REFERAT
PENGARUH TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN TERHADAP MYASTHENIA GRAVIS
Penyusun :
Nessia Nurina Putri 2007.04.0.0116 Louis Richard Jonathan 2010.04.0.0004
Firly Viany 2010.04.0.0105
Marissa Leviani 2010.04.0.0112
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH RSAL DR. RAMELAN SURABAYA
2015
LEMBAR PENGESAHAN
Judul referat “Pengaruh Terapi Hiperbarik Oksigen Terhadap Myasthenia Gravis” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian LAKESLA.
Mengetahui, Pembimbing
dr. Ni Komang S.D.U,Sp.S
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah dan rahmatNya, kami bisa menyelesaikan referat dengan topik “Pengaruh Terapi Hiperbarik Oksigen Terhadap Myasthenia Gravis”
dengan lancar. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian LAKESLA RSAL dr.
RAMELAN Surabaya, dengan harapan dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu yang bermanfaat bagi pengetahuan penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada:
a. dr. Ni Komang S.D.U,Sp.S, selaku Pembimbing Referat.
b. Para dokter di bagian LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya.
c. Para perawat dan pegawai di LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya.
Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat.
Surabaya, Juli 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN...i
KATA PENGANTAR...ii
DAFTAR ISI...iii
BAB I PENDAHULUAN...1
1.1 Latar Belakang...1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...3
2.1 Definisi Myasthenia Gravis...3
2.2 Epidemiologi...3
2.3 Anatomi, Fisiologi, dan Biokimia NMJ...3
2.4 Patofisiologi...7
2.5 Gejala Klinis...9
2.6 Klasifikasi...10
2.7 Diagnosis...12
2.8 Penatalaksanaan...18
2.9 Terapi Oksigen Hiperbarik...24
2.9.1 Pengertian...24
2.9.2 Hyperbarik chamber...25
2.9.3. Fisiologi terapi hiperbarik oksigen...25
2.9.4 Manfaat...28
2.9.5 Indikasi...28
2.9.6 Kontraindikasi...31
2.9.7 Komplikasi...34
2.10 Pengaruh Terapi HBO Terhadap Myasthenia Gravis...35
BAB III KESIMPULAN...38
3.1 Kesimpulan...40
DAFTAR PUSTAKA...41
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Myasthenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang disebabkan oleh adanya autoantibodi spesifik untuk reseptor asetilkolin manusia (AChR), yang terkonsentrasi di wilayah post sinaps dari neuromuscular junction.
Penyakit ini menyebabkan kelemahan otot dan kelelahan otot yang perlahan tapi progresif. Gejala kelemahan otot, kelelahan otot yang tidak wajar, dan peningkatan kekuatan otot setelah beristirahat merupakan karakter myasthenia gravis. Gejalanya cenderung lebih buruk pada penghujung hari atau selepas aktivitas, dan setelah penggunaan otot yang berulang-ulang untuk melakukan suatu gerakan tertentu, misalnya mengunyah dan menelan.
Myasthenia gravis mempengaruhi semua ras dan dapat berkembang pada usia apapun dari masa kanak-kanak sampai usia lanjut. Myasthenia Gravis sebenarnya termasuk penyakit yang jarang terjadi, kejadian tahunan diperkirakan 2 per 1.000.000. Pada pasien muda yang lebih sering mengalaminya adalah perempuan, sedangkan pasien yang lebih tua, lebih dari 50 tahun, lebih sering laki-laki. Perbandingan kejadian antara perempuan dengan laki-laki adalah 6:4, tetapi seiring pertambahan penduduk, rasio perbandingannya sekarang hampir sama. Orang-orang yang mewarisi kecenderungan untuk mengembangkan penyakit autoimun akan meningkatan risiko myasthenia gravis, sehingga pasien dengan myasthenia gravis mungkin memiliki penyakit autoimun lainnya, seperti diabetes atau penyakit tiroid, atau memiliki kerabat dengan penyakit autoimun. Myasthenia gravis adalah tipe yang paling umum terjadi dari gangguan neuromuscular junction nonherediter (62%), sebagian besar jenis gangguannya adalah gangguan mata (89%).
Pada tahun 1977, karakteristik autoimun pada myasthenia gravis dan peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasil ditemukan melalui beberapa penelitian. Hal ini meliputi demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR pada hampir 90% penderita myasthenia gravis, transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus, lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik, dan efek menguntungkan dari plasmaparesis.
Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi myasthenia gravis yang berbeda-beda, tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik pada penyakit ini.
Hiperbarik oksigen saat ini menjadi terapi yang sangat membantu dalam penyakit klinis seperti stroke, diabetes, luka bakar maupun tuli mendadak, dan lain-lain. Prinsip dari terapi oksigen hiperbarik ini adalah memberikan asupan oksigen tingkat tinggi agar kerja dari setiap sel yang ada di tubuh semakin baik dan optimal, diharapkan dapat membantu penyakit- penyakit yang tergolong berbahaya dan mengancam jiwa dengan fungsi dari oksigen tingkat tinggi tersebut dan dengan efek samping yang minimal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI MYASTHENIA GRAVIS
Myasthenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas3,4.
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Hal ini disebabkan karena adanya antibodi yang bersirkulasi dan melawan komponen membran motor post-sinaps atau pada neuromuscular junction3.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Myasthenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada berbagai usia. Seringkali penyakit ini tampak pada usia 20- 50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria dengan rasio perbandingan wanita dan pria adalah 6 : 4. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun3,4.
2.3 ANATOMI, FISIOLOGIS, DAN BIOKIMIA NEUROMUSCULAR JUNCTION
2.3.1 Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang myasthenia gravis, penting untuk mengetahui tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction. Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung- ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular7.
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction7.
Gambar 1. Anatomi suatu Neuromuscular Junction
2.3.2 Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi7.
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate).
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps.
Bila potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin.
Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik7.
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:
Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA
2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan potensial endplate yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor
asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis rongga sinaps
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin.
Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing- masing satu protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot7.
Beberapa sifat dari reseptor asetilkolin di neuromuscular junction adalah sebagai berikut:7
Merupakan reseptor nikotinik (nikotin adalah agonis terhadap reseptor)
Merupakan glikoprotein bermembran dengan berat molekul sekitar 275 kDa.
Mengandung lima subunit, terdiri dari 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan gamma
Dua molekul asetilkolin harus berikatan untuk membuka saluran ion, yang memungkinkan aliran baik Na+ maupun K+.
Autoantibody terhadap reseptor termasuk penyebab myasthenia gravis.
Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junction5
2.4 PATOFISIOLOGI
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi myasthenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal
ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita myasthenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain4.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita myasthenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan myasthenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan myasthenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90%
pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita myasthenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Myasthenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis myasthenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik4.
Pada pasien myasthenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga
mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor- reseptor asetilkolin yang baru disintesis4.
2.5 GEJALA KLINIS
Myasthenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat4. Gejala klinis myasthenia gravis antara lain :
Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis
Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita myasthenia gravis. Walupun pada myasthenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal.
Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis myasthenia gravis. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala4.
Gambar 3. Penderita Myasthenia Gravis yang mengalami kelemahan
otot esktraokular (ptosis).
Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.
Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas4.
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbulah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari palatum mole akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.
2.6 KLASIFIKASI MYASTHENIA GRAVIS
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), myasthenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut7:
a. Klas I
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.
b. Klas II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
c. Klas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
d. Klas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.
Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
e. Klas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
f. Klas IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
g. Klas IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.
h. Klas IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
i. Klas IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
j. Klas IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
k. Klas V
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Biasanya gejala-gejala myasthenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun3.
Myasthenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah ini3 :
a. Myasthenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
b. Myasthenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
c. Myasthenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.
2.7 DIAGNOSIS MYASTHENIA GRAVIS
2.7.1 Penegakan Diagnosis Myasthenia Gravis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu myasthenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas normal4.
Myasthenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal4.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan myasthenia gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita myasthenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada myasthenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher4.
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki4.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien myasthenia gravis fase akut sangat diperlukan4.
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu myasthenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi4.
Untuk penegakan diagnosis myasthenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut3 :
1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus.
Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
Untuk memastikan diagnosis myasthenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain3 :
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot- otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis.
Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh myasthenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
2. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh myasthenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
3. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinin masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh myasthenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
2.7.2 Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti 2.7.2.1 Pemeriksaan Laboratorium
Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu myasthenia gravis, dimana terdapat hasil yang positif pada 74% pasien. 80%
dari penderita myasthenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan myasthenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa myasthenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody4.
Rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibody, yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut4:
Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Myasthenia Gravis Osserman Class Mean antibody Titer Percent Positive
R 0.79 24
I 2.17 55
IIA 49.8 80
IIB 57.9 100
III 78.5 100
IV 205.3 89
Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB = moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe4
Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita myasthenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit myasthenia gravis.
Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita myasthenia gravis.
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita myasthenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (myasthenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.
Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan myasthenia gravis menunjukkan adanya antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan myasthenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan myasthenia gravis.
2.7.2.2 Imaging4
Chest x-ray (foto roentgen thorax)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorax, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.
Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest CT- scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus myasthenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.
MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis myasthenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.
Gambar 4. CT scan thorax menunjukkan adanya massa mediastinum anterior (thymoma) pada pasien dengan myasthenia gravis 2.7.2.3 Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular melalui 2 teknik4 :
Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita myasthenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
Single-fiber Electromyography (SFEMG)
Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal.
2.7.3 Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis myasthenia gravis, antara lain3,4:
Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada beberapa penyakit elain myasthenia gravis, antara lain :
o Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
o Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
o Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
o Paralisis pasca difteri
o Pseudoptosis pada trachoma
Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu sklerosis multiple.
Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan kelemahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru.
2.8 PENATALAKSANAAN
Pengobatan dari myasthenia gravis menggunakan dua kelompok obat yaitu anticholinesterase dan obat immunosupresif termasuk kortikosteroid, dan pada saat fase akut dapat dilakukan plasmapheresis dan pemberian IVIg.
2.8.1 Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut 2.8.1.1 Plasma Exchange (PE)5
Untuk myasthenia yang parah dan tidak mempunyai efek atau efek minimal terhadap pengobatan anticholinesterase dan prednison, atau pada saat fase akut yang memburuk dapat terjadi remisi dalam 2 hingga 8 minggu setelah dilakukan plasmapheresis. Terapi ini sangat berguna dalam keadaan myasthenic crisis dan dapat digunakan sebelum atau setelah thymectomy dan pada saat awal permulaan terapi obat immunosupresif.
Volume yang digunakan adalah 2 hingga 3,5 L (kurang lebih 125mL/kg). Plasma yang dibuang digantikan dengan albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium. Dapat diperkirakan bahwa dalam 2 liter yang ditukar dapat membuang 80% antibodi yang bersirkulasi dan dapat dilihat dari menurunnya antibodi terhadap ACh dalam 3 hingga 5 hari.
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada
terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh- frozen plasma tidak diperlukan.
2.8.1.2 Intravenous Immunoglobulin (IVIG)5
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement- activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena.
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi.
IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus.
Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.
2.8.1.3 Intravenous Methylprednisolone (IVMp)2
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian.
Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga.
Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi.
Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangkan apabila terapi lain gagal atau tidak dapat digunakan.
2.8.2 Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang 2.8.2.1 Obat anticholinesterase
Dua obat yang memberikan efek paling baik dalam memperbaiki kelemahan pada myasthenia gravis adalah neostigmine (prostigmin) dan pyridostigmine (mestinon). Dosis yang biasa digunakan untuk pyridostigmine adalah 30-90 mg diberikan tiap 6 jam. Sedangkan untuk dosis neostigmine 7,5-45 mg yang diberikan tiap 2-6 jam secara oral. Biasanya diberikan pada saat malam dikarenakan banyaknya pasien yang mengeluh adanya kelemahan pada saat malam atau pagi hari.
Untuk kasus yang ringan, pada pasien dengan remisi parsial setelah thymektomi, dan untuk kasus yang murni myasthenia occular , penggunaan obat anticholinesterase merupakan terapi yang diperlukan. Meskipun obat ini jarang menyembuhkan gejala secara komplit (misal gejala pada mata), namun kebanyakan pasien merasakan perbaikan.
Gambar 5. Obat Anticholinesterase
2.8.2.2 Kortikosteroid2
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk pengobatan myasthenia gravis. Kortikosteroid juga digunakan untuk pasien dengan kelemahan sedang hingg berat yang tidak merespon adekuat terhadap anticholinesterase. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi.
Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata- rata selama 3 bulan.
Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap myasthenia gravis masih belum diketahui.
Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada myasthenia gravis. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.
Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian
dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.
2.8.2.3 Azathioprine2
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien myasthenia gravis yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimafl tercapai. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya.
Respon Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.
2.8.2.4 Cyclosporine2
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
2.8.2.5 Cyclophosphamide (CPM)
CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin. Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat lainnya.
2.8.3 Thymectomy (Surgical Care)9
Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan myasthenia gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan thymoma denga atau tanpa myasthenia gravis sejak awal tahun 1900. Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian myasthenia gravis. Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian myasthenia gravis. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada myasthenia gravis.
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien9.
Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi myasthenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang
tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60%
lima hingga sepuluh tahu setelah pembedahan9.
Gambar 4. Kelenjar Thymus9
2.9 TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN 2.9.1 Pengertian
Kesehatan hiperbarik adalah ilmu yang mempelajari tentang masalah kesehatan yang timbul akibat pemberian tekanan lebih dari 1 Atmosfer (Atm) terhadap tubuh dan aplikasinya untuk pengobatan.10
Kesehatan hiperbarik, khususnya terapi oksigen hiperbarik merupakan terapi yang sudah banyak digunakan untuk penyakit penyelaman maupun penyakit bukan penyelaman baik sebagai terapi utama maupun terapi tambahan.10
Yang dimaksud dengan terapi oksigen hiperbarik adalah tindakan pengobatan dimana pasien menghirup oksigen murni (100%) secara berkala ketika menyelam atau di dalam ruang udara yang bertekanan tinggi (RUBT) dengan tekanan lebih besar daripada 1 ATA ( Atmosfir Absolut). 10,11
Tekanan 1 atmosfer (760 mmHg) adalah tekanan udara yang dialami oleh semua benda, termasuk manusia, diatas permukaan laut, bersifat tetap dari semua jurusan dan berada dalam keseimbangan10.
Meskipun banyak keuntungan dari terapi oksigen hiperbarik yang dapat diperoleh, cara ini pun juga mengandung resiko. Sebab itu terapi
oksigen harus dilaksanakan secara hati-hati sesuai prosedur yang berlaku, sehingga mencapai hasil yang maksimal dengan resiko minimal10.
2.9.2 Hyperbarik chamber
Terapi oksigen hiperbarik pada suatu ruang hiperbarik (hyperbaric chamber) yang dibedakan menjadi 2, yaitu:
- Monoplace : pengobatan satu penderita
- Multiplace : pengobatan untuk beberapa penderita pada waktu bersamaan dengan bantuan masker tiap pasiennya
Pasien dalam suatu ruangan menghisap oksigen 100% bertekanan tinggi > 1 ATA. Tiap terapi diberikan selama 2-3 ATA, menghasilkan 6 ml oksigen terlarut dalam 100 ml plasma, dan durasi rata-rata terapi 60-90 menit. Jumlah terapi bergantung dari jenis penyakit. Untuk akut sekitar 3-5 kali dan untuk kasus kronik bisa mencapai 50-60 kali. Dosis yang digunakan pada perawatan tidak boleh lebih dari 3 ATA karena tidak aman untuk pasien dan mempunyai efek imunosupresif. 12
2.9.3. Fisiologi terapi hiperbarik oksigen
Terdapat 3 hukum yang berperan dalam terapi oksigen hiperbarik, yaitu 10,11 :
Hukum Boyle
Pada suhu tetap, tekanan berbanding terbalik dengan volume.
P1V1 = P2V2 = P3V3...= K
Ini adalah dasar untuk banyak aspek terapi hiperbarik. Dasar ini terjadi ketika tuba eustachius tertutup mencegah pemerataan tekanan gas sehingga kompresi gas memberikan rasa nyeri di telinga bagian tengah . Pada pasien yang tidak bisa secara independen melakukan ekualisasi tekanan, tympanostomy harus dipertimbangkan untuk menyediakan saluran antara bagian dalam dan ruang telinga bagian luar. Demikian pula, gas yang
terperangkap dapat membesar dan membahayakan selama dekompresi, seperti pada pneumotoraks yang terjadi selama pemberian tekanan.
Hukum Dalton
Tekanan total suatu campuran gas adalah sama dengan jumlah tekanan parsial dari masing – masing bagian gas.
P = P1 + P2 + P3 +...
Hukum Henry
Jumlah gas terlarut dalam cairan atau jaringan berbanding lurus dengan tekanan parsial gas tersebut dalam cairan atau jaringan pada suhu yang tetap.
Ini adalah dasar teori untuk meningkatkan tekanan oksigen jaringan dengan pengobatan HBO. implikasi pada kasus dimana seseorang bernafas menggunakan oksigen 100% bertekanan tinggi, sehingga konsentrasi gas inert pada jaringan (terutama nitrogen) juga akan meningkat. Nitrogen dapat larut dalam darah dan juga dapat keluar dari plasma membentuk emboli gas arterial selama fase dekompresi.
Fisiologi dari HBO bermacam-macam yakni :
1. Peningkatan jumlah oksigen terlarut dalam jaringan.Sebagian besar oksigen yang dibawa dalam darah terikat pada hemoglobin, dimana 97%
tersaturasi pada tekanan atmosfer, Namun beberapa oksigen dibawa oleh plasma. Pada bagian ini akan meningkat pada terapi hiperbarik sesuai dengan hukum Henry yang akan memaksimalkan oksigenasi jaringan. Ketika menghirup udara normobaric, tekanan oksigen arteri adalah sekitar 100 mmHg, dan tekanan oksigen jaringan sekitar 55 mmHg. Namun, oksigen 100% pada tekanan 3 ATA dapat meningkatkan tekanan oksigen arteri 2000 mmHg, dan tekanan oksigen jaringan menjadi sekitar 500 mmHg, dan hal ini memungkinkan pengiriman 60 ml oksigen per liter darah ( dibandingkan dengan 3 ml/l pada tekanan atmosfer ), yang cukup untuk mendukung jaringan beristirahat tanpa kontribusi dari hemoglobin. Karena oksigen terlarut banyak di dalam plasma maka dapat menjangkau daerah-daerah yang
terhambat di mana sel-sel darah merah tidak bisa lewat, dan juga dapat mengaktifkan oksigenasi jaringan bahkan meskipun terdapat gangguan hemoglobin yang berperan dalam pengangkutan oksigen, seperti pada keracunan gas karbon monoksida dan anemia berat .11,13
2. Peningkatan gradien difusi oksigen ke dalam jaringan. Tekanan partial oksigen yang tinggi dalam kapiler darah memberikan gradien yang besar untuk poses difusi oksigen dari darah ke jaringan. keadaan tersebut sangat berguna untuk jaringan yang hipoksia akibat angiopati mikrovaskular seperti pada diabetes dan radiation necrosis. Selain itu, HBO juga membantu menstimulasi angiogenesis dan mengatasi defek patologis primer karena penurunan infiltrasi leukosit dan vasokonstriksi dalam jaringan iskemik.11,13 3. Vasokonstriksi arteriolar. Hyperoxic menyebabkan vasokonstriksi yang cepat dan signifikan pada sebagian besar jaringan. HBO juga biasanya meningkatkan resistensi vaskular sistemik, bradikardi serta menurunkan CO sebesar 10-20%, dengan Stroke Volume masih terpelihara. Meskipun demikian, hal ini masih dikompensasi oleh peningkatan pengangkutan oksigen plasma yang 2 kali lebih besar daripada biasanya.10,11
4. Efek terhadap pertumbuhan bakteri. HBO meningkatkan pembentukan radikal bebas oksigen, yang mengoksidasi protein dan lipid membran , yang kemudian akan menyebabkan kerusakan DNA sehingga mencegah multiplikasi, menghambat fungsi metabolisme bakteri serta memfasilitasi sistem peroksidase yang digunakan leukosit untuk membunuh bakteri. HBO sangat efektif terhadap bakteri anaerob dan bakteri microaerophilic11
5. Efek pada reperfusion injury. HBO menstimulasi pertahanan melawan radikal bebas oksigen dan peroksidase lipid yang terjadi. Pada reperfusion injury, leukosit menempel pada endotel venule, kemudian terjadi pengeluaran unidentified humoral mediators yang menyebabkan konstriksi arteriol lokal.
HBO mencegah proses tersebut dengan memperbaiki hidup dari kulit atau bahkan tungkai yang diimplatasi.13
2.9.4 Manfaat
a. Meningkatkan konsentrasi oksigen pada seluruh jaringan tubuh, bahkan pada aliran darah yang berkurang
b. Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk meningkatkan aliran darah pada sirkulasi yang berkurang
c. Mampu membunuh bakteri, terutama bakteri anaerob seperti Closteridium perfingens (penyebab penyakit gas gangren)
d. Mampu menghentikan aktivitas bakteri (bakteriostatik) antara lain bakteri E. coli dan Pseudomonas sp. yang umumnya ditemukan pada luka-luka mengganas.
e. Mampu menghambat produksi racun alfa toksin.
f. Meningkatkan viabilitas sel atau kemampuan sel untuk bertahan hidup.
g. Menurunkan waktu paruh karboksihemoglobin dari 5 jam menjadi 20 menit pada penyakit keracunan gas CO
h. Dapat mempercepat proses penyembuhan luka dengan pembentukan fibroblast
i. Meningkatkan produksi antioksidan tubuh tertentu j. Mereduksi ukuran bubble nitrogen
k. Mereduksi edema
l. menahan proses penuaan dengan cara pembentukan kolagen yang menjaga elastisitas kulit
m. badan menjadi lebih segar, badan tidak mudah lelah, gairah hidup meningkat, tidur lebih enak dan pulas14,15.
2.9.5 Indikasi
Indikasi kondisi akut (di mana terapi HBO harus diberikan awal dan dikombinasikan dengan pengobatan konvensional) yaitu15 :
1. Ulkus yang tidak mengalami penyembuhan, luka bermasalah, cangkok kulit yang mengalami reaksi penolakan.
Luka mempunyai masalah mendasar yaitu hipoksia jaringan dengan tekanan oksigen biasanya dibawah 20 mmHg, dan cenderung untuk terjadi infeksi. Dengan HBO 2-3 ATA selama 2 jam, oksigen meningkatkan vascular endothelial growth factor (VEGF) pada sel endotel. Melalui siklus krebs akan terjadi peningkatan NADH yang memicu fibroblast yang diperlukan untuk mensintesis kolagen pada proses remodelling. Selain itu, oksigen penting dalam hidroksilasi lisin dan prolin selama proses sintesis dan penyatuan kolagen. Pada bagian luka juga terdapat edema dan infeksi. Di bagian edema terdapat radikal bebas dalam jumlah besar, mengalami kondisi hipooksigenasi karena hipoperfusi. Pembentukan fibroblast akan mendorong terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipervaskular, hiperseluler dan hiperoksia. Sedangkan infeksi diatasi oleh daya fagositosis leukosit, peningkatan pembentukan radikal bebas, kemudian mengaktifkan peroksidase.
2. Acute Traumatic Ischaemias (Crush injury, sindrom kompartemen, dll) Pada kasus ini kemungkinan besar ekstrimitas terjadi nekrosis atau amputasi dan komplikasi sekunder untuk terjadi infeksi, luka yang tidak sembuh dan ununited fraktur. Penatalaksanaannya dengan cara pembedahan, antibiotik, serta terapi HBO sebagai terapi adjuvant.
Mekanisme HBO terhadap kasus ini adalah dengan cara meningkatkan jumlah oksigen ke jaringan, mereduksi edema, serta memediasi efek reperfusion injury.
3. Clostridial myonecrosis (Gangrene Gas)
Clostridium welchii tidak dapat memproduksi toksin alfa ketika pasien menjalani HBO. Organisme tersebut tidak mati, toksin tidak dapat didetoksifikasi oleh HBO dan toksin dapat bertahan selama 30 menit. Selain HBO, pembedahan dan antibiotik (aminoglikosida, quinolones, sulfa, dan amfotericin B) juga penting dalam penatalaksanaannya.
4. Necrotizing Soft Tissue Infections (jaringan subkutan, otot, fascia) Penatalaksanaan primer berupa debridement dan pemberian antibiotik. Sedangkan HBO sebagai terapi tambahan dengan mekanisme kerja meningkatkan daya fagositas leukosit terhadap bakteri, menghambat pertumbuhan organisme anaerob, serta meningkatkan potensi reduksi oksidasi.
5. Kehilangan darah yang luar biasa (anemia)
HBO berperan dalam menyuplai oksigen yang cukup untuk menyokong kebutuhan dasar metabolik pada masing-masing jaringan tubuh sampai sel darah merah kembali normal.
6. Abses intrakranial
Terapi HBO direkomendasikan sebagai terapi adjuvant karena sangat menguntungkan membunuh bakteri anaerob, mereduksi edema, meningkatkan sistem pertahanan tubuh dan mencegah terjadinya osteomyelitis.
7. Encephalopathy Post-anoxic
HBO meningkatkan suplai oksigen ke neuron yang iskemik, mereduksi edema, dan mengembalikan fleksibilitas eritrosit.
8. Luka bakar (Thermal Burns)
HBO berperan dalam mempertahankan jaringan yang masih viable, memperbaiki mikrosirkulasi, mengurangi edema, mempercepat epitelialisasi, dan menurunkan produksi laktat.
9. Tuli mendadak (sudden deafness)
10.Iskemik patologis pada mata (visual vascular pathology)
HBO berperan dalam mereduksi vasogenic edema pada retinal venous thrombosis.
11.Emboli udara atau gas * 12.Decompression sickness *
13.Keracunan gas karbon monoksida dan menghirup asap *
HBO pada tekanan 2,5 ATA mereduksi waktu paruh carboxyhemoglobin dari 4-5 jam menjadi 20 menit atau kurang sehingga mencegah delayed neuropsychological sequel dan terminasi biochemical deterioration.
Nb: * Kuratif / lini utama dari pengobatan Indikasi kondisi kronis yaitu :
1. Ulkus yang tidak mengalami penyembuhan / luka bermasalah (diabetes / vena dll)
2. Radiasi yang menyebabkan kerusakan jaringan
HBO dapat menginduksi neovaskularisasi dan meningkatkan tekanan oksigen jaringan.
3. Cangkok kulit dan penutup (yang mengalami reaksi penolakan/rejection)
4. Osteomielitis kronis
Peran HBO dengan cara meningkatkan level oksigen pada tulang dan jaringan, menstimulasi angiogenesis, meningkatkan daya fagositosis, membantu efek aminoglikosid menembus dinding sel bakteri dan aktivitas osteoklast dalam menghilangkan tulang yang nekrosis.
2.9.6 Kontraindikasi
a. Kontraindikasi absolut:
Pneumothorax
Kontraindikasi absolut adalah pneumothorax yang belum dirawat, kecuali bila sebelum pemberian oksigen hiperbarik dapat dikerjakan tindakan bedah untuk mengatasi pneumothorax tersebut
Keganasan
Selama beberapa tahun orang beranggapan bahwa keganasan yang belum diobati atau keganasan metastasik dapat menjadi lebih buruk pada pemakaian oksigen hiperbarik untuk pengobatan dan
termasuk kontraindikasi absolut kecuali pada keadaan-keadaan luar biasa. Namun penelitian-penelitian yang dikerjakan akhir-akhir ini menunjukan bahwa sel-sel ganas tidak tumbuh lebih cepat dalam suasana oksigen hiperbarik, biasanya secara bersama –sama juga menerima terapi radiasi atau kemoterapi.
Kehamilan
Kehamilan juga dianggap kontraindikasi karena tekanan parsial oksigen yang tinggi berhubungan dengan penutupan patent ductus arteriosus sehingga pada bayi prematur secara teori dapat terjadi fibroplasia retrolental. Namun penelitian yang kemudian dikerjakan menunjukan bahwa komplikasi ini tidak terjadi.
b. Kontraindikasi relatif
ISPA
Menyulitkan penderita untuk melaksanakan ekualisasi. Dapat ditolong dengan penggunaan dekongestan atau melakukan miringotomi bilateral
Sinusitis kronis
Sama dengan ISPA
Penyakit kejang
Menyebabkan penderita lebih mudah terserang konvulsi oksigen. Bilamana perlu penderita dapat diberikan anti-konvulsan sebelumnya.
Emfisema dengan retensi CO2
Ada kemungkinan bahwa penambahan oksigen lebih dari normal akan menyebabkan penderita secara spontan berhenti bernafas akibat rangsangan hipoksik. Pada penderita dengan penyakit paru yang disertai retensi CO2, terapi oksigen hiperbarik dapat dikerjakan bila penderita diintubasi atau memakai ventilator.
Panas tinggi yang tidak terkontrol
Merupakan predisposisi terjadinya konvulsi oksigen.
Kemungkinan ini dapat diperkecil dengan pemberian obat antipiretik dan anti konvulsan.
Riwayat penumothorax spontan
Penderita yang mengalami pneumothorax spontan dalam RUBT tunggal akan menimbulkan masalah tetapi di dalam RUBT kamar ganda dapat dilakukan pertolongan-pertolongan yang memadai.
Sebab itu bagi penderita yang mempunyai riwayat pneumothorax spontan harus dilakukan persiapan-persiapan untuk mengatasi hal tersebut.
Riwayat operasi dada
Menyebabkan terjadinya luka dengan air trapping yang timbul saat dekompresi. Setiap operasi dada harus diteliti kasus demi kasus untuk menentukan langkah-langkah yang harus diambil. Tetapi jelas dekompresi harus dilakukan secara lambat.
Riwayat operasi telinga
Operasi pada telinga dengan penempatan kawat atau topangan plastik di dalam telinga setelah stapedoktomi, mungkin suatu kontraindikasi pemakaian oksigen hiperbarik sebab perubahan tekanan dapat mengganggu implan terseut konsultasi dengan spesialis THT perlu dilakukan.
Kerusakan paru asimptomatis yang nampak secara radiologis Memerlukan proses dekompresi yang sangat lambat. Menurut pengalaman, waktu dekompresi antara 5-10 menit tidak menimbulkan masalah.
Infeksi virus
Pada percobaan binatang ditemukan bahwa infeksi virus akan lebih hebat bila binatang tersebut diberi oksigen hiperbarik. Dengan
alasan ini dianjurkan agar penderita yang terkena salesma (common cold) menunda pengobatan dengan oksigen hiperbarik sampai gejala akut menghilang.
Spherosis kongenital
Pada keadaan ini butir-butir eritrosit sangat fragil dan pemberian oksigen hiperbarik dapat diikuti dengan hemolisis yang berat. Bila memang pengobatan hiperbarik mutlak diperlukan, keadaan ini tidak boleh jadi penghalang sehingga harus dipersiapkan langkah- langkah yang perlu untuk mengatasi komplikasi yang mungkin timbul.
Riwayat neuritis optik
Pada beberapa penderita dengan riwayat neuritis optik terjadinya kebutaan dihubungkan dengan terapi oksigen hiperbarik.
Namun kasus yang terjadi sangat sedikit. Tetapi jika ada penderita dengan riwayat neuritis optik diperkirakan mengalami gangguan penglihatan yang berhubungan dengan retina, bagaimanapun kecilnya pemberian oksigen hiperbarik harus segera dihentikan dan perlu konsultasi dengan ahli mata10.
2.9.7 Komplikasi
Ketika digunakan dalam protokol standar tekanan yang tidak melebihi 3 ATA ( 300 kPa ) dan durasi pengobatan kurang dari 120 menit, terapi oksigen hiperbarik aman. Efek samping yang paling umum adalah:
a. Barotrauma telinga
Sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk menyamakan tekanan di kedua sisi membran timpani akibat tuba eustachius tertutup.
Barotrauma telinga tengah dan sinus dapat dicegah dengan teknik ekualisasi, dan otitis media dapat dicegah dengan pseudoephidrine.
Barotrauma telinga dalam sangat jarang, tapi jika membran timpani ruptur dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen, tinnitus dan vertigo.
b. Barotrauma paru
Pneumotoraks dan emboli udara lebih berbahaya pada terapi ini.
komplikasi akibat robek di pembuluh darah paru karena perubahan tekanan, tapi jarang terjadi.
c. Barotrauma dental
Menyebabkan nyeri pada gigi yang berlubang akibat penekanan saraf.
d. Toksisitas oksigen
Toksisitas oksigen dapat dicegah dengan bernafas selama lima menit udara biasa di ruang udara bertekanan tinggi untuk setiap 30 menit oksigen . Hal ini memungkinkan antioksidan untuk menetralisir radikal oksigen bebas yang terbentuk selama terapi.
e. Gangguan neurologis
Meningkatkan potensi terjadinya kejang akibat tingginya kadar O2.
f. Fibroplasia retrolental
Tekanan parsial oksigen yang tinggi berhubungan dengan penutupan patent ductus arteriosus sehingga pada bayi prematur secara teori dapat terjadi fibroplasia retrolental.
g. Katarak
Komplikasi ini jarang terjadi. Menyebabkan pandangan berkabut.
h. Transientmiopia reversibel
Meskipun jarang namun dapat terjadi setelah terapi HBO berkepanjangan yang menyebabkan perubahan bentuk/deformitas dari lensa.11
2.10 Pengaruh Terapi HBO Terhadap Myasthenia Gravis
Myasthenia Gravis merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Hal ini disebabkan karena adanya autoantibodi yang bersirkulasi dan melawan komponen membran motor post-sinaps atau pada neuromuscular junction. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs) yang dihasilkan oleh sel B, telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata2.
Pada pasien myasthenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa yang merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor- reseptor asetilkolin yang baru disintesis4.
Pada myasthenia gravis ditemukan kenaikan IgG dalam serum dan cairan serebrospinal. Dilaporkan adanya spesifik antibodi terhadap reseptor acetylcholin pada 85% pasien dengan Myasthenia Gravis, dan komponen utamanya adalah antibodi IgG. Terapi HBO menunjukkan adanya efek pada serum immunoglobulin terutama IgG. Temuan ini menunjukkan bahwa HBO dapat berefek immunosupresif.
Saito et al (1991) telah melakukan penelitian pada tikus yang diberikan sel eritrosit kambing (antigen induced antibody) dan pada tikus yang
mempunyai penyakit autoimmune (Autoantibodi). Pada tikus yang diberi sel eritrosit kambing, akan menghasilkan antibodi terhadap sel eritrosit tersebut yang dapat dideteksi dengan peningkatan haemolytic Plaque Forming Cell (PFC). Tikus-tikus tersebut dibagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama dilakukan terapi HBO dengan 252,5 kPa atau 2,49 ATA satu jam sehari selama sepuluh hari, sedangkan kelompok yang lain sebagai kelompok kontrol tanpa terapi HBO. Didapatkan hasil PFC dari kelompok pertama (dengan HBO) sebesar 150/1x106 ,sedangkan PFC kelompok kontrol sebesar 400/1x106 pada hari ke-7. Dapat disimpulkan bahwa kelompok yang mendapat perlakuan HBO memiliki efek supresif pada respon imun yang diinduksi antigen. 18
Gambar 5. Kadar IgG PFC pada tikus yang diberi sel eritrosit kambing
Pada tikus yang memiliki penyakit autoimmune dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama dilakukan penelitian untuk mengetahui
kadar IgG PFC pada sepuluh hari pertama. Sedangkan kelompok kedua dilakukan penelitian untuk mengetahui efek HBO terhadap kualitas hidup tikus dalam waktu dua bulan. 18
Pada kelompok pertama menggunakan tikus berusia 4 bulan yang diberikan terapi HBO 2,49 ATA selama 1 jam per hari selama 10 hari.
Kemudian dilakukan pengecekan kadar IgG PFC pada hari ke-5 dan didapatkan hasil adanya penurunan kada IgG PFC yang signifikan setelah 5 kali paparan HBO. 18
Gambar 6. Kadar IgG PFC pada tikus yang memiliki penyakit autoimun
Pada kelompok kedua menggunakan tikus berusia 2 bulan yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang menerima perlakuan HBO selama 1 jam per hari selama 2 bulan dan kelompok kontrol. Kemudian
dievaluasi pada saat tikus berusia 4 bulan. Hasilnya didapatkan penurunan produksi immunoglobulin oleh sel lien dari tikus yang diterapi HBO.18
Tabel 2. Efek paparan jangka panjang HBO pada tikus dengan peyakit autoimun
Li et al (1987) melakukan penelitian pada 80 pasien yang menderita myasthenia gravis. Kelompok pertama dilakukan terapi HBO saja dan kelompok yang lain diberikan HBO dengan pengobatan steroid. Perbaikan pada kelompok yang menerima HBO saja adalah 88,9 %, HBO dengan steroid adalah 86,5%, dan kelompok kontrol yang menerima steroid saja adalah 45%. Terdapat penurunan IgA dan IgM pada kelompok yang menerima pengobatan HBO. Hal ini mengindikasikan adanya efek immunosupresive17.
Pada percobaan awal ditemukan bahwa terapi HBO memberikan perbaikan pada penderita MG dan keefektifannya mencapai 100% dalam jangka pendek dan 87.5% dalam jangka panjang. (melakukan terapi sampai dengan tiga tahun).
Pasien biasanya sembuh dengan sempurna dan dapat melakukan aktivas aktif hanya dengan terapi HBO saja, tanpa perlu menggunakan obat. Terapi HBO menurunkan efek samping dexamethasone dan eksaserbasi dari penyakit yang pada saat permulaan terapi hanya menggunakan dexamethasone saja. Kombinasi HBO dengan dexamethasone dapat memberikan respon yang sinergis.
Prosedur 16:
- HBO: 2.5 ATA/ 60 menit/ q.d. /Total terapi 30x
- HBO dan dexamethasone: 2.5 ATA/ 60 menit/ q.d. dexamethasone 10-20 mg/ q.d. untuk 15-20 hari di tappering sampai dosis maintenance
BAB III KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Myasthenia Gravis merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Hal ini disebabkan karena adanya autoantibodi yang bersirkulasi dan melawan komponen membran motor post-sinaps atau pada neuromuscular junction. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti- AChRs) yang dihasilkan oleh sel B, telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata2.
Pada pasien myasthenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa yang merupakan binding site dari asetilkolin.
Terapi oksigen hiperbarik adalah tindakan pengobatan dimana pasien menghirup oksigen murni (100%) secara berkala ketika menyelam atau di dalam ruang udara yang bertekanan tinggi (RUBT) dengan tekanan lebih besar daripada 1 ATA ( Atmosfer Absolut)10,11. Terdapat 3 hukum yang berperan dalam terapi oksigen hiperbarik, yaitu : Hukum Boyle, Dalton, dan Henry 10,11 . Meskipun banyak keuntungan dari terapi oksigen hiperbarik yang dapat diperoleh, cara ini pun juga mengandung resiko. Sebab itu terapi oksigen harus dilaksanakan secara hati-hati sesuai prosedur yang berlaku, sehingga mencapai hasil yang maksimal dengan resiko minimal10.