Volume 5 Nomor 1 (2021) 1-22 DOI: 10.15575/cjik.v5i1.12643 http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/cjik
ISSN 2549-8452 (Online)
Diterima: Februari 2021. Disetujui: April 2021. Dipublikasikan: Juni 2021 1
Anatomi Histeria Publik, Panopticon dan Kekerasan
Simbolik di Masa Pandemi
Mikhael Rajamuda Bataona1*
1 Universitas Katolik Widya Mandira Kupang * email: [email protected]
ABSTRACT
This study aims to describe hidden or marginalized meanings in the metanarrative of the Covid-19 Pandemic. Examine the subject matter with a deeper intention, using the perspective of Jaques Derrida's 'deconstruction' as a frame of mind as well as a framework. This study uses a qualitative approach with a descriptive-critical method specification. The study results show that the pandemic determines how to interact and communicate, even how citizens exist. The pandemic also gave birth to a bigger social problem, namely mass hysteria; as a reflection or reflection of the character of the spectacle society, the pandemic presented a new social pathology called an information pandemic that made many people more afraid, frustrated, and stressed because of the fear and trauma they created themselves In their minds, the state had successfully practiced the Panopticon, a gentle but awe-inspiring power technique. Discourses, legal codes, norms, rules as well as rituals and symbols displayed by the state apparatus are another power strategy, which is referred to as symbolic violence
Keywords: Deconstruction, Communication, Pandemic, Public Sphere, Panopticon, Symbolic
Violence.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan makna yang tersembunyi atau terpinggirkan dalam metanarasi Pandemi Covid-19. Menelaah pokok persoalan dengan intensi yang lebih mendalam, menggunakan perspektif ‘dekonstruksi’ Jaques Derrida sebagai kerangka berpikir sekaligus kerangka kerja. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan spesifikasi metode deskriptif-kritis. Hasil kajian menunjukan bahwa, Pandemi mendeterminasi cara berinteraksi dan berkomunikasi, bahkan cara bereksistensi warga negara. Pandemi juga melahirkan problem sosial yang lebih besar, yaitu histeria massal, sebagai cerminan atau refleksi dari watak masyarakat tontonan, pandemi menghadirkan patologi sosial baru yang disebut sebagai pandemi informasi yang menjadikan banyak orang semakin takut, frustrasi dan stress karena ketakutan dan trauma yang diciptakan sendiri dalam pikiran mereka, negara sukses mempraktekan Panopticon, sebuah teknik kuasa yang lembut tapi sangat impresif. Wacana, kode-kode hukum, norma, aturan serta ritual dan symbol-simbol yang diperagakan apparatus negara adalah strategi kekuasaan lainnya, yang disebut sebagai kekerasan simbolik.
Kata Kunci : Dekonstruksi, Komunikasi, Pandemi, Ruang Public, Panopticon, dan
2 Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 PENDAHULUAN
Sejak ditetapkan sebagai pandemi global oleh WHO, mikroorganisme Corona Virus (Covid-19) langsung menjadi kata paling popular. Virus asal Wuhan, Cina ini awalnya masih sangat asing, namun secara mengejutkan langsung mendapat perhatian luar biasa dan menjadi kata paling trending sepanjang tahun 2020. Selain paling sering menempati seluruh head line media massa mainstream, Covid adalah
top of mind dalam komunikasi dan interaksi sosial warga dunia. Pemberitaan non
stop media mainstream juga amplifikasi yang dilakukan secara massif oleh para netizen di ruang publik virtual, membuat kata ini menempati posisi puncak (nomor urut satu), dalam “Top 10 trending pencarian”, berdasarkan data Google Year in Search.
Pada Maret-April 2020, Covid-19 sudah memberi impresi luar biasa. sehingga mampu menghentikan aktivitas manusia. Sejak berita tentang keganasannya virus ini menyebar ke seluruh dunia, ribuan kota di belahan dunia ini terpaksa di-lockdown, jam malam mulai diberlakukan, dan vokabulari sosial dan politik dunia mulai berubah.
Bisa disaksikan secara empirik bahwa, di puncak penyebarannya, pandemi ini mengubah seluruh aspek kehidupan manusia. Kebisingan dunia dengan segala hiruk-pikuk kemajuannya, bahkan kedigdayaan proyek besar bernama kapitalisme global seolah terhenti. Selain menutup pabrik, mall dan toko, juga sukses mendikte jam bepergian penduduk kota; Cara bersalaman para warga hingga pejabat negara; Pandemi juga mengosongkan rumah-rumah ibadah hingga pusat-pusat keramaian; Mengguncang pasar uang dan kurs, juga membuat industri penerbangan tiarap. Seluruh maskapai penerbangan di dunia dilarang terbang. Industri olahraga pun harus menerima kenyataan pahit, dihentikan secara total. Saat digelar kembali pun, Sepakbola, Moto GP dan F1, harus tanpa penonton. Singkatnya, pandemi benar-benar memberi dampak mengerikan. Tak hanya mengambil alih fokus perhatian, tapi juga mengendalikan kesadaran dan cara bereksistensi manusia. Rasionalitas manusia selama berbulan-bulan takluk di bawah kendali rasa takut pada entitas tak kasat mata: mikroorganisme Covid-19 ini.
Di awal pandemi, selama 24 jam non stop, berbulan-bulan lamanya, kata ini: corona/Covid-19, terus mendominasi wacana media massa dan panggung ruang publik, baik fisik maupun virtual. Hingga akhir 2020, Covid-19 masih menjadi perhatian masyarakat. Entah untuk urusan medis, politik dan pemerintahan hingga obrolan viral di media daring, Covid dan isu seputar virus yang di-citra-kan sebagai “sangat mematikan” ini, tetap menjadi topik paling penting. Bisa dikatakan bahwa, dampak dari derasnya informasi tentang Covid, terutama sepanjang tahun 2020, orang bahkan tidak sanggup lagi membedakan antara Covid-19 sebagai virus, dan informasi tentang virus ini sebagai berita atau news. Miliaran informasi yang diproduksi dan menghempas ruang-ruang publik tanpa henti, termasuk informasi
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 3 tentang berbagai teori konspirasi, juga rumor bahwa virus ini dicurigai “bocor” dari Laboratorium Institut Virologi Wuhan, di Cina, turut memicu rasa penasaran publik. Orang yang sedang kalap dan penasaran, terus berusaha mencari tahu. Mereka pun melahap informasi apa saja tentang Covid ini, terutama yang di-share di dunia maya.
Sehingga secara hipotetik bisa dikatakan bahwa, kengerian di awal masa pandemi bisa menjalar-menyebar begitu cepat, lalu mengguncang dan mencengkram kesadaran begitu banyak orang, karena orang tidak bisa lagi membedakan antara “fakta mentah”, “impresi/kesan” dan “interpretasi.” Fakta mentah tentang virus ini, penyebarannya dan kematian yang diakibatkan olehnya adalah realita tingkat pertama, sedangkan “kesan” atau “impresi” yang ditimbulkan olehnya adalah pengalaman mental atau mental world alias realita tingkat kedua yang sudah berkaitan erat dengan kerja “interpretasi.” Yaitu interpretasi atas informasi (berita/news) seputar virus ini.
Publik juga tidak cukup kritis memahami bahwa, Covid-19 dan segala informasi yang berkaitan denganya adalah sebuah entitas ke-bahasa-an. Di mana, bahasa sendiri adalah medium komunikasi yang tidak pernah netral. Covid-19 dan segala wacana, istilah, defenisi, konsep, dan penjelasan tentangnya, adalah entitas ke-bahasa-an itu sendiri; Di mana, secara ontologis dan epistemologis, bahasa, selain sebagai medium komunikasi, juga merupakan sebuah medan kekuasaan dan medium transfer ideologi (Fairclough, 2013). Bahasa dalam perspektif kritis adalah entitas sosial yang kerap dimanipulasi dan digunakan sebagai teknologi kekuasaan untuk tujuan kekuasaan. Termasuk di dalamnya adalah, tujuan-tujuan bermotif ekonomi-politik melalui penundukan, pendisiplinan dan pengendalian sosial atas masyarakat.
Ketika istilah Covid-19, defenisi, dan segala wacana seputar virus ini, terus di-globalisasi-kan dan di-glorifikasi sebagai sebuah ritus kebenaran patologis medis, maka pada saat itu Covid sudah menjadi entitas ke-bahasa-an yang dijejali berbagai kepentingan dan ideologi. Di mana, ideologi-ideologi yang disusupi di balik beragam wacana seputar Covid-19 itu kemudian rentan dibelokan dan digunakan untuk tujuan-tujuan kekuasaan. Entah medis, politis, keamanan, maupun ekonomi. Dalam hal ini, bahasa dan wacana tentang Covid, dalam banyak hal adalah teknologi kekuasaan itu sendiri yang bertujuan untuk penguasaan atas publik.
Dan bisa disaksikan bahwa, kata ini, istilah dan defenisi ini: Covid-19, sepanjang tahun 2020, terus di-citra-kan, diberi bentuk dan dikonstruksi melalui beragam wacana, baik oleh media, orang, institusi/aparatus negara/mesin birokrasi, netizen hingga para ahli mikrobiologi dan medis, juga para pihak yang dilibatkan negara dalam proyek besar penanganan Covid-19. Citra tentang virus ini diwacanakan dan ditransfer melalui pengetahuan (wacana) yang ditopang oleh
4 Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 kekuatan mesin inforamsi dan tekno-sains era digital yang demikian power full. Akibatnya adalah, publik yang menginternalisasi wacana-wacana tersebut dan cenderung mempercayainya sebagai ritus-ritus kebenaran tanpa sikap kritis akhirnya menertibkan dirinya. Padahal, ketika itu terjadi maka kesadaran publik rentan dimanipulasi untuk tujuan-tujuan lain di luar kepentingan pengendalian atas virus ini.
Memasuki tahun 2021, keadaan belum juga berubah. Pada tanggal 21 Januari 2021 misalnya, Kompas menulis, kasus Covid di seluruh dunia sudah menyentuh angka 97,2 juta kasus. 2,08 juta orang meninggal. Untuk Indonesia, per 30 Januari 2021, jumlah kasus Covid-19 telah menyentuh angka satu juta yaitu angka keramat yang oleh media dilukiskan sebagai “peristiwa besar”. Persisnya adalah 1.066.313 orang yang tersebar di 34 provinsi (Www.Covid19.Go.Id, Per Tangga 31 Januari 2021). Berita kematian ribuan orang di India, dan simpang-siur informasi tentang kembali naiknya angka penyebaran Covid di banyak negara turut meneror penduduk dunia dan Indonesia di masa itu. Publik tanah air hanya bisa berharap pada efektifitas Vaksin yang sudah mulai disuntikan.
Komunikasi dan interaksi sosial yang begitu kacau, panik dan penuh ketakutan selama masa pandemi, adalah gambaran lain tentang ke-tak-berdaya-an manusia modern di hadapan krisis/bencana. Selain komunikasi yang kacau balau karena terdistorsi oleh hoax, kepercayaan masyarakat pada kemutakhiran teknologi, kemajuan sains dan kehebatan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, juga seolah runtuh. Ketika para ahli viriologi kebingungan selama berbulan-bulan mencari vaksin. Juga ketika para dokter ahli putus asa dan buntu dalam mencari solusi medis terbaik guna menangani para pasien Covid-19 yang kritis, sehingga berujung kematian jutaan orang, keunggulan sains di bidang kesehatan memang mulai diragukan.
Pandemi bahkan membuat rasionalitas manusia, keunggulan sains, kemajuan IPTEK, dan kecanggihan peradaban abad XXI yang menjadi buah filsafat kesadaran atau filsafat subjek (rasionalisme) yang begitu diagungkan sejak Filosof Rene Descartes dan berpuncak pada pencapaian luar biasa dalam proyek besar bernama modernitas, mulai dipertanyakan. Sebuah situasi yang benar-benar merefleksikan tentang “dilema usaha manusia rasional”(Sindhunata, 1982). Dilema terjadi karena ternyata sistem masyarakat industri maju atau masyarakat modern (masyarakat kapitalis lanjut), yang selama ini begitu dikagumi, dirayakan dan dipercaya sebagai pencapaian tertinggi peradaban manusia modern, justru tak berdaya hanya di hadapan mikroorganisme bernama virus: Covid-19.
Revolusi teknologi, revolusi komunikasi di era digital, teknologi medis modern dan sains di bidang mikrobiologi yang diklaim sudah sangat maju karena mengadopsi metode artificial intelligence dan membuktikan bahwa peradaban manusia sudah sangat maju dan canggih, ternyata tidak berdaya di hadapan pandemi. Kecanggihan abad XXI dipertanyakan, bukan karena kekurangannya
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 5 dalam memuaskan hasrat manusia modern akan fitur-fitur tekno-sains, tetapi karena terbukti gagal memproteksi manusia dari serangan mikroorganisme. Kecanggihan itu gagal menjamin superioritas manusia atas alam. Mitos baru sejak era revolusi industri bahwa manusia sudah menjadi tuan atas alam ternyata keliru. Sebab, manusia bahkan belum sanggup menjadi tuan atas mikroorganisme bernama virus dan bakteri.
Rasionalitas manusia juga mendapat ujian sepanjang pandemi. Di mana, majunya peradaban manusia, ternyata tidak berbanding lurus dengan kemajuan tingkat rasionalitas manusia. Selama pandemi, mitos-mitos baru tentang virus bebas diciptakan dan menyebar luas tanpa kendali. Kabar bohong/hoax, dan fake news menerjang tanpa henti. Dan anehnya, informasi jenis ini justru lebih dipercaya. Banyak orang menggunakannya sebagai sumber rujukan (kebenaran). Komunikasi lalu sangat terdistorsi dan kepanikan terus berlipat ganda dari waktu ke waktu. Ketika kepanikan, keresahan, ketakutan, serta trauma massal menyebar begitu cepat karena benteng terakhir rasionalitas manusia berhasil dibobol, maka yang terjadi kemudian adalah pandemi baru di luar pandemi corona.
Artinya, pandemi mengungkap sisi lain revolusi teknologi komunikasi era digital dan kebebesan berkomunikasi manusia modern yang selama ini dirayakan sebagai buah demokrasi dan jalan mewujudkan emansipatori (pembebasan) atas manusia. Kecanggihan teknologi dan kebebasan berkomunikasi justru terkonfirmasi menjadi kelemahan baru modernitas yang “menikam balik” manusia. Kecanggihan sains era digital abad XXI dan demokrasi berkomunikasi ternyata memproduksi kemajuan sekaligus bahaya. Bahanya adalah kelimpahan informasi yang membuat panik dan gaduh massal. Manusia yang diterjang miliaran informasi tanpa henti, terutama informasi daring hasil pelintiran dan hoax di media sosial, kemudian menjadi lelah dan frustrasi bahkan berujung kematian. Itulah krisis atau pandemi baru yang lahir di masa pandemi, yaitu pandemi kepanikan massal.
Jadi, pandemi bukan hanya masalah patologis medis semata. Pandemi adalah sebuah krisis sekaligus anomaly sosial yang mengoreksi secara radikal seluruh bidang kehidupan manusia modern. Mulai dari bidang sosial, politik, hukum, ekonomi, keamanan, budaya, religiositas hingga psikologis. Covid-19 bahkan meredefinisi status dan peran sosial setiap individu/kelompok. Itu dibuktikan dengan fakta bahwa selama pandemi, setiap orang teridentifikasi memiliki kemampuan antisipasi yang berbeda-beda. Sangat bergantung pada kapabilitas atau modal (sumber daya) yang mereka miliki.
Meminjam Pierre Bourdieu (Haryatmoko, 2016) modal/capital atau sumber daya adalah entitas yang berkaitan dengan modal ekonomi yaitu sumber daya yang menjadi sarana produksi dan sarana financial. Juga modal budaya, modal sosial serta modal simbolik. Di mana, sepanjang masa Pandemi bisa disaksikan secara
6 Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 empirik bahwa, modal/capital inilah yang menjadi variabel penentu daya tahan setiap orang. Modal/sumber daya menjadi penentu bagaimana orang bereaksi dan atau berjuang mengarungi pandemi. Mereka yang punya cukup modal (kapasitas) dan sumber daya, bisa mengarungi masa-masa pandemi dengan tenang dan penuh optimisme. Misalnya mereka yang punya cukup modal pengetahuan dan ekonomi, pandemi dihadapi sebagai oportuniti baru. Banyak peluang bisnis baru dimunculkan dari sana. Pandemi memicu kreatifitas yang belum pernah ada sebelumnya.
Sebaliknya, bagi mereka yang tidak memiliki cukup modal pengetahuan, modal sosial hingga modal ekonomi, Pandemi adalah masa-masa penuh frustrasi. Pandemi adalah pemicu stress bahkan keterpurukan secara ekonomi, sosial maupun psikologis. Kurangnya modal pengetahuan misalnya, membuat orang menjadi tidak kritis, tidak punya fleksibilitas berpikir, dan tidak memiliki kemampuan bernalar secara rasional, dalam menghadapi berita media dan miliaran informasi di media sosial. Mereka ini umumnya termakan informasi hoax yang melipatgandakan rasa takut, menjadi stress, panik, depresi bahkan jatuh sakit hingga berujung kematian karena imun tubuhnya drop.
Meski demikian, jika didekonstruksi, krisis global ini tidak hanya bermakna biner: hitam-putih/baik-buruk. Ada banyak hal unik dan menarik lainnya yang hadir di pusaran pandemi. Di tengah rasa takut pada virus ini, ada sisi-sisi antara, misalnya pengalaman humanis dan membahagiakan yang dialami banyak keluarga. Banyak keluarga yang sejak lama merindukan quality time bersama orang-orang tersyang, menjadi bahagia karena bisa berlama-lama hidup hidup bersama secara lengkap. Anak, istri dan suami selama berbulan-bulan bisa bersantai, menikmati makan bersama, doa keluarga, dan olahraga, jalan santai di pagi dan sore hari dengan menaati Prokes, hingga nonton film bersama. Dalam hal ini Pandemi telah menjadi karunia. Sebuah blessing in disguise atau kejutan membahagikan di tengah teror kematian dan rasa takut.
Para Ibu juga mengalami hal yang mirip. Mereka umumnya frustrasi karena harus menjadi guru dadakan dan menghadapi kenakalan anak-anaknya yang sedang stress karena lama tinggal di rumah. Kalimat nyinyir penuh sarkasme dan sindiran yang dipsoting para ibu di twiter dan Facebook untuk para guru adalah bukti nyata betapa para ibu memang sangat frustrasi selama pandemi. Para pekerja yang dirumahkan juga setali tiga uang. Mereka ini terguncang secara psikis, dan menjadi stress karena di-PHK. Ekonomi keluarga mereka pun berantakan. Beberapa studi melaporkan bahwa kelompok perempuan dan anak paling banyak mendapat ketidakadilan dan diskriminasi. Penelitian Gadis Arivia mencatat soal ini. Kasus kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan dan kekerasan seksual meningkat tajam sejak Maret 2020 (Arivia, 2020).
Kajian lain yang teridentifikasi melakukan studi tentang dampak pandemi Covid-19 menunjukan, Covid juga sangat berdampak pada bidang ekonomi,
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 7 pendidikan dan kesehatan. Misalnya penelitian tentang dampak covid-19 terhadap ekonomi Indonesia (Yamali & Putri, 2020). Temuan dalam kajian ini adalah bahwa Pandemi berdampak pada penurunan perekonomian nasional. Kajian tentang dampak pandemi pada bidang Pendidikan juga menunjukan hal yang sama. Kajian ini menemukan adanya hubungan antara kemampuan berpikir kritis mahasiswa dengan penggunaan media sosial di masa pandemi (Nadeak, Juwita, Sormin, & Naibaho, 2020). Di bidang Pendidikan, terkonfirmasi bahwa Covid-19 sangat berdampak pada kegiatan belajar mengajar (Amalia & Sa’adah, 2020). Selain itu, ada juga kajian yang berkaitan dengan keberfungsian sosial di masa Normal Baru/New Normal (Apriliani, Wibowo, Humaedi, & Irfan, 2020).
Tetapi, di tengah banyaknya kajian tentang masalah sosial, politik, ekonomi, dan psikologi di pusaran pandemi Covid-19, studi dengan perspektif kritis masih sangat minim dan tidak banyak ditemukan. Padahal studi kritis untuk membongkar kesadaran palsu yang dihayati publik di masa pandemi karena teralienasi metanarasi pandemi ini serta bagaimana ideologi-ideologi disebarkan lewat tindakan, wacana dan symbol untuk menghegemoni dan mendominasi public, adalah sesuatu yang sangat penting dilakukan. Tujuannya adalah untuk mewujudkan emansipatori (pembebasan) terhadap masyarakat dari manipulasi-manipulasi ideologis. Dari sanalah, akan muncul perspektif-perpektif akademik alternatif, nilai-nilai, makna-makna baru, dan pengetahuan kritis yang membebaskan (emansipatori) bagi publik. Ini penting dilakukan untuk sebuah antisipasi dan memastikan kesigapan menghadapi krisis dan pandemi berikutnya di masa depan.
Untuk itu, kajian ini akan coba berkontribusi. Kebaruan studi ini adalah pada metodenya yaitu dengan perspektif kritis untuk membongkar dominasi, dan hegemoni serta manipulasi ideologi yang dikreasikan para aktor dan kemudian menyusup di balik metanarasi pandemi Covid-19 ini. Kebaruan lainnya adalah pada cara kerja analisis kajian ini, yaitu dengan kerangka kerja dekonstruksi (Hardiman, 2015). Di mana, dengan kerangka kerja dekonstruksi, studi ini akan berupaya membaca metanarasi Pandemi Covid-19 dan segala problem sosial yang hadir di dalamnya, secara berbeda, spesifik dan lebih mendalam. Tujuannya adalah untuk menangguhkan logosentrisme atau makna-makna tunggal di pusaran pandemi Covid-19 yang sudah terlanjur diafirmasi oleh masyarakat umum sebagai kebenaran. Padahal hanya kebenaran di permukaan; Bahkan, bisa saja, hanyalah kebenaran-kebenaran palsu yang sengaja disuntikan pihak tertentu dalam rangka penundukan dan penguasaan. Lebih spesifik lagi, studi ini akan coba membongkar metanarasi (narasi besar) Pandemi Covid-19 agar makna-makna tersembunyi dalam interaksi sosial dan komunikasi di pusaran Pandemi ini bisa disingkap.
Masalah dan pertanyaan penelitian ini adalah, bagaimana dominasi, hegemoni, imaji teror, dan hysteria massal/histerya publik, berlangsung dalam
8 Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 interaksi sosial dan komunikasi di masa Pandemi? Kajian ini berpandangan bahwa sebagai sebuah teks sosial budaya yang terbuka, juga sebagai sebuah hasil konstruksi sosial, Pandemi dan Proyek besar negara dalam penanganan pandemi ini terbuka juga untuk dibedah dan di-interpretasi. Dengan cara baca kritis (Hardiman, 2018a), yaitu dekonstruksi, diharapkan dapat membongkar momen-momen manipulasi, dominasi dan hegemoni yang beroperasi dalam interaksi sosial dan komunikasi selama Pandemi. Termasuk di dalamnya adalah membongkar bio power, histeria publik, imaji teror, dan kekerasan simbolik, yang berlangsung dan dialami masyarakat selama pandemi. Kajian ini akan konsen pada serangkaian unit analisis, yaitu: mekanisme bio power oleh Michel Foucault, histeria publik, operasi imaji teror dalam pandangan Jurgen Habermas dan Jaques Derrida, serta kekerasan simbolik Pierre Bourdieu dengan menggunakan kerangka kerja ‘dekonstruksi’.
Artinya, dekonstruksi akan menjadi tool analysis untuk mengurai dan menjelaskan obyek dan subyek kajian ini. Terminologi dekonstruksi sendiri diperkenalkan oleh Jaques Derrida (1930-2004), seorang filsuf Prancis, dengan maksud untuk menentang dominasi logosentrisme Eropa dan dunia yang cenderung memaknai realitas/fenomena (teks sosial budaya) secara tunggal dan absolut melalui kuasa fungsi bahasa (Al-Fayyadl, 2005). Dekonstruksi berasumsi bahwa, realitas sosial sebagaimana Pandemi Covid 19 merupakan teks sosial yang terbuka, sehingga terbuka kemungkinan untuk berbeda makna dalam pembacaan (interpretasi) yang beragam.
Dekonstruksi bisa dipahami sebagai cara membaca teks secara interpretatif atau katakanlah_suatu hermeneutika dengan cara radikal. Caranya adalah dengan me-nangguh-kan makna asli teks yang menjadi tolok ukur utama, indikator atau kriteria. Sehingga kita sebagai seorang peneliti atau ilmuwan sosial, bisa membaca teks tersebut dalam konteks yang berbeda-beda secara arbiter. Dan memungkinkan juga untuk menafsirkan makna teks itu sampai ke titik tidak terhingga. Dalam hal ini, dengan cara kerja Dekonstruksi, interaksi sosial dan arsitektur komunikasi di masa Pandemi akan dibaca atau di-hermeneutika secara radikal, agar keberagaman/kemajemukan (polisemi) makna teks sosial ini bisa disingkap. Dari sana, pluralisme perspektif dan sudut pandang bisa dimunculkan untuk memberi pemahaman baru tentang makna-makan tersembunyi atau yang termarginalisasi di balik hiruk-pikuk pandemi ini. Demi mencerahkan dan mengemansipatori publik.
Sebab, prinsip dekonstruksi adalah makna asli teks bukan satu-satunya makna, tetapi hanyalah salah satu jejak makna yang hadir. Dalam hal ini makna asli teks tersebut telah ditangguhkan. Atau dengan kata lain, makna teks itu tidak hadir dan juga tidak -tidak -hadir, melainkan hanya menunjukan dirinya sebagai “trace” (jejak). Dengan cara baca Dekonstruksi ini, pembacaan terhadap fenomena Pandemi Covid-19 akhirnya tidak mengikuti cara interpretasi konvensinal. Tetapi
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 9 peneliti dengan beragam konsep dan teori sebagai basis argumentasi ilmiah akan coba melakukan pelintasan-batas interpretasi. Meskipun interpretasi tersebut tetap dilakukan di dalam konteks teks sosial pandemi dan selalu melalui teks tersebut.
Ringkasnya, realita interaksi sosial dan arsitektur komunikasi selama pandemi akan direkonstruksi dan direfleksikan, bahkan dikritik dan digugat. Sebab, sebagai hasil konstruksi sosial, realita-realita dalam fenomena pandemi perlu dirombak (dekonstruksi) dan diciptakan kembali (rekonstruksi), untuk menyingkap makna-makna tersembunyi di baliknya, meski hanya sebatas interpretasi ilmiah yang tetap berbasiskan pada data/fakta dan bantuan teori/konsep ilmiah. Tujuannya adalah agar bisa melampaui makna-makna asli yang nampak di permukaan dan terus menunda makna final, kriteria, penilaian serta keputusan. Dari sana, kajian ini akan memunculkan polisemi makna alternatif untuk emansipatori publik. Tapi dengan selalu berpegang pada prinsip falibilisme bahwa, temuan-temuan tersebut bisa salah. Atau, bukanlah sebuah kebenaran absolut dan final, sehingga selalu terbuka untuk digugat, diperbaharui dan dikritik oleh kajian berikutnya di masa depan.
Kajian ini dilakukan dengan bertumpu pada paradigma penelitian kritis. Penelitian kritis merupakan satu di antara 2 paradigma penelitian ilmu sosial lainnya, yaitu paradigma penelitian positivis dan interpretatif (Newman, 2000). Kajian kritis bertujuan untuk membangun dan memberdayakan kesadaran dan tindakan kritis subyek penelitian guna menghadapi berbagai problem sosial kemasyarakatan (Connole, H., Smith, R. J., & Wiseman, 1995). Diawali dengan mengidentifikasi ragam ketimpangan sosial yang diakibatkan oleh hegemoni kekuasaan kelompok-kelompok yang berkuasa, merangsang kesadaran kritis masyarakat, dan merumuskan tindakan pemecahan masalah yang nantinya berdampak pada perubahan sosial masyarakat agar menjadi lebih adil dan sejahtera.
Paradigma kritis berorientasi pada upaya emansipatoris (pembebasan) umat manusia dari belenggu praktik kekuasaan ideologis. Sebagaimana visi kajian ini adalah untuk memberi alernatif pemikiran kritis dan praksis tindakan untuk mewujudkan situasi emansipatori (pembebasan) di tengah masyarakat. Karena selama pandemi, masyarakat diasumsikan mengalami banyak momen dominasi dan hegemoni sebagai akibat praktek manipulasi ideologis. Kajian kritis ditandai oleh metode berpikir kritis di mana, terdapat 6 sub-kemampuan yang menjadi inti metode berpikir kritis (Facione, 1990). Yaitu: 1) Interpretasi, meliputi kategorisasi, menguraikan arti, dan klarifikasi arti, 2) Analisis, meliputi pengujian pendapat, mendeteksi, dan menganalisa alasan, 3) Evaluasi, meliputi menaksir/menetapkan pernyataan atau alasan, 4) Inferensi, meliputi menanyakan fakta/keterangan/bukti, memperkirakan alternatif, dan menggambarkan kesimpulan, 5) Eksplanasi, meliputi menetapkan hasil, menyuguhkan prosedur,
10 Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 menunjukkan alasan, dan 6) regulasi, yang meliputi pengujian/pemeriksaan diri dan koreksi diri.
Dimensi metode berpikir kritis mencakup teori sekaligus praksis, tidak sebatas deskripsi statistik dalam paradigma positivis maupun desktriptif naratif sebagaimana paradigma interpretatif.Obyek kajian studi ini adalah realitas hubungan dan interaksi sosial, serta bangunan tindak-tutur komunikasi selama pandemi Covid-19.Subyek kajian (informan/narasumber) ditentukan melalui purposive sampling, sehingga memudahkan peneliti menentukan informan, dokumen dan bahan kajian yang sesuai dengan kepentingan penelitian. Prioritas teknik pengumpulan data kajian bertumpu pada:1) Observasi (pengamatan) yang terdiri dari 2 tipe, yaitu observasi partisipasi, yang mana peneliti turut terlibat/punya pengalaman langsung terhadap realitas pandemi ini sejak awal dietapkan sebagai pandemi oleh WHO, juga observasi non-struktur, yang mana peneliti melakukan pengamatan insidental (tanpa persiapan sebelumnya). 2) Wawancara mendalam untuk mendapat informasi sedetail dan sedalam mungkin secara acak. 3). Studi dokumen dengan cara mempelajari semua dokumen seperti artikel, berita, dan informasi seputar pandemi Covid-19 sebagaimana tuntutan paradigma kajian kualitatif yang menekankan kedalaman pengumpulan data yang berguna bagi kedalaman analisis/pembahasan obyek kajian.
Sistematisasi proses analisis data kajian ini menggunakan model Miles dan Huberman, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Ketiga cara ini berkaitan satu sama lain sebagai sebuah kesatuan analisis yang berjalan bersamaan membentuk satu wawasan umum tentang obyek kajian (Silalahi, 2009).
Locus kajian dilakukan secara nasional.Rentang waktu kajian adalah sejak
diberlakukan status darurat pandemi di Indonesia hingga awal tahun 2021.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bulan-bulan awal masa Pandemi, respon psikologis warga teridentifikasi sangatlah beragam. Ada warga yang karena ketakutan, nekat berbelanja ke Mall dengan mengenakan APD lengkap di tengah minimnya APD di rumah-rumah sakit. Anak-anak sekolah yang harus tinggal sangat lama di rumah, menangis karena menahan rindu pada suasana sekolah dan teman-teman mereka. Para pekerja yang diwajibkan melakukan work from home merasa aneh dan bingung. Bangun kesiangan bahkan lupa hari dan tanggal menjadi hal aneh yang merasa alami. Guru, dosen juga ASN mengalami hal yang sama karena lama tidak ke kampus dan kantor.
Yang juga unik adalah, jika biasanya korban-korban kecelakaan lalu-lintas akan ditolong warga, di masa pandemi justru sebaliknya. Korban kecelakaan dibiarkan tergeletak dan menjadi obyek tontonan warga karena phobia pada penyebaran virus Covid. Tetangga yang bergejala flu juga menjadi korban
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 11 persekusi dan dijauhi. Di Kabupaten Sikka, NTT, ada cerita unik, banyak penumpang kapal Lambelu nekat melompat ke laut karena kapal hendak dijadikan rumah karantina di tengah laut bagi 133 penumpang karena dicurigai terpapar Covid.
Cerita aneh tapi lucu lainnya adalah tentang desa yang salah menulis pengumuman di portal penjagaan desa dengan kata: download yang seharusnya adalah: “Desa ini sedang di-lockdown!” Juga kisah menghebohkan tentang aksi bullying terhadap para pasien covid, ODP dan PDP di berbagai wilayah. Misalnya aksi bullying netizen terhadap pasien 01 di NTT yang dituduh mengais citra dan polpularitas dari statusnya sebagai pasien 01 Covid-19 di Provinsi kepulauan ini. Ia dituduh ingin tenar demi mendapat subscriber di kanal Youtube. Selain itu, irasionalitas juga terjadi selama pandemi. Di banyak tempat, orang memakai masker saat ke Mall, Gereja, Masjid, dan kantor, tetapi saat bertandang ke rumah keluarga, atau menghadiri acara makan bersama sahabat, pesta keluarga atau resepsi nikah, dll, orang justru tidak bermasker dan menjaga jarak. Mereka berpikir simple, virus tidak menyebar di tengah keluarga besar dan para sahabat. Akibatnya adalah, banyak orang terpapar Covid karena mereka lupa bahwa virus ini tidak mengenal status, jabatan dan hubungan kekerabatan manusia.
Pandemi juga melahirkan nuansa mitis-magis yang menyebar di banyak wilayah. Selama pandemi, mitos-mitos baru bermunculan karena virus Wuhan ini dipercaya sebagai kutukan para leluhur dan para dewa. Banyak desa dan kampung di Flores, Kalimantan hingga pulau Jawa, melakukan ritual mitis-magis, ruwatan bumi, dan upacara-upacara tolak bala penghalau virus. Penduduk kampung percaya bahwa leluhur dan dewa akan melindungi mereka dari pandemi. Dan anehnya, dalam beberapa kasus, hal ini terbukti mujarab. Desa-desa di beberapa tempat di Flores misalnya, bebas Covid setelah upacara. Meskipun mungkin karena tidak ada tes masal di sana. Artinya, agama-agama lokal dan kepercayaan-kepercayaan tradisional memang kembali menguat selama pandemi. Masyarakat yang sedang panik, bingung dan kehilangan pegangan, coba meraih pegangan untuk menenangkan ketakutan, dan para leluhur dan dewa adalah pegangan yang paling dekat dengan hidup mereka.
Fenomena menarik lainnya adalah protes keluarga pasien terhadap para Nakes karena menuduh para Nakes sengaja meng-Covid-kan keluarga mereka. Banyak Rumah Sakit diseruduk. Dalam video-video yanga kemudian viral, nampak para keluarga pasien terutama ibu-ibu, dengan lantang berteriak menyerang petugas medis (Nakes). Ada yang bahkan berani menyerang petugas secara fisik. Mereka menyebut para Nakes sebagai kumpulan para penipu. Ini menjadi bukti lain betapa Pandemi ini melahirkan banyak realita tragis dan unik. Dan yang lebih dramatis lagi adalah di Sulawesi Selatan, beberapa keluarga pasien Covid nekad mencuri jenasah keluarga mereka yang dikuburkan di lokasi khusus Covid. Mereka
12 Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 kemudian ditangkap dan dihukum pidana. Tidak hanya di Sulawesi, di tempat lain pun sama, ada keluarga pasien yang membawa paksa keluarga mereka yang sudah meninggal dari Rumah Sakit meski divonis positip Covid. Mereka menolak dikuburkan dengan protokol Covid.
Kepercayaan pada sains dan otoritas kesehatan seperti dokter, perawat dan petugas medis memang sempat berada di titik nadir. Selain karena publik sudah lelah dengan Prokes (protokol kesehatan), berita viral tentang petugas medis yang sengaja meng-covid-kan pasien demi mendapat keuntungan ekonomi, yang terjadi di beberapa tempat, menjadi pemicunya. Rumah sakit dituding sudah sangat industrial dan kapitalistis karena di balik derita dan kegetiran yang dirasakan publik akibat teror Covid, masih tega dan dengan darah dingin melakukan aksi cari untung. Masyarakat yang marah memang menyayangkan tindakan ini. Karena mempraktekan tindakan akumulasi modal di tengah masyarakat yang menderita dan terpuruk secara ekonomi dan psikologis adalah sebuah kejahatan atas kemanusiaan. Sebuah perilaku men-dehumanisasi manusia atau merendahkan martabat manusia hingga ke level hanya sebagai komoditas yang bisa dibarter demi akumulasi capital/modal.
Selain adanya aksi menunggangi pandemi demi akumulasi modal untuk keuntungan ekonomi, beberapa gambaran tentang realita tindakan dan interaksi sosial yang berlangsung di masa Pandemi Covid menunjukan kesan psikologis secara umum bahwa sikap warga memang sangat reaktif, ‘peka’ dan penuh hysteria selama pandemi. Sebuah kepekaan dengan sensitivitas yang belum pernah ada dalam sejarah. Orang umumnya menjadi sangat phobia dan begitu panik sampai-sampai sesamanya yang hanya bergejala influenza misalnya akan langsung dijauhi. Pasien bergejalah juga distigmatisasi dan mendapat predujice negatif.
Bahkan yang lebih tragis dan menyayat hati adalah terjadi aksi penolakan terhadap lokasi karantina pasien Covid bahkan jenasah pasien Covid. Kejadian tragis ini terungkap pertama kali saat adanya penolakan terhadap jenazah pasien Covid-19 yaitu Perawat Nuria Kurniasih. Sang Perawat yang wafat pada Kamis (9/4/2020), ditolak oleh Ketua RT dan warga sekitar untuk dimakamkan di TPU Sewakul, karena khawatir dapat menularkan virus corona. Padahal jenasah yang dikubur dengan prokes tidak berpotensi menularkan virus. Tapi itulah contoh nyata betapa pengaruh informasi yang salah, hoax, fake news juga pelintiran isu penuh rekayasa tentang Covid, telah mengubah tidak hanya cara hidup, tetapi juga cara orang memperlakukan sesamanya yang punya darah dan daging yang sama dengannya sebagai manusia.
Artinya, selama pandemi, kesesatan berpikir tercipta, bukan karena kurangnya informasi tentang covid-19. Tetapi karena tsunami informasi tentang covid-19 telah menjebol rasionalitas dan daya kritis warga. Hal ini lalu menghasilkan teror di kepala mereka sendiri karena diciptakan dari kengerian yang ber-lipat-ganda dalam kesadaran. Dalam keadaan yang demikian, akibat kesesatan
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 13 berpikir, paranonia sosial lalu kian menjadi-jadi dan histeria publik pun terbentuk. Histeria tercipta karena orang tidak sanggup lagi menahan beban mental dan beban pikiran. Contoh bagaimana warga bersikap tega saat menolak desa/kampung/wilayah mereka dijadikan lokasi karantina, juga tega menolak jenasah pasien Covid adalah bukti nyata betapa hysteria mendominasi akibat terdistorsinya komunikasi di tahun pertama masa pandemi.
Belum lagi karena hilangnya daya kritis, informasi dan istilah-istilah teknis kesehatan, yang bermigrasi dari breaking news TV, radio juga terutama media sosial, kemudian menular dari satu kepala ke kepala yang lain, secara ajaib bahkan mampu berubah menjadi teror yang sangat menakutkan. Orang takut bukan lagi kepada virusnya, tetapi menjadi sangat takut karena takut pada informasi. Informasi tentang jumlah kematian, jumlah ODP dan jumlah PDP, hingga istilah-istilah medis seperti zona merah, zona hitam, positip, karantina, rapid tes, Swab, PDP, ODP, suspect, dll, di awal masa pandemi adalah teror itu sendiri.
Karena itu, selain menjadi metanarasi (grand naratives) yang mendominasi ruang publik dan hidup manusia modern dalam satu tahun terakhir, Covid-19 juga menjadi entitas mikroorganisme yang dipersepsi paling mengerikan meneror serta mempenetrasi kesadaran manusia hingga ke titik batas. Pandemi adalah anomali sosial yang melahirkan banyak problem sosial baru yang menarik secara akademik untuk didiskursuskan. Berikut adalah ringkasan hasil kajian ini.
Mikhael Rajamuda Bataona
Tabel 1. Ringkasan Hasil Penelitian
No Analisis Hasil: Makna-makna Behindyang
tersingkap
1. Histeria Massal Masyarakat Tontonan: Ibarat “struktur imajiner”, pandemi mengkerangkeng dan mendeterminasi kesadaran, dan menentukan cara bereksistensi warga negara. Orang direduksi hanya sebagai objek tontonan. Korban Covid-19 distigmatisasi, dipersekusi, di-bully, dan Jenasah Covid pun ditolak, karena
14 Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22
2.
3.
Dekonstruksi atas realita Interaksi Sosial dan Komunikasi di masa pandemi untuk menyingkap jejak-jejak
makna yang
termarginalisasi/tersembunyi di balik metanarasi Pandemi
Covid-19.
manusia sudah diperlakukan sebagai
the others/yang lain (bukan manusia).
Terjadi histeria massal (hysteria publik) sebagai cerminan (refleksi) dari karakter/watak masyarakat tontonan (nation of spectator).
Pandemi Informasi dan Imaji Teror: Tsunami informasi selama pandemi melahirkan patologi sosial baru yang disebut Pandemi informasi. Pandemi informasi kemudian menciptakan imaji teror. Di mana orang melipatgandakan rasa takut, frustrasi, stress, dan trauma dalam pikirannya sendiri. Ini ditopang oleh ruang publik virtual yang sangat ber-setting dramatis bukan ber-setting diskursif. Facebook, twiter, WhatsApp dan IG, selama pandemi dijejali lolongan kepanikan dan histeria publik. Karena ruang publik virtual penuh sesak oleh hoax, sensasi, dan berita hasil dramatisasi. Ruang publik miskin watak diskursif (diskursivitas). Padahal pertahanan terbaik manusia saat krisis seperti pandemi, bukanlah isolasi atau physical/social distancing, melainkan informasi yang sehat.
Panopticon dan Kekerasan Simbolik: Negara sukses menerapkan panopticon sebagai teknik kekuasaan yang sangat impresif menertibkan masyarakat. Publik secara suka rela mendisiplinkan dirinya tanpa paksaan
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 15 (coersif) karena memproduksi sendiri pengetahuan yang menjadi bio-power dalam kesadaran yang mengendalikan tindakan mereka. Ritual-ritual dan symbol-simbol yang secara continue diperagakan apparatus negara adalah wujud lain dari tenik/strategi kekuasaan yang disebut sebagai kekerasan simbolik. Yaitu sebuah wujud kekerasan tanpa kekerasan, sebuah teknik kekerasan yang gentle karena beroperasi secara sangat halus dan lembut sehingga sangat ampuh menertibkan masyarakat.
Sumber: Hasil analisis data
Dengan cara kerja dekonstruksi, kajian ini akan membuktikan bahwa, pandemi adalah sebuah anomali sosial yang sangat menarik secara epistemic untuk didiskursuskan. Makna-makna tersembunyi yang akan disingkap dari balik metanarasi pandemi Covid-19, mengkonfirmasi suatu tesis akademik alternatif berkaitan dengan hiruk-pikuk pandemi ini. Bahwa pandemi tidak bisa direduksi ke dalam horizon berpikir ala logosentrisme. Hasilnya pun tidak bisa diringkas dan direduksi hanya ke dalam satu dua pernyataan. Sebab, tidak ada makna dan kebenaran tunggal di sana. Melakukan hal tersebut adalah sebuah kekeliruan akademik yang berbahaya sekaligus naif. Pandemi adalah fenomena sosial unik, dengan multi impact pada semua bidang kehidupan, sehingga membutuhkan pembacaan multi-perspektif dan multi-disiplin. Untuk itu berikut ini akan dipaparkan hasil kajian ini yang dilakukan dengan cara kerja dekonstruksi.
Histeria Massal Masyarakat Tontonan
Perubahan sikap dan perilaku manusia dalam berinteraksi dan berkomunikasi selama pandemi dipicu oleh kuatnya pengaruh pandemi pada kesadaran manusia. Bisa dikatakan bahwa pandemi Covid-19, yang ditopang oleh wacana media selama berbulan-bulan, kode-kode hukum, norma dan aturan serta berbagai regulasi dari otoritas negara dan aparatusnya untuk pengendalian virusnya, telah menjadi _untuk meminjam istilah kaum strukturalis_, sebuah “struktur imajiner” yang mencengkram, memayungi dan memagari gerak-gerik hidup warga, bahkan menentukan cara hidup dan bereksistensi mereka. Pandemi menjadi struktur imajiner yang sungguh powerfull selama berbulan-bulan di tahun 2020. Di mana
16 Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22
struktur imajiner ini, harus diakui sangat sukses mendominasi pikiran dan mempenetrasi kesadaran masyarakat luas. Dalam berinteraksi dan berkomunikasi, masyarakat dengan sadar maupun tanpa sadar, selalu dikendalikan dan diatur oleh struktur imajiner bernama pandemi ini.
Tesis Karl Marx (Warminski, 1995), bahwa: “It is not consciousness that determines life, but life that determines consciousness.” Yaitu, bukan kesadaran (masing-masing kita) yang menentukan kehidupan kita, tetapi kehidupan/lingkungan di sekeliling kita (struktur sosial), yang menentukan kesadaran kita, sedang mendapat signifikansinya selama pandemi. Bahwa kesadaran manusia yang dipercaya sebagai pusat otonomi subjek (manusia berkesadaran) justru teralienasi oleh struktur imajiner bernama pandemi. Setting sosial dan psikologis, plus setting diskursif dari pandemi ini (yaitu wacana-wacana dan informasi) sukses mempentrasi kesadaran dan mengendalikan tindakan sangat banyak orang. Tindakan masyarakat yang katanya berkesadaran, tidak lagi dilakukan dalam horizon kesadaran, melainkan dalam ke-tidak-sadar-an. Karena “struktur imajiner” tak kasat mata bernama pandemi ini sukses mempengaruhi dan terus mendeterminasi kesadaran masyarakat. Mulai dari cara berinteraksi dan berkomunikasi hingga cara bereksistensi mereka.
Tidak hanya itu, jika didekonstruksi lebih lanjut, tersingkap juga alasan mengapa antisipasi sosial yang dilakukan setiap orang dalam berinteraksi dan berkomunikasi menjadi begitu beragam, berubah total dan bahkan cenderung di luar nalar. Itu terjadi karena pandemi ini dipersepsi sebagai soal hidup-mati. Artinya, yang menjadi core atau alasan inti dan paling mendasar dari perubahan perilaku manusia dalam hubungan antarsesama adalah orang “takut mati dan takut tertular.”
Takut mati adalah“ur motif” atau motif paling pubra (motif paling dasar), yang dimiliki setiap manusia. Karena itu, ketika publik yang sudah menginternalisasi begitu banyak informasi tentang betapa mengerikan dan mematikannya virus ini, akan secara otomatis menjadi protektif, bahkan reaktif dan kadang bersikap tega. Sebuah bentuk antisipasi sosial-psikologis yang memang logis dan masuk akal.
Hanya saja dalam banyak kasus, menjadi sangat ekstrem dan berbahaya karena moral dan etika diabaikan. Di mana, manusia lain (sesama) diperlakukan seolah-olah bukan lagi manusia. Di awal masa pandemi, orang yang berstatus positip Covid, ODP, dan suspect, misalnya, adalah aib mengerikan bagi masyarakat. Mereka yang dilabeli sebagai pasien positip, atau Orang Dengan Gejala (suspect), dan juga Orang Dalam Pantauan (ODP) ini, di banyak tempat terus dipersekusi bahkan direduksi hanya sebagai objek tontonan saat video-video viral mereka dibagikan. Status yang mereka terima secara medis lalu sekaligus menjadi stigma, labeling dan stereotype yang harus mereka “pikul sebagai salib”. Perundungan dan bullying adalah hal pertama yang pasti mereka terima. Dan terkadang, mereka ini direndahkan hingga ke level yang paling marginal
seolah-Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 17 olah mereka bukan lagi manusia.
Jadi, tidak hanya korban kecelakaan lalulintas yang dibiarkan menjadi objek tontonan, orang yang disebut sebagai pasien positip, dll, adalah objek diskriminasi selama bulan-bulan awal masa pandemi. Mereka ini, menjadi malu dan takut muncul ke publik karena stigma dan stereotipe. Stigma negatif sebagai pembawa penyakit, hingga diperlakukan sebagai “yang lain” atau “the others” dalam masyarakat adalah “beban mental” yang harus mereka terima. Akibatnya adalah banyak yang menjadi depresi hingga berujung kematian karena tertekan secara psikis. Dalam hal ini, mereka sudah menjadi korban dua kali. Pertama adalah sebagai korban penyakit (virus). Dan kedua, sebagai korban bullying, persekusi dan diskriminasi sosial.
Dalam situasi horor semacam ini, yang berkaitan dengan soal mati-hidup, manusia memang bisa melakukan banyak hal tak terduga di luar nalar dan kebiasaan peradaban manusia. Menolak jenasah pasien Covid menjadi contoh sikap ekstrim tersebut. Juga membiarkan korban kecelakaan lalu lintas terkapar, mencuri jenasah pasien Covid, hingga membawa paksa jenasah keluarga yang meninggal karena Covid dari Rumah Sakit serta melakukan ritual tolak bala penghalau virus adalah fakta-fakta empiris yang menunjukan bahwa memang jarang ada ancaman penyakit yang begitu menakutkan dan membuat panik secara massal. Ancaman penyakit yang meneror dan memanipulasi kesadaran begitu banyak orang hingga ke titik batas.
Pertanyaannya adalah mengapa pandemi ini menjadi begitu menakutkan? Bukankah di masa lalu, manusia juga sudah pernah menghadapi pandemi yang lebih mematikan? Jawabannya adalah karena di era ini, era demokrasi informasi dan ditopang oleh kekuatan tekno-sains komunikasi digital, informasi-informasi tentang pandemi sengaja diaktualisasi media dan orang/aktor-aktor di media sosial/daring, dengan cara di-dramatisasi secara spektakuler, dan direduksi hanya menjadi “tanda-tanda” (pesan) yang makna-nya ambigu ketika tiba pada persepsi publik. Akibatnya yang terjadi kemudian adalah keresahan dan kepanikan tercipta di mana-mana, dimulai dari dalam persepsi publik. Ketika masyarakat (publik) me-resepsi informasi-informasi jenis ini, mereka menjadi jenuh dan panik sehingga muncullah reaksi-reaksi di luar nalar.
Artinya, secara kritis bisa diungkap di sini bahwa, Covid-19 sebagai pesan utama dalam komunikasi, entah daring dan mainstream, selalu di-olah, di-kemas dan di-konstruksi dalam model yang selalu penuh dramatisasi dan bahkan harus spekatakuler. Judul-judul berita dan istilah-istilah media, seperti “Covid kian menggila,” “Jakarta Zona merah”, “Surabaya Zona Hitam,” “Mayat Pasien Covid Bergelimangan di India”, “Kematian pasien Covid sungguh mengerikan,” “4000 orang Covid mati dalam sehari di India”, hingga “Jutaan orang sudah Meninggal karena Covid,” atau “Ribuan orang terpapar Covid di Jakarta,” adalah
model-18 Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 model wacana yang memberi efek dramatis, tragis dan penuh sensasi pada persepsi publik. Efek kejut, yang membangkitkan imaji kengerian serta rasa gentar di dalam persepsi publik membuat bahaya pandemi ini berpindah dari sekedar virus ke level berikutnya yaitu teror. Dalam hal ini terungkap bahwa, sepanjang pandemi, publik sebenarnya tidak banyak meresepsi/membaca/mendengar fakta mentah dari sebuah peristiwa. Karena isi pesan komunikasi media selalu di-kalahkan oleh pe-ngemas-an pesan atau dramatisasi. Pengemasan penuh dramatisasi ini sengaja diatur oleh para produser informasi, atau aktor media sosial yang punya tujuan ekonomi-politik di sana.
Orang yang dibuat terkejutkan oleh breaking news dan head line berita, juga berita viral di media sosial, kemudian dipaksa untuk terus mengikuti informasi dari jam ke jam, dari hari ke hari dan melompat tanpa henti dari satu informasi ke informasi lainnya tentang Covid. Mereka ini kemudian umumnya frustrasi dan lelah. Karena sebagai makluk yang selalu butuh pegangan, “kepastian” adalah jenis pegangan yang sangat dirindukan manusia dalam suasana krisis seperti pandemi. Di mana, saat dikepung oleh ke-tidakpasti-an, juga rasa takut yang begitu mencekam, sebagai makluk yang selalu butuh pegangan, manusia lalu berusaha meraih informasi apa saja yang lewat di depannya tentang Covid demi memenuhi hasrat ingintahunya juga sedikit mengimunisasi ketakutannya.
Prinsipnya adalah asalkan itu bisa menjadi “pegangan”, informasi itu pasti dicaplok. Padahal, dalam situasi seperti itu, orang sangat rentan dimanipulasi dan digiring seperti domba. Mempercayai hoax dan informasi sampah yang dimanipulasi para aktor media sosial adalah contohnya. Informasi yang sengaja diberi bumbu-bumbu kepastian (pelintiran), adalah jenis informasi yang banyak diburu publik. Misalnya, isu viral tentang obat anti Covid, mulai dari air kelapa, minyak kelapa, darah ular, hingga obat-obat antibiotik yang dijual bebas di apotik. Itu semua adalah manifestasi dari kebutuhan akan “pegangan” itu. Ibarat “agama baru,” hoax tentang obat-obat anti Covid ini menjadi sangat digandrungi dan dipercaya, karena menawarkan kepastian tentang obat anti Covid bagi publik yang sedang kebingungan.
Fenomena ini terkonfirmasi di bulan-bulan awal masa pandemi, di mana ke-ingintahu-an orang akan informasi tentang Covid memang luar biasa. Terutama informasi soal obat anti Covid, cara menanggulangi penyebaran Covid, dll. Keingintahuan itu ibarat sebentuk disposisi batin yang siap mencaplok apa saja yang lewat di depannya. Akibatnya, orang menjadi kalap dan cenderung meresepsi apa saja yang lewat, termasuk informasi-informasi sampah dan tidak bermutu. Inilah alasan mengapa orang yang paling mudah termakan gossip, rumor dan hoax selama pandemi adalah justru mereka yang selalu ingin tahu. Hasrat untuk selalu menjadi yang pertama tahu lalu membagikan informasi cepat saji (instan) tanpa sikap kritis adalah kelemahan mentalitas yang sudah menjerumuskan begitu banyak orang sepanjang pandemic. Padahal, dari situlah stress dan kepanikan
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 19 meningkat. Artinya, terkonfirmasi bahwa logika kecepatan media dan logika instan pemirsa/audiens/pembaca memang benar-benar bertemu selama pandemi.
Selain itu, media sosial juga terkonfirmasi cenderung menjadi panggung pernyataan eksistensi diri sepanjang pandemi. Misalnya mengapa orang berlomba-lomba melakukan uploading, chatting hingga postingan tentang Covid-19. Itu karena mereka ingin menyatakan eksistensi. Di mana mereka lupa bahwa bahaya baru yang bisa muncul di sana adalah pandemi hoaks. Yaitu menyebarnya informasi penuh sensasi, dan drama yang membanjiri media sosial selama berbulan-bulan. Hal ini terjadi karena orang merasa bahwa melalui postingan, tweet, upload, hingga share, mereka bisa pamer dan sekaligus memenuhi kebutuhan akan pengakuan sosial. Dan melalui ruang publik virtual ini, pernyataan eksistensi itu seolah-olah terpenuhi. Padahal itu hanyalah bentuk ekspresi ego yang sedang krisis. Dan dampak dari tindakan ego-ego yang krisis ini adalah lahirlah kepanikan massal, keresahan hingga ketakutan yang menyebar luas tanpa bisa dibendung.
Selain itu, Citra Covid-19 sebagai “penyakit mematikan,” “sangat berbahaya,” “ganas” dan citra-citra hiperbolik lainnya adalah hasil konstruksi otoritas negara, juga framing media serta konstruksi para pegiat media sosial, yang punya kepentingan ekonomi-politik tapi berdampak sangat luar biasa pada kesadaran publik. Citra Covid-19 sebagai “virus sangat mematikan” misalnya, adalah pemicu kepanikan nomor satu. Istilah “sangat mematikan,” ini bukanlah sekedar sebuah pesan yang memberi gambaran tentang Covid. Tapi lebih dari itu adalah sebuah citra. Citra ini awalnya dikonstruksikan oleh media atau apparatus negara dan otoritas kesehatan, kemudian dinegosiasikan, dan dipenetrasikan ke benak publik lewat berita viral di ruang publik virtual, head line pada koran, hingga breaking news tv. Dari sanalah kemudian terbentuklah kesan/impresi yang sangat mendalam pada kesadaran publik. Di mana, dampaknya adalah muncul kepanikan dan ketakutan yang sering kali berujung pada bullying, persekusi dan tindakan men-dehumanisasi sesama manusia karena orang tidak lagi mampu berpikir rasional demi mempertahankan hidupnya.
Publik juga lupa bahwa citra Covid-19 sebagai virus yang “sangat mematikan” adalah sebuah hasil konstruksi. Di mana, Covid-19 dan wacana seputar virus ini selaku “tanda” dalam komunikasi, bukan lagi merepresentasikan sesuatu yang riil yaitu sebagai entitas penyakit, tetapi lebih sebagai sesuatu yang imajinatif dan hiperbolik hasil dramatisasi agar viral. Padahal lewat pelabelan dan citra tersebut, publik sudah dijauhkan dari realita Covid yang sebenarnya dan hanya didekatkan lewat pesan (komunikasi/wacana) seputar virus ini yang adalah hasil konstruksi. Akibatnya adalah publik kemudian dipaksa untuk terus menerus membayangkan dan berimajinasi (menginterpretasi) tentang kengerian virus ini. Padahal antara, “kesan” atau “impresi” yang ditimbulkan oleh informasi, dan hasil
20 Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 “interpretasi” adalah dua hal yang berbeda. Singkatnya, publik tidak memahami bahwa kengerian tentang virus ini bukan lagi berdasarkan realitas asli atau realita mentah, tetapi hanya berdasarkan citra imajiner yang diproses secara kimiawi di kepala (gambaran imajiner) mereka.
Itulah mengapa selama pandemi, pengenalan, identifikasi dan pemahaman sebagain besar orang atas virus ini menjadi demikian spektakuler, sensitif, dan luar biasa simbolis. Karena yang berlangsung dalam rimba raya komunikasi selama pandemi adalah manipulasi tanda. Penanda yaitu head line news, breaking news, dan berita viral tentang Covid-19, selalu dipersepsi sebagai petanda (realita sebenarnya) itu sendiri. Padahal, penanda dalam berita adalah hasil konstruksi. Jadi yang terjadi dalam banyak kasus adalah manipulasi tanda yang sukses mendistorsi komunikasi secara sistematis sehingga orang menjadi sulit membedakan antara fakta mentah, informasi (hasil konstruksi), dan kesan/impresi (makna yang tertinggal dalam kesadaran pasca interpretasi) tentang Covid.
Dari sini terkuak lagi realita laten berikutnya di balik pandemi ini bahwa, alih-alih upaya antisipasi medis, perilaku publik menghadapi pandemi ini justru menyingkap problem sosial yang lebih besar, sebuah problem psikologis massal khas bangsa Indonesia, yaitu histeria massal. Histeria massal (juga dikenal sebagai histeria kolektif, histeria publik, hysteria grup atau perilaku obsesional kolektif) adalah sebuah fenomena penyebaran ilusi ancaman kolektif, entah nyata atau khayalan, yang dialami sekelompok orang dalam masyarakat. Resistensi penerimaan publik akan ancaman Pandemi memproduksi kepanikan sosial. Patogen jenis ini meski imajinatif tetapi mampu menciptakan ekosistem ketakutan sosial, diinduksi oleh rumor ancaman dampak penularan dan kematian.
Di mana, jika didekonstruksi, anatomi kepanikan manusia secara psikologis ini ternyata lebih dipicu oleh penguasaan kesadaran oleh alam bawah sadar manusia bukan oleh alam kesadaran (rasionalitas). Tesis Sigmund Freud (Jackson R, 2012) terafirmasi dalam kasus histeria massal di masa pandemi ini. Bahwa, yang dominan mengendalikan tindakan manusia selama pandemi adalah ke-tidaksadaran-nya (Ego, Id, Super Ego), bukan kesadaran (rasionalitas). Ketidaksadaran sukses mengikis rasionalitas karena informasi yang menerjang tanpa henti dan menjebol rasionalitas. Juga karena ego yang panik yang didorongan oleh ur motif setiap orang yaitu demi survival (hidup). Penolakan terhadap jenasah Covid, hingga pencurian jenasah keluarga yang positip Covid adalah contoh nyata ketidaksadaran yang mengambil alih kerja tubuh dan otak dalam merespon situasi krisis. Akal sehat dan nalar memang tidak banyak berfungsi ketika kepanikan dan rasa takut begitu mendominasi selama berbulan-bulan lamanya.
Sebuah situasi yang menggambarkan tentang betapa dilematisnya manusia menghadapi patogen bernama virus ini. Di satu sisi, tindakan pembatasan sosial (preventif) misalnya, sukses memproduksi ketakutan akan (manusia/sesame) yang
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 21 lain atau “the others” (xenophobia). Di sisi yang lain, sikap melakukan solidaritas sosial justru dihantui oleh bayang-bayang penularan dan kematian; Situasi yang memang sangat dilematis. Bahkan ada joke bahwa, “di tengah pandemi, bersatu justru mati. Bercerai kita hidup!” Sebuah potret tentang dilema usaha manusia rasional (Sindhunata, 1982) di hadapan situasi krisis yang melahirkan begitu banyak histeria.
Untuk Indonesia, histeria publik ternyata telah menjadi habitus hidup warga Nusantara. Sebuah jenis mentalitas khas warga nusantara yang telah lama dipraktekan. Menurut sejarawan Om Hok Ham, histeria massal atau publik yang suka reaktif dan panik telah menjadi watak khas bangsa Indonesia sejak zaman kolonial. Bahkan itu masih dihayati hingga pemerintahan Orde Baru dan orde pasca reformasi. Masyarakat Nusantara tidak terbiasa bernalar dan menelaah persoalan secara jernih dan rasional (Ham, 2003). Oleh karena itu, kepanikan sesungguhnya adalah cerminan dari krisis, baik krisis berdimensi ekonomi maupun politik dan tentu saja krisis rasionalitas. Itu didukung oleh fakta bahwa hingga saat ini, bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang gemar membaca dan suka bernalar dalam mengurai realita sosial-politik. Watak masyarakat Indonesia yang paling terkenal adalah melodramatic. Yaitu suka sekali dengan informasi yang penuh drama, rumor, dan hoax yang ditaburi sedikit sensasi. Sikap reaktif dan tidak kritis yang telah menjadi budaya inilah, yang kemudian turut memicu gelombang histeria massal di tengah Pandemi.
Fenomena histeria di Indonesia juga berkaitan erat dengan kebiasaan sebagian besar penduduk bangsa ini yang gemar menonton sinetron. Jumlah penonton sinetron terus mengalami peningkatan setiap tahun karena sisi dramatis, romantik dan tragis dari hiburan ini. Fakta bahwa sinetron sering menyuguhkan realita fiktif dan irasional yang berada di luar nalar manusia, membuat jenis hiburan ini punya dampak buruk pada kesadaran dan mentalitas pemirsanya. Inilah yang dialami bangsa ini. Di mana, sinetron turut mengikis rasionalitas masyarakat negeri ini, dan berkontribusi pada hilangnya daya kritis. Akibat lanjutannya adalah, dalam kehidupan nyata, masyarakat kita cenderung reaktif, paranoid dan menyukai drama sebagaimana yang terjadi sepanjang pandemi. Orang takut dan bahkan turut menggosip sesama di sebelah rumahnya yang terkena Covid, tetapi menangis haru saat melihat adegan tragis dalam sinetron. Padahal sinteron hanyalah realita palsu, sedangkan musibah yang dialami tetangganya adalah fakta kemanusiaan. Masyarakat memang teridentifikasi memandang pandemi ini dalam setting sinetron. Bersikap jernih secara nalar apalagi kritis sangatlah kurang. Sebab, sinetron memicu pembesaran ruang emosi, dan meng-kerdil-kan ruang kognisi warga. Sehingga yang terjadi selama pandemi adalah refleksi adegan sinetron di mana hysteria massal kerap terjadi. Watak hysteria ini dalam paradigma postmodern, disebut sebagai refleksi
22 Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 dari karakter atau watak masyarakat tontonan (nation of spectator).
Pandemi Informasi dan Imaji Teror
Fenomena lain yang juga menarik didekonstruksi untuk disingkap makna-makna latennya adalah ribut-gaduh di media sosial selama pandemi. Sebagai ruang publik virtual, Twiter, WhatsApp, Facebook, maupun IG, selama berbulan-bulan dijejali oleh beragam postingan, konten dan tweet yang umumnya sangat dramatis. Dari video viral penguburan pasien Covid yang sungguh mencekam dan menyayat hati, hingga berita viral tentang pengobatan alternatif yang kebanyakan adalah hoax. Juga tentang kondisi paru-paru pasien pasca terinveksi Covid yang selalu digambarkan dengan cara yang sangat mengerikan dan membuat heboh. Anehnya, informasi-informasi penuh drama seperti inilah yang disukai public dan sering ditelan mentah-mentah, kemudian di-share ke berbagai group. Bahkan, yang juga sibuk men-share informasi sampah jenis ini adalah para intelektual. Bukan hanya oleh masyarakat awam.
Kalangan mahasiswa misalnya, mereka teridentifikasi sebagai kelompok intelektual yang juga sangat reaktif selama pandemi. Studi tentang ini menunjukan bahwa, sikap kritis diperlukan di kalangan mahasiswa untuk menangkal informasi sampah, seperti hoax dan kabar bohong/fake news (Nadeak et al., 2020). Karena mahasiswa juga termasuk yang men-share informasi tanpa verifikasi (Nurrahmi & Syam, 2020). Padahal sebagai kaum intelektual, tugas profetis mereka dalam komunikasi di ruang publik virtual adalah membendung penyebaran hoax di masa pandemi. Kurangnya peran profetis kaum intelektual ini membuat profesi lainnya yang selama ini sudah eksis di media sosial, justru semakin eksis dan terus mendominasi panggung media sosial kita. Mereka ini, antara lain adalah para buzzer dan spin doctor.
Spin doctor dan buzzer bisa dikatakan, mendapat “karpet merah” selama pandemi karena hadir sebagai “juru selamat” yang memberi kepastian-kepastian palsu hasil manipulasi informasi untuk publik yang sedang rindu kepastian di tengah ke-tidakpasti-an. Masyarakat yang sedang terombang-ambing dalam ketidakpastian umumnya sangat mudah digiring dan dikendalikan. Dan para buzzer misalnya, sangat lihai memainkan modus ini lewat IG, twitter, dan you tube. Karena dari situlah modal ekonomi mereka akan berlipat ganda. Dengan jumlah viewers dan subscriber yang terus bertambah dari hari ke hari maka uang akan deras mengalir. Untuk itu, semakin banyak propaganda hitam dan manipulasi informasi yang disebar kemudian viral, maka tujuan itu makin mudah digapai. Artinya, pandemi juga terbukti ditunggangi para aktor oportunis di media sosial ini untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka di dunia maya. Tujuan mereka tentu saja untuk akumulasi modal sekaligus mendapat manfaat ekonomi-politik.
Spin Doctor (Esser, Reinemann, & Fan, 2003) bisa disebut sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan memutar-balikan fakta, bahasa atau wacana,
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 23 untuk menggerakan massa dan menguasai media demi kepentingan ekonomi politik. Lewat kekuatan bahasa, yang adalah medium komunikasi yang tidak netral karena bisa disusupi, dimanipulasi dan disetting untuk kepentingan kekuasaan, para Spin doctor bisa dengan leluasa mengendalikan opini public. Mereka sudah terkenal dan memainkan peranan kunci dalam berbagai hajatan politik di Amerika Serikat hingga Indonesia. Sehingga di masa pandemi, para spin doctor dan buzzer ini kembali mendapat momentum. Dengan memanipulasi informasi seputar pandemi, keuntungan bisa digandakan, viewers/pengikut, terus ditingkatkan dan keuntungan ekonomi-politik semakin bertambah. Kehadiran buzzer politik misalnya, sangat berpengaruh dalam penanganan Covid (SABIRIN, 2020).
Kehadiran para manipulator informasi inilah yang membuat situasi pandemi menjadi kian mencekam bahkan melahirkan kondisi ekstrem yang disebut sebagai tsunami informasi. Tsunami terjadi karena jutaan informasi palsu disebarkan di antara informasi-informasi resmi. Dampak ikutannya adalah, jika biasanya informasi resmi dari pemerintah akan didengar dan dipatuhi. Maka, selama pandemi, informasi resmi yang disampaikan para pakar dan ahli di bidang mikrobiologi misalnya, atau himbauan dari Departemen Kesehatan, tidak banyak didengar. Orang lebih percaya pada informasi sampah, hoax dan isu viral yang memang didesain oleh para buzzer dan spin doctor untuk kepentingan ekonomi-politik. Tesis Tom Nichols bahwa para intelektual (ahli) bahkan sudah mengalami kematian di abad 21 (Nichols, 2021), menjadi benar dan mendapat penegasan selama masa pandemi. Teridentifikasi bahwa selama Pandemi, suara para ahli tidak banyak didengar. Kabar hoax dan berita palsu/fake news yang diproduksi oleh para ahli palsu yaitu para spin doctor buzzer justru lebih didengar dan dipercaya.
Hadirnya inklusivitas kanal informasi dan terbuka pula keleluasaan akses pengetahuan bagi publik memang membuat pengetahuan tidak lagi domain kaum intelektual. Tetapi selama pandemi, pengetahuan medis dan mikrobiologi hasil manupulasi para spin doctor lebih digandrungi public dan menjadi santapan harian masyarakat. Itu terjadi karena para ahli manipulasi ini, yaitu spin doctor, memang memahami selera publik yang suka pada sesansi. Akibatnya sudah jelas bahwa, suara para ahli kesehatan ditinggalkan, dan narasi keilmuan mereka diabaikan. Selain bahwa para ilmuwan tidak boleh mengklaim dirinya sebagai pusat kebenaran, tetapi juga karena publik saat ini memang lebih cenderung mendengar apa yang ingin didengar, menyerap pengetahuan yang sesuai dengan kepentingan dan keyakinan mereka. Publik tidak terbiasa untuk selalu memposisikan diri mencari informasi berkualitas sembari tetap bersikap kritis.
Akibatnya, ketika pesan-pesan tentang Covid-19, tidak lagi membantu mencerahkan dan me-nerang-kan. Tetapi justru menekan dan mengintimidasi publik karena sudah dimanipulasi, maka yang terjadi adalah komunikasi terdistorsi dan kepanikan terus berlipat ganda. Ini terus berlangsung selama berbulan-bulan
24 Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 selama masa pandemi karena citra-citra kengerian tentang virus ini, selalu ditampilkan dalam jumlah gigantis, ber-frekuensi tinggi, dan dalam jedah waktu yang sangat cepat dari satu informasi ke informasi berikutnya.
Dengan kata lain, informasi yang disajikan selama pandemi selalu mengikuti logika kecepatan, dramatis dan viral. Sehingga media sosial, media online, tv hingga radio, telah menjadi medan pertarungan wacana yang tidak mencerahkan dan justru membingungkan selama pandemi. Orang digiring untuk terus terperangkap dalam logika masyarakat tontonan. Yaitu berusaha mendapat informasi instan atau cepat saji, lalu dengan cepat pula membagikannya. Dari sana berita viral terbentuk, kejutan-kejutan penuh drama disuguhkan, dan berita palsu hasil dramatisasi meledak sebagai laporan utama di ruang-ruang publik.
Ini juga ditopang oleh watak publik Indonesia yang lebih menggandrungi peristiwa-peristiwa melodramatik. Orang cenderung tidak suka mendengar sesuatu yang memang penting dan berkualitas. Yang mereka cari dan selalu membuat mereka terpesona adalah informasi popular-populer yang sebenarnya cacat kebenarannya. Sehingga yang terjadi selama pandemi adalah, para penyebar hoax dan pemburu eksistensi diri di media sosial-lah yang mendapat keuntungan. Sebab, dalam rimba-raya informasi, ketika pengetahuan publik sudah tak tentu arah akibat saking banyaknya informasi yang harus diverifikasi validitasnya, orang lalu menjadi bingung dan frustrasi. Jalan pintasnya adalah mengimunisasi frustrasi dengan sibuk men-share dan membagi kabar hoax dan berita viral.
Situasi yang membangkitkan kepanikan massal dan hysteria ini disebut sebagai “pandemi informasi.” Yaitu sebuah kondisi kelebihan informasi yang menghasilkan kesesatan dan penipuan masal. Pandemi jenis ini lebih mematikan dari pandemi sesungguhnya. Sebab, orang dipicu untuk terus melompat-lompat dari satu kebenaran kepada kebenaran lainnya. Akibatnya adalah, ruang publik virtual kita lalu penuh sesak dengan hal-hal remeh temeh, dan hoax. Jurgen Habermas menyebut ruang publik yang sudah teracuni dan penuh sesak dengan komunikasi yang terdistorsi oleh hal-hal remeh-temeh ini sebagai Trivialization.
Dampak lanjutannya adalah, dalam situasi krisis tanpa pegangan, dan ditopang oleh imaji-imaji kengerian yang diciptakan sendiri di kepala tiap orang, lahirlah hysteria massal. Pendapat Tom Nichols bahwa era ini adalah era berbahaya karena “informasi” menjadi benar. Bahwa, saat ini, juga di tengah pandemi, semua orang memang memiliki akses pada begitu banyak informasi, juga berlomba-lomba menjadi produser informasi. Tapi yang berbahaya di situ adalah, mereka justru menjadi resisten dan tak stabil secara emosional. Mereka menjadi sulit mengontrol kelimpahan informasi tersebut sehingga menjadi tidak kritis. Kajian kuantitatif tentang hoax masa pandemi Covid-19, menunjukkan itu. Bahwa alasan orang mendistribuskan informasi hoax karena dianggap benar, juga karena malas mengverifikasi, dan iseng (Juditha, 2020).
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 5(1) (2021) 1-22 25 yaitu ekonomi dan politik (Chumairoh, 2020). Hoax dapat menggaet pembaca (viewer) demi akumulasi keuntungan atau capital. Dan para figur publik (artis/politisi) gandrung memproduksi konten-konten informasi palsu jenis ini demi tenar dan populer. Kasus Jenrix, atau cuitan-curitan para buzzer di twiter, atau youtubers yang sengaja memanipulasi informasi untuk viral adalah contohnya. Dari sisi politik, berita palsu adalah komoditas bernilai ekonomi juga bernilai politik. Berita palsu misalnya, bisa dikomodifikasi sebagai amunisi bagi individu/kelompok oposan untuk menyerang pemerintah. Hoax tentang korupsi dana vaksin, atau berita palsu tentang “Pemerintah antek Cina” karena membeli vaksin dari Cina adalah contohnya. Sebaliknya, informasi hoax juga sering digandakan para Buzzer pemerintah untuk menyerang balik para lawan politik pemerintah. Sebutan “kaum Kadrun” untuk mereka yang kritis dalam mengawasi proyek pengadaan vaksin adalah labeling penuh tendensi politik yang bertujuan untuk pembunuhan karakter oposisi pemerintah. Artinya, informasi hoax dan berita-berita yang dimanipulasi para buzzer dan spin doctor bertujuan untuk akumulasi modal dan kepentingan ekonomi-politik.
Sehingga sepanjang pandemi, masyarakat terus terombang-ambing dalam komunikasi yang umumnya sudah sangat terdistorsi. Di ruang-ruang publik virtual, akibat komunikasi yang sudah terdistorsi orang lalu cenderung mempercayai hoax, fake news, dan berita hasil pelintiran para spi doctor. Padahal dari situlah ketakutan terus berlipat-ganda karena orang terus menciptakan imaji-imaji kengeriaan yang diproduksi sendiri oleh pikirannya. Inilah wujud teror baru yang lebih mengerikan daripada teror virus Covid-19 itu sendiri. Yaitu hadirnya rasa takut secara massal yang diproduksi atau digandakan sendiri oleh pikiran masing-masing orang. Situasi ini oleh filosof Jacques Derrida disebut sebagai imaji
terror atau image of terror (Borradori, 2005). Imaji terror (image of terror) adalah
sebuah model permainan pikiran yang menghasilkan kepanikan sekaligus kebingungan hingga horror dan trauma.
Meminjam cara berpikir Jurgen Habermas dan Derrida dalam dialog mereka dengan Giovanna Borradori, “ketidakpastian tentang bahaya” termasuk ke dalam esensi terorisme. Ke-tidak-pasti-an membuat orang terus berimajinasi dan membayangkan sendiri potensi kengerian teror di masa depan. Itu adalah teror itu sendiri. Artinya, ketika orang me-lipat-ganda-kan sendiri kengerian atau bayang-bayang (imaji) akan potensi penularan dan kematian akibat Covid-19, yang bisa saja menimpah diri mereka, atau keluarga mereka, maka pada saat itu, teror sudah tercipta. Sebuah teror yang diciptakan sendiri di kepala mereka.
Dengan kata lain, produksi kengerian dalam pikiran adalah teror itu sendiri. Di mana, teror itu terjadi ketika orang menciptakan imaji teror. Yaitu orang menggandakan sendiri rasa takut dan melipatgandakan kengerian dalam pikirannya tentang virus ini. Sebuah situasi psikologis yang sebelumnya tidak