• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DI KECAMATAN SAPEKEN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DI KECAMATAN SAPEKEN."

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”

Jawa Timur

Diajukan oleh :

Alifia Fatehatul Dalita

NPM : 0924010016

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL“ VETERAN” JAWA TIMUR

(2)
(3)
(4)

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat ALLAH SWT, atas rahmat dan

hidayah-NYA penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

“PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DI

KECAMATAN SAPEKEN”. Keberhasilan dalam penysunan skripsi ini tidak lepas

dari bantuan berbagai pihak yang banyak membantu. Karena itu penulis

mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ir.Mubarokah,MTP selaku dosen

pembimbing utama dan Bapak Prof. Dr. Ir. H. Syarif Imam Hidayat, MM selaku

dosen pembimbing pendamping yang telah banyak memberikan masukan dan

dorongan guna terselesaikannya skripsi ini, selain itu penulis juga mengucapkan

banyak terimakasi kepada :

1. Ibu dan Ayah yang senantiasa menjadi penguat dan penerang hidup penulis

serta memberikan dukungan baik berupa moril maupun material dalam

penulisan skripsi ini.

2. Bapak Dr.Ir Ramdan Hidayat, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” JATIM.

3. Bapak Dr.Ir Eko Nurhadi, MS selaku Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas

Pertanian Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” JATIM.

4. Rekan-rekan program studi Agribisnis Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” JATIM angkatan 2009.

5. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Skripsi ini baik secara

moril maupun material.

Surabaya, 31 Januari 2013

(5)

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... ii

DAFTAR TABEL ………... v

DAFTAR GAMBAR... Vii DAFTAR LAMPIRAN ... Viii I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

. E. Batasan Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA... 9

A. Penelitian Terdahulu ……..………...…………... 9

B. Agroindustri ... C. Sumber Daya Lokal ... 10 20 D. Pengembangan Pangan Lokal dan Diversifikasi Pangan ... 21

E. Kendala Dalam Pengembangan Sumber Daya Lokal …... 24

F. Biaya, Penerimaan, dan Pendapatan... 24

G. Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangan Agroindustri ……... 28

H. Kerangka Pemikiran Dan Hipotesis ...

1. Kerangka Pemikiran ...

2. Hipotesis ... 32

32

(6)

A. Penentuan Lokasi Penelitian ... 36

B. Pemilihan Responden ...………... 36

C. Pengumpulan Data... 38

D. Analisis Data ………... 39

E. Definisi Operasional Dan Pengukuran Variabel …... 45

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH ...………... 47

A. Gambaran Umum Wilayah Kecamatan Sapeken ... 47

B. Kondisi Geografis ...………... 47

C. Administrasi Pemerintahan ... 48

D. Keadaan Demografi ...………... 49

E. Keadaan Ekonomi ... 50

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..………... 53

A. Karakteristik Responden ... 53

B. Agroindustri Sangko’ ... 57

C. Analisis Perkembangan Produksi Sangko’ Per Catur Wulan ... 64

D. Analisis Pendapatan Usaha Agroindustri Sangko’... 66

1. Analisis Biaya Agroindustri Sangko’ ... 68

2. Analisis Kontribusi Agroindustri Sangko’ Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Pengusaha Sangko’ ... 71

a. Tingkat Pendapatan Sebelum Adanya Agroindustri Sangko’.. 72

b. Tingkat Pendapatan Sesudah Adanya Agroindustri Sangko’.. 73

(7)

1. Faktor Eksternal ... 77

2. Faktor Internal ... 83

F. Permasalah Dalam Agroindustri Sangko’... 87

VI. Simpulan Dan Saran ...

DAFTAR PUSTAKA ... 89

(8)

Indonesia yang juga banyak dikonsumsi oleh rakyat Indonesia sebagai sumber karbohidrat. Di Madura khususnya di Kabupaten Sumenep tepatnya di Desa Sakala Kecamatan Sapeken telah dikembangkan produk berbahan baku ketela pohon yang diolah menjadi makanan siap saji yang terkenal dengan nama sangko’ yang dapat dijadikan salah satu alternatif pilihan bahan pengan pengganti beras.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis perkembangan produksi sangko’ di Kecamatan Sapeken, untuk menganalisis kontribusi agroindustri sangko’ terhadap pendapatan rumah tangga di Kecamatan Sapeken, dan untuk menganalisis prospek pengembangan agroindustri sangko’. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Sapeken dengan fokus pada agroindustri sangko’ dengan bahan baku komoditas ketela pohon, Desa Sakala, Pagerungan Besar, dan Tanjung Kiaok dipilih sebagai lokasi pengamatan.

Responden meliputi produsen sangko’ dan konsumen sangko’, Metode penentuan responden menggunakan stratified random sampling, dimana pemilihan responden dilakukan dengan membagi rewsponen berdasarkan strata wilayah dan pemilihan responden kedua dengan menggunakan Purposive Random Sampling dimana pemilihan responden dilakukan secara sengaja. Pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Dari data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder diolah dengan menggunakan metode analisa data yang di pergunakan adalah metode analisa data deskriptif dan menggunakan model statistika sederhana.

Perkembangan volume produksi sangko’ percaturwulan yakni bulan

juni 2008 sampai dengan agustus 2012 cenderung meningkat. Kontribusi

sangko’ terhadap pendapatan rumah tangga positif dan pengembangan

agroindustri sangko’ di Kecamatan Sapeken memiliki prospek yang baik,

hal ini bisa dilihat dari faktor internal maupun eksternal yang berpotensi

dalam mendukung pengembangan agroindustri sangko’.

Sangko’ diberi variasi rasa agar sesuai dengan selera konsumen,

Pengembangan teknologi berupa alat – alat terbaru diperlukan untuk

mendukung pengembangan agroindustri sangko’, diperlukan informasi

tentang teknologi pengering yang dapat membantu proses pengeringan

pada saat musim hujan, selain itu sebaiknya Gapoktan Nurul Amin

sebagai pedagang besar, membuka toko di kecamatan dan di kabupaten.

(9)

agroindustri sangko’ terhadap pendapatan rumah tangga di Kecamatan Sapeken, dan untuk menganalisis prospek pengembangan agroindustri sangko’. Untuk mecapai tujuan pertama digunakan analisis trend, tujuan kedua menggunakan analisis pendapatan dan kontribusi sedangkan tujuan ketiga mengunakan analisis deskriptif. Perkembangan volume produksi sangko’ percaturwulan yakni bulan juni 2008 sampai dengan agustus 2012 cenderung meningkat. Kontribusi sangko’ terhadap pendapatan rumah tangga positif dan pengembangan agroindustri sangko’ di Kecamatan Sapeken memiliki prospek yang baik, hal ini bisa dilihat dari faktor internal maupun eksternal yang berpotensi dalam mendukung pengembangan agroindustri sangko’.

Kata Kunci : Pengembangan Agroindustri Berbasis Sumber Daya Lokal (sangko’)

ABSTRACT

The purpose of this research is to analyze the development of sangko’ production in sapeken sub district, to analyze the contribution of sanko’ agroinstry towards household revenue/income in Sapeken sub district and to analyze the future of sangko’ agroindustry development. To accomplish the first purpose, the analysis used is the trend one, second puspose using both income/revenue and contribution analusis moreover the third purpose using descriptive analysis. The development of sangko’ production volume per 4 months from Juni 2088 to Auggust 2012 tends to be increasing sangko’ production contribution towards household income shows a positive manner and the development of sangko’ production in Sapeken sub district is prosperous, it can be seen both from internal and eksternal factors in supporting sangko’ agroindustry development.

(10)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah

daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu

pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk

menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan

kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. (Lincolin

Arsyad, 1999).

Agroindustri merupakan sektor yang esensial dan besar kontribusinya

dalam mewujudkan sasaran-sasaran dan tujuan tujuan pembangunan ekonomi

nasional, seperti pertumbuhan ekonomi (PDB), kesempatan kerja, peningkatan

devisa negara, pembangunan ekonomi daerah, dan sebagainya. Agroindustri

diharapkan mempunyai kemampuan untuk ikut memacu pertumbuhan dan

perkembangann ekonomi nasional. Untuk melanjutkan misi tersebut, agroindustri

membutuhkan payung pelindung berupa kebijaksanaan makro dan mikro.

Kebijaksanaan ekonomi makro dan mikro diharapkan agar dapat menciptakan

kesempatan dan kepastian usaha, melalui perannya sebagai penyedia pangan,

secara beragam dan bermutu, dan peningkatan nilai tambah yang, pada

gilirannya, dapat meningkatkan pendapatan atau daya beli penduduk.

Prospek industri pangan di Indonesia cukup cerah karena tersedianya

sumberdaya alam yang melimpah. Pengembangan industri sebaiknya

memanfaatkan bahan baku dalam negeri dan menghasilkan produk-produk yang

memiliki nilai tambah tinggi terutama produk siap saji, praktis dan memperhatikan

masalah mutu (Lukmito, 2004). Regulasi pemerintah melalui Perpres No. 22

(11)

Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal menjadi payung hukum pada pemanfaatan

potensi pangan lokal yang ada di wilayah.

Upaya peningkatan nilai tambah melalui kegiatan agroindustri selain

meningkatkan pendapatan juga dapat berperan penting dalam penyediaan

pangan bermutu dan beragam yang tersedia sepanjang waktu. Dengan

demikian, ketika terjadi kelangkaan pangan pada saat produksi rendah, maka

pelaku agroindustri dapat berperan dalam menstabilkan harga. seperti diketahui,

agroindustri dapat berperan dalam peningkatan nilai tambah melalui empat

kategori agroindustri (Saefuddin, 1999) dari yang paling sederhana (pembersihan

dan pengelompokan hasil atau (grading); pemisahan (ginning) penyosohan,

pemotongan dan pencampuran hingga pengolahan (pemasakan, pengalengan,

pengeringan, dsb) dan upaya merubah kandungan kimia (termasuk pengkayaan

kandungan gizi). Masing-masing jenis dan tingkat kegiatan memiliki karakteristik

kebijaksanaan pengembangan yang spesifik, dalam hal; tingkat kesulitan, modal

kerja, tingkat resiko, teknologi yang dibutuhkan dan tingkat marjin yang

diperoleh. Oleh karena itu diperlukan kebijaksanaan makro maupun mikro yang

mampu, di satu pihak memberi insentif kepada pelaku agroindustri agar

mengembangkan keseluruhan jenis kegiatan di atas secara propor-sional. Di

pihak lain, pengaturan tersebut diperlukan agar terdapat peningkatan keahlian

pada setiap jenis kegiatan agroindustri.

Angka kemiskinan di Jawa Timur berdasarkan data Pendataan Program

Perlindungan Sosial (PPLS’08) BPS Tahun 2009, jumlah rumah tangga miskin

pada Maret 2009 sebesar 6.022.590 jiwa (16,68%) dari total jumlah penduduk

dengan jumlah pengangguran sebesar 1,36 juta jiwa. Dari data ini 64,3%

penduduk miskin berada di wilayah perdesaan yang menggantungkan hidupnya

(12)

skala luas. Melalui pengembangan agroindustri pangan di daerah yang

menggunakan bahan baku pangan lokal diharapkan akan terjadi peningkatan

jumlah pangan dan jenis produk pangan yang tersedia di pasar lebih beragam,

yang pada gilirannya akan berdampak pada keanekaragaman produksi dan

konsumsi pangan. Selain itu, adanya pengembangan agroindustri pangan juga

dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan pendapatan petani seperti

berkembangnya perekonomian di pedesaan secara luas dan menghemat devisa

negara.

Kebijakan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk

mendorong agroindustri berbasis pangan lokal sangat diperlukan. Pembangunan

infrastruktur yang memadai, seperti jalan raya, jaringan telekomunikasi dan listrik,

akan memperlancar kegiatan pengolahan dan distribusi. Pemberian kredit

dengan bunga lebih murah untuk modal kerja dan pembelian alat bagi

agroindustri skala kecil dan menengah dapat meringankan beban biaya produksi.

Disamping itu makanan berbasis pangan lokal perlu terus dipromosikan melalui

kegiatan resmi pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah. Makanan tradisional

perlu terus dipromosikan di hotel, restoran, kereta api, kapal laut, maupun

pesawat terbang. Festival masakan tradisional berbahan baku lokal perlu

diadakan secara rutin di tiap daerah mapun tingkat nasional sebagai upaya

promosi pangan lokal (Herman Supriadi, 2005).

Ketela pohon merupakan salah satu komuditas yang banyak di jumpai di

Indonesia yang juga banyak dikonsumsi oleh rakyat Indonesia sebagai sumber

karbohidrat. Di Madura khususnya di Kabupaten Sumenep tepatnya di

Kecamatan Sapeken menghasikan singkong yang melimpah, menurut data

Dinas Pertanian Kabupaten Sumenep luasan panen ketela pohon mencapai

4400 Km2, ketela pohon menjadi produk utama hasil pertanian selain hasil laut.

(13)

merupakan bahan makanan pengganti beras penduduk setempat. Ketela pohon

menjadi salah satu bahan makanan di Kecamatan Sapeken, utamanya di 5 (lima)

desa dari 9 (sembilan) desa yang ada, yaitu Desa Sakala, Pagerungan Besar,

Pagerungan Kecil, Tanjung Kiaok dan Desa Sepanjang. Penanaman ketela

pohon di lakukan di lahan pekarangan, tegal dan memanfaatkan lahan hutan.

Meskipun menerapkan teknologi budidaya yang masih sederhana, ketela pohon

tumbuh dengan subur dan hasil produktivitasnya sangat tinggi, seringkali ketela

pohon ditanam secara tumpangsari dengan komoditas lain seperti jagung,

kacang hijau dan kacang tanah.

Menelaah peran agroindustri terhadap perekonomian yang begitu

penting, maka permasalahan mendasar yang menarik untuk diteliti adalah sejauh

mana Dampak pengembangan agroindustri berbahan baku ketela pohon

(Sangko’) terhadap penguatan ekonomi lokal di Kecamatan Sapeken. Apakah

pengembangan agroindustri tersebut berkembang sesuai dengan yang

direncanakan, yaitu mampu memberikan kontribusi terhadap pendapatan di

Kecamatan Sapeken. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penelitian ini

ditujukan untuk mengetahui kontribusi pengembangan agroindustri terhadap

penguatan ekonomi di Kecamatan Sapeken. Dalam penelitian ini, agroindustri

diarumah tanggaikan sebagai semua kegiatan yang terkait erat dengan

pengolahan hasil-hasil pertanian.

B. Rumusan Masalah

Kegiatan agroindustri yang merupakan bagian integral dari sektor pertanian

mempunyai kontribusi penting dalam proses industrialisasi terutama di wilayah

pedesaan. Efek agroindustri tidak hanya mentransformasikan produk primer ke

(14)

nilai tambah rendah menjadi budaya kerja industrial modern yang menciptakan

nilai tambah tinggi (Suryana, 2004).

Pengembangan sumberdaya ekonomi lokal saat ini menjadi

kecenderungan baru dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat

dan daerah. Faktor lokalitas menjadi penekanan baik terkait dengan sumberdaya

alam (bahan baku) maupun sumberdaya manusianya (produsen, tenaga kerja).

Di Kecamatan Sapeken telah dikembangkan produk berbahan baku ketela pohon

yang diolah menjadi makanan siap saji yang terkenal dengan nama sangko’ yang

dapat dijadikan salah satu alternatif pilihan bahan pangan pengganti beras.

Seperti yang telah dijelaskan di atas potensi budidaya ketela pohon sebagai

bahan baku utama pembuatan Sangko’ di Kecamatan Sapeken terbilang baik hal

ini dapat dilihat dari luasan panen ketela pohon mencapai 440 Ha dengan

produksi rata-rata 56.985 Kw / Ha, angka tersebut sedikit lebih tinggi dari

produksi ketela pohon kabupaten sumenep ( Data UPT Pertanian Kecamatan

Sapeken 2011).

Pada saat panen raya, harga ketela pohon cenderung murah yaitu Rp.

1.000 /Kg di tingkat petani, kondisi ini tentunya mengakibatkan menurunnya

pendapatan petani, sedangkan harga ditingkat pasar kecamatan Rp 1.500,-/kg,

namun demikian walaupun ada selisih harga di tingkat petani dengan harga

ditingkat pasar kecamatan sebesar Rp 500,-/kg tetap saja tidak ada nilai tambah

bagi pendapatan petani, karena untuk sampai ke tingkat pasar kecamatan petani

harus mengeluarkan biaya tambahan yaitu biaya buruh angkut dan biaya ongkos

perahu/kapal, mengingat Jarak sentra produksi dengan pasar kecamatan sangat

jauh yakni 36 mill laut atau sekitar 57,6 Km.

Dari sisi suplai sumberdaya, agroindustri sangko’ masih memiliki bahan

(15)

sementara itu kapasitas produksi usaha agroindustri sangko’ masih dapat

ditingkatkan dengan cara modernisasi teknologi pengolahan, yaitu berupa

mesin-mesin pengolahan, sebagaimana yang telah digunakan oleh sebagian kecil

produsen sangko’, sebagai akibat dari letak giografis kecamatan Sapeken sangat

jauh berada di kepulauan, sedangkan alat alat tersebut adanya hanya di kota

Sumenep atau di kota kota lain di Jawa, seperti Banyuwangi, Situbondo, atau di

Surabaya, satu-satunya alat transportasi yang menghubungkan Kecamatan

Sapeken dengan daerah tersebut diatas adalah transportasi kapal laut, yang

tentunya sangat bergantung pada keadaan cuaca sehingga menyulitkan dalam

pengiriman mesin – mesin tersebut, keadaan tersebut juga berdampak pada

besarnya biaya transportasi dan biaya pengiriman mesin – mesin tersebut.

Berdasarkan situasi dan kondisi itulah maka agroindustri sangko’

diharapkan dapat memberikan nilai tambah pada komuditas ketela pohon

sehingga petani dapat menutupi biaya produksi dan juga memungkinkan untuk

memperoleh keuntungan. Selain itu agroindustri sangko’ juga dapat membuka

lapangan kerja bagi masyarakat di Kecamatan Sapeken terutama pada saat

cuaca buruk seperti ombak besar sehingga masyarakat yang mayoritas nelayan

tetap dapat memperoleh penghasilan dengan cara memasok sangko’ kepada

pedagang besar (Gapoktan Nurul Amin) untuk memenuhi kebutuhan sehari –

hari, dengan demikian berdampak pula terhadap naiknya harga jual ketela

pohon.

Untuk itulah penulis tertarik untuk mengadakan penelitian agar diketahui

seberapa besar kontribusi agroindustri khususnya agroindustri sangko’ terhadap

pendapatan rumah tangga produsen sangko’ di Kecamatan Sapeken agar dapat

menjadi informasi bagi petani lain tentang kontribusi agroindustri sangko’

(16)

memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pengembangan ekonomi lokal

di Kecamatan Sapeken.

Proses pembuatan sangko’ terbilang cukup mudah, sehingga

pengembangan agroindustri ini sangat memungkinkan untuk dilakukan. Faktor –

faktor seperti kebijakan pendukung, potensi bahan baku lokal, potensi pasar,

potensi penanawaran, dan potensi permintaan perlu dilihat untuk mengetahui

prospek pengembangan agroindustri sangko’. Berdasarkan permasalahan yang

telah di uraikan diatas dapat disusun rumusan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana perkembangan produksi sangko’ di Kecamatan Sapeken ?

2. Bagaimana kontribusi agroindustri sangko’ terhadap pendapatan rumah

tangga di Kecamatan Sapeken ?

3. Bagaimana prospek pengembangan agroindustri sangko’ ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis perkembangan produksi sangko’ di Kecamatan

Sapeken.

2. Untuk menganalisis kontribusi agroindustri sangko’ terhadap pendapatan

rumah tangga di Kecamatan Sapeken.

3. Untuk menganalisis prospek pengembangan agroindustri sangko’.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi mahasiswa

Dengan melaksanakan penelitian ini maka mahasiswa diharapkan

dapat lebih memahami, menganalisa dan mengantisipasi suatu problema

yang ada di masyarakat khususnya masyarakat di Kecamatan Sapeken,

selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar bagi

(17)

2. Bagi Produsen

Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan

masukan-masukan ataupun sumbangan pikiran bagi produsen Sangko’ untuk

merencanakan konsep - konsep perbaikan dengan

mempertimbangakan kebutuhan masyarakat sehingga masyarakat

dapat memperbaiki kehidupan ekonominya.

3. Bagi pemerintah

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan

dalam pengambilan kebijakan dalam rangka pengembangan

penguatan ekonomi lokal dan penguatan ketahanan seperti

kedaulatan pangan berbasis agroindustri yang berbahan baku

sumberdaya lokal ( ketela pohon) di daerah.

E. Batasan Penelitian

Sumber daya lokal sebagai sektor penggerak perekonomian di

Kecamatan Sapeken meliputi bidang pertanian tanaman pangan,

kehutanan dan perkebunan, peternakan, perikanan, industri, energi dan

Pertambanganseperti wisata. Dalam penelitian ini penulis hanya ingin

meneliti sumber daya lokal pertanian tanaman pangan khususnya ketela

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Fitri Rahmawati, dalam penelitianya yang berjudul Pengembangan Industri

Kreatif Melalui Pemanfaatan Pangan Lokal Singkong menyatakan bahwa

Pemilihan sumber pangan lokal sebagai cadangan pangan akan menimbulkan

efek positif, seperti terhidupinya para petani dan tumbuhnya industri pangan

lokal, seperti industri pengolahan pangan non beras yang berbasis lokal

termasuk tepung singkong dan mengurangi ketergantungan pada produk pangan

impor. Dipilihnya singkong juga sangat tepat mengingat manfaat dan kegunaan

singkong cukup luas, terutama untuk industri makanan dan juga sebagai produk

antara. Banyaknya manfaat dan kegunaan dari singkong, memungkinkan

singkong lebih ditumbuhkembangkan di daerah – daerah sentra produksi

singkong. Penelitian juga mengungkapkan bahwa kemampuan substitusi tepung

kasava pada mie dan kue kering/biskuit dapat mencapai 50%, untuk roti 25%

sedangkan untuk cake dapat mengganti 100% terigu. Dengan demikian, peluang

tepung kasava sebagai sumber pangan sangat besar.

Herman Supriadi, 2005, dalam penelitiannya tentang Potensi, Kendala Dan

Peluang Pengembangan Agroindutri Berbasis Pangan Lokal Ubikayu

menyatakan Agroindustri tiwul instan menghasilkan 500 kg produk per bulan dari

bahan baku gaplek sebanyak 1.000 kg. Total biaya produksi tiwul instan

mencapai Rp 807.500 dan nilai jual produknya adalah Rp 1.250.000. Dengan

demikian keuntungannya sebesar Rp 442.000 (Tabel 8.). Struktur biaya gatot

instan dan tiwul instan sangat mirip. Agroindustri yang membuat tiwul instan

biasanya juga membuat gatot instan yang pengolahannya memang tidak jauh

(19)

Jantje G. Kindangen pada Seminar Regional Inovasi Teknologi Pertanian,

mendukung Program Pembangunan Pertanian Propinsi Sulawesi Utara yang

menyampaikan Prospek Pengembangan Agroindustri Pangan Dalam

Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Tani Di Kabupaten Minahasa Tenggara

mengatakan usaha pengolahan melalui penerapan teknologi pengolahan hasil

diperoleh potensi nilai produksi sebesar labih dari Rp 200 milyar/tahun

(meningkat 92,3 %). Kemudian bila disertai usaha intensif dan pengolahan hasil

dibandingkan dengan nilai produksi sekarang meningkat sebesar Rp 534,26

milyar/tahun. Jika ditambah dengan berbagai produk pangan lainnya termasuk

berbagai produk ternak dilakukan secara intensif disertai pengolahan hasil maka

akan diperoleh potensi nilai produksi mendekati Rp 1 triliun/tahun, kalau

dibanding dengan PDRB Kabupaten Minahasa Tenggara tahun 2009 mencapai

Rp 1,1 triliun.

B. Agroindustri

Agroindustri adalah industri yang mengolah komoditas pertanian primer

menjadi produk olahan baik produk akhir (Finish Product) maupun produk antara

(Intermediate Product). Sebenarnya agroindustri ada dua yaitu seperti pengertian

tersebut di atas yang disebut agroindustri hilir dan agroindustri hulu yaitu industri

yang menghasilkan produk-produk berupa alat dan mesin pertanian, sarana

produksi pertanian dan bahan-bahan yang diperlukan oleh sector pertanian

(Masyhuri, 2000).

Agroindustri berasal dari dua kata agricultural dan industry yang berarti

suatu industri yang menggunakan hasil pertanian sebagai bahan baku utamanya

atau suatu industri yang menghasilkan suatu produk yang digunakan sebagai

sarana atau input dalam usaha pertanian. Definisi agroindustri dapat dijabarkan

(20)

baku, merancang, dan menyediakan peralatan seperti jasa untuk kegiatan

tersebut. Dengan demikian agroindustri meliputi industri pengolahan hasil

pertanian, industri yang memproduksi peralatan dan mesin pertanian, industri

input pertanian (pupuk, pestisida, herbisida dan lain-lain) dan industri jasa sektor

pertanian.

Apabila dilihat dari sistem agribisnis, agroindustri merupakan bagian

(subsistem) agribisnis yang memproses dan mentranformasikan bahan-bahan

hasil pertanian (bahan makanan, kayu dan serat) menjadi barang-barang

setengah jadi yang langsung dapat dikonsumsi dan barang atau bahan hasil

produksi industri yang digunakan dalam proses produksi seperti traktor, pupuk,

pestisida, mesin pertanian dan lain-lain. Dari batasan diatas, agroindustri

merupakan sub sektor yang luas yang meliputi industri hulu sektor pertanian

sampai dengan industri hilir. Industri hulu adalah industri yang memproduksi

alat-alat dan mesin pertanian seperti industri sarana produksi yang digunakan dalam

proses budidaya pertanian. Sedangkan industri hilir merupakan industri yang

mengolah hasil pertanian menjadi bahan baku atau barang yang siap dikonsumsi

atau merupakan industri pascapanen dan pengolahan hasil pertanian.

Dalam kerangka pembangunan pertanian, agroindustri merupakan

penggerak utama perkembangan sektor pertanian, terlebih dalam masa yang

akan datang posisi pertanian merupakan sektor andalan dalam pembangunan

nasional sehingga peranan agroindustri akan semakin besar. Dengan kata lain,

dalam upaya mewujudkan sektor pertanian yang tangguh, maju dan efisien

sehingga mampu menjadi leading sector dalam pembangunan nasional, harus

ditunjang melalui pengembangan agroindustri, menuju agroindustri yang

(21)

Kegiatan agroindustri merupakan bagian integral dari pembangunan

sektor pertanian. Efek agroindustri mampu mentransformasikan produk primer ke

produk olahan sekaligus budaya kerja bernilai tambah rendah menjadi budaya

kerja industrial modern yang menciptakan nilai tambah tinggi (Suryana, 2005).

Selanjutnya Hicks (1995) mengatakan bahwa, agroindustri adalah kegiatan

dengan ciri:

(a) meningkatkan nilai tambah

(b) menghasilkan produk yang dapat dipasarkan atau digunakan atau dimakan

(c) meningkatkan daya simpan, dan (d) menambah pendapatan dan keuntungan

produsen.

Simatupang dan Purwoto (1990) menyebutkan, pengembangan

agroindustri di Indonesia mencakup berbagai aspek, diantaranya menciptakan

nilai tambah, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan penerimaan devisa,

memperbaiki pemerataan pendapatan, bahkan mampu menarik pembangunan

sektor pertanian sebagai sektor penyedia bahan baku. Pengembangan

agroindustri dengan bahan baku yang tersedia dalam jumlah dan waktu yang

sesuai, merupakan syarat kecukupan untuk berproduksi secara berkelanjutan.

Optimalisasi nilai tambah dicapai pada pola industri yang berintegrasi langsung

dengan usahatani keluarga dan perusahaan pertanian. Namun pembagian nilai

tambah belum terbagi secara adil antar para pelaku industri. Akibatnya,

pemerataan pendapatan semakin sulit dicapai. Agroindustri sangat diharapkan

dalam mengurangi masalah kemiskinan dan pengangguran seperti sekaligus

sebagai penggerak industrialisasi pedesaan.

Dampak positif dari agroindustri yang tumbuh dan berkembang didaerah

pedesaan adalah membuka antara satu desa dengan desa-desa lainnya atau

dengan kota sehingga memberikan kesempatan kepada penduduk desa untuk

(22)

terhadap perekonomian nasional menurut Soekartawi (1991) dalam penciptaan

lapangan kerja dengan memberikan kehidupan bagi sebagian besar penduduk

indonesia yang bekerja di sektor pertanian :

1. Peningkatan kualitas produk pertanian untuk menjamin pengadaan bahan

baku industri pengolahan hasil pertanian.

2. Perwujudan pemerataan pembangunan di berbagai pelosok tanah air

yang mempunyai potensi pertanian sangat besar terutama diluar pulau

jawa.

3. Mendorong terciptanya ekspor komoditi pertanian.

4. Meningkatkan nilai tambah produk pertanian

Menurut Austin (1992), agroindustri hasil pertanian mampu memberikan

sumbangan yang sangat nyata bagi pembangunan di kebanyakan negara

berkembang karena empat alasan, yaitu:

Pertama, agroindustri hasil pertanian adalah pintu untuk sektor pertanian.

Agroindustri melakukan transformasi bahan mentah dari pertanian termasuk

transformasi produk subsisten menjadi produk akhir untuk konsumen. Ini

berartibahwa suatu negara tidak dapat sepenuhnya menggunakan sumber daya

agronomis tanpa pengembangan agroindustri. Disatu sisi, permintaan terhadap

jasa pengolahan akan meningkat sejalan dengan peningkatan produksi

pertanian. Di sisi lain, agroindustri tidak hanya bersifat reaktif tetapi juga

menimbulkan permintaan ke belakang, yaitu peningkatan permintaan jumlah dan

ragam produksi pertanian. Akibat dari permintaan ke belakang ini adalah: (a)

petani terdorong untuk mengadopsi teknologi baru agar produktivitas meningkat,

(b) akibat selanjutnya produksi pertanian dan pendapatan petani meningkat, dan

(c) memperluas pengembangan prasarana (jalan, listrik, dan lain-lain).

(23)

permintaan terhadap makanan olahan semakin beragam seiring dengan

pendapatan masyarakat dan urbanisasi yang meningkat. Indicator penting

lainnya tentang pentingnya agroindustri dalam sektor manufaktur adalah

kemampuan menciptakan kesempatan kerja. Di Amerika Serikat misalnya,

sementara usahatani hanya melibatkan 2 persen dari angkatan kerja,

agroindustri melibatkan 27 persen dari angkatan kerja.

Ketiga, agroindustri pengolahan hasil pertanian menghasilkan komoditas

ekspor penting. Produk agroindustri, termasuk produk dari proses sederhana

seperti pengeringan, mendomonasi ekspor kebanyakan negara berkembang

sehingga menambah perolehan devisa. Nilai tambah produk agroindustri

cenderung lebih tinggi dari nilai tambah produk manufaktur lainnya yang diekspor

karena produk manufaktur lainnya sering tergantung pada komponen impor.

Keempat, agroindustri pangan merupakan sumber penting nutrisi.

Agroindustri dapat menghemat biaya dengan mengurangi kehingan produksi

pasca panen dan menjadikan mata rantai pemasaran bahan makanan juga dapat

memberikan keuntungan nutrisi dan kesehatan dari makanan yang dipasok kalau

pengolahan tersebut dirancang dengan baik.

Sektor agroindustri memiliki peluang untuk berkembang secara

meyakinkan, terutama bila dikelola secara arif dan bijaksana. Peluang tersebut

adalah :

a. Jumlah penduduk Indonesia yang kini berjumlah lebih dari 220 juta jiwa

merupakan aset nasional dan sekaligus berpotensi menjadi konsumen produk

agroindustri. Namun bila potensi ini tidak dikelola dengan baik, maka justru

akan menjadi beban bagi kita semua. Tingkat pendapatan masyarakat yang

semakin meningkat merupakan kekuatan yang secara efektif akan

(24)

b. Berlangsungnya era perdangangan bebas berskala internasional, telah

semakin membuka kesempatan untuk mengembangkan pemasaran produk

agroindustri.

c. Penyelenggaran otonomi daerah memberikan harapan baru akan munculnya

prakarsa dan swakarsa daerah untuk menyelenggarakan pembangunan

sesuai dengan program dan aspirasi wilayah yang spesifik dan berdaya saing.

Peningkatan kinerja pemerintah daerah, bila dibarengi dengan stabilitas politik

merupakan faktor penting yang akan menarik minat para investor untuk

mengembangkan agroindustri.

d. Dari sisi suplai sumberdaya, agroindustri masih memiliki bahan baku yang

beragam, berlimpah dalam jumlah dan tersebar di seluruh penjuru tanah air.

Sementara itu kapasitas produksi usaha agroindustri yang masih dapat

ditingkatkan. Modernisasi dan teknologi pengolahan yang semakin banyak

diaplikasikan, merupakan jaminan akan meningkatnya kualitas dan kuantitas

produksi agroindustri.

e. Dalam proses produksinya, bahan baku agroindustri tidak bergantung pada

komponen impor. Sementara pada sisi hilir, produk agroindustri umumnya

berorientasi ekspor. Dihadapkan pada peluang, sebagaimana diuraikan di

atas, sektor agroindustri memiliki potensi dan peluang cukup menjanjikan

untuk dikembangkan.

Herman Supriadi, 2007, mengatakan pengembangan agroindustri

berbahan baku ketela pohon di Jawa Timur dipengaruhi oleh beberapa faktor

(internal maupun eksternal) yang bisa berupa kekuatan maupun kelemahan dan

peluang maupun ancaman. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalamm

(25)

1. Ketersediaan Bahan Baku

Agroindustri berbasis pangan lokal memerlukan bahan baku

berupa hasil pertanian yang sesuai untuk diproses menjadi produk

pangan. Hasil pertanian yang berasal dari produksi setempat akan

mempermudah produsen agroindustri memperolehnya. Disamping lebih

dekat sumber bahan bakunya, harganya bisa lebih murah dibanding

membeli bahan baku dari daerah lain yang lokasinya lebih jauh. bahwa

produksi pertanian setempat mencukupi untuk bahan baku agroindustri

yang ada di wilayah tersebut. Bisa dikatakan bahwa agroindustri tersebut

tumbuh seiring dengan ketersediaan bahan baku yang relatif mencukupi.

Kontinuitas pasokan bahan baku sangat diperlukan agar

agroindustri bisa beroperasi sepanjang tahun. Ubikayu bersifat musiman

tetapi masih bisa diperoleh sepanjang tahun walaupun jumlahnya

berfluktuasi. Pada musim panen suplai ubikayu relatif berlimpah,

selebihnya bahan baku tersedia tetapi dalam jumlah yang relatif sedikit.

Fluktuasi suplai bahan baku dicerminkan oleh fluktuasi harga komoditas

tersebut. Jumlah permintaan yang relatif tetap sepanjang tahun dan

suplai yang bervariasi antar musim membuat harga barang tersebut

berfluktuasi. Walaupun petani sari patidi Jayapura mempunyai persediaan

sepanjang tahun tetapi mereka menjual dalam jumlah relatif banyak pada

periode tertentu. Produsen agroindustri berupaya membeli bahan baku

dalam jumlah relatif lebih banyak pada musim panen ketika harga murah.

Pembelian ini untuk mengkompensasi pembelian yang relatif sedikit diluar

musim panen atau pada waktu pasokan di pasar menipis. Walaupun

demikian produsen agroindustri tidak bisa membeli bahan baku

(26)

Pembelian dalam julmah besar memerlukan biaya yang juga besar.

Disamping itu gaplek maupun tepung tapioka, tidak bisa disimpan dalam

waktu lama. Penyimpanan dalam waktu lama bisa dilakukan tetapi akan

memakan biaya yang relatif besar.

2. Teknologi Pengolahan

Ketrampilan yang dimiliki oleh rumah tangga dalam mengolah bahan

pangan lokal menjadi makanan pokok merupakan pengetahuan yang

diperoleh secara turun-temurun. Banyak jenis menu selain yang sudah

secara tradisional diolah. Walaupun demikian tidak mudah bagi rumah

tanga setempat untuk mengadopsi menu baru tersebut. Hal ini terkait

dengan selera yang tidak mudah untuk berubah.

Agroindustri berbasis pangan lokal juga sangat jarang

mengintroduksi produk baru. Secara teknis produk pangan baru yang

berasal dari daerah lain atau agroindustri lain relatif mudah dipelajari dan

dipraktekkan. Selera pasar sangat mempengaruhi jenis produk pangan

yang dihasilkan oleh agroindustri. Disamping itu harga produk pangan

tersebut harus terjangkau oleh konsumen.

Peralatan untuk pengolahan umumnya relatif sederhana dan

masih manual. Beberapa agroindustri menggunakan mesin untuk

pengolahan produk, misalnya mesin pengggilingan pada agroindustri

tapioka, tiwul instan, Untuk pengeringan produk, misalnya agroindustri

krupuk, masih menggunakan sinar matahari. Skala usaha agroindustri

sangat menentukan jenis alat yang digunakan. Alat yang digunakan

umumnya masih sederhana karena skala sahnya masih relatif kecil.

(27)

instan dan tiwul instan di Kabupaten Sumenep tidak dipergunakan

karena ukurannya terlalu besar.

Jika alat tersebut tetap dioperasikan akan memerlukan biaya yang

relatif besar sehingga produsen agroindustri masih memilih pengeringan

dengan sinar matahari. Secara teknis jenis peralatan yang diperlukan

mudah diperoleh dan selama alat tersebut menguntungkan secara

ekonomis pasti produsen agroindustri berusaha untuk membelinya.

3. Sumber Daya Manusia

Tenaga kerja yang terampil diperlukan untuk agroindustri

walaupun pada taraf tertentu tidak memerlukan keahlian yang cukup

tinggi. Umumnya ketrampilan tidak diperoleh melalui pendidikan resmi,

tetapi pemilik maupun pekerja mendapatkannya melalui pengalaman. Jika

memang masih menguntungkan maka produsen agroindustri berupaya

mendatangkan tenaga terampil dari luar daerah. Melalui pelatihan yang

bersifat praktis juga tidak sulit bagi produsen agroindustri untuk

mendapatkan tenaga terampil. Untuk menumbuhkan agroindustri di suatu

daerah perlu didukung sumber daya manusia yang memadai. Dalam hal

ini pengelola agroindustri harus mempunyai jiwa wiraswasta

(entrepreneurship). Keuletan sebagai wiraswasta akan mendorong pelaku

usaha secara jeli melihat setiap peluang yang ada dan dengan tangguh

akan mampu mengatasi segala hambatan yang dijumpai.

4. Pasar

Produk yang dihasilkan oleh agroindustri umumnya dijual di pasar

lokal, yaitu di tingkat kecamatan atau kabupaten. Beberapa produk dijual

keluar daerah, misalnya ke kabupaten sekitarnya sampai ibukota

(28)

negeri walaupun secara tidak resmi. Akan lebih baik lagi jika bisa menjual

ke luar negeri melalui ekspor resmi. Dalam hal ini produsen agroindustri

dituntut mampu menhasilkan produk olahan yang disukai konsumen dan

mampu memasarkan produk tersebut.

Pemasaran produk agroindustri harus memperhatikan empat

komponen utama pemasaran, yaitu (i) kualitas produk (product), (ii)

tempat pemasaran (place), (iii) harga produk yang dijual (price), dan (iv)

promosi atau iklan (promotion). Kualitas produk harus dibuat sebaik

mungkin agar bisa menarik minat konsumen. Tempat memasarkan

produk harus strategis agar mudah dijangkau oleh konsumen. Harga jual

produk harus terjangkau oleh konsumen dan tetap memberikan kepada

produsen maupun distributor. Sedangkan promosi perlu dilakukan agar

produk lebih dikenal dan bisa bersaing dengan produk sejenis yang

dihasilkan agroindustri lainnya. Misalnya, penjualan makanan lokal di

daerah wisata merupakan cara promosi kepada pengunjung dari luar

daerah. Tidak kalah pentingnya adalah kemaun konsumen untuk membeli

produkyang antara lain ditentukan oleh pendapatan per kapita. Sebagian

produsen agroindustri di Kabupaten Sumenep, misalnya, menyatakan

bahwa daya beli konsumen semakin menurun. Produsen agroindustri

menyiasati dengan cara ukuran produk dibuat lebih kecil atau kualitasnya

dikurangi agar harga jualnya tidak naik.

5. Investasi

Untuk memperoleh investasi dapat dilakukan dengan menjalin

kemitraan dengan perusahaan pemasaran yang sudah ada di tingkat

provinsi maupun nasional. Salah satu kendala yang dihadapi produsen

(29)

oleh perusahaan pemasaran akan meningkatkan skala usaha.

Pemasaran kurang efektif jika dilakukan oleh setiap usaha agroindustri

karena skalanya terlalu kecil, kurang efisien, seperti sulit menembus

pasar di daerah lain atau tingkat nasional.

Investasi alat pengolah limbah sangat diperlukan bagi agroindustri

tepung tapioka. Pembuangan limbah tanpa pengolahan sama sekali

membuat polusi yang merugikan masyarakat sekitar atau di sepanjang

daerah aliran sungai yang dilalui limbah tersebut. Perlu dukungan

kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten untuk pengolahan limbah

agroindustri tepung taioka. Sedangkan investai unutk peralatan

agroindustri relatif belum diperlukan, atau sebagian sudah bisa dipenuhi

dari pasar seperti genset, karena umumnya menggunakan perlatan

sederhana. Infrastruktur yang memadai akan memudahkan produsen

agroindustri membeli bahan baku, melakukan pengolahan, distribusi

produk, seperti melakukan komunikasi dengan konsumen. Investasi

infrastrukur ini harus diprakarsai oleh Pemerintah Pusat maupun

Pemerintah Daerah.

C. Sumber Daya Lokal

` Kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis

sumber daya lokal terumah tanggauang dalam Perpres Nomor 22 tahun

2009, dan ditindaklanjuti dengan Keputusan Kementerian Pertanian nomor 43

/OT.140/10/2009, Ruang lingkup Pengembangan Sumberdaya Lokal Berbasis

Kawasan meliputi tiga pilar pengembangan, yaitu: (i) Pengembangan

Sumberdaya Alam (SDA), (ii) Pengembangan Sumberdaya Manusia (SDM),

seperti (iii) Pengembangan Sumberdaya Ekonomi (SDE) masyarakat secara

(30)

Selanjutnya (IHS, 2006) mengatakan, Sumberdaya lokal meliputi sumber

daya alam (natural resources), sumberdaya manusia (human resources).

Sumberdaya alam (natural resources) merupakan komponen-komponen dari

unit lahan yang penggunaan secara ekonomi digunakan untuk tempat tinggal

yang dengan keadaan iklim, tanah, hidrologi tertentuakan menghasilkan

produksi tertentu(FAO, 1995). Sumberdaya manusia (human resources) dapat

meliputi entrepreneurs dan tenaga kerja (skilled labour), sumberdaya

kelembagaan (institutional resources).

D. Pengembangan Pangan Lokal dan Difersivikasi Pangan

Pangan berkaitan dengan kehidupan semua penduduk dan melibatkan

banyak jenis pelaku yang menyediakan pangan. Salah satu pelaku yang

berkaitan dengan produksi pangan adalah petani yang umumnya tingkat

kehidupannya masuk penduduk miskin, pendidikan rendah, dan status gizi

yang kurang. Masalah ini hanya dapat diatasi melalui campur tangan

pemerintah dalam bentuk kebijakan. Pada awalnya kebijakan ketahanan

pangan adalah berkaitan dengan peningkatan produksi, pendapatan dan

faktor penunjanngnya seperti insentif harga dan input produksi, serta

perbaikan infrastruktur, sekarang ini harus ditingkatkan dalam bentuk

ketersediaan dan keberlajutan.

Pada tahun 1960 penduduk Indonesia yang kurang sejahtera atau

dianggap miskin bila kebutuhan pokoknya dipenuhi bukan dari beras. Kondisi

ini berubah sejak akhir tahun 1980an, setelah disadari bahwa keseimbangan

gizi menjadi penting, bukan didominasi dari karbohidrat yang bersumber dari

beras. Pada masa ini, Indonesia menjadi pengimpor beras, sehingga

diversifikasi pangan mulai dipromosikan. Dua keadaan ini menjadikan

(31)

sangat mendasar, bahwa pangan pokok bukan dari beras sudah merupakan

bahan pokok pangan tradisional sebagian besar penduduk Indonesia, seperti

umbi-umbian, sagu, pisang dan beberapa tanaman serealia (terutama

jagung), yang didukung dengan ketersediaan protein dari ternak, perairan air

tawar dan laut. Bahan makanan ini tersedia secara lokal dan merupakan

tanaman budaya, tidak terpengaruh dari perubahan iklim la-nino dan el-nino,

termasuk pergantian musim, sehingga dapat mewujudkan kemandirian

pangan.

Promosi gerakan konservasi lingkungan, penghematan energi dan

pengembangan sumber energi lokal seperti penanaman pohon yang berfungsi

sebagai tanaman konservasi, sumber energi, pangan, penyerap emisi

karbon. Misalnya tanaman aren sebagai tanaman konservasi yang

menghasilkan pangan dan energy, seperti sagu dan gula yang dapat

dikonevrsi menjadi energi biofuel. Tanaman tebu yang dapat diintegrasikan

dengan ternak. Tebu menghasilkan gula dan biofuel, semetara ternak

menghasil pupuk kandang, protein hewani, biogas. Pengembangan sumber

energy listrik alternative seperti pemanfaatan biogas untuk listrik,

pembangkit Listrik Tenaga Surya, Penggunaan teknologi mikrohidro, dan

berbagai teknologi yang menghasilkan energi adalah sangat potensial di

kembangkan di berbagai pelosok nusantara. Namun pengembangan budaya

pemanfaatan potensi lokal yang cukup besar tidak menarik bagi penguasa,

karena mengurangi manfaat bahkan dalam konteks kekuasaaan bagi pihak

tertentu. Perkembangan energi alternatif dari sumber biomassa yang

dikonversi menjadi biofuel (B3) khususnya bahan pangan untuk memenuhi

kebutuhan energi akibat pertumbuhan penduduk dan perbaikan kualitas hidup

merupakan peluang untuk meningkatkan daya saing negara sedang

(32)

Tidak dapat dipungkiri bahwa upaya-upaya dalam era global yang terus

dilakukan sehingga melahirkan perubahan-perubahan yang semakin

meliberalkan perdagangan dan berbagai kegiatan lain. Namun perlu diyakini,

perubahan itu semakin memberikan posisi tawar bagi negara yang memiliki

endowmen dan mampu mengambangkan. Globalisasi seharusnya dipahami

juga adalah informasi yang berubah dari sangat mahal berubah menjadi

murah, sebaliknya lokalitas (spesifk proudk/unik) dari tidak ada harganya atau

sangat murah menjadi semakin mahal, karena dari sedikit orang mengenalnya

berubah menjadi banyak yang mengetahuinya akibat jasa informasi. Kondisi

ini didukung dengan teknologi informasi dan komunikasi (ICT-Information and

communcation technology).

Produksi sedikit dengan permintaannya yang banyak karena sudah

mendunia, sehingga memiliki keuntungan kompetitif. Selain dukung ICT, etika

menjadi sangat penting sebagai norma interaksi. Gobalisasi mengarahkan

orang untuk berinteraksi secara luas dengan etika dan potensi spesifiknya.

Banyak daerah yang berkembang menjadi maju dan modern karena mampu

menglola potensi lokalnya. Misalnya Pulau Bali lebih dikenal luas oleh

anggota masyarakat dunia dibanding Indonesia, kopi kalosi diproduksi di

Kabupaten Enrekang dan pesta adat kematian masyarakat Tana Toraja lebih

dikenal dibanding dengan Sulawesi Selatan sebagai lumbung pangan

nasional dan penghasil kakao terbesar di Indonesia.

Potensi lokal dapat ditingkatkan daya saingnya melalui kerjasama

regional. Melalui kerjasama/kemitraan, setiap individu atau elemen

masyarakat, dapat berpartisipasi dan bermakna dan sekaligus ikut

berinteraksi pada tataran wilayah dan global. Pada hakikatnya WTO

(33)

perdagangan dan investasi. Hal ini dapat dilihat kerjasama regional seperti

NAFTA, AFTA, APEC (Hfbauer, 1994; Jovanic, 2006).

E. Kendala Dalam Pengembangan Sumber Daya lokal

Dalam upaya pengembangan sumber daya lokal, berbagai kendala pada

umumnya terkait dengan peraturan, mekanisme dan kebijakan dalam

mendukung pengembangan usaha sumber daya, seperti birokrasi dalam

perizinan. Selain itu, permasalahan lain lokal yang dihadapi adalah masih

rendahnya daya saing produk sumber daya lokal dan belum optimalnya

program-program yang mendukung investasi potensi lokal. Di samping kedua

permasalahan tersebut di atas, masih terdapat permasalahan yang berkaitan

dengan belum optimalnya promosi produk-produk unggulan sumber daya

lokal seperti program-program pengembangan usaha daerah sebagai peluang

investasi daerah. Hal ini berakibat pada kurang terinformasikannya

program-program investasi daerah bagi investor, belum optimalnya pendayagunaan

keterkaitan sektoral dan regional/spasial dan kurangnya pendekatan ruang

untuk perencanaan dan koordinasi, masih menjadi kendala dan hambatan

yang ditemui dalam pelaksanaan kegiatan dan anggaran (Anonimus, 2011).

F. Biaya, Penerimaan, dan Pendapatan

1. Biaya usaha

Biaya usaha adalah seluruh pengeluaran dana (korbanan

ekonomis) yang diperhitungkan untuk keperluan usaha. Dalam praktek di

agribisnis oleh masyarakat, yang dimaksud dengan biaya usaha hanyalah

biaya yang secara riel atau cash dikeluarkan oleh pelaku usaha,

sedangkan biaya yang tidak riel/cash dikeluarkan seperti biaya tenaga

kerja rumah tangga, gaji petani selaku pengelola usaha, nilai sewa lahan

usaha, dll tidak dihitung sebagai biaya usaha. Cara pandang seperti

(34)

keuntungan usaha yang didapat oleh pelaku usaha hanyalah laba kotor.

Demikian juga akan mengakibatkan hasil analisis kelayakan usaha (secar

financial) menjadi tidak benar. Oleh karena itu dalam analisis finansial

dalam rangka kelayakan usaha, biaya usaha haruslah dihitung

seluruhnya, baik yang riel (cash/kontan) maupun yang tidak dikeluarkan

petani.

Biaya usaha secara terinci meliputi :

a. Investasi harta tetap.

b. Biaya operasional usaha :

- Biaya Usaha (= Biaya Tetap).

- Biaya Pokok Produksi (= Biaya Tidak Tetap).

a. Investasi Harta Tetap

Yaitu seluruh biaya yang digunakan untuk investasi harta tetap. Harta

tetap adalah sarana prasarana usaha yang mempunyai jangka usia

ekonomi atau usia pemakaian yang panjang atau berumur tahunan.

b. Biaya Operasional Usaha

Yaitu seluruh biaya yang digunakan untuk pelaksanaan proses

produksi suatu usaha. Biaya operasional usaha dibedakan menjadi 2

(dua), yaitu :

1. Biaya Usaha atau Biaya Tetap (Fixed Cost/FC)

Yaitu seluruh biaya yang harus dikeluarkan dalam proses produksi

untuk menghasilkan suatu produk yang besarnya tetap (konstan),

tidak dipengaruhi oleh jumlah produk yang dihasilkan. Dengan

demikian biaya usaha dapat diartikan sebagai Biaya Tetap (Fixed

Cost).

(35)

Yaitu seluruh biaya yang harus dikeluarkan dalam proses produksi

untuk menghasilkan suatu produk yang besarnya tidak tetap dan

dipengaruhi oleh jumlah produk yang dihasilkan. Dengan demikian

biaya pokok produksi dapat diartikan sebagai Biaya Tidak Tetap

(Variable Cost).

c. Biaya Penyusutan

Biaya penyusutan hanya diperhitungkan terhadap investasi harta tetap.

Biaya penyusutan yaitu biaya yang harus dikeluarkan dan

diperuntukan sebagai pengganti investasi harta tetap, yang pada

waktu tertentu tidak dapat digunakan lagi atau rusak. Karena biaya

penyusutan diperhitungkan setiap tahun selama masa ekonomi suatu

alat maka biaya penyusutan dihitung sebagai biaya tetap (biaya

usaha). Dalam analisis finansial biaya penyusutan dihitung sebagai

biaya tetap.

d. Total Biaya (Total Cost = TC)

Yaitu hasil penjumlahan dari Biaya Usaha (FC) + Biaya Pokok (VC).

2. Penerimaan Usaha (Revenue = R)

Penerimaan usaha yaitu jumlah nilai uang (rupiah) yang

diperhitungkan dari seluruh produk yang laku terjual. Dengan kata lain

penerimaan usaha merupakan hasil perkalian antara jumlah produk (Q)

terjual dengan harga (P). Hal ini dapat dimengerti bahwa produk yang

dihasil oleh suatu usaha tidak semua dapat atau laku dijual yang

dikarenakan misalnya Rusak atau cacat, dikonsumsi sendiri. Harga (P)

yang digunakan dalam perhitungan adalah harga pasar. Misalnya

seorang peternak dalam periode tertentu dapat menjual produk sebagai

(36)

3. Pendapatan Usaha (Income = I)

Yaitu jumlah nilai uang (rupiah) yang diperoleh pelaku usaha,

setelah Penerimaan (R) dikurangi dengan seluruh biaya atau Total Biaya

(TC). Oleh karena itu pendapatan usaha disebut juga sebagai Laba

Usaha.

a. Pendapatan / Laba Kotor

Adalah penerimaan usaha dikurangi biaya pokok produksi atau biaya

tidak tetap.

b. Pendapatan / Laba Usaha

Adalah Laba Kotor dikurangi Biaya Usaha dan Biaya Penyusutan.

Menurut Soekartawi (1995), Penerimaan dan pendapatan kotor

didefinisikan sebagai nilai produk total dalam jangka waktu. Sedangkan

pendapatan bersih adalah selisih antara penerimaan dan total biaya selama

proses produksi. Sedangkan keuntungan atau pendapatan merupakan selisih

antara total penerimaan usaha dengan total biaya yang dikeluarkan. Secara

matematis penerimaan dan keuntungan dapat dinotasikan sebagai berikut:.

1. TC = TFC + TVC

2. TR = P x Q

3. π = TR – TC

Dimana:

P = Harga jual/unitnya (Rp)

Q = Jumlah barang yang diproduksi (Kg)

TFC = Total Biaya Tetap (Rp)

TVC = Total Biaya Variabel (Rp)

π = Keuntungan (Rp)

(37)

Menurut hernanto (1994), untuk mengukur pendapatan ada beberapa

perhitungan yanga dapat digunakan, diantaranya adalah :

1. Pendapatan kerja petani, yang diperhitungkan dari semua penerimaan

yang diperoleh dari hasil penjualan hasil produksi dikurangi dengan

pengeluaran tunai dan yang diperhitungkan.

2. Penghasilan kerja petani, misalnya tanaman, perikanan dan hasilnya

yang dikonsumsi keluarga merupaka penerimaan tidak tunai.

3. Pendapatan kerja keluarga, ukuran terbaik kalau usaha tani dikerjakan

oleh petani dan keluarganya.

4. Pendapatan keluarga, cara memperolehnya dengan menjumlahkan total

pendapatan keluarga dari beberapa sumber.

G. Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangan Agroindustri

Menurut Monke dan Pearson (1989) yang di kutip dari buku Rita

Hanafie 2010 yang berjudul Pengantar Ekonomi Pertanian, politik pertanian

adalah campur tangan pemerintah di sektor pertanian dengan tujuan untuk

meningkatkan efisiensi yang menyangkut alokasi sumberdaya untuk dapat

menghasilkan output nasional yang maksimal dan memeratakan

pendapatan, yaitu mengalokasikan euntungan pertanian antargolongan dan

antardaerah, keamanan persediaan jangka pendek, kestabilan harga jangka

pendek dan menjamin keersediaan bahan makanan jangka penjang. Dalam

hal ini, kebijakan pertaniann dibagi menjadi 3 kebijakan dasar, antara lain :

1. Kebijakan komoditi yang meliputi kebijakan harga komuditi, distorsi harga

komuditi, subsidi harga, dan kebijakan ekspor.

2. Kebijakan faktor produksi yang meliputi kebijakan uph minimum, pajak dan

subsidi faktor produksi, kebijakan harga faktor produksi, dan perbaikan

(38)

3. Kebijakan makro ekonomi yang di bedakan menjadi kebijakan anggaran

belanja, kebijakan fiskal, dan pebaikan nilai tukar.

Selanjutnya Mubyarto (1987) mengatakan bahwa politik pertanian pada

dasarnya merupakan kebijakan pemetrintah untuk memperlancar dan

mempercepat laju pembangunan pertanian, yang tidak saja menyangkut

kegiatan petani, tetapi juga perusahaan – perusahaan pertanian dan

perkebunan, perusahaan – perusahaan pengangkutan, perkapalan, perbankan,

asuransi seperti lembaga – lembaga pemerintah dan semi semi pemerintah

yang terkait dengan kegiatan sektor pertanian.

Dalam kegiatan resmi di daerah selalu disajikan makanan lokal

merupakan salah satu cara promosi yang bermanfaat bagi produsen. Misalnya,

sudah dilakukan di tingkat Kabupaten Sumenep untuk rapat resmi disajikan tiwul

untuk makan siang. Kegiatan tersebut harus secara terus-menerus dilakukan,

bukan hanya sporadis. Disamping itu makanan berbasis pangan lokal perlu terus

dipromosikan melalui kegiatan resmi pemerintah dari tingkat pusat hingga

daerah. Makanan tradisional perlu terus dipromosikan di hotel, restoran, kereta

api, kapal laut, maupun pesawat terbang. Festival masakan tradisional berbahan

baku lokal perlu diadakan secara rutin di tiap daerah mapun tingkat nasional

sebagai upaya promosi pangan lokal.

Pemberian raskin sebaiknya hanya untuk wilayah yang makanan

pokoknya beras. Sedangkan untuk wilayah yang makanan pokoknya bukan

beras harus diberi bahan pangan sesuai yang dikonsumsi masyarakat setempat.

Pemberian raskin di daerah yang makanan pokoknya bukan beras hanya akan

mendorong masyarakat untuk meninggalkan makanan pokok tradisional dan

(39)

bahan pangan lokal sebagai makan pokok untuk mengurangi ketergantungan

pada beras (Sibuea, 2005).

Menurut Herman Supriadi (2007), Bimbingan dan penyuluhan kepada

produsen agroindustri hendaknya diberikan secara terstruktur dan kontinyu.

Pelatihan yang diberikan sebaiknya memperhatikan potensi bahan baku,

ketrampilan tenaga kerja, dan kemampuan modal pelaku usaha agroindustri.

Pemberian bantuan alat dan mesin pertanian sebaiknya diberikan kepada

produsen agroindustri yang belum maju tetapi mempunyai prospek untuk

berkembang. Kecenderungan selama ini bantuan diberikan oleh berbagai

instansi pemerintah kepada usaha agroindustri yang sudah maju yang

sebenarnya tidak lagi memerlukan bantuan. Dalam pemberian bantuan harus

memperhatikan skala usaha yang umumnya kecil. Bantuan alat yang terlalu

besar kapasitasnya tidak akan banyak membantu usaha agroindustri di

pedesaan.

Disamping itu agroindustri yang menggunakan bahan baku pangan lokal

perlu diberi porsi pembinaan yang memadai. Dari segi pemasukan pendapatan

asli daerah memang agroindustri skala kecil dan menengah tidak memberikan

sumbangan sebesar agroindustri skala besar atau industri non pangan.

Walaupun demikian agroindustri skala kecil dan menengah mampu menciptakan

lapangan kerja (self-employment) yang umumnya bersifat non formal.

Pemerintah juga perlu mendorong kemitraan antara produsen agroindustri skala

kecil dan menengah dengan produsen yang relatif lebih besar. Kemitraan ini

akan bermanfaat terutama dalam pemasaran hasil. Diharapkan produsen besar

bisa menjangkau pasar yang lebih luas sehingga produsen kecil bisa

(40)

Agroindustri merupakan sektor yang esensial dan besar kontribusinya

dalam mewujudkan sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan pembangunan ekonomi

nasional, seperti pertumbuhan ekonomi (PDB), kesempatan kerja, peningkatan

devisa negara, pembangunan ekonomi daerah, dan sebagainya. Agroindustri

diharapkan mempunyai kemampuan untuk ikut memacu pertumbuhan dan

perkembangan ekonomi nasional. Untuk melanjutkan misi tersebut, agroindustri

membutuhkan payung pelindung berupa kebijaksanaan makro dan mikro.

Kebijaksanaan ekonomi makro dan mikro diharapkan agar dapat menciptakan

kesempatan dan kepastian usaha, melalui perannya sebagai penyedia pangan,

secara beragam dan bermutu, dan peningkatan nilai tambah yang, pada

gilirannya, dapat meningkatkan pendapatan atau daya beli penduduk.

Masing-masing jenis dan tingkat kegiatan di setiap agroindustri amemiliki

karakteristik kebijaksanaan pengembangan yang spesifik, dalam hal; tingkat

kesulitan, modal kerja, tingkat resiko, teknologi yang dibutuhkan dan tingkat

marjin yang diperoleh. Oleh karena itu diperlukan kebijaksanaan makro maupun

mikro yang mampu, di satu pihak memberi insentif kepada pelaku agroindustri

agar mengembangkan keseluruhan jenis kegiatan di atas secara propor-sional.

Dipihak lain, pengaturan tersebut diperlukan agar terdapat peningkatan keahlian

pada setiap jenis kegiatan agroindustri di atas. Regulasi pemerintah melalui

Perpres No. 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman

Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal menjadi payung hukum pada

(41)

H. Kerangka Pemikiran Dan Hipotesis

1. Kerangka Pemikiran

Upaya pembangunan ekonomi daerah telah dilakukan oleh

Pemerintah, pemerintah daerah termasuk Pemerintah Kabupaten

Sumenep, dan masyarakat melalui berbagai kebijakan dan

program-program yang telah ditetapkan. Upaya-upaya itu telah menghasilkan

berbagai kemajuan yang dirasakan oleh sebagian masyarakat. Namun,

masih banyak wilayah yang belum berkembang secepat wilayah lainnya.

Pembangunan ekonomi daerah merupakan bagian yang penting dari

pembangunan nasional. Dalam rangka melakukan percepatan

pembangunan ekonomi daerah, telah dan akan terus dilakukan berbagai

program dan kegiatan yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan,

pengurangan kemiskinan, peningkatan kualitas sumber daya manusia

dan pelibatan masyarakat dalam proses pengelolaan pembangunan

ekonomi daerah.

Di Kecamatan Sapeken Kabupaten Sumenep, keterlibatan

masyarakat dalam proses pengelolaan pembangunan ekonomi daerah

dapat dilihat dengan adanya Agroindustri sangko’ yang merupakan suatu

inovasi baru dari masyarakat. Agroindustri sangko’ dapat menjadi salah

satu alternatif dalam pengembangan ekonomi di Kecamatan Sapeken

terutama , karena agroindustri sangko’ menggunakan sumberdaya lokal

yakni ketela pohon yang menjadi komuditas yang banyak dibudidayakan

di Kecamatan Sapeken sebagai bahan bakunya. Pada awalnya, sangko’

merupakan bahan pangan lokal masyarakat Desa Sakala secara turun

temurun dan tidak diperdagangkan ke masyarakat umum. Sejak tahun

(42)

dan sebagai ketua Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) Nurul Amin

Desa Sakala yang bernama Asmawi Aliman dengan bimbingan seorang

Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) mulai berfikir untuk

memperkenalkan produk sangko’ kepada masyarakat luas dengan tujuan

meningkatkan pendapatan msyarakat Desa Sakala, sehingga saat ini

Sangko’ telah dikenal oleh masyarakat luas, dan produksinya semakin

tahun semakin meningkat seiring dengan meningkatnya produsen

sangko’ saat ini telah mencapai 573 orang.

Pengamatan terdahulu menunjukkan bahwa agroindustri sangko’

memberikan nilai tambah bagi produsen, hal ini ditandai dengan berumah

tanggaambahnya produsen sangko’ yang menunjukkan bahwa

agroindustri sangko’ memang menarik untuk dilakukan, yang tentunya

akan berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat. Beberapa hal yang

harus diperhatikan dalam upaya pengembangan agroindustri sangko’,

baik faktor internal maupun faktor eksternal, diataranya adalah Kebijakan

pendukung, Potensi bahan baku lokal, Potensi penawaran, Potensi

permintaan, dan persepsi konsumen, kelima faktor tersebut perlu di

cermati agar agroindustri sangko’ benar - benar dapat memberikan

kontribusi terhadap peningkatan pendapatan petani produsen.

Penelitian ini menggunakan dua metode, yakni metode kuantitatif

dan metode kualitatif, hal - hal yang berkenaan dengan perkembangan

ekonomi lokal, nantinya akan di analisis dengan analisis trend, kemudian

kontribusi Agroindustri terhadap pendapatan rumah tangga petani di

Kecamatan sapeken, akan di analisis menggunakan analisis usaha dan

perhitungan kontribusi, kemudian yang terakhir adalah menganalisis

(43)

uraian tersebut maka bagan diagram kerangka pikir disusun sebagai

berikut :

Gambar 1. Diagram Kerangka Pemikiran

2. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis dalam penelitian

(44)

1. Diduga perkembangan produksi agroindustri sangko’ di Kecamatan Sapeken

cenderung meingkat.

2. Agroindustri sangko’ memberikan kontribusi yang relatif besar terhadap

(45)

III. METODE PENELITIAN

A. Penetuan Lokasi Penelitian

Penentuan lokasi dalam penelitian ini dilakukan secara sengaja, yaitu di

Kecamatan Sapeken Kabupaten Sumenep. Penentuan lokasi ini didasarkan

pada pertimbangan bahwa daerah tersebut, pendapatan rata – rata masih di

bawah UMK (Upah Minimum Kabupaten / Kota). Sehingga perlu di lakukan

pengembangan ekonomi masyarakat sebagai upaya penguatan ekonomi

lokal. Di Kecamatan Sapeken terdapat banyak sumber daya lokal termasuk

ketela pohon yang dijadikan bahan baku agroindustri sangko’. Pemilihan

agroindustri sangko’ sebagai objek penelitian, karena agroindustri ini

merupakan inovasi baru dan banyak dilakukan variasi karena dianggap

sebagai pilihan alternatif dalam meningkatkan pendapatan masyarakat.

B. Pemilihan Responden

Karena terdapat data yang di butuhkan berasal dari dua sumber yakni

produsen selaku produsen dan konsumen ,maka dalam penelitian ini di

gunakan dua populasi yaitu masyarakat produsen sangko’ dan konsumen

sangko’. Maka terdapat dua metode pengambilan sampel, yaitu :

1. Penentuan Sampel Produsen

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode

stratified random sampling , pengambilan sampel berstrata merupakan

teknik pengambilan sampel dimana populasi dikelompokan dalam strata

wilayah, kemudian diambil sampel secara random dengan proporsi yang

seimbang sesuai dengan posisinya dalam populasi. Pemilihan metode

(46)

efisien karena lebih terarah, data atau informasi yang dikumpulkan dapat

lebih mendalam dan menyeluruh mengenai masing – masing strata, dan

lebih mudah dikendalikan karena administrasinya mudah dan jelas.

Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah seluruh produsen

sangko’ di tiga desa dari 9 desa yang ada di Kecamatan Sapeken yakni

Desa Sakala sebanyak 473 orang, Desa Pagerungan sebanyak 57 orang,

dan Desa Tanjung kiaok sebanyak 40 orang, jadi total populasi adalah

570 orang. L.R Gay menyatakan bahwa untuk riset deskriptif besarnya

sampel 10% dari setiap populasi. Maka sampel yang diperoleh adala

Desa Sakala 47 orang, Desa Pagerungan Besar 6 orang dan Desa

Tanjung Kiaok 4 orang. Jadi total jumlah sampel yang di ambil adalah 57

orang.

Tabel 1. Populasi dan Jumlah Sampel Produsen Sangko’ Di Kecamatan Sapeken

No Nama Desa Jumlah Populasi Jumlah Sampel

1 Sakala 473 47

2 Pagerungan Besar 57 6

3 Tajung Kiaok 40 4

Jumlah 570 57

2. Penentuan Sampel konsumen

Populasi dalam penelitian ini adalah semua konsumen sangko’,

dalam hal ini peneliti memilih konsumen sangko’ yang ada di Kecamatan

Sapeken saja. Penentuan ini dilakukan karena konsumen sangko’

tersebar di beberapa daerah di Indonesia, seper Kalimatan, NTB,

beberapa daeraha di pulau Jawa dan Madura, namun karena waktu yang

sangat terbatas sehingga tidak memungkinkan untuk mengambil sampel

di luar kepulauan Sapeken. Jumlah sampel yang dipilih adalah 30 seperti

Gambar

Gambar 1. Diagram Kerangka Pemikiran
Tabel 6. Keadaan Pertanian Tanaman Pangan Di Kecamatan
Tabel 10. Keadaan Industri Di Kecamatan Sapeken No. Uraian Jumlah
Tabel 11. Tingkat Pendidikan Produsen Sangko’ di Kecamatan Sapeken
+7

Referensi

Dokumen terkait

Agroindustri ubi kayu sebagaimana agroindustri lain memiliki masalah yang sama dalam pengembangan. Permasalahan dalam pengembangan antara lain adalah belum

Melihat kondisi dan permasalahan di atas, maka kentang mempunyai prospek yang bisa dikembangkan dengan menentukan produk agroindustri kentang terlebih dahulu dengan

Skripsi berjudul: “Analisis Ketersediaan Bahan Baku, Nilai Tambah dan Prospek Pengembangan Agroindustri Krupuk Non Ikan di Desa Puger Wetan Kecamatan Puger”, telah diuji dan

Kontribusi Usahatani Ternak Ruminansia Kecil Terhadap Pendapatan Rumah Tangga dan Prospek Pengembangannya Dalam Pemanfaatan Peluang Pasar Pada Masa Mendatang (Kajian di

memiliki peluang yang positif untuk di kembangkan, dimana dari 9 faktor yang diteliti, yakni Kontribusi Terhadapa Pendapatan Keluarga, Permintaan, Persepsi

Agroindustri ubi kayu sebagaimana agroindustri lain memiliki masalah yang sama dalam pengembangan. Permasalahan dalam pengembangan antara lain adalah belum

Usaha agroindustri tahu di Desa Kalisari Kecamatan Cilongok memberikan kontribusi yang tinggi terhadap pendapatan rumah tangga pengrajin, walaupun terjadi

5.5 Matriks Strategi Eksternal Berdasarkan hasil penelitian mengenai strategi pengembangan agroindustri emping melinjo yang ada di Desa Kohala Kecamatan Buki Kabupaten Kepulauan