• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN NILAI-NILAI HISTORISME DALAM NOVEL ANOMIE KARYA RILDA A.OE. TANEKO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KAJIAN NILAI-NILAI HISTORISME DALAM NOVEL ANOMIE KARYA RILDA A.OE. TANEKO"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

91

KAJIAN NILAI-NILAI HISTORISME DALAM NOVEL ANOMIE KARYA RILDA A.OE. TANEKO

Erwin Wibowo

Pengkaji Sastra pada Kantor Bahasa Lampung pos-el: [email protected]

Abstrak: Kajian ini bertujuan untuk mengungkapkan nilai-nilai sejarah dalam novel Anomie karya Rilda A.Oe. Taneko dengan menggunakan teori historisme. Analisis data dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif melalui kegiatan kategorisasi. Kategorisasi digunakan untuk mengelompokkan data berdasarkan kategori yang telah ditetapkan. Data dalam penelitian ini berupa kutipan novel yang mengandung unsur sejarah. Hasil kajian ini menunjukkan adanya fakta-fakta sejarah dari bangsa Indonesia, fakta sejarah tahun 1990-an ketika zaman Orde Baru berkuasa, pergerakan-pergerakan mahasiswa tahun 1999-an, dan sejarah tentang kerusuhan yang terjadi di salah satu dusun di Provinsi Lampung yang tergambar jelas pada penokohan para tokoh dalam novel dimaksud.

Kata kunci: Novel Amoniw, nilai historis, teori historisme.

Abstract: The aim of this research is to reveal the historical values in Rilda A.Oe. Taneko’s novel entitled Anomie using the theory of historicism. The data analysis is conducted by descriptive qualitative method. Using this method, the data were categorized based on the quotations of the novel which were related to historical facts. The result of the novel’s analysis showed that there were some quotations contained historical facts in 1990s (during Orde Baru regime), the students’ movements in 1999s and the history of a riot which occured in a village in Lampung Province. These historical facts were representated by the characters in the novel.

Keywords: Anomie Novel, historical value, theory of historicism.

PENDAHULUAN

Sastra merupakan salah satu cabang seni warisan peradaban dunia sejak ribuan tahun yang lalu. Kehadiran sastra dalam masyarakat dunia tidak bisa dimungkiri. Sastra ini kemudian terus berkembang sesuai dengan zamannya.

Hingga saat ini sastra tidak saja dinilai sebagai sebuah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, tetapi telah dianggap sebagai suatu karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual di samping konsumsi emosi (Semi, 1993:

1).

Sebagai karya yang bersifat kreatif dan imajinatif, karya sastra terbagi ke dalam tiga jenis genre sastra, yaitu prosa, puisi, dan drama. Prosa dalam pengertian kesusastraan juga disebut fiksi dan teks naratif. Dalam hal ini, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kehidupan. Salah satu karya sastra berbentuk prosa adalah novel. Novel adalah karya sastra berisi tentang pelajaran kehidupan. Biasanya jalan ceritanya cukup panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan tokoh-tokohnya dengan mendeskripsikan watak dan sifat

(2)

92 kehidupan tokoh utama dan tokoh pendukung.

Menurut Nurgiyantoro (2012: 15) novel adalah karya yang bersifat realistis yang mengacu pada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang lebih mendalam.

Novel merupakan hasil karya imajinasi pengarang yang bersifat realistis berarti novel merupakan gambaran dari sesuatu yang ada dalam kehidupan manusia dan mengandung nilai-nilai luhur yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan para pembaca.

Seringkali novel yang dilahirkan oleh seorang sastrawan didasari oleh sejarah yang pernah ada dalam sebuah masyarakat. Tentu saja cerita yang disajikan oleh seorang sastrawan dalam novelnya tidak sama persis dengan peristiwa sejarah yang melatar- belakanginya. Akan tetapi novel yang berlatar belakang sejarah dapat dijadikan panduan oleh pembaca di masa yang akan datang untuk menelusuri jejak sejarah.

Walaupun tidak sama persis dengan peristiwa sejarah yang melatarbelakanginya, novel sejarah pastilah dapat memberikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi pembaca, terutama yang berkaitan dengan sejarah.

Pendekatan historis dalam menganalisis karya sastra didasari oleh pengetahuan tentang nilai-nilai yang didasari oleh suatu fenomena atau gejala sejarah. Dengan demikian, karya sastra tersebut dipahami dengan mengaitkannya dengan masa lalu. Hal ini karena karya sastra terlahir sebagai buah karya seorang pengarang yang tidak dapat dipisahkan dengan masa dan gejolak sosial pada saat karya sastra itu dilahirkan.

Pada dasarnya karya sastra memiliki banyak kandungan nilai yang dapat dipetik oleh pembacanya. Menurut Nurgiyantoro (2012: 28), nilai yang ter- kandung dalam karya sastra adalah sebagai berikut: 1) nilai moral, yaitu nilai yang berkaitan dengan budi pekerti atau baik

buruk tingkah laku, 2) nilai sosial/kemasyarakatan, yaitu nilai yang berkaitan dengan norma yang berada di dalam masyarakat, 3) nilai religius, yaitu nilai yang berkaitan dengan tuntutan beragama, 4) nilai pendidikan, yaitu nilai yang berkaitan dengan pengubahan tingkah laku dari baik ke buruk (pengajaran), 5) nilai estetis, yaitu nilai yang berkaitan dengan hal-hal yang menyenangkan, 6) nilai etika, yaitu nilai yang berkaitan dengan sopan santun dalam kehidupan, 7) nilai politis, yaitu nilai yang berkaitan dengan pemerintahan, 8) nilai budaya, yaitu nilai yang berkaitan dengan adat istiadat, 9) nilai kemanusiaan, yaitu nilai yang berhubungan dengan sifat-sifat manusia. Nilai-nilai ini ada yang bersifat ideologis, politis, ekonomis, sosiologis, budaya, edukatif, dan humoris.

Dari deskripsi nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra tersebut, sastra dan sejarah memiliki hubungan timbal balik yang begitu erat.

Sebuah karya sastra dapat menjadikan peristiwa sejarah sebagai objeknya.

Demikian pula sebaliknya, karya sastra juga dapat menjadi sumber penulisan sejarah. Seseorang mungkin saja akan keberatan jika sebuah karya sastra harus dipahami dengan pertanyaan-pertanyaan nonsastra. Namun, keberatan itu dapat dieliminasi jika diawali dengan suatu asumsi dasar bahwa karya sastra adalah hasil dari suatu konteks tertentu, sebagaimana pendapat Rokhman, dkk., (2003: 143) bahwa karya sastra tidak dapat dilepaskan dari kolektivitas dan konteks historis yang melahirkannya.

Keterkaitan antara sastra dan sejarah juga dikemukakan oleh Teeuw.

Menurut Teeuw, secara etimologi sastra dan sejarah, sebagai story dan history berasal dari kata yang sama, yaitu historia (Yunani). Story, yaitu cerita itu sendiri, jelas merupakan tulang punggung bagi sebuah karya, khususnya jenis karya sastra

(3)

93 yang dikategorikan sebagai prosa (Sugihastuti, 2002: 340).

Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis karya sastra yang berlatar sejarah ini adalah pendekatan historisisme.

Historisisme menurut Wellek dan Warren merupakan rekonstruksi sastra yang masuk ke alam pikiran dan sikap orang-orang dari zaman yang telah dipelajari dengan memakai standar atau gaya mereka dan menghilangkan apa yang telah menjadi konsepsi awal dari pemikiran kita sendiri.

Pendekatan historis dengan demikian mempertimbangkan relevansi karya sastra sebagai dokumen sosial yang merupakan refleksi zamannya (Ratna, 2007: 106).

Historisisme ini pertama kali dikembangkan di Jerman pada abad ke-19 kemudian berkembang sampai ke Inggris dan Amerika. Tokoh historisisme yang penting adalah Hippolyte A. Taine. Pria berkebangsaan Prancis tersebut hidup pada dari tahun 1828 sampai 1893. Menurut Taine, ada tiga komponen penting dalam aliran historisisme, yaitu: 1) ras, 2) lingkungan, dan 3) momentum.

Menurut Sugihastuti (2009) Dalam sejarah sastra Indonesia modern pengarang perempuan seperti Ayu Utami, Dewi Lestari dan Djenar Maesa Ayu merupakan deretan nama yang memiliki proses kreatif monumental sehingga pada gilirannya mendapatkan tempat yang leluasa dalam perkembangan industri penerbitan Indonesia. Kepiawaian dalam membingkai peristiwa cerita menyebabkan pengarang- pengarang muda tersebut mendapatkan perhatian yang cukup baik bagi pembaca, sastrawan maupun budayawan Indonesia.

Lebih lanjut Sugihastuti menerangkan dalam sastra modern munculnya paradigma New Historicism memiliki daya dan kekuatan yang berpengaruh pada budaya, industri dan sejarah kesusasteraan Indonesia. Pada sisi inilah dia bersaing cukup ketat untuk memberikan tawaran pemikiran ”budaya baru” yang selama ini terpinggirkan dan

bersaing cukup ketat serta menjadikan sastra sebagai barang komoditas hukum pasar yang berlaku. Selanjutnya pada saat itu pula sejarah sastra menorehkan sesuatu yang cukup monumental yang diakui oleh pengarang–pengarang Indonesia.

Secara khusus kajian new historicism mencoba menelaah kembali konstruksi kekuasaan berikut jejaring yang dibentuknya melalui pembacaan secara memadai atas teks yang ada. Teks itu diurai sedemikian rupa dalam rangka mengungkapkan praktik diskursif yang berkembang dan beroperasi di dalamnya.

Oleh karenanya, dalam konteks kajian new historicism, teks menduduki posisi penting untuk mendedah basis kekuasaan yang ada.

I Wayan Artika (2015) mengemukakan, berbagai sumber tahap kerja teori new historicism, seperti (1) memilih karya sastra yang akan dikaji, (2) mempelajari sejarah masyarakat ketika karya sastra itu diterbitkan, (3) membaca karya sastra untuk menemukan isu dominan/penting diungkapkan di dalamnya, (4) mempelajari teks nonsastra yang berasal dari periode sejarah yang sama dengan karya sastra untuk menemukan relevansi (hubungan- hubungan pararel) antara sastra dan teks nonsastra, (5) menganalisis hubungan pararel sastra dan teks nonsastra, dan (6) hasil analisis disusun secara sistematis untuk menunjukkan makna karya sastra.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian deskriptif kualittaif ini menggunakan pendekatan new historicism dalam menganalisis cuplikan teks novel terkait isu-isu bersifat fakta historis.

Secara khusus pendekatan new historicism tersebut mengaitkan antara teks sastra dan nonsastra (Budianta, 2006: 1—3).

Sumber data penelitian ini adalah novel Anomie karya Rilda A. Oe. Taneko.

Novel tersebut diterbitkan oleh PT Koekoesan, cetakan pertama, Februari

(4)

94 2017, dengan ketebalan 303 halaman.

Selain itu, untuk data pendukung penulis menelaah buku-buku sejarah Indonesia yang membicarakan tentang sejarah politik yang melatarbelakangi novel tersebut.

Data dalam penelitian ini berupa kutipan novel Anomie, baik itu kata, frase, kalimat, maupun wacana cerita yang mengandung unsur sejarah.

Analisis data dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif melalui kegiatan kategorisasi dan inferensi.

Kategorisasi digunakan untuk mengelompokkan data berdasarkan kategori yang telah ditetapkan, sedangkan inferensi digunakan untuk menginterpretasikan dan menyimpulkan hasil penelitian, sesuai dengan permasalahan penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Novel Anomie ini terdiri atas tiga puluh empat bagian. Secara garis besar novel tersebut mencoba mengangkat tiga peristiwa kemanusiaan yang pernah terjadi di Indonesia, seperti kerusuhan bulan Mei tahun 1998, yang menjadi sejarah kelam bangsa Indonesia. Pada masa itu kerusuhan, pembakaran, hingga pemerkosaan terhadap etnis tertentu ramai diberitakan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa kelam ini menjadi bagian tidak terpisahkan dalam penceritaan novel Anomie. Hal ini sebetulnya sudah tergambar dari judul novel tersebut Anomie yang berasal dari bahasa Yunani yang pertama kali diperkenalkan oleh Emile Durkheim.

Konon anomie berarti ‘tanpa aturan’.

Selain peristiwa kerusuhan Mei 1998, dalam novel ini juga dikisahkan pergerakan mahasiswa yang terjadi pascareformasi. Secara geografis, novel ini mengambil latar belakang Lampung sehingga kisah-kisah yang disajikan juga berkaitan dengan pergerakan mahasiswa di Lampung yang juga diwarnai berbagai kerusuhan. Secara tidak langsung Rilda

ingin membuka ingatan tentang kerusuhan di salah satu dusun di Provinsi Lampung yang terjadi pada bulan Februari tahun 1989 silam.

Dalam novelnya, Rilda A. Oe.

Taneko menyajikan alur yang melompat- lompat. Lompatan alur ini disiasati oleh Rilda dengan memberi subjudul yang berbeda pada setiap bagian. Pemberian subjudul inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi pembaca untuk meramu cerita menjadi satu kesatuan yang utuh.

Rilda memulai ceritanya dengan prolog yang diberi subjudul “Pesta Pernikahan”. Pada bagian ini diceritakan pernikahan Tante Anna yang bangsa asing dengan Om Jo menggunakan adat Lampung.

Pada bagian satu barulah Rilda menceritakan peristiwa sejarah yang berkaitan dengan demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa pada akhir September 1999 yang lebih dikenal dengan masa reformasi. Bagian satu ini diberi subjudul “Mahasiswi Berkerudung Biru”.

Bagian dua masih berkisah tentang karut-marut yang terjadi selama berlangsungnya peristiwa reformasi yang memakan korban. Bagian dua ini diberi subjudul “Keranda” dan pada bagian ini diceritakan kesedihan yang dialami tokoh- tokoh yang terlibat dalam perjuangan pada masa reformasi.

Bagian tiga pun masih tentang kesedihan yang terjadi pascareformasi.

Bagian tiga ini diberi subjudul

“Pemakaman” dan masih merupakan lanjutan kisah dari bagian satu dan bagian dua.

Bagian empat berjudul “Kerudung Biru”. Pada bagian ini tak lagi dikisahkan peristiwa kerusuhan yang terjadi pada masa reformasi. Bagian ini lebih banyak bercerita tentang kehidupan tokoh “aku”

dan orang-orang di sekitarnya.

Pada bagian lima kembali diceritakan demonstrasi yang dilakukan

(5)

95 oleh mahasiswa yang melibatkan tokoh

“aku”. Bagian lima ini diberi subjudul

“Pagi Kerusuhan”.

Pada bagian enam, Rilda membuat kilas balik dengan menyajikan peristiwa yang dialami oleh tokoh pada tahun 1994, jauh sebelum masa reformasi bergulir.

Bagian enam ini berjudul “Tante Anna, Meilany dan Aku. Pada bagian ini lebih banyak dikisahkan kehidupan tokoh-tokoh yang disebutkan di subjudul.

Bagian tujuh merupakan lanjutan kisah dari bagian enam dan diberi judul

“Keluargaku”. Pada bagian ini diceritakan tentang latar belakang keluarga tokoh

“aku”. Pada bagian ini, Rilda menyajikan konflik yang dialami oleh orang-orang yang merupakan bagian dari keluarga

“aku”.

Bagian delapan diberi subjudul

“Jumat dan Daftar Bantuan”. Pada bagian ini Rilda kembali mengisahkan peristiwa- peristiwa yang dialami tokoh “aku” pada masa reformasi. Hingga bagian lima belas, Rilda menceritakan berbagai konflik yang terjadi pada masa reformasi dan pascareformasi.

Bagian enam belas yang diberi subjudul “Lake Districk” penulis tak lagi menyebutkan kampus tempat kuliah dan keluarga “aku” sebaga latar cerita. Sesuai dengan sebjudul dan latarnya, penulis lebih banyak menyoroti kehidupan tokoh

“aku” yang melakukan pelarian ke Manchester bersama Tante Anna. Seluk- beluk kehidupan “aku”, Rosie, di Manchester dibahas hingga bagian sembilan belas.

Pada bagian dua puluh Rilda kembali melakukan kilas balik cerita pada peristiwa yang terjadi di awal Februari 1989. Dalam catatan sejarah, pada periode ini terjadi peristiwa kerusuhan Talangsari yang menjadi latar peristiwa yang dialami oleh tokoh “aku” dan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Bukan hanya peristiwa demontrasi mahasiswa pada periode 1998 dan

peristiwa kerusuhan yang terjadi pada periode yang sama, dalam novel ini Rilda juga menceritakan peristiwa kerusuhan lain yang pernah terjadi di Indonesia, khususnya di Lampung, yakni peristiwa Talangsari yang melibatkan masyarakat dan aparat keamanan.

Pada subjudul dua puluh tiga “ Sang Dalang” bercerita tentang Om Jo yang menjadi dalang semua kejadian yang menimpa Rosie. Om Jo adalah paman angkat Rosie yang ingin menguasai semua harta warisan dari ayah Rosie. Dengan berbagai cara, Om Jo ingin membunuh Rosie, untuk mendapatkan seluruh harta warisan dari ayah Rosie.

Pada bagian akhir, Rilda menulis sebuah epilog untuk menuntun pembaca menyudahi cerita dengan cara pembaca.

Novel tersebut secara jelas mendeskripsikan beberapa fakta sejarah yang terjadi pada masa Orde Baru berkuasa hingga tergulingnya masa Orde Baru. Dalam novel Anomie itu juga diungkapkan pergerakan mahasiswa pada masa reformasi yang menentang pemerintahan saat itu.

Secara spesifik, novel ini bercerita tentang tokoh Rosie, gadis korban kerusuhan yang juga kehilangan kedua orang tuanya saat itu. Akibatnya, Rosie menjadi yatim piatu karena kerusuhan yang terjadi di dusunnya. Kerusuhan yang menewaskan hampir seluruh penghuni dusun di kampungnya terjadi pada bulan Februari tahun 1989. Jika ditelisik dalam catatan sejarah Indonesia, pada saat itu terjadi kerusuhan di desa Talangsari, Lampung yang menewaskan ratusan orang.

Setelah kejadian tersebut, Rosie tinggal di panti asuhan hingga diadopsi oleh sebuah keluarga kaya yang notabane adalah keluarga penguasa negeri ini. Saat Rosie menjadi mahasiswa di salah satu universitas di Sumatra, ia menjadi aktivis yang organisasinya menentang kebijakan pemerintah. Kerusuhan saat melakukan

(6)

96 demonstrasi yang membuat beberapa mahasiswa gugur, penangkapan para aktivis mahasiswa, hingga pengkhianatan terhadap jalannya reformasi mewarnai perjalanan hidup Rosie.

Gambaran kehidupan Rosie yang damai bersama kedua orang tua kandungnya diilustrasikan dengan begitu bersahaja seperti cuplikan teks berikut

“Aku kembali ke kamar, berganti pakaian dan mengenakan mukena, lalu pergi ke mushola bersama Umi. Setiap kali meninggalkan rumah, kami tak perlu mengunci pintu. Di dusun kami tidak ada pencuri. Dusun kami dusun yang damai. Semua orang senantiasa baik dan suka menolong sesama.”

“Setelah salat Ashar, aku bergabung bersama teman- temanku untuk mengaji. Abi yang mengaajari kami. Dia guru terbaik yang pernah ada. Abi senantiasa lembut dan sabar. Selalu ada senyum di wajah yang teduh.

Semua teman-temanku

menghormati dan menyukai Abi.

Hal ini membuatku sungguh bangga dengan Abiku.” (Anomie, hlm. 173).

Pada kutipan tersebut digambarkan bagaimana kehidupan keluarga Rosie yang tinggal di dusun kecil di Provinsi Lampung. Dalam kutipan tersebut digambarkan sosok orang tua kandung Rosie yang religius. Ayahnya seorang guru ngaji dan ibunya seorang ibu rumah tangga.

“Aku teringat hari sebelum tragedi terjadi. Sepulang sekolah, banyak orang, termasuk tetangga kami, berdiri di pinggir jalan masuk dusun atau di depan rumah masing-masing. Mereka tampak tegang dan gelisah. Aku menduga ada sesuatu yang tidak

mengenakkan akan terjadi.”

(Anomie, hlm. 172).

Pada kutipan tersebut digambarkan suasana sebelum terjadinya kerusuhan di dusun tempat tinggal Rosie hingga pada malam harinya terjadi penyerangan terhadap dusun terebut.

Dalam kutipan tersebut digambarkan suasana yang mencekam sejak pagi hari.

Beberapa warga desa sudah berjaga-jaga, di jalan masuk dusun untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi.

“Suara tembakan memecah keheningan subuh. Aku mendengar langkah-langkah orang berlari diluar. Mereka berteriak dan menangis. Dari ruang gelap dibawah rumah kami, ayam berkotek-kotek gaduh sekali.”

(Anomie, hlm. 174)

“tentara…” Gumam Umi.”

“Siapa mereka, Umi?” tanyaku.”

“Umi tidak menjawab.

Ia hanya menunjuk pada beberapa pria berseragam hijau. Mereka mengenakan sepatu bot hitam dan membawa senapan. Mereka berteriak, membentak, mendorong dan menendang beberapa tetangga kami.” (Anomie, hlm. 174).

Pada kutipan tersebut kata-kata seperti

“pria berseragam hijau, sepatu bot hitam, dan membawa senapan” dapat memberikan gambaran tentang siapa yang datang ke dusun dan membuat kerusuhan, kata-kata tersebut indentik dengan penggambaran aparat keamanan.

“Ketika tiba di pintu, kami melihat Abi berlari ke arah pusat dusun, tepat disaat kami mendengar suara bising menderu dari atas. Ada dua helikopter berwarna hijau gelap

(7)

97 ditumpangi beberapa tentara.

Mereka menembaki dusun. Abi berteriak. Tubuhnya yang tinggi dan kukuh jatuh ke tanah. Aku melihat darah merembes di pundaknya. Kemeja putihnya berubah merah. Aku menangis.”

(Anomie, hlm. 175).

“Tiga hari sekali saya diwajibkan lapor diri ke markas mereka.

Mereka memaksa saya

membersihkan kantor comberan.

Mereka membentak-bentak, mempermalukan saya seperti binatang. Selama sepuluh tahun ini. sepuluh tahun!” (Anomie, hlm.

263)

“ … Dengan sepotong arang yang kutemukan di tanah, di satu sisi tembok aku menulis dengan huruf- huruf besar: ‘AYAH DAN IBU, SANGAT DICINTAI OLEH PUTRI MEREKA, LAHIR DI INDONESIA DAN TEWAS DI INDONESIA, FEBRUARI 1989 (Anomie, hlm.

264.)

Dalam dua kutipan tersebut digambarkan bagaimana represifnya penguasa dan perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan aparat pemerintah terhadap kelompok rakyat yang dituduh terlibat dalam organisasi massa, mereka dianggap provokator yang dapat menimbulkan keresahan dan ketertiban sosial politik.

Masa Orde Baru

Gambaran tentang ayah angkat tokoh Rosie yang merupakan keluarga penguasa rezim saat itu juga terekam jelas dalam kutipan novel tersebut

“Papa menjadi salah satu seorang kepercayaan Pakde. Tidak hanya dalam urusan bisnis—

seperti membantu bagi-bagi (memutuskan siapa yang dapet apa)—tapi juga dalam menengahi masalah keluarganya” (Anomie, hlm. 59)

Pada kutipan tersebut tergambarkan bahwa keluarga angkat Rosie adalah keluarga dari penguasa rezim. Dalam kutipan tersebut juga tergambarkan bahwa ayah angkat Rosie adalah salah satu orang yang berpengaruh dalam Pakde (penguasan rezim) dalam mengambil keputusan.

Pada masa rezim Orde Baru, sangat kental aroma kolusi, korupsi, dan nepotisme. Pada zaman itu sangat lazim di pemerintahan posisi-posisi penting diisi oleh orang-orang yang dekat dengan penguasa.

“Pakde mengingatkan Papa untuk tidak lupa mengajak Mama dan aku. Papa memberitahu kami bahwa akan ada selamatan, syukuran, dan sebuah perayaan.

Perayaan itu digelar karena hasil baik dari pemilu kemarin. Partai politik pendukung Pakde menang lagi untuk kali ketujuh dari setiap pemilu yang dilakukan lima tahun sekali.” (Anomie, hlm. 66).

Pada kutipan di atas digambarkan suasana saat pemilihan umum selesai digelar seperti dalam kutipan

“Pakde menang lagi untuk kali ketujuh dalam setiap pemilu yang dilakukan lima tahun sekali.”

Pada kutipan kalimat tersebut memberi informasi bahwa partai politik yang dimaksud adalah Golongan Karya (Golkar), hal ini diperkuat dengan kalimat

“menang lagi untuk kali ketujuh.”

(8)

98

“Beliau akan baik-baik saja,” kata Papa. “Beliau seorang perwira yang baik. Ia tidak akan pernah mengatakan ‘tidak’ jika partai memintanya untuk kembali memimpin negeri ini.” (Anomie, hlm. 67).

Pada kutipan di atas menggambarkan bahwa penguasa rezim adalah mantan perwira tinggi di negeri ini, yang selalu diusung oleh Golongan Karya (Golkar) di setiap pemilu yang diselenggarakan di negeri ini.

“Tapi aku pikir sudah cukup untuknya. Apalagi dengan adanya krisis ekonomi, kerusuhan, dan masalah lain di negeri ini. lebih baik beliau menyerahkan kepemimpinan kepada orang lain, seseorang yang lebih muda darinya.” (Anomie, hlm. 67).

“Krisis ekonomi yang berlangsung telah memposisikan masyarakat, terutama orang-orang miskin, dalam kesulitan yang dalam.

Harga barang-barang kebutuhan pokok melambung tinggi.

Masyarakat tidak mampu lagi membeli Sembilan kebutuhan pokok atau sembako…”(Anomie, hlm. 74).

Dalam kutipan di atas terlihat gejolak yang terjadi di negeri ini setelah pemilihan umum dan dilantiknya kembali penguasa rezim untuk kesekian kalinya.

pelantikan itu berdampak pada munculnya krisis ekonomi di negeri ini dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Krisis ekonomi yang terjadi melambungkan harga keutuhan pokok yang sangat tinggi sehingga mencekik rakyat kecil.

“Demonstrasi terus berlangsung.

Masyarakat menginginkan rezim

turun dan mendesak untuk reformasi. Mahasiswa menolak untuk tinggal di kampus dan hanya menjadi penonton. Mereka memutuskan untuk bergabung ke dalam perjuangan dan mengorganisir ratusan orang dalam aksi long march ke gedung DPR. Sekali mereka berada di luar kampus, tembakan menyambut.

Empat mahasiswa dari Universitas Trisakti tewas.” (Anomie, hlm. 74).

Pada kutipan di atas digambarkan bagaimana suasana setelah pemilihan umum. Pemilihan umum yang terjadi pada tahun 1997 membuat gejolak ekonomi di negeri ini. Harga-harga barang melambung tinggi, gejolak ekonomi yang terjadi membuat mahasiswa dan masyarakat di berbagai kota menggelar aksi demonstrasi, menuntut mundurnya pemerintah yang resmi karena sudah dianggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi.

“Tragedi ini memicu kerusuhan selama berhari-hari. Ibu kota terbakar. Ratusan masyarakat sipil tewas. Toko-toko dan mall dibakar dan dijarah. Orang-orang merusak dan menjarah apa saja yang bisa mereka ambil. Pada rolling door atau jendela-jendela toko tulisan

‘milik pribumi’ dicantumkan besar-besar. Pemilik toko menuliskan itu dengan harapan perusuh tidak akan menjarah toko mereka.”(Anomie, hlm.74).

Dalam kutipan tersebut digambarkan bagaimana kerusuhan yang terjadi di berbagai kota yang ada di Indonesia. Kerusuhan yang terjadi di beberapa kota menyebabkan penjarahan toko-toko, sebagian besar toko yang dijarah adalah milik warga keturunan.

(9)

99

“Akhirnya, pada 21 Mei, Pakde mengundurkan diri sebagai presiden. Rakyat merayakan kemenangan ratusan mahasiswa menduduki gedung parlemen.

Mereka berdiri di atas gedung dan bersama-sama mengibarkan sang saka. Mereka menyanyikan Indonesia Raya sambil berpegangan tangan. Rakyat melihat lahirnya secercah harapan baru untuk bangsa ini.” (Anomie, hlm.77).

Setelah demonstrasi mahasiswa yang sangat besar hingga menewaskan beberapa mahasiswa ditambah dengan kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah di tanah air menyebabkan krisis ekonomi semakin terpuruk. Berbagai peristiwa ini membuat penguasa rezim mengundurkan diri dan mengabulkan tuntutan para mahasiswa yang sudah menduduki gedung parlemen.

“Peristiwa itu terjadi di hari terakhir SI (sidang istimewa), disekitar jembatan Semanggi.

Ketika senja mulai menyelimuti ibukota, tank-tank turun ke jalan, membubarkan kerumunan demostran. Tentara-tentara menembakan senjata mereka dari atas tank ke setiap penjuru, sementara tentara-tentara yang lain mengejar mahasiswa dengan pukulan dan senapan. Mereka menyanyikan lagu patriot dengan bersemangat sambil membunuhi mahasiswa dan masyarakat sipil.”

(Anomie, hlm. 78).

“Ini seperti perang. Tapi perang melawan siapa? Ini orang Indonesia membunuh orang Indonesia, demi Indonesia.

Tentara membunuh mahasiswa.

Mahasiswa! Anak-anak bangsa

ini! Masa depan negeri! Dan mereka bernyanyi gembira.

Mereka pikir mereka adalah pahlawan bangsa ini.”(Anomie, hlm. 79).

Pada dua kutipan di atas digambarkan bagaimana suasana setelah mundurnya pemerintahan. Saat pemerintahan transisi terjadi, mahasiswa tetap melakukan demontrasi menuntut pemerintahan yang baru, yang bersih dari rezim terdahulu. Tidak jarang demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa berujung terjadinya bentrokan dengan aparat sehingga menyebabkan peserta demonstrasi mengalami luka-luka.

Bahkan, beberapa di antara mahasiswa meninggal dunia akibat tindakan represif dari pihak keamanan.

SIMPULAN

Berdasarkan analisis novel Anomie karya Rilda A.OE. Taneko ditemukan beberapa fakta-fakta sejarah. Dalam novel Anomie tersebut, Rilda ingin menceritakan fakta sejarah yang terjadi di Indonesia, mulai dari bagaimana rezim penguasa beserta kroni-kroninya mengatur negeri ini hingga bagaimana kerusuhan dan tindakan represif aparat dalam menangani massa yang dianggap sebagai pengacau keamanan.

Simpulan yang dapat diambil setelah menganalisis novel Anomie dengan pendekatan teori historisme adalah bahwa dalam novel tersebut terdapat gambaran perjalanan politik Indonesia sejak zaman Orde Baru hingga zaman reformasi.

Selain itu, novel tersebut juga menggambarkan bagaimana krisis ekonomi yang melanda negeri saat itu.

Krisis ekonomi yang membuat demonstrasi besar-besaran mahasiswa di berbagai daerah dan pada puncaknya mereka menduduki gedung parlemen di Jakarta.

(10)

100 DAFTAR KEPUSTAKAAN

Artika, I Wayan. 2015. Pengajar Sastra dengan Teori New Historicism. Jurnal Prasi, Volume 10, Nomor 20. Universitas Pendidikan Ganesha.

Budianta, Melani. 2006. Budaya, Sejarah, dan Pasar: New Historicism dalam Perkembangan Kritik Sastra. Dalam Jurnal Susastra 3. Vol 2, No.3. 2006, Halaman 1-19.

Depdikbud. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Caps.

Nurgiantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_________. 2007. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rokhman, dkk. 2003. Sastra Interdisipliner: Menyandingkan Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Yogyakarta: Qalam.

Semi, Atar M. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung. Angkasa.

Sugihastuti. 2007. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_________. 2009. Analisis Kritis New Historisme Terhadap Novel Indonesia Modern Dalam Kerangka Sejarah Sastra. Jurnal Litera, Volume 8, nomor 2 Tahun 2009.

UNY.

Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Taneko, Rilda. A.Oe. 2017. Anomie. Jakarta: PT. Koekoesan.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Referensi

Dokumen terkait

Perbandingan selisih luas lesi HI superfisial setelah 6 bulan terapi pada ketiga kelompok terdapat perbedaan secara bermakna antara selisih ukuran luas HI superfisial

Pengalaman Musikal Pengamen Remaja Dikomunitas Seniman Bangun Pagi Bandung. Bandung (ID): Universitas

Key im- plications of the current study are that: (1) the combined effect of the seven dimensions —that is, the integrated PLI model as a whole— had a

Negeri Negeri Principal (Penagih) di Surabaya Principal (Penagih) di Surabaya Bank NSC Surabaya (Remitting Bank) Bank NSC Surabaya (Remitting Bank) Bank NSC Kantor Pusat

Without making this cell reference absolute using the dollar signs, when we apply the conditional formatting rule to other cells in the worksheet, this cell reference will be

1) materi seksual dalam periklanan bertindak sebagai daya tarik untuk mengambil perhatian yang juga mempertahankan perhatian tersebut untuk waktu yang lebih lama. 2)

Faktor-faktor yang diuji dalam penelitian ini adalah status perusahaan, kepemilikan institusional, leverage, profitabilitas dan tipe industri.. Data yang digunakan dalam

EFEKTIFITAS FLASH CARD DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL HURUF PADA SISWA TUNARUNGU KELAS TK-A2 DI SLB NEGERI CICENDO KOTA BANDUNG.. Universitas Pendidikan Indonesia |