KOTA MOJ OKERTO
SKRIPSI
Dia jukan Untuk Memenuhi Per syar atan Memper oleh Gelar Sar jana Ilmu Administr asi Negar a Pada Fakulta s Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Univer sitas Pemba ngunan Nasional “ Veter an “ J awa Timur
Oleh:
ENGGAR SETYA LAKSANA NPM. 1041010038
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
FAKULTAS I LMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
i
PEDAGANG K AKI LIMA DI ALUN-ALUN
KOTA MOJ OKERTO
SKRIPSI
Dia jukan Untuk Memenuhi Per syar atan Memper oleh Gelar Sar jana Ilmu Administr asi Negar a Pada Fakulta s Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Univer sitas Pemba ngunan Nasional “ Veter an “ J awa Timur
Oleh:
ENGGAR SETYA LAKSANA NPM. 1041010038
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
FAKULTAS I LMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
PEDAGANG KAKI LIMA DI ALUN-ALUN KOTA MOJ OKERTO
Disusun Oleh :
ENGGAR SETYA LAKSANA NPM : 1041010038
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui :
Pembimbing,
Tukiman, S.Sos, M.Si
NIP. 196103231989031001
Mengetahui :
Dekan Falutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Univer sitas Pembangunan Nasionl ”Veteran” J awa Timur
PEDAGANG KAKI LIMA DI ALUN-ALUN KOTA MOJ OKERTO
Disusun Oleh :
ENGGAR SETYA LAKSANA NPM : 1041010038
Telah Dipertahankan Dihadapan Dan Diterima Oleh Tim Penguji Skripsi Pr ogram Studi Administr asi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Univer sitas Pembangunan Nasional “Veteran” J awa Timur
Pada Tanggal : 10 J uli 2014
Dosen Pembimbing, Tim Penguji :
Tukiman, S.Sos, M.Si
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Univer sitas Pembangunan Nasional “ Veteran “ J awa Timur
v
SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PERAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJ A DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI ALUN-ALUN KOTA MOJ OKERTO”.
Pembuatan skripsi ini merupakan bagian dari proses studi dalam program studi Ilmu Administrasi Negara yang wajib diselesaikan oleh setiap mahasiswa yang merupakan persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana (S1) Ilmu Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di UPN “Veteran” Jawa Timur. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, penulis tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Tukiman, M.Sos, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
Disamping itu penulis juga telah mendapatkan banyak bantuan pikiran atau tenaga dalam peneyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu penulis juga mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
vi
Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran” Jawa Timur 3. Ibu Dra. Susi Hardjati, M.AP selaku Sekretaris Program Studi Ilmu
Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UPN ”Veteran”Jawa Timur.
4. Bapak Drs. Agus Supriyanto, M.Si selaku Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Mojokerto.
5. Buat kedua orang tua terima kasih atas do’a, kesabaran, semangat dan pengertian dalam memberikan dukungan yang luar biasa selama proses penyusunan skripsi ini.
6. Buat teman-teman angkatan 2010 terima kasih atas dukungannya, khususnya Yasa, Mamat, Bondaz, Adit, Ali, Adi, Diana, Ari, Dini, Sinta, Fauziah. Terima kasih atas semangat yang telah diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membanguan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Surabaya, Juli 2014
Halaman
2.2.3.1. Tahap-Tahap Pembuatan Kebijakan Publik ... 22
2.2.4. Pengertian Birokrasi ... 24
2.2.4.1. Karakteristik Birokrasi ... 25
2.2.5. Pengertian Organisasi ... 26
2.2.5.1. Prinsip-Prinsip Organisasi ... 28
2.2.6. Pengertian dan Ruang Lingkup Tata Ruang ... 30
2.2.7. Pedagang Kaki Lima ... 34
2.3. Kerangka Berfikir ... 39
BAB III METODE PENELITIAN ... 40
3.1. Jenis Penelitian ... 40
3.2. Fokus Penelitian ... 41
3.3. Lokasi Penelitian/Situs Penelitian ... 42
3.4. Informan dan Teknik Penarikan Informan ... 43
3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 45
3.6. Teknik Analisa Data ... 45
3.7. Keabsahan Data ... 48
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 51
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 51
4.1.1. Visi dan Misi ... 52
4.1.2. Sejarah Satuan Polisi Pamong Praja ... 53
4.1.3. Tugas Pokok dan Fungsi Satpol PP Kota Mojokerto ... 54
4.1.4. Komposisi Pegawai ... 59
4.1.5. Profil Alun-alun Kota Mojokerto ... 62
4.2. Hasil Penelitian... 63
4.2.1. Peran Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Menegakkan Ketentuan Kegiatan Usaha Pedagang Kaki Lima ... 64
4.2.2. Peran Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Menegakkan Ketentuan Pidana 71 4.3. Pembahasan Hasil Penelitian ... 77
4.3.1. Peran Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Menegakkan Ketentuan Kegiatan Usaha Pedagang Kaki Lima ... 78
DAFTAR PUSTAKA
Halaman
Gambar 1.1 : Pedagang Kaki Lima di Area Sekitar Alun-alun Mojokerto ... 8
Gambar 2.1 : Kerangka Berfikir ... 41
Gambar 3.1 : Analisis Data Model Interaktif Miles Dan Huberman ... 47
Gambar 4.1 : Foto Papan Nama Kantor Satpol PP Kota Mojokerto ... 51
Gambar 4.2 : Bagan Struktur Organisasi Satpol PP Kota Mojokerto ... 54
Gambar 4.3 : Alun-alun Kota Mojokerto ... 62
Gambar 4.4 : Pedagang Jamu yang masih berjualan di Alun-alun Mojekerto ... 67
Gambar 4.5 : PKL yang berada di Alun-alun Kota Mojokerto... 69
Halaman
Tabel 1.1 : Data Pedagang Kaki Lima di Alun-alun Kota Mojokerto ... 7
Tabel 4.1 : Komposisi Pegawai Kantor Satpol PP Berdasarkan Jabatan ... 59
Tabel 4.2 : Komposisi Pegawai Kantor Satpol PP Berdasarkan Golongan ... 60
Tabel 4.3 : Komposisi Pegawai Kantor Satpol PP Berdasarkan Pendidikan ... 61
Tabel 4.4 : Komposisi Pegawai Kantor Satpol PP Berdasarkan Agama ... 61
Tabel 4.5 : Komposisi Pegawai Kantor Satpol PP Berdasarkan Jenis Kelamin ... 62
Tabel 4.6 : Daftar Pedagang Kaki Lima yang Masih Melanggar ... 70
Tabel 4.7 : Data Pedagang Kaki Lima yang Terkena Operasi Yustisi ... 72
ABSTRAKSI
ENGGAR SETYA LAKSANA, PERAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJ A DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI ALUN-ALUN KOTA MOJ OKERTO
Penataan Pedagang Kaki Lima sebanyak 236 pedagang di wilayah Kota Mojokerto seperti yang terjadi di Alun-alun Kota Mojokerto telah direlokasi ke Benteng Pancasila. Upaya Satuan Polisi Pamong Praja Kota Mojokerto untuk merelokasi para Pedagang Kaki Lima di area Alun-alun ke Jalan Benteng Pancasila telah di realisasikan, akan tetapi ditempat tersebut masih ada pedagang yang tetap berjualan di area yang telah dilarang. Barang dagangan yang mereka jual kebanyakan berupa makanan dan minuman. Tujuan diadakannya penelitian ini oleh penulis adalah untuk mengetahui Bagaimana Peran Satuan Polisi Pamong Praja dalam penataan Pedagang Kaki Lima di Alun-alun Kota Mojokerto.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Fokus penelitian ini adalah Peran Satuan Polisi Pamong Praja dalam menegakkan Peraturan Daerah Kota Mojokerto Nomor 5 Tahun 2005, Bab II, Pasal 2 dan Pasal 3 tentang Ketentuan Usaha Pedagang Kaki Lima, dan focus kedua adalah Peran Satuan Polisi Pamong Praja dalam menegakkan Peraturan Daerah Kota Mojokerto Nomor 5 Tahun 2005, Bab V, Pasal 7 tentang Ketentuan Pidana. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara. Analisa data dalam Penelitian ini dengan menggunakan model interaktif.
Hasil dari penelitian ini adalah Peran Satuan Polisi Pamong Praja Kota Mojokerto dalam menata pedagang kaki lima yang menempati kawasan yang dilarang untuk berjualan telah dilaksanakan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur Satuan Polisi Pamong Praja dan tugas pokok dan fungsi Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Kota Mojokerto, akan tetapi sesuai dengan fakta yang terjadi dilapangan masih ada 64 pedagang kaki lima yang melakukan aktivitas berjualan di kawasan yang telah dilarang seperti di Alun-alun Kota Mojokerto. Hal tersebut dilakukan oleh pedagang kaki lima untuk memanfaatkan Alun-alun sebagai sumber pendapatan dengan menjajakan barang dagangannya kepada para pengunjung Alun-alun Kota Mojokerto. Dan peran satuan polisi pamong praja kota Mojokerto dalam menata pedagang kaki lima yang masih berjualan dan melanggar ketentuan peaturan daerah yang berkaitan dengan dilarangnya berjualan dikawasan Alun-alun telah dilaksanakan dan sebanyak 57 surat pernyataan yang sudah pernah diberikan kepada para pedagang kaki lima yang masih melanggar, akan tetapi sanksi yang diberikan tersebut belum sesuai dengan ketentuan pidana yang berlaku.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan negara ini ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan umum
dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanahkan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan selanjutnya disebut
UUD Tahun 1945. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis
yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara, tempat
atau sumber rujukan utama bagi proses perumusan dan penetapan peraturan
perundangan yang lain. Dengan kata lain, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
kebijakan dasar penyelenggaraan negara yang akan, sedang dan telah berlaku,
yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan
negara yang dicita-citakan. Pembangunan yang diarahkan pada pentingnya
manusia dan nilai-nilai kemanusiaan merupakan prasyarat yang tidak dapat
ditawar-tawar. Agar pembangunan bermakna memberdayakan dapat dicapai
melalui apa yang disebut PBM (Pembangunan Bersama Masyarakat).
Pembangunan Bersama Masyarakat adalah suatu model pembangunan yang
bertujuan untuk meningkatkan peran serta aktif, melakukan upaya pemberdayaan
masyarakat pada semua tingkatan guna mengorganisasi diri dalam menghimpun
sumber daya, merencanakan dan melaksanakan kegiatan untuk memperbaiki
keadilan sosial, ekonomi dan lingkungan.
Salah satu masalah yang dihadapi bangsa kita saat ini adalah masalah
ketenagakerjaan. Jumlah pencari kerja diperkirakan terus meningkat dari tahun ke
begitu besar jumlah tenaga kerja yang ada, namun berbanding terbalik dengan
lapangan pekerjaan yang ada. Lapangan pekerjaan yang sulit ini disebabkan
karena krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997/1998 telah
mendatangkan problem tersendiri bagi berkembangnya
pemasalahan-permasalahan baru bagi Kota. Krisis tersebut telah banyak menjadikan perusahaan
besar gulung tikar, sehingga wajar kalau gelombang Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) saat itu terjadi besar-besaran. Dampaknya adalah semakin banyak
kemiskinan, kriminalitas semakin menjadi-jadi, dan bahkan meningkatnya jumlah
sektor informal.
Bukanlah suatu hal yang mudah untuk bertahan hidup di tengah situasi negara
yang krisis saat ini, ditambah dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga
BBM (Bahan Bakar Minyak) yang mengakibatkan inflasi. Inflasi dimana laju
pergerakan harga barang dan jasa kebutuhan hidup melonjak. Inflasi yang
berimbas pada setiap sudut kehidupan, banyak perusahaan melakukan
pengurangan jumlah tenaga kerja agar tetap dapat beroperasi. Bahkan beberapa
harus menutup usahanya karena tidak lagi mernpunyai daya saing. Jika sudah
demikian yang terjadi adalah bertambahnya jumlah pengangguran, angkatan kerja
yang tidak memiliki kekayaan dan makin bertambahnya masyarakat miskin.
Salah satu upaya untuk bertahan di tengah kesulitan adalah berusaha di sektor
informal sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL). Berusaha di sektor informal
menjadi pilihan dikarenakan tidak memerlukan modal besar. PKL adalah juga
warga negara yang berhak untuk mendapatkan penghidupan yang layak dalam
menjalani hidup dan kehidupannya. Bagaimanapun pilihan berusaha di sektor
dikatakan keberadaan mereka amat diperlukan agar roda perekonomian tetap
dapat berputar walaupun dalam skala "kecil".
Sektor ekonomi informal hampir ditemui di seluruh pusat perkotaan. Sektor
ekonomi ini telah menjadi penopang ekonomi nasional yang cukup tangguh
terhadap kondisi ekonomi di tengah-tengah krisis. Ketika badai krisis moneter
tahun 1997 menghantam, sektor informal (khususnya Pedagang Kaki Lima /PKL)
menjadi alternatif perekonomian masyarakat.
Sektor informal memiliki karakteristik seperti jumlah unit usaha yang banyak
dalam skala kecil, kepemilikan oleh individu atau keluarga, teknologi yang
sederhana dan padat tenaga kerja, tingkat pendidikan dan ketrampilan yang
rendah, akses ke lembaga keuangan daerah, produktivitas tenaga kerja yang
rendah dan tingkat upah yang juga relatif lebih rendah dibandingkan sektor
formal. Banyaknya saingan pelaku usaha menyebabkan banyak orang lebih
memilih untuk mengais rejeki dari sektor perdagangan. Salah satu bentuk sektor
perdagangan tersebut diantaranya adalah Pedagang Kaki Lima (PKL). Hal ini
disebabkan karena ketatnya persaingan untuk dapat bekerja dalam sektor formal,
dan sangatlah wajar apabila para pengangguran memilih bekerja di sektor
informal.
Agar keberadaan mereka yang selama ini selalu dicap sebagai sumber
kekumuhan dan ketidaktertiban serta jauh dari keindahan, maka peranan
pemerintah yang menyangkut kebijakan publik di sektor informal hendaklah
dirumuskan secara arif dan bijaksana. Kebijakan publik di sektor informal yang
ekonomi juga politik yang tidak memarginalkan sekelompok rakyat, yakni
Pedagang Kaki Lima.
Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan suatu jalan yang dianggap mudah
oleh sebagian besar masyarakat untuk dilakukan karena pedagang disini tidak
dituntut memiliki pendidikan yang tinggi. Anggapan tersebut berdampak pada
bermunculannya PKL baru lainnya yang semakin hari semakin memadati kota,
sehingga banyak menimbulkan dampak bagi masyarakat sekitar maupun
Pemerintah Kota. Perkembangan PKL yang semakin banyak menimbulkan suatu
kelompok-kelompok PKL yang akan dijadikan sebagai wadah penampung
aspirasi dan penyelesaian permasalahan.
Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai bagian dari usaha sektor informal
memiliki potensi untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja, terutama
bagi tenaga kerja yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai
untuk bekerja di sektor formal karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka
miliki. Pada Kenyataannya, keberadaan PKL di kota-kota besar kerap
menimbulkan masalah baik bagi pemeritah setempat, para pemilik toko, dan
pengguna jalan. Tidak sedikit para pemilik toko dan pengguna jalan, merasa
terganggu dengan banyaknya PKL. Hal ini disebabkan karena semakin
melebarnya tempat yang digunakan para PKL untuk menjajakan dagangannya.
Dalam hal ini pemerintah sudah menghimbau agar sebelah luar trotoar diberi
ruang untuk taman, resapan air dan sekaligus sebagai kawasan berdagang PKL.
Dan pada akhirnya semua kesalahan ditujukan kepada PKL yang telah memakan
Merebaknya PKL yang terjadi di kota merupakan adanya keterpusatan
penduduk dengan aktivitasnya. Kota itu sendiri bersifat dinamis dan akan terus
berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini dikarenakan kota
merupakan sebuah sistem yang didalamnya terdapat masyarakat dengan aktivitas
dan perilakunya. Dengan segala keterbatasan yang ada, baik dari segi sumber daya
maupun aspek sarana prasarana yang ada, keadaan ini kemudian berkembang
menjadi suatu permasalahan kota yang perlu dipecahkan. Berkembangnya sebuah
kota adalah hal yang alamiah, bukan sesuatu yang harus dicegah. Akan tetapi,
perlu arahan agar perkembangan tersebut dapat terkendali. Kondisi dualistik
(perbedaan keadaan) di perkotaan ini ditunjukkan pada berbagai hal, seperti
miskin dan kaya, modern dan tradisional, serta sektor formal dan informal. Oleh
karena itu kota merupakan dari berbagai kepentingan, konflik maupun
ketidakpastian akan selalu timbul, termasuk permasalahan sektor informal kota.
Permasalahan yang sering muncul dari kegiatan informal kota adalah di sektor
perdagangan, yaitu kegiatan PKL. Keberadaan mereka sangat mudah dijumpai di
kota, seperti pada lokasi alun-alun kota maupun di dekat pusat keramaian kota
yang umumnya berjualan di trotoar-trotoar, dan pinggir-pinggir toko. Kota
Mojokerto adalah sebuah kota (dahulu daerah tingkat II berstatus kotamadya)
di Jawa Timur, Indonesia. Terletak 50 km barat daya Surabaya, wilayah kota ini
dikelilingi oleh Kabupaten Mojokerto. Kota ini merupakan kota dengan luas
wilayah terkecil di Jawa Timur sekitar 16,46 km2. Mojokerto sebagai kota yang
berada di Jawa Timur juga mempunyai tempat pariwisata yang sering dikunjungi
oleh warga Mojokerto yaitu Alun-alun , Dengan adanya Alun-alun yang terletak
selain itu merupakan salah satu kebanggaan masyarakat kota untuk melewatkan
waktu berkunjung bersama keluarga baik pagi maupun sore hari atau dihari-hari
tertentu. Alun-alun sebagai tempat bertemu, beraktifitas dan rekreasi sebagian
besar masyarakat kota Mojokerto maka Alun-alun cenderung ditempati para PKL
yang melayani kebutuhan bagi masyarakat yang memanfaatkan Alun-alun.
Namun perlu disadari bahwa keberadaan PKL memiliki berbagai permasalahan
yang ditimbulkannya. Sehingga Pemerintah Kota Mojokerto merelokasi PKL ke
Jl. Benteng Pancasila yang tidak jauh dari Kediaman Walikota Mojokerto.
Kota Mojokerto yang terdiri dari 2 kecamatan diantaranya adalah Kecamatan
Prajurit Kulon dan Kecamatan Magersari. Kecamatan tersebut terdapat wilayah
yang dilarang oleh pemerintah Kota Mojokerto untuk mendirikan tempat
berdagang bagi para Pedagang Kaki Lima, seperti di kecamatan Prajurit Kulon
yang terdiri dari Pasar Kliwon, Alun-alun kelurahan Kauman, Kelurahan
Surodinawan, Jl Prapanca, Jl. Brawijaya Depan Kelurahan Miji. Sedangkan
Kecamatan Magersari terdiri dari Jl. Raya Ijen, Jl. Residen Pamuji, Jl. Ben Pas
Minggu Pagi, Alun-alun Kelurahan Magersari, Jl. Joko Sambang, Jl. Hayam
Wuruk (Jooging Track), Jl. Bay pas, Jl. Empunala, Jl Mojopahit Utara/ Sekitar
Alun-alun. Berdasarkan data yang diperoleh dari Instansi Satuan Polisi Pamong
Praja Kota Mojokerto tahun 2013, menunjukkan bahwa Pedagang Kaki Lima
yang berada di Alun-alun Wilayah Kota Mojokerto yang telah direlokasi ke Jalan
Tabel 1.1
Data Pedagang Kaki Lima
Di Alun-alun Kota Mojokerto yang telah Direlokasi
Data PKL Di Wilayah Kota Mojoker to J umlah Ta. 2013
Alun-alun Kelurahan Kauman 116
Alun-alun Kelurahan Magersari 120
J umlah 236
Sumber : Satuan Polisi Pamong Praja Kota Mojokerto, 2013
Berdasarkan data yang diperoleh dari Instansi Satuan Polisi Pamong Praja
Kota Mojokerto tahun 2013, jumlah PKL di daerah Alun-alun yang telah
direlokasi sebanyak 236 PKL. Pemerintah Kota Mojokerto telah membahas
permasalahan yang ada di tempat tersebut. Upaya relokasi menjadi salah satu
alternatif untuk menyelesaikan persoalan ini, namun tempat relokasi bagi PKL ini
seringkali dianggap sulit dijangkau oleh para pembeli atau konsumen sehingga
menjadikan PKL enggan untuk menempatinya. Keberadaan pedagang kaki lima
tersebut dipandang masyarakat sangat mengganggu ketertiban dan kebersihan
kota. Adanya PKL yang semakin berjubal membuat suasana kota semakin sempit
dan gerah. Memperhatikan kondisi tersebut, Pemerintah Kota Mojokerto sudah
mengadakan tindakan berupa relokasi Pedagang Kaki Lima yang diharapkan bisa
mengatasi PKL tersebut, agar tidak kembali lagi ke tempat asal dimana mereka
awal berjualan.
Surya Online: Pemerintah Kota Mojokerto merelokasi Pedagang Kaki Lima yang berada di jalan Joko sambang ke Benteng Pancasila sedangkan Pedagang Kaki Lima yang berada di Alun-alun dilakukannya relokasi karena Alun-alun akan ditata ulang dan dijadikan taman yang bernuansa Majapahit dan fasilitas umum bagi warga.
Menurut Peraturan Daerah Kota Mojokerto Nomor 5 Tahun 2005 Tentang
Penataan Dan Pembinaan Kegiatan PKL menjelaskan bahwa PKL merupakan
mendapatkan pembinaan untuk pertumbuhan dan perkembangan serta perlu juga
diadakan penataan dalam rangka mewujudkan lingkungan kota yang bersih, sehat,
rapi dan indah. Relokasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan apabila tidak
terpenuhinya daerah-daerah yang digunakan untuk berdagang para PKL tersebut.
Dengan diadakannya penataan pedagang kaki lima ini tidak berarti Pemerintah
Kota akan membiarkan pedagang kaki lima untuk terus tumbuh semakin besar
dengan mendirikan tempat-tempat usaha yang permanen ditempat tersebut, tetapi
apabila pedagang kaki lima tersebut telah tumbuh dan berkembang menjadi besar,
dalam jangka waktu tertentu diharapkan akan dapat pindah ke pasar-pasar atau
toko-toko, sesuai dengan jenis barang dagangannya.
Gambar 1.1
Pedagang Kaki Lima di Ar ea Sekitar Alun- alun Kota Mojokerto
Sumber: Foto Alun-alun Kota Mojokerto, 19 Mei 2014
tersebut masih ada pedagang yang tetap berjualan di area yang telah dilarang. Barang dagangan yang mereka jual kebanyakan berupa makanan dan minuman.
Tampak bahwa keberadaan sektor informal sebagai katup pengaman bagi
permasalahan ketenagakerjaan khususnya dan perekonomian pada umumnya.
Oleh karena itu pedagang kaki lima perlu dibina dan dilindungi agar mereka dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup, juga ditata supaya tercipta kenyamanan bagi
warga kota, warga masyarakat mengingat bahwa kota dikonsepkan sebagai suatu
tempat atau wilayah kediaman yang nyaman, sehat, bersih dan teratur.
Berdasarkan Peraturan Walikota Mojokerto Nomor 30 Tahun 2013 tentang
Rincian Tugas Pokok dan Fungsi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Mojokerto
yang berkaitan dengan eksistensi Satuan Polisi Pamong Praja yang merupakan
bagian perangkat daerah dalam penegakkan Peratruan daerah dan
Penyelenggarakan ketertiban umum. Dengan demikian aparat Satuan Polisi
Pamong Praja diharapkan menjadi motivator dalam menjamin kepastian
pelaksanaan peraturan daerah dan upaya menegakannya ditengah-tengah
masyarakat, sekaligus membantu dalam menindak segala bentuk penyelewengan
dan penegakkan hukum.
Satuan Polisi Pamong Praja sebagai bagian dari perangkat daerah dalam
penegakkan peraturan daerah dan penyelengaraan ketertiban umum, mempunyai
wewenang untuk melakukan tindakan penataan terhadap warga masyarakat,
aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas perda dan peraturan
kepala daerah. Menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang
mengganggu ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Dalam rangka
Peraturan Walikota Mojokerto Nomor 30 Tahun 2013 tentang Rincian Tugas
Pokok dan Fungsi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Mojokerto sebagai pedoman
bagi Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan tugas untuk meningkatkan
kepatuhan dan ketaatan masyarakat terhadap peraturan daerah, peraturan kepala
daerah dan keputusan kepala daerah serta menyelenggarakan ketertiban umum
dan ketentraman masyarakat.
Dengan memperhatikan pada tugas Satuan Polisi Pamong Praja dalam
menyangga kewibawaan pemerintah daerah serta penciptaan situasi kondusif
dalam kehidupan pembangunan bangsa. Karena itu, eksistensi Satuan Polisi
Pamong Praja, baik sebagai personil maupun institusi yang menangani bidang
ketenteraman dan ketertiban umum, akan mengalami perkembangan sejalan
dengan luasnya cakupan tugas dan kewajiban kepala daerah dalam
menyelenggarakan bidang pemerintahan.
Dalam kaitan dengan ketertiban umum, tentunya peran Satuan Polisi Pamong
Praja tidak dapat diabaikan begitu saja, sebaliknya diharapkan mempunyai tingkat
profesionalisme yang tinggi dan selalu bersinergi dengan aparat Polri dan alat-alat
kepolisian khusus lainnya serta bermitra dengan masyarakat, yang dapat
diwujudkan melalui berbagai tindakan, seperti kegiatan penyuluhan, pembinaan
dan penggalangan masyarakat. Upaya ini dapat diterapkan guna mencegah secara
dini gangguan ketertiban masyarakat dan ketenteraman masyarakat sekaligus
dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang bersinggungan dengan masyarakat
secara arif dan bijaksana.
Berbagai macam permasalahan yang ditimbulkan Pedagang Kaki Lima yang
Alun-alun Kota Mojokerto, ternyata merugikan masyarakat dan juga Pemerintah Kota
Mojokerto sendiri, seperti dapat dilihat dari segi kebersihan, keamanan,
kenyamanan dan ketertiban. Upaya untuk melakukan penataan pedagang kaki
lima agar tidak kembali lagi ke tempat asal dimana mereka awal berjualan telah
dilakukan oleh pemerintah Kota Mojokerto, khususnya ditangani oleh petugas
Satuan Polisi Pamong Praja Kota Mojokerto. sehingga untuk menegakkan
Peraturan Daerah Kota Mojokerto Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penataan dan
Pembinaan Kegiatan Pedagang Kaki Lima yang berpedoman pada Peraturan
Walikota Mojokerto Nomor 30 Tahun 2013 tentang Rincian tugas dan fungsi
Satuan Polisi Pamong Praja Kota Mojokerto, yang merupakan bagian perangkat
daerah dalam penegakkan Peratruan daerah dan Penyelenggarakan ketertiban
umum.
Dari data dan fenomena diatas menunjukkan, dengan adanya Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Mojokerto, tidak menutup peluang bagi lembaga penegakkan
peraturan daerah tersebut untuk melakukan tindakan terhadap pelanggaran yang
dilakukan oleh pedagang kaki lima, hal ini yang membuat penulis melakukan
sebuah penelitian mengenai Peran Satuan Polisi Pamong Pr aja Dala m
Penataan Pedagang Kaki Lima Di Alun-alun Kota Mojokerto.
1.2 Perumusan masalah
Penataan Pedagang Kaki Lima dibeberapa tempat di wilyah kota Mojokerto
seperti yang terjadi di sekitar Alun-alun Kota Mojokerto telah berlangsung sesuai
rencana. Upaya Satuan Polisi Pamong Praja Kota Mojokerto untuk merelokasi
para Pedagang Kaki Lima di area alun-alun Kota Mojokerto ke Jalan Benteng
berjualan di area tersebut. Barang dagangan yang mereka jual berupa makanan
dan minuman.
Permasalahan merupakan kesenjangan antara apa yang seharusnya dengan
apa yang senyatanya, antara apa yang diperlukan dengan apa yang tersedia, antara
harapan atau capaian. Untuk memudahkan pemahaman terhadap permasalahan
yang diteliti dan agar mudah terarah dan mendalam pembahasannya sesuai dengan
sasaran yang ditentukan, Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan
masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu menggambarkan Peran
Satuan Polisi Pamong Praja dalam memberikan penataan pedagang kaki lima di
Mojokerto. Maka penulis merumuskan masalah penelitian mengenai Bagaimana
Peran Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penataan Pedagang Kaki Lima di
Alun-alun Kota Mojokerto.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini oleh penulis adalah untuk mengetahui dan
menganalisis Peran Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penataan Pedagang Kaki
Lima di Alun-alun Kota Mojokerto.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi Kantor Satuan Polisi Pamong Praja
Hasil ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam
mengatasi masalah yang terjadi dan juga untuk membantu memberikan
pemahaman lebih kepada Kantor Satuan Polisi Pamong Praja dan sebagai
2. Bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Sebagai bahan studi perbandingan bagi mahasiswa yang mengkaji mengenai
topik penataan pedagang kaki lima serta menjadi bahan referensi bagi
mahasiswa yang lainnya
3. Bagi Penulis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis dalam mengkaji
pengetahuan atau teori Ilmu Administrasi Negara khusunya tentang teori
KAJ IAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh pihak lain yang dapat
dipakai sebagai bahan masukan serta bahan pengkajian yang terkait dengan
penelitian ini, yaitu :
1) Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Mega Tri Suseno, Agustus
2013, J ur nal S1 Ilmu Sosiatri,Volume 2,Nomor 2, yang berjudul
”Peranan Satuan Polisi Pamong Pr aja Dalam Membina Pedagang Kaki
Lima. Pedagang kaki lima (PKL) merupakan suatu realita saat ini bersamaan
dengan tumbuh dan berkembangnya perekonomian di suatu kota/ daerah.
Keberadaan PKL sangat bermanfaat bagi masyarakat luas, namun disisi lain
keberadaan PKL memunculkan permasalahan sosial berkaitan dengan
masalah kebersihan, keindahan, dan ketertiban suatu kota. Kondisi tatanan
PKL yang ada di Komplek Alpokat Indah (ALPIN) Pontianak yang masih
tidak teratur membuat pemerintah Kota Pontianak mengeluarkan kebijakan
dalam rangka penertiban dan pembinaan PKL yang dilaksanakan oleh Satuan
Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Pontianak. Penelitian meliputi kondisi
sosial ekonomi serta kendala yang dihadapi oleh PKL. Metode penelitian
deskriptif dan menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan alat
pengumpulan data yang meliputi: wawancara, dokumentasi. Berdasarkan
terhadap Pedagang Kaki Lima pada Komplek Alpokat Indah kelurahan sungai
beliung Kota Pontianak sudah berjalan dengan baik, 2) Upaya pembinaan
oleh pemerintah Kota Pontianak terhadap PKL pada Komplek Alpokat Indah
jaminan perlindungan bagi PKL di Komplek Alpokat Indah yang diberikan
oleh pemerintah Kota maupun Pemerintah Provinsi sudah dilaksanakan
dengan baik, diharapkan kepada pemerintah selaku legulator sekaligus
memfasilitasi kepentingan pedagang kaki lima lebih cepat dan tanggap jika
memungkinkan melakukan rehabilitasi atau relokasi yang strategis.
Pemerintah kota melalui Dinas Pasar Kota Pontianak dan Dinas
Perdagangan/UMKM perlu menangani PKL tersebut, sebagai wujud sesuai
tugas dan tanggung jawab bersama melakukan pengawasb dan pembinaan
terhadap pedagang kaki lima (PKL) di Komplek Alpokat Indah Kota
Pontianak secara khusus, serta PKL Kota Pontianak pada umumnya.
2) Penelitian berikut yang dilakukan oleh Mitha Miftakul Hikmiyah, yang
berjudul Peran Satuan Polisi Pamong Pr aja dalam Implementasi
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Perizinan
Penyelenggaraan Hiburan di Kota Cilegon. Penelitian ini dilatarbelakangi
oleh adanya beberapa permasalahan terkait peran Satuan Polisi Pamong Praja
dalam Implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003 tentang
Perizinan Penyelenggaraan Hiburan di Kota Cilegon, diantaranya kurangnya
jumlah personil Satpol PP, komunikasi yang dilakukan hanya bersifat
persuasif, kurangnya anggaran untuk kegiatan penertiban. Dan andanya
lempar tanggung jawab antara stakeholders terkait. Metode yang digunakan
menggunakan teori implementasi menurut George Edward III meliputi
sumber daya, Komunikasi, Disposisi (Sikap), dan Struktur Birokrasi. Teknik
pemgumpulan data yang dilakukan adalah melalui wawancara, observasi, dan
studi dokumentasi. Teknik analisa data menggunakan teknis anaisis interaktif
dari Miles dan Huberman. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa peran Satuan
Polisi Pamong Praja dalam implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun
2003 tentang Perizinan Penyelenggaraan Hiburan di Kota Cilegon masih
belum berajalan maksimal. Saran dari peneliti adalah memaksimalkan jumlah
personil yang ada dengan cara koordinasi, komunikasi persuasuif perlu
diimbangi dengan komunikasi preventif dan represif, meningkatkan
pendidikan dan pelatihan bagi personil Satpol PP disesuaikan dengan
anggaran, koordinasi antar Stakeholders pihak terkait, dan revisi Perda
Hiburan
3) Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nur Fatnawati (2013) yang
berjudul Dampak Relokasi Pedagang Kaki Lima Berdasar kan
Peraturan Daerah Kota Sur akarta Nomor 3 Tahun 2008 Tentang
Pengelolaan Pedagang Kaki Lima Ter hadap Usaha Pedagang Kaki Lima
Di Sur akarta. Membahas mengenai maraknya pedagang kaki lima yang
memadati lingkungan kota dengan menggelar dagangannya diruas jalan
maupun ruang publik lainnya dirasa tidak sesuai dengan sistem penataan
kota. Semakin berkembangnya PKL banyak disebabkan karena factor
lapangan pekerjaan yang tidak memadai bagi orang yang membutuhkannya.
Keadaan demikian mendesak Pemerintah Kota Surakarta untuk menata PKL
Surakarta Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui langkah pemerintah dalam
penerapan Perda Nomor 3 Tahun 2008, cara relokasi PKL menurut Perda
Nomor 3 Tahun 2008 dan dampak relokasi bagi PKL, masyarakat dan
Pemerintah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
empiris. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa penataan dan pengelolaan
PKL yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta dilaksanakan dengan
beberapa langkah yaitu Relokasi, Selter Knock Dwon, Tenda, Gerobak dan
Penertiban. Langkah awal yang ditempuh Pemerintah Surakarta yaitu dengan
melaksanakan relokasi. Relokasi dilakukan apabila tidak tersedianya lahan
untuk menampung PKL dengan jumlah yang begitu banyak. Pelaksanaan
relokasi dilakukan dengan langkah Pendataan, Sosialisasi dan yang terakhir
adalah pemberian kepastian hukum. Adanya relokasi menimbulkan suatu
akibat yang dirasakan oleh PKL, masyarakat maupun Pemerintah.
Keberadaan PKL telah banyak menunjang Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dengan sumbangan retribusi sebesar 4,5% dari total PAD sebesar
106.759.419.000,-. Masyarakat lebih merasa nyaman dengan keberadaan
PKL yang direlokasi serta terjaminnya kepastian hukum dalam menjalankan
kegiatan usaha bagi PKL. Relokasi dilakukan dengan memperhatikan
Peraturan yang sudah ditetapkan. Sehingga dapat mendatangkan manfaat bagi
PKL, masyarakat maupun bagi Pemerintah Kota Surakarta.
Penelitian terdahulu yang tertulis merupakan penelitian yang dilakukan oleh
pihak lain yang dapat dipakai sebagai bahan pengkajian atau perbandingan dengan
Satuan Polisi Pamong Praja dalam Membina Pedagang Kaki Lima, yang kedua
mengenai, Peran Satuan Polisi Pamong Praja dalam Implementasi Peraturan
Daerah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Perizinan Penyelenggaraan Hiburan di Kota
Cilegon dan yang ketiga mengenai Dampak Relokasi Pedagang Kaki Lima
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2008 Tentang
Pengelolaan Pedagang Kaki Lima Terhadap Usaha Pedagang Kaki Lima Di
Surakarta. penelitian yang dilakukan oleh Mega Tri Suseno dan Mitha Miftakul
Hikmiyah berbeda dengan penelitian ini. Meskipun terdapat beberapa kesamaan,
diantaranya tempat melaksanakan penelitian, objek yang dijadikan penelitian.
Letak perbedaannya adalah permasalahan yang dibahas dalam penelitian. Dalam
penelitian ini dibahas mengenai Bagaimana Peran Satuan Polisi Pamong Praja
dalam Penataan Pedagang Kaki Lima di Alun-alun Kota Mojokerto. Penelitian ini
mempunyai tujuan Untuk mengetahui dan menganalisis Peran Satuan Polisi
Pamong Praja dalam Penataan Pedagang Kaki Lima.
2.2. Landasan Teori
Di dalam cara berpikir secara ilmiah, penggunaan teori sangat dibutuhkan,
baik sebagai tolak ukur berpikir maupun bertindak. Karena teori merupakan suatu
kebenaran yang sudah dibuktikan kebenarannya, walaupun mempunyai
keterbatasan waktu dan tempat. Adapun tujuan landasan teori ini adalah untuk
memberikan suatu landasan berpikir kepada penulis dalam usahanya untuk
mencari kebenaran yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas, dimana
2.2.1. Pengertian Peran
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, peran adalah beberapa tingkah laku
yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dimasyarakat dan harus
dilakukan.
Peranan menurut Soekanto (2009:212-213) merupakan proses dinamis
kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya
sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara
kedudukan dengan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan karena yang satu tergantung pada yang
lain dan sebaliknya.
Merton dalam Raho (2007:67) mengatakan bahwa peranan didefinisikan
sebagai pola tingkah laku yang diharapkan masyarakat dari orang yang
menduduki status tertentu. Sejumlah peran disebut sebagai perangkat peran
(role-set). Dengan demikian perangkat peran adalah kelengkapan dari
hubungan-hubungan berdasarkan peran yang dimiliki oleh orang karena menduduki
status-status sosial khusus.
Levinson dalam Soekanto (2009:213) mengatakan peranan mencakup 3
hal, antara lain:
1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian
peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan
bermasyarakat.
2. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh
3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi
struktur sosial masyarakat.
2.2.2. Kebijakan
Sebelum dibahas lebih jauh mengenai konsep kebijakan publik, kita perlu
mengakaji terlebih dahulu mengenai konsep kebijakan atau dalam bahasa inggris
sering kita dengar dengan istilah policy. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kebijakan diartikan sebagai rangkaian
konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang
pemerintahan, organisasi, dsb); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip dan garis
pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini kita tidak dapat lepas dari apa
yang disebut dengan kebijakan publik. Kebijakan-kebijakan tersebut kita tentukan
dalam bidang kesejahteraan sosial (social welfare), di bidang kesehatan,
perumahan rakyat, pertanian, pembangunan ekonomi, hubungan liar negeri,
pendidikan nasional, dan lain sebagainya. Kebijakn-kebijakan tersebut ada yang
berhasil namun banyak juga yang gagal. Oleh karena luasnya dimensi yang
dipengaruhi oleh kebijakan publik, maka kita dapat mengajukan pertanyaan
apakah sebenarnya yang dimaksud dengan kenijakn publik itu ?
bahwa istilah kebijakan ini penggunaanya sering dipertukarkan dengan istilah lain seperti tujuan (goals) program, keputusan, undang-undang, ketentuan - ketentuan, standar, proposal dan grand design Suharno (2009 : 11).
Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut di atas maka dapat disimpulkan
bahwa kebijakan adalah tindakan-tindakan atau kegiatan yang sengaja dilakukan
atau tidak dilakukan oleh seseorang, suatu kelompok atau pemerintah yang di
dalamnya terdapat unsur keputusan berupa upaya pemilihan diantara berbagai
alternatif yang ada guna mencapai maksud dan tujuan tertentu.
2.2.3. Kebijakan Publik
Secara konseptual kebijakan publik dapat dilihat dari kamus administrasi
publik Chandler dan Plano dalam Harbani Pasolong (2008:38), mengatakan
bahwa kebijakan publik adalah pemaanfaatan yang strategis terhadap
sumber-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah publik atau pemerintahan.
Bahkan Chandler dan Plano beranggapan bahwa kebijakan publik merupakan
suatu bentuk investasi yang kontinu oleh pemerintah demi kepentingan
orang-orang yang tidak berdaya dalam masyarakat agar mereka dapat hidup dan ikut
berpartisipasi dalam pemerintahan.
Dunn dalam Harbani Pasolong (2008:39), mengatakan bahwa kebijakan
publik adalah suatu rangkaian piihan-pilihan yang saling berhubungan yang
dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang
menyangkut tugas pemerintahan, seperti pertahanan keamanan, energi, kesehatan,
pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan, dan lain-lain.
Dye dalam Harbani Pasolong (2008:39), mengatakan bahwa kebijakan publik
mengatakan bahwa bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus
ada tujuannya (objektifnya) dan kebijakan publik itu meliputi semua tindakan
pemerintah, jadi bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah
saja.
Nasucha dalam Harbani Pasolong (2008:39) mengatkan bahwa kebijakn
publik adalah kewenangan pemerintah dalam pembuatan suatu kebijakan yang
digunakan kedalam perangkat peraturan hukum. Kebijakan tersebut bertujuan
untuk menyerap dinamika sosial dalam masyarakat, yang akan dijadikan acuan
perumusan kebijakan agar tercipta hubungan sosial yang harmonis.
Berdasarkan pengertian dan elemen yang terkandung dalam kebijakan sebagai
mana telah disebutkan, maka kebijakan publik dibuat dalam kerangka untuk
memecahkan masalah dan untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu yang
diinginkan. Kebijakan publik ini berkaitan dengan apa yang disenyatanya
dilakukan oleh pemerintah dan bukan sekedar apa apa yang ingin dilakukan.
2.2.3.1 Tahap-tahap pembuatan kebijakan publik
Ada beberapa tahap pembuatan kebijakan publik menurut William N. Dunn
(1998:24)
1. Penyusunan Agenda
Penyusunan agenda adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis
dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah ada ruang untuk memaknai
apa yang disebut sebagai masalah publik dan agenda publik perlu diperhitungkan.
Jika sebuah isu telah menjadi masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam
agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik
menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah.
Isu kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan
(policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang
pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan
ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut.
Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari
adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian
atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu
agenda kebijakan.
2. Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh
para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian
dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari
berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan
perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap
perumusan kebijakan masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih
sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar
pemerintahan Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh
kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun
warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah.Mendukung.
Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat
pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi
simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung
pemerintah.
4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang
menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi,
implementasi dan dampak. Dalam hal ini ,evaluasi dipandang sebagai suatu
kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap
akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan
demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah
kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah
kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
2.2.4. Pengertian Birokr asi
Weber dalam Pasolong (2008:66), Menyebut definisi birokrasi adalah sebagai
suatu daftar atau sejumlah daftar ciri-ciri yang sifat pentingnya yang relatif secara
hubungannya satu sama lain telah banyak menimbulkan perdebatan. Paling
mencolak diantara ciri-ciri ini ialah bidang-bidang kompetensi yang jelas
batasnya, pelaksanaan tugas-tugas resmi secara terus menerus. Suatu hirarki
pengendalian dimana kemungkinan untuk naik pangkat memungkinkan dibuatnya
suatu karir. Pengangkatan dan kenaikan pangkat berdasarkan krieteria
kemampuan.
Kristiadi dalam Pasolong (2008:67), Mengatakan bahwa birokrasi adalah
merupakan sturktur organisasi di sektor pemerintahan, yang memiliki ruang
daya manusia yang besar pula jumlahnya. Birokrasi yang dimaksud untuk
penyelenggaraan bernegara, penyelenggaraan pemerintah termasuk didalamnya
penyelenggaraan pelayanan umum dan pembangunan.
Kartasapoetra dalam Pasolong (2008:67), mengatakan birokrasi adalah
pelaksanaan perintah-perintah secara organisatoris yang harus dilaksanakan
sedemikian rupa sehingga dan secara sepenuhnya pada pelaksanaan pemerintahan
melalui instansi-instansi atau kantor-kantor.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
pengertian birokrasi adalah sistem administratif dan pelaksanaan tugas keseharian
yang terstruktur, dalam sistem hierarki yang jelas, dilakukan dengan aturan
tertulis, dilakukan oleh bagian tertentu yang terpisah dengan bagian lainnya, oleh
orang yang dipilih karena kemampuan dan keahlian dibidangnya. Peranan
birokrasi pemerintah yang kuat dan dominan dalam pengelolaan program
pembangunan juga telah menimbulkan etos kerja yang memaksa para aparat untuk
mempertahankan status quo. Dalam bidang publik konsep birokrasi dimaknai
sebagai proses dan sistem yang diciptakan secara rasional untuk menjamin
mekanisme dan sistem kerja yang teratur, pasti, dan mudah dikendalikan.
2.2.4.1 Karakteristik Birokr asi
Menurut Weber dan Pasolong (2008:72), menyusun karakteristik birokrasi
menjadi 7, sebagai berukut:
1. Spesialisai pekerjaan, yaitu semua pekerjaan dilakukan dalam
kesederhanaan, rutinitas, dan mendefinisikan tugas dengan baik.
2. Hirarki kewenangan yang jelas, yaitu sebuah struktur multi tingkat yang
jabatan yang lebih rendah berada di bawah supervise dan control dari yang
lebih tinggi.
3. Formalisasi yang tinggi, yaitu semua anggota organisasi diseleksi dalam
basis kualifikasi yang di demonstrasikan dengan pelatihan, pendidikan, atau
latihan formal.
4. Pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang didasarkan
atas kemampuan, yaitu pengambilan keputusan tentang seleksi dan promosi
didasarkan atas kualifikasi teknik, kemampuan dan prestasi para calon.
5. Bersifat tidak pribadi (impersionalitas), yaitu sanksi-sanksi diterapkan
secara seragam tanpa perasaan pribadi untuk menghindari keterlibatan
dengan kepribadian individual dan preferensi pribadi para anggota.
6. Jejak karier bagi para pegawai diharapkan mengejar karier dalam organisasi.
Sebagai imbalan atas komitmen terhadap karier tersebut, para pegawai
mempunyai masa jabatan, artinya mereka akan dipertahankan meskipun
mereka kehabisan tenaga atau jika kepandaiannya tidak terpakai lagi.
7. Kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan jelas dari kehidupan pribadi,
yaitu pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan
pribadinya termasuk keluarganya.
2.2.5. Pengertian Organisasi
Gibson c.s dalam Winardi (2003:13). menyatakan bahwa:
“Organisasi-organisasi merupakan entitas-entitas yang memungkinkan masyarakat mencapai
hasil-hasil tertentu, yang tidak mungkin dilaksanakan oleh individu-individu yang
Organisasi-organisasi didirikan oleh perilaku mereka yang diarahkan ke arah
pencapaian tujuan. Mereka mengupayakan pencapaian tujuan-tujuan dan
sasaran-sasaran, yang dapat dilaksanakan secara lebih efektif dan lebih efisien, melalui
tindakan-tindakan individu-individu serta kelompok-kelompok secara terpadu.
Hicks dalam Winardi (2003:15) menyajikan rumusan berikut untuk sebuah
organisasi: “An organization is a structured process in which person interact for
objectives”
Adapun definisi tersebut berlandaskan sejumlah fakta yang merupakan ciri
umum semua organisasi.
1. Sebuah organisasi senantiasa mencakup sejumlah orang.
2. Orang-orang tersebut terlibat satu sama lain dengan satu atau lain cara –
maksudnya mereka semua berinteraksi.
3. Interaksi tersebut selalu dapat diatur atau diterangkan degan jenis struktur
tertentu.
4. Masing-masing orang di dalam sesuatu organisasi memiliki sasaran-sasaran
pribadi, di mana beberapa diantaranya merupakan alasan-alasan bagi tindakan
yang dilakukannya. Ia mengekspektasi bahwa keterlibatannya di dalam
organsisasi tersebut membantunya mencapai sasaran-sasarannya.
Barnard dalam Winardi (2003:27): “...An organization is a system of
consciously coordinated activities or forces of two or more persons”.
Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila orang-orang
berkumpul menjadi satu, dan kemudian mereka secara formal mencapai
persetujuan untuk mengkombinasi upaya mereka untuk mencapai tujuan bersama
Dari beberapa definisi tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa organisasi
merupakan suatu bentuk kerjasama antara sekelompok orang yang tergabung
dalam suatu wadah tertentu guna mencapai tujuan bersama seperti yang telah
ditetapkan bersama.
2.2.5.1. Prinsip-prinsip Organisasi
Prinsip-prinsip organisasi sering disebut dengan azas-azas organisasi.
Prinsip atau azas merupakan dasar, pondasi, atau sesuatu kebenaran yang
menjadi pokok atau tumpuan berpikir.
Menurut Atmosudirjo dalam Wursanto (2003:217), prinsip itu
mempunyai dua segi berikut :
1. Prinsip merupakan pangkal-tolak pikiran untuk memahami suatu
tata-hubungan, atau suatu kasus.
2. Prinsip merupakan suatu jalan atau sarana untuk menciptakan sautau
tata-hubungan atau kondisi yang kita kehendaki.
Dengan demikian yang dimaksud prinsip-prinsip organisasi adalah
pondasi yang menjadi pokok dasar atau yang menjadi pangkal-tolak didalam
menggerakan organisasi. oleh karena itu organisasi dibangun dan digerakkan
di atas pondasi yang berupa prinsip organisasi, dan setiap prinsip
mengandung suatu kebenaran.
Menurut Atmosudirjo dalam Wursanto (2003:218), mengemukakan 12
prinsip-prinsip organisasi yaitu sebagai berikut :
1. Prinsip tujuan, yang berati bahwa organisasi harus mempunyai tujuan.
2. Prinsip pembagian kerja, bahwa dalam organisasi harus ada
3. Prinsip perimbangan antara tugas, tanggung jawab dan wewenang.
4. Prinsip pelimpahan kekuasaan harus jelas batas-batasanya.
5. Kesatuan komando, bahwa azas ini menghendaki satu orang satu
atasan.
6. Komunikasi, untuk mengadakan pertukaran informasi antar instansi
yang ada di dalam organisasi.
7. Prinsip pengecekan, yang berati bahwa setiap pimpinan berkewajiban
untuk melakukan pengecekan terhadap pelaksanaan kegiatan.
8. Prinsip kontinuitas, yang artinya kegiatan dalam organisasi harus
bersifat terus-menerus, tidak boleh mandeg, dalam keadaan atau
situasi yang bagaimanapun.
9. Prinsip saling asuh, yang berati anatara unit (lini dengan staf) saling
bekerjasama dan menyadari akan kepentingan setiap unit yang ada
dalam organisasi. jangan sampai suatu unit merasa lebih penting dari
pada unit yang lain.
10.Prinsip koordinasi, untuk mencegah timbulnya bahaya disintegrasi.
11.Prinsip penghayatan, yang mencerminkan bahwa organisasi itu hidup
atau berhayat.
12.Prinsip tahu diri, yang berarti bahwa setiap anggota organisasi harus
sadar akan tugas dan tanggung jawabnya serta mengetahui posisi
masing-masing dalam organisasi.
2.2.6. Pengertian dan Ruang Lingkup Tata Ruang
Menurut Peraturan Daerah Kota Mojokerto Nomor 4 Tahun 2012 Tentang
Rencana Tata Ruang Kota Mojokerto 2012-2032, Pasal 1, apa yang dimaksud
dengan :
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
hidupnya.
Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi
masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional.
Pola ruang adalah distribusi ruang dalam suatu wilayah yang meliputi ruang
untuk fungsi lindung dan ruang untuk fungsi budi daya.
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.
Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola
ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan
program beserta pembiayaannya.
Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tata tertib
2.2.6.1 Asas dan Tujuan Penataan Ruang
Adapun Asas penataan ruang Kota Mojokerto menurut Peraturan Daerah
Kota Mojokerto Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Kota
Mojokerto 2012-2032 meliputi :
a. keterpaduan;
b. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;
c. keberlanjutan;
d. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;
e. keterbukaan;
f. kebersamaan dan kemitraan; g. perlindungan kepentingan umum;
h. kepastian hukum dan keadilan; dan i. akuntabilitas.
Adapun tujuan menurut Peraturan Daerah Kota Mojokerto Nomor 4 Tahun
2012 Tentang Rencana Tata Ruang Kota Mojokerto 2012-2032, Pasal 9 tujuan
penataan ruang Kota Mojokerto adalah mewujudkan Kota Mojokerto yang
mandiri, sejahtera, berbudaya sebagai pusat pelayanan perdagangan, jasa, dan
industri kecil dalam ruang yang berkelanjutan.
2.2.6.2. Kebijakan dan Str ategi
Pasal 10
Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah kota meliputi:
a. kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang wilayah kota;
b. kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang wilayah kota; dan
Pasal 12
Kebijakan pengembangan pola ruang wilayah kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf b meliputi:
a. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan lindung; dan b. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan budi daya. Pasal 14
(1 ) Kebijakan pengembangan kawasan budi daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b meliputi:
a. pengembangan kawasan perumahan yang memadai dan berwawasan lingkungan;
b. pengembangan kawasan perdagangan dan jasa guna meningkatkan daya saing kota;
c. pengembangan kawasan perkantoran guna memudahkan pelayanan pada masyarakat;
d. pengendalian, pengembangan dan intensifikasi kawasan peruntukan industri;
e. pengendalian, pengembangan dan intensifikasi kawasan peruntukan pariwisata;
f. pengembangan kawasan RTNH guna pendukung aktivitas masyarakat; g. perencanaan dan pemanfaatan ruang wilayah berbasis mitigasi bencana; h. pengembangan ruang serta prasarana dan sarana bagi sektor informal;
j. pengembangan kawasan serta peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara.
(2 ) Strategi pengembangan kawasan perdagangan dan jasa guna meningkatkan daya saing dan pelayanan masyarakat kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b meliputi:
a. menetapkan kawasan strategis perdagangan barang dan jasa;
b. menyediakan infrastruktur yang menunjang perkembangan perdagangan dan jasa;
c. mengembangkan pola penggunaan lahan campuran di kawasan perdagangan dan jasa serta mengendalikan pembentukan kawasan
perdagangan secara linier;
d. mengembangkan kawasan perdagangan dan jasa di tiap-tiap subpusat pelayanan kota dengan memperhatikan karakteristik kawasan; dan
e. menyediakan ruang bagi pedagang kaki lima di setiap pusat perbelanjaan sesuai ketentuan peraturan Walikota dan kondisi sosial lingkungan.
Pasal 15
(1 ) Kebijakan penetapan kawasan strategis kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c meliputi penetapan kawasan perdagangan dan jasa dan
kawasan industri.
(2 ) Strategi penetapan kawasan perdagangan dan jasa dan kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. mengembangkan prasarana dan sarana pendukung pasar;
c. menyediakan lokasi usaha perdagangan yang tertata dan mudah dijangkau;
d. mengembangkan prasarana dan sarana penunjang kegiatan industri; dan
e. melakukan pengkajian AMDAL dalam setiap kegiatan industri. 2.2.7. Pedagang Kaki Lima
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta,
istilah kaki lima adalah lantai yang diberi atap sebagai penghubung rumah dengan
rumah, arti yang kedua adalah lantai (tangga) dimuka pintu atau di tepi jalan. Arti
yang kedua ini lebih cenderung diperuntukkan bagi bagian depan bangunan rumah
toko, dimana di jaman silam telah terjadi kesepakatan antar perencana kota bahwa
bagian depan (serambi) dari toko lebarnya harus sekitar lima kaki dan diwajibkan
dijadikan suatu jalur dimana pejalan kaki dapat melintas. Namun ruang selebar
kira-kira lima kaki itu tidak lagi berfungsi sebagai jalur lintas bagi pejalan kaki,
melainkan telah berubah fungsi menjadi area tempat jualan barang-barang
pedagang kecil, maka dari situlah istilah pedagang kaki lima dimasyarakatkan.
Pedagang Kaki Lima menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (1991),
adalah pedagang yang menjual barang dagangannya di pinggir jalan atau di dalam
usahanya menggunakan sarana dan perlengkapan yang mudah dibongkar pasang
atau dipindahkan serta memempergunakan bagian jalan atau trotoar,
tempat-tempat yang tidak diperuntukkan bagi tempat-tempat untuk berusaha atau tempat-tempat lain
yang bukan miliknya.
Pedagang Kaki Lima adalah pedagang atau orang yang melakukan kegiatan
atau usaha kecil tanpa didasari atas ijin dan menempati pinggiran jalan (trotoar)
(PKL) adalah pedagang informal yang menempati kaki lima (trotoar/pedestrian)
yang keberadaannya tidak boleh mengganggu fungsi publik, baik ditinjau dari
aspek sosial, fisik, visual, lingkungan dan pariwisata”.
Banyak penjelasan yang dapat ditemui jika membahas mengenai PKL.
Keberadaan PKL disini sangat menarik untuk dibahas satu persatu, misalnya
mengenai dampak atas keberadaan PKL maupun mengenai cara pemerintah untuk
menata PKL tersebut. Sekilas PKL hanyalah pedagang biasa yang menggelar
dagangannya dipinggiran jalan, akan tetapi keberadaannya sangat mengganggu
kenyamanan pengguna fasilitas umum dan juga mengganggu ketertiban kota.
Seperti penjelasan tentang PKL diatas, dalam hal ini Widjajanti (2000:28)
menjelaskan bahwa Istilah PKL erat kaitannya dengan istilah di Perancis tentang
pedestrian untuk pejalan kaki di sepanjang jalannya, yaitu Trotoir. Di sepanjang
jalan raya kebanyakan berdiri bangunan bertingkat. Pada lantai paling bawah
biasanya disediakan ruang untuk pejalan kaki (trotoir) selebar 5 kaki. Pada
perkembangan berikutnya para pedagang informal akan menempati trotoir
tersebut, sehingga disebut dengan istilah Pedagang Lima Kaki, sedangkan di
Indonesia disebut Pedagang Kaki Lima atau PKL.
Menurut Bromley, sebagaimana dikutip oleh Mulyanto (2007), ”Pedagang
Kaki Lima (PKL), merupakan kelompok tenaga kerja yang banyak di sektor
informal”. Pekerjaan pedagang kaki lima merupakan jawaban terakhir yang
berhadapan dengan proses urbanisasi yang berangkaian dengan migrasi dari desa
ke kota yang besar, pertumbuhan penduduk yang pesat, pertumbuhan kesempatan
kerja yang lambat di sektor industri, dan penyerapan teknologi yang padat moral,
Menurut Mujibsite (14/12/2012), Pedagang Kaki Lima merupakan usaha yang
dijalankan dengan mandiri. Kemandirian tersebut sudah ada sejak awal
munculnya PKL tersebut. Namun, Bila melihat sejarah dari permulaan adanya
Pedagang kaki lima, PKL atau pedagang kaki lima sudah ada sejak masa
penjajahan Kolonial Belanda. Pemerintah pada waktu itu juga menghimbau agar
sebelah luar trotoar diberi ruang yang agak lebar atau agak jauh dari pemukiman
penduduk untuk dijadikan taman sebagai penghijauan dan resapan air
Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) dalam membuka usaha di trotoar
tampak dilematis sebab mengganggu kenyamanan para pengguna jalan. Dalam hal
ini pemerintah harus lebih teliti dalam mengambil tindakan dan juga menegakkan
peraturan. Lapangan pekerjaan yang sulit juga mendukung maraknya pedagang
kaki lima (PKL) yang merupakan alih profesi akibat PHK dan lain sebagainya.
Meskipun banyak yang beranggapan bahwa PKL merupakan suatu komunitas
pengganggu ketertiban, tidak selamanya anggapan tersebut benar. PKL juga dapat
bersifat mandiri dalam menjalankan usahanya, bahkan dapat dikatakan jika PKL
tersebut cenderung kreatif dengan memunculkan terobosan baru yang unik dalam
usaha pengembangan dagangannya. Kemandirian PKL dinilai dapat memacu
pendapatan mereka yang semula rendah menjadi menengah. Kegiatan
perdagangan disini juga membuka kesempatan kerja bagi pelaku-pelaku lainnya
untuk beusaha.
Bukan hanya untuk memandirikan kehidupan PKL itu sendiri, akan tetapi
dalam prakteknya PKL merupakan salah satu penyumbang perputaran ekonomi di
suatu daerah. Walaupun unit usahanya kecil, namun apabila PKL dikumpulkan
bentuk usaha yang dijalankan oleh masyarakat, ”PKL mempunyai karakteristik,
diantaranya adalah (i) modal usaha terbatas/kecil, (ii) waktu tidak teratur, (iii)
tempat tidak permanen, (iv) pelanggan pada umumnya menengah kebawah, (v)
tidak ada keterkaitan dengan usaha lain dan bersifat kompetitif” (Anonim b,
2011:3).
Karakteristik bentuk usaha PKL tersebut dapat memunculkan PKL baru di
kawasan perkotaan. Hal ini diakibatkan ketidakseimbangan pembangunan antara
pedesaan dan perkotaan. Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan peluang
pekerjaan yang diharapkan di perkotaan semakin sempit, ditambah dengan
banyaknya lapangan pekerjaan outsourching yang tidak ada kepastian
kesejahteraannya. Hal tersebut menjadi salah satu faktor munculnya sektor
informal (PKL) yang diciptakan oleh mereka untuk mencukupi kebutuhan mereka
dan mendapatkan kesejahteraan.
Menurut Herlianto (2012) ”Sektor informal dalam hal ini PKL, merupakan
sebuah sektor yang tidak diharapkan, padahal kenyataannya sektor ini adalah
sektor yang lahir dari pertumbuhan ekonomi kota dan produk urbanisasi yang
terjadi di negara yang sedang berkembang. Berdatangannya para pendatang ke
kota yang sebagian besar tanpa dibekali dengan keterampilan dan pendidikan
yang cukup, hal ini menumbuhkan suatu masyarakat lapisan bawah yang
umumnya berkecimpung di sektor informal”.
Menurut McGee dan Yeung (1977: 25), PKL mempunyai pengertian yang
sama dengan”hawkers”, yang didefinisikan sebagai orang-orang yang menjajakan
barang dan jasa untuk dijual di tempat yang merupakan ruang untuk kepentingan
timbul tanpa adanya suatu pembekalan yang khusus, menimbulkan anggapan dari
masyarakat luas sebagai suatu bentuk ketimpangan pembangunan.
Berkembangnya PKL menciptakan suatu aktivitas PKL yang beragam setiap
harinya. Aktivitas PKL timbul karena tidak terpenuhinya kebutuhan pelayanan
oleh formal. Aktivitasnya sering dianggap menimbulkan gangguan keamanan dan
ketertiban masyarakat serta sering dipojokkan sebagai penyebab timbulnya
berbagai permasalahan seperti mengganggu pergerakkan pejalan kaki atau
menyebabkan kemacetan lalu lintas.
Dalam melakukakan aktivitasnya, PKL memilih ruang yang mudah dicapai
orang seperti trotoar dan ruang publik. Ruang terbuka publik yang seharusnya
berfungsi sebagai ruang sosial bagi masyarakat sekarang berubah menjadi
kawasan komersial. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknnya pedagang kaki lima
yang memanfaatkan ruang terbuka publik sebagai ruang aktivitasnya. Keberadaan
PKL ini tentunya akan mengurangi peran ruang terbuka publik, meskipun
keberadaan PKL ini sebenarnya menjadi salah satu faktor pendukung aktivitas di
2.3. Kerangka Berfikir
Gambar 2.1
Sumber : Peraturan Daerah Kota Mojokerto Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penataan dan Pembinaan Kegiatan Pedagang Kaki Lima
Terwujudnya Lingkungan Kota yang Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah
Ketentuan Pidana Peran Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penataan
Kegiatan Pedagang Kaki Lima Di Alun-alun Kota Mojokerto.
Ketentuan Kegiatan Usaha Pedagang Kaki
Lima