• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN PELAYANAN PERIZINAN UNTUK MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK DI KABUPATEN BADUNG.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PELAKSANAAN PELAYANAN PERIZINAN UNTUK MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK DI KABUPATEN BADUNG."

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

PELAKSANAAN PELAYANAN PERIZINAN UNTUK

MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK DI

KABUPATEN BADUNG

MADE HENDRA PRANATA DHARMAPUTRA P. NIM. 1216051043

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

ii

SKRIPSI

PELAKSANAAN PELAYANAN PERIZINAN UNTUK

MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK DI

KABUPATEN BADUNG

MADE HENDRA PRANATA DHARMAPUTRA P. NIM. 1216051043

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

iii

PELAKSANAAN PELAYANAN PERIZINAN UNTUK

MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK DI

KABUPATEN BADUNG

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

MADE HENDRA PRANATA DHARMAPUTRA P. NIM. 1216051043

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(4)
(5)
(6)

vi

KATA PENGANTAR

“Om Swastyastu”

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nyalah skripsi yang berjudul “PELAKSANAAN PELAYANAN PERIZINAN UNTUK MEWUJUDKAN

PEMERINTAHAN YANG BAIK DI KABUPATEN BADUNG” dapat

terselesaikan dengan baik. Tentunya skripsi ini masih belum sempurna dan banyak terdapat kekurangan di dalamnya, hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan, dan pengetahuan yang penulis miliki. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan guna kelengkapan dan penyempurnaan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. I. Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH.,MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

(7)

vii

4. Bapak I Wayan Suardana, SH.,MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak Anak Agung Gde Oka Parwata, SH.,M.Si, selaku Ketua Program Non Reguler Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Ibu I Gusti Agung Dike Widhyaastuti, SH, selaku Pembimbing Akademik (PA) penulis yang selalu memberikan pengarahan selama penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Udayana. 7. Bapak Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH, selaku Dosen Pembimbing I

yang selama ini dengan sabar membimbing, mengarahkan dan memberikan masukan kepada penulis.

8. Ibu Cok Istri Anom Pemayun, SH., MH, selaku Dosen Pembimbing II yang selama telah banyak membantu dan meluangkan waktu dalam mengarahkan dan membimbing penulis.

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membimbing dan mendidik penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

10.Bapak dan Ibu staff administrasi Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu kepentingan penulis.

(8)

viii

pengorbanan baik moral maupun materiil dan tentunya doa restu selama penulis kuliah sampai pada saat skripsi ini terselesaikan.

12.Untuk Ida Ayu Reina Dwinanda yang selalu memberikan motivasi, dukungan moral, pengorbanan dan kesabaran yang tiada henti-hentinya selama penulis menyusun skripsi ini.

13.Untuk senior Altantis Law Office Bli Oka, Bram Rendrajaya, Bli Gung Dian, Bli Gungwah yang telah memberikan bimbingan, ide, dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

14.Kawan-kawan seperjuangan Edo, krisnarendra, Parartha, Citos, Krisnadi, Bama, Genteng, dan seluruh keluarga besar Himpunan Mahasiswa Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan pengalaman dan pembelajaran yang luar biasa bagi penulis.

Penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak pada umumnya, bagi perkembangan ilmu hukum pada khususnya dan semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu memberkati kita semua.

“Om Santhi, Santhi, Santhi Om”

Denpasar, Mei 2016

(9)
(10)

x ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Pelaksanaan Pelayanan Perizinan Untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik di Kabupaten Badung. Sistem pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Badung dirasa berbelit-belit dikarenakan harus mengurus sebuah perizinan di berbagai SKPD, sehingga pemerintah daerah Kabupaten Badung membuat suatu gebrakan dengan membuat badan pelayanan terpadu satu pintu yaitu Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Badung (BPPT) untuk meningkatkan kualitas pelayanan publiknya. Sehingga dirasa penting melakukan penelitian untuk mengkaji bagaimana kinerja BPPT dalam melaksanakan pelayanan perizinananya, apakah sudah sesuai dengan tujuan dibentuknya BPPT dan berpedoman dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan fakta (the fact approach), pendekatan analisis konsep hukum (analitical & conseptual approach), dan pendekatan sejarah (historical approach).

(11)

xi

ABSTRACT

This research titled execution of licensing services for ensuring good governance in the District Badung. System of licensing services performed by the Badung district government perceived difficulty because it must take care of a license in various departments, so that the district government Badung made a breakthrough by making one stop service agency that is Unified Licensing Service Agency Badung District (BPPT) to improve the quality of public service. So it is considered important to do research to examine how BPPT’s performance in implementing the licensing service, whether it is in accordance with the purpose of establishing the BPPT and guided by the principles of good governance.

The method used in this research is the empirical legal research. Approach to the problem is the fact approach, analytical and conseptual approach, dan historical approach.

Integrated licensing service agencies Badung Districts established by law number 4 of 2013 on the organization and functioning of an integrated licensing services agency Badung District, has been carrying out its duties and functions properly based on a clear mechanism, the data permit application where an average 6% residual unresolved licensing each year, and has been carrying out the mandate of the principles contained in the principle of good governance. There are still some constraints contained in such BPPT legal standpoint, worker, infrastructure, and communities, but there are also a supporting factor are the goodwill of the government, global competition, and technology.

(12)
(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang dibaluti oleh pluralisme berdasarkan asas Bhinneka Tunggal Ika. Wilayah Republik Indonesia yang kurang lebih memiliki 17.000 pulau, wilayah lautan yang luas, dan penduduk dengan latar belakang budaya, sosial, dan sejarah yang berbeda menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki kepulauan terbesar dan memiliki kebudayaan yang terbanyak di dunia. Hal tersebut dapat menjadi keuntungan bagi Bangsa Indonesia jika dapat memanfaatkan kebudayaannya yang beragam sebagai daya tarik pariwisata internasional, akan tetapi keberagaman tersebut pula yang menjadi permasalahan pemerintah pusat untuk mengatur seluruh wilayah negara agar terciptanya kesejahteraan yang merata tanpa adanya kecemburuan sosial.

Negara Kesatuan adalah suatu negara yang tidak terdiri atas negara-negara bagian, serta kekuasaan untuk mengatur seluruh wilayah negara ada di tangan pemerintah pusat.1 Secara geografis, penegasan negara kesatuan dipengaruhi oleh karena wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat luas meliputi banyak kepulauan maka tidak mungkinlah jika segala sesuatunya akan diurus seluruhnya oleh pemerintah yang berkedudukan di Ibukota Negara. Untuk mengurus penyelenggaraan pemerintahan Negara sampai kepada seluruh pelosok daerah Negara maka perlu dibentuk suatu pemerintahan daerah yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat.2

1 Sumidjo, 1995, Pengantar Hukum Indonesia, CV. Armico, Bandung, h.214.

2 Moh Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Ketujuh, Pusat

(14)

Seperti dijelaskan diatas, yang disebut negara kesatuan atau unitaris apabila di dalam negara tidak ada negara melainkan kekuasaan negara dibagi pada kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Negara Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut UUD 1945 dinyatakan, bahwa “negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”. Oleh karena negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungan yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil (Kabupaten/Kota). Daerah-daerah itu bersifat otonom atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut ketentuan aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang.3

Pemerintahan daerah merupakan sub sistem dari sistem pemerintahan yang bersifat nasional. Persoalan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia merupakan konsekuensi dari pembagian kekuasaan negara secara vertikal dalam Negara Kesatuan RI, sehingga melahirkan adanya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.4 Menurut Carl J Frederich pembagian kekuasaan secara vertikal atau disebut juga dengan territorial divison of power adalah pembagian kekuasaan menurut beberapa tingkatan kekuasaan pemerintahan, yaitu antara Pusat dan Pemerintah Daerah (local government).5

Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dilaksanakan dengan asas otonomi daerah yang artinya ialah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, sesuai peraturan perundang-undangan. Hal ini mengandung makna bahwa urusan pemerintahan

3 Mokhammad Najih dan Soimin, 2014, Pengantar Hukum Indonesia, Setara Press, Malang, h. 106.

4Sudono Syueb, 2008, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah, Laksbang Mediatama, Surabaya, h. 20.

(15)

pusat yang menjadi kewenangan pusat tidak mungkin dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya oleh pemerintah pusat guna kepentingan pelayanan umum pemerintahan dan kesejahteraan rakyat di semua daerah. Apalagi kondisi geografis, sistem politik, hukum, sosial dan budaya, sangat beraneka ragam dan bercorak, disisi lain NKRI yang meliputi daerah-daerah kepulauan dan wilayah negara sangat luas. Oleh sebab itu, hal-hal mengenai urusan pemerintahan yang dapat dilaksanakan oleh daerah itu sendiri, sangat tepat diberikan kebijakan otonomi sehingga setiap daerah akan lebih mampu dan mandiri untuk memberikan pelayanan dan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah.6

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) yang selanjutnya disebut UU Pemda, pada Pasal 1 angka 12 mengatur tentang Pengertian daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terdapat unsur-unsur yang harus terpenuhi agar dapat dikatakan sebagai daerah otonom yaitu unsur batas wilayah, unsur pemerintahan dan unsur masyarakat.

Pemerintah daerah mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengurus wilayahnya sendiri. Dalam negara hukum wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut R.J.H.M. Huisman:

Organ pemerintahan tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang. Pembuat undang-undang dapat memberikan wewenang pemerintahan tidak hanya kepada organ pemerintahan, tetapi juga terhadap para pegawai (misalnya inspektur pajak, inspektur lingkungan, dan sebagainya)

(16)

atau terhadap badan khusus (seperti dewan pemilihan umum, pengadilan khusus untuk perkara sewa tanah), atau bahkan terhadap badan hukum privat.7

Pembentukan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Pasal 18 UUD 1945, telah melahirkan berbagai produk undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang pemerintahan daerah, antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-daerah Yang Berhak Mengatur Dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan yang terbaru Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tentu, saja daerah mempunyai hak dan kewajibannya dalam menyelenggarakan otonomi di daerahnya, adapun daerah mempunyai hak sebagai berikut:

a. Mengatur dan mengurus sendiri uruan pemerintahannya; b. Memilih pimpinan daerah;

c. Mengelola aparatur daerah; d. Mengelola kekayaan daerah;

e. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah;

f. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah;

g. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah;

h. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Adapun kewajiban daerah dalam penyelengaraan otonomi daerah, antara lain adalah:

a. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan NKRI;

b. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat; c. Mengembangkan kehidupan demokrasi;

(17)

d. Mewujudkan keadilan dan pemerataan; e. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; f. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;

g. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak; h. Mengembangkan sistem jaminan sosial;

i. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah; j. Mengembangkan sumber daya produktif daerah; k. Melestarikan lingkungan hidup;

l. Mengelola administrasi kependudukan; m.Melestarikan nilai sosial budaya;

n. Membentuk dan menetapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; o. Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.8

Hak dan kewajiban daerah tersebut, diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah, yang dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada peraturan perundang-undangan.9 Adapun sumber pendapatan daerah terdiri atas:

a. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yakni: 1. Hasil pajak daerah;

2. Hasil retribusi daerah;

3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; 4. Lain-lain PAD yang sah.

b. Dana perimbangan;

c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.10

Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaannya untuk di daerah diatur lebih lanjut dengan peraturan daerah. Pemerintah daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain di luar yang telah ditetapkan undang-undang.11

Provinsi Bali memiliki potensi dalam hal pembangunan daerahnya, khususnya Pemerintah Kabupaten Badung yang memiliki segudang prestasi serta menjadi bukti bahwa bagaimana

8 Siswanto Sunarno, op.cit, h. 57.

9 Siswanto Sunarno, op.cit, h. 58.

10 Siswanto Sunarno, loc.cit.

(18)

majunya sektor pariwisata di Bali, Kabupaten Badung menjadi tolak ukur yang patut dijadikan contoh diantaranya, Pemkab Badung untuk ketigakalinya secara berturut-turut sejak tahun 2012, meraih penghargaan The Best Performance di bidang kepariwisataan. Penghargaan ini diberikan oleh El John Publishing (EJP), sebuah jaringan Publishing pariwisata nasional bekerja sama dengan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Universitas Sahid Jakarta dan Kadin Indonesia.12 Selain itu juga Badung ditetapkan sebagai Kabupaten Terbaik Nasional dengan tiga posisi terbaik untuk kategori Pariwisata, kategori Ketersediaan Infrastruktur dan Pelayanan Publik serta Daya Tarik Investasi untuk Koridor MP3EI wilayah Bali Nusa Tenggara dengan Penghargaan Platinum.13

Dari informasi diatas dapat diketahui bahwa pariwisata merupakan sumber PAD terbesar di Kabupaten Badung, sehingga menjadikan sektor pariwisata harus terus dijaga dan dikembangkan, karena hal tersebut akan berpengaruh besar pada perekonomian Kabupaten Badung. Berbicara masalah perekonomian tidak terlepas dari campur tangan investor yang berinvestasi di Kabupaten Badung, oleh karena itu Kabupaten Badung harus terus meningkatkan pelayanan publiknya sehingga invenstor akan nyaman berinvestasi di Kabupaten Badung, dengan catatan tanpa mencederai adat istiadat masyarakat Kabupaten Badung dan harus memperhatikan permasalahan lingkungan agar terciptanya cita-cita pemerintahan Kabupaten Badung yang berlandaskan Tri Hita Karana yaitu terjadinya keharmonisan antara manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan.

Investasi yang terus meningkat di Kabupaten Badung harus dijaga dan diawasi dengan baik agar tidak terjadi investasi bodong atau yang tanpa izin, karena dapat merugikan pendapatan daerah. Etikad baik investor dalam hal ini sangat dibutuhkan guna meringankan beban pemerintah

12 Gabriela Ika, 2015, Anak Agung Gde Agung 10 Tahun Sejahterakan Masyarakat, Serat Ismaya, Bali, h. 130.

(19)

dalam mengawasi investasi bodong, selain itu pula pemerintah harus membuat regulasi agar proses perizinan tidak dilaksanakan secara berbelit-belit agar investor nyaman dalam memproses perizinannya. Selain PAD berasal dari pajak daerah, bidang perizinan juga merupakan sarana untuk mendapatkan pendapatan yang tidak kalah banyak dengan pendapatan di bidang pajak, oleh karena itu Pemkab Badung harus memperhatikan pelayanan publik khususnya di bidang perzinan. Agar terciptanya keefektifitasan dalam melakukan proses perizinan Pemkab Badung membuat suatu gebrakan dengan membuat badan pelayanan satu pintu sehingga orang yang ingin mengurus perizinan tidak perlu pergi ke berbagai dinas untuk mengurusnya, tapi cukup dengan masuk ke badan pelayanan publik terpadu tersebut yang dibentuk dan diberi nama oleh Pemkab Badung yaitu Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Badung, untuk selanjutnya disebut BPPT. Dasar pembentukan BPPT diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2013 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Badung. Sistem perizinan di Kabupaten Badung sebelum dibentuknya BPPT dapat dikatakan berbelit-belit dikarenakan harus memproses perizinan di berbagai dinas yang dimulai dari pelaksanaan registrasi dokumen melalui unit pelayanan terpadu kemudian di proses secara terpisah melalui beberapa dinas seperti Dinas Bappeda, Dinas Pariwisata, Dinas Cipta Karya dan lain-lain sehingga memberikan kesan tidak efektif.

(20)

dimaksud Pasal 57, dalam menyelenggarakan Pemerintahan Daerah berdasarkan pada asas

Oleh karena itu sistem kerja yang dijalankan harus berpedoman pada nilai-nilai yang terkandung dalam pasal tersebut.

Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Badung yang baru berjalan ini, masih perlu mendapat perhatian agar dapat mewujudkan pelayanan yang lebih baik dalam memproses perizinannya. Terlihat bahwa pelayanan yang diberikan oleh BPPT kepada masyarakat dalam proses perizinan ternyata masih jauh dari harapan masyarakat. Banyaknya permohonan baik perizinan maupun non perizinan yang dimohonkan oleh pemohon tidak berjalan sesuai dengan standar operasional prosedur yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu. Sistem kerja dan jangka waktu antara proses pengerjaan dengan penyelesaian suatu perizinan yang tidak sesuai dengan ketentuan menjadi salah satu permasalahan dari sekian banyak kekurangan yang dimiliki BPPT. Tentunya ini berakibat kepada proses-proses berikutnya dan menjadikan kritikan oleh masyarakat terhadap citra Pemkab Badung.

(21)

G2B (Government to Business), dan G2C (Government to Citizens) bisa berjalan secara sinergi. Dengan demikian produk hukum yang dihasilkan oleh Pemkab Badung harus menjadi dasar yang kuat agar pelaksanaan perizinan dapat berjalan sesuai tujuan dan gagasan yang telah diperjuangkan dalam pembentukannya.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka menarik bagi penulis untuk membuat suatu karya tulis skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Pelayanan Perizinan Untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik Di Kabupaten Badung”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat ditarik suatu rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemerintah Kabupaten Badung menyelenggarakan pelayanan perizinan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik?

2. Apa faktor-faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan pelayanan perizinan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik di Kabupaten Badung?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

(22)

1.4 Orisinalitas Penelitian

1. Untuk memberikan perbandingan penelitian penulis menggunakan skripsi pembanding dengan judul Pendelegasian Wewenang Perizinan Di Kabupaten Banyumas yang dibuat oleh Ayu Kartika Gusti Saputra Olii. Penulis skripsi tersebut berasal dari Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman Purwokerto dibuat tahun 2011, dengan permasalahan bagaimanakah pendelegasian wewenang perizinan di badan penanaman modal dan pelayanan perizinan di Kabupaten Banyumas. Hasil dari pembahasan permasalahan tersebut adalah bahwa Pendelegasian kewenangan perizinan yang diberikan oleh Bupati Banyumas kepada Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan adalah pemberian wewenang untuk mengurus perizinan yang semula dipegang oleh Bupati kemudian diserahkan kepada Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Kabupaten Banyumas. Akan tetapi, dalam hasil penelitian ditemukan bahwa surat keputusan perizinan masih menggunakan kata “atas nama” Bupati. Hal ini tidak sesuai

dengan teori delegasi dimana dengan pemberian delegasi ada pergeseran kompetensi yaitu adanya pelepasan wewenang dan penerimaan suatu wewenang. Seharusnya dengan adanya delegasi maka kewenangan yang dimiliki Bupati beralih sepenuhnya kepada Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Kabupaten Banyumas. Dengan demikian, tanggung jawab yuridis berada ditangan Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Kabupaten Bayumas selaku delegataris.

(23)
(24)

1.5 Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Penelitian atas kedua permasalahan yang dikemukakan diatas adalah bertujuan untuk menambah pengetahuan di bidang ilmu hukum khususnya Hukum Administrasi Negara dan Hukum Pemerintahan Daerah. Adapun bidang kajiannya berkaitan tentang pelaksanaan pelayanan perizinan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik di Kabupaten Badung.

b. Tujuan Khusus

Adapun yang menjadi tujuan khusus dalam permasalahan yang dibahas diatas, antara lain:

1. Untuk mengetahui dan memahami tentang pelaksanaan pelayanan perizinan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik di Kabupaten Badung.

2. Untuk mengetahui dan memahami tentang faktor-faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan pelayanan perizinan di Kabupaten Badung.

1.6 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya Hukum Administrasi Negara dan Hukum Pemerintahan Daerah dan memperdalam pemahaman terhadap pelayan perizinan di Kabupaten Badung.

(25)

Mengenai manfaat praktis yang didapatkan penulis dari hasil penelitian ini adalah untuk melatih diri dalam mengungkapkan pendapat maupun saran terhadap suatu permasalahan hukum.

Sedangkan bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat positif yang berupa evaluasi dan masukan terhadap proses pelayanan perizinan agar tercapainya kualitas pelayanan publik yang lebih baik.

1.7 Landasan Teoritis

Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum. Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang secara eksplisit menyatakan bahwa “Indonesia adalah Negara Hukum”. Negara hukum yang dianut oleh Indonesia tidaklah dalam

artian formal, melainkan dalam artian material yang juga diistilahkan dengan Negara Kesejahteraan (Welfare State).14

1. Teori Negara Hukum

Untuk disebut sebagai Negara Hukum maka harus memiliki dua unsur pokok yakni adanya perlindungan hak asasi manusia dan adanya pemisahan kekuasaan dalam Negara.15 Ide ini selanjutnya oleh Freidrich Julius Stahl, dengan menambah dua unsur lagi yaitu setiap tindakan negara harus berdasarkan undang-undang serta adanya peradilan administrasi negara. Dengan memantapkan prinsip liberalisme yang dikemukakan pada unsur-unsur Negara Hukum, sehingga dapat rumusannya menjadi:16

1. Adanya jaminan atas hak asasi manusia/hak dasar manusia 2. Adanya pemisahan kekuasaan

14 E. Utrecht, 1960, Pengantar hukum Administrasi Negara Indonesia, FHPM Univ. Negeri Padjajaran, Cet.

Ke-4, Bandung, h. 21.

15 Moh Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cet 4, Gaya Media Pratama, Jakarta,

h.132.

16 Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Sekertariat Jenderal dan

(26)

3. Pemerintahan berdasarkan hukum/undang-undang 4. Adanya peradilan tata usaha negara/administrasi negara.

Konsep Negara hukum dalam teori Anglo Saxon dikenal dengan sebutan rule of law.

Konsep ini menekankan pada tiga unsur utamanya yaitu:

a. Supremasi hukum (supremacy of law), dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum;

b. Kedudukan yang sama didepan hukum (equality before the law), baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat;

c. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang (the constitution based on individual right), dan keputusan-keputusan peradilan.17

Muchsan dalam kaitan ini menunjukan bukti-bukti negara Indonesia sebagai negara kesejahteraan dengan mengacu pada 2 (dua) hal, yakni:

1. Salah satu sila dari Pancasila sebagai dasar falsafah negara (sila kelima) adalah keadilan sosial. Ini berarti tujuan negara adalah menuju kepada kesejahteraan dari para warganya; 2. Dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa tujuan pembentukan negara

Indonesia, salah satunya adalah memajukan kesejahteraan umum.18

Tentu ada konsekuensi yang muncul dalam negara kesejahteraan, yakni lebih banyak kebebasan kepada pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan serta akan memungkinkan lahirnya sengketa antara rakyat dengan pemerintah. Maka dari itu segala tindakan pemerintah haruslah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan memberikan perlindungan terhadap hak rakyat. Hal ini menjadi keharusan, karena mengenai unsur atau persyaratan negara hukum menurut Bagir Manan adalah:

a. Semua tindakan harus berdasarkan hukum;

b. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya;

c. Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas);

17 Muhammad Tahir Azahary, 1991, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari segi

Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Hukum Madinah dan Masa kini, Prenada Media, Jakarta, h.90. 18 Muchsan, 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, (Selanjutnya disingkat Muchsan

(27)

d. Ada pembagian kekuasaan.19

Pemerintah juga dalam hal ini harus memperhatikan hak dan kewajiban masyarakat dalam menjalankan pemerintahannya agar terwujudnya kekondusifitasan dalam penyelenggaraan negara. 2. Otonomi Daerah

Wewenang pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri atau pemerintahannya disebut otonomi daerah yang pengertiannya diatur dalam Pasal 1 angka 6 UU Pemda. Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, dilaksanakan dengan asas-asas sebagai berikut:

a. Asas Desentralisasi, adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI. b. Asas Dekonsentrasi, adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada

gubernur, sebagai wakil pemerintah kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

c. Asas Tugas Pembantuan, adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa; dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau desa; serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.20

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah harus berpedoman pada asas penyelenggaraan pemerintahan negara yang terdiri atas asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggara negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi, asas efektifitas dan asas keadilan agar terwujudnya pemerintahan yang ideal yang sesuai dengan ketentuan Pasal 58 UU Pemda. Asas-asas tersebut berfungsi sebagai pegangan para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya, tentunya juga agar tidak terjadi tindakan pemerintah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan bertentangan dengan asas legalitas yang dimana wewenang pemerintah berasal dari peraturan perundang-undangan.

19 Bagir Manan, 1994, Dasar-dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut UUD 1945, UNPAD,

Bandung, h. 19.

(28)

3. Teori Kewenangan

Dalam beberapa sumber menerangkan, bahwa istilah kewenangan (wewenang) disejajarkan dengan bevoegheid dalam istilah Belanda, menurut Philipus M. Hadjon salah seorang guru besar Fakultas Hukum Unair mengatakan, bahwa “wewenang terdiri atas

sekurang-kurangnya mempunyai 3 (tiga) komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum dan komformitas

hukum”.21 Komponen pengaruh, bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk

mengendalikan prilaku subyek hukum; dasar hukum dimaksudkan, bahwa wewenang itu haruslah mempunyai dasar hukum, sedangkan komponen komformitas hukum dimaksud, bahwa wewenang itu haruslah mempunyai standar.

Sementara itu Bagir Manan menjelaskan, bahwa “wewenang dalam bahasa hukum tidak

sama dengan kekuasaan (macht)”. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelffregelen) dan mengelola sendiri (zelfgesturen),22 sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan Negara secara keseluruhan.

Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.23Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ

21 Philipus M. Hadjon, 1998, Tentang wewenang Bahan Penataran Hukum Administrasi tahun 1997/1998

Fakultas Hukum Universita Airlangga”, Surabaya, h. 2.

22 Ibid,h. 79.

(29)

pemerintahan lainnya. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.

4. Tindakan Pemerintah

Pemerintah atau administrasi negara adalah sebagai subjek hukum, sebagai dragger van de rechten en plichten atau pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Sebagai subjek hukum, pemerintah sebagaimana subjek hukum lainnya melakukan berbagai tindakan baik tindakan nyata (feitelijkhandelingen) maupun tindakan hukum (rechtshandelingen) tindakan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan akibat-akibat hukum, sedangkan tindakan hukum menurut R.J.H.M Huisman, “Onder rechtshandelingen verstaan we de handelingen die naar hun aard gericht open bepaald rechtsgevolg”, yaitu (tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat

menimbulkan akibat hukum tertentu), atau “een rechtshandeling is gericht op het scheppen van rechten of plichten”, (tindakan hukum adalah tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan

hak dan kewajiban).24

Telah disebutkan bahwa tindakan hukum pemerintah adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organ pemerintahan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum dalam bidang administrasi negara. Berdasarkan pengertian ini tampak ada beberapa unsur yang terdapat di dalamnya.25 Muchsan menyebutkan unsur-unsur tindakan hukum pemerintahan sebagai berikut:

a. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuutsorganen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;

b. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;

c. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi;

d. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.26

24 Ridwan HR, op.cit, h. 80.

25 Ridwan HR, op.cit, h. 83.

26 Muchsan, 1981, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara

(30)

Telah disebutkan bahwa pemerintah atau administrasi negara adalah subjek hukum yang mewakili dua institusi yaitu jabatan pemerintahan dan badan (lichaam) hukum pemerintahan, karena mewakili dua institusi maka dikenal ada dua macam tindakan hukum yaitu tindakan hukum publik dan tindakan hukum privat.27 Tindakan pemerintah baik tindakan hukum publik maupun tindakan hukum privat harus tetap memperhatikan kepentingan umum dalam penyelengaaraannya agar terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan tidak mencederai hak-hak yang dimiliki masyarakat.

5. Pemerintahan yang Baik

Good governance adalah pemerintahan yang baik dalam standar proses dan hasil-hasilnya, semua unsur perintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat dan terlepas dari gerakan-gerakan anarkis yang dapat mengahambat proses pembangunan. Untuk merealisasikan pemerintahan yang professional dan akuntabel yang bersandar pada prinsip-prinsip good governance Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) merumuskan Sembilan aspek fundamental (Asas) dalam good governance yang harus diperhatikan.28

Pemerintahan yang baik merupakan penyelenggaraan pemerintah Negara yang solid dan bertanggung jawab serta efisien dan efektif dengan menjaga, mensinergikan, interaksi yang konstruktif antara Negara, sektor swasta, dan masyarakat yang menjunjung tinggi kehendak rakyat dan nilai-nilai yang mampu meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan nasional, kemandirian, pembangunan berkelanjutan, dan berkeadilan sosial.

27 Ridwan HR, op.cit, h. 84.

(31)

Seiring dengan perjalanan waktu, asas-asas umum pemerintahan yang baik muncul dan dimuat dalam beberapa undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 35 dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75. Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 disebutkan asas umum penyelenggara negara yaitu:

1. Asas Kepastian Hukum yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara;

2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara;

3. Asas Kepentingan Umum yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif;

4. Asas Keterbukaan yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia Negara;

5. Asas Proporsionalitas yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara;

6. Asas Profesionalitas yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

7. Asas Akuntabilitas yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

(32)

Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Kolusi, Korupsi, Dan Nepotisme, ditambah asas efisiensi, asas efektivitas, dan asas keadilan.

6. Efektivitas Hukum

Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka kita pertama-tama harus dapat mengukur, sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati. Tentu saja, jika suatu aturan hukum ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, kita akan mengatakan bahwa aturan hukum yang bersangkutan adalah efektif. Namun demikian, sekalipun dapat dikatakan aturan yang ditaati itu efektif, tetapi kita tetap masih dapat mempertanyakan lebih jauh derajat efektifitasnya. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, seseorang menaati atau tidak suatu aturan hukum, tergantung pada kepentingannya.29

Faktor-faktor apa yang mempengaruhi ketaatan terhadap hukum secara umum, maka menurut saya, yang juga beberapa dari faktor berikut diakui oleh C. G. Howard & R. S. Mumners, antara lain:

a. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum itu.

b. Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum.

c. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu.

d. Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka seyogyanya aturannya bersifat melarang, dan jangan bersifat mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang (prohibitur) lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat mengharuskan (mandatur).

e. Sanksi yang diancamkan oleh aturan hukum itu, harus dipadankan dengan sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut.

f. Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum, harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan.

g. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut, adalah memang memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan diamacamkan sanksi, memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan penghukuman).

29 Satjipto Rahardjo, 2009, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Termasuk Interprestasi Undang-undang,

(33)

h. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relatif akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh orang-orang yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut.

i. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga tergantung pada optimal dan professional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan berlakunya aturan hukum tersebut.

j. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan adanya pada standar hidup sosio-ekonomi yang minimal di dalam masyarakat.30

Faktor-faktor yang dijelaskan tersebut tentu tidak akan dapat diterapkan jika tidak adanya kerja sama antara pemerintah dan masyarakat, dimana masyarakat berperan penting dalam mengawasi kinerja pemerintah agar tidak terjadinya kesewenang-wenangan pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya.

1.8 Metode Penelitian

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah jenis Penelitian Hukum Empiris. Penelitian hukum empiris merupakan penelitian ilmiah yang menjelaskan fenomena hukum tentang terjadinya kesenjangan antara norma dengan perilaku masyarakat (kesenjangan antara das sollen dan das sein atau antara the ought dan the is

atau antara yang seharusnya dan senyatanya di lapangan). Objek penelitian hukum empiris berupa pandangan, sikap, dan perilaku masyarakat dalam penerapan hukum.

b. Jenis Pendekatan

Agar memperoleh hasil yang mendekati kebenaran ilmiah, maka pada penelitian skripsi ini menggunakan 3 (tiga) jenis pendekatan, yaitu Pendekatan Fakta (The Fact Approach), Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach), dan Pendekatan Sejarah (Historical Approach).

(34)

c. Sifat Penelitian

Menurut sifat penelitiannya penulisan skripsi ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya dalam masyarakat.31

d. Sumber Data

Terdapat dua jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer (field research) dan data sekunder (library research). Penjelasan mengenai kedua sumber data tersebut adalah sebagai berikut:

1. Data Primer (Field Research)

Data Primer adalah data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama melalui penelitian langsung dengan melakukan wawancara atau interview.32 2. Data Sekunder (Library Research)

Data Sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan. e. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah antara lain:

1. Data primer teknik pengumpulannya dilakukan dengan teknik wawancara atau interview yaitu dengan mengadakan Tanya jawab secara langsung dengan narasumber

31Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 197.

(35)

yang berkaitan tentang permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. Selain dengan teknik wawancara, data primer didapat pula melalui teknik observasi/pengamatan yang dibedakan menjadi dua yaitu teknik observasi langsung maupun tidak langsung atau penelitian tanpa perantara alat atau dengan perantara alat.

2. Data sekunder dilakukan dengan teknik studi dokumen yang dimana studi dokumen atau studi kepustakaan merupakan metode pengumpulan data yang dipergunakan bersama-sama metode lain seperti wawancara, pengamatan (observasi), dan kuesioner.33

f. Teknik Pengolahan dan Analisa Data

Bahan hukum atau data yang sudah terkumpul, selanjutnya data tersebut akan diolah dan dianalisa secara kualitatif atau juga yang sering dikenal dengan analisis deskriptif kualitatif maka keseluruhan data yang terkumpul baik data primer maupun sekunder, akan diolah dan dianalisis dengan cara menyusun data secara sistimatis, digolongkan dalam pola dan tema, diklasifikasikan, dihubungkan antara satu dengan yang lainnya, dilakukan interprestasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan dilakukan penafsiran dari keseluruhan kualitas data.

(36)

BAB II

TINJAUAN UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK DALAM PELAYANAN

PERIZINAN DI DAERAH

1.1 Pengertian dan Prinsip Pemerintahan Yang Baik

a. Pengertian pemerintahan yang baik

Proses demokratisasi politik dan pemerintahan dewasa ini tidak hanya menuntut profesionalisme dan kemampuan aparatur dalam pelayanan publik, tetapi secara fundamental menuntut terwujudnya kepemerintahan yang baik, bersih, dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (good governance and clean government).1 Pemerintahan yang baik atau dalam bahasa Inggris disebut dengan Good Governance merupakan suatu konsep manajemen pemerintahan yang bertujuan untuk menciptakan kinerja pemerintah yang profesional dan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Good Governance yang dimaksud adalah merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and service disebut governance (pemerintah atau kepemerintahan), sedangkan praktek terbaiknya disebut “good governance” (kepemerintahan

yang baik). Agar “good governance” dapat menjadi kenyataan dan berjalan dengan baik, maka

dibutuhkan komitmen dan keterlibatan semua pihak yaitu pemerintah dan masyarakat. Good governance yang efektif menuntut adanya “alignment” (koordinasi) yang baik dan integritas,

profesional serta etos kerja dan moral yang tinggi. Dengan demikian penerapan konsep “good

1 Sedarmayanti, 2012, Good Governance “Kepemerintahan Yang Baik” Bagian Kedua Edisi revisi, Mandar Maju,

(37)

governance” dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintah negara merupakan tantangan

tersendiri.2

United Nation Development Program (UNDP) dalam dokumen kebijakannya yang

berjudul; “Governance for sustainable human development”, (1997), mendefinisikan

kepemerintahan (governance) sebagai berikut: “Governance is the exercise of economic, political, and administrative author to manage a country’s affairs at all levels and means by which state being of their population”. (“Kepemerintahan adalah pelaksanaan kewenangan/kekuasaan

dibidang ekonomi, politik dan administratif untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat”).3

Berikutnya secara konseptual pengertian kata baik (good) dalam istilah kepemerintahan yang baik (good governance) mengandung dua pemahaman:

Pertama, nilai yang menjungjung tinggi keinginan /kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.

Kedua, aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut.4

UNDP lebih jauh menyebutkan ciri Good Governance, yaitu mengikutsertakan semua, transparan dan bertanggung jawab, efektif dan adil, menjamin adanya supremasi hukum, menjamin bahwa prioritas politik, sosial, dan ekonomi didasarkan pada konsesus masyarakat, serta memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam proses pengembilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya pembangunan. Governance yang baik hanya dapat tercipta apabila dua kekuatan saling mendukung: warga yang bertanggung jawab, aktif dan

2 Sedarmayanti, 2012, Good Governance “Kepemerintahan Yang Baik” Bagian Pertama Edisi Revisi, Mandar

Maju, Bandung, (selanjutnya disingkat Sedarmayanti II), h. 2. 3Ibid, h. 3.

(38)

memiliki kesadaran, bersama dengan pemerintah yang terbuka, tanggap, mau mendengar, dan mau melibatkan.5 Kedua unsur tersebutlah yang dapat mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang adil dan bertanggung jawab.

b. Prinsip pemerintahan yang baik

Prinsip Good Governance menurut UNDP (United Nation Development Programe), Tahun 1997:

1. Participation (Partisipasi); 2. Rule of law (Kepastian Hukum); 3. Transparency (Transparansi); 4. Responsiveness (Tanggung Jawab);

5. Consensus Orientation (Berorientasi Pada Kesepakatan); 6. Equity (Keadilan);

7. Effectiveness and Efficiensy (Efektifitas dan Efisiensi); 8. Accountability (Akuntabilitas);

9. Strategic Vision (Visi Strategik).6

Selain prinsip yang dikemukakan UNDP, dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia juga mengatur tentang prinsip atau asas dari pemerintahan yang baik yaitu dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme disebutkan asas umum penyelenggara negara yaitu:

1. Asas Kepastian Hukum yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara;

2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara;

3. Asas Kepentingan Umum yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif;

4. Asas Keterbukaan yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia Negara;

5 Sedarmayanti, 2012, Good Governance “Kepemerintahan Yang Baik” & Good Corporate Governance “Tata Kelola Perusahaan Yang Baik” Bagian Ketiga Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disingkat Sedarmayanti III), h. 3.

(39)

5. Asas Proporsionalitas yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara;

6. Asas Profesionalitas yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

7. Asas Akuntabilitas yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain dari asas umum pemerintahan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, pemerintahan harus berprinsip demokrasi pula agar segala hal yang dilakukan pemerintah dapat diawasi dan dikritik oleh masyarakat untuk terciptanya kesejahteraan umum.

1.2 Kewajiban Pemerintah Daerah Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik

Konsep pemerintahan yang baik di Indonesia sesungguhnya sudah mutlak harus dilaksanakan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, yang ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan telah membuat modul baru untuk mensosialisasikan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) yang diawali dengan pembahasan konsep Good Governance dan telah lama disosialisasikan di berbagai kantor pemerintahan, dan sebagian diselenggarakan oleh lembaga non-pemerintahan seperti Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perguruan Tinggi.7

Walaupun aparat pemerintah sudah cukup memahami bahwa untuk masa yang akan datang, peran mereka akan berubah, namun yang menjadi masalah besar adalah adanya kesenjangan antara pemahaman Good Governance dengan kemauan untuk berubah. Dengan

(40)

demikian dapat disimpulkan bahwa isu Good Governance di lingkungan pemerintah sudah mengemuka, tetapi dalam praktek masih sangat terbatas.8

Kinerja pelayanan publik yang buruk merupakan hasil dari kompleksitas permasalahan yang ada di tubuh birokrasi antara lain: tidak adanya sistem insentif, buruknya tingkat diskresi atau pengambilan inisiatif yang ditandai dengan tingkat ketergantungan yang tinggi pada aturan formal dan petunjuk pimpinan dalam menjalankan tugas pelayanan. Pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah digerakan oleh peraturan dan anggaran, dan bukan digerakan oleh misi. Adanya budaya paternalisme yang tinggi, artinya aparat menempatkan pimpinan sebagai prioritas utama, bukan memprioritaskan kepentingan masyarakat.9

Sesuai dengan tuntutan nasional dan tantangan global untuk mewujudkan Good Governance diperlukan sumber daya manusia aparatur yang memiliki kompetensi jabatan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan. Untuk menciptakan sumber daya manusia aparatur yang memiliki kompetensi diperlukan peningkatan mutu profesionalisme sikap pengabdian dan kesetian pada perjuangan bangsa dan negara, semangat kesatuan dan persatuan, dan pengembangan wawasan pegawai negeri sipil, salah satunya melalui Pendidikan dan Pelatihan Jabatan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari usaha pembinaan Pegawai Negeri Sipil secara menyeluruh yang mengacu pada kompetensi jabatan.10

Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil, yang dimaksud kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang pegawai negeri sipil, berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya. Kepemerintahan yang

8Ibid, h. 6.

9Ibid, h. 7.

(41)

baik adalah kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip profesionalisme, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektifitas, supremasi hukum, dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat.11

Kewajiban pemerintah daerah dalam melaksanakan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik diatur dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494), yaitu:

Untuk dapat menjalankan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu, Pegawai ASN harus memiliki profesi dan Manajemen ASN yang berdasarkan pada Sistem Merit atau perbandingan antara kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang dimiliki oleh calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan yang dilaksanakan secara terbuka dan kompetitif, sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik.

Selain dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terdapat juga ketentuan yang mewajibkan pemerintah menjalankan pemerintahannya berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), yaitu berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) yang menyebutkan dalam Pasal 3 huruf f tentang tujuan dari Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yaitu “melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dan meneerapkan AUPB”. Dengan demikian sudah seharusnya pemerintah khususnya pemerintah daerah menjalankan pemerintahannya sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik agar terciptanya pemerintahan yang profesional dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

1.3 Pengertian dan Fungsi Perizinan

(42)

a. Pengertian Perizinan

Tidak mudah memberikan pengertian tentang izin, hal ini disebabkan karena antara para pakar tidak terdapat persesuaian paham, masing-masing melihat dari sisi yang berlainan terhadap objek yang didefinisikannya.12 Sebelum menyampaikan beberapa definisi izin dari pakar, terlebih dahulu dikemukakan beberapa istilah lain yang sedikit banyak memiliki kesejajaran dengan izin yaitu dispensasi, konsensi, dan lisensi.13

Dispensasi ialah keputusan administrasi negara yang membebaskan suatu perbuatan dari kekuasaan peraturan yang menolak perbuatan tersebut. WF. Prins mengatakan bahwa dispensasi adalah tindakan pemerintah yang menyebabkan suatu peraturan perundang-undangan menjadi tidak berlaku bagi sesuatu hal yang istimewa (relaxation legis).14 Lisensi adalah suatu izin yang memberikan hak untuk menyelenggarakan suatu perusahaan. Sedangkan konsensi merupakan suatu izin berhubungan dengan pekerjaan yang besar dimana kepentingan umum terlibat erat sekali sehingga sebenarnya pekerjaan itu menjadi tugas dari pemerintah, tetapi oleh pemerintah diberikan hak penyelenggaraannya kepada konsesionaris (pemegang izin) yang bukan pejabat pemerintah.15

Menurut Sjachran Basah izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkreto berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. E. Utrecht, mengatakan bahwa bilamana pembuat peraturan umumnya tidak melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankan asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, maka keputusan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning). Bagir Manan menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari

12 Ridwan HR, op.cit, h. 157.

13 Ridwan HR, loc.cit.

14 Ridwan HR, loc.cit.

(43)

pengusaha berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang.16

Jika dilihat sekilas pengertian izin dengan konsesi hampir sama, tetapi menurut E. Utrecht perbedaan antara izin dengan konsesi itu suatu perbedaan nisbi (relatif) saja. Pada hakikatnya antara izin dengan konsesi itu tidak ada suatu perbedaan yuridis. Sebagai contoh, suatu izin untuk mendapatkan batu bara menurut suatu rencana yang sederhana saja dan akan diadakan atas ongkos sendiri, tidak dapat disebut konsesi. Tetapi suatu izin diberikan menurut undang-undang tambang Indonesia untuk mendapatkan batu bara adalah suatu konsesi, oleh karena izin tersebut mengenai suatu pekerjaan yang besar dan pekerjaan yang besar itu akan membawa manfaat bagi umum. Jadi konsesi itu suatu izin pula, tetapi izin mengenai hal-hal yang penting bagi umum. Meskipun antara izin dan konsesi ini dianggap sama, dengan perbedaan relatif, akan tetapi terdapat perbedaan karakter umum. Izin adalah sebagai perbuatan hukum bersegi satu yang dilakukan oleh pemerintah, sedangkan konsesi adalah suatu perbuatan hukum bersegi dua, yakni suatu perjanjian yang diadakan antara yang memberi konsesi dengan yang diberi konsesi.17 Sehingga izin dan konsensi walaupun terlihat sama tetapi berbeda dalam penerapannya.

b. Fungsi Perizinan

Izin sebagai instrumen yuridis yang digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi para warga agar mau mengikuti cara yang dianjurkannya guna mencapai suatu tujuan konkret. Sebagai suatu instrumen, izin berfungsi selaku ujung tombak instrumen hukum sebagai pengarah, perkayasa, dan perancang masyarakat adil dan makmur itu dijelmakan. Hal ini berarti, lewat izin

16 Ridwan HR, op.cit, h. 159

(44)

dapat diketahui bagaimana gambaran masyarakat adil dan makmur itu terwujud. Ini berarti persyaratan-persyaratan, yang terkandung dalam izin merupakan pengendali dalam memfungsikan izin itu sendiri. Menurut Prajudi Atmosudirdjo, bahwa berkenaan dengan fungsi-fungsi hukum modern, izin dapat diletakan dalam fungsi menertibkan masyarakat.18

Selain fungsi dari perizinan terdapat pula hal yang perlu diketahui tentang perizinan yaitu mengenai tujuan dari perizinan itu sendiri. Adapun mengenai tujuan perizinan, hal ini tergantung pada kenyataan konkret yang dihadapi. Keragaman peristiwa konkret menyebabkan keragaman pula dari tujuan izin ini. Meskipun demikian, secara umum dapatlah disebutkan sebagai berikut :19

a. Keinginan mengarahkan (mengendalikan “sturen”) aktivitas-aktivitas tertentu (misalnya izin bangunan).

b. Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan).

c. Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin tebang, izin membongkar pada monument-monumen).

d. Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daerah padat penduduk). e. Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas (izin berdasarkan

drank en horecawet”, dimana pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu).

Inisiatif baik yang dilakukan pemerintah mengenai tujuan dari pelaksanaan izin sering kali disalah artikan oleh masyarakat terutama masyarakat yang berkepentingan tentang izin tersebut. Ketegasan pemerintahlah yang menjadi tolak ukur dalam menjalankan pelaksanaan pelayanan perizinan agar terciptanya ketertiban umum.

1.4 Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pelayanan Perizinan

Secara teoritis kewenangan dapat diperoleh melalui 3 cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan pemerintah daerah dalam memberikan suatu izin merupakan kewenangan dalam bentuk delegasi, dikarenakan berdasarkan pengertiannya yaitu delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.

18 Ridwan HR, op.cit, h. 167.

(45)

Pemerintah daerah dituntut untuk membuat inovasi dalam hal mempermudah pelayanan publik sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038) yang selanjutnya disebut UU Pelayanan

Publik, yaitu “Dalam rangka mempermudah penyelenggaraan berbagai bentuk pelayanan publik,

dapat dilakukan penyelenggaraan sistem pelayanan terpadu”, dan kemudian diteruskan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 215, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5357) yang selanjutnya disebut PP No. 96 Tahun 2012, menurut Pasal 14 PP No. 96 Tahun 2014 yaitu:

(1) Sistem pelayanan terpadu merupakan satu kesatuan proses pengelolaan pelayanan terhadap beberapa jenis pelayanan yang dilakukan secara terintegrasi dalam satu tempat baik secara fisik maupun virtual sesuai dengan Standar Pelayanan.

(2) Sistem pelayanan terpadu secara fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan melalui:

a. sistem pelayanan terpadu satu pintu; dan/atau b. sistem pelayanan terpadu satu atap.

(3) Sistem pelayanan terpadu secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem pelayanan yang dilakukan dengan memadukan pelayanan secara elektronik.

Dengan demikian pemerintah daerah dapat menentukan sistem pelayanan terpadu yang sesuai dengan kondisi pemerintahan di daerahnya masing-masing, baik sistem pelayanan terpadu satu pintu maupun sistem pelayanan terpadu satu atap.

Kewenangan pemerintah daerah dalam pelayanan perizinan sesuai dengan amanat Pasal 14 ayat (2) PP No. 96 Tahun 2014 yang diatur dalam Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 19 PP No. 96 Tahun 2014, yaitu:

Sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Pasal 16 ayat (3)):

(46)

a. penerimaan dan pemrosesan permohonan pelayanan yang diajukan sesuai dengan Standar Pelayanan dan menerbitkan produk pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. penolakan permohonan pelayanan yang tidak memenuhi persyaratan Standar Pelayanan;

c. pemberian persetujuan dan/atau penandatanganan dokumen perizinan dan/ atau nonperizinan atas nama pemberi delegasi wewenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. pemberian persetujuan dan/atau penandatanganan dokumen perizinan dan nonperizinan oleh penerima wewenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. penerimaan dan pengadministrasian biaya jasa pelayanan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan; dan

f. penetapan Standar Pelayanan dan Maklumat Pelayanan.

Sistem Pelayanan Terpadu Satu Atap (Pasal 19):

Pelaksana yang mendapat penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, mempunyai kewenangan:

a. penerimaan dan pemrosesan pelayanan yang diajukan sesuai dengan Standar Pelayanan;

b. penolakan permohonan pelayanan yang tidak memenuhi Standar Pelayanan; c. persetujuan permohonan pelayanan yang telah memenuhi Standar Pelayanan;

d. pengajuan penandatanganan dokumen perizinan dan nonperizinan kepada pimpinan instansi pemberi penugasan sesuai Standar Pelayanan;

e. penyampaian produk pelayanan berupa perizinan dan/atau nonperizinan kepada pemohon; dan

f. penerimaan dan pengadministrasian biaya jasa pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Referensi

Dokumen terkait

Pengumpulan data yang dilakukan berupa data sekunder yang diperoleh dari beberapa instansi terkait yaitu : Data kasus HIV dan AIDS, data penggunaan kodom diperoleh

Parfum Laundry Mamajang Beli di Toko, Agen, Distributor Surga Pewangi Laundry Terdekat/ Dikirim dari Pabrik BERIKUT INI JENIS PRODUK NYA:.. Kimia Untuk Keperluan Laundry Kiloan

Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi serta masukan publik tersebut, terdapat beberapa masukan umum, antara lain adanya pemahaman yang kurang tepat oleh masyarakat

Setelah tahapan instalasi dan konfigurasi telah berhasil dilakukan, maka seharusnya HAVP telah aktif dan berjalan. Pada tahapan pemeriksaan status layanan hanya

Petunjuk B dipergunakan untuk menjawab soal nomor 23 sampai dengan nomor 26.. Protalium tumbuhan paku mempunyai

Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa faktor utama asam humat memperlihatkan pertambahan tinggi tanaman yang nyata dengan pemberian pemberian 50 g/polybag dibandingkan

Kepala daerah sebagai unsur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan kepala pemerintahan daerah otonom yang berwenang mengatur dan mengurus urusan

Pada bagian hasil penelitian dan pembahasan merupakan bab ketiga akan membahas dan menguraikan mengenai jawaban dari rumusan masalah yaitu Bagaimana bentuk