• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSFORMASI KAKAWIN BHARATAYUDHA DALAM HIKAYAT PANDAWA LIMA I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TRANSFORMASI KAKAWIN BHARATAYUDHA DALAM HIKAYAT PANDAWA LIMA I"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

TRANSFORMASI KAKAWIN BHARATAYUDHA DALAM HIKAYAT PANDAWA LIMA I Wayan Cika, I Made Soreyana, dan I Wayan Teguh

Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana Jalan Nias 13 Denpasar. Kode Post: 80114

Telp/Fax: (0361) 224121, E-mail: [email protected] (Kode Makalah: )

ABSTRAK

Hikayat Pandawa Lima (HPL) yang ditulis dalam bahasa Melayu merupakan karya transformasi dari Wiracarita Mahabharata, dalam hal ini Kakawin Bharatayuda (KBY) yang ditulis dalam Jawa Kuna. Sebagai sebuah karya transformasi, tentu ada bagian-bagian yang ditambahi, dikurangi sesuai dengan cakrawala pikiran dan sosial budaya si penyadur. Hal itu berkaitan erat dengan konvensi bahasa, sastra, dan budaya yang melatarbelakanginya.

Masalah yang ingin dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana penyadur HPL meresepsi KBY (hipogram), perubahan-perubahan apa yang terjadi, bagaimanakah perubahan itu dilakukan. Masalah tersebut dianalisis dengan menggunakan teori resepsi sastra, ditunjang metode kualitatif dan hermeneutik. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan resepsi penyadur HPL terhadap teks hipogramnya.

Hasil analisis menunjukkan bahwa penyadur HPL mengadaptasi KBY tanpa merusak keutuhan hipogram. Oleh karena itu, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam hipogram itu masih tetap utuh dan lengkap.

Namun, dalam beberapa hal, ditemukan pula beberapa perubahan dalam HPL, antara lain perubahan insiden, nama-nama senjata, dan perubahan nama-nama tokoh cerita. Perubahan itu dilakukan dengan dua cara, yaitu secara otomatis mekanis dan secara kritis.

Kata-kata kunci: Transformasi, hipogram, KBY, HPL, resepsi, dan nilai-nilai luhur.

ABSTRACT

THE TRANSFORMATION OF KAKAWIN BHARATAYUDHA IN HIKAYAT PANDAWA LIMA

The Hikayat Pandawa Lima (HPL) which is written in Malay was transform creation of Mahabhrata story, in this case Kakawin Bharatayudha (KBY) which is written in the old Javanese. As a transformation work of course there were some parts of the text increased and decreased this depands on the social cultural and opinion of the tranformer. All of them had good relation with language, literature, and cultural conventional as their backgrounds.

The problem which is to be analized in the research is how the transformer of HPL received the sources of the text (hypogam), something may have changed and how the changes have effected it. Those problems were analyzed by the literature reception theory, supported by qualitative method and hermeneutic. The aims is to describe the reception transformer of HPL toward KBY (hypogram).

The result of the analysis show that the transformer of HPL adapted text KBY without destroyed the sources text. So that way the values in the sources text can be followed accurately and completely. But in some cases it was found that some changes in HPL such as incident changing of incident, weapon names, and actors names. These changes were caused by transformer in receipting souces text (KBY) interpretation. Those change were done by two ways such as automatically and critically.

Key words: transformation, hypogram, KBY, HPL, reception, values.

1. PENDAHULUAN

Objek kajian yang dipilih dalam penelitian ini adalah salah satu naskah Melayu yang berjudul Hikayat Pandawa Lima (HPL), Alasannya, sebagai berikut. Pertama, dalam konteks transmisi teks HPL merupakan karya transformasi yang ditulis oleh pengarang Melayu dalam bahasa Melayu. Artinya karya tranfosmasi itu menggambarkan seorang penulis Melayu mengungkapkan hasil bacaannya yang telah dibaca terlebih dahulu ke dalam karya baru. Dalam hal ini, karya yang dibaca lebih dulu itu

(3)

disebut hipogram, yakni Kakawin Bharatayudha (KBY). Kakawin itu mengisahkan peperangan dahsyat keturunan Bharata (Korawa dan Pandawa). KBY itulah yang dijadikan sumber penulisan karya baru yang disebut karya transformasi, yakni HPL. Kedua, HPL diyakini mengandung berbagai informasi, pengetahuan, kesenian, adat-istiadat dan lain-lain (Faturahman, 2015; Cika,2006: 1) yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam proses transformasi itu, muncul pertanyaan bagaimana konsistensi dan kreasi penyadur HPL meresepsi KBY dan faktor apa yang memengaruhi penyadur dalam konteks kesinambunga dan perubahan itu.

Teori yang digunakan untuk menganalisis konsistensi dan kreasi penyadur dalam meresepsi HPL adalah teori resepsi sastra, ditunjang metode kualitatif dan hermeneutik. Resepsi sastra adalah reaksi pembaca terhadap sebuah teks dan oleh pembaca teks itu dikonkretkan, dijadikan sebuah teks seperti yang dihayati dan dimengertinya (Hartok, 1984:79). Yunus menyebut resepsi sastra, bagaimana seorang penulis mentransformasi nilai yang ada pada karya sebelumnya ke dalam karya yang sedang ditulisnya. Hal ini memperlihatkan persambungan yang jelas sebagaimana dikerjakan Jauss dan Isser yang kemudian dianggap sebagai pengertian resepsi sastra yang dianut dewasa ini (Yunus, 1985:32). Jauss dan Isser sendiri dianggap memberikan dasar teoretis dan metodologis terhadap perkembangan resepsi sastra (Yunus, 1985:33) walaupun resepsi sastra sudah ada dasarnya pada masa sebelum Perang Dunia Kedua (Yunus, 1985:28). Tujuan yang ingin dicapai adalah menjelaskan konsistensi, kreasi, dan factor-faktor apa yang memengaruhi penyadur dalam mentransformasi KBY menjadi HPL.

2. Hasil dan Pembahasan

Cara yang ditempuh dalam analisis ini adalah melalui analisis setiap episode dengan mengajukan pertanyaan “mengapa”. Pertanyaan ini dimaksudkan untuk menguji kelogisan insiden dalam rangka membangun alur cerita. Perbedaan jawaban atas pertanyaan itu mengindikasikan tanggapan atau resepsi penyadur terhadap cerita hipogramnya. Kemudian ditafsirkan kemungkinan yang mempengaruhi perbedaan tanggapan itu. Pengaruh itu bisa bersifat sosial budaya, salah baca atau sengaja menciptakan suatu yang baru sebagai sebuah kreasi. Pembagian episode diambil sesuai dengan kesatuan cerita.

Analisis ini mulai episode Krisna Duta sampai pada kemenangan Pandawa yang akhirnya Pandawa memerintah Indraprasta dengan aman dan arif bijaksana. Hal ini perlu ditegaskan, karena dalam HPL ada episode yang mengawali dan mengakhiri cerita pokok yang tidak ada pada KBY. Dalam analisis ini penulis kemukakan beberapa episode sebagai contoh untuk mengetahui konsistensi dan kreasi penyadur HPL dalam meresepsi KBY.

2.1 Episode Krisna Duta

Beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan episode ini, yakni mengapa Krisna ditunjuk sebagai utusan Darmawangsa ke Astinapura? Mengapa Darmawangsa meminta separuh kerajaan Astina? Mengapa Krisna menolak suguhan Duryudana? Dan, mengapa Duryudana menolak permintaan Krisna itu?

Dalam HPL jawaban pertanyaan pertama berkaitan dengan permintaan Darmawangsa berdasarkan hasil musyawarah mufakat para Pandawa. Dalam HPL Krisna masih didudukkan sebagai utusan Darmawaangsa untuk meminta separuh kerajaan Astina. Hanya sebagian memiliki resepsi lain yakni tentang pemilihan utusan yang harus diperoleh melalui suatu proses yang dianggap sesuai dengan etik yaitu melalui sidang kerajaan. Dalam KBY tidak melalui sidang kerajaan, melainkan tugas yang diberikan Darmawangsa kepada Krisna dianggapnya sebagai pekerjaannya sendiri (HPL, hln. 87). Inilah yang tidak dijumpai pada KBY.

(4)

Pertanyaan kedua, mengapa Darmawangsa meminta separuh kerajaan Astina. Dalam lingkup perang Baratayuda seperti diceritakan dalam HPL, yang tidak ada pada KBY. Insiden lain dalam episode itu menyebutkan bahwa Maharaja Duryudana marah melihat tingkah Rajuna melakukan hubungan intim dengan permaisurinya, Banuwati. Duryudana bermaksud membunuh Pandawa dengan meminta bantuan Danghyang Drona (HPL, hlm. 6). Jawaban pertanyaan ini tidak dijumpai pada KBY. Barangkali penyadur HPL pernah membaca atau mendengar dari tradisi lisan kemudian memasukkan dalam HPL.

Setelah Krisna tiba di Astina, ia disambut dengan upacara kebesaran kemudian ia menyampaikan maksud kedatangannya. Krisna disuguhkan makanan yang lesat oleh Duryudana, tetapi Krisna menolaknya. Dalam HPL dapat dirunut jawabannya seperti dilukiskan pada kutipan berikut ini.

“Maka Betara Krisna pun terlalu sukacita melihat segala raja-raja itu muliakan dia. Maka Maharaja Duryudana pun datang dengan raja-raja membawa hidangan hendak menjamu Betara Krisna. Maka Betara Krisna tiada mau diperjamu oleh Maharaja Duryudana. Maka kata Maharaja Duryudana kepada Betara Krisna, “Barulah kasih tuanhamba akan hamba.

Jikalau baik jahat sekalipun dalam hati tuanhamba yang diperjamu beta ini, baik juga disukakan”. Maka sahut Betara Krisna, “Tiada demikian, karena adat orang yang disuguhkan orang itu. Jikalau pekerjaan-pekerjaan yang dibawanya itu belum bertentu, tiada harus makan minum dahulu” (HPL, hlm. 89).

Dalam HPL terdapat lukisan sebagaimana dideskripsikan pada KBY. Lukisan itu berisi penolakan suguhan yang diberikan Duryudana. Maksudnya adalah untuk meluruskan tata cara orang sebagai utusan dan tidak mau menerima suguhan sebelum yang dipentingkan diperoleh.

Hanya lukisan dalam HPL lebih panjang sedangkan kualitasnya sama (ekspansi). Hal ini dimungkinkan karena HPL berbentuk prosa (hikayat) yang memberikan kebebasan lebih longgar untuk menambahkan cerita sesuai yang diinginkan penyadur. Lukisan berikut lebih memperjelas penolakan Krisna terhadap suguhan yang diberikan Duryudana.

“...kemudian datanglah Raja Astina dengan sajian makanan, tetapi apa yang disajikan itu tidak diterima oleh Krisna dengan perkataan ; “ Tidak perlu’’ (KBY, III.3).

Karena itu raja Kaurawa berkata kepada raja Krisna: “Wahai raja Krisna, tuan sungguh mempunyai tabiat yang tidak baik. Tuan tidak mau menerima sajian saya. Penolakan ini adalah kejam. Hal sedemikian ini tidak pantas diperbuat oleh orang yang dianggap baik di dunia (KBY, III. 4).

Demikianlah kata raja Astina ketika ia menegur raja Krisna, raja Krisna dengan segera mengatakan tujuannya sebagai duta: “Apabila tujuan belum dicapai tidak boleh menerima kebaikan, sebab apabila tujuan itu belum tercapai, padahal orang telah menerima kebaikan, yang demikian itu sama dengan minum racun (KBY, III. 5).

Dalam episode Krisna Duta ini dapat dismpulkan bahwa tugas Krisna sebagai duta ternyata gagal, karena Duryudana menolak walaupun Drestarasta dan para resi menyetujui tujuan mulia itu.

Inilah inti jawaban pertanyaan nomor empat yang membangun struktur alur cerita.

Insiden yang terakhir ini dijumpai dalam teks sumbernya yang menyebut, Krisna memihak

(5)

Pandawa (KBY, IV. 5), dan menjadi musuh Korawa yang utama (KBY, IV.6). Demikian pula Karna, Dursana, dan Sangkuni menyebut Krisna bersatu dengan Pandawa dan perlu diwaspadai (HPL, hlm. 92). Jadi, episode ini dapat disimpulkan, bahwa penyadur HPL taat terhadap cerita sumbernya dalam arti tidak banyak dijumpai kreasi. Pelajaran yang dapat dipetik dalam episode ini ialah agar kita tetap memperhatikan tata krama dan etika moral dalam segala tindakan.

2.2 Episode Bisma sebagai Kepala Perang

Gugurnya putra raja Mangaspati terutama Sang Seta sebagai kepala perang Pandawa.

Pandawa Lima dan Krisna berbincang-bincang mencari penggantinya. Untuk itu, dipilihlah Dasta Jaman sebagai kepala perang. Dalam HPL insiden itu dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

“Maka Maharaja Darmawangsa dan Betara Krisna menyuruh hendak menjadikan kepala perang akan ganti Sang Seta Jaman itulah dituahkannya diberi baginda persalin pakaian selengkapnya sekaliannya emas (HPL, hlm.104).

Dalam KBY insiden itu dilukiskan pada bagian berikut ini. “Hentikanlah tentang terangkatnya mayat putra-putra raja Wirata. Ceritakanlah lagi tentang permusyawaratan orang Pandawa yang membicarakan supaya Sang Drestadyumna menggantikan Sweta. Ia akan diangkat (KBY , XXX. 5).

Melihat kutipan tersebut di atas, terdapat inti persoalan yang sama tentang pengangkatan Sang Dasta Jaman sebagai kepala perang. Akan tetapi, dalam HPL tidak melalui persidangan sebagaimana tampak pada KBY yakni adanya permusyawaratan (magunem).

Insiden selanjutnya ialah kedua belah pihak saling berhadapan memperlihatkan ikat perang. Dalam HPL Betara Krisna dan Maharaja Darmawangsa mengikat perang Garuda Bayu (HPL, hlm. 104), sedangkan dalam KBY disebut Garuda Wyuha (KBY, XII.6). Hal itu tampak pada lukisan berikut ini.

“Setelah berhadap-hadapanlah kedua belah pihak rakyat itu, maka Betara Krisna dan Maharaja Darmawangsa pun mengikat perang ‘Garuda Bayu’ namanya. Maka Sang Rajuna menjadi parah dan Maharaja Derpa jadi kepala perang. Sang Bima jadi sayap kiri Sang Seta Jaman menjadi sayap kanan dan Maharaja Darmawangsa dengan Maharaja Pandawa menjadi tubuh dan Sang Setyaki menjadi ekor. Maka segala rakyat dan bala tenteranya gajah kuda pun beraturlah masing-masing kepada ketumbukannya.

Setelah dilihat oleh Begawan Bisma ikat perang Pandawa itu, maka diturut oleh Maharaja Salya. Akan paruh Patih Sengkuni. Akan kepala perang Begawan Bisma jadi sayap kanan dan Dangyang Drono jadi sayap kiri. Maharaja Duryudana dan segala raja Korawa menjadi tubuh dan Sang Darseta jadi ekor. Maka...” (HPL, hlm.104). Selanjutnya dalam KBY dilukiskan pada bait-bait berikut ini.

“... Setelah hari tiba dengan cepatnya, sang Drestadyumna berangkat. Ia pergi untuk bermusyawarat tentang seluk beluk siasat perang yang akan membahayakan dan menakutkan. Namun siasat perang yang sukar untuk dibinasakan musuh ialah terkenal dengan nama Garudawyuha” (KBY, XII.6).

“Drupada merupakan kepala, sedangkan yang merupakan patuknya tidak lain dan tidak bukan Arjuna. Yang merupakan punggungnya ialah raja-raja dengan dipimpin

(6)

oleh Yudistira. Drestadyumna dengan tentaranya merupakan sayap kanan, sedangkan Bima yang terkenal gagah perkasa menjadi sayap kiri. Satyaki bertempat di ekor”

(KBY, XII.7).

“Siasat perang ini ditiru dan disamai oleh Sang Raja Suyodana. Sakuni menjadi kepala garuda, sedangkan Salya menjadi paruhnya. Di kiri dan kanan Bisma dan Drono masing-masing menjadi sayapnya. Suyudana merupakan punggungnya, sedangkan Dursusana bertempat di belakang” (KBY, XII. 8).

Pertama-tama yang perlu mendapat sorotan ialah yang membuat siasat perang. Dalam HPL dikisahkan setelah Sang Dasta Jaman dinobatkan sebagai panglima perang, Betara Krisna dan Maharaja Darmawangsa bersiap-siap mengikat perang dengan nama Garuda Bayu (HPL, hlm. 104).

Dalam hal ini penyalur HPL telah membuat pergeseran pelaku dalam insiden ini. Dalam konteks benar atau salah, penulis cenderung membenarkan insiden yang terdapat pada KBY dibandingkan dengan yang terdapat dalam HPL jawaban itu dapat didukung dengan argumentasi, karena Krisna sebagai saksi dan Maharaja Darmawangsa sebagai raja Pandawa, telah memberikan tanggung jawab penuh kepada Drestadyumana untuk membuat apa saja untuk menandingi musuh. Dalam batas-batas tertentu, Krisna dan Darmawangsa hanya mengawasi dan tidak mungkin Darmawangsa dan Krisna dalam kedudukannya sebagai raja yang patut diteladani, mencampuri urusan orang sebagai panglima.

Masalah yang lain yang agaknya penting mendapatkan perhatian ialah tentang pergeseran nama tokoh yang meniru siasat perang Pandawa. Dalam HPL yang meniru model ikat perang Pandawa ialah Maharaja Salya (HPL, hlm. 104), berbeda dengan yang terdapat dalam KBY oleh Maharaja Suyodana (KBY, XII.8). Pergeseran tersebut di atas berpengaruh terehadap susunan ikat perang Korawa. Kalau dalam HPL, Patih Sengkuni menduduki posisi sebagai paruh (mulut), akan tetapi dalam KBY sebagai kepala Sang Darseta yang menduduki ekor dalam HPL. Apakah Sang Darseta salah salin atau salah tulis dari Dursasana, memerlukan penelitian yang lebih mendalam.

Insiden selanjutnnya ialah perang dahsyat antara Pandawa melawan Korawa.

Kemarahan Krisna dilukiskan bagai Betara Kala (HPL, hlm. 105) yang menghancurkan alam semesta, dan sesuai dengan yang ada pada KBY (XII.11). Demikian pula amukan Bisma banyak membunuh rakyat Pandawa. Di antara raja-raja yang lari dan rakyat yang terbunuh itu, dilukiskan gugurnya anak Rajuna, Sang Irawan dibunuh oleh Kala Serenggi. Hal itu dilukiskan pada bagian berikut.

“Maka tiada berkeputusan lagi datang senjata itu, maka tiadalah terbicara lagi oleh Sang Rajuna melihat segala raja-raja Pandawa banyaklah habis mati terbunuh dan anak Rajuna mati, yang bernama Sang Irawan yang beranak dengan Dewi Partalupi dibunuh oleh raksasa Kala Serenggi namanya. Setelah Betara Krisna melihat yang Irawan sudah mati, maka Betara Krisna pun turun dari atas ratanya itu serta memegang cakranya pun dipusing-pusing dan berkilat-kilat rupaanya Akan mengusir Begawan Bisma hendak dicakranya” (HPL, hlm. 106).

Lukisan yang terdapat pada HPL jelas bersumber dari satu babon walaupun di sana-sini terdapat perubahan nama. Tartalupi (HPL), dan Ulupuy (KBY). Kutipan berikut membuktikan kebenaran itu.

(7)

“Pada ketika itu rupa-rupanya Arjuna menjadi gelisah dan agak kecewa, setelah ia melihat raja-raja yang secara menyedihkan telah terbunuh dalam keretanya. Di sanalah terdapat sang Irawan, anak Sang Arjuna dengan ibunda Dewi Ulupuy yang gugur dalam pertempuran dengan Sang Srenggi, ialah seorang raksasa yang ulung (KBY, XII.17).

Betara Krisna dengan Cakra saktinya ingin menyongsong sikap Bisma tetapi dihalangi oleh Arjuna. Pertanyaan yang timbul ialah mengapa Rajuna menghalanginya, padahal Krisna sendiri tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun. Dalam insiden ini Bisma berkeinginan terdapat HPL (hlm. 106) maupun pada KBY (XII. 19). Hanya dalam HPL terdapat pengandaian, senjata cakra itu bagaikan perempuan cantik parasnya. Lukisan perumpamaan itu tidak terdapat pada KBY. Bagi penyadur HPL, bagian ini mungkin dimaksudkan untuk menambah cerita agar lebih menarik di samping kesyahduan pertemuan itu. Akan tetapi yang penting, penyadur HPL telah berbuat sesuatu yang lain dari cerita sumbernya sebagai tanda kreativitas.

Akhirnya jawaban pertanyaan yang disebutkan di atas, dapat ditemukan dengan jelas baik pada HPL maupun pada KBY. Dalam HPL disebut bahwa percumalah Sri Krisna melepaskan cakranya hendak membunuh Bisma, karena Bisma tidak akan terbunuh oleh laki- laki. Selanjutnya dikatakan:

Maka kata Sang Rajuna, “Jangan tuanhamba berperang dengan Begawan Bisma, karena ia tiada mati oleh laki-laki melainkan perempuan juga yang dapat membunuh Begawan Bisma itu” (HPL, hlm. 106).

Lukisan dalam KBY berikut ini memperlihatkan suatu yang lebih pendek lagi. Hal ini dapat dibandingkan pada bagian berikut ini.

“..., kemudian Arjuna tidak membuang-buang waktu dan dengan cepat ia turun dan memegang tangan Sang Krisna. Ia mencegah Sang Krisna membunuh Resi yang mulia itu. Mmaka dari sebab itu terhentilah ia dan gagallah ia dalam usahanya untuk melemparkan cakranya kepada Sang Resi yang mulia itu” (KBY, hlm. 20).

Tidak adanya jawaban itu pada KBY, barangkali penyadur HPL pernah membaca cerita lain, kemudian memasukkannya ke dalam HPL, sehingga kisahnya lebih lengkap untuk mengantarkan pembaca kepada insiden lebih lanjut. Insiden selanjutnya ialah Darmawangsa menyuruh Dewi Srikandi menghadapi Bisma (HPL, hlm. 106), namun tidak terdapat kata

“disuruh oleh Darmawangsa” seperti tertulis dalam KBY. Keseragaman yang dijumpai ialah Bisma menjadi tidak berdaya setelah melihat Srikandi disertai lambaian tangan Resi Bisma kepada Yudistira seolah-olah memberi isyarat tentang kematiannya (HPL, hlm. 106; KBY, XIII.2). Hal ini sesuai dengan perjanjian pada perang terdahulu, bahwa kematiannya diserahkan kepada Maharaja Darmawangsa. Pembuktian bagian itu dapat dilihat pada kutipan berikut.

“… Maka Begawan Bisma pun melambai-lambai Maharaja Darmawangsa pun tahulah akan Begawan Bisma hendak memberi kematian daripada mula ertama berperang itu hendaklah diberikannya kepada Maharaja Darmawangsa” (HPL, hln. 106).

Lukisan berikut merupakan bagian yang terdapat dalam KBY.

“Ia hanya melambaikan tangannya kepada raja Yudistiira disertai dengan isyarat mata.

Yudistira melihat maksud sang Krisna yang termasyur itu, bahwa sang Resi ingin

(8)

menyerahkan hidupnya kepadanya. Sebab dulu, pada permulaan perang ia telah menyerahkan hidupnya kepada raja-raja Pandawa. Maka menurut katanya, ia akan terbunuh Sang Pahlawan Srikandi dengan bantuan Arjuna” ( KBY, XIII. 2).

Akhirnya, Srikandi memanah Bisma yang kemudian dilanjutkan oleh panah Arjuna (HPL, hlm. 106—107; HBY, XIII. 3—4), yang menyebabkan Bisma jatuh dan badannya hancur. Insiden ini dilanjutkan dengan ratap tangis dan penghormatan oleh Pandawa dan Korawa. Hanya Sang Bisma yang masih tetap berdiri dengan gadanya karena ia belum puas berperang (HPL, hlm. 107; KBY, XIII. 7). Bahkan dalam KBY lebih tegas dikatakan, bahwa Bisma siap menggantikan Yudistira apabila ia tetap menghormat Resi Bisma. Katanya: “...

Ia memberi isyarat kepada sang Yudistita, bahwa ia akan menggantikannya apabila mereka bersama mengormat Sang Bisma” ( KBY, XIII.7).

Ucapan Bisma semacam itu tidak terdapat pada HPL. Dalam HPL hanya disebut Sang Bima berlari-lari datang membawa gada karena belum puas berperang ( HPL, hlm. 107).

Kedua belah pihak menghaturkan persembahan sesuai dengan yang diminta oleh Resi Bisma, tetapi Korawa merasa kecewa karena semua persembahannya tidak diterima oleh Bisma. Akan tetapi dalam hubungan ini yang penting mendapat sorotan ialah nama tempat tidur Bisma di Tegal Kuru yang dipersembahkan oleh Pandawa dan Korawa. Dalam HPL, nama persembahan tikar Arjuna disebut tarkas ( bahasa Persia dan Hindi “ tarkash” atau quiver dalam bahasa Inggris). Katanya:

“Maka Seri Bagawan Bisma pun minta tikar kepada Maharaja Duryudana. Maka dipersembahkan oleh Baginda tikar pachar yang keemasan. Maka tiada berkenan kepada baginda tikar itu. Maka Sari Baginda Begawan Bisma meminta tikar kepada Sang Rajuna. Maka dipersembahkannya oleh Sang Rajuna tarkas anak panah ( HPL.

hlm. 107).

Dalam KBY tidak dijumpai kata tarkas, akan tetapi Saratalpa. Hal ini sesuai dengan yang terdapat pada KBY, seperti : “Pada waktu itu keduanya Pandawa dan segenap keluarga Korawa damai di medan perang. Karena Bisma tidak mau menggunakan tempat tidur dari rumput, Arjuna menggantikannya dengan anak panah (suratalpa),...”

Rupa-rupanya secara semantik, antara kata saratalpa dan tarkas tidak terdapat perbedaan. Kata saratalpa atau sarayana saratala berarti ‘tempat tidur (dari) panah’

(Imardiwarsito, 1981: 563), sedangkan tatkas berarti ‘tabung’ tempat menyimpan anak panah’

( Poerwadarminta, 1962; 1022). Pergeseran penggunaan kata saratalpa (KBY) menjadi tarkas (dalam HPL), agaknya penyadur HPL menyesuaikan cerita dengan konvensi bahasa hikayat yakni bahasa Melayu.

Terakhir, yang penting mendapatkan ialah nama panah Arjuna untuk mengambil air yang nanti dipersembahkan kepada Resi Bisma. Dalam HPL panah Rajuna bernama Tersengkala, nama ini tidak ddijumpai pada KBY. Katanya:

“Maka Begawan Bisma pun minta ayar kepada MaharajaDuryudana. Maka dipersembahkannya ayer kepada mangkok emas yang bertahtahkan ratna mutu manikan. Maka tiada berkenan kepada Seri Begawan. Maka dipersembahkan oleh Rajuna ank panahnya yang bernama “Tersengkala” (HPL, hlm. 108).

(9)

Rupanya bagian ini merupakan transformasi langsung dari KBY seperti tertera dalam bait ini. “... Dengan segera datanglah Arjuna untuk memberikan air yang murni, karena air itu terdapat dengan jalan (Menembakkan panahnya) ke tanah” (KBY, XIII. 9).

Episode itu ditutup dengan insiden Pandawa Lima bersaudara membawa Begawan Bisma ke bawah pohon beringin (HPL, hlm. 108; KBY, XIII.11).

2.3 Bagian Awal dan Akhir HPL yang Tidak Terdapat pada KBY

Secara garis besar HPL bagian awal ini terdiri atas beberapa episode, yaitu episode Darmawangsa bermain judi bersama Duryudana (hln. 1—17), episode Bimanyu dan Siti Sundari yang diakhiri perang Gatotkaca—Baladewa (hln.19—52), Episode Pandawa kembali dari Mercunegara dan Karna mengalami kegagalan membawa istri dan anak Pandawa (hln.

52—60), episode perkawinan Bimanyu dengan Dewi Utari (hln. 60—64), dan episode raja Wurgadewa berperang dengan Pandawa dan Dewi Anggarmayang dan Tunjung Tutur naik kahyangan (hln. 64—86).

Bagian akhir HPL terdiri atas beberapa episode lagi, yaitu episode Sengkuni di hutan Indraguna yang akhirnya dibunuh Sadewa (hln. 163—180), episode Pandawa kembali ke Mertawangsa (hln. 180—185), episode Rajuna kemasukan roh Duryudana (hln. 186—208), episode kematian Rajuna Sasrabahu dan Pandawa bermain di laut Mahadra (hln. 208—238), dan episode Parikasti menjadi raja dan Pandawa naik kahyangan (hln. 239—249). Lukisan seperti itu merupakan pemutarbalikan insiden (konversi). Sangat sulit menentukan pengaruh yang dijumpai dalam HPL ini. Akan tetapi, rupa-rupanya lukisan ini mirip dengan lukisan yang ada pada teks yang disimpan pada Royal Asiatic Society No. 2 (bdk.Liauw Yock Fang, 1975:

61—62). Pada lukisan ini terjadi pemutarbalikan insiden (konversi), misalnya Sangkuni yang hidup lagi dan munculnya tokoh Rajuna Sasrabahu. Selain itu terjadi modifikasi nama-nama tokoh seperti tokoh Arjuna - Rajuna dan Kumba - Turirah, Nakula – Sakula, dan Aswatama – Bambang Sutomo.

2.3 Simpulan dan Saran

HPL adalah karya transformasi dari KBY. Sebagai karya tranformasi, HPL tidak bisa dipandang rendah karena di dalamnya ada perubahan-perubahan yang dilakukan oleh penyadur sesuai dengan cakrawala pikiran dan konvensi budaya yang melatarbelakanginya. Meskipun ada kreasi, penyadur masih tetap mempertahankan keutuhan hipogramnya. Kreasi hanya berupa perubahan-perubahan kecil, berupa ekspansi, konversi, modifikasi, dan ekserp, baik yang dilakukan secara otomatis mekanis maupun secara kritis.

DAFTAR PUSTAKA

Cika, I Wayan. 2006. Kakawin Sabha Parwa¨Analisis Filologis. Denpasar: Pustaka Larasan.

Fathurachman, Omar. 2015. Filologi Indonesia, Teori dan Metode. Jakarta: Prenadamedia Grup.

Fang, Liaw Yock. 1975. Sejarah Kesusastaan Melayu Klasik. Singapora: Pustaka Nasional., Kuntara Wiryamartana. 1985. “Transformasi Wiracarita Mahabharata dalam Pewayangan

Jawa: Tinjauan khusus Bharatayuda Tradisi Yogyakarta”. Citra Pahlawan dalam Kesusastraan Jawa. Yogyakarta: Javanologi.

Yunus, Umar. 1985. Resepsi Sastra Jakarta: Gramedia.

Referensi

Dokumen terkait