• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN. Corak Pura dalam Kacamata Kontekstualisasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN. Corak Pura dalam Kacamata Kontekstualisasi"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

ANALISA HASIL PENELITIAN

Corak Pura dalam Kacamata Kontekstualisasi

Sedikit gambaran tentang data yang penulis dapatkan dalam proses penelitian pada BAB sebelumnya. Gereja Kristen Pniel Blimbingsari merupakan salah satu bangunan yang telah dipengaruhi oleh budaya Bali melalui proses akulturasi. Struktur bangunannya sendiri menggunakan konsep lokal yakni Asta Kosala Kosali yang menjadi pakem dan terus dipertahankan masyarakat Bali dalam mendirikan sebuah bangunan peribadatan (atau bahkan dalam pembangunan sebuah rumah tempat tinggal). Sedangkan bangunan gereja ini juga memiliki pakem tersendiri dalam memenuhi kebutuhan fungsi bangunannya. Hal ini terjadi pada kelompok bangunan gereja Kristen Pniel Blimbingsari yang memiliki wujud arsitektur yang unik dan menarik dibandingkan gereja lainnya di pulau Bali. Keunikan yang terdapat pada Gereja Pniel ini menarik perhatian untuk penulis meneliti mengenai bagaimana tata ruang Gereja. Seperti penyusunan bangunan gereja Blimbingsari tersebut sebagian besar diadaptasi dari tata cara mendirikan Pura.

Jika dilihat dari depan, tatanan bangunan gereja akan dimulai dari pertama, Candi Bentar yang dalam konsep Bali merupakan simbol mulut yang tenganga. Simbol mulut yang

tenganga ini menjadikan Candi Bentar sebagai pintu masuk pada komplek Gereja Kristen Pniel Blimbingsari, Bali. Kedua, dinding panyeker dan Dinding Aling-Aling atau dinding pembatas komplek Gereja Kristen Pniel Blimbingsari yang berfungsi sebagai pembatas antara Candi Bentar dengan Kori Agung. Ketiga, Kori Agung yang berfungsi sebagai pintu masuk

utama bangunan gereja. Bangunan Kori Agung memiliki dua celah untuk akses masuk.

Kedua celah ini dihiasi oleh pintu beserta ukirannya yang memiliki makna tersendiri (disamping sebagai pintu masuk, ada juga makna lainnya dimana menggambarkan sebuah gender dimana Candi Bentar menggambarkan gender perempuan dan Kori Agung sebagai gender laki-laki). Dan kedua bangunan ini juga melambangkan dua unsur yang berbeda yang ada dimuka bumi ini yang harus selalu ada untuk mengisi satu sama lain (Rwa Bhineda), seperti adanya laki laki dan perempuan, siang dan malam, kebaikan dan keburukan.1

Dengan gambaran umum seperti demikian, penulis kemudian mencoba menganalisa corak pura dalam bangunan Gereja Pniel Blimbingsari dari sudut pandang teori

1 Wawancara dengan Bapak Made Swirya, (Mantan Majelis)

(2)

kontekstualisasi simbol yang dikemukakan oleh Clifford Geertz dan akan dilengkapi oleh teori Kontekstualisasi dari Gerrit Singgih.

Pertama, simbol sebagai sistem atau alur makna. Simbol mengacu pada setiap objek, tindakan, peristiwa, sifat atau hubungan yang dapat berperan sebagai wahana sebuah konsep.

Konsep inilah yang kemudian menjadi makna simbol. Simbol-simbol tersebut sangat dihargai ataupun dibenci (ditakuti) oleh masyarakat, dilukiskan dalam pandangan dunia mereka, disimbolisasikan dalam corak kepercayaan dan pada gilirannya terungkap dalam keseluruhan kualitas kehidupan mereka. Lewat simbol-simbol (bahasa, benda, wacana, gambar, dan peristiwa), kita dapat mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu.

Dengan membedah simbol-simbol yang ada, maka akan terlihat jelas proses pemaknaan, penilaian dan pembelokan tanda yang diberikan pada sesuatu benda tersebut.”2 Jika bisa dirumuskan secara umum, simbol sebagai sebuah sistem atau alur makna akan diawali oleh:

objek (simbol), konsep simbol, pemaknaan simbol, dan berujung pada etika atau cara pandang kehidupan masyarakat. Berdasarkan penjelasan pada point pertama dalam teori Clifford Geertz ini dapat dengan jelas dilihat bahwa makna dari sebuah simbol sendiri banyak sekali terdapat pada setiap corak dan ukiran di bangunan Gereja Pniel Blimbingsari memiliki makna tersendiri terutama bagi warga masyarakat Blimbingsari yang juga sekaligus jemaat di sana. Dikarenakan simbol tersebut merupakan peringatan akan peristiwa serta perwujudan dari sebuah akulturasi budaya dan pada akhirnya menjadi sebuah bangunan gereja dengan arsitektur yang memiliki makna pula bagi warga/jemaat Blimbingsari. Peringatan peristiwa dan perwujudan dari akulturasi budaya yang dimaksudkan dalam hal ini merujuk pada yang pertama sudah pasti bangunan gereja yang memiliki arsitektur seperti pura (tempat persembahyangan agama hindu). Lebih mengerucut, simbol ini sendiri diwujudkan dalam bentuk sebuah ukiran Bali yang memiliki makna sebagai sebuah perjalanan masyarakat Blimbingsari dari tempat asal mereka hingga sampailah ke tanah Blimbingsari atau bisa disebut perjalanan eksodus masyarakat setempat, dan ini juga mirip dengan perjalanan eksodus bangsa Israel yang keluar dari tanah mesir. Pada akhirnya kedua cerita ini dituangkan ke dalam sebuah ukiran dan bangunan Gereja yang bernuansa Bali dimana memiliki makna juga, untuk menyatakan bahwa masyarakat kristen Blimbingsari juga orang Bali.

Kedua, simbol sebagai ungkapan prasaan dan emosi. Dalam arti semantik, rasa juga berarti “makna terakhir” yakni makna terdalam yang dicapai orang dengan usaha mistis dan

2 Fauzi Fasri,Piere Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol,(Yogyakarta: Jalasutra, 2014), 21

(3)

kemudian kejelasannya menjernihkan ambiguisitas dari kehidupan duniawi. Tidak jarang juga rasa bisa diartikan sama dengan kehidupan. Apa saja yang hidup memiliki rasa, dan apa saja yang memiliki rasa sudah pasti hidup.3 Kebudayaan di satu sisi menanamkan kekuatan sumber- sumber simbolis untuk merumuskan gagasan-gagasan analitis dalam sebuah konsep otoritatif tentang bentuk menyeluruh dari kenyataan. Sementara di sisi yang lain, simbol atau sistem simbol religius kebudayaan menanamkan sumber-sumber kekuatan bagi manusia untuk mengungkapkan emosi-emosi yakni: gerak hati, sentimen-sentimen, nafsu-nafsu, afeksi-afeksi, perasaan, di dalam suatu konsep yang serupa tentang suasana umum, serta sifat yang melekat pada suasana tersebut.4 Adapun ungkapan perasaan dan emosi dalam corak pura pada bangunan gereja dapat dilihat dalam beberapa bentuk simbol yang diwujudkan dalam bentuk ukiran yang terdapat pada bangunan Gereja Pniel Blimbingsari. Hampir sama dengan penjelasan sebelumnya, dimana ukiran yang terdapat pada bangunan gereja merupakan ungkapan perasaan jemaat yang dituangkan ke dalam seni ukir bernuansa Bali. Ukiran ini terdapat pada Candi Bentar, Penyeker, Aling-aling, dan Kori Agung. Dimana pada BAB sebelumnya telah dijelaskan bahwa masing-masing bangunan tersebut mempunyai ceritanya yang masing- masing pula, dan sudah pasti menggambarkan perasaan jemaat pada saat itu.

Ketiga, simbol sebagai pengalaman faktual. Melihat kenyataan dan pengalaman hidup sehari-hari dari perspektif simbol religius jauh lebih tajam dan dalam daripada melihat, mengenali dan memahaminya dari perspektif rasionalitas (akal sehat, ilmiah atau estetis).

Melihat dunia secara rasionalitas (akal sehat) adalah menerima dunia, objek-objeknya dan proses-prosesnya begitu saja sebagaimana adanya. Sebaliknya perspektif simbol religius bergerak melampaui kenyataan kehidupan sehari-hari ke kenyataan yang lebih luas yakni menerima dan mengimaninya. Menurut Clifford Geertz pengalaman dan perasaan unik inilah yang pada akhirnya mengantar manusia pada ritus. Dalam ritus religius kumpulan makna atas mitos, cerita-cerita dan kepercayaan-kepercayaan lain selalu diperhatikan. Ketika sekelompok masyarakat melaksanakan sebuah ritus keagamaan, ada penerimaan otoritas yang mendasari perspektif religius tersebut.5 Simbol sebagai pengalaman faktual ini dapat kita lihat dalam penggambarannya di dalam sebuah ukiran pada Candi Bentar dan Kori Agung. Dimana pada

3 Geertz, Kebudyaan dan Agama,…, 61

4 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama,…,23

5 Yang dimaksud oleh Geertz dengan otoritas adalah sebuah “kekuatan atau kekuasaan”. Dalam agama primitif, otoritas terdapat dalam kekuatan-kekuatan persuasive dari cerita-cerita tradisional, dalam agama-agama mistis otoitas terdapat dalam perintah apodiktis tentang pengalaman adi-indrawi, dalam agama-agama kharismatis otoritasterdapat dalam daya tarik hipnotis dari seorang pribadi yang luar biasa. Lih. Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama,…, 30

(4)

Candi Bentar berisi pengalaman perjalanan masyarakat Blimbingsari yang dibuang dari tempat asal mereka hingga sampailah ke tanah Blimbingsari atau bisa disebut perjalanan eksodus masyarakat setempat, dan cerita ini juga mirip dengan perjalanan eksodus bangsa Israel yang keluar dari tanah mesir yang dituangkan di dalam bentuk ukiran pula di Kori Agung.

Keempat, simbol sebagai etika dasar perilaku. Simbol religiusitas dalam kebudayaan menarik secara sosiologis bukan seperti apa yang diyakini oleh kaum positivisme yang hanya menggambarkan tatanan sosial, lebih daripada itu ia membentuk tatanan sosial, seperti lingkungan, kekuasaan, politis, kesejahteraan, kewajiban hukum, afeksi personal dan rasa keindahan. Akhirnya Clifford Geertz sampai pada satu kesimpulan bahwa studi antropologis- sosiologis tentang kebudayaan memiliki dua tahap operasi. Pertama suatu analisa atas sistem makna-makna dalam simbol-simbol. Kedua mengaitkan sistem-sistem ini pada struktur sosial dan proses-proses psikologinya.

Berbicara mengenai penggunaan teori simbol dalam upaya kontekstualisasi corak pura pada bangunan Gereja Pniel Blimbingsari merupakan sesuatu topik yang masih urgent dibahas saat ini. Problem mengenai perjumpaan identitas kekristenan dan ke-Bali-an menjadi dasar utama pentingnya merumuskan teori simbol (sebagai bukti perjalanan sejarah) dengan konteks lokus yang sedang digunakan. Dalam cara berpikir demikian, sudah seharusnya penulis mengupayakan sebuah jembatan penghubung berupa sebuah kontekstualisasi sebagai salah satu kekuatan dalam menjaga harmoni sosial hingga menghindari adanya konflik. Mengacu pada data yang didapatkan oleh penulis, corak Pura merupakan bentuk kristalisasi identitas asli ke-Bali-an yang telah terbentuk dan diwariskan secara turun–temurun. Pura sebagai sebuah simbol mengandung makna peristiwa, identitas, perspektif religius, hingga keadaan sosial yang pernah terjadi. Selanjutnya makna simbol Pura juga menyangkut pengalaman sehari–hari dan cara pandang kehidupan masyarakat.

Keempat poin yang disebutkan di atas juga tidak lepas dari yang namanya proses kontekstualisasi. Sesuai yang diutarakan oleh Gerrit Singgih dalam proses akulturasi ada proses kontekstualisasi dan pada proses kontekstualisasi sendiri ada yang namanya proses konfrontasi dan identifikasi. Dari kedua proses ini pun juga sejalan dengan keempat point yang diutarakan oleh Clifford Geertz.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa identitas kebudayaan seseorang merupakan jati diri dan pedoman bagi kehidupannya. Kebudayaan yang melekat pada individu tidak hanya

(5)

diwariskan secara genetik, tetapi juga didapatkan melalui sebuah proses belajar yang panjang.6 Fakta ini menunjukkan bahwa kebudayaan dan manusia memiliki keterkaitan yang sangat mendalam mencakup keadaan fisik dan mentalnya. Melanjutkan penjelasan tersebut, jelas bahwa corak Pura yang tertuang dalam keseluruhan bangunan Gereja Pniel Blimbingsari merupakan salah satu bentuk akulturasi yang telah dimulai dari dulu. Lebih lanjut, dalam proses akulturasi ini ada 5 manfaat yang masyarakat Blimbingsari dapatkan, yakni:

Keterbukaan/inklusi, penguatan identitas, bukti relasi sosial, harmoni sosial, dan integrasi sosial.

Harus diakui bahwa dalam kenyataanya untuk mecapai sebuah integrasi sosial penggunaan corak Pura pada bangunan Gereja bukan merupakan suatu hal yang diterima begitu saja. Penolakan penggunaan corak Pura ini sempat digaungkan di era 90-an oleh PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Bali yang pada saat itu mengkritik penggunaan corak Pura pada bangunan gereja, penggunaan baju adat (Kebaya Bali) pada peribadahan, penggunaan bahasa Bali pada peribadahan, penggunaan liturgi berbahasa Bali, dan penggunaan bahasa Bali dalam alkitab.7 Namun dengan masih berdirinya Gereja Pniel Blimbingsari sampai saat ini jelas menunjukan adanya keterbukaan/inklusi dan menjadi bukti relasi sosial yang baik di tengah masyarakat. Pada tingkatan ini pula intensitas interaksi dalam relasi sosial menjadi salah satu unsur yang sangat penting guna masuknya gagasan yang lebih umum seperti kemanusiaan, hingga perusakan lingkungan ke ruang publik.

Di bagian akhir analisa tulisan ini penulis memasukkan integrasi sosial sebagai sebuah fase ideal yang produsif. Integrasi sosial yang dimaksud adalah lebih kepada penyesuaian atara unsur-unsur yang berbeda terutama dalam kehidupan sosial masyarakat. Walaupun demikian, integrasi sosial yang dimaksud itu tidak serta–merta mengecilkan salah satu elemen di dalamnya seperti: nilai – nilai tradisi lokal atau ajaran Kekristenan. Akan tetapi semua elemen ini senantiasa selalu dipelihara, direfleksikan, dan dikritisisasi sesuai dengan realita yang terjadi di masyarakat. Tidak hanya itu, pemanfaatan nilai-nilai integrasi sosial yang terjadi di masyarakat di Blimbingsari diharapkan mampu menjadi salah satu kekuatan untuk menghindari adanya konflik – konflik sosial yang akan terjadi dan merumuskan toleransi yang kontekstual sebagai sebuah jalan keluar yang dekat dan mudah dimengerti oleh masyarakat setempat. Jadi, berefleksi dari teori simbol Clifford Geertz penulis dapat merumuskan tiga

6 Yaspis Edgar Nugroho Funay, “Indonesia dalam Pusaran Masa Pandemi: Strategi Solidaritas Sosial Berbasis Nilai Tradisi Lokal”, Jurnal Sosiologi Agama Indonesia Aceh Vol 1, Juni 2020, 114

7 Data Hasil Wawancara dengan Narasumber, 18 Januari 2022, pukul 3.56 WITA, di Kediamannya.

(6)

skema seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu: Pertama, kontekstualisasi corak Pura.

Skema kedua, simbol sebagai bentuk akulturasi. Selanjutnya skema ketiga, integrasi sebagai sebuah konklusi relasi sosial di masyarakat. Dari situ juga bisa dikatakan bahwa konsep corak Pura dapat dijadikan sebuah pondasi etika lokal karena secara secara langsung atau tidak langsung ikut mengatur pola relasi antar manusia juga hubungan dengan makhluk yang lain.

Bisa juga dikatakan manifestasi corak Pura pada bangunan Gereja Pniel Blimbingsari juga dapat dijadikan lambang toleransi berbasis adat budaya lokal yang ada di Bali.

Referensi

Dokumen terkait

Diceritakan bahwa di pinggir pantai dekat Tanjung Menangis, Raden Panji dengan anaknya Raden Mergasih ditemani oleh Raden Wirun dan Semar masih tetap

Melakukan audit sesuai jad!al yang telah ditetapkan 3 Peningkatan pengelolaan kontrak pihak kega Kegiatan unit yang terkait dengan pihak kega. $den%kasi masalah kegiatan

Konsep kepentingan nasional digunakan untuk mengungkap sejauh mana Jepang dapat mencapai kepentingan nasionalnya, yang dalam hal ini terkait dengan pencapaian economic

RINCIAN PERUBAHAN ANGGARAN BELANJA LANGSUNG PROGRAM DAN PER KEGIATAN SATUAN KERJA PERANGKAT

Jamur Termitomyces (Gambar 4) Jamur Termitomyces berbentuk seperti payung, diameter payung 3,5-8,5 cm, tinggi 4,5-10 cm, bagian tengah berbentuk kerucut, sifat

Dalam senyawa organologam dengan ikatan nonklasik ini terdapat jenis ikatan antara logam dengan karbon yang tidak dapat dijelaskan secara... ikatan ionik atau

Prinsip kerja dari ELISA berbeda dengan prinsip kerja Western Blot Analysis, dimana prinsip kerja Western Blot Analysis adalah berikatan dengan antibodi spesifik atau dapat

Secara formal, masalah pada pewarnaan voxel dapat didefinisikan sebagai : untuk sekumpulan gambar dasar I0, …, In, dari scene Lambertian statis dan sebuah ruang