Plagiarism Checker X Originality Report
Similarity Found: 18%
Date: Tuesday, September 01, 2020
Statistics: 5151 words Plagiarized / 31218 Total words
Remarks: Low Plagiarism Detected - Your Document needs Critical Improvement.
--- KATA PENGANTAR Puji syukur alhamdullillah penulis panjatkan kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan buku bahan ajar bimbingan dan konseling ini. Penulis berharap semoga bisa berguna khususnya bagi mahasiswa dan guru bimbingan konseling untuk menambah referensi pengetahuan guru BK dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling di sekolah, pada aspek pribadi, sosial, belajar maupun masalah yang tekait dengan pilihan karir.
Buku bahan ajar ini disusun berdasarkan hasil risert di satuan pendidikan tingkat SMA Negeri se kota Metro Lampung, terhadap kompetensi Guru BK/Konselor sekolah dalam membantu penanganan masalah peserta didik, khususnya melalui layanan konseling individual atau konseling perorangan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu sehingga bahan ajar ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Dengan disusunnya bahan ajar ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dalam merancang dan melaksanakan pelayanan konseling, khususnya konseling perorangan dalam membantu pengentasan masalah peserta didik yang dapat mengganggu pembelajaran di sekolah maupun perkembangan kehidupannya. Selain itu, juga dapat menambah referensi bagi guru bimbingan dan konseling dalam menggunakan teori maupun teknik-teknik pada proses pelayanan konseling kepada peseta didik.
Buku bahan ajar ini tentu saja masih jauh dari sempurna dan memungkinkan untuk bisa di kembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi perkembangan di lapangan dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip bimbingan dan konseling yang ada. Kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penyususnan modul ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI iii BAB 1 PENDAHULUAN 1 Konselor 2 Peran dan Fungsi Konselor 3 Klien 6 Membangun Hubungan Konselor-Klien yang Efektif 7 Tujuan Konseling 13 Ciri-Ciri Konseling 18 BAB 2 KONSELING EFEKTIF 22 Konsep Konseling 22 Indikator Konseling Efektif 24 Komunikasi Sebagai Dasar
Pelaksanaan Konseling Efektif 36 Komunikasi Sebagai Landasan Keterampilan Konseling 37 Upaya Mencapai Konseling Efektif 40 BAB 3 KOPETENSI KONSELOR 50 Konsep Konselor 51 Indikator Kompetensi Konselor 57 Kualitas Kepribadian Konselor Efektif 64 Menjaga Efektivitas Sebagai Konselor 68 Pelayanan Konselor Efektif 70 Spesialis
Konseling 84 BAB 4 PENILAIAN KONSELING 93 Komponen Penilaian Konseling 94 Teknik Penilaian Konseling 98 Fungsi Penilaian dalam Menunjang Efektivitas Konseling 99 Tindak Lanjut 101 Kualitas Penilaian Konseling 102 DAFTAR PUSTAKA 106 LAMPIRAN RENCANA PELAKSANAAN LAYANAN 108
BAB 1
PENDAHULUAN K eterampilan dasar dalam konseling merupakan hal yang paling utama dalam pelaksanaan dasar-dasar proses konseling.
Dalam pelaksanaan konseling itu membutuhkan keahlian dan keterampilan dalam proses kegiatan pelaksanaan konseling. Dari menggunakan sebuah teknik dalam
konseling sampai dengan berbagai pendekatan atau teori yang digunakan dalam proses konseling tersebut. Melalui pelayanan profesional konseling memang harus
dilaksanakan oleh orang yang sudah profesional dan terlatih dalam pelaksanaan layanan konseling.
Karena apabila proses konseling ini tidak sesuai atau ditangani oleh konselor yang tidak profesional maka akan terjadi mal praktik dalam konseling. Penulis memberikan arahan bahwa pelaksanaan konseling tersebut jangan dilakukan secara benar dan profesional agar tidak terjadi kesalahan dalam pelaksaan proses pemberian layanan konseling.
Tuntutan yang tinggi akan akuntabilitas konselor dalam menjalankan profesinya hendaknya disikapi secara positif sebagai bentuk kepedulian masyarakat terhadap profesi konselor atau guru Bimbingan dan Konseling. Oleh karena itu, untuk mencapai akuntabilitas yang baik, konselor harus selalu melakukan evaluasi dan penilaian hasil kerja yang telah dilakukan, yaitu penilaian hasil konseling.
Kami selain mebuat buku ajar yang dipergunakan untuk mempermudah pembelajaran dasar dalam pelaksanaan konseling ini di lengkapi juga dengan Modul Keterampilan Dasar Konseling dan Juga Panduan Menyusun Instrumen Penilaian Hasil Konseling yang dibuat secara terpisah untuk membuat pembaca lebih fokus dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dalam proses pelaksanaan konseling.
Ini juga digunakan kepada Guru BK, Keterampilan dasar konseling merupakan keterampilan guru bimbingan konseling (BK) dalam menangkap atau merespon pernyataan peserta didik dan mengkomunikasikannya kembali kepada peserta didik.
Dalam melaksanakan layanan konseling individu, guru BK harus mampu menerapkan dan menguasai keterampilan dasar konseling karena dapat sedikit banyak menjamin keberlangsungan suatu proses konseling untuk mencapai tujuan konseling.
Dan poin terpenting dalam proses konseling ini adalah memandirikan klien/ konseli/
peserta didik yang memiliki masalah, sehingga dia memiliki pemecahan masalah secara mandiri (Self Problem Solving). KONSELOR Konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses konselig. Sebagai pihak yang paling memahami dasar dan teknik
konseling secara luas, konselor dalam menjalankan peranya bertindak sebagai
dfasilitator bagi klien.
Selain itu, konselor juga bertindak sebagai penasihat, guru, konsultan yang
mendampingi klien sampai klien dapat menemukan dan mengatasi masalah yang dihadapinya (Lesmana, 2005). Maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa konselor adalah tenaga profesional yang sangat berarti bagi klien. Dalam melakukan proses konseling, seorang konselor harus dapat menerima kondisi klien apa adanya.
Konselor harus dapat menciptakan suasana yang kondusif saat proses konseling berlangsung. Posisi konselor sebagai pihak yang membantuk, menempatkannya pada posisi yang benar-benar dapat memahami dengan baik permasalahan yg dihadapi klien.
Setiap konselor pada masing-masing pendekatan teknik konseling yang digunakannya memiliki karakteristik dan peran yang berbeda-beda.
Hal inin tergantung dari dari konsep pendiri teori yang dihadikan landasan berpijak.
Misalnya, pada konselor yang menggunakan pendekatan behavioristik, konselor berperan sebagai fasilitator bagi klien. Hal tersebut tidak berlaku bagi konseling yang menggunakan pendekatan humanistis dimana peran konselor bersifat holistis.
PERAN DAN FUNGSI KONSELOR Peran dan fungsi dalam pembahasan kali ini sengaja ditulis terpisah untuk memperjelas kedudukan konselor dalam peran dan fungsinya. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Baruth dan Robinson Ill (dikutip dari Lesmana, 2005) yang omemisahkan dua pengertian itu. Peran (role) didefinisikan
sebagai the interaction of expectations about a "position" and perceptions of the actual person in that position.
Dari definisi yang dikemukakan oleh Baruth dan Robinson Ill tersebut, dapat diartikan bahwa peran adalah apa yang diharapkan dari posisi yang dijalani seorang konselor dan persepsi dari orang lain terhadap posisi konselor tersebut. Misalnya, seorang konselor harus memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah klien. Sementara fungsi (function) didefinisikan sebagai what the individual does in the way of specific activity (hlm. 143).
Dari definisi tersebut, dapat diartikan bahwa fungsi adalah hal-hal yang harus dilakukan seorang konselor dalam menjalani profesinya. Misalnya, seorang konselor harusmampu melakukan wawancara, mampu memimpin kelompok pelatihan dan melakukan
asscssment atau diagnosis. Corey (2009) menyatakan bahwa tidak ada satu pun jawaban sederhana yang mampu menerangkan bagaimana sebenarnya peran konselor yang layak.
Ada beberapa faktor yang diperhitungkan dalam menentukan peran konselor, yaitu: tipe pendekatan konseling yang di gunakan, karakteristik kepribadian konselor, taraf latihan, klien yang dilayani, dan setling konseling. Lebih lanjut, Corey (2009) menyatakan bahwa fungsi utama dari seorang konselor adalah membantu klien menyadari
kekuatan-kekuatan mereka sendiri, menemukan hal-hal apa yang merintangi mereka menemukan kekuatan tersebut, dan memperjelas pribadi seperti apa yang mereka harapkan.
la tidak percaya bahwa pemecahan masalah adalah fungsi dari sebuah proses konseling.
la juga menekankan bahwa tugas konselor adalah ganda. Di satu sisi, konselor perlu memberi dukungan dan kehangatan, tetapi di sisi lain konselor perlu menantang dan berkonfrontasi dengan klien. Corey (2009) menambahkan, bahwa fungsi yang esensial dari konselor adalah memberikan umpan balik yang jujur dan langsung kepada klien.
Seperti bagaimana konselor mempersepsi klien, perasaan konselor terhadap klien dan lain sebagainya.Sementara itu, Baruth dan Robinson III (dikutip dari Lesmana, 2005) mendefinisikan peran konselor adalah peran yang inheren ada dan disandang oleh seseorang yang berfungsi sebagai konselor. Elemen-elemennya dapat saja berbeda. Hal ini tergantung dari setting atau institusi tempat konselor bekerja, akan tetapi peran dan fungsinya sama.
Selanjutnya, mereka menambahkan bahwa konselor memiliki lima peran generik, yaitu:
sebagai konselor, sebagai konsultan, sebagai agen pengubah, sebagai agen prevensi primer dan terakhir sebagai manajer. Lesmana (2005, hlm. 92-93) telah membuat sebuah tabel yang diadaptasi dari tulisan Baruth dan Robinson III untuk membuat perbedaan antara peran dan fungsi konselor.
Berikut ini adalah tabel yang dimaksud:
Tabel 1.1
Peran Konselor Sebagai Konselor _Sebagai Konsultan _Sebagai Agen Perubahan
_Sebagai Agen Prevensi _Sebagai Manager _ _Untuk mencapai sasaran intrapersonal dan interpersonal Mengatasi divisit pribadi dan kesulitan perkembangan Membuat
keputusan dan memikirkan rencana tindak untuk perubahan dan pertumbuhan
Meningkatkan kesehatan dan kesejatrahan _Agar mampu bekerja sama dengan orang lain yang memengaruhi kesehatan mental klien.
Misalnya: supervisor, orang tua, commanding office, eksekutif perusahaan (atau siapa saja yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan dari kelompok klien premier).
_Mempunyai dampak/pengaruh atas lingkunngan untuk meningkatkan berfungsinya klien (asumsi keseluruhan lingkungan dimana klien harus berfungsi mempunyai dampak pada kesehatan mental) _Mencegah kesulitan dalam perkembangan dan coping
sebelum terjadi (penekanan pada: strategi pendidikan dan pelatihan sebagai sarana untuk memperoleh keterampilan coping yang meningkatkan fungsi interpersonal _Untuk mengelola program pelayanan multifaset yang berharap dapat memenuhi berbagai macam ekspektasi peran seperti yang sudah dideskripsikan sebelumnya ke fungsi administratif _ _Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik (2011, hlm.33) Tabel 1.2
Fungsi Konselor Sebagai Konselor _Sebagai Konsultan _Sebagai Agen Perubahan _Sebagai Agen Prevensi _Sebagai Manager _ _Assessment Evaluasi Diagnosis Rujukan Wawancara individual Wawancara kelompok _Assessment Memimpin kelompok pelatihan Ruukan Membuat skedul Interprestasi tes _Analisis sistem Testing Evaluasi Perencanaan program Hubungan masyarakat Konsultasi Advokasi klien Aksi politik networking _Mengajar kelompok edukasi orangtua Memimpin kelompok pelatihan, misalnya keterampilan interpersonal Merencanakan panduan untuk pembuatan keputusan pribadi dan keterampilan pemecahan masalah.
_Membuat skedul Testing Riset Perencanaan Assessment kebutuhan Mengembangkan survey dan/atau kuesioner Mengelola tempat Menyusun, menyimpan data dan material _ _Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik (2011, hlm.33)
KLIEN Apabila konselor adalah pihak yang membantu dalam proses konseling, maka klien bertindak sebaliknya yaitu sebagai pihak yang dibantu.
Walaupun terkadang masalah yang harus ditangani seorang konselor adalah sama, tapi tetap saja memunculkan reaksi yang berbeda dari masing-masing klien. Untuk itulah diperlukan pemahaman tentang klien yang sebenarnya. Dalam hal ini, Willlis (2009) mendefinisikan klien adalah setiap individu yang diberikan bantuan profesional oleh seorang konselor atas permintaan dirinya sendiri atau orang lain.
Pengertian yang hampir sama juga diungkapkan oleh Rogers (dikutip dari Latipun, 2001) yang mengartikan klien sebagai individu yang datang kepada konselor dalam keadaan cemas dan tidak kongruensi. Keterangan-keterangan dari beberapa literatur
menyebutkan bahwa kehadiran klien untuk menjalani proses konseling bukanlah tanpa alasan. Ada kebutuhan, harapan mendesak, dan menemukan jalanbuntu, sehingga klien sadar bahwa ia membutuhkan bantuan profesional untuk menangani masalahnya.
Pada prinsipnya, klien yang datang kepada konselor atas keinginannya sendiri lebih memiliki harapan keberhasilan proses konseling yang akan dijalani. Harapan ini diungkapkan Willis (2009) berupa harapan untuk tumbuh, berkembang, produktif, kreatif, dan mandiri. Tetapi, adakalanya kehadiran klien dalam konseling bukanlah atas keinginannya sendiri.
Bahkan klien tidak sadar bahwa ia memiliki masalah dan menolak menemui konselor, pada awalnya karena ketakutan dianggap memiliki gangguan kepribadian. Untuk
menyikapi hal ini, pihak keluarga sebagai bagian terdekat dalam hidup klien seharusnya tanggap dan berusaha menyadarkan klien bahwa konseling adalah cara yang paling tepat untuk mengeluarkannya dari permasalahan. Menghadapi klien yang gigih untuk tidak mendapatkan bantuan konselor bukanlah hal yang gampang.
Maka, lagi-lagi penulis sampaikan bahwa pihak keluargalah yang paling berhak untuk memberikan pemahaman pada klien arti pentingnya konseling dalam mengatasi masalah klien. MEMBANGUN HUBUNGAN KONSELOR-KLIEN YANG EFEKTIF Konselor dan klien adalah unsur-unsur yang terdapat dalam konseling selain konseling itu sendiri.
Membangun hubungan diantara keduanya adalah dasar terbentuknya konseling yang efektif.
Konselor dan klien sama-sama dapat menyadari peran dan fungsinya hingga bertingkah laku sesuai dengan peran dan fungsi tersebut. Bagaimanapun, apabila salah satu pihak enggan bekerja sama, proses konseling akan berjalan pincang. Hal yang perlu diketahui konselor adalah sikap bersedia atau menolak seorang klien untuk digali
permasalahannya dipengaruhi oleh bagaimana hubungan yang terjalin dalam konseling.
Selain ilu, hubungan konseling yang efektif juga melibatkan bagaimana karakteristik konselor-klien, seperti yang diungkapkan oleh Corey (2009) sebagai berikut: Seorang konselor harus memiliki tingkat perhatian Yang tinggi, memiliki minat dan kemampuan dalam membantu klien, dan ketulusan dalam membantu. Sementara seorang klien harus memiliki motivasi, minat, perhatian, persepsi, pengharapan, dan kerja sama yang baik dengan konselor.
Hubungan konseling antara konselor dan klien adalah hubungan yang bersifat profesional. Bentuk hubungan konseling tersebut dapat pula dikembangkan pada berbagai profesi dan hubungan daÎam kehidupan, seperti kedokteran, perusahaan, sekolah, dan pelatih. Hal ini dapat digambarkan dalam bagan yang dibuat Willis (2009) seperti berikut: Gambar 1.3
Hubungan Konseling dalam Berbagai Setting Hubungan konseling dalam berbagai setting tersebut menunjukan bahwa adanya kebutuhan dan keterkaitan dalam setiap aspek kehidupan. Hubungan yang tercipta pada hakikatnya memiliki tujuan
masing-masing. Hal ini tergantung pada apa dan siapa yang menjadi topik konseling.
Tetapi pada prinsipnya, hubungan konseling yang melibatkan konselor adalah satu-satunya bentuk hubungan konseling yang profesional.
Berikut ini adalah bagan Okun (dikutip dari Willis, 2009) yang menggambarkan bentuk hubungan konseling tersebut: Gambar 1.4 Hubungan Konseling Bagan tersebut
memperlihatkan kehadiran klien atas kemauannya sendiri untuk meminta bantuan. Akan tetapi jika kehadiran klien atas dorongan orang lain, maka konselor harus menciptakan kondisi yang membuat klien mau terlibat secara afeksi dan kognitif pada proses
konseling. Untuk membangun hubungan konseling yang efektif, dibutuhkan keterbukaan klien yang memudahkan konselor menggali permasalahannya.
untuk mencapai keterbukaan itu, sikap dan keahliañ konselor memegang peranan penting. Sifat-sifat tersebut meliputi empati, jujur, asli, toleransi, respek, menerima, dan komitmen terhadap hubungan konseling. Selain itu, George dan Cristiani (dikutip dari Latipun, 2001) menyebutkan enam karakteristik hubungan konseling yaitu afeksi, intensitas, pertumbuhan dan perubahan, privasi, dorongan, dan kejujuran.
keenam karakteritik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Afeksi Hubungan yang terjalin dalam proses konseling lebih banyak melibatkan aspek afeksi daripada aspek kognitif. Hubungan afeksi akan terlihat di sepanjang proses konseling. Hubungan afeksi yang baik akan menciptakan rasa aman pada klien untuk menceritakan permasalahannya pada konselor, sehingga proses konseling berlangsung prodüktif.
Intensitas Intensitas hubungan antara konselor dan klien akan menjadikan klien leluasa membagi pengalaman masalahnya pada konselor. Tanpa adanya intentsitas hubungan antara konselor dan klien, klien akan tetap bersikap defensif terhadap konselor. Untuk itulah, konselor harus mengupayakan agar hubungannya dengan klien dapat terjalin secara mendalam. Pertumbuhan dan Perubahan Hubungan konseling bersifat dinamis.
Akan tetap terjadi pertumbuhan dan perubahan dalam prosesnya. Seorang konselor harus menjadikan hubungan yang telah terjalin terus-menerus mengalami kemajuan.
Dengan demikian, Klien akan belajar unluk memahami dirinya dan orang lain sekaligus bertanggung jawab mengembangkan dirinya sendiri. Privasi Dalam proses konseling, Klien akan mengungkapkan permasalahannya pada konselor.
Ada hal-hal memalukan dan dianggap tidak menyenangkan bagi klien yang bersifat rahasia. Konselor wajib menjaga kerahasiaan tersebut. Perlindungan dan jaminan kerahasiaan inilah yang akan membuat klien bersikap terbuka pada konselor sehingga memperlancar proses konseling. Dorongan/ Konselor yang efektif harus senantiasa memotivasi Kliennya agar berani mengambil tindakan positif yang dapat
mengembangkan dirinya dan mengeluarkannya dari masalah. Dorongan ini akan menciptakan semangat bagi Klien untuk mengubah perilakunya dan Siap untuk menerima risiko dari keputusan yang telah diambilnya.
Kejujuran Kejujuran adalah syarat membangun hubungan yang efektifantara konselor dan klien. Kebohongan yang ditimbulkan di antara keduanya akan menimbulkan perasaan tertipu dan menjauhkan rasa kepercayaan. Konseling akan berakhir sia-sia karena masingmasing pihak tidak saling terbuka dan menutupi kelemahan pada diri masing-masing.
Membangun hubungan konseling bukanlah pekerjaan yang mudah. Beberapa konselor bahkan mengalami banyak hambatan untuk melahirkan hubungan yang efektif tersebut.
Untuk itu, Willis (2009) mengemukakan beberapa hal yang harus dipelihara dalam hubungan konseling yang harus diketahui konselor, yakni: Kehangatan, hal ini akan menjadikan konseling tidak berlangsung dengan kaku dan formal. Ada rasa
persahabatan dan semangat yang terbentuk bila terjadi kehangatan dalam konseling.
Hubungan yang empati, yaitu konselor dapat merasakan apa yang dirasakan klien serta memahami diri dan masalah yang dihadapi Klien. Keterlibatan klien, hal ini sangat ditentukan keterbukaan klien di hadapan koselor. Konselor harus meyakinkan klien agar jujur mengemukakan masalah, perasaan, dan harapan yang ingin dicapainya dalam konseling.
Berikut ini penulis sajikan bentuk-bentuk hubungan konselorklien yang efektif berdasarkan masing-masing pendekatan konseling adaptasi tulisan Corey (2009).
Pendekatan Psikoanalisis Konselor membuat klien mengembangkan proyeksi terhadap konselor. Selanjutnya, konselor berfokus pada resistensi yang berkembang dengan menangani transferensi dan pada pengembangan kendali yang lebih rasional.
Klien akan mengalami analisis jangka panjang yang intensif dan terlibat dalam asosiasi bebas untukmes nyingkap konflik. Konselor lalu membuat penafsiran untuk mes ngajarkan klien tentang makna tingkah lakunya sekarang sambil menghubungkannya dengan masa lalu klien.
Pendekatan Eksistensial-Humanistis Tugas utama konselor adalah menciptakan suasana Pertemuan yang personal dan autentik dengan klien. Selanjutnya klien mene.
mukan keunikan diri dalam hubungannya dengan konselor. pertemuan, keberadaan hubungan konselor-klien, dan keautentikan pertemuan "di sini dan sekarang" sangat ditekankan. Klien dan konselor dapat berubah melalui pertemuan. Pendekatan Client-Centered Hubungan konselor-klien sangat penting. Kualitas konselor seperti kehangatan, empati, kepedulian, dan kemampuan mengomunikasikan sikap-sikap tersebut sangat ditekankan dalam pendekatan ini.
Klien menggunakan hubungan yang nyata dengan konselor untuk menerjemahkan belajar ke dalam bentuk hubungan yang lain. Pendekatan Gestalt Konselor tidak membuat penafsiran bagi klien, tetapi membantu klien dalam mengembangkan cara-cara membuat penafsiran sendiri. Klien diharapkan dapat mengenal dan menangani masalahnya.
Hal itu dilakukan dengan cara mengalami situasi traumatik masa lalu berulang-ulang seakan-akan situasi tersebut muncul sekarang. Pendekatan Tingkah Laku Konselor bersifat aktif dan direktif sekaligus berfungsi sebagai guru dan pelatih dalam membantu klien untuk belajar tingkah laku yang lebih efektif. Klien harus aktif dalam proses dan bereksperimen dengan tingkah laku baru.
Walaupun hubungan konselor-klien tidak ditekankan, hubungan kerja yang baik menjadi kerangka landasan bagi pelaksanaan prosedur konseling.
Pendekatan Rasional-Emotif Konselor bertindak sebagai guru dan klien adalah
muridnya. Hubungan pribadi antara konselor dan klien tidak esensial. Klien memperoleh pemahaman atas masalah dirinya dan kemudian harus secara aktif menjalankan
pengubahan tingkah laku yang mengalahkan dirinya.
Pendekatan Realitas Tugas utama konselor adalah melibatkan diri dengan klien dan mendorong klien untuk menghadapi kenyataan dan membuat pertimbangan nilai mengenai tingkah lakunya sekarang. Setelah klien menetapkan perubahan spesifik yang diinginkannya, maka dirumuskan rencana-rencana dan komitmen untuk melaksanakan rencana yang telah disusun, selanjutnya hasil tersebut dievaluasi. Pemahaman dan perubahan sikap Klien tidak dianggap penting.
Berdasarkan keterangan di atas dapat dilihat bahwa hubungan konselor-klien pada masing-masing pendekatan berbeda satu dengan yang lain. Hal ini dikarenakan
masing-masing pendekatan memiliki ciri-ciri yang berbeda dalam teorinya. Perbedaan inilah yang menyebabkan hubungan konseling antara konselor dan Klien berbeda dalam aplikasinya.
Lantas, bagaimana dengan tujuannya? Marilah kita lihat pembahasan berikut: TUJUAN KONSELING Penentuan tujuan konseling mutlak harus dilakukan untuk memperjelas apakah yang menjadi alasan klien datang kepada konselor, apa yang ingin dicapai dalam konseling serta bantuan apa yang harus diberikan oleh konselor kepada Klien.
Biasanya penentuan tujuan konseling dilakukan di awal pertemuan untuk membuat proses konseling berjalan sistematis.
Jadi, sebelum konseling dilakukan, baik konselor maupun Klien telah mengetahui tujuan apa yang ingin dicapai dan target-target apa yang harus disusun untuk mencapai tujuan tersebut. Perumusan tujuan konseling inilah yang kemudian menunjukkan arah proses konseling dan kemudian menunjukkan kepada konselor apakah penerapan konseling berhasil atau tidak. Para ahli membuat penjelasan yang berbeda mengenai tujuan konseling.
Krumboltz (dikutip dari Latipun, 2001) yang beraliran behavioristik mengelompokkan tujuan konseling menjadi tiga jenis, yaitu mengubah penyesuaian perilaku yang salah, belajar membuat keputusan, dan mencegah timbulnya masalah. Penjelasannya adalah sebagai berikut: Mengubah Penyesuaian Perilaku yang Salah Penyesuaian perilaku yang salah adalah perilaku yang secara Psikologis mengarah pada perilaku patologis.
Penyesuaian perilaku yang salah inilah yang akan diubah menjadi perilaku sehat Yang tidak mengandung indikasi adanya hambatan atau kesulitan mental. Hal ini dilakukan
agar klien memiliki perkembangan kepribadian yang baik. Klien akan disadarkan bahwa perilakunya salah dan dengan bantuan konselor klien dijadikan mengerti bagaimana harus keluar dari kondisi tersebut.
Klien harus dengan suka rela ingin keluar dari penyesuaian perilaku yang salah tersebut, agar klien dapat memutuskan perilaku apakah yang tepat dilakukan. Shertzer dan Stone (dikutip dari Mappiare, 2002) juga mengungkapkan hal yang sama bahwa tujuan
konseling adalah untuk perubahan perilaku (behavioral change). Belajar Membuat Keputusan Membuat keputusan tidak mudah dilakukan oleh klien, padahal hal itu harus dilakukan sebagai bagian dari tujuan konseling.
Banyak klien yang datang kepada konselor karena ketidakmampuannya membuat keputusan dan selalu merasa bimbang terhadap pilihan hidupnya. Jadi perlu dicatat bahwa konseling bukan hanya sebuah proses kanalisasi yaitu penyaluran beban emosional klien yang selama ini hanya ditanggung dirinya sendiri, tetapi juga membutuhkan kemampuan, keterampilan, dan keberanian untuk mengatasinya.
Membuat keputusan diawali dari mengidentifikasi alternatif, memiliki alternatif, menetapkan alternatif, serta memprediksi berbagai konsekuensi dari keputusannya (Black, diktitip dari Latipun, 2001). Dalam hal ini tugas konselor adalah mem berikan dorongan untuk berani membuat keputusan walaupun dengan risiko yang sudah dipertimbangkan sebagai konsekucnsi alamiah.
Menurut Shertzer dan Stone (dikutip dari Latipun, 2001), seorang klien harus belajar memperkirakan konsekuensi-konsekuensi yang akan timbul berkenaan dengan pengorbanan pribadi, waktu, tenaga, dan uang.
Mencegah Munculnya Masalah Mencegah masalah dalam pembahasan bukanlah mencegah sebelum munculnya masalah seperti yang kita ketahui secara umum.
Dalam hal ini, Notosoedirjo dan Latipun (dikutip dari Latipun, 2001) menyatakan bahwa mencegah munculnya masalah terdiri dari tiga pengertian, yaitu: mencegah jangan sampai mengalami masalah di kemudian hari, mencegah jangan sampai masalah yang dialami bertambah berat atau berkepanjangan, dan mencegah jangan sampai yang dihadapi berakibat gangguan yang menetap.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa tujuan konseling adalah mencegah agar masalah tidak menimbulkan hambatan di kemudian hari, mencegah agar masalah yang dihadapi tidak ber-kepanjangan, dan mencegah agar masalah tidak menimbulkan gangguan. Tujuan konseling lainnya diungkapkan oleh Shertzer dan Stone (dikutip dari Mappiare, 2002) sebagai berikut: (1) kesehatan mental positif (positive mental health); (2) pemecahan masalah (problem resolution); (3) keefektifan pribadi (personal efectiveness); (4) pembuatan keputusan (decision making); dan (5) perubahan tingkah laku (behavioral change). Pembuatan keputusan dan perubahan tingkah laku telah penulis uraikan pada tujuan konseling menurut Krumboltz di bagian sebelumnya.
Hal ini dilakukan untuk keefektifan penulisan karena kesamaan yang terdapat pada pandangan mereka. Berikut ini adalah penyajian tujuan konseling menurut Shertzer dan Stone: Kesehatan Mental Positif (Positive Mental Health) Dalam hal ini, konselor yang condong afektif menilai memiliki mental yang sehat adalah tujuan konseling karena apabila men tal klien sehat, ia memiliki integrasi, penyesuaian, dan identifikasi positif terhadap orang Iain. Individu akan belajar menerima tanggung jawab dan mandiri.
Konseling akan membantu klien yang kemungkinan besar memiliki gangguan jiwa atau yang menunjukkan gejala-gejala gangguan jiwa akibat masalah tertentu.
Pemecahan Masalah (Problem Resolution) Pemecahan masalah merupakan salah satu tujuan konseling karena bagaimanapun juga kehadiran klien ke ruang konseling
memiliki masalah yang perlu dibantu oleh konselor. Pemecahan masalah dapat berasal dari pemahaman klien sendiri atau dari konselor.
Hal ini tergantung dari metode pendekatan yang digunakan oleh konselor. Keefektifan Pribadi (Personal Efectiveness) Pengertian pribadi yang efektif menurut Blocher (dikutip dari Mappiare, 2002) yaitu: Pribadi yang konsisten dalam menjalani perannya. Pribadi yang dapat berpikir kreatif.
Pribadi yang menyelaraskan diri dengan cita-cita, memanfaatkan waktu dan tenaga, serta bersedia mengambil tanggung jawab ekonomi, psikologis, dan fisik. Pribadi yang mampu mengenal, merumuskan, dan memecahkan masalah. Pribadi yang mampu mengontrol dorongan-dorongan dan melakukan respons yang tepat terhadap frustrasi, permusuhan, dan pertentangan.
Jadi, tujuan konseling adalah untuk mewujudkan pribadi efektif seperti yang diuraikan tersebut. Menelaah secara mendalam mengenai tujuan konseling, akan mengantarkan kita pada Corey (2009) menyebutkan tujuan konseling secara umum adalah: Penyusunan kembali kepribadian. Penemuan makna hidup. Penyembuhan gangguan emosional.
Penyesuaian terhadap masyarakat. Pencapaian kebahagiaan dan kepuasan. Pencapaian aktualisasi diri.
Pereda kecemasan. penghapusan tingkah laku abnormal dan mempelajari pola tingkah laku adaptif.
Selanjutnya Corey (2009) membagi tujuan-tujuan konseling berdasarkan masing-masing pendekatan yang digunakan dalam proses konseling seperti berikut ini: Pendekatan Psikoanalisis Tujuan konseling meliputi: Membuat hal-hal yang tidak disadari menjadi disadari. Merekonstruksi kepribadian dasar.
Membantu klien menghidupkan kembali pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak dengan menembus konflik yang direpresi. Memunculkan kesadaran intelektual.
Pendekatan EksistensiaI-Humanistis Tujuan konseling meliputi: Memaksimalkan
kesadaran diri dan pertumbuhan. Menghapus penghambat aktualisasi potensi pribadi.
Membantu klien menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dengan memperluas kesadaran diri.
Membantu klien agar bebas dan bertanggung jawab atas arah kehidupannya sendiri.
Pendekatan Client-Centered Tujuan konseling meliputi: Menyadarkan penghambat pertumbuhan dan aspek pengalaman pribadi diri yang sebelumnya diingkari atau didistorsi. Membantu klien agar mampu bergerak ke arah keterbukaan terhadap pengalaman serta meningkatkan spontanitas dan perasaan hidup.
Pendekatan Gestalt Tujuan konseling meliputi: Membantu klien memperoleh kesadaran atas pengalaman dari waktu ke waktu. Menantang klien agar menerima tanggung jawab. Pendekatan Tingkah Laku Tujuan konseling meliputi: Menghapus pola tingkah laku maladaptif. Mempelajari pola tingkah laku konstruktif. Mengubah tingkah laku.
Pendekatan Rasional-Emotif Tujuan konseling meliputi: Menghapus pandangan hidup klien yang melemahkan diri.
Membantu klien memperoleh pandangan hidup yang lebih toleran dan rasional.
Pendekatan Realitas Tujuan konseling meliputi: Membimbing klien mempelajari tingkah laku realistis dan bertanggung jawab serta mengembangkan "identitas keberhasilan".
Membantu klien membuat pertimbangan nilai tingkah lakunya sendiri dan merencanakan tindakan untuk perubahan.
CIRI-CIRI KONSELING Konseling merupakan pelayanan profesional yang memiliki ciriciri tertentu yang berbeda dengan pelayanan bimbingan yang lain. Combs and Avila (1985);
Brammer and Shostrom (1982); Depdiknas (2004); dan Asosiasi Bimbingan dan Konseling (2005) mengemukakan beberapa ciri konseling yaitu: konseling sebagai profesi bantuan (helping profession); konseling sebagai hubungan pribadi (relationship counseling); konseling sebagai bentuk intervensi (interventions repertoire), konseling untuk masyarakat luas (counselingfor all); dan konseling sebagai pelayanan
psikopedagogis (psycho-pedagogical service).
Konseling sebagai Profesi Bantuan (Helping Profession) Sebagai profesi bantuan, konseling merupakan pelayanan masyarakat (public service) yang diberikan konselor profesional yang karena kepribadiannya, pengetahuan dan keterampilannya, serta pengalamannya dalam bidang konseling, ia mengabdikan diri untuk peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan dengan cara memfasilitasi perkembangan individu dan kelompok individu, agar individu tersebut dapat mengembangkan dirinya sebagai pribadi dan sebagai warga masyarakat yang memiliki motivasi (self motivated).
Pelayanan konseling senantiasa dikembangkan oleh organisasi profesi selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) dari aspek metode atau teknik, kualitas layanan, norma, dan etik. Pengembangan ini didasarkan pada keyakinan bahwa kekuatan dan eksistensi suatu profesi muncul dari kepercayaan masyarakat (pulic trust).
Kepercayaan publik akan menentukan deiinisi profesi dan memungkinkan anggota profesi berfungsi dalam cara profesional. Dengan demikian, konseling sebagai profesi bantuan diberi_kan kepada masyarakat luas dengan mendasarkan pada kode etik
profesi konseling, yaitu norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap konselor dalam
menjalankan tugas profesi dan dalam kehidupan di masyarakat (Depdiknas, 2004).
Hartono (1995) menyatakan kode etik profesi konseling sedikitnya memiliki tiga peran penting, yaitu: Sebagai pagar bagi anggotanya yang berfungsi sebagai batas moral atau pedoman antara hal-hal yang dianjurkan dengan yang terlarang, antara yang dianggap lurus dan yang menyimpang. Sebagai pembatas suatu ikatan profesi yang lain, baik mengenai keahlian yang digeluti, ruang lingkup dan jenis kegiatannya, maupun wewenang yang dimiliki.
Agar para konselor tetap dapat menjaga standar mutu dan status profesinya dalam batas-batas yang jelas dengan profesi lain, sehingga dapat dihindarkan
kemungkinan-kemungkinan penyimpangan yang dapat merugikan konseli. Konseling sebagai Hubungan Pribadi (Relationship Counseling) Konseling sebagai hubungan pribadi merupakan proses pertalian timbal balik antara seorang konselor, yaitu individu yang memberikan pelayanan konseling dengan seorang konseli atau kelompok konseli yaitu individu yang memperoleh pelayanan konseling.
Kualitas proses hubungan pribadi ini sangat dipengaruhi oleh beberapa aspek, yaitu: (1) kualitas pribadi konselor seperti ketulusan, kejujuran, kehangatan, penuh penerimaan, keselarasan pikiran, perasaan, dan perbuatannya sehingga ia bisa dengan akurat berempati dengan konselinya; (2) kredibilitas konselor, konselor yang karismatik biasanya sangat dipercaya konseli; dan (3) pendidikan dan pengalaman 'konselor, konselor yang memiliki pendidikan tinggi serta pengalaman yang luas akan
mengembangkan kepercayaan yang tinggi pada konseli terhadap pelayanan konseling (Hartono. 2006).
Konseling sebagai Bentuk intervensi (Interventions Repertoire) Konseling sebagai bentuk intervensi merupakan bantuan profesional konselor untuk memengaruhi konseli agar ia dapat mengubah perilakunya ke arah yang lebih maju (progressive). Sebagai contoh:
kebiasaan merokok, menjadi tidak merokok; memiliki prasangka buruk terhadap teman, menjadi berpikiran positif terhadap teman; malas belajar, menjadi rajin belajar; tidak percaya diri, menjadi percaya diri; terisolasi dari pergaulan teman, menjadi dapat
bergaul dengan temantemannya; etos kerja rendah, menjadi etos kerja tinggi; pesimistis, menjadi optimistis; gagal menyesuaikan diri terhadap lingkungan, menjadi adaptif yaitu mudah menyesuaikan diri terhadap lingkungan; dan sebagainya.
Konseling untuk Masyarakat Luas (Counseling for All) Pelayanan konseling tidak lagi terbatas pada lingkungan pendidikan sekolah, melainkan juga dalam setting luar sekolah dan kemasyarakatan. Konseling merupakan pelayanan publik (public service) yang diabdikan untuk memfasilitasi perkembangan individu sebagai anggota
masyarakat, agar terhindar dari hambatan atau kendala, sehingga diperoleh
kebahagiaan hidup. Wilayah kekhususan konseling mencakup; pendidikan, perkawinan, karier, rehabilitasi, kesehatan mental. dan traumatis.
Keragaman setting pekerjaan konselor mengandung makna adanya nilai, sikap, pengetahuan, dan keterampilan bersama yang harus dikuasai oleh konselor dalam setting mana pun. Konseling sebagai Pelayanan Psikopedagogis (Psycho-Pedagogical Service) Konseling merupakan pelayanan profesional yang dikemas dengan
menggunakan ilmu psikologi dan pendidikan. Dalam kapasitas sebagai pendidik, konselor berperan dan berfungsi sebagai seorang pendidik psikologis (psychological educator) atau disebut psychoeducator.
Konselor adalah seorang yang ahli psikologi dan ahli pendidikan yang berkompeten dalam hal; penguasaan konsep dan praksis pendidikan; memiliki kesadaran dan komitmen etika profesional; menguasai konsep perilaku dan perkembangan individu;
menguasai konsep dan praksis assessment, menguasai konsep dan praksis konseling;
mampu mengelola program konseling; dan menguasai konsep dan praksis riset dalam bidang konseling.
Rroses konseling sebagai proses psikologis karena konseling merupakan suatu proses yang dibangun dengan menggunakan teori-teori psikologis, yaitu teori Freudian, teori behavioristik, dan teori humanistik, di mana teori-teori itu memiliki pandangan yang berbeda tentang manusia. Menurut teori Freudian, konseli pada dasarnya individu yang pesimistik, deterministik, mekanistik, dan reduksionistik (Corey. 1997).
Di pihak lain, behavioristik memandang bahwa perilaku konseli banyak dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, sedangkan humanistik menyatakan bahwa konseli adalah individu yang berpotensi, sehingga jika potensi itu dapat dikelola secara maksimal akan
melahirkan suatu uan yang bermakna dalam kehidupan.
BAB 2
KONSELING EFEKTIF S atu instrument yang paling penting yang harus digunakan sebagai seorang konselor adalah diri kita sendiri sebagai pribadi.
Untuk menyiapkan konseling kita dapat mengambil pengetahuan yang kita dapat dari teori kepribadian dan psikoterapi, kita dapat mempelajari teknik diagnostik dan teknik intervensi, dan kita dapat belajar tentang dinamika perilaku manusia. Biarpun
pengetahuan serta ketrampilan adalah hal yang esensil, hal itu belum mencukupi kebutuhan untuk menjalin hubungan antar terapi yang efektif serta mempertahankan hubungan itu kedalam setiap sesi terapi kita ikutkan kualitas manusia kita beserta pengalaman–pengalaman yang telah mempengaruhi kita.
Dimensi manusia ini merupakan salah satu dari determinan kegiatan terapi pada klien yang paling kuat yang kita miliki. Apabila sebagai konselor kita mengharapkan
terciptanya pertumbuhan dan perubahan dalam diri klien kita maka kitapun harus bersedia untuk menciptakannya dalam diri kita sendiri.
Sumber yang paling kuat yang kita miliki untuk bisa mempengaruhi klien agar menuju kearah yang positif adalah contoh hidup yang kita berikan yang menggambarkan siapa kita sebenarnya dan betapa besar kemauan kita untuk secara terus menerus berjuang demi potensi yang kita miliki. KONSEP KONSELING Konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok, agar mampu mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kemampuan belajar, dan perencanaan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku (Allson, 2006).
Konseling juga dapat diartikan sebagai pemberian bantuan pengentasan masalah oleh seorang ahli yang terlatih disebut Konselor kepada Konseli. Pelayanan konseling
merupakan salah satu bentuk hubungan yang sifatnya membantu, mengupayakan individu/konseli agar mampu mengembangkan potensi yang dimiliki dan mandiri.
Prayitno (2009), menjelaskan bahwa pengentasan masalah konseli bisa dimulai dari pengambilan keputusan dalam hidupnya untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan di masa mendatang dengan rasa tanggung jawab, sehingga dapat menjalani hidup dan bertindak efektif, produktif, dan bahagia. Tujuan konseling bisa tercapai apabila konselor memiliki berbagai kompetensi yang dibutuhkan untuk membantu konseli, sehingga mandiri, cakap dan terampil.
Sedangkan Pelayanan konseling adalah pekerjaan yang profesional, yang berarti
pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. (UU No.14/2005 Pasal 1 Butir 4) Konseling merupakan pekerjaan profesional seperti halnya guru.
Sebagai suatu pekerjaan profesional menuntut dimilikinya sejumlah kompetensi dan keterampilan tertentu. Selain itu, konseling juga merupakan suatu proses. Dalam setiap tahapan proses konseling memerlukan penerapan keterampilan-keterampilan tertentu.
Agar proses konseling dapat berjalansecara lancar dan tujuannya tercapai secara efektif dan efisien.
Konselor juga harus mampu mengimplementasikan keterampilan-keterampilan tertentu yang relevan. Konselor yang terampil adalah yang mengetahui atau memahami
sejumlah keterampilan tertentu dan mampu mengimplementasikannya dalam proses konseling. Bimbingan dan konseling merupakan suatu proses, proses bimbingan dan konseling menempuh tahap-tahap tertentu.
Dalam setiap tahapannya akan menggunakan teknik-teknik tertentu pula. Proses konseling merupakan penerapan salah satu teknik dalam bimbingan. Ruang lingkup teknik konseling meliputi kajian teoretis dan praktis mngenai segala kemampuan dan kesemaptaan konselor hingga mampu melakukan proses konseling yang berhasil.
Lingkup teknik konseling meliputi kajian sejumlah asumsi mengenai impilkasi teori konseling pada teknik konseling, keterampilan dasar selama proses konseling, komunikasi verbal. Dengan demikian hendaknya ekpektasi seorang Konselor adalah dapat menyelenggarakan layanan kemanusiaan yang memandirikan individu melalui pengambilan keputusan tentang pendidikan maupun karier, untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera, serta mewujudkan pribadi warga masyarakat yang peduli kemaslahatan sosial melalui pendidikan.
INDIKATOR KONSELOR EFEKTIF Berdasarkan pengertian pelayanan konseling adalah terwujudnya kehidupan kemanusiaan yang membahagiakan melalui tersedianya
pelayanan bantuan sebagai dukungan perkembangan dan pengentasan masalah konseli agar dapat berkembang secara optimal, mandiri dan bahagia. Maka dari itu paradigma konseling adalah pelayanan bantuan psiko-paedagogik dalam bingkai budaya.
Artinya, pelayanan konseling berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan dan teknologi pendidikan serta psikologi yang dikemas dalam kaji-terapan pelayanan konseling yang diwarnai oleh budaya lingkungan peserta didik (Allson, 2006). Konselor juga pendidik
sekaligus fasilitator penyelenggaraan konseling, oleh karena itu seorang konselor harus memiliki berbagai keterampilan dasar konseling agar mencapai tujuan konseling yang efektif.
Untuk menuju arah konseling yang efektif, maka Konselor perlu memenuhi kreteria tertentu sesuai yang telah diamanhkan dalam perundang-undangan, peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Pada jendela Konseling kali ini dibahas tentang 5 jenis keterampilan dasar konseling yaitu atending, mengundang pembicaraan terbuka, paraphrase, refleksi perasaan dan konfrontasi. Keterampilan Atending. Keterampilan atending merupakan usaha pembinaan untuk menghadirkan klien dalam proses konseling.
Keterampilan dasar ini harus dikuasai oleh konselor karena keberhasilan membangun kondisi awal akan menentukan proses dan hasil konseling yang diselenggarakan.
Penciptaan dan pengembangan atending dimulai dari upaya konselor menunjukkan sikap empati, menghargai, wajar dan mampu mengetahui atau paling
tidak mengantisipasi kebutuhan yang dirasa klien. Aspek-aspek keterampilan atending adalah: Posisi badan (termasuk gerak isyarat dan ekspresi muka).
Duduk dengan badan menghadap klien, Tangan kadang-kadang digunakan untuk menunjukkan gerak isyarat yang sedang dikomunikasikan secara verbal.- Merespon dengan ekspresi wajah, seperti senyum spontan atau anggukan kepalasebagai tanda setuju. Badan tegak lurus tetapi tidak kaku atau kalau perlu bisa dicondongkan ke arah klienuntuk menunjukkan kebersamaan.
Kontak mata, Melihat klien terutama pada waktu bicara. Menggunakan pandangan spontan yang menunjukkan minat atau keinginan untuk merespon. Mendengarkan, Memelihara perhatian penuh yang terpusat pada klien. Mendengarkan apapun yang dikatakan klien. Mendengarkan keseluruhan pribadi klien (kata-kata, perasaan dan perilakunya) Memahami keseluruhan pesannya.
Gerak tubuh, Konselor dapat menggunakan gerakan tubuh untuk menyampaikan pesan tertentu kepada konseli. Jika konselor banyak menggunakan tangannya misalnya
”sedekap”. Cara berkomunikasi seperti ini kurang baik. Dengan demikian hendaknya konselor perlu menyadari pesan apa yang akan disampaikan kepada konseli dengan gerakan tubuh dan tangan yang kita gunakan.
Tingkah laku verbal, Respon konselor terhadap konseli dengan menggunakan kata-kata yang disampaikan secara lisan berhubungan dengan apa yang dikatakan konseli
merupakan suatu tingkah laku verbal. Dalam hal ini, konselor tidak mengajukan
pertanyaan atau memunculkan topik baru tetapi konselor melakukan tingkah laku dan atau ucapan verbal yang dimaksudkan sebagai isyarat bahwa konselor memperhatikan dan memahami konseli.
Contoh; Respon konselor dapat berupa kata-kata yang menunjukkan dukungan, seperti
”Ya” atau ”Saya tahu apa yang anda rasakan”. Keterampilan Mengundang Pembicaraan Terbuka. Keterampilan ini digunakan ketika konselor melakukan wawancara dengan klien. Ajakan terbuka untuk berbicara memberi kesempatan klien agar mengeksplorasi dirinya sendiridengan dukungan pewawancara.
Pertanyaan terbuka membuka peluang klien untuk mengemukakan ide perasaan dan arahnya tanpa harus menyesuaikan dengan setiapkategori yang telah ditentukan oleh pewawancara. Contoh-contoh pertanyaan yang disarankan adalah: Membantu memulai wawancara- “Apa yang akan Anda bicarakan hari ini?” Membantu menguraikan
masalah- ”Cobalah Anda menceritakan lebih banyak lagi tentang hal itu!”- ”Bagaimana perasaan Anda pada saat kejadian itu?” Paraprase Parafrase merupakan suatu metode untuk menyatakan kembali pesan pokok konseli dengan kata-kata yang lebih pendek dan tepat dengan tujuan untuk memperbaiki hubungan pribadi.
Parafrase lebih memperhatikan bagian kognitif dari pesan konseli. Dalam parafrase, konselor menyatakan ide pokok konseli dengan kata-kata sendiri, tidak sekedar menirukan kata-kata yang diucapkan konseli. Tujuan utama parafrase bagi konselor adalah menguji pengertian konselor tentang apa yang dikatakan konseli.
Tujuan berikutnya adalah menyatakan kepada konseli bahwa konselor mencoba
mengerti pesan konseli, dan jika berhasil berarti konselor telah mengikuti cerita konseli.
Esensi keterampilan ini adalah pengulangan kata-kata atau pemikiran-pemikiran kunci dari konseli dalam rumusan-rumusan yang menggunakan kata-kata konselor sendiri.
Cara ini dipergunakan konselor untuk memberi tahu bahwa ia sedang mendengarkan apa yang dikatakan dan konselor ingin mendengarkan lebih banyak lagi.
Konseli akan merasa dimengerti dan dipersiapkan untuk mengolah lebih dalam lagi masalah-masalah yang diajukannya. Jadi, maksud dari kegiatan parafrase adalah:
menyampaikan kepada konseli bahwa konselor bersama konseli, dan konselor berupaya memahami apa yang dinyatakan konseli; mengkristalisasi komentar konseli dengan lebih memendekkannya sehingga membantu mengarahkan wawancara; dan memberi peluang untuk memerika kecermatan persepsi konselor.
Oleh karena itu, konselor hendaknya menggunakan pilihan kata yang tepat sehingga membantu menekankan kata atau ide penting yang diungkapkan konseli. Perhatikan
contoh berikut ini: Contoh 1: Konseli _: _”Saya tahu, jika hanya duduk atau tidur sepanjang hari tidak akan membantu depresi yang saya alami”. _ _Konselor _: _”Anda tahu bahwa Anda perlu menghindari duduk atau tidur sepanjang hari untuk membantu depresi yang anda alami” _ _Contoh 2: Konseli _: _”Kadang-kadang dia menampakkan kesukaannya kepada saya, tetapi secara tiba-tiba dia memarahi saya” _ _Konselor _:
_”Apakah Anda mengatakan bahwa perilakunya tidak konsisten terhadap Anda?” _ _ Adapun langkah-langkah dalam melakukan parafrase adalah sebagai berikut: Berusaha mengingat kembali pesan-pesan konseli (apa yang telah dikatakan konseli)
Mengidentifikasi isi pesan konseli dengan menanyakan dalam diri ”situasi, orang, obyek, atau ide apa yang dibicarakan” Memilih kata-kata yang sesuai dengan apa yang
dikemukakan konseli. Memeriksa keefektifan parafrase berdasarkan berdasarkan respon konseli.
Bila parafrase yang diberikan tepat maka konseli akan memberikan tanda persetujuan, baik verbal maupun non verbal yang mengisyaratkan bahwa pernayataan konselor tepat dan bermanfaat. Refleksi Perasaan Refleksi merupakan keterampilan konselor untuk merespon keadaan perasaan konseli terhadap situasi yang sedang dihadapi.
Kemampuan konselor untuk mengamati dan memberikan respon terhadap
perasaan-perasaan konseli merupakan hal yang sangat penting dalam proses konseling karena tindakan tersebut akan mendorong dan merangsang konseli untuk
mengemukakan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapinya.
Dalam hal ini konselor harus peka terhadap cara konseli mengungkapkan
permasalahannya. Refleksi perasaan dapat digunakan untuk menyatakan bagian efektif dari pesan, atau aspek emosional konseli. Refleksi hampir sama dengan parafrase, namun dalam refleksi memuat aspek emosional atau komponen pesan yang tak terungkap dalam parafrase.
Ada beberapa tujuan dari refleksi perasaan: Membantu konseli memahami perasaannya Mendorong konseli agar lebih banyak mengekspresikan perasaannya, baik positif maupun negatif tentang situasi orang, atau hal-hal khusus lainnya. Memberitahukan pada konseli bahwa konselor memahami perasaan konseli yang tidak suka atau marah kepada konselor, sehingga perasaan tersebut dapat berkurang.
Membantu konseli membedakan intensitas berbagai perasaan yang ada dalam dirinya.
Refleksi perasaan bisa menjadi keterampilan yang sulit dipelajari karena seringkali perasaan-perasaan tersebut diabaikan atau tidak dipahami. Ada 6 langkah dalam membuat reflesi perasaan, yaitu: Dengarkan kata-kata yang digunakan konseli untuk menyatakan perasaan-perasaannya, atau kata-kata afektif dalam pesan atau pernyataan
konseli. Perhatikan tingkah laku non verbal konseli ketika ia mengemukakan pernyataan/pesan-pesan secara verbal.
Nada suara atau ekspresi wajah dapat memberi tanda atau petunjuk mengenai perasaan dalam diri konseli. Menyatakan kembali perasaan-perasaan konseli dengan
menggunakan kata-kata yang berbeda dari yang diucapkan konseli. Mengemukakan pernyataan refleksi dengan awalan kata yang sesuai dengan petunjuk dari konseli, apakah disampaikan secara visual, auditori atau kinestetik Menambahkan konteks atau situasi dimana perasaan itu muncul. Memeriksa keefektifan refleksi berdasarkan respon konseli terhadap pernyataan refleksi yang disampaikan konselor.
Jika identifikasi perasaan konseli dalam refleksi itu tepat, konseli akan menyatakan ”Ya, benar.” atau ”Ya, itulah yang saya rasakan”. Dengan demikian, merefleksi perasaan konseli merupakan suatu teknik yang ampuh, karena melalui tindakan keterampilan tersebut akan terwujud suasana keakraban dan sekaligus pemberian empati dari
konselor kepada konseli. Dalam hubungan sosial sehari-hari perasaan-perasaan konseli ada kecenderungan untuk disembunyikan atau dikekang.
Oleh karena itu, apabila konselor dapat mengamati perasaan-perasaan konseli secara tepat, hal itu akan sangat mendorong konseli untuk terlibat secara aktif dalam proses wawancara. Dengan menggunakan keterampilan refleksi perasaan, konselor
menyampaikan kepada konseli bahwa dia mampu memahami bagaimana perasaannya, agar memperkuat kebebasan konseli dan mempercayai ekspresi perasaannya sendiri.
Konfrontasi Konfrontasi mencakup sekelompok keterampilan konseling yang kompleks.
terdapat beberapa keterampilan konfrontasi yaitu: Mengenal perasaan-perasaan dalam diri sendiri sebagai seorang konselor. Menggambarkan perasaan-perasaan yang ada dalam diri sendiri dan membagi perasaan tersebut dengan konseli. Memberikan balikan dalam bentuk pendapat tentang tingkah laku konseli. Meditasi sebagai bentuk
konfrontasi pada diri sendiri.
Mengulang sebagai bentuk memberi tekanan dan memberi kejelasan. Asosiasi sebagai suatu metode menyentuh perasaan. Konfrontasi dalam wawancara konseling dimaknai sebagai pemberian tanggapan terhadap pengungkapan kontradiksi dari konseli.
Tanggapan tersebut berbeda dengan paraprase dan refleksi perasaan.
Dalam konfrontasi digunakan kerangka acuan luar (external frame of reference), sedangkan pada paraprase dan refleksi perasaan ditekankan pada pernyataan dan keterampilan acuan konseli sendiri. Maksud penerapan konfrontasi dalam konseling adalah membantu konseli agar mengubah pertahanan yang telah dibangun guna
menghindari pertimbangan tertentu dan untuk meningkatkan keterbukaan komunikasi.
Pertahanan-pertahanan psikologis ini biasanya merupakan bidang yang penting untuk didekati namun sangat sensitif sehingga memerlukan cara yang cermat dan cerdas.
konfrontasi merupakan suatu metode ”menceritakan sesuatu seperti apa adanya” yang mungkin menyebabkan kecemasan, tergantung pada waktu kesiapan konseli untuk dikonfrontasi dan dengan umpan balik secara jujur.
Mengenal Perasaan Menggambarkan dan membagi perasaan (sharing) Balikan dan Pendapat Meditasi Mengulang Melakukan Asosiasi Selain 5 hal tersebut, seorang Konselor juga harus memiliki keterampilan lain yang tidak kalah pentingnya, yakni keterampilan mendengarkan secara aktif, keterampilan memimpin, dan keterampilan bertanya. Keterampilan Mendengarkan Aktif Dalam berkomunikasi terdapat dua kegiatan yaitu mendengarkan dan berbicara.
Mendengarkan merupakan prasyarat bagi konselor untuk dapat memberikan respon atau strategi secara tepat dalam suatu konseling. Jika konselor gagal dalam
mendengarkan, kemungkinan konseli tidak akan dapat melakukan eksplorasi diri, masalah yang dibicarakan tidak tepat, bahkan strategi yang digunakan bahkan tidak sesuai. Batasan dan tujuan dari respon mendengarkan yaitu klarifikasi, parafrase, refleksi dan rangkuman.
Di bawah ini akan di jelaskan hal-hal yang terdapat dari respon mendengarkan sebagai berikut: Klarifikasi Klarifikasi merupakan pertanyaan yang diajukan ketika muncul pesan konseli tidak jelas. Disamping klarifikasi terhadap ketepatan pesan konseli, baik secara langsung maupun tidak, mengungkapkan situasi atau perasaan konseli. Jika konselor tidak yakin dengan makna pesan yang dikemukakan konseli, maka perlu dilakukan klarifikasi.
Pertanyaan klarifikasi kepada konseli dimaksudkan untuk menguraikan pernyataan konseli yang samar-samar, embigu, atau tidak jelas. Tujuan dari adanya klarifikasi adalah: Mendorong konseli untuk elaborasi Memeriksa ketepatan apa yang didengar konselor terhadap pesan-pesan konseli Memperjelas pesan-pesan yang samar atau membingungkan.
Yang sering terjadi dalam proses konseling yaitu konselor seringkali membuat asumsi dan kesimpulan tentang konseli, tanpa memeriksa ketepatan pesan yang di dengar. Hal ini sering terjadi di tahap-tahap awal konseling dimana konselor belum memiliki
gambaran yang jelas tentang konseli, sehingga kesimpulan konselor terkesan
tergesa-gesa. Perlu diingat, bahwa kejelasan pesan-pesan konseli sangat penting bagi
konselor sebelum melakukan kesimpulan, terutama pada tahap awal konseling.
Berikut ini ada beberapa contoh klarifikasi yaitu: Contoh 1: Konseli _: _”Saya sudah merasa jenuh kalau harus berkumpul terus dengan keluarga”. _ _Konselor _:
_”Tampaknya anda ingin memisahkan diri dan bekerja sendiri” _ _ Contoh 2: Konseli _:
_”Kadang-kadang Saya ingin lari dari semuanya” _ _Konselor _: _”Dapatkah Anda
jelaskan, apa yang Anda maksud lari dari semuanya?” _ _Pada contoh di atas, klarifikasi akan membantu memperjelas apa terjadi dan apa yang dirasakan konseli. Keterampilan konselor menggunakan respon klarifikasi akan menentukan ketepatan pesan yang diterima dan diprosesnya.
Berikut ini terdapat langkah-langkah dalam klarifikasi, yaitu: Mengidentifikasi isi pesan konseli, baik verbal maupun non verbal untuk mengetahui apa yang tellah dikatakan oleh konseli. Mengidentifikasi adanya pesan-pesan yang samar-samar atau
membingungkan, yang perlu diperiksa ketepatannya atau perlu di elaborasi.
Menentukan kalimat atau kata-kata yang tepat untuk klarifikasi, seperti”Dapatkah Anda jelaskan” atau Apakah Anda mengatakan” .
dalam klarifikasi konselor sebaiknya lebih menunjukkan nada bertanya daripada memberikan suatu pertanyaan. Memeriksa keefektifan klarifikasi dengan mendengar dan memperhatikan respon konseli. Keterampilan Memimpin Tujuan dari memimpin adalah mendorong konseli untuk merespon terhadap komunikasi yang sifatnya terbuka.
Keterampilan memimpin ini dipakai dalam seluruh proses konseling, keterampilan ini terutama bermanfaat dalam membuka hubungan agar konseli mau berbicara. Tujuan yang lebih spesifik dari memimpin adalah: Mendorong konseli untuk menjajagi perasaan dan meneliti perasaan. Memberi kesempatan kepada konseli untuk secara bebas
menjajagi perasaannya dalam berbagai arah dan emrespon secara bebas terhadap apa yang sedang terjadi.
Mendorong konseli untuk lebih aktif dalam proses konseling dan tetap bertanggung jawab terhadap arah interview. Memimpin secara langsung Memimpin secara langsung merupakan suatu teknik untuk memusatkan pada suatu topik. Teknik ini juga
mendorong konseli untuk meneliti, menjelaskan dan memberikan ilustrasi apa yang sedang mereka katakan.
Petunjuk untuk memimpin langsung adalah: Tentukan tujuan pimpinan Nyatakan tujuan dalam kata-kata yang konkrit Beri konseli kebebasan untuk mengikuti pimpinan anda.
Dalam hal ini, konselor dapat berkata: ”Marilah kita meneliti lebih jauh konsep anda tentang mengajar!” ”Apa yang anda maksudkan dengan takut?” Memimpin secara tidak
langsung Tujuan dari memimpin secara tidak langsung adalah agar konseli memulai bicara dan tetap bertanggung jawab atas kelangsungan interview.
Biasanya teknik ini digunakan untuk membuka suatu intervieu. Ada beberapa petunjuk untuk memimpin secara tidak langsung: Tentukan tujuan pimpinan secara jelas.
Pertahankan yang sifatnya umumdan agak samar. Konselor diam cukup lama supaya konseli dapat menangkap apa maksud konselornya. Sebagai contoh: ”Apa yang ingin anda bicarakan?” ”Bagaimana perasaan anda?” Keterampilan Bertanya Dalam proses konseling keterampilan bertanya merupakan salah satu bagian penting dari komunikasi konseling, pertanyaan yang diajukan konselor sangat menentukan jawaban konseli.
Pertanyaan yang tidak jelas akan direspon konseli dengan tidak jelas, oleh karena itu, keterampilan konselor dalam memilih kalimat bertanya yang baik dan tepat dapat membantu konseli mengungkapkan permasalahan yang terjadi pada dirinya.
Keterampilan bertanya dibutuhkan konselor untuk mengeksplorasi dan atau mengungkap lebih dalam permasalahan yang dialami konseli.
Konselor dapat membantu konseli untuk memperoleh pemahaman yang baik terhadap kondisi permasalahan yang dihadapi dengan cara mengajukan pertanyaan yang tepat.
Ada dua jenis pertanyaan yang dikenal dan komunikasi konseling, yaitu: Pertanyaan tertutup Pertanyaan tertutup adalah pertanyaan yang mengarah pada jawaban secara spesifik, sering jawaban sangat singkat, seperti "ya" atau "tidak". Pertanyaan tertutup cenderung memberikan informasi yang singkat atau dangkal dari konseli.
Pertanyaan ini lebih menekankan pada isi pembicaraan daripada memperhatikan ekspresi dan perasaan konseli. Pertanyaan tertutup seringkali juga dibutuhkan dalam komunikasi konseling, terutama untuk mengumpulkan informasi, menjernihkan atau memperjelas sesuatu, dan untuk menghentikan pembicaraan konseli yang sudah menyimpang jauh. Pertanyaan tertutup seringkali didahului dengan pertanyaan “apa”,
“apakah”, “kapan”.
Seperti, “apa pekerjaan Anda?, kapan Anda merasakan kehilangan kekasih Anda?, apakah Anda sangat marah?.” Pertanyaan terbuka Pertanyaan terbuka merupakan sebuah pertanyaan yang tidak bisa dijawab dalam beberapa kata, mendorong orang untuk berbicara, dan memberikan informasi yang maksimal. Pertanyaan terbuka dapat mendorong konselor untuk mengeksplorasi lebih dalam, karena konseli dapat
memberikan jawaban secara luas dan terbuka.
Pertanyaan terbuka dapat membantu konseli mengungkapkan permasalahan dan perasaannya, sehingga konseli dapat memperoleh pemahaman diri lebih baik.
Pertanyaan terbuka sering dimulai dengan apa, bagaimana, mengapa, atau bisa. Seperti,
“apa yang ingin kita bicarakan saat ini?, bagaimana perasaan Anda sepeninggal kekasih Anda?, bisakah Anda bercerita lebih banyak tentang keterlibatan Anda?.”
Pertanyaan terbuka secara alami akan mendorong konseli untuk berbicara hal-hal yang menarik dan bermakna bagi dirinya, termasuk didalamnya hal-hal yang mennganjal yang menjadi penyebab masalah yang dihadapinya. KOMUNIKASI SEBAGAI DASAR PELAKSANAAN KONSELING EFEKTIF Komunikasi tidak dapat dipisahkan dari setiap aktifitas yang dijalani oleh individu.
Eksistensinya jauh menembus ruang dan waktu, untuk tujuan yang sangat bervariasi dan menyentuh segala aspek kehidupan manusia. Para ahli menyebutkan lebih dari 80%
alokasi waktu individu dalam satu hari dilakukan dengan berkomunikasi (Maulana &
Gumelar, 2013). Artinya, komunikasi merupakan salah satu kebutuhan dasar individu yang diperolehnya melalui interaksi dalam lingkungan sosial.
Komunikasi menjembatani informasi dari individu ke individu lain atau kelompok. ecara etimologis perkataan komunikasi berasal dari Bahasa Latin yaitu communicare yang berarti berpartisipasi atau memberitahukan (Zamroni, 2009). Komunikasi berarti penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan (Effendy, 2003).
Berdasarkan definisi yang dikemukakan ini dapat dijelaskan bahwa komunikasi berkaitan dengan penyampaian sesuatu berupa pesan ataupun pandangan dalam rangka mencari kesamaan pandangan. Dictionary of Behavioral Science menyajikan enam pengertian komunikasi (Rakhmat, 2000). Keenam pengertian tersebut, yaitu: (1) penyampaian perubahan energi dari satu tempat ke tempat yang lain seperti dalam sistem saraf atau penyampaian gelombang-gelombang suara; (2) penyampaian atau penerimaan sinyal atau pesan oleh organisme; (3) pesan yang disampaikan; (4) proses yang dilakukan satu sistem untuk memengaruhi sistem yang lain melalui pengaturan sinyal-sinyal yang disampaikan; (5) pengaruh satu wilayah persona pada wilayah persona yang lain sehingga perubahan dalam satu wilayah menimbulkan perubahan yang berkaitan dengan wilayah lain; dan (6) pesan klien kepada pemberi terapi dalam psikoterapi.
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, dapat diartikan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari seorang individu kepada individu atau kelompok lain. Proses tersebut berupa penyampaian energi dari alat-alat indra ke otak.
Proses tersebut melibatkan beberapa peristiwa, yaitu: peristiwa penerimaan dan
pengolahan informasi; saling pengaruh di antara berbagai sistem dalam diri organisme dan di antara organisme.
KOMUNIKASI SEBAGAI LANDASAN KETERAMPILAN KONSELING Konselor sebagai salah satu jenis profesi bantuan berada pada posisi yang sangat diminati pada dekade
terakhir ini. Berbagai permasalahan yang muncul dalam tatanan kehidupan individu dan bermasyarakat menjadi salah satu alasan dari ketertarikan tersebut. Profesi ini secara profesional diselenggarakan oleh konselor yang bekerja secara perorangan ataupun kelompok.
Konselor profesional merupakan seseorang yang menekuni salah satu jenis profesi penolong (helper) yang terlatih di bidang keterampilan konseling. Konseling adalah salah satu cara untuk membantu orang lain, tetapi ini merupakan cara khusus yang melibatkan penggunaan keterampilan-keterampilan tertentu untuk tujuan-tujuan tertentu/khusus pula (Geldard & Geldard, 2005).
Tujuan utama menggunakan keterampilan konseling adalah untuk membantu konseli mengembangkan keterampilan pribadi dan inner strength (kekuatan batin) agar mereka dapat menciptakan kebahagiaan di dalam kehidupannya sendiri dan orang lain. Dengan demikian keterampilan konseling digunakan oleh para konselor profesional untuk membantu individu atau kelompok agar memiliki kemampuan secara mandiri memberdayakan dan menolong dirinya sendiri. Hal ini secara langsung berkaitan dengan tujuan akhir proses konseling.
Upaya konseli memberdayakan diri dan menolong diri tersebut dapat melalui wujud pengembangan diri maupun upaya melepaskan diri dari permasalahan yang sedang dialaminya. Tujuan utama konseling adalah menolong konseli untuk dapat berubah dalam cara berfikir dan/atau dalam tindakan mereka sehari-hari, sehingga terhindar dari konsekuensi-konsekuensi negatif (Geldard & Geldard, 2005).
Pemakaian keterampilan konseling oleh konselor dibagi menjadi lima tujuan berbeda, yaitu: (1) supportive listening, memberi konseli perasaan dipahami dan diafirmasi; (2) mengelola situasi bermasalah; (3) problem management; (4) mengubah
keterampilan-keterampilan buruk konseli yang menciptakan masalah bagi konseli; dan (5) mewujudkan perubahan falsafah hidup (Nelson-Jones, 2008).
Tentunya kelima tujuan keterampilan konseling ini diselenggarakan oleh konselor dengan media komunikasi, baik melalui bahasa verbal dalam wujud penyampaian kalimat dan/atau katakata ataupun melalui isyarat tubuh atau bahasa nonverbal. Kedua jenis keterampilan komunikasi ini mendasari hampir keseluruhan penggunaan
keterampilan-keterampilan konseling.
Komunikasi verbal atau percakapan terdiri atas pesan-pesan yang dikirim oleh konselor kepada konseli dengan menggunakan kata-kata. Dimensi komunikasi verbal meliputi bahasa, isi, frekuensi pembicaraan, dan kepemilikan atas perbendaharaan kata-kata.
Dimensi bahasa tidak hanya meliputi jenis bahasa, tetapi juga mencakup elemen seperti gaya bahasa formal dan/atau informal yang digunakan.
Misalnya gaya bahasa konselor yang tepat merangsang terwujudnya proses konseling yang konstruktif. Sementara itu, dimensi isi merujuk pada aspek topik dan bidang permasalahan. Isi pembicaraan biasanya berfokus pada percakapan tentang diri sendiri, orang lain atau lingkungan, dan dimensi evaluatif percakapan.
Ada kalanya frekuensi pembicaraan lebih didominasi oleh konselor, namun dalam situasi lain kadang didominasi oleh konseli. Dalam hal ini, konselor hendaknya mampu
menggunakan perbendaharaan kata yang tepat dan memiliki analisis cermat terhadap perbendaharaan kata yang digunakan konseli (Nelson-Jones, 2008). Masing-masing perbendaharaan kata yang digunakan memiliki motif-motif tertentu.
Komunikasi vokal konselor dapat menyampaikan tentang apa yang sesungguhnya dirasakan dan seberapa responsif konselor secara emosional memahami perasaan konseli. Komunikasi vokal mencakup lima dimensi, yaitu: volume; artikulasi; nada;
penekanan; dan kecepatan berbicara. Konselor hendaknya berkomunikasi dengan suara yang lembut, dapat didengar, dan nyaman didengar.
Kejelasan komunikasi konselor tersebut juga bergantung pada pelafalan kata yang diucapkan serta kemahirannya dalam mengatur nada dan rentang pembicaraan.
Konselor juga perlu mengatur penekanan-penekanan secara tepat terhadap kata-kata yang digunakan dalam merespon perasaan dan situasi emosional konseli. Kemudian, konselor juga harus mempertimbangkan kecepatan berbicara.
Pembicaraan yang terlalu cepat dapat menyulitkan konseli dalam memahami, sebaliknya pembicaraan yang terlalu lambat akan memunculkan kebosanan konseli dalam
mendengarkan. Konselor sesekali perlu untuk diam dan berhenti pada saat yang tepat, guna memberi ruang bagi konseli untuk berfikir (Nelson-Jones, 2008). Komunikasi tubuh terdiri atas pesan-pesan yang dikirim oleh anggota tubuh, yaitu ekspresi wajah, tatapan, kontak mata, gestur, postur atau posisi tubuh, kedekatan secara fisik, pakaian dan cara berdandan. Ekspresi wajah konselor terutama melalui mata dan alis, merupakan wahana utama untuk menyampaikan pesan kepada konseli.
Konselor dituntut memandang hanya pada wajah konseli dan senantiasa melakukan kontak mata dengan tepat. Cara pandang ini sekaligus untuk menampilkan
ketertarikannya terhadap pembicaraan dan upaya mengumpulkan informasi facial.
Dimensi eksternal dari komunikasi tubuh yang juga sangat penting dicermati yaitu pakaian dan cara berdandan.
Hal ini berpengaruh terhadap pengungkapan diri konselor dan informasi tentang seberapa baik konselor mengurus diri sendiri. Kategori khusus dari komunikasi tubuh yaitu komunikasi sentuhan yang merupakan upaya mengirim pesan melalui sentuhan fisik. Beberapa hal yang perlu jadi perhatian terkait komunikasi sentuhan, yaitu bagian tubuh apa yang digunakan konselor untuk menyentuh, bagian tubuh konseli yang disentuh dan seberapa lembut atau tegas sentuhan tersebut.
Terkait dengan jenis keterampilan komunikasi ini, perlu diperhatikan pertimbangan budaya yang dianut oleh masing-masing konseli. Komunikasi mengambil tindakan berupa pesan-pesan yang disampaikan konselor dalam situasi tidak bertatap muka, misalnya mengirimkan catatan tindak lanjut kepada konseli (Nelson-Jones, 2008). Dari paparan tersebut, diperoleh gambaran yang luas tentang keterampilan komunikasi yang digunakan dalam penyelenggaraan konseling.
Secara garis besar komunikasi tersebut melibatkan aspek verbal, vokal, tubuh, sentuhan dan tindakan, dengan penekanan-penekanan yang spesifik pada masing-masingnya.
Keterampilan komunikasi konselor merupakan elemen utama dalam penyelenggaraan konseling. Penguasaan keterampilan komunikasi akan mendukung efektifitas
penggunaan sejumlah keterampilan konseling lainnya dan sekaligus mendorong kesuksesan konselor dalam penyelenggaran konseling.
UPAYA MENCAPAI KONSELING EFEKTIF Upaya yang dapat dilakukan Konselor dalam rangka meningkatkan capaian konseling sehingga menjadi lebih efektif. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan, antara lain: Seorang Konselor harus selalu berupaya untuk melakukan pengembangan kualitas diri untuk mencapai keprofesionalan pelayanan konseling.
Dalam hal ini konselor perlu senantiasa berupaya untuk mengembangkan kemampuannya antara lain, dengan meningkatkan wawasan, pengetahuan,
keterampilan dan sikap (WPKNS), aktif dalam organisasi profesi (ABKIN), aktif dalam kegiatan MGBK, aktif berpartisipasi dalam kegiatan seminar dan lokakarya terkait dengan ke BK an dan berupaya untuk studi lanjut. Pelaksanaan konseling harus sesuai dengan standard operasional prosedur (SOP), yaitu dilakukan sesuai tahap demi tahap secara urut dan runtut.
Tahapan dalam konseling meliputi, tahap penghantaran, penjajakan, penafsiran,