• Tidak ada hasil yang ditemukan

Volume 11, Nomor 2, Desember 2017 ISSN Akademika. Ketua Penyunting Ahmad Suyuthi. Wakil Ketua Penyunting Ahmad Hanif Fahruddin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Volume 11, Nomor 2, Desember 2017 ISSN Akademika. Ketua Penyunting Ahmad Suyuthi. Wakil Ketua Penyunting Ahmad Hanif Fahruddin"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Akademika

Imam Dan Taqwa Dalam Perspektif Filsafat Prof. Dr.

KH. Achmad Mudlor, SH

Menelusuri Iman Manusia Drs.

HM. Aminul Wahib, MM

Orientasi Sistem Berpikir Dalam Dunia Kreatifitas Drs. H.

Abu Azam Al-Hadi, MM

Mengenal Dunia Kreatifitas Drs.

Akhmad Najikh, M. Ag

Islam dan Etos Kerja Drs. Ahmad Sodikin. S.Pd., M. Ag

Pencermatan Paradigma Nilai-Nilai Luhur Islam Dalam Tata Hidup Bermasyarakat dan Bemegara

Drs. H. Muslich, M. Ag

Peranan Potensi Kreatifitas Mental

Dalam Meningkatkan Argumentasi Berfikir Rasional Drs. KH. Ahmad Lazim, M .Pd

Dialog Fiqh dan Tasawuf Di Indonesia Achmad Faqeh, M.HI

Jurnal yang terbit dua kali setahun ini, bulan Juni dan Desember, berisi kajian-kajian keislaman baik dalam bidang pendidikan, hukum, keagamaan maupun ilmu pengetahuan.

Ketua Penyunting Ahmad Suyuthi Wakil Ketua Penyunting

Ahmad Hanif Fahruddin Penyunting Ahli

Imam Fuadi (IAIN Tulungagung) Masdar Hilmy (UIN Sunan Ampel Surabaya) Abu Azam Al Hadi (UIN Sunan Ampel Surabaya) Bambang Eko Muljono (Universitas Islam Lamongan)

Chasan Bisri (Universitas Brawijaya Malang) Mujamil Qomar (IAIN Tulungagung)

Penyunting Pelaksana

Rokim, Khozainul Ulum, Musa’adatul Fitriyah, Tawaduddin Nawafilaty

Tata Usaha Fatkan

Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan Jl. Veteran 53A Lamongan Jawa Timur 62212 Telp. 0322-324706, 322158 Fax. 324706 www.unisla.ac.id e-mail : [email protected]

Penyunting menerima tulisan yang belum pernah diterbitkan oleh media cetak lain. Naskah diketik dengan spasi 1,5 cm pada ukuran A4 dengan panjang tulisan antara 20-25 halaman (ketentuan tulisan secara detail dapat dilihat pada halaman sampul belakang). Naskah yang masuk dievaluasi oleh dewan peyunting. Penyunting dapat melakukan perubahan pada tulisan yang dimuat untuk keseragaman format, tanpa mengubah maksud dan isinya.

(3)

Akademika

DAFTAR ISI

Nurotun Mumtahanah Integrasi Madrasah Diniyah Takmiliyah pada Sekolah Negeri (Alternatif Penguatan Pendidikan Karakter Siswa Pasca Berlakunya Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 Tentang Pendidikan

Karakter) 125-137

Zainullah Konstruk Independensi Manusia dalam Perspektif

Filsafat Pendidikan Islam 138-154

Siti Suwaibatul Aslamiyah Efektifitas Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

Melalui Metode Kooperatif Tipe Think Pair Share 155-165

Achmad Fageh Analisa Hak Waris Anak Luar Kawin Pendekatan

Hak Asasi Anak 166-181

Hepi Ikmal, Maskan Memahami Etika Pendidik Dan Peserta Didik (Telaah Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adab al-'Alim wa al-Muta'allim )

180-194

Khozainul Ulum Malik Ibn Anas Ibn Malik dan Kitab Al- Muwaththa’: Introduksi Biografi dan Karya Monumentalnya

195-205

Victor Imaduddin Ahmad Aspek Subconscious Mind Dalam Term-Term Utama Pendidikan Agama Islam

206-218

Abdul Manan, Maftukhin Model Pengembangan Pendidikan Islam di Madrasah Diniyah Al-Ikhlas Menongo Sukodadi

Lamongan 219-230

Salman Zahidi, M.

Badruddin

Aplikasi Pembelajaran Kitab Akhlak Lil Banin di Pondok Pesantren Al Muhtarom Lowayu Dukun

Gresik 231-243

Ahmad Hanif Fahruddin, Ahmad Suyuthi

Sekolah Islam Elit Dan Unggul (Kajian Historis dan

Perkembangannya) 244-256

(4)

Zainullah

Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Khairat Pamekasan E-mail: [email protected]

Abstract: Independence (freedom) is not something that has been made, but the possibility given and the value to be won by overcoming a number of determinism.

Independence means that humans are needed as subjects. Man who has freedom of will that can not determine his will, because the ability of human reason is limited. In the world of education must also accept and be able to liberate human beings, because authentic education is education that requires freedom, which always gives opportunities to learners as widely as possible so that can mensentisekan the rich, admitted or not Islamic education has the goal of creating human beings capable of using the mind As the source of his thinking to achieve the ultimate truth. This type of research is literature review, which displays the argumentation of scientific reasoning that describes the results of literature review and the results of the researcher's analysis of Human Independence in Perspectives of Islamic Education Philosophy. This kind of study includes or explores the ideas of related propositions and should be supported by data or information obtained from the literature. With the foundation of qualitative and rationalistic philosophy. As a result shows that human independence is freedom and liberation from the shackles of material and kerohaniaan which is a structural and cultural oppression, both political, legal, economic and so forth.

The construct of human independence and its implications in Islamic education is an attempt to cultivate a critical, creative and constructive atmosphere in developing human potential to meet the challenges of the times.

Keywords: Human Independence Constructs, Implications of Independence in Islamic Education

Pendahuluan

Independensi merupakan kata lain dari kata kebebsan, bebas, merdeka atau berdiri sendiri. Dalam tulisan ini kata Independensi manusia lebih difokuskan pada sifat manusia yang memiliki kebebasan atau jiwa yang mandiri, tapi arti mandiri dalam kata ini bukan berarti tidak membutuhkan bantuan orang lain, tetapi sanggup menghadapi dan menyelesaikan persoalan apa pun oleh dirinya sendiri. Dan biasanya orang yang memiliki sifat independen memiliki sifat teguh dalam pendirian, lebih suka mengerjakan segala sesuatu sendiri karena merasa dirinya masih mampu untuk mengerjakannya tanpa bantuan orang lain.

Dalam kaca mata ilmuan persoalan Independensi (kebebasan) tak ubahnya dengan memperbincangkan persoalan filsafat dan agama. Hanya saja, ada pendapat yang mengatakan, tema kebebasan lebih luas cakupannya daripada kedua bidang tersebut. Semuanya terkesan subjektif dan hanya menimbulkan kontroversi. Kecenderungan banyak orang selalu berpikir miring ketika mendengar atau mengosumsi kata “kebebasan”. Kebebasan adalah istilah yang banyak digandrungi oleh orang modern dan diwujudkan dalam berbagai macam gaya hidup dan model. Namun di balik itu semua, kebebasan secara maknawi menjadi kata yang kurang

(5)

jelas artinya. Banyak orang yang mengira dirinya bebas, padahal tidak bebas. Banyak orang memburu kebebsan akhirnya terkapar dalam kebelengguannya. Bahkan kebebasan dan demokrasi dapat dipakai sebagai label tindakan penindas maupun yang tertindas. Faham eksistensialisme dengan absurditasnya, anti rasionalisme dan idealisme, serta menekankan ajaran tentang kebebasan manusia yang mutlak, telah dijadikan alasan untuk mencari pengalaman dari dunia fantasi yang tidak rasional, seperti pergaulan bebas, pornografi dan lain sebagainya.1

Kebebasan bisa mempunyai banyak arti, tergantung dari perspektif mana ia dipandang.

Jika salah dalam memandang, maka kebebasan justru dapat dijadikan legitimasi untuk berbuat sesuatu yang tidak benar.Dengan kata lain, manusia mempergunakan kebebasannya untuk menciptakan dan memainkan peranan sendiri tanpa ditentukan oleh faktor di luar manusia.Di antara nilai dan prinsip kemanusiaan yang masih tetap menjadi bahan pembicaraan orang- orang banyak dan ahli-ahli fikir khususnya dari dulu sampai sekarang ialah masalah prinsip atau nilai kebebasan.2

Kebebasan bukan sesuatu yang telah “jadi”, kebebasan adalah kemungkinan yang diberikan dan nilai yang harus dimenangkan dengan mengatasi sejumlah determinisme.Kebebasan juga berarti bahwa manusia diperlukan sebagai subyek.3Jika pendidikan dihubungkan dengan kebebasan, maka menurut M. Sastrapratedja, pendidikan yang otentik adalah pendidikan dalam kebebasan, yang memberikan kesempatan kepada manusia (anak didik) seluas mungkin sehingga si terdidik dapat mensintesakan secara kaya.4

Untuk mencari dan mendapatkan kebebasan itu, kita tidak bisa menggunakan satu metode pengetahuan yang bersifat empirik, itu merupakan suatu kemustahilan. Seseorang yang mengatakan kebebasan itu tidak ada dan tidak bisa ditentukan, karena mereka hanya berpegang pada satu jenis pengalaman saja dan mengabaikan pengalaman yang lain.

Kebebasan hanya dialami oleh satu saksi, yaitu kita sendiri. Pengalaman ini adalah apa yang kita alami tentang diri kita dan hal itu tidak pernah terbuka bagi orang lain. Pengalaman batin itu menyatakan kebebasan diri sendiri.Dalam perbuatan-perbuatan yang kita lakukan, kita tahu dengan pasti bahwa kita bebas.“Kebebasan adalah hubungan antara ‘aku konkret’ dan perbuatan yang dilakukan”. Namun, menjadi tugas berat filsafat untuk menjelaskan apa itu kebebasan. Kebebasan merupakan suatu tema abadi bagi filsafat, yang tidak pernah terbahas sampai habis.5

Untuk mencari dan mendapatkan kebebasan itu, perlu ditemukan sumber penyebab terjadinya penindasan, kemudian melakukan tindakan perubahan yang kemungkinan terbentuknya manusia yang lebih utuh.6 Erich Fromm menyatakan, sebagaimana dikutip oleh Paolo Freire – sebagai argumentasi terhadap situasi yang menghegemoni manusia modern atas penindasan.

“(Manusia) menjadi bebas terhadap ikatan-ikatan yang berasal dari luar, yang mencegahnya bertindak dan berfikir menurut apa yang dianggap cocok, ia akan

1 Ridho Al-hamdi, Selamat Datang Kebebasan, Dalam Ali Usman, Kebebasan dalam Perbincangan Filsafat, Pendidikan dan Agama (Yogyakarta: Pilar Media, 2006), 3-4.

2 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1980), 43.

3 Ahmad Busyairi dan Azharuddin Sahlil, Tantangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: LPM: UII, 1997), 41.

4 Ibid., 41.

5 Ridho Al-hamdi, Selamat Datang Kebebasan..., 6-7.

6Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Terj, Utomo Panandjaja (Jakarta: LP3ES, 1985), I.

(6)

bertindak dengan bebas jika ia tahu tentang masalahnya ialah bahwa ia tidak tahu. Dan karena tidak tahu. Dan karena itu ia akan menyesuaikan diri dengan penguasa yang tidak dikenalnya dan ia akan mengiyakan hal-hal yang ia tidak setuju. Semakin ia bertindak demikian maka semakin ia tidak berdaya untuk merasa dan ia semakin ditekan untuk menurut. Manusia modern meskipun dipulas dengan optimisme dan inisiatif, dikuasai oleh perasaan amat tidak berdaya bagaikan orang lumpuh yang hanya mampu menatap malapetaka sebagai yang tidak terhindarkan.”7

Mereka akan tenggelam tanpa nama, tanpa harapan dan bahkan tanpa kepercayaan diri serta semata-mata patuh dan menurut.8 Sejarah peradaban manusia menunjukkan bahwa pada masa renesen (Renaissance), unsur yang paling utama diambil adalah tuntutan kebebasan dan pembebasan dari berbagai ikatan dan halangan agar perkembangan manusia serta bakatnya dapat terwujud secara leluasa. Sedangkan dari masa aufklarung, yang diambil adalah moral rasionalismenya, keberanian untuk memakai kemampuan akan budi secara bebas. Dan pembebasan dari rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan- tindakan mereka diizinkan atau tidak diizinkan oleh wewenang yang lebih tinggi ataupun oleh adat kebiasaan.9

Pendidikan Islam tujuan akhirnya adalah mengarahkan agar anak didik menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah.Kebebasan di sini dibatasi oleh hukum-hukum dan ajaran-ajaran yang ditentukan oleh Allah yang sejalan dengan filsafat yang mendasari penciptaan manusia. Manusia yang diidamkan Islam adalah yang cerdas, mampu berfikir tetapi juga dapat menggunakan akalnya dengan baik dan bertanggungjawab.Begitu juga tentang ethos kerja dan jiwa makarnya harus ditumbuhkan manusia masih dalam pendidikan.

Pemaknaan Islam dalam konteks pendidikan yang signifikan dengan pemberdayaan manusia atau pembebasan merupakan tuntutan baru dalam era globalisasi, karena dengan demikian akan berjalan dengan iklim di mana manusia harus dimanusiakan oleh sesamanya.

Konsekwensi yang harus dibagi oleh kedua makna di atas ialah perlunya mengembangkan kepribadian manusia di atas landasan “Egalitarianisme” pada gilirannya akan terjadi reinterpretasi dan dikonstruksi “simbolisme” budaya lama keberagaman manusia didik dan tercipta karakter yang bercorak kreatif.10

Dalam kerangka ini, penting untuk memposisikan pendidikan sejajar dengan garis kepedulian terhadap keadaan masyarakat.Pendidikan yang baik harus mampu berperan sebagai kritik dan evaluasi terhadap penyimpangan-penyimpangan yang berlangsung di masyarakat.11

Pendidikan bukanlah tempat pembodohan bagi anak didik, melainkan proses penyadaran anak didik agar mereka melek dunia dan melek realita; berani menatap dan

7 Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Terjemahan AA. Nugroho (Jakarta: Gramedia, 1984), 6-7.

8A. Syafi’i Ma’arif, Pendidikan Islam di Indonesia (Antara Cita dan Fakta) (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991), 34.

9 Ibid., 35.

10 Gunanto, Manusia dan Pendidikan Islam (Telaah Hakekat, Manusia dan Realisasinya Terhadap Proses Pendidikan Islam) (Skripsi: Tulungagung, STAIN Tulungagung, 2003), 56.

11Masdar Hilmi, Pendidikan Digugat (Mempertanyakan Peran Pendidikan dalam Proses Transformasi Sosial), Makalah dalam Pekan Komunikasi Mahasiswa Tarbiyah Indonesia (FKMTI) Wilayah V Daerah I, NMJ Tarbiyah STAIN Tulungagung, 16 Oktober 2000, 3.

(7)

menghadapi tantangan dunianya, karena anak didik adalah manusia yang hidup di dalam dan dengan dunia (live Indonesian and with the world).12

Pendidikan bukanlah wujud dari penindasan. Pendidikan selalu bertujuan membina kepribadian manusia. Diperlukan suatu lingkungan yang kondusif untuk mendukungnya.Di mana pendidik dan anak didik secara bersama-sama mendunia.Artinya, bersama-sama menghadapi realitas sebagai sebuah persoalan yang harus dihadapi secara bersama dan tidak bisa dilakukan secara terpisah. Di sini hubungan yang dialogis sangat diperlukan sehingga baik pendidik maupun anak didik akan tumbuh harga diri, kepercayaan diri sendiri, rasa tanggungjawab dalam proses pendidikan yang sedang berlangsung.13

Kebebasan dalam pendidikan yang didasari atas nilai-nilai azasi Islam dimaksudkan, untuk membangun kepribadian manusia, sekaligus menggerakkan lingkungan sosialnya.Karena itu dalam percaturan sumber daya manusia dapat menjadi kekuatan kompetisi di seluruh bidang kehidupan masyarakat.14Tetapi kebebasan yang dimiliki manusia tidaklah mutlak. Malah adanya ia sebagai khalifah Allah sudah cukup untuk menafikan wujudnya kebebasan mutlak.15 Manusia yang memiliki kebebasan kemauan tidak dapat menentukan untuk dirinya sendiri kuasa-kuasa asal apapun yang dimilikinya, setiap manusia memiliki akal yang terbatas, tak dapat ia memanjangkan dan memendekkan. Tetapi sebaliknya ia adalah khalifah Allah, maka ia mengangkat dirinya dari segala macam penghambaan kecuali kepada Allah.

Analisis di atas merupakan kajian pemikiran tentang kemunculan diskursus kritis pendidikan Islam dalam konteks perkembangan mutakhir dalam dunia pendidikan. Kajian pemikiran ini sedikit banyak diilhami oleh pemikiran Paolo Freire tentang pendidikan dan pembebasan manusia dari ketertindasan struktural dan kultural dan ini merupakan awal bagi pengembangan konsepsi dan pemikiran pendidikan Islam yang lebih dinamis dan fungsional dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dunia pendidikan umumnya dewasa ini dan abad 21 mendatang.

Hakikat dan Urgensi Independensi Manusia

Bebas berarti lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dan lain sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara, dan berbuat dengan leluasa). Membebaskan berarti melepaskan dari ikatan, tuntutan, tekanan, hukuman, kekuasaan, dan sebagainya.Sedangkan kebebasan adalah kemerdekaan atau dalam keadaan bebas.16 Kebebasan dapat diartikan sebagai penentuan diri sendiri, pengendalian diri, pengaturan diri, dan pengarahan diri.Bisa juga kemampuan untuk memilih dan kesempatan untuk memenuhi atau memperoleh pilihan itu. Tidak ada manusia yang tidak tahu apa itu kebebasan, karena kebebasan merupakan kenyataan yang akrab dengan kita semua, sebab kebebasan adalah suatu unsur hakiki. Kita semua mengalami kebebasan, karena sebagai sifat manusia.Kesulitannya baru mulai muncul

12 Ibid., 4.

13 Siti Murtiningsih, Pendidikan Alat Perlawanan, (Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire) (Yogyakarta: Resist Book, 2004), 7-8.

14 Gunanto, Manusia dan Pendidikan Islam..., 57.

15Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan (Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan) (Jakarta: Pustaka Al- Husna, 1986), 80.

16 Lihat Ridho Al-Hamdi, Selamat Datang Kebebasan, Dalam Ali Usman, Kebebasan Dalam Perbincangan Filsafat, Pendidikan dan Agama (Yogyakarta: Pilar Media, 2006), 5.

(8)

ketika kita ingin mengungkapkan pengalaman itu pada taraf refleksi.Justru itulah yang menjadi usaha dan tanggung jawab filsafat.17

Menurut Loren Bagus, sebagaimana dikutip oleh Ali Usman, dalam sejarah filsafat dapat dibedakan setidaknya ada empat macam arti kebebasan;18 1) Kebebasan bermakna pada ide pilihan yang berarti.Artinya, kebebasan merupakan daya seleksi terhadap salah satu dari dua atau lebih alternative; 2) Kebebasan berarti konsisten dengan ajaran-ajaran determinisme (mengalir begitu saja), mengidentikkan kebebasan dengan berbuat seturut kemauan kita.Bila kemauan dibenarkan oleh tindakan kita sendiri, sekalipun adanya kemauan itu ditentukan oleh seperangkat sebab; 3) Kebebasan dipahami berpusat pada tindakan yang lahir dari motif-motif internal dan bukan eksternal. Alternatif ini menurut suatu doktrin tentang manusia sedemikian rupa, sehingga manusia mempunayai hakikat dasariah, atau diri, yang memungkinkan bertindak, dan bukan bertindak sesuai dengan dunia luar; dan 4) Kebebasan diartikan dengan suatu perbuatan yang menuntut suatu konotasi normatif, sehingga kebebasan berarti berbuat apa yang harus diperbuat.Hasan Langgulung mempunyai pandangan tersendiri tentang kebebasan, yaitu;

“Kebebasan itu berarti kemerdekaan dan pembebasan dari belenggu kebendaan dan kerohanian. Tetapi kemerdekaan ini, walau bagaimanapun luasnya, ia tetap bersifat nisbi (relatif). Sebab manusia itu senantiasa tunduk pada batas-batas waktu dan tempat dimana ia hidup. Sebab ia adalah manusia, kekuatan jasmani dan akalnya terbatas, juga potensi-potensi jasmani dan rohaninya, disitu tidak boleh berlakunya kebebasan mutlak.19

Dengan demikian, kebebasan merupakan sebuah keniscayaan.Tanpanya, manusia tidak memiliki kesempatan untuk berlomba dalam hal kebaikan, juga harus dipertanggungjawabkan kelak sesuai dengan amal perbuatannya.Kebebasan individu mengandaikan penghormatan atas individu lainnya dalam mengurai beragam petunjuk jalan keselamatan.Kebebasan merupakan penghargaan dan penghormatan bagi manusia selaku individu otonom, sesuatu anugerah yang tidak dimiliki oleh makhluk selain dirinya.Oleh karenanya, pelanggaran dan penindasan terhadap harkat dan martabat seseorang adalah merupakan tindakan kejahatan kemanusiaan.20

Sejarah peradaban manusia menunjukkan bahwa pada masa renaissance, unsur yang paling utama diambil adalah tuntutan kebebasan dan pembebasan dari berbagai ikatan dan halangan agar perkembangan manusia serta hakikatnya dapat terwujud secara leluasa.

Sedangkan dari masa aufklarung, yang diambil adalah nilai moral rasionalismenya, keberanian untuk memakai kemampuan akal budi secara bebas.21 Namun dalam prakteknya, kebebasan tidak diturunkan dari berbagai sumber, tapi merupakan hasil dari hermeneutika22

17 Ibid., 5-6.

18 Ibid., 12-14. Lihat juga Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), 406.

19 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1990), 45.

20 Ach. Sayyi, Wasiat Pendidikan Sufistik dalam Naskah Tanbih Mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah Suryalaya “Tela’ah Pemikiran Guru Mursyid TQN Suryalaya” (Pamekasan: Jurnal Fikrotuna vol. 05, No. 01 Juli 2017), 25.

21 Lihat Kata Pengantar Iqnas Kleden Dalam Soedjatmoko, Etika Pembebasan (Jakarta: LP3ES, 1984).

22 Semakin luasnya penggunaan hermeneutika dalam studi yang melibatkan interpretasi, Palmer mencoba mengklasifikasikan cabang-cabang studi hermeneutika sebagai berikut: pertama, interpretasi terhadap kitab suci, disebut Exegesis. Kedua, interpretasi terhadap kesusastraan lama, disebut Philology.Ketiga, interpretasi terhadap penggunaan dan pengembangan aturan-aturan bahasa, disebut Technical Hermeneutics. Keempat, studi tentang proses pemahamannya itu sendiri, disebut Philosophical Hermeneutics. Kelima makna dibalik

(9)

atas teks-teks berkonstektual.Artinya atas teks-teks itu ada yang kita koreksi, ada yang kita interpretasikan, dan ada pula yang kita afirmasikan. Sumber-sumber teks itu adalah:

Pertama, motto dari Revolusi Prancis: Liberty, egality, dan fraternity (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Kedua, Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Pri Kemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Ketiga, ajaran berbagai agama: Penciptaan manusia pertama Adam dan Hawa (dalam agama Islam dan Kristen).

Pembebasan Israel dari perbudakan Mesir (Yahudi dan Kristiani), dan jihad terhadap Jahiliyah Makkah dari Madinah (Islam), pembentukan umat Allah (Kristiani) dan tatanan susunan masyarakat Islam (Islam), serta penyelenggaraan masyarakat (Kristiani) dan pembangunan pranata sosial, politik, ekonomi dan hukum kota Madinah (Islam).Keempat, kita dapat menurunkannya dan memberi makna baru dari religiositas tradisional, disini sebagai contoh kita mengambil agama Kaharingan. Dalam keagamaan kaharingan dari suku-suku Dayak, khususnya Dayak Ngaju dari Kalimantan Tengah, kebebasan anak-anak bangsa diungkapkan dalam cita-cita kesurgaan yang biasanya didaraskan dalam upacara Tiwah, pengantaran arwah nenek moyang ke dalam rumah panggung surga.23

Dari keempat sumber nilai tadi, melalui proses hermeneutika yang berbeda kadar dan intensitasnya, dikonstruksi dalam empat pilar dalam paradigma kebebasan modern, dalam arti pemenuhan standar konseptualisasi ilmu pengetahuan dunia kini. Keempat pilar itu adalah sebagai berikut; a) Kemerdekaan (Independency), yang kita mengerti tidak sekedar ekonomi atau kemerdekaan wilayah, tetapi terpilih adalah kemandirian manusia/rakyat sebagai karya penciptaan Tuhan yang tertinggi; b) Kesaudaraan (Solidarity), bukan persaudaraan, sebab kesaudaraan adalah sesuatu yang harus selalu diusahakan dari kedua belah pihak. Artinya bukan sekedar brotherhood (persaudaraan atau kekeluargaan) terlebih adalah rasa hormat kepada pribadi lain dengan segala keunikan dan kemejemukannya; c) Keadilan sosial (Social Justice), artinya bukan sekedar persama-rataan (equality), tetapi terlebih adalah pencukupan syarat/sarana dasar kehidupan bagi semua; dan d) Kerakyatan (Populist), bukan sekedar cinta bangsa (nationhood), tetapi terlebih cinta kepada kemanusiaan terlebih mereka yang masih dipinggirkan.24

Dalam Islam, konsep kemerdekaan (kebebasan) berasal dari keimanan yang teguh kepada tauhid dan kekuasaan Allah. Bilamana keimanan muslim ini tumbuh semakin kuat dan mendalam, dia semakain yakin akan martabatnya dan kemerdekaannya, kemauan untuk melawan penindasan dan perbudakan orang lain semakin kuat. Dalam hal ini langkah pertama yang harus ditempuh Islam adalah membebaskan manusia dari cengkeraman hawa nafsu.

Manusia hanya benar-benar bebas bila ia mampu mengatur geraknya sesuai kepribadian manusiawinya.25

makna-makna dari setiap simbol disebut dream analysis, dan keenam, interpretasi terhadap pribadi manusia beserta tindakan-tindakan sosialnya, yang kemudian disebut social Hermeneutics, lihat Zainal Milal Bizawir, Perlawanan Kultural Agama rakyat, Pemikiran Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutakallim Dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (1645-1740) (Yogyakarta: SAMHA, 2001), 6.

23 Fr. Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan (Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya) (Yogyakarta: LKis, 2000), XXVII. Lihat juga Akram Dhiyauddin Umari (terj. S. Riyanto dan Arifin), Masyarakat Madani:

Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi (Jakarta: Gema Insani Press, 1999).

24 Ibid., XXIX.

25Syahid Muhammad Baqir ash-Shadar, Keunggulan Ekonomi Islam (Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka Pemikiran Ekonomi Islam) (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), 118.

(10)

Menerima adanya kebutuhan manusia terhadap kebebasan sudah tentu mengajak kita mengakui pentingnya kebebasan itu bagi manusia pada individu dan masyarakat. Dalam menekankan kebebasan sebagai suatu hak tabi’i Islam menekankan, secara tersirat, pentingnya kebebasan ini bagi individu dan masyarakat sekaligus.

Dengan demikian kebebasan mempunyai beberapa fungsi bagi manusia antara lain;

Pertama, Kebebasan berfungsi sebagai jalan yang betul kearah kebahagiaan individu, keselarasan (Adjusment) sosial, menyadarkan akan hakekat kemanusiaan, kehormatan, kebanggaan dan kekuatan. Kedua, Meningkatkan semangat dan produktifitasnya, membuka bakat, minat dan mengembangkan potensi yang dimiliki manusia. Ketiga, Untuk meninggikan potensi daya cipta, spontanitas dan sumbangan positifnya dalam perkembangan masyarakatnya yang lahir dari keyakinan dan kemauan. Keempat, Mendorong berbuat adil kepada orang lain dan menghormati hak-hak orang lain. Kelima, Sebagai tempat bergantungnya ketinggian dan harga diri manusia, dan dengan itu ia berbeda dari hewan- hewan yang lain.26

Independensi Manusia 1. Independensi Politik

Dalam sistem kapitalis, seorang individu memiliki kebebasan politik, dan pendapatnya dihormati.Maka setiap individu secara wajar memiliki hak bersuara dan berpartisipasi dalam pengaturan dan pembentukan pemerintahan.27 Menurut Deklarasi Universal tantang Hak Asasi Manusia 1948, semua pihak di dunia hendaklah menghormati 30 perkara. Diantaranya Pasal 20 & 21, memberikan hak berkumpul secara aman dan menumbuhkan persatuan atau kesatuan serta mengambil perhatian dalam proses pemerintahan, terutamanya dalam proses membuat keputusan mengenai dasar-dasar Negara.

2. Independensi Ekonomi

Independensi (kebebasan) ini didasarkan pada prinsip universal dan dilaksanakan dalam suatu cara yang alami, adalah jaminan yang terletak bagi kemakmuran masyarakat. Hak manusia akan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan dan pekerjaan sangat mendasar bagi kelangsungan hidup manusia. Bagi mayoritas umat manusia di Afrika, Asia dan Amerika Latin hak-hak inilah yang menjadi masalah besar. Apa manfaat perjuangan HAM bagi jutaan penduduk miskin negara-negara selatan jika tidak membebaskan mereka dari kelaparan, ketunawismaan, kebuta aksaraan dan penyakit. HAM yang terutama ditafsirkan dalam batas- batas hak sipil dan politik tidak akan memenuhi dambaan si miskin akan martabat manusia dan keadilan sosial. Kehidupan dan kemerdekaan, makanan dan kebebasan harus berjalan bersama jika kita ingin mengembangkan suatu visi Hak Asasi Manusia yang lebih holistik dan terpadu.28

26 Tentang fungsi dan pentingnya kebebasan bagi manusia ini dirangkum dan dianalisis dari berbagai buku (referensi) yang penulis punya, namun untuk lebih lanjut, dalam memahami masalah kebebasan lihat Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Bandung: PT. al-Ma’arif, 1980).

27Syahid Muhammad Baqir ash-Shadar, Keunggulan Ekonomi Islam (Mengkaji Sistem Ekonomi Barat Dengan Kerangka Pemikiran Ekonomi Islam) (Jakarta: Pustaka Zahra), 58.

28 Chandra Muzaffar, Hak Asasi Manusia Dalam Tata Dunia Baru Menggugat Dominasi Global Barat (Bandung: PT Ma’arif, 1995), 32.

(11)

3. Independensi berpikir

Agama Islam memberi posisi yang sangat besar kepada akal pikiran agar menjalankan perannya, sehingga akal yang sehat dapat berfungsi dengan baik merupakan salah satu syarat bagi shahnya suatu ibadah. Demikian pula dalam memikul beban yang lain, hak sebagai akibat perbuatan seseorang maupun yang tidak dikaitkan dengan perbuatan orang, kondisi akal pikiran (dapat berfungsi atau tidak) sangat menentukan dalam memegang peranan, apakah beban itu dikenakan kepada seseorang atau tidak.

Fungsi akal yang lainnya adalah untuk berpikir.Berpikir itu adalah sejenis “perbuatan”

tapi masih dalam bentuk abstrak.Apa yang dipikirkan oleh seseorang sukar untuk diduga oleh orang lain.29 Oleh karena itu, sulit untuk menentukan dari luar cara-cara apa yang akan dipakai untuk membatasi kemerdekaan berpikir seseorang. Manusia disebut manusia karena bepikirnya, dan berpikirlah yang menentukan eksistensi manusia dalam kehidupan di dunia ini.Pemasungan atas kemerdekaan berpikir pada hakikatnya adalah merupakan pemasungan atas kemanusiaanya. Pada dasarnya berpikir adalah otonom, dan pada tingkat berpikir an sich, maka berpikir itu sepenuhnya bersifat bebas secara mutlak, tidak ada yang haram untuk dipikirkan.

Kesalahan berpikir bukanlah dosa karena kesalahan berpikir bukanlah kriminal. Tidak ada sangsi etik apapun yang dapat diberlakukan dalam berpikir. Itulah barang kali semangat yang terkandung dalam hadits, dimana Nabi pernah menganjurkan kepada kita untuk berpikir secara bersungguh-sungguh, dan jika berpikir benar akan mendapat dua pahala dan jika salah akan mendapat satu pahala saja. Dua pahala yang diperoleh karena dia telah mampu berpikir dan hasilnya benar, sedangkan satu pahala diperoleh karena ia telah berpikir dan hasilnya salah, melakukan berpikir secara bersungguh-sungguh apapun hasilnya akan mendapat pahala. Kesalahan berpikir memang tidak mendapatkan pahala tapi bukan suatu dosa.30 Sebagaimana hadits Nabi yang artinya:

ُالله ىلَّ َص الله ُلْو ُسَر َعِ َسَ ُهَنَأ ُهْنَع ُالله َ ِضِ َر ِصاَعْلا ِنْب وِرْ َعَ ْنَعَو َو ِهْيَل َع

ُلْوُقَي َملّ َس ََتْجاَف ُ ِكِاَلحا َ َكََح اَذِإ :

َد

َ َكََح اَذِإ َو ِِ ِناَرْجَأ ُ َلََف َبا َصَأ ى ُثُ

ْجَأ ُ َلََف َأ َطْخَأ ى ُثُ َدَحَتْجاَف ر

Dari Ibnu Ash mendengar dari Rasulallah, Rasulallah bersabda, “Apabila hakim telah menetapkan hukum, kemudian dia berijtihad dan ijtihadnya itu benar maka baginya dua pahala, tetapi apabila ia sudah membuat keputusan dan keputusannya itu salah maka baginya satu pahala.”31

4. Independensi Pribadi

Menginsafi bahwa manusia meskipun dalam beberapa ciri dan sifat ada persamaan lantaran hubungan kemanusiaan yang menghubungkan antara mereka dan lantaran persamaan kebudayaan dan peradaban- namun terdapat titik perbedaan dalam banyak sifat. Ini disebabkan karena beberapa faktor keturunan dan lingkungan yang mempengaruhi mereka dari kecil.Manusia berbeda dalam tenaga, perawakan, kesediaan, sikap, dorongan, tujuan dan jalan-jalan yang dilakukannya untuk mencapai tujuan. Hakikat ini yang menyebabkan insan

29Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT. Al-Ma’arif, III/1974), 118.

30 Musa Asy’ary, Menggagas Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan (Yogyakarta: LESFI, 2002), 30.

31 M. Nasiruddin Al-Bani, Mukhtasar Shahih Muslim: (Ringkasan) Hadits Kitab Shahih Muslim, 471.

(12)

merasa dirinya sebagai satu makhluk yang tersendiri dan beridentitas, berbeda dengan orang lain.32

Atas perbedaan yang ada. Maka, manusia sebagai tuan dari kemauannya, bebas menempuh cara apapun, tanpa batasan dan hambatan. Asalkan kebebasan orang lain tidak dipengaruhinya, dia boleh hidup sesukanya. Namun pandangan ini masih bersifat relatif.

Sebab, belum tentu menurut dia baik tapi menurut orang lain baik pula.

Kebebasan individu, menurut konsep Islam dan menurut konsep setiap sistem yang masuk akal, akan berhenti di mana ada kebebasan orang lain yang harus dihormati pula.

Konsep kebebasan menurut Islam ini tidak bertentangan dengan konsep kebebasan modern.

Kata, Hal serupa juga diungkapkan oleh filosof Inggris, Spencer, Ia berkata dalam mentakwilkan keadilan atau perbuatan adil. Yaitu: “Kita berbuat adil selama kebebasan kita yang praktis tidak melanggar kebebasan orang lain dan tidak bertentangan kepadanya”.

Paradigma Inedependensi Manusia Dalam Filsafat Pendidikan Islam

Paradigma Inedependensi(kebebasan) manusia adalah penegasan dari paradigma penyelamatan. Intinya adalah bahwa manusia diciptakan dengan citra Allah, artinya bebas dari segala bentuk dasar, namun karena kesombongan dan keserakahannya ia kehilangan kebebasannya, terkungkung dalam penjara dosa dan kegelapan.33Oleh karena kemurahan Allah SWT diutuslah Nabi akhir zaman yaitu Muhammad yang diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Paradigma ini tidak hanya sekedar arogansi yang tidak ada sumbernya, tapi merupakan hasil kajian hermeneutika atas teks-teks berkontekstual. Sumber-sumber teks itu adalah:

(1) Motto dari Revolusi Prancis: Liberty, eqality dan fraternity. (2) Ajaran berbagai agama: Penciptaan manusia pertama Adam dan Hawa (dalam agama Islam dan Kristiani), tata susunan masyarakat Islam (Islam), jihad terhadap jahiliyah Makkah dari Madinah (Islam), pembangunan pranata sosial, politik, hukum sosial, ekonomi (Islam), pembebasan Israel dari Mesir (Yahudi dan Kristiani), dan penyelenggaraan masyarakat (Kristiani). (3) Pancasila: Ketuhanan yang Maha Esa, pri kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial. (4) Kita dapat menurunkannya dan memberi makna baru dari religiositas tradisional, di sini sebagai contoh kami mengambil agama Kaharingan.

Dalam keagamaan Kaharingan dari suku-suku Dayak, khusunya Dayak Ngaju dari Kalimantan Tengah, kebebasan anak-anak bangsa diungkapkan dalam cita-cita kesurgaan yang biasanya didaraskan dalam upacara Tiwah, pengantaran arwah nenek moyang ke dalam rumah panggung surga.34

Di samping keempat sumber di atas, Sudrajat mengatakan sebagaimana dikutip oleh Ahmad Busyairi, juga membicarakan masalah kebebasan.Dikatakan, bahwa bersamaan dengan perubahan masyarakat dan penyebaran kekuasaan, problematika kebebasan berubah pula.35 Begitu pula semua gerakan-gerakan pembebasan akan merosot nilainya menjadi mekanisme bagi kepentingan sendiri, termasuk meraih dan memelihara kebebasan. Karena kebebasan tidak pernah boleh dipandang sebagai suatu kepastian.Karena itu kebebasan harus

32Omar Mohammad Al-Taoumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Ter. Hasan Langgulung (Jakarta:

Bulan Bintang, 1979), 149.

33Fr. Wahono Nitiprawira, Teologi Pembebasan..., XXVI.

34Ibid., XXVII.

35 Ahmad Busyairi, Tantangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: LPM UII, 1987), 40.

(13)

diraih kembali setiap hari setidaknya pada semua bangsa berkembang di mana kebebasan belum lagi menjadi warisan kebijakan.36

Maka dari keempat sumber di atas, paradigma kebasan dapat dikonstruksi bila didasarkan pada empat pilar yaitu; 1) Kemerdekaan, kemandirian manusia sebagai hamba Allah; 2) Kesadaran artinya bukan sekedar brother hood (persaudaraan atau kekeluargaan) terlebih adalah rasa hormat kepada pribadi lain dengan segala keunikan dan kemejemukannya; 3) Keadilan sosial (pencukupan syarat atau sarana kehidupan untuk setiap insan); 4) Kesatuan (cinta kemanusiaan).

Oleh karena itu, kebebasan merupakan salah satu bagian hak dasar setiap manusia, kebebasan untuk berfikir, berpendapat dan menyampaikan pendapat, kebebasan untuk aktualisasi diri dan untuk memiliki komunitas dan berorganisasi.Sehingga kebebasan tersebut perlu dilaksanakan dalam praktik kehidupan kita sesuai dengan aturan dan norma-norma sosial atau budaya yang ada serta berdasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan.Maka dari itu, kajian tentang makna, hakikat atau substansi kebebasan menjadi suatu hal yang sangat relevan, seiring dengan adanya gelombang kehidupan yang mengikat kebebasan manusia.

Sedangkan paradigma pendidikan Islam bertujuan untuk pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya. Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan terutama peserta didik untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal.Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran.Bahkan dalam paradigmapun terjadi pergeseran dari paradigma aktif- progresif menjadi pasif-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses 'isolasi diri' dan termarginalkan dari lingkungan di mana ia berada.

Dalam Al-Qur’an dijelaskan tentang dasar paradigma pendidikan Islam tersebut yang tertuang dalam surat Al-Hujurat ayat 1 yang artinya:

ِِلو ُس َر َو ِ ىللَّا ِي َدَي َ ْيَْب اوُم ِّدَقُت َلَ اوُنَمآ َنيِ ىلَّا اَ هيَُّأ َيَ

َو ۖ اوُقىتا ىنِإ ۚ َ ىللَّا يِلَع عيِ َسَ َ ىللَّا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.”

(Al-Hujurat:1)

Ayat di atas, mengisyaratkan bahwa paradigma pendidikan Islam adalah paradigma yang antroposintres-transindental.Jika pendidikan dihubungkan dengan kebebasan maka menurut M. Sastraatmadja --sebagaimana dikutip oleh Busyairi-- pendidikan bukan berarti

"Membiasakan" seseorang untuk perbuatan-perbuatan tertentu.Pendidikan yang otentik adalah pendidikan dalam kebebasan, yang memberikan kesempatan terhadap manusia (anak didik) seluas mungkin sehingga si terdidik dapat mensintesakan secara kaya.37Pendidikan adalah usaha untuk membina anak ke arah kesadaran kritis.Pemikiran kritis hanya dimungkinkan atas dasar kebebasan.

Dalam kerangka itulah, pendidikan Islam akan mampu mengikuti perubahan sosial masyarakat, sesuai dengan tuntutan zaman. Pendekatan paradigmatik dalam pendidikan Islam berfungsi untuk merangkum berbagai persoalan dan permasalahan dasar pendidikan Islam.

36Soedjatmoko (Terjemahan, Astraatmadja) Pembangunan dan Kebebasan (Jakarta: LP3ES, 1984), 113.

37Ach. Sayyi, Wasiat Pendidikan Sufistik..., 41.

(14)

Dalam hal ini, pengembangan paradigma pendidikan Islam dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan; a) Pendekatan pendidikan kecerdesan (intelektual); b) Pendekatan ilmu dan moralitas dalam pendidikan Islam; c) Profesionalisme dan sasaran pendidikan Islam; dan d) Penyelenggaraan pendidikan Islam.38

Dari gambaran paradigma pendidikan Islam di atas, terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga kembali bersifat aktif-progresif, yakni; Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifitas pendidikandi bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama, di mana tujuan tersebut adalah upaya menegakkan agama dan intinya mencari ridho Allah.

Kedua, adanya perimbangan (balance) antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan.Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan Islam adalah kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada kajian agama dan memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non-agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat.

Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal.Karena selama ini banyak sekali perdebatan dan perbedaan pendapat.Akhirnya tidak ada kesepakatan,hal inilah yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual.

Keempat, mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu, materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi yang applicable dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada.

Kumudian, satu faktor lain yang akan sangat membantu adalah adanya perhatian dan dukungan para pemimpin (pemerintah) atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya perhatian dan dukungan pemerintah akan mampu mempercepat penemuan kembali paradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan pendewasaan umat.

Konstruksi Independensi (Kebebasan) Manusia dalam Pendidikan Islam 1. Konstruksi Teologis

Agama Islam hadir untuk menyelamatkan, membela dan menghidupkan keadilan dalam bentuknya yang paling konkret. Dengan demikian ia juga bermakna sebagai pembebas, yaitu membebaskan manusia dari kondisi-kondisi ketidakadilan. Ini dapat dilihat dari begitu banyaknya ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk berbuat adil.39 Salah satunya

38 Abdul Munir Mulkhan, Paradigama Intelektual Muslim, (Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah) (Yogyakarta: Sipress, 1993), 241-243.

39 Lihat Ali Ashgar Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan.

(15)

terkandung dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 29 yang artinya: “Katakanlah: Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan”40 (Al-A’raf: 29).

Ayat di atas menegaskan bahwa Allah menyuruh untuk berbuat keadilan. Karena keadilan merupakan ukuran tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat.Tidak diragukan lagi, Islam telah menjadi penanda perubahan, bukan hanya dalam bidang teologi, namun juga dalam bidang sosial, ekonomi serta pendidikan.Namun demikian, setelah Nabi Muhammad SAW meninggal, terjadi perebutan kekuasaan yang berorientasi pada kepentingan pribadi.Kemudian tampillah orang-orang yang menginginkan status quo, sehingga Islam menjadi hilang daya revolusionernya sampai sedemikian jauh.Dan semenjak itu perhatian umat tercurah pada masalah-masalah teologi.Kondisi ini ditambah dengan persinggungan antara Islam dan ilmu pengetahuan Yunani, yang selain membawa sejumlah keuntungan, juga menimbulkan dampak negatif.Persinggungan dengan ilmu pengetahuan Yunani ini mengakibatkan kalangan elit Islam semakin bersemangat untuk melakukan intellectual exercise yang bersifat spekulatif.

Ajaran "Tauhid" sebagai salah satu kunci pokok keIslaman, dengan jelas menunjukkan bahwa tidak ada penghambaan atau penyembahan kecuali kepada Allah SWT, bebas dari belenggu kebendaan dan kerohanian. Dengan kata lain: seseorang yang telah mengikrarkan diri dengan "dua kalimah syahadah" berarti melepaskan dirinya dari belenggu dan subordinasi apapun.41

2. Konstruksi Empiris

Konstruksi kebebasan empiris, mengedepakan nilaidasar yang dikandung oleh kebebasan sebagai proses penyadaran yakni humanisme manusia melalui penyadaran intelektual atau nilai-nilai hakiki manusia yang ada dalam setiap orang. Dengan demikian tugas terpenting yang diemban pendidikan adalah menegaskan manusia akan nilai-nilai kemanusiaannya yang mentransedensikan mereka sendiri, yang selalu bergerak dan berjalan ke depan menyusuri kehidupan, serta mampu berdialog dengan realitas di luar dirinya.

Dalam menganalisis fenomena dialog manusia dengan dunianya kita menemukan sesuatu yang sangat penting menjadi substansi itu sendiri yaitu kata. Dalam dialog kata merupakan refleksi dan aksi dalam sebuah interaksi yang sedemikian radikal, sehingga jika seseorang mengorbankan dirinya, maka yang lain ikut merasakannya. Pendek kata, berbicara kata yang benar sama dan sebangun dengan menstranformasikan dunia.

Membaca dalam konteks memahami diri berarti menghilangkan kebodohannya, mencari pengetahuan yang mencerahkan. Ketika seseorang mampu menghilangkan kebodohan, maka muncul pertanyaan kritis tentang dirinya sendiri yang akan dijawab melalui proses penyadaran dan tranformasi pendidikan sepanjang hidupnya.

Dalam kondisi inilah, manusia secara teologis akan mampu mentransendensikan identitas dirinya dihadapan Tuhan, untuk selanjutnya mengenali siapa Tuhannya. Dalam prespektif ini, tugas penting yang pertama kali yang harus dilakukan dalam kaitannya dengan pendidikan adalah menghilangkan segala sesuatu yang menghambat proses pengenalan

40 Lihat Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Surat Al-A'raf: 29) (Semarang: CV. Wicaksana, 1994).

41 A. Syafi'i Ma'arif dkk, Pendidikan Islam di Indonesia,(Antara Cita dan Fakta) (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991), 31.

(16)

dirinya melalui kegiatan baca tulis. Karena berawal dari baca tulis, seseorang akan mampu menaklukkan dirinya dan dunianya.42

Konstruksi Independensi(Kebebasan) Manusia dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam

Pada tahun 1960-an dan 1970-an dinegara-negara yang selama ini terdera oleh penjajahan dan penindasan dengan segala bentuk dan menifestasinya. Muncul kecenderungan baru untuk memberontak terhadap otoritas atau rezim yang membelenggu.Di dalam pendidikanpun tampil usaha-usaha untuk menjadikannya sebagai sarana untuk mencerdaskan manusia. Manusia yang cerdas akan semakin menyadari keberadaannya yang akhirnya akan menimbulkan kesadaran dan keberanian untuk melawan segala bentuk penindasan.

Persoalan di atas merupakan persoalan yang dialami oleh dunia pendidikan, merupakan hal yang wajar jika kemudian orang menengok pada sistem pendidikan alternative.Ada banyak pemikir pendidikan alternative yang sering dirujuk, salah satu yang popular adalah Paulo Freire.43 Masalah pendidikan yang dikaitkan dengan paradigma kebebasan pada masa kontemporer ini, mula-mula terlontar dari pemikir Katholik di Amerika Latin, oleh karena gagasan-gagasan mereka dirangkai dalam alur pemikiran yang sistematis dan mendunia, akhirnya umat Islam terkena dampaknya.Ini tidak berarti bahwa ajaran Al-Qur'an tidak menjumpai gagasan-gagasan radikal revolusioner untuk kerja merubah wajah kenyataan.

Fenomena ini adalah bagian dari kemandulan intelektual kita dalam kurun waktu yang cukup panjang. Akibatnya adalah kita masih saja berada dalam posisi sebagai umat

"konsumen" terhadap gagasan-gagasan intelektual pihak lain. Kenyataan ini harus kita akui secara jujur, tetapi posisi ini tidak sesuai sama sekali dengan keagungan Al-Qur'an. Oleh karena itu, posisi subordinat secara intelektual ini, harus secepatnya dirubah melalui

"bengkel-bengkel" kerja intelektual yang bernilai strategis untuk memenangkan masa depan.

Pendidikan pada umumnya dan khususnya pendidikan Islam, tujuannya tidaklah sekedar proses alih budaya atau alih ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga sekaligus sebagai proses nilai-nilai: ajaran Islam (transfer of value). Tujuan pendidikan Islam menjadikan manusia yang bertaqwa; manusia yang dapat mencapai al-Fallah, kesuksesan hidup yang abadi; dunia dan akhirat,44 inilah yang membedakan manusia dengan hewan.

Pandangan klasik tentang pendidikan, pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat menjalankan tiga fungsi sekaligus; Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat di masa datang.Kedua, mentransfer pengetahuan sesuai peranan yang diharapkan.Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban.45Dengan demikian, pendidikan dapat menjadi helper bagi umat manusia.

42 Ibid., \42.

43 Paulo Freire adalah insan pendidikan radikal, lahir pada 19 September 1921 di kota Relife Brasil, meninggal 2 Mei 1997, di Saopaulo Brasil. Karyanya yang banyak memberikan inspirasi pada konsepsi pendidikan alternative yang dikembangkan adalah Paedaqoqy Of Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas), lihat Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Terj. Utomo Danandjaja (Jakarta: LP3ES: 1985).

44 Muhaimin –Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya) (Bandung: Tri Genda Karya, 1993).

45 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Bandung: Al- Ma'arif 1980), 92.

(17)

Konsepsi pendidikan model Islam, tidak hanya melihat bahwa pendidikan itu sebagai upaya "mencerdaskan" semata (pendidikan intelek, kecerdasan), melainkan sejalan dengan konsepsi Islam tentang manusia dan hakekat eksistensinya.46Pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan Barat Sekuler, karena pendidikan Islam tidak hanya didasarkan atas hasil pemikiran manusia dalam menuju kemaslahatan umum atau humanisme universal.Pendidikan Islam pada akhirnya bermuara pada pembentukan manusia sesuai dengan kodratnya yang mencakup imanensi dan dimensi transendensi.47

Konsepsi Islam tentang pembebasan sesuai dengan misi nabi Muhammad, tauhid sebagai misi ajaran Islam jelas menunjukkan bahwa tidak ada penghambaan atau penyembahan kecuali kepada Tuhan Yang Maha Esa, bebas dari belenggu kebendaan dan kerohanian.48 Dengan demikian tujuan pendidikan, adalah peningkatan kesadaran dan kemerdekaan manusia baik mental maupun fisik untuk dapat mengendalikan diri sendiri, kehidupan dan lingkungan.49

Dengan kata lain, dalam menghadapi kehidupan, sesuai dengan perkembangan zaman, belajar secara kreatif, kritis dan reflektif adalah kebutuhan setiap manusia. Pendidikan yang mengutamakan penerimaan informasi secara pasif akan membuat manusia terbelenggu oleh keadaan, tak dapat berdialog dengan dunia informasi yang harus dimanfaatkan untuk kehidupan dan menjadi tergantung.

Cara belajar demikian bisa disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).Ini merupakan reorientasi dalam pendidikan dan pengajaran yang bersifat doktriner. Untuk memperhatikan hal tersebut, coba perhatikan sejarah lahirnya konsep pendidikan alternatif di negara-negara Amerika Latin yang dipelopori oleh Ivan Illich, Erich Fromm, Paulo Freire, yang pada umumnya lebih banyak didorong oleh praktek pendidikan yang dinilai membelenggu manusia.

Paulo Freire dengan lantang mengkritik pendidikan "gaya bank" yang menceminkan masyarakat tertindas secara keseluruhan, yang menunjukkan kontradiksi; 1) Guru mengajar, murid belajar; 2) Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa; 3) Guru berpikir murid dipikirkan; 4) Guru bercerita, murid mendengarkan; 5) Guru mengatur, murid diatur; 6) Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui; 7) Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya; 8) Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan dengan isi pelajarannya; 9) Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu dan jabatan untuk menghalangi kebebasan murid; dan 10) Guru adalah subyek, murid adalah obyek.50

Dilihat dari prespektif ini pendidikan menuju kebebasan berarti pembebasan kaum miskin dan kaum lemah secara sosial dari struktur sosial yang usang dan menindas.Sedangkan Pendidikan Islam tujuan akhirnya adalah taqwa.Kebebasan disini dibatasi oleh hukum dan ajaran yang ditentuka Allah.Manusia yang diidamkan Islam adalah yang cerdas, trampil, mampu berpikir secara kritis.

46 Lihat Footnote, No. 18.

47 A. Syafi'i Ma'arif, Pendidikan Islam di Indonesia,(Antara Cita dan Fakta) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), 31.

48 Ibid., 31.

49Ahmad Busyairi dan Azharuddin Sahlil, Tantangan Pendidikan Islam.., 33.

50 Paulo Freire, Politik Pendidikan (Kebudayaan, Kekerasaan, dan Pembebasan), Terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Offset, 2004), XI.

(18)

Kembali pada masalah kebebasan dan pendidikan, harus pula dilihat dari beberapa syarat yang dikemukakan Mulyono Ganda Diputra, untuk membuat orang berpikir dan bertindak secara bebas diperlukan tiga syarat; a) Pengenalan diri, lingkungan; b) Peningkatan kecerdasan; dan c) Kesalarasan dengan kehidupan kemasyarakatan.51

Dalam mengimplimentasikan syarat tersebut, dapat dilakukan dengan berbagai cara dalam pengajaran (proses belajar mengajar) yang menitik beratkan pada; (1) Tekanan pada segi ketuhanan; (2) Sempurna dan lengkap; (3) Keserasian dan keseimbangan; (4) Kreatif dan bersifat konstruktif; (5) Persaudaraan dan kesetiakawanan; (6) Beridentitas dan berdedikasi.52

Itulah diskripsi tentang konstruksi Independensi (kebebasan) dan implikasinya dalam pendidikan Islam.Secara praktis kebebasan belum dirumuskan secara jelas.Namun secara filosofis kebebasan merupakan kebutuhan yang mendasar bagi manusia dalam mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Dalam hal ini pendidikan Islam harus mampu menghantarkan manusia pada kesadaran akan eksistensi dan tujuan hidupnya. Sebab pada era sekarang (Globalisasi) manusia telah mengalami rasa kurang aman dan bahkan bingung akan kemajuan yang antroposentris, rasionalis, materislis dan kapitalis yang tidak berdasar pada spiritualitas. Pada akhirnya pendidikan Islam menawarkan sebuah tatanan baru -selain kebebasan sebagai kebutuhan dasar- yaitu pendidikan yang berparadigma Antroposentrisme Transendental.

Penutup

Kesimpulan dari hasil paparan temuan dalam penelitian ini dapat teruraikan sebagai berikut; Pertama, independensi adalah “fitrah” manusia untuk hidup dengan bebas merdeka yang merupakan salah satu keinginan insani yang amat mendasar.Independensi merupakan sebuah keniscaan.Tanpanya, manusia tidak memiliki kesempatan untuk berlomba dalam hal kebaikan yang harus dipertanggungjawabkan kelak sesuai dengan amal perbuatannya.Kebebasan individu merupakan penghormatan atas individu lainnya dalam mengurai beragam petunjuk jalan keselamatan.Jadi independensi manusia itu adalah suatu kemerdekaan dan pembebasan dari belenggu kebendaan dan kerohanian yang merupakan penindasan struktural maupun kultural, baik politik, hukum, ekonomi juga pendidikan.

Kedua, Konstruksi independensi manusia dalam persepektif dan implikasinya dalam pendidikan Islam adalah kajian filosofis tentang independensi manusia, batas-batasnya, dan prinsip-prinsipnya yang mengarah kepada betapa pentingnya kebutuhan manusia terhadap kebebasan itu sendiri yang dijadikan paradigma Islam untuk meningkatkan potensi yang dimiliki oleh manusia.Secara keseluruhan adalah usaha untuk menumbuhkan suasana yang kritis, kreatif dan konstruktif dalam mengembangkan potensi manusia dalam menghadapi tantangan zaman.

Daftar Rujukan

Al-Bani, M. Nasiruddin. Mukhtasar Shahih Muslim: (Ringkasan) Hadits Kitab Shahih Muslim.

51 Ahmad Busyairi dan Azharuddin Sahlil, Tantangan Pendidikan Islam..., 38.

52A. Syafi'i Ma'arif, Pendidikan Islam di Indonesia..., 38.

(19)

Al-Hamdi, Ridho. Selamat Datang Kebebasan, Dalam Ali Usman, Kebebasan Dalam Perbincangan Filsafat, Pendidikan dan Agama, Yogyakarta: Pilar Media, 2006.

al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Taoumy. Falsafah Pendidikan Islam, Ter. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Ash-Shadar, Syahid Muhammad Baqir. Keunggulan Ekonomi Islam (Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka Pemikiran Ekonomi Islam), Jakarta: Pustaka Zahra, 2002.

Asy’ary, Musa. Menggagas Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan, Yogyakarta: LESFI, 2002.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Bizawir, Zainal Milal. Perlawanan Kultural Agama rakyat, Pemikiran Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutakallim Dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (1645-1740), Yogyakarta:

SAMHA, 2001.

Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Surat Al-A'raf: 29), Semarang: CV. Wicaksana, 1994.

Engineer, Ali Ashgar. Islam dan Teologi Pembebasan.

Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas, Terj, Utomo Panandjaja, Jakarta: LP3ES, 1985.

_____, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Terjemahan AA. Nugroho, Jakarta:

Gramedia, 1984.

_____, Politik Pendidikan(Kebudayaan, Kekerasaan, dan Pembebasan), Terj. Agung Prihantoro, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Offset, 2004.

Gunanto, Manusia dan Pendidikan Islam (Telaah Hakekat, Manusia dan Realisasinya Terhadap Proses Pendidikan Islam), Skripsi: Tulungagung, STAIN Tulungagung, 2003.

Hilmi, Masdar. Pendidikan Digugat (Mempertanyakan Peran Pendidikan dalam Proses Transformasi Sosial), Makalah dalam Pekan Komunikasi Mahasiswa Tarbiyah Indonesia (FKMTI) Wilayah V Daerah I, NMJ Tarbiyah STAIN Tulungagung, 16 Oktober 2000.

Kleden, Iqnas. Dalam Soedjatmoko, Etika Pembebasan, Jakarta: LP3ES, 1984.

Langgulung, Hasan. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung: PT. al- Ma’arif, 1980.

Ma’arif, A. Syafi’i. Pendidikan Islam di Indonesia (Antara Cita dan Fakta), Yogyakarta: PT.

Tiara Wacana, 1991.

Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT. Al-Ma’arif, III/1974.

Mujib, Muhaimin-Abdul. Pemikiran Pendidikan Islam, (Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya), Bandung: Tri Genda Karya, 1993.

Mulkhan, Abdul Munir. Paradigama Intelektual Muslim,(Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah), Yogyakarta: Sipress, 1993.

Murtiningsih, Siti. Pendidikan Alat Perlawanan, (Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire), Yogyakarta: Resist Book, 2004.

Muzaffar, Chandra. Hak Asasi Manusia Dalam Tata Dunia Baru Menggugat Dominasi Global Barat, Bandung: PT Ma’arif, 1995.

(20)

Nitiprawiro, Fr. Wahono. Teologi Pembebasan (Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya), Yogyakarta: LKis, 2000.

Sahlil, Ahmad Busyairi dan Azharuddin. Tantangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: LPM:

UII, 1997.

Sayyi, Ach.,Wasiat Pendidikan Sufistik dalam Naskah Tanbih Mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah Suryalaya “Tela’ah Pemikiran Guru Mursyid TQN Suryalaya”, Pamekasan: Jurnal Fikrotuna vol. 05, No. 01 Juli 2017.

Soedjatmoko (Terjemahan, Astraatmadja) Pembangunan dan Kebebasan, Jakarta: LP3ES, 1984.

Umari, Akram Dhiyauddin. (terj. S. Riyanto dan Arifin), Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Referensi

Dokumen terkait

Dari nilai absolute parameter teknik sebagai pedoman utama dan interaksi diantara parameter teknik maka dapat ditentukan parameter mana yang menjadi prioritas untuk

Dari berbagai potensi wisata yang ada di Kota Pekalongan dipilihlah potensi wisata sejarah di Kota Pekalongan, karena seperti yang diketahui bahwa batik Pekalongan

Hasil triwulan 2 tahun 2011 nilai CAR dari saham winner untuk semua bulan bernilai positif dengan nilai CAR pada akhir periode triwulan atau pada bulan ke-3 sebesar 0,39% dan

Simpan di dalam bekas asal atau bekas lain yang diluluskan yang diperbuat daripada bahan yang sesuai, tutup ketat apabila tidak digunakan.. Simpan dan guna jauh daripada

Pemahaman di atas menunjukkan bahwa dalam kegiatan pembelajaran, diperlukan guru yang kreatif dan mempunyai kepekaan tehadap perkembangan lingkungan, sehingga mampu

Sifat pandai mengendalikan emosi seperti kalimat “ (ucap pasrah Dwi lalu pergi dengan mengelus dada dengan sikap Mayang dan Shinta yang selalu besikap tidak baik terhadap

Jika proposal hibah yang layak sudah diterima, satu atau lebih pemberian hibah akan dilakukan dalam waktu 14 hari kerja sejak rapat PAC dengan syarat penerima hibah menyerahkan

Dari upaya yang dilakukan oleh prospero, kinara dan sejahtera sangat berkaitan dengan empat elemen dalam social entrepreneurship, yaitu pertama social value yang