RELEVANSI ANTARA KETENTUAN USIA PERKAWINAN
DAN USIA KEDEWASAAN ANAK DALAM UU PERKAWINAN
NO. 1 TAHUN 1974 DAN UU PERLINDUNGAN
ANAK NO. 23 TAHUN 2002
SKRIPSI
Oleh
Fajar Cahyani
NIM. C01211016
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah Dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga Islam (AS)
Surabaya
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Relevansi Antara Ketentuan Usia Perkawinan Dan Usia Kedewasaan Anak Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Dan UU
Perindungan Anak No. 23 Tahun 2002” ini merupakan hasil penelitian
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang-Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana ketentuan usia perkawinan dan usia kedewasaan dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002? Bagaimana Relevansi antara ketentuan usia perkawinan dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan usia kedewasaan dalam UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002?
Dalam menjawab permasalahan tersebut digunakan jenis penelitian pustaka dengan metode Kualitatif. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepustakaan (Library Research). Data yang berhasil dikumpulkan selanjutnya disusun dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif-komparatif, yaitu metode yang menerangkan Undang-undang Perkawinan dan Undang-Undang Perlindungan Anak dan menjelaskan data secara rinci dan sistematis sehingga diperoleh pemahaman yang mendalam dan menyeluruh tentang relevansi ketentuan usia perkawinan dan usia kedewasaan anak dalam UU Perkawinan dan UU Kedewasaan Anak.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa: Pertama, ketentuan usia perkawinan
menurut UU No. 1 tahun 1974 yaitu “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Ketentuan usia dewasa anak menurut
UU No. 23 tahun 2002 yaitu “Anak adalah seorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Kedua, relevansinya dengan melihat tujuan dari UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 dalam penentuan batas usia
perkawinan untuk perempuan dan usia dewasa anak, sebagai berikut: “Bertujuan
agar anak lebih siap dan cakap dalam melakukan suatu tindakkan yang berhubungan dengan hukum, usia 16 sampai 18 tahun dianggap masih labil untuk menentukan masa depan anak, dan masih memerlukan pengalaman-pengalaman
yang banyak serta pendidikan dari orang tua.”
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM... i
PERNYATAAN KEASLIAN... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
PENGESAHAN... iv
ABSTRAK... vii
KATA PENGANTAR... viii
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TABEL... xiv
DAFTAR TRANSLITERASI... xv
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 10
C. Rumusan Masalah... 11
D. Kajian Pustaka... 11
E. Tujuan Penelitian... 16
F. Kegunaan Hasil Penelitian... 17
G. Definisi Operasional... 17
I. Sistematika Pembahasan... 22
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN DAN PERLINDUNGAN ANAK... 24
A. Pengartian dan Tujuan Perkawinan... 24
1. Perkawinan Menurut Hukum Islam... 25
2. Perkawinan Menurut Undang-Undang no. 1 tahun 1974... 27
3. Tujuan Perkawinan... 28
B. Rukun dan Syarat Perkawinan... 30
1. Rukun Perkawinan... 30
2. Syarat Perkawinan... 42
C. Pengertian Perlindungan anak... 44
BAB III BATAS USIA PERKAWINAN DAN USIA KEDEWASAAN... 49 A. Batas Usia Perkawinan... 49
1. Batas Usia Perkawinan dalam Hukum Islam... 49
2. Batas Usia Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974... 54 B.Usia Dewasa Anak ... 56
1. Usia Dewasa... 56
2. Ketentuan Usia dari Berbagai Undang-Undang di
Indonesia... 57
BAB IV RELEVANSI ANTARA KETENTUAN USIA
DALAM UU PERKAWINAN NO. 1 TAHUN 1974 DAN UU PERLINDUNGAN ANAK NO. 23 TAHUN 2002...
A.Ketentuan Usia Perkawinan dan Usia Kedewasaan Anak
dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Dan UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002...
62
1. Perkembangan Psikolog Remaja... 63
2. Perkembangan Biologis Remaja ... 68
3. Remaja dalam Perekonomian... 69
B.Relevansi Antara Ketentuan Usia Perkawinan dan Usia Kedewasaan Anak dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002... 72 BAB V PENUTUP ... 75
1. Kesimpulan... 75
2. Saran... 76
DAFTAR PUSTAKA... 77
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian pertalian antara dua
manusia (laki- laki dan perempuan) yang berisi persetujuan hubungan dengan
maksud secara bersama-sama menyelenggarakan kehidupan yang lebih harmonis
menurut syarat-syarat dan hukum asusila yang dibenarkan Tuhan Pencipta Alam.
Dimata orang pemeluk agama, titik berat pengesahan hubungan itu diukur
dengan ketentuan- ketentuan yang telah ditetapkan Tuhan sebagai syarat
mutlak.1
Nabi Muhammad SAW, memberi petunjuk kepada makhluk-Nya yang
tersebar di dunia ini, bahwa mereka adalah makhluk sosial yang berintikan dan
bersendi kepada ikatan sosial yang terkecil. Ikatan keluarga yang mulai dengan
suami istri, kemudian melestarikannya secara vertikal menurunkan keturunan,
diharapkan mewarisi pula nilai-nilai luhur, yang merupakan modal utama dan
pertama dalam mewariskan nilai-nilai luhur itu secara horizontal sebagai umat
atau bangsa.
2
Untuk jelasnya mengenai spirit al-Qur’an dan al-Hadits yang menjiwai
pengertian-pengertian tersebut di atas dengan ini penulis kutip ayat-ayat
al-Qur’an dan al-Hadits.2 Sebagaimana firman Allah :
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS.
Ar-rum : 21)3
Demi menjunjung nilai-nilai yang luhur Rasulullah Saw menyeruh kepada
para pemuda sebagai berikut:
:
:
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At
Tamimi dan Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Muhammad bin Al Ala` Al Hamdani semuanya dari Abu Mu'wiyah -lafazh dari Yahya - telah mengabarkan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Al A'masy dari Ibrahim dari 'Alqamah ia berkata; Aku pernah berjalan bersama Abdullah di Mina, lalu ia dijumpai oleh Utsman. Maka ia pun berdiri bersamanya dan menceritakan hadits padanya. Utsman berkata, "Wahai Abu Abdurrahman, maukah Anda kami nikahkan dengan seorang budak wanita yang masih gadis, sehingga ia dapat mengingatkan masa lalumu." Dari Abdullah berkata: Rasullulah Saw bersabdah: Hai para
2 Abdi Karo, “Masalah Perkawinan Dini dan Kehamilan Ibu Usia Muda, Perspektif Islam”,
Mimbar Hukum dan Peradilan, 75 (2012), 64.
3
3
pemuda, barang siapa diantara kamu ada yang sudah memiliki kemampuan untuk kawin, maka kawinlah, karena sesungguhnya kawin itu lebih memelihara mata (dari pandangan yang tidak halal) dan lebih memelihara kebutuhan seks. Dan barang siapa yang tidak mampu kawin hendaklah berpuasa, karena dengan puasa hawa nafsu terhadap wanita
akan terkendali.”4 (HR. Bukhori)
Maksud al-Hadits tersebut, bila seorang pemuda belum mampu
melaksanakan perkawinan karena halangan ekonomis , maka untuk sementara
hendaklah berpuasa, karena dengan puasa itu akan dapat mengendalikan hawa
nafsu dan memperkuat tekad tidak melakukan sesuatu perbuatan zina yang
diharamkan oleh Agama.
Menurut Undang- Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab 1
Dasar Perkawinan, pasal 1 dinyatakan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumahtangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”
Untuk menegakkan cita- cita kehidupan keluarga, perkawinan tidak cukup
hanya bersandar pada ajaran- ajaran Allah dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang
sifatnya global, terlebih lagi perkawinan berkaitan pula dengan hukum suatu
negara. Perkawinan baru dinyatakan sah jika menurut hukum Allah dan hukum
negara telah memenuhi rukun dan syarat- syaratnya.5
4 Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibra>hi>m bin Mughi>rah bin Bardizbah al-Bukha>ri,
Shahih Bukhori hadis no. 5066, (Riyadh: Dar al-Salam, 2008), 438.
4
Tujuan mendirikan rumah tangga yang kekal dan harmonis yang diikat oleh
tali pernikahan merupakan hal yang suci.6 Namun demikian tidak jarang terjadi
bahwa tujuan yang mulia tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan hal ini
bisa terjadi apabila suami istri atau salah seorang dari mereka belum memiliki
kedewasaan yang baik secara fisik maupun mental. Sehingga menyebabkan
pembinaan rumah tangga tidak berjalan optimal. Dan bila dibiarkan demikian
kehidupan rumah tangga seseorang akan semakin diwarnai dengan percecokan,
pertengkaran dan keharmonisan disebabkan tidak terpenuhnya hak dan kewajiban
masing- masing.
Pendapat-pendapat ijtihad keempat ulama’ (Syafi’i, Hanafi, Hanbal, dan
Maliki) dan yang lainnya menyatakan bahwa perkawinan dibawah umur baligh
sah menurut Syariah Islamiyah. Mereka menggunakan alasan al-Qur’an dan
hadits dan kejadian-kejadian pada zaman Nabi SAW, para sahabat; misalnya
yang dijadikan alasan bahwa Nabi SAW mengawini Siti Aisya r.a. yang baru
berumur 6 tahun, dan seorang sahabat rawi hadits Ibn Umar telah mengawinkan
anaknya yang masih dibawah umur balig. Di samping itu, peristiwa tersebut yang
merupakan pembolehan tidak berarti suatu keharusan, sehingga masih terbuka
pintu ijtihad dalam menentukan batas minimal usia perkawinan sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan zaman.7
6 Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet. I, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), 60.
5
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al 'Ala` telah menceritakan kepada kami Abu Usamah. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dia berkata; Saya mendapatkan dalam kitabku dari Abu Usamah dari Hisyam dari ayahnya. Dari Aisyah RA, dia berkata, "Rasululah SAW menikahiku dikala aku berusia enam tahun, dan Rasullulalh SAW menjalin hubungan rumah tangga denganku ketika aku berusia sembilan tahun." Aisyah berkata, "Kami datang ke Madinah, lalu aku menderita sakit selama sebulan (sehingga rambutku rontok). Setelah rambutku tumbuh kembali sampai setinggi pundak, aku didatangi oleh Ummu Ruman ketika sedang bermain jungkat-jungkit bersama teman-temanku. Ummu Ruman memanggilku lalu aku menghampirinya, tanpa aku mengerti apa yang dia inginkan denganku. Lalu dia memegang
tanganku dan menghentikanku di pintu sampai nafasku bersuara: ha ha
ha. Setelah nafasku reda, tida-tiba di situ banyak wanita Anshar. Mereka berkata, 'Semoga engkau mendapatkan kebaikan, keberkahan, dan keber-untungan.' Ummu Ruman kemudian menyerahkanku kepada mereka, lalu mereka membasuh kepalaku dan mendandaniku. Setelah itu tidaklah aku dikejutkan kecuali oleh kedatangan Rasulullah SAW pada waktu
Dhuha, lalu mereka menyerahkanku kepadanya."”8 (HR. Muslim)
Setiap perkawinan harus memenuhi persyaratan administratif dan
subtantif demi tercapainya tujuan dan hikmah perkawinan bagi para pihak. Salah
satu syarat adalah untuk Indonesia umur minimal untuk perkawinan adalah 19
tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita, terdapat dalam Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1). Terdapat
regulasi tentang perkawinan di Indonesia yang terwujud Undang-Undang
6
maupun berbagai peraturan teknis dibawahnya. Adanya regulasi ini bukan hanya
pengekangan negara terhadap hak-hak warga negara, melainkan sebagai bentuk
tanggungjawab negara terhadap kemaslahatan kehidupan warga negara dan
negara juga berkepentingan terwujudnya ketertiban administratif dan juga
menjaga keharmonisan sosial.
Undang-Undang Perkawinan telah mengatur tentang persyaratan
administratif dan subtantif tentang perkawinan, termasuk batas minimal usia
para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Meskipun demikian masih
banyak ditemukan perkawinan dibawah umur atau perkawinan yang dilaksnakan
oleh para pihak yang belum memenuhi persyaratan batasan minimal usia
perkawinan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Perkawinan
dilaksanakan oleh dua mempelai setelah memenuhi serangkaian prosedur
administrasi untuk mendapatkan izin dispensasi dari pengadilan.
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang mulai berlaku
secara efektif setelah munculnya PP No. 9 tahun 1975 adalah Undang-Undang
Perkawinan Nasional, yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam agama,
suku, dan golongan penduduk. Undang-Undang Perkawinan ini, selain
meletakkan asas-asas Hukum Perkawinan Nasional, sekaligus menampung
prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini
menjadi pegangan dan telah berlaku bagi golongan masyarakat.
Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 khususnya
mengenai batas usia perkawinan tidaklah akan efektif atau ditaati sepenuhnya
7
kesadaran masyarakat, bidang peningkatan dan pemerataan ekonomi atau taraf
hidup dan pemerataan pendidikan sampai desa-desa. Hal ini mengingat
penyebaran penduduk sebagian besar di desa-desa, sedangkan data dan
sinyalemen perkawinan di bawah umur kebanyakan terjadi di desa-desa.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan terdapat dalam Undang- Undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 ayat (1). Penentuan batas usia anak tersebut
mengacu pada ketentuan dalam CRC (Convention on Rights of the Child) yang
telah di ratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990.
Dalam UUPA penentuan batas usia anak secara tegas mencakup anak yang masih
dalam kandungan.
Hal ini dikarenakan pengertian tersebut selain sesuai dengan ketentuan
dalam pasal 2 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang
menyatakan bahwa “Anak yang masih dalam kandungan dianggap telah lahir
apabila kepentingan anak memerlukan untuk itu, sebaliknya dianggap tidak
pernah ada apabila anak meninggal pada waktu dilahirkan”. Ketentuan ini juga
penting untuk mencegah adanya tindakan dari orang yang tidak
bertanggungjawab terhadap usaha penghilangan janin yg dikandung seseorang.
Sedangkan anak dalam CRC adalah semua manusia yang berumur di bawah
18 tahun yang terdapat dalam CRC (Convention on Rights of the Child) atau
KHA (Konvensi Hak Anak) pasal 1. Ada dua pendapat mengenai hal ini,
pendapat pertama, menyatakan bahwa bayi yang berada di dalam kandungan juga
8
terhitung sejak lahir hingga sebelum berumur 18 tahun.9 Jadi dalam CRC konsep
anak tidak secara tegas dinyatakan mencakup anak yg masih dalam kandungan.
Bagi perkawinan di bawah umur ini yang belum memenuhi batas usia
perkawinan, pada hakikatnya di sebut masih berusia muda (anak-anak) yang
ditegaskan dalam Pasal 81 ayat 2 UU No.23 Tahun 2002, “Bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dikategorikan masih
anak-anak, juga termasuk anak yang masih dalam kandungan, apabila
melangsungkan perkawinan tegas dikatakan adalah perkawinan di bawah umur.
Para ahli hukum Islam berbeda pendapat dalam menyikapi batasan usia
perkawinan. Rasullulah Muhammad Saw. Memerintahkan agar seseorang
menikah ketika ia telah mencapai keadaan ba>’ah (mampu).
Kalangan ahli hukum islam merumuskan ketentuan balig didasarkan pada
beberapa hal:
1. Pria, ditandai dengan ihtila>m, yakni keluarnya sperma baik diwaktu tidur
maupun mimpi ataupun terjaga.
2. Perempuan, ditandai dengan keluarnya cairan haid atau perempuan itu hamil
(ihba>l).10
3. Jika terdapat indikasi- indikasi tersebut maka balig ditentukan berdasarkan
usia. Menurut jumhur fuqah>a’ atau mayoritas ahli hukum Islam dari
kalangan madzhab Sha>fi’i dan Hambali, usia balig bagi pria dan wanita
adalah telah mencapai usia 15 tahun. Manurut Abu> Hani>fah, usia balig untuk
9
pria adalah 18 tahun dan untuk perempuan adalah 17 tahun. Sedangkan
menurut Maliki, usia balig bagi pria dan wanita adalah 18 tahun.11
Disini titik masalah yang ingin dikaji oleh penulis. Kenapa penentuan usia
perkawinan pada Undang- Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1)
yang berisi “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun” dan usia kedewasaan
anak pada Undang- Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 pada pasal 1
ayat (1) yang berisi “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”, kedua pasal tersebut
menyebutkan usia yang berbeda? Maka dari itu banyak pertentangan yang timbul
karena bertolakbelakannya pasal tersebut.
Peneliti terfokus pada relevansi antara ketentuan usia perkawinan 16 (enam
belas) tahun pada wanita dan usia kedewasaan anak 18 (delapan belas) tahun
dalam Undang- Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan Undang- Undang
Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002. Semakin berkembangnya zaman dan
maka semakin berkembang pula pemikiran masyarakat terhadap taraf pendidikan
seseorang, maka dari itu penulis menyarankan untuk menjadikan batas minimum
perkawinan menjadi 18 tahun. Dengan melihat faktor-faktor psikis, biologis, dan
perkembangan pemikiran masyarakat.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi
11 Ali Imron Hs, Pertanggungjawaban Hukum Konsep Hukum Islam dan Relevansinya dengan
10
Identifikasi diperlukan untuk mengenali ruang lingkup pembahasan
agar tidak terjadi miss understanding dalam pemahaman pembahasannya.
Adapun identifikasi dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
a) Membahas tentang ketentuan pasal 7 ayat (1) dalam undang- undang
perkawinan yang berisi tentang usia perkawinan.
b) Pertimbangan penetapan usia perkawinan.
c) Usia dewasa menurut berbagai Undang-Undang di indonesia.
d) Menyarankan penambahan usia perkawinan.
e) Penjelasan ringkas tentang perkawinan.
f) Penjelasan ringkas tentang baligh atau kecakapan umur menurut ahli
hukum.
g) Penjelasan tentang tujuan, rukun dan syarat perkawinan.
h) Pandangan hukum islam tentang batasan usia perkawinan.
i) Menghubugkan ketentuan batas usia perkawinan dan usia kedewasaan.
j) Penjelasan usia dewasa secara biologis.
k) Penjelasan usia dewasa secara psikis.
2. Batasan Masalah
Dari identifikasi masalah tersebut skripsi ini penulis batasi beberapa
masalah antara lain:
a) Memahami ketentuan usia perkawinan dalam UU Perkawianan. Dan
memahami ketentuan usia perlindungan dalam UU Perlindungan Anak.
b) Menghubungkan dari ketentuan usia perkawinan dalam UU Perkawinan
11
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang dan batasan masalah diatas, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut ini :
1. Bagaimana ketentuan usia perkawinan dan usia kedewasaan dalam UU
Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan UU Perlindungan Anak No. 23 tahun
2002?
2. Bagaimana Relevansi antara ketentuan usia perkawinan dalam UU
Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan usia kedewasaan dalam UU Perlindungan
Anak No. 23 tahun 2002?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka dibutuhkan untuk memperjelas mempertegas serta
membandingkan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang memiliki
kesamaan tema yakni Relevansi antara ketentuan usia perkawinan dan usia
kedewasaan dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan UU Perlindungan Anak
No. 23 tahun 2002
.
1. Skripsi yang ditulis Muhammad Rajab Hasibuan pada tahun 2009 yang
berjudul “Penetapan Umur dalam Rangka Mencapai Tujuan Pernikahan
(Perbandingan antara UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No.
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak)”.12 Peneliti ini membahas
12 Muhammad Rajab Hasibuan,”Penetapan Umur dalam Rangka Mencapai Tujuan Pernikahan
(Perbandingan antara UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 23 tahun 2002
12
tentang bagaimana penetapan umur dalam rangka mencapai tujuan
pernikahan bila ditinjau antara UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
dengan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Peneliti
membahas tentang bata usia perkawinan laki- laki 16 tahun dan calon
perempuan 16 tahun, akan tetapi dalam prakteknya, hubungannya dengan
pemeliharaan anak, bahwa batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau
dewasa adalah 21 tahun.
2. Skripsi yang ditulis Umi Habibah pada tahun 2013 yang berjudul “Analisis
hukum Islam dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Terhadap Perjodohan Anak dalam Kandungan”.13 Peneliti ini membahas
bahwa menurut pemahaman orangtua yang menjodohkan anaknya,
menjodohkan anak merupakan sebuah kewajiban dan perjodohan itu bukan
sebuah kekerasan akan tetapi perjodohan itu merupakan salah satu cara
untuk menjaga tali silaturahmi agar tidak putus.
3. Skripsi yang ditulis Durrotul ‘Ainiyah pada tahun 2006 yang berjudul‚
“Dampak Perkawinan Usia Muda Terhadap Kesejahteraan Keluarga di
Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan”.14 Peneliti ini membahas
tentang bahwasanya dampak perkawinan usia muda terhadap kesejahteraan
keluarga adalah kurangnya keharmonisan dalam keluarga, perekonomian
rumah tangga tidak stabil, pendidikan anak-anak terputus, serta
terganggunya kesehatan istri.
13 Umi Habibah, “Analisis hukum Islam dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Terhadap Perjodohan Anak Dalam Kandungan” (skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013). 14 Durrotul ‘Ainiyah, “Dampak Perkawinan Usia Muda Terhadap Kesejahteraan Keluarga di
13
4. Skripsi yang ditulis Helliyatun pada tahun 1999 yang berjudul “Perkawinan
Usia Muda dan Implikasinya Terhadap Pembentukan Rumah Tangga
Sakinah dalam Perspektif Hukum Islam (Analisis Kasus di Kecamatan
Pragaan di Kabupaten Sumenep)”.15 Dalam kesimpulannya penulis ini
menyebutkan bahwa implikasi kehidupan rumah tangga pasangan
perkawinan usia muda kurang harmonis dalam membina rumah tangga,
karena mereka belum siap baik secara fisik maupun psikis. Apabila ditinjau
dari segi hukum Islam, perkawinan tersebut sah karena perkawinan tersebut
dilaksanakan sudah memenuhi ketuan syari’ah yaitu rukun dan syarat
perkawinan sudah terpenuhi.
5. Skripsi yang ditulis oleh Yuanita Maharani Purwanti pada tahun 2009 yang
berjudul “Dinamika Psikologi Remaja Putri Yang Melakukan Pernikahan
Dini di Desa Dumajah Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan
Madura”.16 Dalam kesimpulannya penulis ini menyatakan bahwa pernikahan
dini yang terjadi di desa Dumajah akan berpengaruh pada dinamika psikologi
remaja yang telah menikah.
6. Skripsi yang ditulis oleh Holilur Rohman pada tahun 2009 yang berjudul
“Batas Umur Pernikahan Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Penerapan
Teori Al-Maslahah Al-Mursalah)”17 penulis membahas tentang
15Helliyatun, “Perkawinan Usia Muda dan Implikasinya Terhadap Pembentukan Rumah Tangga Sakinah dalam Perspektif Hukum Islam (Analisis Kasus di Kecamatan Pragaan di Kabupaten
Sumenep)” (Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 1999).
16Yuanita Maharani Purwanti, “Dinamika Psikologi Remaja Putri Yang Melakukan Pernikahan Dini di Desa Dumajah Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan Madura” (Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2009).
17Holilur Rohman, “
14
permasalahan batas umur pernikahan, pertama kali yang perlu dibahas adalah
menentukan batas umur pernikahan dalam al-Qur’an dan hadis. Dalam al-
Qur’an dan hadis tidak ada ketegasan mengenai batasan umur ini. Nash
secara umum hanya menjelaskan bahwa seseorang boleh menikah jika
umurnya sudah layak untuk menikah dan sudah dewasa.Ulama’ fiqh sendiri
terutama empat mazhab masih tidak ada kata sepakat dan masih ada beda
pendapat mengenai pembatasan umur dewasa. Maslahah mursalah
menjelaskan bahwa meskipun tidak dijelaskan secara rinci dalam nash
al-Qur’an, akan tetapi kemaslahatan disuatu tempat tertentu bisa menjadi
penjelas bagi batas umur menikah.
7. Skripsi yang ditulis oleh Syamsul Arifin pada tahun 2014 yang berjudul
“Studi Komparatif Pemikiran Husein Muhammad Dan Siti Musdah Mulia
Tentang Pernikahan Dini”18 tentang bagaimana pemikiran Husein
Muhammad dan Siti Musdah Mulia tentang pernikahan dini dan bagaimana
persamaan dan perbedaan antara pemikiran kedua tokoh tersebut terkait
pernikahan dini. Hasil penelitian menunjukkan bahwasanya antara Husein
Muhammad dan Siti Musdah Mulia sama-sama menyatakan bahwasanya
pernikahan dini tidak baik untuk dilakukan.
8. Skripsi yang ditulis oleh Alfian Farisi pada tahun 2014 yang berjudul
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Urgensi Pernikahan Dini Di Desa
18
Syamsul Arifin, “Studi Komparatif Pemikiran Husein Muhammad Dan Siti Musdah Mulia
15
Labuhan Kecamatan Sreseh Kabupaten Sampang” 19
dalam penelitian ini
menyimpulkan bahwa urgensi pernikahan dini adalah sanksi hukum yang
diberikan kepada orang yang melanggar aturan-aturan yang telah ditetapan
oleh Desa Labuhan dan hal ini juga dijadikan sebagai solusi hukum (solution
of law) untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dan untuk
menjaga kehormatan masyarakat Desa Labuhan Kecamatan Sreseh
Kabupaten Sampang dan juga untuk menghindari fitnah.
9. Skripsi yang ditulis oleh Siti Nurul Hidayah pada tahun 2014 yang berjudul
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kawin Di Bawah Umur (Studi Kasus Di
Desa Simorejo Kecamatan Kepohbaru Kabupaten Bojonegoro)” 20 tantang
melakukan kawin karena tidak dapat melanjutkan sekolah dan menggangur
serta atas dasar cinta tanpa kesiapan lain seperti kedewasaan. Adapun pokok
masalah dalam penelitian ini faktor-faktor penyebab terjadinya kawin di
bawah umur kebiasaan yang telah dilakukan secara budaya adat, rendahnya
tingkat pendidikan karna faktor ekonomi, rendahnya pengetahuan hukum
karna faktor agama, dan dorongan/paksaan orang tua. Tinjauan hukum Islam
dalam melaksanakan kawin dibawah umur menurut sebagian ulama
diperbolehkan dengan alasan bahwa perkawinan merupakan sarana untuk
menghindari dari perbuatan zina dan jiwa menjadi tenang.
19Alfian Farisi, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Urgensi Pernikahan Dini Di Desa Labuhan
Kecamatan Sreseh Kabupaten Sampang”, (Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014).
20Siti Nurul Hidayah, “
16
Dengan demikian, penelitian yang berjudul “Ketentuan usia perkawinan
dan usia kedewasaan anak dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan UU
Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002” tidak merupakan pengulangan atau
duplikasi dari kajian atau penelitian yang sudah ada, karena dalam penelitian ini
penulis mengkaji dan menghubungkan tentang usia perkawinan dalam UU
Perkawinan yang tercantum bahwa untuk laki- laki 19 tahun dan untuk
perempuan sudah mencapai 16 tahun, dan usia kedewasaan anak dalam UU
Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 yang menyebutkan bahwa 18 tahun.
Dengan ketentuan umur yang berbeda pada kedua undang-undang tersebut,
maka dari itu peneliti menghubungkan kedua undang-undang tersebut agar tidak
terjadi kesalahpahaman antara pihak- pihak yang mengartikan kedua
undang-undang tersebut. Dan penulis juga menyarankan agar ketentuan Undang-Undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang batas usia perkawinan bagi wanita
dinaikkan menjadi 18 tahun.
E. Tujuan Penelitian
Dalam hal ini terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai, yaitu:
1. Untuk mengetahui ketentuan usia perkawinan dan usia kedewasaan dalam
UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak.
2. Untuk mengetahui relevansi antara usia perkawinan dalam UU Perkawinan
17
F. Kegunaan Hasil Penelitian
1. Kegunaan teoretis, Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan bagi
pengembangan ilmu pengetahuan atau menambah wawasan pengetahuan
yang berkaitan dengan usia perkawinan dan usia kedewasaan anak, sehingga
dapat dijadikan informasi bagi pembaca serta untuk memberikan pengertian
dan pemahaman yang mendalam.
2. Kegunaan praktek, Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan yang sangat berharga bagi berbagai pihak yang hanya memahami
dari sisi bertolak belakang dari ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan
Undang-Undang Perlindungan Anak, serta adanya penelitian ini diharapkan
untuk pihak yang berwenang dalam pemerintahan untuk dapat merevisi usia
perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan.
G. Definisi Operasional
Untuk memudahkan pembaca dalam memahami skripsi ini, maka perlu
diberikan definisi yang jelas mengenai pokok kajian yang penulis bahas, yaitu:
1. Usia perkawinan adalah usia yang sudah dianggap mampu dalam
membangun sebuah rumah, mampu dalam biologis, ekonomis dan psikisnya.
Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1) yang
berisi perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam
18
2. Usia kedewasaan anak adalah waktu manusia yang dihitung belasan tahun,
dan masa peralihan dari anak-anak menuju kedewasaan. Juga usia yang telah
dianggap mampu atau cakap untuk melakukan tindak hukum atas dirinya
sendiri. Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 pasa
1 ayat (1) menyebutkan anak adalah yang belum berusia usia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Undang-undang
sendiri memiliki ketentuan usia yang berbeda-beda dalam kecakapan
seseorang dalam bertindak hukum.
H. Metode Penelitian
Dalam menelusuri dan memahami objek kajian ini penyusun menggunakan
metode penelitian sebagai berikut:
1. Data yang Dikumpulkan
Berhubung jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library
Research), maka data-data yang dikumpulkan adalah data-data yang berasal
dari kepustakaan yang melingkupi:
a. Data mengenai usia perkawinan menurut hukum Islam.
b. Data mengenai usia kedewasaan secara psikolog.
c. Data mengenai usia kedewasaan secara biologi.
d. Data mengenai ketentuan batas usia dalam Undang-Undang.
e. Data mengenai usia perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan No.
19
f. Data mengenai usia kedewasaan anak dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002.
2. Sumber Data
Jenis data yang di olah dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif.
Sedangkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari:
a. Sumber Primer yaitu data yang diperoleh dari sumber utama. Untuk
sumber primer penulis mengambil langsung dari Undang-Undang No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No. 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
b. Sumber Sekunder adalah data yang diambil dari sumber pendukung yang
diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti berasal dari sumber-sumber
yang telah ada, baik dari perpustakaan atau dari laporan-laporan penulis
terdahulu.21 Adapun data sekunder yang dimaksudkan dalam penelitian
ini adalah buku-buku yang relevan dengan Undang-Undang Perkawinan
No. 1 tahun 1974 dan Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun
2002 yang masih ada hubungan dengan tema yang dibahas sebagai
bahan yang dikorelasikan dengan data primer yang telah dihimpun.
Beberapa buku yang menjadi rujukan dari peneliti yakni yang
bertemakan perlindungan anak dan juga tentang perkawinan. antara lain:
1) Al-Qur’an dan Hadist.
2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk wetboek).
3) Kompilasi Hukum Islam (KHI).
20
4) Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,
tahun 2005.
5) Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, tahun 1985.
6) Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan
Perkawinan di Indonesia, tahun 1986.
7) Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat I, tahun 1999.
8) Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak
Dicatat menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam,
tahun 2010.
9) Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, tahun
2006.
10) Ibnu Ansori, Perlindungan Anak dalam Agama Islam, tahun 2007.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam merencanakan suatu penelitian, maka tahapan awal sebelum
mengolah dan menganalisis data yaitu merencanakan teknik pengumpulan
data. Pengumpulan data ini memudahkan untuk lanjut pada tahap penelitian
berikutnya adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dokumentasi. Dokumentasi merupakan suatu cara
pengumpulan data yang menghasilkan catatan-catatan penting yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti, sehingga akan diperoleh data
yang lengkap.22 Dokumentasi ini merupakan kumpulan-kumpulan data
21
berbentuk tulisan23. Adapun dalam penelitian ini metode dokumentasi yang
dilakukan yakni pencarian dan pengumpulan sumber-sumber data yang
berkaitan dengan Ketentuan usia perkawinan dan usia kedewasaan anak
dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan UU Perlindungan Anak No. 23
tahun 2002. Selain itu, bentuk dokumentasi lainnya yaitu dokumen berupa
artikel-artikel online atau file yang diperoleh untuk menambah referensi
dalam penelitian, maupun kekayaan intelektual dari peneliti itu sendiri.
4. Teknik Analisis Data
Analisis data, yaitu proses penyederhanaan data ke bentuk yang lebih
mudah dibaca dan interpretasikan.24 Teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah deskriptif-komparatif’, yaitu metode yang
menggambarkan dan menjelaskan data secara rinci dan sistematis sehingga
diperoleh pemahaman yang mendalam dan menyeluruh.25 Kemudian setelah
itu dihubungkan dengan mencari titik parsamaan serta mempertimbangkan
mana yang lebih tepat dan maslahah dari sisi penghubungan tersebut.
Dengan cara menguraikan Undang- Undang Perkawinan pasal 7 ayat 1 dan
Undang- Undang Perlindungan Anak pasal 1 dari alasan perbedaan
penetapan batas usia perkawinan dengan usia kedewasaan hingga melihat
23 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial (Surabaya: Airlangga University press, 2001),
152-153.
24Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1989), 263.
22
dari sudut pandang biologis, ekonomi dan psikologisnya, kemudian
dilakukan relevansi atau menghubungkan kedua pasal tersebut. 26
Pola pikir yang digunakan oleh penelitian ini adalah deduktif, yaitu
berangkat dari pengetahuan yang bersifat umum kemudian ditarik pada
pengetahuan yang bersifat khusus dari suatu kejadian.
Dalam penelitian ini, data yang telah terkumpul dan diklasifikasikan
sebelumnya, dianalisis dengan menghubungkan dan menafsirkan fakta-fakta
yang telah ditemukan terkait ketentuan batas usia perkawinan 16 (enam
belas) tahun bagi perempuan dan usia kedewasaan anak 18 (delapan belas)
tahun menurut Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan
Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002. Tentunya dalam melakukan
analisa ini peneliti membahasnya menurut rumusan masalah yang telah
ditentukan sehingga menjadi sistematis dan lebih terarahkan.
I. Sistematis Pembahasan
Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan.
26Suharsami Arikunto, Prosedur Penelitian; suatu pendekatan praktis (Jakarta: Rineka Cipta,
23
Bab kedua, penyusun menyajikan tinjauan umum tentang pengertian dan
tujuan perkawinan, beserta rukun dan syarat perkawinan. Dan menyajikan secara
garis besar tentang pengertian perlindungan anak.
Bab ketiga, berisi tinjauan umum tentang batas usia perkawinan, dengan
sub bab batas usia perkawinan dalam hukum islam dan batas usia perkawinan
dalam Undang-Undang Perkawinan. Serta berisi gambaran umum analisis
tentang usia dewasa. Dan juga berisi tentang usia dewasa dalam Undang-
Undang.
Bab empat, berisi tentang analisis hasil penelitian. Pada bab ini terdiri
atas subab pertama ketentuan usia perkawinan dan usia kedewasaan anak dalam
UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan UU Perlindungan Anak No. 23 tahun
2002, juga menyebutkan perkembangan psikologi remaja, perkembangan biologis
remaja, dan remaja dalam perekonomian. Subbab kedua, relevansi antara
ketentuan usia perkawinan dan usia kedewasaan anak dalam UU Perkawinan No.
1 tahun 1974 dan UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002.
Bab kelima, berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Dan
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN DAN PERLINDUNGAN ANAK
A. Pengertian dan Tujuan Perkawinan
Perkawinan secara etimologi (bahasa) adalah nikah, sedangkan secara
terminologi (istilah) adalah perjodohan antara laki-laki dengan perempuan untuk
menjadi suami istri.1 Allah SWT. berfirman:
Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (QS. Adz- Dzariyat : 49).2
Dalam al- Quran dan al-Sunnah, pernikahan disebut dengan kata al-nika>h
dan alziwa>j. Secara harfiah, al-nika>h berarti al wat}’u (berjalan diatas, melalui,
memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh), al-d}ammu
(mengumpulkan, memegang, mengenggam, menyatukan, mengabungkan dan
menjumlahkan) dan al-jam’u (mengumpulkan, menghimpun, menyatukan,
menjumlahkan dan menyusun). Sedangkan arti az-ziwa>j secara harfiah adalah
mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan
memperistri.3
Perkawinan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluk-Nya, baik pada manusia hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah
1Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 453.
2 Departemen Agama RI, Al- Hikmah Al- Qur’an.., 522.
3 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
25
suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT. sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk
berkembang biak dan melestarikan hidupnya.4
1. Perkawinan Menurut Hukum Islam
Nikah ditinjau dari segi syari’ah ialah pertalian hubungan (akad)
diantara laki-laki dan perempuan dengan maksud agar masing-masing dapat
menikmati yang lain istimtaa’ dan untuk membentuk keluarga yang saleh
dan membangun keluarga yang bersih.5
Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu ikatan
atau akad yang sangat kuat atau Mitsaqan Ghalizan. Disamping itu
perkawinan tidak lepas dari unsur mentaati perinta Allah dan
melaksanakannya adalah ubudiyah (ibadah).
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An Nisa’ : 21)6
Dalam al-Qur’an Allah mengatakan bahwa perkawinan itu adalah
sunatullah, hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodohan adalah naluri
segala makhluk termasuk manusia dalam kehidupannya ada sebuah
perkawinan sesuai dengan firman Allah SAW yang berbuanyi:
4 Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004), 125.
5 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1985), 1. 6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan
26
Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (QS. Adz-Dzariyat :
49)7
Sebagian orang yang ragu-ragu untuk kawin, karena sangat takut untuk
memikul beban berat dan menghindarkan diri dari kesulitan. Hal tersebut
adalah salah dan keliru, karena Allah akan menjamin bahwa dengan kawin
akan memberikan kepada yang bersangkutan jalan kecukupan,
menghilangkan kesulitan-kesulitan dan memberikan kekuatan dan mengatasi
kemiskinan.8
Dari pengertian ini berarti perkawinan mengandung aspek akibat
hukum yaitu saling mendapatkan hak dan kwajiban, serta tujuan
mengadakan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Dilihat dari segi
agama Islam memandang dan menjadikan perkawinan itu sebagai basis suatu
masyarakat yang baik dan teratur, sebab perkawinan tidak hanya ditalikan
oleh ikatan lahir saja, akan tetapi diikat juga dengan ikatan batin dan jiwa.
Menurut ajaran Islam perkawinan itu tidak hanya suatu persetujuan biasa,
melainkan suatu persetujuan suci. Dimana kedua belah pihak dihubungkan
menjadi pasangan suami istri atau saling meminta menjadi pasangan
hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.9
7 Tim Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an.., 522.
8 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 6, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1980), 12.
9 Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia,
27
Hal ini sesuai dengan Firman Allah SAW yang berbunyi:
Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (QS. Adz-Dzariyat : 49)10
2. Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974
Pengertian perkawinan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 1 yang berbunyi “perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dari rumusan pengertian perkawinan tersebut, jelaslah bahwa
perkawinan itu tidak hanya merupakan ikatan lahir batin melainkan ikatan
kedua-duanya. Pengertian ikatan lahir dalam perkawinan adalah ikatan atau
hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup
bersama sebagai suami istri. Sedangkan hubungan ikatan lahir tersebut,
merupakan hubungan formal, sifatnya nyata. Baik bagi yang mengikatkan
dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat.
Dalam pasal 1(satu) Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974
terdapat kata kekal, maksudnya adalah rumah tangga yang bahagia itu
berlangsung dalam waktu lama. Lama artinya pasangan suami istri yang
berlangsung sampai salah satu atau keduanya meningga dunia. Pasal ini juga
merumuskan bahwa ikatan suami istri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
28
Esa, hal ini menunjukkan perkawinan merupakan ikatan suci. Perikatan itu
tanpa dapat melepaskan dari agama yang dianut oleh pasangan suami isteri.
3. Tujuan perkawinan
Tujuan perkawinan menurut kebanyakan orang ialah untuk
menghalalkan hubungan antara pria dan wanita, tetapi tujuan itu bukanlah
merupakan tujuan terpenting menurut Islam, sebab masih ada tujuan-tujuan
lain yang paling utama, yang terkandung dalam hukum perkawinan tersebut.
Slamet Abidin dan Aminuddin dalam bukunya Fiqih Munakahat I,
merumuskan bahwa tujuan dan hikmah dari pernikahan menurut Islam
adalah sebagai berikut:
a. Untuk melanjutkan keturunan
Melanjutkan keturunan adalah merupakan penyambung generasi ke
generasi dan cita-cita, yaitu memelihara kelestarian hidupnya.
Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An Nisa’ :
21)11
b. Untuk menghindarkan fitnah dan menjaga diri dari perbuatan yang
dilarang oleh Allah SAW.
Perkawinan itu dapat menghindarkan manusia dari fitnah, pergaulan
bebas tanpa diikat oleh perkawinan senantiasa akan menimbulkan
11 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan
29
fitnah.12 Menurut Slamet Abidin, bahwa perkawinan dapat
menghindarkan diri dari perbuatan perzinaan, pelacuran, pemerkosaan,
dan lain-lain. Kemaksiatan tersebut disebabkan karena tidak terpenuhinya
hajat nafsu seksual yang semestinya, sebab dengan perkawinan itu baik
laki-laki maupun perempuan dapat memenuhi kebutuhan biologisnya
dengan jalan yang halal dan diridloi Allah SWT. Sehingga dapat
memperoleh kepuasan yang sempurna, serta menambahkan rasa saling
cinta-mencintai dan kasih-mengasihi antara suami isteri.
Adapun perbuatan perzinaan, pelacuran dan lain-lain itu sangat
tidak menguntungkan, baik ditinju dari segi objektif maupun dari
perkembangan sosial. Oleh karena itu, orang yang melakukan perkawinan
akan terpelihara kehormatannya, sebab disamping jiwanya tentram juga
dapat menuntup pandangan yang dilarang oleh Allah SWT.13
:
:
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi dan Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Muhammad bin Al Ala` Al Hamdani semuanya dari Abu Mu'wiyah -lafazh dari Yahya - telah mengabarkan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Al A'masy dari Ibrahim dari 'Alqamah ia berkata; Aku pernah
30
berjalan bersama Abdullah di Mina, lalu ia dijumpai oleh Utsman. Maka ia pun berdiri bersamanya dan menceritakan hadits padanya. Utsman berkata, "Wahai Abu Abdurrahman, maukah Anda kami nikahkan dengan seorang budak wanita yang
masih gadis, sehingga ia dapat mengingatkan masa lalumu."Dari
Abdullah berkata: Rasullulah Saw bersabdah: Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu ada yang sudah memiliki kemampuan untuk kawin, maka kawinlah, karena sesungguhnya kawin itu lebih memelihara mata (dari pandangan yang tidak halal) dan lebih memelihara kebutuhan seks. Dan barang siapa yang tidak mampu kawin hendaklah berpuasa, karena dengan puasa hawa nafsu terhadap wanita akan terkendali.”14 (HR.
Bukhori)
c. Untuk melaksanakan Sunnah Rasullulah Saw.
Secara normal dan alami seorang muslim harus melakukan kawin
dan mengembangkan keturunannya, seperti yang terdapat dalam ayat Al-
Qur’an, berikut ini:
Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.Dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur : 32)15
B. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun dan syarat perkawinan dalam hukum Islam merupakan hal yang
penting demi terwujudnya suatu ikatan perkwinan antara seorang lelaki dengan
seorang perempuan. Rukun perkawinan merupakan faktor penentu bagi sahnya
atau tidak sahnya suatu perkawinan. Adapun syarat perkawinan adalah
14 Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibra>hi>m bin Mughi>rah bin Bardizbah al-Bukha>ri,
Shahih Bukhori hadis no. 5066.., 438.
31
faktor yang harus dipenuhi oleh para subjek hukum yang merupakan unsur atau
bagian dari akad perkawinan.
1. Rukun Perkawinan
Menurut Pasal 14 KHI rukun perkawinan terdiri atas calon mempelai
laki-laki, calon mempelai perempuan, wali nikah, dua orang saksi laki-laki,
dan ijab kabul. Jika kelima unsur atau rukun perkawinan tersebut terpenuhi,
maka perkawinan adalah sah, tetapi sebaliknya, jika salah satu atau beberapa
unsur atau rukun dari kelima unsur atau rukun tidak terpenuhi, maka
perkawinan adalah tidak sah.
Sebagaimana telah diketahui, bahwa perkawinan menurut pasal 1
Undang-Undang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sahnya perkawinan,
menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan adalah apabila
perkawinan itu dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Dengan
demikian, maka sangat jelas bahwa Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan mendapatkan hukum agama sebagai hukum terpenting
untuk menentukan sah atau tidak sahnya perkawinan.
Oleh karena itu rukun perkawinan menurut Hukum Islam adalah wajib
dipenuhi oleh orang-orang Islam yang akan melangsungkan perkawinan.
32
menentukan hukum kekeluargaan lainnya, baik dalam bidang hukum
perkawinan itu sendiri, maupun bidang hukum kewarisan.16
Salah satu dampak sahnya atau tidak sahnya perkawinan adalah
terhadap sah atau tidak sahnya hubungan hukum antara anak, yang
dilahirkan sebagai hasil dari perkawinan ibu dan ayahnya yang
mempengaruhi hukum perkawianan maupun hukum kewarisan. Dalam
perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum
agama sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan berakibat
terhadap hubungan hukum antara anak yang dilahirkan hasil perkawinan
yang sah dengan ibu dan ayahnya adalah menjadi sah pula.
a. Calon mempelai laki-laki
Calon mempelai laki-laki harus dalam kondisi kerelaannya dan
persetujuannya dalam melakukan perkawinan. Hal ini terkait dengan
asas kebebasan memilih pasangan hidup dalam perkawinannya.
Dalam budaya islam, biasanya yang melakukan pelamaran atau
peminangan adalah pihak laki-laki kepada pihak perempuan,
sebagaimana hadis yang diriwayatkan Bukhari dari ‘Arak dari ‘Urwah,
bahwa sesungguhnya Nabi Saw. meminang Aisyah melalui Abu Bakar,
lalu Abu Bakar berkata kepadanya: “Engkau saudaraku dalam agama
Allah dan kitab-Nya, sedang ia (Aisyah) halal bagiku”.
Demikian hadis diriwayatkan bahwa yang melakukan peminangan
itu adalah pihak laki-laki, antara lain dalam hadis yang melarang
16 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat menurut Hukum
33
melakukan peminangan terhadap perempuan yang sudah dipinang oleh
orang lain.
Kedua hadis tersebut menunjukkan bahwa laki-laki yang
melakukan peminangan berarti ia rela, setuju, dan bebas memilih
pasangan perkawinannya, asalkan tidak melanggar ketentuan-ketentuan
peminangan sebagaimana hadis tersebut. Asas kerelaan dan asas
persetujuan serta asas kebebasan memilih pasangan untuk melakukan
perkawinan bagi seorang laki-laki dapat dilihat dari ketentuan hadis
Rasullulah Saw. tentang peminangan.17
b. Calon mempelai perempuan
Hukum perkawinan Islam telah ditentukan dalam hadis Rasullulah
Saw, bahwa calon mempelai perempuan harus dimintakan izinnya, atau
persetujuannya sebelum dilangsungkan akad nikah, sebagaimana dimuat
dalam asas persetujuan dan asas kebebasan memilih pasangan, serta asas
kesukarelaan.
Meskipun asas kerelaan dan asas persetujuan dalam hadis itu
mengenai perempuan, yaitu janda dan gadis, tetapi asas yang terkandung
dalam hadis tersebut juga berlaku untuk calon mempelai laki-laki.
Dalam peraturan perundang-undangan tentang perkawinan di
Indonesia, calon mempelai perempuan dan calon mempelai laki-laki
wajib meminta izin terlebih dahulu kepada orang tua atau walinya
sebelum ia melakukan perkawinan. Hal itu adalah tepat, karena
34
perkawinan menurut hukum Islam tidak hanya sekedar ikatan hukum
keperdataan antara individu (suami istri) yang bersangkutan saja, tetapi
merupakan ikatan kekerabatan antardua keluarga besar dari kedua belah
pihak calon mempelai.18
c. Wali Nikah
Pengertian wali secara terminologi fiqh adalah seseorang yang
karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas
nama orang lain. Dalam pernikahan, wali adalah seseorang yang
bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad
nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan
oleh mempelai laki-laki sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan
oleh walinya. Dalam Islam, orang yang berhak menempati kedudukan
wali itu ada tiga kelompok:
a. Wali nasab, yaitu wali yang berhubungan tali kekeluargaan dengan
perempuan yang akan melangsungkan pernikahan.
b. Wali mu’t}iq, yaitu seseorang yang menjadi wali perempuan bekas
hamba sahaya yang sudah dimerdekakan.
c. Wali hakim, yaitu seseorang yang menjadi wali dalam
kedudukannya sebagai hakim atau penguasa.19
35
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang menjadi
wali adalah:
a. Orang merdeka (bukan budak)
b. Laki-laki (bukan perempuan). Namun ulama Hana>fiah dan Syiah
Imamiyah berbeda pendapan tentang hal ini. Keduanya berpendapat
bahwa perempuan yang telah dewasa dan berakal sehat dapat
menjadi wali untuk dirinya sendiri dan dapat pula menjadi wali
untuk perempuan lain yang mengharuskan adanya wali.
c. Telah dewasa dan berakal sehat. Oleh karena itu anak kecil atau
orang gila tidak berhak menjadi wali. Hal ini merupakan syarat
umum bagi seseorang yang melakukan akad.
d. Tidak sedang melakukan ihram untuk haji atau umrah. Hal ini
berdasarkan hadis nabi dari Usman menurut riwayat Abu Muslim
yang artinya “orang yang sedang ihram tidak boleh menikahkan
seseorang dan tidak boleh pula dinikahkan oleh seseorang.”
e. Tidak dalam keadaan mendapat pengampuan (mahju>r ‘alaih). Hal
ini karena orang yang berada di bawah pengampuan tidak dapat
berbuat hukum dengan dirinya sendiri.
f. Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak
sering terlibat dengan dosa kecil serta tetap memelihara dari amarah
dan sopan santun. Hadis nabi dari Aisyah menurut riwayat al-Qutni
menjelaslan bahwa “tidak sah nikah kecuali bila ada wali dan dua
36
g. Berpikiran baik. Oleh karena itu tidak sah menjadi wali seseorang
yang terganggu pikirannya, karena dihawatirkan tidak akan
mendatangkan maslahat dalam pernikahan tersebut.
h. Seorang muslim, oleh karena itu orang yang tidak beragama Islam
tidak sah menjadi wali untuk pernikahan muslim.20 Allah berfirman:
Artinya: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali Karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri
(siksa)-Nya. dan Hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS.
Al Imran : 28)21
Demikian pula jika wali nikah dilakukan oleh orang yang tidak
berhak menjadi wali nikah, maka perkawinan itu adalah batal. Hal
tersebut berdasarkan hadis riwayat Syafi’i dan Daruqutnih dari ‘Ikimah
bin Khalid, bahwa pernah terjadi dalam suatu perjalanan penuh
kendaraan, diantara mereka ada seorang perempuan janda yang
menyerahkan urusan dirinya kepada seorang perempuan laki-laki yang
bukan walinya (agar menikahkan dirinya), lalu lelaki tersebut
menikahkannya. Kemudian sampailah perkara tersebut kepada Umar bin
Khattab, kemudian Umar menjilid (mencambuk) orang yang kawin dan
20 Ibid, 111.
37
orang yang mengkawinkannya, serta membatalkan perkawinan
tersebut.22
d. Saksi Nikah
Tidak semua orang boleh menjadi saksi, khususnya dalam
pernikahan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar dia bisa
menjadi saksi yang sah, yaitu:
a. Saksi berjumlah minimal dua orang. Pendapat inilah yang dipegang
oleh jumhur ulama. Sedangkan hana>fiyah berpendapat lain,
menurutnya, saksi itu boleh terdiri dari satu orang laki-laki dan dua
orang perempuan.
b. Kedua saksi itu merdeka (bukan budak).
c. Saksi bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar
dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap menjaga muruah.
d. Saksi harus beragama Islam.
e. Saksi harus bisa mendengar dan melihat.
f. Kedua saksi adalah laki-laki. Menurut hana>fiyah saksi itu boleh
terdiri dari perempuan asalkan harus disertai saksi dari laki-laki.
Sedangkan menurut z}a>hiriyah, saksi boleh dari perempuan dengan
pertimbangan dua orang perempuan sama kedudukannya dengan
seorang laki-laki.23
38
Menurut Tarmizi, mengemukakan bahwa saksi nikah itu
berdasarkan hadis-hadis Rasullulah Saw. dan pada periode berikutnya
dari pada tabi’in dan lain-lain, bahwa “tidak ada nikah tanpa adanya
saksi”.24
Pada masa ulama muta’akhkirin, menurut Syarih rahimahullah,
muncul perbedaan pendapat mengenai perkawinan yang disaksikan
“seorang saksi laki-laki”, baru kemudian “muncullah (datang) seorang
saksi laki-laki lainnya” sesudah akad nikah berlangsung. Sebagian ulama
Kuffah berpendapat bahwa “Tidak sah nikah, sehingga nikah itu
disaksikan oleh dua orang saksi (laki-laki) secara bersamaan pada waktu
akad nikah berlangsung”.25
Imam Syafi’i, Imam Hanafi, dan Imam Hambali, berpendapat
bahawa perkawinan itu tidak sah jika tanpa saksi. Imam Hanafi
berpendapat bahwa saksi nikah adalah dua orang saksi laki-laki tanpa
diisyaratkan harus adil, atau seorang saksi laki-laki dan dua orang saksi
perempuan saja adalah tidak sah.26 Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam
Hambali berpendapat bahwa perkawinan ini harus dilakukan dengan dua
orang saksi laki-laki muslim dan adil.27
Imam Malik berpendapat bahwa kedudukan saksi dalam akad
perkawinan adalah tidak wajib, tetapi “kehadiran dua orang saksi itu
24 Ibid, 113. 25 Ibid, 113.
26 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, diterjemahkan oleh Masykur A.B., Afif
Muhammad, dan Idrus al-Kaff, cet.1, (Jakarta: Lentera Basritama, 1996), 313.
39
wajib di kala suami bermaksud mencampuri istrinya”. Jika suami
melakukan hubungan seksual dengan istrinya sebelum ia mengahdirkan
dua orang saksi, maka akad perkawinannya harus dibatalkan secara
paksa, dan pembatalan perkawinan itu sama kedudukannya dengan talak
bai’in.
e. Ijab dan Kabul
Pada prinsipnya akad nikah dapat dilakukan dalam dilakukan
dalam bahasa apapun asalkan dapat menunjukkan kehendak pernikahan
yang bersangkutan dan dapat dipahami oleh para pihak dan para saksi.
Ulama mazhab sepakat bahwa perkawinan adalah sah dilakukan
dengan akad yang mencakup ijab dan kabul antara calon mempelai
perempuan (yang dilaksanakan oleh walinya) dan calon mempelai
laki-laki (atau wakilnya). Menurut ulama mazhab, perkawinan adalah sah
jika dilakukan dengan mengucapkan kata-kata zawwajtu atau ankahtu
(aku nikahkan) dari pihak perempuan yang dilakukan oleh wali
nikahnya, dan kata-kata qabiltu (aku menerima) atau kata-kata raditu
(aku setuju) dari pihak calon mempelai laki-laki atau orang yang
mewakilinya.28
Proses akad nikah dengan mengucapkan ijab dan kabul itu
dilakukan secara lisan. Jika para pihak tidak memungkinkan untuk
dilakukan ijab dan kabul secara lisan karena sesuatu halangan tertentu,
maka akad nikah dapat dilakukan dengan menggunakan isyarat.
40
Pelaksanaan ijab dan kabul dalam akad nikah, dalam pasal 27 KHI
menentukan bahwa pelaksanaan ijab dan kabul antara wali (dari pihak
calon mempelai perempuan) dengan calon mempelai laki-laki harus jelas
beruntun dan tidak berselang waktu. Akad nikah (dalam hal ijab)
dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah. Pelaksanaan ucapan
ijab nikah yang semestinya dilakukan oleh wali nikah. Pelaksanaan
ucapan ijab nikah yang semestinya dilakukan oleh wali nikah dapat
diwakilkan kepada orang lain yang memenuhi syarat.
Jika ijab nikah yang seharusnya dilaksanakan oleh wali nikah itu
kemudian diwakilkan kepada orang lain, menurut K. H. Ma’ruf Amin,
Ketua MUI pusat, maka pada saat akad nikah berlangsung, wakil dari
wali nikah untuk menikahkan calon mempelai perempuan yang
bersangkutan. Selain itu, sebelum akad nikah berlangsung, dalam
majelis akad nikah tersebut, wali nikah harus ikrar secara terbuka bahwa
kewajibannya sebagai wali nikah calon mempelai perempuan dalam
mengucapkan ijab nikah yang diwakilkan kepada wakil wali nikah, atau
dibuat surat kuasa yang tegas dan tertulis, bahwa ucapan ijab yang
diucapkan pada akad nikah itu dilakukan atas nama wali nikah untuk
menikahkan calon mempelai perempuan bersangkutan.29
Kabul diucapkan oleh calon mempelai laki-laki secara pribadi
terdapat dalam KHI pasal 29. Akan tetapi, dalam kondisi tertentu,
ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada laki-laki lain, dengan
41
ketentuan bahwa calon mempelai laki-laki bersangkutan memberi kuasa
yang tegas secara tertulis, bahwa penerima wakil atas akad nikah (kabul)
itu adalah untuk mempelai laki-laki.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar akad ijab kabul itu
bisa menjadi sah, yaitu:
a. Akad dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan kabul. Ijab berarti
penyerahan dari pihak pertama, sedangkan kabul adalah penerimaan
dari pihak kedua. Contoh penyebutan ijab, “ saya nikah kan anak
saya yang bernama Khotibah dengan mahar uang satu juta rupiah
dibayar tunai”. Lalu kabulnya “ saya terima menikahi anak bapak
yang bernama Khotibah dengan mahar uang sebesar satu juta
rupiah.
b. Materi dari ijab dan kabul tidak boleh berbeda, seperti nama si
perempuan dan bentuk mahar yang sudah ditentukan.
c. Ijab dan kabul harus menggunakan lafad yang jelas dan terang
sehingga dapat dipahami oleh kedua belah pihak secara tegas.
Dalam akad tidak boleh menggunakan kata sindiran karena masih
dibutuhkan sebuah niat, sedangkan saksi dalam pernikahan itu tidak
akan dapat mengetahui apa yang diniatkan oleh seseorang. Lafad
yang s}ari>h (terang) yang disepakati oleh ulama ialah kata nakaha
42
d. Ijab dan kabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang
bersifat membatasi masa berlangsungnya pernikahan, karena adanya
pernikahan itu bertujuan untuk selama hidupnya, bukan sesaat saja.
e. Ijab dan kabul harus diucapkan secara bersinambungan tanpa
terputus walau sesaat.30
2. Syarat perkawinan
Dalam hukum perkawinan, akibat hukum dari tidak terpenuhnya rukun
dan syarat juga berbeda. Jika rukun perkawinan tidak terpenuhi, maka akibat
hukumnya adalah perkawinan tersebut “wajib batal karna hukum”, tetapi
jika syarat perkawinan tidak terpenuhi, maka perkawinan itu “dapat
dibatalkan demi hukum”.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon mempelai laki-laki yang
tidak terikat dalam perkawinan, adalah (1) ia tidak melanggar larangan
perkawinan, baik karena adanya hubungan darah, hubungan semenda,
hubungan sesusuan, perbedaan agama; (2) mendapat persetujuan atau izin
dari kedua orang tua berdasarkan pasal 6 Undang-Undang Perkawinan; (3) ia
telah berumur 19 tahun.31
Syarat-syarat perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1
tahun 1974 pasal 6 yaitu:
1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.