HUBUNGAN ANTARA OPTIMISME DENGAN KEBAHAGIAAN PADA MAHASISWA
THE RELATIONSHIP BETWEEN OPTIMISM AND HAPPINESS IN STUDENTS
Choirunnisa Hanifah1, Anwar2
12Universitas Mercu Buana Yogyakata
1218081074@student.mercubuana-yogya.ac.id
12081393549163
Abstrak
Kebahagiaan merupakan suatu keadaan psikologis individu yang positif, ditandai dengan kemampuannya memenuhi kebutuhan dan harapan sehingga akan timbul emosi positif. Tentunya setiap individu menginginkan kebahagiaan, tak terkecuali mahasiswa. Namun, pemberitaan mengenai kasus-kasus mahasiswa bunuh diri selama beberapa tahun terakhir, cenderung memperkuat keyakinan bahwa periode pertumbuhan ini merupakan suatu periode yang di dalamnya penuh dengan ketidak bahagiaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara optimisme dengan kebahagiaan pada mahasiswa.
Hipotesis dalam penelitian ini yakni, terdapat hubungan yang positif antara optimisme dengan kebahagiaan. Semakin tinggi optimisme maka semakin tinggi kebahagiaan pada mahasiswa. Begitu pula sebaliknya semakin rendah optimisme maka semakin rendah pula kebahagiaan pada mahasiswa. Subjek penelitian ini berjumlah 100 mahasiswa di Indonesia. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala OHQ (Oxford Happiness Questionnaire) dan Skala Optimisme. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sampling purposive. Teknik analisis data menggunakan analisis korelasi product moment. Berdasarkan hasi penelitian, diperoleh koefisien korelasi (rxy) = 0,741 dan (p ≤ 0,050) yang menandakan adanya hubungan positif antara kebahagiaan dengan optimisme pada mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,550 yang menunjukkan bahwa variabel optimisme menunjukkan kontribusi sebesar 55% terhadap kebahagiaan, 45% sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak termasuk dalam penelitian.
Kata Kunci: kebahagiaan, mahasiswa, optimisme
Abstract
Happiness is a positive psychological state characterized by the ability to meet needs and expectations so that positive emotions will emerge. Every person, including students, desires happiness. The news about student suicide cases in recent years, on the other hand, tends to reinforce the belief that this period of growth is fraught with unhappiness. The purpose of this study was to discover the relationship between optimism and happiness in students. In this study, the hypothesis was that there is a positive relationship between optimism and happiness. The greater the students' optimism, the greater their happiness. The students' happiness decreases as their optimism decreases. This study included 100 Indonesian students as participants. The scale used in this study is the OHQ Scale (Oxford Happiness Questionnaire) and the Optimism Scale. The data collection technique used was purposive sampling. Product moment correlation analysis was used as a data analysis technique. Based on the research results, the correlation coefficient (rxy) = 0,741 and (p ≤ 0,050) indicating a positive relationship between happiness and optimism in students. This showed that the hypothesis in this study was accepted. The coefficient of determination (R2) value is 0,550, indicating that the optimism variable contributed 55% to happiness, with the remaining 45% influenced by factors not included in the study.
Keywords: Happiness, Optimism, Students
PENDAHULUAN
Mahasiswa merupakan individu yang sedang berada dalam masa peralihan dari masa remaja menuju masa dewasa. Menurut Santrock (2012) mahasiswa termasuk dalam usia dewasa awal, yakni tergolong dalam usia akhir belasan tahun sampai usia tiga puluhan. Secara lebih spesifik, mahasiswa termasuk dalam masa transisi remaja ke dewasa atau biasa disebut masa beranjak dewasa (emerging adulthood), rentang usia untuk masa transisi ini adalah 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2012). Pada masa ini, mahasiswa akan dihadapkan dengan dunia baru dan masalah-masalah baru yang mengikutinya terkait dengan perubahan tanggung jawab, mulai meninggalkan rumah dan tidak sepenuhnya tergantung pada orang tua. Menurut Santrock (2012) masa transisi dari siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) ke mahasiswa ini dapat menyebabkan stress, depresi, merasa tidak punya harapan, dan kelelahan karena berbagai perubahan yang terjadi.
Menurut PP No. 30 Tahun 1990, mahasiswa didefinisikan sebagai peserta didik yang belajar di perguruan tinggi tertentu. Sementara itu, Sarwono (dalam Kurniawati & baroroh 2016) mendefiniskan mahasiswa sebagai orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia sekitar 18-30 tahun.
Mahasiswa adalah kelompok yang rentan terhadap gangguan psikologis (Bruffaerts et al., 2018; Saleem &
Mahmood, 2013; Triwahyuni & Prasetio, 2021).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indirasari (dalam Wulandari, 2021) menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki kecenderungan emosi negatif yang tinggi. Kecenderungan tersebut membuat mahasiswa rentan terhadap kecemasan, depresi, dan rasa stres yang dapat mengganggu kesehatan mental. Lebih lanjut, Oriza (dalam Wulandari, 2021) menganggap ketika mahasiswa memiliki energi negatif yang cukup tinggi akan mempengaruhi well-being dan kesehatan mentalnya. Kondisi ini memungkinkan dapat mempengaruhi tingkat kebahagiaan pada mahasiswa karena sehat mental merupakan proses penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitar dan orang lain secara efektif sehingga akan mencapai kebahagiaan yang maksimum (Wiramihardja, 2015).Menurut Carr (dalam Bestari, 2015) kebahagiaan didefinisikan sebagai suatu kondisi psikologis yang positif, kondisi ini ditandai dengan tingginya derajat kepuasan hidup, afek positif, dan rendahnya derajat afek negatif. Hal ini berarti, individu yang bahagia dapat melakukan penerimaan terhadap dirinya sendiri dengan baik. Argyle (2001) mendefinisikan kebahagiaan (happiness) sebagai suatu dimensi utama yang dialami manusia termasuk di dalamnya suasana hati yang positif, kepuasan dalam hidup, pemikiran yang positif seperti optimis dan self-esteem. menurut Hill dan Argyle (2002) aspek kebahagiaan terdiri dari kepuasan terhadap hidup (satisfaction with life), efikasi (efficacy), ramah dan memiliki empati
riang dan ceria (cheerfulness), dan harga diri yang positif (positive self-esteem). Pemberitaan mengenai kasus-kasus mahasiswa bunuh diri selama beberapa tahun terakhir, cenderung memperkuat keyakinan bahwa periode pertumbuhan ini merupakan suatu periode yang di dalamnya penuh dengan ketidak bahagiaan. Hurlock (2011) menyebutkan bahwa apabila remaja berhasil mengatasi masalah yang dihadapi dan juga percaya dengan kemampuan yang dimiliki untuk mengatasi masalah tanpa bantuan orang dewasa semakin meningkat, maka periode tidak bahagia semakin lama akan semakin menurun.
Berdasarkan Indeks Kebahagiaan Indonesia tahun 2021, dari skala 0-100 Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) berada pada nilai 71,49 (BPS, 2021). Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Maharani (2015) menunjukkan bahwa, tingkat kebahagiaan (happiness) pada mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan UNY berada pada kategori sedang dengan persentase 57,7% atau sejumlah 119 mahasiswa. Sejalan dengan penelitian tersebut, hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdulloh (2018) menunjukan bahwa kebahgiaan mahasiswa psikologi angkatan 2017 pada kategori tinggi sebesar 50,5% dan kategori rendah sebesar 49,5%. Berbeda dengan penelitian-penelitian tesebut, wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada 7 subjek yang berstatus sebagai mahasiswa di Yogyakarta menunjukkan bahwa 5 dari 7 subjek merasa kurang bahagia, sementara 2 mahasiswa lainnya merasa bahagia.
Sejalan dengan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti, hasil penelitian yang dilakukan oleh Hermawan (2016) menunjukkan bahwa terdapat mahasiswa yang mengalami ketidakbahagian selama proses pengerjaan skripsi hingga merasa stres yaitu 17,1% mengalami stres rendah, 51,2 % mengalami stres sedang, dan 31,7% mengalami stres tinggi. Dari data tersebut menunjukkan bahwa masih banyak mahasiswa yang mengalami ketidakbahagiaan menjalani kehidupannya yang ditandai dengan rasa sedih, tertekan, dan stres menghadapinya.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rayan (2020) menunjukkan bahwa adanya penurunan tingkat kebahagiaan pada mahasiswa di masa pandemi, hal ini dikarenakan mahasiswa dituntut untuk beradaptasi dengan situasi baru yang terjadi. Selain itu, penurunan kebahagiaan juga disebabkan oleh kecemasan, kesepian, kejenuhan, serta hoax yang bertebaran di internet.
Seligman (2005) mengelompokkan faktor-faktor yang berpengaruh pada kebahagiaan menjadi 2 yakni faktor internal (kepuasan masa lalu, optimis terhadap masa depan, serta kebahagiaan masa sekarang) dan faktor eksternal eksternal (uang, pernikahan, kehidupan sosial, kesehatan, pendidikan, iklim, ras, dan jenis kelamin, serta agama). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Arief dan Habibah (2015) terdapat perbedaan tingkat kebahagiaan antara sebelum dengan sesudah mempraktikkan strategi aktivitas (bersyukur dan optimis). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nandini (2017) menunjukkan hasil bahwa optimisme memiliki kontribusi yang sangat signifikan terhadap kebahagiaan pada karyawan dengan sumbangan
relatif sebesar 73,5% dan sisanya 26,5% merupakan faktor lain diluar penelitian. Sejalan dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh Fitriah (2020) menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara optimisme dengan kebahagiaan individu pada usia dewasa awal. Hal ini menunjukkan optimisme berkaitan erat dengan kebahagiaan seseorang. Scheier dan Carver (dalam Situmorang 2018) menyebutkan bahwa, rasa optimis yang selalu ditanamkan dalam diri individu akan membuat tingkat kebahagiaan subjektif tinggi pada saat menghadapi tekanan. Lebih lanjut, menurut Situmorang (dalam Situmorang 2018) individu yang optimis cenderung memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah, mencari dukungan sosial, serta berpikir positif ketika menghadapi situasi sulit.
Seligman (2005) mendefinisikan optimisme sebagai suatu cara pandang individu secara menyeluruh mengenai penglihatan terhadap hal-hal yang positif, berpikir positif, serta kemudahan dalam memberikan makna pada diri sendiri. Seligman (2005) mengungkapkan terdapat 3 aspek optimisme seseorang antara lain permanent, pervasive, dan personalization.
McGinnis (1995) mengungkapkan, terdapat 12 ciri optimisme yakni, jarang merasa terkejut ketika ada kesulitan, mencari pemecahan sebagian permasalahan, yakin memiliki pengendalian untuk masa depan, tidak menutup kemungkinan adanya pembaharuan secara teratur, mampu menghalau pikiran negatif,mampu meningkatkan kekuatan apresiasi, mampu menggunakan imajinasi, selalu gembira bahkan ketika tidak bisa merasa bahagia, yakin memiliki kemampuan yang tidak terbatas,membina banyak cinta dan kasih sayang dalam kehidupan, sering bertukar berita baik, menerima segala sesuatu yang tidak bisa diubah. Setiap individu diharapkan memiliki sikap yang optimis, karena dengan memiliki sikap optimis individu dapat lebih menciptakan energi yang positif dalam kehidupannya. Ketika energi positif muncul, akan membuat individu memiliki lingkungan kehidupan yang positif pula. Dengan energi-energi positif, individu diharapkan memiliki pemikiran yang lebih positif sehingga akan meningkatkan kebahagiaan.
Scheier dan Carver (dalam Situmorang 2018) menyebutkan bahwa, rasa optimis yang selalu ditanamkan dalam diri individu akan membuat tingkat kebahagiaan subjektif tinggi pada saat menghadapi tekanan. Lebih lanjut, menurut Situmorang (dalam Situmorang 2018) individu yang optimis cenderung memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah, mencari dukungan sosial, serta berpikir positif ketika menghadapi situasi sulit.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengajukan rumusan permasalahan, yaitu: “Apakah terdapat hubungan antara optimisme dengan kebahagiaan pada mahasiswa?”. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara optimisme dengan kebahagiaan pada mahasiswa.
Peneliti mengajukan hipotesis, terdapat hubungan yang positif antara optimisme dengan kebahagiaan. Semakin tinggi optimisme maka semakin tinggi kebahagiaan pada mahasiswa.
Begitu pula sebaliknya semakin rendah optimisme maka semakin rendah pula kebahagiaan pada mahasiswa.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, dengan pengumpulan data menggunakan skala psikologi yang disebar dalam bentuk kuesioner melalui Google Formulir. Skala yang digunakan dalam penelitian ini yakni Skala OHQ (Oxford Happiness Questionnaire) untuk mengukur kebahagiaan dan Skala Optimisme untuk mengukur optimisme. Skala yang digunakan dalam penelitian ini yakni skala likert. Skala likert merupakan skala sikap yang dirancang untuk mengungkap sikap pro-kontra, positif dan negatif, setuju dan tidak setuju terhadap suatu objek sosial (Azwar, 2019). Skala OHQ (Oxford Happiness Questionnaire) yang digunakan untuk mengukur kebahagiaan disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Hills dan Argyle (2002) yakni kepuasan terhadap hidup (satisfaction with life), efikasi (efficacy), ramah dan memiliki empati (sociability/empathy), pola pikir yang positif (positive outlook), kesejahteraan (well-being), riang dan ceria (cheerfulness), dan harga diri yang positif (positive self-esteem).
Tabel 1. Distribusi AItem Skala OHQ (Oxford Happiness Questionnaire)
No. Aspek Jumlah Aitem Jumlah
Favorable Unfavorable Item
1. Life satisfaction 5 1 6
2. Efficacy 4 2 6
3. Sociability/empath
y 3 2 5
4. Positive outlook 2 3 5
5. Well-being 2 1 3
6. Cheerfulness 2 0 2
7. Positive self-
esteem 0 2 2
Jumlah Item 18 11 29
Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan uji coba skala OHQ (Oxford Happiness Questionnaire) untuk mengetahui daya beda aitem dan reliabilitas aitem. Uji coba dilakukan pada tanggal 2 Juli 2022 sampai 5 Juli 2022 yang diisi oleh 50 mahasiswa di Indonesia. Pada penelitian ini, batas kriteria koefisien aitem total (rix) yang digunakan adalah 0,30. Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui bahwa 29 aitem skala OHQ memiliki daya beda yang baik (>0,30). Hal ini menandakan bahwa semua aitem OHQ tidak ada yang gugur.
Selanjutnya, hasil dari perhitungan analisis statistik menunjukkan bahwa semua aitem skala
OHQ memenuhi kriteria, koefisien aitem-total (rix) daya beda aitem bergerak dari rentang 0,358 sampai 0,677.
Setelah ke-29 aitem skala OHQ dipastikan tidak ada yang dieliminasi, dilakukan perhitungan kembali untuk memastikan koefisien reliabilitas aitem di dalamnya. Setelah dilakukan perhitungan, didapatkan hasil koefisien reliabilitas alpha (α) sebesar 0,912.
Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa skala OHQ merupakan pengukuran yang reliabel.
Sementara itu, skala Optimisme disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Seligman (2005) yakni permanence, pervasiveness, dan personalization.
Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Optimisme
No. Aspek Nomor Aitem Jumlah
Item Favorable Unfavorable
1. Permanence 5 5 10
2. Pervasiveness 5 5 10
3. Personalizatio
n 5 5 10
Jumlah Item 15 15 30
Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan uji coba skala optimisme untuk mengetahui daya beda aitem dan reliabilitas aitem. Uji coba dilakukan pada tanggal 2 Juli 2022 sampai 5 Juli 2022 yang diisi oleh 50 mahasiswa di Indonesia. Pada penelitian ini, batas kriteria koefisien aitem total (rix) yang digunakan adalah 0,30. Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui bahwa 30 aitem skala optimisme memiliki daya beda yang baik (>0,30). Hal ini menandakan bahwa semua aitem optimisme tidak ada yang gugur. Selanjutnya, hasil dari perhitungan analisis statistik menunjukkan bahwa semua aitem skala optimisme memenuhi kriteria, koefisien aitem-total (rix) daya beda aitem bergerak dari rentang 0,372 sampai 0,714.
Setelah ke-30 aitem skala optimisme dipastikan tidak ada yang dieliminasi, dilakukan perhitungan kembali untuk memastikan koefisien reliabilitas aitem di dalamnya. Setelah dilakukan perhitungan, didapatkan hasil koefisien reliabilitas alpha (α) sebesar 0,920.
Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa skala optimisme merupakan pengukuran yang reliabel.
Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan analisis korelasi product moment yang dikembangkan oleh Karl Pearson. Teknik korelasi ini digunakan untuk menguji hipotesis hubungan antar variabel bebas dengan variabel terikat (Sugiyono, 2011). Teknik pengambilan data dalam penelitian ini adalah purposive sampling dengan jumlah subjek penelitian sebanyak 100 orang yang berstatus sebagai mahasiswa/mahasiswi di Indonesia dengan usia minimal 18 tahun.
HASIL PENELITIAN
Data yang diperoleh saat penelitian pada skala OHQ (Oxford Happiness Questionnaire) dan skala optimisme menjadi dasar untuk pengujian hipotesis dengan menggunakan skor hipotetik dan empirik. Data skor hipotetik dan empirik yang dideskripsikan adalah nilai minimum dan maksimum, jarak sebaran (range), rata-rata (mean), serta standar deviasi.
Deskripsi data penelitian yang digunakan sebagai dasar pengujian hipotesis ini diperoleh dari skala OHQ (Oxford Happiness Questionnaire) dan Optimisme dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Deskripsi Data Penelitian skala OHQ (Oxford Happiness Questionnaire) dan Skala Optimisme
Variabel N
Data Hipotetik Data Empirik
Skor
Mean SD
Skor
Mean SD
Min Mak
s Min Maks
Kebahagiaa
n 100 29 174 101,5 24,1
7 85 154 119,65 16,812
Optimisme 100 30 120 75 15 65 114 85,50 10,899
Keterangan:
N = Jumlah subjek Min = Rata-rata
Maks = Skor minimal atau terendah Mean = Skor maksimal atau tertinggi SD = Standar Deviasi
Berdasarkan data di atas, dilakukan kategorisasi dua variabel penelitian. Kategori data dalam penelitian menurut Azwar (2016) digunakan untuk menempatkan individu ke dalam kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum. Hasil analisis skala OHQ (Oxford Happiness Questionnaire) diperoleh data hipotetik dengan skor minimum yaitu 1
×
29 = 29, skor maksimum yaitu 6×
29 = 174, rata-rata (mean) yaitu (174 + 29)÷
2 = 101,5, jarak sebaran (range) yaitu 174–
29 = 145, dan standar deviasi yaitu 145÷
6=24,17. Sementara itu, untuk data empirik skor minimum yaitu 85, skor maksimum yaitu 154, rata-rata (mean) yaitu 119,65, jarak sebaran (range) yaitu 69, dan standar deviasi yaitu 16,812.
Peneliti melakukan kategorisasi skala OHQ (Oxford Happiness Questionnaire) berdasarkan nilai mean dan standar deviasi hipotetik dengan mengelompokkan menjadi 3 kategori yakni tinggi, sedang, dan rendah seperti terlihat pada tabel 4, yakni sebagai berikut:
Tabel 4. Kategorisasi Skor Skala OHQ (Oxford Happiness Questionnaire) Kategor
i
Pedoman Skor N Presentase
Tinggi X
≥
(μ
+ 1
σ
)X
≥
125,67 41 41%Sedang (
μ
+ 1σ
)≤
X¿
(μ
+ 1σ
)77,33
≤
X¿
125,6759 59%
Rendah X
¿
(μ
−¿
1σ
)
X
¿
77,33 0 0%Total 100 100%
Keterangan:
X = Skor Subjek
μ
= Mean atau rata-rata hipotetikσ
= Standar deviasi hipotetikVariabel kebahagiaan dibagi menjadi 3 kategori yakni tinggi, sedang, dan rendah.
Kategori tinggi sebesar 41% (41 subjek), kategori sedang sebesar 59% (59 subjek), dan kategori rendah sebesar 0% (0 subjek). Berdasarkan kategori tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa, pada penelitian ini, tingkat kebahagiaan cenderung tinggi.
Sementara itu, hasil analisis Skala Optimisme dengan jumlah aitem 30, diperoleh data hipotetik dengan skor minimum yaitu 1
×
30 = 30, skor maksimum yaitu 4×
30 = 120, rata-rata (mean) yaitu (120 + 30)÷
2 = 75, jarak sebaran (range) yaitu 120–
30 = 90, dan standar deviasi yaitu 90÷
6= 15. Sementara itu, untuk data empirik skor minimum yaitu 65, skor maksimum yaitu 114, rata-rata (mean) yaitu 85,50, jarak sebaran (range) yaitu 49, dan standar deviasi yaitu 10,899. Peneliti melakukan kategorisasi skala optimisme berdasarkan nilai mean dan standar deviasi hipotetik dengan mengelompokkan menjadi 3 kategori yakni tinggi, sedang, dan rendah seperti terlihat pada tabel 5 berikut.Tabel 5. Kategorisasi Skor Skala Optimisme Kategor
i Pedoman Skor N Presentase
Tinggi X
≥
(μ
+ 1
σ
)X
≥
90 35 35%Sedang
(
μ
+ 1σ
)≤
X¿
(μ
+ 1σ
)60
≤
X¿
90 65 65%Rendah X
¿
(μ
−¿
1σ
)X
¿
60 0 0%Total 100 100%
Keterangan:
X = Skor Subjek
μ
= Mean atau rata-rata hipotetikσ
= Standar deviasi hipotetikVariabel optimisme dibagi menjadi 3 kategori yakni tinggi, sedang, dan rendah. Kategori tinggi sebesar 35% (35 subjek), kategori sedang ebesar 65% (65 subjek), dan kategori rendah
sebesar 0% (0 subjek). Berdasarkan kategori tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa, pada penelitian ini optimisme cenderung tinggi.
Hasil dari uji Kolmogorov-Smirnov variabel kebahagiaan KS-Z = 0,069 (p > 0,050), yang menandakan bahwa data variabel kebahagiaan mengikuti sebaran data normal. Sementara itu, hasil dari uji Kolmogorov-Smirnov, variabel optimisme KS-Z = 0,082 (p > 0,050) yang menandakan bahwa data variabel optimisme mengikuti sebaran data normal.
Tabel 6. Hasil Uji Normalitas Variabel Kebahagiaan dan Optimisme Variabel Kolmogorov-Smirnov
Statistic Sig.
Optimisme .082 .097
Kebahagiaan .069 .200
Berdasarkan hasil uji linearitas yang telah dilakukan, variabel kebahagiaan dengan optimisme diperoleh F = 111,393 dengan p = 0,000. Hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara variabel kebahagiaan dengan optimisme merupakan hubungan yang linier.
Sementara itu, berdasarkan hasil analisis product moment (pearson correlation) menunjukkan bahwa koefisien korelasi (rxy) = 0,741 dan (p ≤ 0,050) yang menandakan adanya hubungan positif antara kebahagiaan dengan optimisme pada mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima. Nilai koefisien korelasi (rxy) berada dalam kategori kuat karena (rxy) = 0,741 berada di batas interval 0,600 – 0,799 (Sugiyono, 2011). Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,550 yang menunjukkan bahwa variabel optimisme menunjukkan kontribusi sebesar 55% terhadap kebahagiaan, 45% sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak termasuk dalam penelitian.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara optimisme dengan kebahagiaan, dibuktikan dengan hasil koefisien korelasi (rxy) = 0,741 dengan (p ≤ 0,050). Adanya korelasi tersebut, membuktikan bahwa optimisme memiliki peran terhadap kebahagiaan pada mahasiswa. Sehingga dapat dikatakan bahwa hipotesis yang diajukan oleh peneliti diterima, semakin tinggi optimisme maka akan cenderung semakin tinggi kebahagiaan pada mahasiswa. Begitu pula sebaliknya semakin rendah optimisme maka akan cenderung semakin rendah pula kebahagiaan pada mahasiswa. Kebahagiaan didefinisikan sebagai suatu keadaan psikologis individu yang positif, ditandai dengan kemampuannya memenuhi kebutuhan dan harapan sehingga akan timbul emosi positif. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kebahagiaan, salah satunya adalah optimisme (Seligman, 2005).
Dalam penelitian ini, optimisme dipilih sebagai faktor yang mempengaruhi kebahagiaan karena optimisme merupakan salah satu dasar kebahagiaan, sedangkan pesimisme merupakan
salah satu dasar dari depresi (Seligman, 2005). Seligman (2005) juga menambahkan bahwa optimis dapat memberikan daya tahan individu menjadi lebih baik ketika menghadapi suatu masalah, memiliki kinerja yang lebih baik, mampu menghadapi tugas yang menantang, serta kesehatan fisik yang lebih baik. Scheier dan Carver (dalam Situmorang 2018) menyebutkan bahwa, rasa optimis yang selalu ditanamkan dalam diri individu akan membuat tingkat kebahagiaan subjektif tinggi pada saat menghadapi tekanan. Dengan kata lain, ketika mahasiswa dihadapkan dengan situasi yang sulit dan mampu untuk mengatasi masalah tersebut dengan baik, mahasiswa akan merasa lebih bahagia.
Mahasiswa yang memiliki sikap optimis dapat lebih menciptakan energi yang positif dalam kehidupannya. Ketika energi positif muncul, akan membuat mahasiswa memiliki lingkungan kehidupan yang positif sehingga akan meningkatkan kebahagiaan. Segerstrom, (dalam Ghufron & Risnawita, 2017) menyebutkan bahwa optimisme merupakan suatu cara berpikir yang positif dan realistis dalam memandang suatu masalah. Cara berpikir yang positif sangat berkaitan dengan kebahagiaan. Dengan kata lain, ketika individu dihadapkan dengan permasalahan, namun tetap optimis dengan cara berpikir positif, keadaan individu akan lebih tenang dan bahagia.
Sementara itu, hasil penelitian ini menunjukkan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,550.
Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel optimisme berkontribusi sebesar 55% terhadap kebahagiaan dan sisanya 45% dipengaruhi oleh faktor lain diluar fokus penelitian. Pada penelitian ini terdapat kategorisasi variabel kebahagiaan, yaitu kategori tinggi sebesar 41% (41 subjek), sedang 59% (59 subjek), dan rendah 0% (0 subjek). Sedangkan, untuk kategorisasi variabel optimisme yaitu kategori tinggi sebesar 35% (35 subjek), sedang 65% (65 subjek), dan rendah 0% (0 subjek). Hasil kategorisasi tersebut menunjukkan bahwa, mahasiswa tidak memiliki masalah pada kebahagiaan dan juga optimisme, yang ditandai dengan kebahagiaan dan optimisme mahasiswa rata-rata berada pada kategori sedang dan juga tinggi.
Dalam penelitian ini, peneliti masih merasa banyak keterbatasan diantaranya kurangnya jumlah subjek. Peneliti menganggap bahwa 100 mahasiswa yang menjadi subjek dalam penelitian ini masih belum bisa menggambarkan kondisi mahasiswa di Indonesia yang sebenarnya secara keseluruhan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dan penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara optimisme dengan kebahagiaan pada mahasiswa (rxy) = 0,741; (p
≤ 0,050). Artinya semakin tinggi optimisme maka akan cenderung semakin tinggi kebahagiaan pada mahasiswa. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah optimisme maka akan cenderung
semakin rendah kebahagiaan pada mahasiswa. Adanya koefisien determinasi (R2) sebesar 0,550. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel optimisme berkontribusi sebesar 55%
terhadap kebahagiaan dan sisanya 45% dipengaruhi oleh faktor lain diluar fokus penelitian.
SARAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada subjek yang berpartisipasi dalam penelitian ini, yakni mahasiswa, untuk mempertahankan dan meningkatkan kebahagiaan pada diri sendiri dengan cara senantiasa berpikir positif, menerima keadaan yang sedang terjadi dan tidak menyalahkan diri sendiri ketika sedang ada masalah. Selain itu, bagi peneliti selanjutnya, disarankan untuk meneliti faktor lain selain optimisme seperti tingkat pendidikan, pendapatan, kepuasan kerja, status perkawinan, dan religiusitas. Dalam penelitian ini, optimisme memberikan kontribusi sebesar 55% terhadap kebahagiaan, diharapkan untuk peneliti selanjutnya dapat mengungkap 45% faktor lainnya yang berkontribusi terhadap kebahagiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulloh, T. (2018). Gambaran tingkat kebahagiaan mahasiswa psikologi. (Doctoral dissertation, University of Muhammadiyah Malang). Diakses tanggal 5 Oktober 2021, from http://eprints.umm.ac.id/id/eprint/38276
Argyle, M. (2001). The psychology of happiness. Routledge.
Arief, M. F., & Habibah, N. (2015). Pengaruh strategi aktivitas (bersyukur dan optimis) terhadap peningkatan kebahagiaan pada mahasiswa s1 pendidikan guru sekolah dasar.
Seminar Psikologi dan Kemanusiaan UMM. Diakses tanggal 28 Oktober 2021 Azwar, S. (2016). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2019). Metode penelitian psikologi edisi II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badan Pusat Statistik. (2021). Indeks kebahagiaan 2021. Indonesia: Badan Pusat Statistik; CV.
Dharmaputra. Diakses tanggal 19 Juni 2022, dari Badan Pusat Statistik (BPS):
https://www.bps.go.id/publication/2021/12/27/ba1b0f03770569b5ac3ef58e/indeks- kebahagiaan-2021.html
Bestari, W. A. (2015). Perbedaan tingkat kebahagiaan pada mahasiswa strata 1 dan strata 2.
Seminar Psikologi & Kemanusiaan. Universitas Muhammadiyah Malang. Diakses pada tanggal Oktober 5, 2021
Fitriah, V. R. (2020). Hubungan antara optimisme dengan kebahagiaan pada usia dewasa awal. (Doctoral dissertation, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya). Diakses tanggal 17 Oktober 2021, dari http://repository.untag-sby.ac.id/id/eprint/4811
Ghufron, M. N., & Risnawita S, R. (2017). Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Hermawan, I. (2016). Gambaran Tingkat Stress pada Mahasiswa Keperawatan Angkatan 2011 yang Sedang Menyusun Skripsi di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jenderal Achmad Yani Yogyakarta. Diakses pada tanggal 1 November 2022
Hills, P., & Argyle, M. (2002). The Oxford Happiness Questionnaire: a compact scale for the measurement of psychological well-being. Personality and individual differences, 33(7), 1073-1082. Diakses tanggal 1 Juni 2022
Hurlock, E. B. (2011). Psikologi perkembangan. Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Kurniawati, J., & Baroroh, S. (2016). Literasi media digital mahasiswa universitas muhammadiyah bengkulu. Jurnal Komunikator, 8(2), 51-66. Diakses pada tanggal 1 November 2022 dari http://journal.umy.ac.id/index.php/jkm/article/view/2069
Maharani, D. (2015). Tingkat kebahagiaan (happiness) pada mahasiswa fakultas ilmu pendidikan universitas negeri yogyakarta. Jurnal Riset Mahasiswa Bimbingan Dan Konseling, 4(6). Diakses tanggal 5 Oktober 2021, from http://eprints.uny.ac.id/id/eprint/17644
McGinnis, A. L. (1995). Kekuatan Optimisme. Mitra Utama.
Nandini, D. A. (2017). Kontribusi optimisme terhadap kebahagiaan pada karyawan. Jurnal Ilmiah Psikologi, 9(2), 187-196. Diakses tanggal 17 Oktober 2021, from https://ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/psiko/article/view/1557
Presiden Republik Indonesia. (1990). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1990 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI. Jakarta:
Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia.
Santrock, J. W. (2012). Life Span Development Edisi 13. Jakarta: Erlangga.
Seligman, M. E. (2005). Authentic happiness : Menciptakan kebahagiaan dengan psikologi positif. Bandung: Mizan.
Situmorang, N. Z., & Tentama, F. (2018). Makna kebahagiaan pada generasi Y. Temu Ilmiah Psikologi Positif I. Seminar dan Call for Paper" Positive Psychology in Dealing with Multigeneration". Universitas Pertamina Jakarta. Diakses tanggal Oktober 28, 2021, from http://eprints.uad.ac.id/id/eprint/11240
Sugiyono. (2011). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan r&d. Bandung: Alfabeta.
Triwahyuni, A., & Prasetio, C. E. (2021). Gangguan Psikologis dan Kesejahteraan Psikologis pada Mahasiswa Baru. Psikologika: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, 26(1), 35-56. doi:https://doi.org/10.20885/psikologika.vol26.iss1.art3
Wiramihardja, S. A. (2015). Pengantar psikologi abnormal.
Wulandari, T. (2021). Peneliti psikologi UI: Mahasiswa rentan kecemasan, depresi, dan rasa stres. Jakarta: detikEdu. Diakses tanggal Oktober 25, 2021, from https://www.detik.com/edu/perguruan-tinggi/d-5650448/peneliti-psikologi-ui-
mahasiswa-rentan-kecemasan-depresi-dan-rasa-stres