Lampiran I
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor
: 20 Tahun 2008
Tanggal
: 28 November 2008
PETUNJUK TEKNIS
STANDAR PELAYANAN MINIMAL
BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROVINSI
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG.
Dengan meningkatnya berbagai usaha dan/atau kegiatan yang
menimbulkan pencemaran air, pencemaran udara, kerusakan lahan
dan/atau tanah, dan meningkatnya pengaduan masyarakat terkait adanya
dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup pada
pemerintah provinsi, diperlukan pengelolaan lingkungan hidup yang optimal
agar masyarakat mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Oleh
karena itu, pemerintah provinsi perlu memberikan pelayanan dasar sesuai
dengan standar pelayanan minimal bidang lingkungan hidup.
Dalam rangka pencapaian penerapan standar pelayanan minimal bidang
lingkungan hidup daerah provinsi yang terkait dengan permasalahan
lingkungan hidup di daerah kabupaten/kota terutama dalam pelaksanaan
kegiatan pembinaan teknis dan pengawasan, jenis pelayanan bidang
lingkungan hidup daerah provinsi lebih ditekankan pada penyampaian
informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dengan demikian, jenis pelayanan dasar bidang lingkungan hidup daerah
provinsi diprioritaskan pada:
1.
Informasi status mutu air.
2.
Informasi status mutu udara ambien.
3.
Tindak lanjut pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup.
B.
TUJUAN.
C.
RUANG LINGKUP.
Ruang lingkup standar pelayanan minimal daerah provinsi meliputi:
1.
Pelayanan informasi status mutu air.
2.
Pelayanan informasi status mutu udara ambien.
3.
Pelayanan tindak lanjut pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Masing-masing jenis pelayanan tersebut dijabarkan secara rinci yang
meliputi:
1.
Gambaran umum.
2.
Pengertian.
3.
Indikator dan cara perhitungan.
4.
Sumber data.
5.
Batas waktu pencapaian.
6.
Langkah kegiatan.
7.
Rujukan/referensi.
II. PELAYANAN INFORMASI STATUS MUTU AIR
A.
GAMBARAN UMUM.
Penetapan status mutu air merupakan tahapan yang penting dalam rangka
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, karena akan
menjadi titik tolak untuk pelaksanaan suatu program/kegiatan selanjutnya.
Status mutu air juga merupakan hak masyarakat yang harus diakomodir,
sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82
Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran,
bahwa “setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan
informasi mengenai status mutu air dan pengelolaan kualitas air serta
pengendalian pencemaran air”. Penentuan status mutu air dan rencana
tindak lanjutnya disajikan pada Gambar 1.
Dari Gambar 1, diilustrasikan secara sederhana, bahwa penentuan status
mutu air pada suatu sumber air dilakukan dengan cara membandingkan
hasil pemantauan kualitas air dengan baku mutu air (BMA) yang diterapkan
pada sumber air tersebut. Baik atau buruknya kualitas air diindikasikan
oleh parameter-parameter, antara lain parameter kadar polutan yang
dikandungnya. Jika kadar polutan melebihi kadar maksimum yang
dibakukan dalam BMA, air tersebut dinyatakan sebagai air yang cemar. Hal
tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor
82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air, bahwa air dinyatakan dalam kondisi cemar, jika mutu
airnya tidak memenuhi BMA dan air dinyatakan dalam kondisi baik, jika
mutu airnya memenuhi BMA.
untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas air perlu dilakukan,
dan jika status mutu air berada dalam kondisi cemar, dibutuhkan upaya
penanggulangan dan pemulihan dengan menetapkan mutu air sasaran.
Penetapan status mutu air pada suatu sumber air dapat dilakukan jika
tahapan-tahapan sebelumnya telah dilaksanakan yaitu penetapan kelas air
dan BMA, penetapan titik pantau dan pemantauan kualitas air. Kegiatan
pemantauan kualitas air di titik-titik pengambilan contoh merupakan
kegiatan yang harus dilakukan secara berkala dan berkelanjutan. Contoh
hasil kegiatan pemantauan kualitas air disajikan pada Tabel 1.
Secara sederhana, penentuan status mutu air dilakukan dengan cara
membandingkan hasil pemantauan kualitas air dengan BMA yang
diterapkan pada sumber air tersebut, namun mengingat jumlah parameter
dalam BMA tidak sedikit (lihat Tabel 1), sehingga dengan hanya
membandingkan masing-masing hasil pemantauan dengan BMA akan
menghasilkan status mutu yang berbeda-beda untuk tiap parameter kualitas
air. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu metode yang dapat memberikan status
mutu yang merupakan gabungan dari semua parameter yang dipantau
sehingga menjadi satu nilai yang menggambarkan status mutu air secara
keseluruhan.
BAKU MUTU AIR
Pemantauan Kualitas
Air
Baik
Cemar
Upaya Penanggulangan
dan Pemulihan
Upaya Mempertahankan dan Meningkatkan
Kualitas Air
Mutu Air Sasaran
STATUS
MUTU AIR
Dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Nomor 115 Tahun 2003
tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air telah diatur
2 (dua) metode
untuk menentukan status mutu air yaitu metode storet dan metode indeks
pencemaran. Pada metode storet, status mutu air, dengan menggunakan
sistem klasifikasi US-EPA, dinyatakan sebagai berikut:
1.
Kelas A : baik sekali, skor = 0
memenuhi baku mutu).
2.
Kelas B : baik, skor antara -1 sampai dengan -10
cemar ringan).
3.
Kelas C : sedang, skor antara -11 sampai dengan -30
cemar sedang).
4.
Kelas D : buruk, skor
≤
-31
cemar berat).
Sedangkan metode indeks pencemaran dinyatakan
bahwa nilai :
1.
0
≤
PIj
≤
1,0
: memenuhi baku mutu.
2.
1,0 < PIj
≤
5,0 : cemar ringan.
3.
5,0 < PIj
≤
10 : cemar sedang.
4.
PIj > 10
: cemar berat.
Contoh hasil penetapan status mutu air yang menggunakan kedua metode
tersebut disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3.
STATUS PENCEMARAN SUNGAI CISADANE TAHUN 2007
-70
-60
-50
-40
-30
-20
-10
0
Sebelum Intake PDAM
Cihuni Jembatan Gading Serpong
Jembatan Cikokol
Jembatan Robinson
Bendung Pasar
Baru
Bayur Kali Baru
S
K
OR
S
T
OR
E
T
CEMAR RINGAN CEMAR SEDANG
CEMAR BERAT
Kewenangan penetapan status mutu air
ada pada pemerintah, pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, namun karena penetapan kelas
air pada sumber air skala provinsi dan penetapan baku mutu air lebih ketat
berada dalam kewenangan pemerintah provinsi serta penetapan status mutu
air berkaitan erat dengan penetapan kelas air dan baku mutu air tersebut,
sehingga dalam standar pelayanan minimal ini, penetapan status mutu air
menjadi bagian dari standar pelayanan minimal provinsi.
0
5
10
15
20
25
At
ta
A
wu
n
Cib
ur
ia
l,
Ci
sa
m
pa
i
Cilem
be
r
Je
mb
at
an
G
ad
og
Ka
tu
la
mp
a
Se
mp
ur
Ke
du
ng
Hal
an
g
Po
nd
ok
R
aje
k
Jem
bat
an
P
an
us
Ke
la
pa D
ua
Con
de
t
Ma
ng
ga
rai
Kw
ita
ng
Gu
nu
ng S
ah
ari PI
K
25 Mar 2004
15 Jun 2004
7 Sep 2004
21 Des 2004
CEMAR SEDANG CEMAR BERAT
CEMAR RINGAN
HASIL PEMANTAUAN KUALITAS AIR DAS ABC PERIODE BULAN SEPTEMBER 2008 Baku Mutu Berdasarkan PP No: 82 Tahun 2001 tangggal 14 desember 2001
Sungai ABC ABC ABC ABC ABC Baku
Lokasi 1 2 3 4 5 Mutu
Koordinat Lokasi Lintang (S) -6.35889 -6.35917 -6.35500 -6.34917 -6.25917 Bujur (T) 106.24306 106.2225 106.23083 106.24806 106.28417 Tanggal 9/1/2008 9/2/2008 9/3/2008 9/4/2008 9/5/2008 Kelas
Jam 11.30 12.15 12.14 11.45 12.55 II
Parameter Satuan 1 2 3 4 5 10
FISIKA
1. Temperatur 0C 27.50 27.50 27.40 27.40 27.50 deviasi 3
2 Zat Terlarut/TDS mg/l 53.00 55.00 37.00 50.00 53.00 1000
3 Zat Tersuspensi/TSS mg/l 99 28 70.5 197 77 50
1 pH - 5.68 5.60 5.72 5.67 5.71 6-9
2 BOD mg/l 1.007 0.402 0.604 1.007 0.806 3
3 COD mg/l 30.217 29.502 29.217 28.731 29.778 25
4 Oksigen Terlarut/DO mg/l 4.429 4.026 4.228 3.825 4.278 4 5 fosfat/PO4 mg/l 0.015 0.012 0.008 0.010 0.008 0.2
6 Nitrat/NO3 mg/l 8.050 3.280 2.627 6.392 1.827 10
7 Amonia mg/l 0.005 0.004 0.002 0.005 0.004 (-)
8 Arsen mg/l - - - 1
9 Cobalt/Co mg/l 0.0099 0.0096 0.0095 0.0097 0.0098 0.2
10 Barium mg/l - - - (-)
11 Boron mg/l - - - 1
12 Selenium mg/l - - - 0.05
13 Kadmium Total/Cd mg/l 0.0097 0.0097 0.0096 0.0098 0.0099 0.01
14 Khrom (VI) mg/l - - - 0.05
15 Tembaga Total/Cu mg/l 0.0122 0.0124 0.0116 0.0124 0.0126 0.02 16 Besi Total/Fe mg/l 0.8266 0.8371 0.6539 0.8927 0.8975 (-) 17 Timbal Total/Pb mg/l 0.0116 0.0119 0.0112 0.0119 0.0121 0.03 18 Mangan/Mn mg/l 0.0168 0.0174 0.0153 0.0179 0.0187 (-)
19 Air Raksa mg/l - - - 0.002
20 Seng Total/Zn mg/l 0.0165 0.0168 0.0148 0.0175 0.0183 0.05 21 Clorida/Cl mg/l 5.339 11.650 2.912 3.883 5.334 600
22 Sianida mg/l tt tt tt tt tt 1
23 Flourida mg/l - - - 1.5
24 Nitrit/NO2 mg/l 0.153 0.144 0.073 0.092 0.104 0.05 25 Sulfat/SO4 mg/l 4.370 3.450 0.588 1.785 1.620 400
26 Khlorin Bebas mg/l - - - 0.03
27 Belerang sbg H2S mg/l - - - 0.002
1 E Coli koloni/100 ml 3400 4400 3400 6000 2300 1000 2 Total Coli koloni/100 ml 28000 28000 24000 54000 22000 5000 RADIOAKTIVITAS
1 Gross-A Bq/L - - - 0.1
2 Gross-B Bq/L - - - 1
KIMIA ORGANIK
1 Minyak Dan Lemak ug/l 1000 1000 500 1000 500 1000
2 MBAS ug/l 200 200 200 200 200 200
3 Fenol ug/l 0.0302 0.0265 0.0235 0.0274 0.0259 1
1 Debit m3/detik 70.12 11.22 65.31 65.11 40.15
-2 Muka Air cm 45 10 20 20 20
-KIMIA ANORGANIK
MIKROBIOLOGI
LAIN-LAIN (Tidak diatur PP 82/01)
B.
PENGERTIAN.
Dalam petunjuk teknis ini yang dimaksud dengan:
1.
Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan
tanah, kecuali air laut dan air fosil.
2.
Sumber air adalah wadah air yang terdapat di bawah dan di atas
permukaan air, termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air, sungai,
rawa, danau, situ, waduk dan muara.
3.
Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan diuji berdasarkan
parameter-parameter tertentu dan metoda tertentu berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
4.
Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan
kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu
tertentu dengan membandingkan baku mutu air yang ditetapkan.
5.
Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.
6.
Mutu air sasaran (
water quality objective
) adalah mutu air yang
direncanakan untuk dapat diwujudkan dalam jangka waktu tertentu
melalui penyelenggaraan program kerja dalam rangka pengendalian
pencemaran air dan pemulihan kualitas air.
C.
INDIKATOR DAN CARA PERHITUNGAN.
1.
Indikator.
Jumlah sumber air yang dipantau kualitasnya, ditetapkan status mutu
airnya dan diinformasikan status mutu airnya.
2.
Cara Perhitungan.
3.
Contoh Perhitungan.
Misalkan:
Pada tahun 2009 jumlah sumber air yang dipantau
kualitasnya, ditetapkan status mutu airnya dan diinformasikan
status mutu airnya kepada masyarakat sebanyak 1 (satu)
sumber air, sedangkan jumlah sumber air yang telah
ditetapkan berdasarkan hasil identifikasi provinsi sebanyak 5
(lima) sumber air, prosentasenya menjadi:
Jumlah sumber air yang
dipantau kualitasnya, ditetapkan
status mutu airnya dan
diinformasikan status mutu
airnya.
Prosentase (%) jumlah
sumber air yang dipantau
kualitasnya, ditetapkan
status mutu airnya dan
diinformasikan status
mutu airnya.
Jumlah sumber air yang telah
ditetapkan berdasarkan hasil
identifikasi provinsi.
x 100%
Selanjutnya pada tahun berikutnya:
Jumlah sumber air yang dipantau kualitasnya, ditetapkan status mutu
airnya dan diinformasikan status mutu airnya kepada masyarakat
bertambah sebanyak 1(satu) sumber air lagi sehingga menjadi 2 (dua)
sumber air, sedangkan jumlah sumber air yang telah ditetapkan
berdasarkan hasil identifikasi provinsi sebanyak 5 (lima) sumber air,
prosentasenya menjadi 2/5 = 40%.
D.
SUMBER DATA.
1.
Laporan instansi teknis terkait antara lain: instansi lingkungan hidup,
Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Kesehatan.
2.
Hasil pemantauan (data primer).
3.
Sumber lain yang relevan.
E.
BATAS WAKTU PENCAPAIAN.
1.
Sampai dengan tahun 2009 : 20 %
2.
Sampai dengan tahun 2010 : 40 %
3.
Sampai dengan tahun 2011 : 60 %
4.
Sampai dengan tahun 2012 : 80 %
5.
Sampai dengan tahun 2013 : 100 %
F.
LANGKAH KEGIATAN.
1.
Perencanaan pemantauan kualitas air.
a.
Pengumpulan data sekunder.
Data sekunder berguna untuk mendukung interpretasi data primer
yang telah dihasilkan. Data sekunder yang perlu dikumpulkan antara
lain gambaran lokasi pemantauan (panjang, lebar, sumber air,
peruntukan, batas administrasi sumber air, peta lokasi, data
pemantauan sebelumnya (jika ada), kegiatan sekitar lokasi
pemantauan, dan sumber pencemar.
b.
Penyusunan tim pemantauan kualitas lingkungan.
Satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di setiap daerah provinsi harus
menyusun tim teknis pemantauan yang melibatkan berbagai personil
seperti pada Tabel 2 di bawah ini yang meliputi:
Prosentase (%) jumlah
sumber air yang
dipantau kualitasnya,
ditetapkan status mutu
airnya dan
diinformasikan status
mutu airnya.
=
x 100%
=
1
5
Tabel 2. Susunan tim teknis pemantauan kualitas lingkungan.
No. Peranan
Uraian
Pekerjaan
1 Koordinator
Bertanggungjawab
terhadap
keseluruhan proses pelaksanaan
pemantauan kualitas air
2 Personil
perencana
program pemantauan
Merencanakan program pemantauan,
dan menyusun proposal sesuai tujuan
pemantauan
3 Personil
pengambil
sample
Mengambil sampel di badan air sesuai
tujuan pemantauan dan standar yang
ditetapkan
4 Personil
pengujian
laboratorium
Melaksanakan pengujian parameter
kualitas air sesuai standar yang
ditetapkan
5 Personil
pengolah
data dan pembuatan
laporan
Melakukan pengumpulan data hasil
analisis yang telah diverifikasi dan
divalidasi oleh penyelia laboratorium,
memeriksa integritas data, melakukan
analisis data (membandingkan dengan
kriteria mutu air kelas I sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air,
melakukan penghitungan status mutu
air berdasarkan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 115
Tahun 2003 tentang Pedoman
Penentuan Status Mutu Air, dan
menginterpretasikan data sesuai
tujuan pemantauan, serta menyusun
laporan sesuai format yang
ditentukan.
c.
Penetapan sumber air.
Lokasi pemantauan ditetapkan terutama untuk sumber air yang
diperuntukkan untuk Air Baku Air Minum (ABAM) dengan parameter
sesuai kelas 1 (satu) sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air.
d.
Penetapan tujuan pemantauan.
e.
Survei pendahuluan.
Digunakan sebagai pertimbangan untuk penyusunan perencanaan
pemantauan kualitas sumber air yang dijadikan sebagai ABAM
termasuk dalam hal penentuan titik pantau yang representatif,
frekuensi pengambilan contoh air yang seharusnya diambil, sumber
pencemar yang berpengaruh terhadap sumber air, kemudahan akses,
dan kebutuhan biaya. Survei pendahuluan ini diperlukan untuk
kegiatan pemantauan pada lokasi dan titik pemantauan yang baru.
f.
Disain pemantauan.
1).
Identifikasi sumber air dan penetapan lokasi sumber air yang
akan dipantau paling sedikit 5 (lima) lokasi sumber air.
2).
Penetapan lokasi sumber air diprioritaskan pada sumber air
untuk dijadikan sebagai ABAM.
3).
Penetapan titik pantau paling sedikit
3 (tiga) titik yang mewakili
daerah hulu, tengah dan hilir sesuai dengan SNI 6989.57:2008 Air
dan Air limbah – Bagian 57: Metoda Pengambilan Contoh Air
Permukaan, dan – Bagian 58: Metoda Pengambilan Contoh Air
tanah.
4).
Penetapan parameter pemantauan sesuai dengan kriteria mutu
air kelas I berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air.
5).
Penetapan waktu dan frekuensi pemantauan (waktu pengambilan
contoh air dilakukan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun, yaitu pada
musim hujan dan musim kemarau disesuaikan dengan kondisi
cuaca).
2.
Pelaksanaan pemantauan.
a.
Pelaksanaan pengambilan contoh air.
Setelah lokasi sumber air yang akan dipantau kualitasnya ditetapkan
dilakukan penetapan titik pantau dengan mengacu pada Metode
Pengambilan Contoh Air Permukaan, SNI 6989.57:2008 Air dan Air
Limbah-Bagian 57 dan selanjutnya dilakukan pengambilan contoh air
pada sumber air yang telah ditetapkan tersebut.
b.
Analisis laboratorium.
Pelaksanaan analisis contoh air dapat dilakukan melalui laboratorium
yang kompeten dan menerapkan sistem mutu.
c.
Verifikasi dan validasi data.
Laboratorium harus melakukan verifikasi dan validasi data untuk
menjamin mutu data hasil pengujian.
d.
Analisis dan interpretasi data.
Analisis dan interpretasi data hasil pengujian merupakan suatu proses
pengolahan data untuk menampilkan informasi yang sesuai dengan
tujuan pemantauan yang mudah dipahami oleh pengguna dan
pengambil kebijakan.
Analisis dan interpretasi meliputi beberapa tahapan seperti yang
tercantum dalam Gambar 4 di bawah ini:
Gambar 4. Alur kerja analisis dan interpretasi data
e.
Penyebaran Informasi.
Hasil analisis dan interpretasi data dari angka 2 huruf d
diinformasikan kepada masyarakat melalui :
1).
Papan pengumuman.
2).
Media cetak.
3).
Media elektronik.
3.
Penetapan status mutu air.
Data hasil analisis laboratorium dilakukan verifikasi dan validasi
kemudian diolah dalam bentuk perhitungan status mutu air dengan
metode storet atau indeks pencemaran sebagaimana diatur dalam
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003
tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air.
G.
RUJUKAN/ REFERENSI.
Peraturan perundang-undangan, pedoman/standar teknis yang terkait
dengan pelayanan informasi status mutu air antara lain:
1.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
2.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sumber Daya Air.
4.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003
tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air.
Persiapan data
Pemeriksaan integritas data
Analisis dan interpretasi data
1. Membuat grafik garis atau batang yang menyatakan konsentrasi parameter dari hulu sampai ke hilir
2. Membandingkan dengan kriteria mutu air pada kelas air yang telah ditetapkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air.
5.
Pedoman/Standar Teknis:
a.
SNI 6989.57:2008 tentang Air dan Air Limbah – Bagian 57: Metoda
Pengambilan Contoh Air Permukaan.
b.
SNI 6989.58:2008 tentang Air dan Air Limbah – Bagian 58: Metoda
Pengambilan Contoh Air Tanah.
III. PELAYANAN INFORMASI STATUS MUTU UDARA AMBIEN
A.
GAMBARAN UMUM.
Fakta empirik menunjukkan bahwa udara merupakan komponen kehidupan
yang sangat penting bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya (seperti
tumbuhan dan hewan). Tanpa makan dan minum manusia bisa hidup untuk
beberapa hari, tetapi tanpa udara manusia hanya dapat hidup untuk
beberapa menit saja. Tidak seperti air yang bisa dipilih untuk diminum,
sekali udara tercemar susah untuk membersihkannya. Karena manusia
tidak dapat memilih udara yang dihirup.
Kualitas udara (ambien) sangat berhubungan dengan tingkat kesehatan
masyarakat dan kegiatan pembangunan. Kegiatan pembangunan yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tentunya akan
meningkatkan penggunaan energi. Semakin banyak energi yang dibakar
pada akhirnya akan meningkatkan pencemaran udara. Udara yang tercemar
(tidak memenuhi baku mutu udara ambien) dapat meningkatkan berbagai
jenis penyakit seperti ISPA (infeksi saluran pernapasan atas) atau bahkan
dapat menyebabkan kematian apabila kadarnya di udara tidak sehat atau
berbahaya untuk jangka waktu yang panjang.
Gambar. 5 Dampak polusi udara ambien pada kesehatan
Penjelasan gambar pencemaran udara dari sumber :
1.
Pembakaran terbuka (
Open Burning),
contoh: pembakaran sampah, TPA
(tempat pengelolaan sampah ).
2.
Tranportasi, contoh: sepeda motor, mobil penumpang , bus dan truk.
3.
Permukiman, contoh: pemakaian gas LPG, kompor minyak tanah, briket
batu bara dan tungku bakar.
4.
Industri, contoh: pencemaran udara dari cerobong pabrik industri agro,
manufaktur dan industri minyak dan gas bumi.
B.
PENGERTIAN.
Dalam petunjuk teknis ini yang dimaksud dengan:
a.
Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan
troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia
yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup
dan unsur lingkungan hidup lainnya.
b.
Status mutu udara ambien adalah tingkat kondisi mutu udara yang
menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik dalam waktu tertentu
dengan membandingkan baku mutu udara yang ditetapkan.
c.
Kawasan padat lalu lintas adalah daerah di wilayah perkotaan yang
memiliki tingkat kepadatan lalu lintas yang tinggi terutama pada
jam-jam sibuk pagi dan sore hari.
d.
Kawasan permukiman adalah daerah di wilayah perkotaan yang
memiliki tingkat perumahan untuk tempat tinggal yang tinggi.
14
sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan
kawasan industri yang telah memiliki izin usaha kawasan industri.
Contoh: kawasan industri Pulo Gadung di Jakarta, KIM di Medan,
Rungkut di Surabaya, KIMA di Makassar. Apabila di daerah tidak
mempunyai kawasan industri, pengukuran bisa dilakukan pada
daerah sekitar industri yang berpotensi mencemari udara di
sekitarnya.
f.
Kualitas udara ambien yang dipantau adalah partikulat atau
total
suspended particulate
(TSP) dan CO untuk lokasi padat lalu lintas , PM10
(partikel dengan diameter di bawah 10 mikron) dan SO
2untuk kawasan
industri dan O
3dan PM untuk lokasi permukiman.
g.
Kualitas udara ambien yang diinformasikan adalah kualitas udara
ambien pada saat dilakukan pengukuran parameter kunci di setiap lokasi
pemantauan (permukiman, padat lalu lintas dan industri) dan
diinformasikan mutu udara ambiennya dalam satu tahun.
C.
INDIKATOR DAN CARA PERHITUNGAN.
a.
Indikator:
Jumlah kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara ambiennya dan
diinformasikan mutu udara ambiennya.
b.
Cara Perhitungan:
c.
Contoh Perhitungan:
Misalkan: Pada tahun 2009 jumlah kabupaten/kota yang dipantau
kualitas udara ambien dan diinformasikan mutu udara
ambiennya di lokasi/kawasan padat lalulintas, kawasan
permukiman, dan kawasan industri sebanyak 5 (lima)
kabupaten/kota, sedangkan jumlah kabupaten/kota yang ada
di wilayah provinsi sebanyak 25 kabupaten/kota, sehingga
prosentasenya:
Jumlah kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara ambiennya di lokasi/kawasan padat lalu lintas, kawasan permukiman, dan kawasan industri dalam 1 (satu) tahun dan diinformasikan mutu udara ambiennya
Jumlah kabupaten/kota yang ada di wilayah provinsi Prosentase (%)
jumlah
kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara ambiennya dan diinformasikan mutu udara ambiennya
=
X 100 %Prosentase (%) jumlah kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara ambiennya dan
diinformasikan mutu
=
X 100%25 5
Selanjutnya pada tahun berikutnya:
jumlah kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara ambiennya dan
diinformasikan mutu udara ambiennya di lokasi/kawasan padat
lalulintas, kawasan permukiman, dan kawasan industri bertambah
sebanyak 5 (lima) kabupaten/kota sehingga menjadi 10 (sepuluh)
kabupaten/kota, sedangkan jumlah kabupaten/kota yang ada di wilayah
provinsi sebanyak 25 kabupaten/kota, sehingga prosentasenya menjadi
10/25 = 40%.
D.
SUMBER DATA.
1.
Hasil pemantauan kualitas udara ambien yang dipantau oleh pemerintah
provinsi
2.
Laporan tahunan hasil pemantauan kualitas udara ambien dari
pemerintah kabupaten/kota (instansi lingkungan hidup kabupaten/kota,
Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perindustrian dan
Perdagangan).
Tabel 3. Contoh pelaporan udara ambien sekitar industri .
Kualitas Udara Ambien
Parameter Satuan Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 Lokasi 4 Lokasi 5
SO2 µg/Nm3 28.19 12.01 0.69 ttd 0.21
Partikulat µg/Nm3 57.26 5.21 ttd ttd ttd
Tanggal 19 januari 2008
Penjelasan:
Lokasi 1 : lingkungan pabrik utara.
Lokasi 2 : lingkungan pabrik selatan.
Lokasi 3 : lingkungan pabrik barat.
Lokasi 4 : lingkungan pabrik timur.
Lokasi 5 : lingkungan dalam pabrik (dekat cerobong).
Tabel 4. Contoh pelaporan udara ambien sekitar permukiman.
Kualitas Udara Ambien
Parameter Satuan Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 Lokasi 4 Lokasi 5
O3 (Ozon) µg/Nm3 28.19 12.01 0.69 ttd 0.21
Partikulat µg/Nm3 57.26 5.21 ttd ttd ttd
Tanggal 19 januari 2008
Penjelasan:
Lokasi 1 : lingkungan permukiman utara.
Lokasi 2 : lingkungan permukiman selatan.
Lokasi 3 : lingkungan permukiman barat.
Lokasi 4 : lingkungan permukiman timur.
Tabel 5. Contoh pelaporan udara ambien daerah transportasi :
Kualitas Udara Ambien
Parameter Satuan Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 Lokasi 4 Lokasi 5
CO ppm ttd ttd ttd ttd 1.25
Partikulat µg/Nm3 57.26 5.21 ttd ttd ttd
Tanggal 19 januari 2008
Penjelasan:
Lokasi 1 : daerah padat lalu lintas utara.
Lokasi 2 : daerah padat lalu lintas selatan.
Lokasi 3 : daerah padat lalu lintas barat.
Lokasi 4 : daerah padat lalu lintas timur.
Lokasi 5 : daerah padat lalu lintas tengah.
3.
Data statistik kabupaten/kota atau data dari status lingkungan hidup
daerah (SLHD).
4.
Hasil pemantauan kualitas udara ambien dari Kementerian Negara
Lingkungan Hidup
5.
Sumber lain yang relevan .
E.
BATAS WAKTU PENCAPAIAN.
1.
Sampai dengan tahun 2009 : 20 %
2.
Sampai dengan tahun 2010 : 40%.
3.
Sampai dengan tahun 2011 : 60 %
4.
Sampai dengan tahun 2012 : 80%
5.
Sampai dengan tahun 2013 : 100%
F.
LANGKAH KEGIATAN.
1.
Melakukan inventarisasi hasil laporan kualitas udara ambien dari
kabupaten/kota dari berbagai sumber.
2.
Melakukan inventarisasi laboratorium pengukuran udara yang ada di
wilayahnya. Apabila daerah belum memiliki laboratorium yang bisa
melakukan pengukuran udara ambien, daerah bisa melakukan kerjasama
dengan laboratorium daerah lain atau dengan pihak ketiga.
3.
Melakukan survei pendahuluan atau mengumpulkan data pada kawasan
padat lalu lintas, kawasan permukiman, dan kawasan industri di setiap
kabupaten/kota.
4.
Menetapkan 3 (tiga) lokasi pemantauan pada setiap kabupaten/kota.
5.
Menetapkan kabupaten/kota yang akan dipantau berdasarkan skala
prioritas sesuai dengan kemampuan daerah dalam rangka memenuhi
pencapaian standar pelayanan minimal.
kawasan permukiman: PM10, dan O3 dan kawasan industri: PM10 dan
SO2). Khusus untuk pemantauan parameter SO2 dan NO2 di udara
ambien dapat menggunakan metoda pasif sampler yang sederhana,
murah dan mudah. Pelaksanaan pemantauan mengacu pada Keputusan
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor
Kep-205/BAPEDAL/07/1996 tentang Pedoman Teknis Pengendalian
Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak. Alat ukur udara ambien pada
Gambar 6.
G.
Gambar 6 . Peralatan pengukur udara ambien (TSP, O3, dan SOx).
7.
Hasil pemantauan kualitas udara dari masing-masing lokasi dianalisis
untuk menetapkan status mutu udara ambien dengan mengacu pada
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara.
8.
Penyusunan laporan dan penyampaian informasi dilakukan dengan
melibatkan pihak laboratorium dan unit/instansi terkait di daerah.
G.
RUJUKAN/REFERENSI.
Peraturan perundang-undangan dan pedoman yang terkait dengan
pelayanan informasi status mutu udara ambien antara lain:
1.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara.
2.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 1999 tentang
Indeks Standar Pencemaran Udara.
3.
Keputusan Kepala Bapedal Nomor 205 Tahun 1996 tentang Pedoman
Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak.
4.
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor
107/BAPEDAL/ II/1997 tentang Perhitungan dan Pelaporan Serta
Informasi Indeks Standar Pencemar Udara.
IV. PELAYANAN TINDAK LANJUT PENGADUAN MASYARAKAT AKIBAT ADANYA
DUGAAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP.
A.
GAMBARAN UMUM
Meningkatnya pembangunan di berbagai sektor telah mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang semakin
meningkat dari waktu ke waktu. Kondisi tersebut dan didorong oleh
meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mendapatkan haknya atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat, menyebabkan makin meningkatnya
pengaduan masyarakat akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup. Hal ini terbukti dari meningkatnya jumlah pengaduan
masyarakat yang masuk ke instansi lingkungan hidup provinsi meningkat
setiap tahunnya rata-rata 10% (Tahun 2005-2008).
Salah satu upaya pemerintah untuk menyikapi kondisi tersebut dengan
peningkatan efektivitas pengelolaan pengaduan masyarakat. Berbagai
ketentuan peraturan perundang-undangan telah mengatur dasar hukum
upaya pemerintah tersebut. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan hak
kepada setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pasal 7
ayat (1) Undang-Undang tersebut juga mengatur, bahwa masyarakat
mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan
dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pelaksanaan peran tersebut salah
satunya dapat dilakukan dengan cara menyampaikan informasi dan/atau
laporan. Hak setiap orang untuk melaporkan adanya potensi maupun
keadaan telah terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan juga
diatur dalam peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang melipui:
1.
Pasal 55 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun.
2.
Pasal 17 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang
Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa.
3.
Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang
Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang
Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan Lahan.
4.
Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Dalam rangka menjamin hak dan peran setiap orang, instansi lingkungan
hidup provinsi wajib mengelola pengaduan masyarakat. Tanggung jawab
pengelolaan ini sebagai bentuk pelayanan tindak lanjut terhadap pengaduan
tersebut. Tanggung jawab pemerintah provinsi untuk menerima laporan
telah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan
kewajiban untuk segera menindaklanjuti laporan tersebut dimandatkan oleh
berbagai ketentuan peraturan perundangan-undangan yang meliputi:
2.
Pasal 17 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 150
Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi
Biomassa.
3.
Pasal 39 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 4
Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran
Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan Lahan.
4.
Pasal 27 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 82
Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air.
Penjabaran lebih lanjut dari ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan pelaksanaannya
telah ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19
Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran
dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup. Berdasarkan peraturan ini setiap
orang yang mengetahui, menduga dan/atau menderita kerugian akibat
terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat
menyampaikan pengaduannya secara tertulis atau lisan kepada gubernur
atau kepala instansi lingkungan hidup provinsi.
Untuk meningkatkan efektivitas waktu pengelolaan pengaduan masyarakat,
instansi lingkungan hidup provinsi melalui gubernur atau kepala instansi
yang bersangkutan dapat membentuk pos pengaduan lingkungan. Pos
pengaduan ini berfungsi sebagai unit kerja yang mengkoordinir pengelolaan
pengaduan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, bagi
instansi yang belum memiliki unit kerja struktural yang bertanggung jawab
untuk mengelola pengaduan. Sedangkan bagi instansi yang telah memiliki
unit kerja struktural dimaksud akan berperan untuk meningkatkan
koordinasi kerja antar unit kerja yang terlibat dalam pengelolaan pengaduan
masyarakat.
Pengaduan masyarakat tentang kasus pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan yang wajib dikelola oleh instansi lingkungan hidup provinsi
meliputi:
1.
Usaha dan/atau kegiatan yang lokasi dan/atau dampaknya bersifat lintas
kabupaten/kota.
2.
Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan terjadi di wilayah 4-12 mil
laut.
3.
Usaha dan/atau kegiatan yang penilaian analisis mengenai dampak
lingkungan hidup oleh komisi penilai analisis mengenai dampak
lingkungan hidup provinsi.
4.
Usaha dan/atau kegiatan yang izin usaha dan/atau izin lingkungannya
diberikan oleh pejabat provinsi.
B.
PENGERTIAN.
1.
Pengaduan adalah pemberitahuan secara tertulis dan/atau lisan
mengenai dugaan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup kepada instansi lingkungan hidup provinsi.
2.
Pengelolaan pengaduan adalah upaya terpadu untuk menerima,
menelaah, mengklasifikasi, memverifikasi dan mengajukan usulan tindak
lanjut hasil verifikasi serta menginformasikan proses dan hasil
pengelolaan kepada pengadu.
3.
Mengklasifikasi pengaduan adalah mengelompokkan pengaduan
berdasarkan aspek pencemaran dan/atau perusakan lingkungan serta
aspek kewenangan dari instansi penerima pengaduan.
4.
Verifikasi pengaduan adalah kegiatan untuk memeriksa kebenaran
pengaduan.
5.
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak
dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Pencemaran lingkungan hidup mencakup pencemaran air, laut, tanah,
dan udara termasuk dalam hal ini yang berbentuk debu, kebauan,
getaran dan kebisingan.
6.
Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau
hayati yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam
menunjang pembangunan berkelanjutan.
Perusakan lingkungan hidup mencakup perusakan tanah, lahan dan
hutan.
C. INDIKATOR DAN CARA PERHITUNGAN.
1. Indikator
Jumlah pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup yang ditindak lanjuti.
2.
Cara Perhitungan
Prosentase (%)
jumlah pengaduan
masyarakat akibat
adanya dugaan
pencemaran
dan/atau perusakan
lingkungan hidup
yang ditindak lanjuti.
Jumlah pengaduan
masyarakat akibat adanya
dugaan pencemaran
dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang
ditindak lanjuti.
Jumlah pengaduan yang
diterima instansi
lingkungan hidup provinsi
dalam 1 (satu) tahun.
3.
Contoh Perhitungan:
Misalkan
: Pada tahun 2009 instansi lingkungan hidup provinsi
menerima 50 (lima puluh) pengaduan. Dari 50 (lima puluh)
pengaduan, 30 (tiga puluh) pengaduan telah ditindaklanjuti,
sehingga prosentase pengaduan yang ditindaklanjuti sebesar
60 %.
D.
SUMBER DATA.
Data didapat dari berbagai sumber, baik secara lisan maupun tertulis antara
lain:
1.
Masyarakat.
2.
Lembaga swadaya masyarakat.
3.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
4.
Instansi lingkungan hidup kabupaten/kota.
5.
Instansi terkait di tingkat pusat, provinsi atau kabupaten/kota.
6.
Media cetak dan elektronik.
E.
BATAS WAKTU PENCAPAIAN.
1.
Sampai dengan tahun 2009 : 60%
2.
Sampai dengan tahun 2010 : 70%
3.
Sampai dengan tahun 2011 : 80%
4.
Sampai dengan tahun 2012 : 90%
5.
Sampai dengan tahun 2013 : 100%
F.
LANGKAH KEGIATAN.
Instansi lingkungan hidup provinsi paling lama jangka waktu 7 (tujuh) hari
setelah menerima pengaduan dari masyarakat melakukan pengelolaan
pengaduan dengan tahapan:
1.
Mencatat pengaduan dalam buku pengaduan.
2.
Menelaah dan mengklasifikasikan pengaduan.
Telaahan dan kalsifikasi pengaduan dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari
sejak diterimanya pengaduan. Dalam rangka telaahan dan klasifikasi
dapat dilakukan koordinasi dengan instansi/pihak terkait.
Berdasarkan
hasil telaahan dan klasifikasi pengaduan dapat dikategorikan:
Prosentase (%) jumlah
pengaduan
masyarakat akibat
adanya dugaan
pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan
hidup yang ditindak
lanjuti
=
30
50
a.
Tidak termasuk pengaduan kasus pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup, segera diteruskan kepada instansi teknis yang
membidangi usaha dan/atau kegiatan dengan tembusan kepada pihak
yang mengadukan.
b.
Termasuk dalam kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup, namun bukan merupakan kewenangan instansi lingkungan
hidup provinsi segera diserahkan kepada Kementerian Negara
Lingkungan Hidup atau kepada instansi lingkungan hidup
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
c.
Termasuk dalam kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup dan merupakan kewenangan instansi lingkungan hidup
provinsi, segera dilakukan verifikasi lapangan paling lama dalam
jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak selesainya telaahan dan
klasifikasi.
3.
Melakukan verifikasi pengaduan.
Pelaksanaan verifikasi harus diselesaikan dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari. Apabila dalam jangka waktu tersebut pelaksanaan
kegiatan verifikasi belum selesai dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari. Verifikasi dilakukan dengan berpedoman pada:
a.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2004
tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran
dan/atau Perusakan Lingkungan.
b.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 56 Tahun 2002
tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup
Bagi Pejabat Pengawas.
c.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 58 Tahun 2002
tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di
Provinsi/Kabupaten/Kota.
d.
Pedoman Verifikasi Pengaduan.
Berdasarkan hasil verifikasi, tim/petugas verifikasi wajib membuat
laporan verifikasi, termasuk mengajukan usulan penanganan dalam
waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak selesainya verifikasi kepada
pejabat yang menugaskan verifikasi.
4.
Usulan tindak lanjut.
tindak lanjut penanganan merupakan akhir dari tahapan tindak lanjut
(pengelolaan) pengaduan masyarakat yang perlu dilakukan verifikasi.
Jenis usulan tindak lanjut penanganan berdasarkan hasil verifikasi
meliputi:
a.
Diteruskan kepada instansi teknis yang berwenang apabila bukan
merupakan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.
b.
Dilakukan pembinaan teknis dan pemantauan, apabila tidak terjadi
pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
c.
Dikenakan sanksi administrasi (oleh pejabat yang berwenang), apabila
telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang
pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup,
tetapi tidak mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup.
d.
Dikenakan sanksi administrasi dan/atau penyelesaian sengketa
lingkungan melalui pengadilan atau di luar pengadilan, apabila telah
terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang
pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, dan
mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup, dan telah menimbulkan kerugian bagi orang atau
lingkungan hidup.
e.
Dilakukan sanksi administrasi dan/atau penegakan hukum pidana,
apabila telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di
bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup, mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup atau ada indikasi tindak pidana sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
f.
Direkomendasikan kepada pejabat yang berwenang untuk menetapkan
atau meninjau kembali kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah,
apabila telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di
bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup karena belum adanya atau kesalahan kebijakan pemerintah
atau pemerintah daerah.
Gambar 7. Mekanisme pengelolaan pengaduan kasus lingkungan hidup
G.
RUJUKAN/REFERENSI.
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelayanan tindak lanjut
pengaduan masyarakat akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
antara lain:
1.
Undang-Undang:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
2.
Peraturan Pemerintah:
a.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
b.
Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian
Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa.
c.
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian
Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan
Dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
d.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Air
dan Pengendalian Pencemaran Air.
3.
Peraturan/Keputusan Menteri:
a.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001
tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah.
7 hr
7 hr
14 hr
7 hr
Pengaduan secara
tertulis atau lisan Instansi lingkungan hidup provinsi.
Telaahan dan klasifikasi pengaduan Pengaduan kasus lingkungan hidup, bukan kewenangan provinsi Kementerian Negara Lingkungan Hidup Usulan penanganan kepada pejabat yang berwenang Arah tindak lanjut
Menerima Atasan pengawas/
pemberi perintah
Usulan penanganan oleh tim Pengaduan kasus lingkungan hidup
Menolak
Instansi terkait di provinsi
14 hr
30hr +30 hr Verifikasi
7 hr Bukan pengaduan kasus lingkungan hidup. Instansi teknis yang berwenang
30 hr + 30 hr
Instansi lingkungan hidup
kabupaten/kota 7 hr
b.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 56 Tahun 2002
tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup
Bagi Pejabat Pengawas.
c.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 58 Tahun 2002
tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di
Provinsi/Kabupaten/Kota.
d.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2004
tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran
dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup.
4.
Peraturan/Keputusan Kepala Daerah.
Peraturan daerah provinsi atau keputusan gubernur yang mengatur
tentang pengelolaan pengaduan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup.
MENTERI
NEGARA
LINGKUNGAN
HIDUP,
ttd
RACHMAT
WITOELAR.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi V MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,
ttd