, dipergunakan secara langsung dan tidak ada
cacatnya. Oleh sebab itu, ulama fiqih sepakat mengatakan,
bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak dapat
diserahkan, dimanfaatkan langsung oleh penyewa.
Umpamanya, rumah atau toko harus siap pakai atau tentu saja
sangat bergantung kepada penyewa apakah mau dia
melanjutkan akad itu atau tidak. Sekiranya rumah itu atau
toko itu disewa oleh orang lain, maka setelah habis sewanya,
baru dapat disewakan kepada orang lain. Sebagaimana dalam
hadist Rasulullah yaitu:
َا ْل
ُم
ْلا وُخأ ُمِلْس
ُم
ْس ِل
ِم
َِيَ
ل
ِل ُم
ْس ِل
ٍم
َب َعا
ِم
ْن
َأ ِخ
ْي ِ
َ ب ْ ي ًع
َو ا
ِف ْي ِ
َع ْي
ب
ِإ
َ
َ ب ي
َ ُ
َل ُ
Artinya: ‚Sesama muslim itu bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnyakepada muslim
27
melainkan ia harus menjelaskan kepadanya (HR. Ibnu Majah)48
d) Adaya hak kepemilikan dan kekuasaan
Hal ini berdasarkan pada hadist Rasulallah saw yang
melarang menjual barang yang tidak bisa dipegang atau
dikuasai, sebagaimana hadist dalam jual beli yaitu:
ََ َ ب
ْي ُع
َم
َل ا
ْي
َس
ِع
ْ َد
َك
Artinya: ‚Tidak sah jual beli, kecuali sudah dimiliki sendiri‛
(HR. Abu Daud)49
5. Prinsip Transaksi Al-Ija>rah
Sewa menyewa sebagaimana perjanjian lainnya adalah perjanjian
sewa antara pihak yang menyewakan dan pihak penyewa, dimana pihak
penyewa harus membayar sewa sesuai dengan perjanjian, dan pada saat
jatuh tempo, aset yang disewa harus dikembalikan kepada pihak yang
menyewakan. Transaksi al-ija>rah dilandasi adanya perpindahan manfaat
(hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada
dasarnya prinsip al-ija>rah sama saja dengan prinsip jual beli tapi
perbedaannya terletak pada obyek transaksinya. Apabila pada jual beli
objek transaksinya adalah barang, sedangkan pada al-ija>rah obyek
transaksinya adalah manfaat barang maupun jasa.50
Sewa-menyewa sebagaiamana perjanjian lainnya, adalah
merupakan perjanjian yang bersifat konsensual, perjanjian ini mempunyai
kekuatan hukum yaitu pada saat sewa-menyewanya berlangsung, dan
48 Ibnu Majah, Ensiklopedia Hadits 8, (Jakarta: Almahira, 2013), 399. 49Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats, Ensiklopedi Hadist 5 ..., 741.
28
apabila akad sudah berlangsung, maka pihak yang menyewakan
berkewajiban menyerahkan barang yang disewa dan dengan
diserahkannya manfaat objek maka pihak penyewa berkewajiban pula
untuk menyerahkan uang sewa.51
6. Hal- hal yang membatalkan sewa-menyewa
Suatu akad al-ija>rah berakhir apabila:52
a. Terjadinya ‘ayb pada barang sewaan
Maksudnya bahwa pada barang yang menjadi obyek perjanjian
sewa-menyewa terdapat kerusakan ketika sedang berada di tangan
pihak penyewa, yang mana kerusakan itu adalah diakibatkan kelalaian
pihak penyewa sendiri, misalnya karena penggunaan barang tidak
sesuai dengan peruntukan penggunaan barang tersebut. Dalam hal
seperti ini pihak yang menyewakan dapat memintakan pembatalan.
b. Rusaknya barang yang disewakan
Maksudnya barang yangmenjadi obyek perjanjian
sewa-menyewa mengalami kerusakan atau musnah sama sekali sehingga
tidak dapat dipergunakan lagi sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
Misalnya yang menjadi obyek sewa-menyewa adalah rumah,
kemudian rumah yang diperjanjikan terbakar.
c. Rusaknya barang yang diupahkan (ma’ju>r’alayhi)
Maksudnya barang yang menjadi sebab terjadi hubungan
sewa-menyewa mengalami kerusakan, sebab dengan rusaknya atau
29
musnahnya barang yang menyebabkan terjadinya perjanjian maka
akad tidak akan mungkin terpenuhi lagi. Misalnya A mengupahkan
kepada si B, untuk menjahit bakal celana, dan kemudian bakal celana
itu mengalami kerusakan, maka perjanjian sewa-menyewa karya itu
berakhir dengan sendirinya.
d. Terpenuhi manfaat yang dilakukan
Dalam hal ini yang dimaksudkan, bahwa apa yang menjadi
tujuan perjanjian sewa-menyewa telah tercapai, atau masa perjanjian
sewa-menyewa telah berakhir sesuai dengan ketentuan yang
disepakati oleh para pihak. Misalnya: perjanjian sewa-menyewa
rumah selama satu tahun dan pihak penyewa telah pula memanfaatkan
rumah tersebut selama satu tahun maka perjanjian sewa-menyewa
tersebut batal atau berakhir dengan sendirinya. Maksudnya tidak perlu
lagi diadakan suatu perbuatan hukum untuk memutus hubungan
sewa-menyewa.
e. Adanya udzur.
Penganut madzhab Hanafiyah menambahkan bahwa adanya
udzur juga merupakan salah satu penyebab putus atau berakhirnya
perjanjian sewa-menyewa, sekalipun udzur tersebut datangnya dari
salah satu pihak. Misalnya seorang yang menyewa toko untuk
berdagang, kemudian barang dagangannya musnah terbakar, atau
30
pihak penyewa dapat membatalkan perjanjian sewa menyewa toko
yang telah diadakan sebelumnya.
Pada dasarnya perjanjian sewa menyewa merupakan perjanjian
yang lazim, masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian tidak
berhak membatalkan perjanjian (tidak mempunyai hak fasakh) karena
termasuk perjanjian timbal balik. Bahkan jika salah satu pihak (yang
menyewakan atau penyewa) meninggal dunia perjanjian sewa
menyewa tidak akan menjadi batal asal yang menjadi objek perjanjian
sewa menyewa masih ada. Sebab dalam hal salah satu pihak
meninggal dunia maka kedudukanya digantikan oleh ahli waris,
demikian juga halnya dengan penjualan objek perjanjian sewa
menyewa yang tidak menyebabkan putusnya perjanjian yang diadakan
sebelumnya.53
B. Kepemilikan Dalam Islam
1. Pengertian Kepemilikan
Secara etimologi, kata milik berasal dari bahasa Arab al-milk yang
berarti penguasaan terhadap sesuatu. Al-milk juga berarti sesuatu yang
sudah dimiliki (harta). Milik juga merupakan hubungan seseorang dengan
suatu harta yang diakui oleh syara’, yang menjadikannya mempunyai
kekuasaan khusus terhadap harta itu, sehingga ia dapat melakukan
tindakan hukum terhadap harta itu, kecuali ada halangan syara’. Kata
31
‚milik‛ dalam Indonesia merupakan kata serapan dari kata al-milk dalam bahasa Arab.54
Secara terminologi, ada beberapa definisi al-milk yang dikemukakan
ulama fiqh, sekalipun secara ensensial seluru definisi itu adalah sama.
Al-milk adalah: 55
ءاَدِتْبا ِْيِف رَص تلا َنِم ُُبِخاَص ُنِكََُْو ُِْم َرْ يَغْلا ُعَََْ ِئ شلاِب ُصاَصِتْخا
Artinya: ‚Pengkhususan seseorang terhadap suatu benda yang
memungkinkan nya untuk bertindak hukum terhadap benda itu (sesuai dengan keinginannya) selama tidak ada halangan syara’. Artinya, benda yang dikhususkan kepada seseorang itu sepenuhnya
berada dalam penguasaan, sehingga orang lain tidak boleh bertindak dan
memanfaatkannya. Pemilik harta bebas untuk bertindak hukum terhadap
hartanya, seperti jual beli, hibah, wakaf, dan meminjamkan kepada orang
lain, selama tidak ada halangan dari syara’. Contohnya halangan dari
syara’ antara lain adalah orang itu belum cakap bertindak hukum, misalnya anak kecil, orang gila, atau kecakapan hukumnya hilang, seperti
orang yang jatuh pailit, sehingga dalam hal-hal tertentu mereka tidak
dapat bertindak hukum terhadap miliknya sendiri.
Definisi-definisi yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan
bahwa, hak milik atau kepemilikan merupakan hubungan antara manusia
dan harta yang ditetapkan oleh syara’, yang memberikan kekhususan yang
32
memungkinkan untuk mengambil manfaat atau melakukan tas}arruf atas
harta tersebut menurut cara-cara yangdibenarkan oleh syara’.56
2. Pembagian Hak Milik
Hak milik terbagi menjadi dua bagian:
a. Hak milik yang sempurna (Al-Milk At-Ta>m)57
Hak milik sempurna merupakan hak penuh yang memberikan
kesempatan dan kewenangan kepada si pemilik untuk untuk
melakukan tas}arruf yang dibenarkan oleh syara’. Muhammad Abu Zahra mengemukakan beberapa keistimewaan dari hak milik yang
sempurna ini sebagai berikut:
1) Milik yang sempurna memberikan hak kepada pemilik untuk
melakukan tas}arruf terhadap barang dan manfaatnya dengan
berbagai macam cara yang dibenarkan oleh syara’, seperti jual
beli, hibah, ija>rah (sewa-menyewa), ia>rah, wasiat, wakaf, dan
tas}arruf-tas}arruf lainnya yang dibenarkan oleh syara’ dan tidak
bertentangan dengan prinsip dan kaidah-kaidahnya.
2) Milik yang sempurna juga memberikan hak manfaat penuh kepada
si pemilik tanpa dibatasi dengan aspek pemanfaatannya, masanya,
kondisi dan tempatnya, karena yang menguasai hanya satu orang.
Satu-satunya pembatasannya ialah bahwa pemanfaatan atas
barang tersebut tidak diharamkan oleh syara’ dan hanya berakhir jika terjadi perpindahan hak kepada orang lain.
33
3) Jika ia merusak barang yang dimiliki maka ia tidak berkewajiban
untuk menggantinya.
b. Hak milik yang Tidak Sempurna (Al-Milk An-Na>qis})58
Hak milik yang tidak sempurna adalah pemilikan atas salah satu
unsur harta bendanya saja. Bisa berupa pemilikan barang atas
manfaat, tanpa memiliki bendanya disertai asas pemilikan atas
bendanya. Apabila seseorang hanya memiliki salah satu dari benda
tersebut, ia memiliki benda tanpa memiliki manfaatnya atau memiliki
manfaat (kegunaannya) saja tanpa memiliki zatnya.
Milik na>qis} yang berupa penguasaan terhadap zat barang (benda)
disebut milik raqabah, sedangakan milik na>qis} yang berupa
penguasaan terhadap kegunaannya saja disebut milik manfaat atau
hak guna pakai.
3. Sebab-Sebab Kepemilikan
Beberapa cara pemilikan harta yang disyariatkan Islam:
a. Melalui penguasaan terhadap harta yang belum dimiliki seseorang
atau lembaga hukum lainnya, yang dalam Islam disebut sebagai harta
mubah.
b. Melalui suatu transaksi yang ia lakukan dengan orang atau suatu
lembaga hukum, seperti jual beli, hibah, ija>rah, ia>rah dan wakaf.59
c. Melalui sebuah perizinan untuk mengonsumsi barang atau
menggunakannya, seperti izin untuk memmakan buah-buahan,
34
mengendarai mobil seorang, izin untuk menggunakan fasilitas umum,
seperti jalan raya, jembatan dan sarana olahraga. Perizinan ini hanya
diberikan kepada orang yang mendapatkan izin, tidak boleh
dilimpahkan kepada orang lain untuk menikmati manfaatnya.60
d. Melalui peninggalan seseorang, seperti menerima harta warisan dari
ahli warisnya yang wafat.
e. Melalui kesepakatan seorang yang memberikan wasiat kepada orang
lain untuk mengambil nilai suatu manfaat.
f. Hasil/buah dari harta yang dimiliki seseorang, sama ada hasil itu
datang secara alami, seperti buah pohon di kebun, anak sapi yang
lahir, dan bulu domba seseorang atau melalui suatu usaha pemiliknya,
seperti hasil usahanya sebagai pekerja atau keuntungan dagang yang
diperoleh seorang pedagang.61
4. Akibat Hukum Suatu Hak
a. Menyangkut penggunaan hak62
Ulama fikih berpendapat, bahwa hak itu harus digunakan untuk
hal-hal yang disyari’atkan oleh Islam. Atas dasar ini seseorang tidak diperbolehkan menggunakan haknya, apabila merugikan atau
membawa mudarat kepada orang lain, baik perorangan maupun
masyarakat, baik sengaja maupun tidak sengaja. Selain itu pemilik
hak pun tidak diperbolehkan menggunakan haknya secara mubazir.
60 Nawawi Ismail, Fiqh Muamalah Klasik ..., 59. 61 Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah ..., 32.
35
Di dalam fikih, perbuatan-perbuatan yang membawa mudarat
kepada orang lain, disebut:
قَحا ِلاَمْعِتْسا ِِ ُف سَعّلا
Artinya: ‚Sewenang-wenang dalam menggunakan hak‛
Sewenang-wenang dalam menggunakan hak dilarang oleh syara’.
Apabila orang menggunakan sesuatu yang bukan haknya, tidak
dinamakan sewenang-wenang dalam menggunakan hak tetapi
disebut:
َِا
ْع ِت
َد
ُءا َع
َل
ى
َحا
ق
ِْيَغلا
Artinya: ‚Melanggar hak orang lain‛
Setiap orang tidak diperbolehkan menggunakan haknya dengan
sewenang-wenang, yang mengakibatkan mudarat bagi orang lain.
Oleh sebab itu penggunaan hak dalam syari’at Islam tidak bersifat
mutlak, tetapi ada pembatasannya. Batasannya adalah tidak
membawa mudarat bagi orang lain, baik perorangan maupun
masyarakat. Dalam hal ini sesuai dengan kaidah fikih yaitu:
َ ت
ِةَحَلْصَمْلا َنِم ُمَظْعَأ ٍرَرَض ُب تَر
Artinya: ‚Muncul kemudaratan yang lebih besar dari maslahat‛63
َر ضلا
ُر ُ ي
َز ُلا
Artinya: ‚Kemudaratan itu harus dihilangkan‛64
َم
َحا
ُر َم
َا ْخ
ُذ ُ
َح ُر
َم ِا
ْع
َط
ُؤ ا
ُ
Artinya : ‚Sesuatu yang haram diambilnya, diharamkan pula
memberikannya‛65
63 Ibid., 21.
36
Jika pemilik hak menggunakan haknya untuk memperoleh
kemaslahatan pribadinya, tetapi akibatnya menimbulkan
kemudaratan lebih besar kepada pihak lain, atau kemaslahatan itu
sebanding dengan kemudaratan yang ditimbulkan, baik kemudaratan
itu mengenai hak-hak masyarakat maupun hak-hak pribadi, sesuatu
yang diperoleh dengan cara yang haram juga akan memberikan
kemudaratan bagi orang lain, maka tindakan itu harus dicegah,
sesuai dengan sabda Rasulullah:
ََ
َض َر
َر َ
و
ََ
ِض
َر َرا
Artinya: ‚Janganlah merugikan diri sendiri dan janganlah merugikan
orang lain‛(HR. Ibnu Majah)66
َنْوُمِلْسُمْلَا
ىَلَع
ْمِهِطْوُرُش
َِا
اًطَرَش
َم رَح
ًََاَح
ْوَأ
لَحَأ
اًماَرَح
Artinya: ‚Orang-orang muslim boleh berpegang kepada syarat-syarat yang mereka buat , kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram‛ (HR. Abu
Dawud)67
b. Menyangkut pemeliharaan hak
Bahwa syari’at Islam telah menetapkan agar setiap orang berhak untuk memulihkan atau menjaga haknya dari segala bentuk
kewenangan orang lain. Apakah yang menyangkut hak-hak
kepidanaan atau hak-hak keperdataan. Apabila hak seorang dicuri,
maka ia berhak menuntut secara pidana atau perdata. Tuntutan secara
pidana dengan melaksanakan hukuman potong tangan (negara Islam)
dan secara perdata menuntut agar harta yang dicuri itu dikembalikan,
65 Ibid., 89.
66 Ibnu Majah, Ensiklopedia Hadits 8 ..., 743.
37
jika masih ada dan bila harta itu sudah habis, diganti senilai dengan
harta yang dicuri.
c. Menyangkut pelaksanaan dan penuntutan hak
Para pemilik hak harus melaksanakan haknya itu dengan cara
yang disyari’atkan. Dalam kaitannya dengan persoalan dengan
manusia, penunainnya dilakukan dengan cara mengambilnya atau
membayar nya kepada yang berhak menerimanya (pemilik hak), yang
terpenting dalam hal ini adalah sifat keadilan dalam penggembalian
hak, sehingga masing-masing pihak tidak ada yang dirugikan.
5. Akibat Hukum Bagi Orang yang Menggunakan Hak Sewenang-Wenang
a. Mengilangkan segala bentuk kemudaratan yang ditimbulkan oleh
penggunaan hak sewenang-wenang. Misalnya, jika kesewenangan itu
muncul akibat membangun rumah, yang mengakibatkan udara dan
cahaya matahari terhalang masuk ke rumah tetangga, maka rumah itu
harus dibongkar atau pembangunannnya harus dihentikan, bila masih
tahap pembangunan. Pada dasarnya, pembangunan itu jangan sampai
mengganggu tetangga, kendatipun membangunnya diatas tanah
sendiri.
b. Memberi ganti rugi atas kemudaratan yang ditimbulkan oleh
penggunaan hak secara sewenang-wenang, jika kemudaratan yang
ditimbulkan berhubungan dengan nyawa, harta, atau anggota tubuh
38
c. Membatalkan tindakan sewenang-wenang tersebut,seperti
membatalkan nikah tahlil (nikah cinta buta) dan membatalkan wasiat
yang memberi mudarat kepada ahli waris.
d. Melarang seoarang menggunakan haknya secara sewenang-wenang
seperti membawa istrinya dalam suatu perjalanan, jika perjalanan itu
membawa mudarat kepada istrinya. Demikan juga melarang petani
anggur untuk menjual hasil panennya kepada pabrik minuman keras.
e. Memaksa pelaku kesewenangan untuk melakukan sesuatu, seperti
memaksa pedagan melakukan ih}tikar (menimbun barang) untuk
menjual barang yang ditimbunnya dengan harga normal (pasaran) dan
memaksa para buruh untuk bekerja dengan upah yang normal (Upah
Minimim Regional = UMR)
6. Pembagian Harta Dikaitkan dengan Kepemilikan
Harta, meskipun menurut wataknya menerima untuk dimiliki, namun
dalam kenyataannya dilihat dari segi menerima tidaknya kepada
kepemilikan terbagi tiga bagian sebagai berikut:68
a. Harta yang tidak boleh dimiliki dan diupayakan untuk dimiliki sama
sekali. Contohnya tanah dan bangunan-bangunan yang khusus
diperuntukkan bagikepentingan umum, seperti jalan, aset-aset
pemerintah, perpustakaan umum, dan sebagainya. Ini semuanya
adalah harta milik umum yang tidak boleh dimiliki atau diupayakan
untuk dimiliki oleh perseorangan.
39
b. Harta yang tidak boleh dimiliki kecuali sebab-sebab yang dibenarkan
oleh syara’. Contohnya tanah-tanah wakaf dan harta-harta milik baytul ma>l. Dalam hal wakaf, sebagaian barangnya tidak boleh
dimiliki, kecuali apabila pengadilan memandang perlu melepaskan
wakafnya atau menukarnya. Dalam hal milik baitul ma>l atau khas
negara seorang tidak boleh memiliki sedikit pun dari harta tersebut,
kecuali apabila pemerintah memandang bahwa ia perlu diberi,
misalnya pegawai negeri yang digaji dari baytul ma>l (khas negara).
c. Harta yang boleh dimiliki dan diupayakan untuk dimiliki selamanya
dan setiap saat, yaitu selain yang disebutkan pada poit a dan b.
C. Ketentuan Mengenai Fasum Dalam Peraturan Perundang-Undangan
1. Pengertian Fasilitas Umum
Seringkali kita mendengar istilah fasilitas sosial dan fasilitas umum
(fasos dan fasum) untuk menggambarkan fasilitas yang bisa digunakan
publik. Dalam peraturan, tidak ditemukan istilah fasos dan fasum, tetapi
itu adalah istilah untuk prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas
sosial yang dipendekkan menjadi fasos fasum untuk mempermudah
penyebutannya.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan fasilitas
sosial adalah fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah atau swasta untuk
40
dimaksud fasilitas umum adalah fasilitas yang disediakan untuk
kepentingan umum, misalnya jalan dan alat penerangan umum. 69
Adapun pengertian prasarana adalah kelengkapan dasar fisik
lingkungan yang memungkinkan lingkungan perumahan dan permukiman
dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Sarana adalah fasilitas penunjang
yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan
ekonomi,sosial dan budaya. Sedangkan utilitas adalah sarana penunjang
untuk pelayanan lingkungan.70
2. Jenis-Jenis Fasum
Pemerintah daerah meminta pengembang untuk menyerahkan
prasarana, sarana, dan utilitas perumahan dan permukiman yang dibangun
oleh pengembang. Pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas yang telah
diserahkan kepada pemerintah daerah sepenuhnya menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah yang bersangkutan. Pengelola prasarana, sarana,
dan utilitas tidak dapat merubah peruntukan prasarana, sarana, dan
utilitas baik bagi pengembang, badan usaha swasta, dan masyarakat.
Pada pasal 8, 9 dan 10 Pemendagri Nomor 9 Tahun 2009, fasilitas
umum maupun sosial yang terdapat di dalam perumahan dan pemukiman
yaitu: 71
69 Muhammad Dahlan, Kamus Modern Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Arloka, 1994), 148. 70Himpunan Peraturan Pertanahan, Perumahan, Permukiman Dan Rumah Susun, (Jakarta: CV Tamita Utama,2012), 2.
71 Pasal 8, 9 dan 10 Angka 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2009 tentang
41
a. Prasarana perumahan dan permukiman, antara lain: jaringan jalan,
jaringan saluran pembuangan air limbah, jaringan saluran pembuangan
air hujan (drainase) dan tempat pembuangan sampah.
b. Sarana perumahan dan pemukiman, antara lain: sarana perniagaan/
pembelajaran, sarana pelayanan umum dan pemerintahan, sarana
pendidikan, sarana kesehatan, sarana peribadatan, sarana rekreasi dan
olah raga, sarana pemakaman, sarana pertamanan dan ruang terbuka
hijau, dan sarana parkir.
c. Utilitas perumahan dan permukiman, antara lain: jaringan air bersih
jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan gas, jaringan transportasi,
pemadam kebakaran, sarana penerangan jasa umum.
3. Aturan Yang Berlaku Pada Penyewaan Tanah72
a. Pihak yang menyewakan karena sifat persetujuan dan tanpa perlu
adanya suatu janji, wajib untuk:
1) menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa
2) memelihara barang itu sedemikian rupa sehingga dapat dipakai
untuk keperluan yang dimaksud
3) memberikan hak kepada penyewa untuk menikmati barang yang
disewakan itu dengan tenteram selama berlangsungnya sewa
b. Penyewa, jika tidak diizinkan, tidak boleh menyalahgunakan barang
yang disewanya atau melepaskan sewanya kepada orang lain, atas
ancaman pembatalan persetujuan sewa dan penggantian biaya,
42
kerugian dan bunga, sedangkan pihak yang menyewakan, setelah
pembatalan itu, tidak wajib menaati persetujuan ulang sewa itu. Jika
yang disewa itu berupa sebuah rumah yang didiami sendiri oleh
penyewa, maka dapatlah ia atas tanggung jawab sendiri menyewakan
sebagian kepada orang lain jika hak itu tidak dilarang dalam
persetujuan.
c. Jika penyewa memakai barang yang disewa untuk suatu keperluan
lain dari yang menjadi tujuannya, atau untuk suatu keperluan yang
dapat menimbulkan suatu kerugian bagi pihak yang menyewakan
maka pihak ini, menurut keadaan dapat meminta pembatalan sewa.
d. Jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum
bila waktu yang ditentukan telah lampau, tanpa diperlukan suatu
pemberhentian untuk itu.
e. Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir
pada waktu yang ditentukan, melainkan setelah salah satu pihak
memberitahukan kepada pihak yang lain bahwa ia hendak
menghentikan sewanya dengan mengindahkan tenggang waktu yang
diharuskan menurut kebiasaan setempat.
f. Persetujuan sewa sekali-kali tidak hapus dengan meninggalnya pihak
yang menyewakan ataupun pihak yang menyewa.
g. Tanah yang terindikasi telantar yaitu terhitung mulai 3 (tiga) tahun
43
berakhirnya izin/keputusan/surat dasar penguasaan atas tanah dari
Pejabat yang berwenang.73
4. Hak-hak Warga Perumahan Terhadap Tanah Fasum74
a. Adanya kelengkapan prasarana paling sedikit meliputi jalan, drainase
sanitasi, dan air minum.
b. Adanyan kelengkapan sarana paling sedikit meliputi rumah ibadah
dan ruang terbuka hijau (RTH).
c. Adanya kelengkapan utilitas umum paling sedikit meliputi, jaringan
listrik termasuk kilo watt hour (KWH) meter dan jaringan telepon.
5. Hak dan Kewajiban Warga Perumahan75
Dalam penyelenggaraan perumahan dan k