BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Profil Pendidikan Di Ambon
Pemerintah kota Ambon dalam pelaksanaan
program wajib belajar 9 tahun diarahkan pada
beberapa hal misalnya: pada peningkatan pemerataan
dan akses pendidikan, peningkatan mutu, relevansi
dan daya saing pendidikan, manajemen dan tata kelola
pendidikan, serta tingkat pencapaian Standar
Pelayanan Minimal di bidang pendidikan tahun 2010.
Tingkat pencapaian Standar Pelayanan Minimal pada
bidang pendidikan terlihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1
Angka Partisipasi pendidikan
Sumber data: dari Dinas Pendidikan Kota Ambon Tahun 2010
Tabel 4.1 tentang Angka Partisipasi Kasar (APK)
sebagai indikator utama pemerataan dan perluasan
akses pendidikan di Ambon menunjukkan bahwa NO Satuan Pendidikan Angka Partisipasi
APK APM
1 SD/Mi/ Paket A 114,79 % 100,72 % 2 SMP/MITs/ Paket B 97,75 % 99,71 %
partisipasi pendidikan pada tingkat pendidikan dasar
(SD) dan menengah (SMP) relatif tinggi daripada tingkat
pendidikan atas (SMA). Hal serupa juga terjadi pada
Angka Partisipasi Murid.
Tabel 4.2
Jumlah Guru Yang Memiliki Standar Kualifikasi S1
NO Satuan Pendidikan
Guru Berkualifikasi
S1
1 SD/Mi 26,87%
2 SMP/MITs 28,12%
3 SMA/ SMK/MA 44,38%
Sumber Data: Dari Dinas Pendidikan Kota Ambon tahun 2011
Tabel 4.2 tentang guru yang memiliki Standar
Kualifikasi S1 menunjukkan bahwa guru
SMA/SMK/MA memiliki lebih banyak guru yang
berkualifikasi S1. Posisi selanjutnya ditempati
SMP/MITs, disusul oleh Guru-guru SD/Mi.
Tabel 4.3
Jumlah Guru, Kepala Sekolah Dan Jumlah Guru Peserta Seleksi Kepala Sekolah
NO Jabatan Jumlah
1 Guru 1925
2 Kepala Sekolah 54
3 Guru Peserta Seleksi Kepala Sekolah 61
Tabel 4.3 menunjukkan jumlah Guru di kota
Ambon adalah 1925 orang. Selanjutnya, jumlah Kepala
sekolah adalah 54 orang. Terakhir, jumlah Guru
Peserta Seleksi Kepala Sekolah adalah 61 orang.
4.2.
Kesenjangan
Keberadaan
Guru
Perempuan
Dalam
Kepemimpinan
Sebagai Kepala Sekolah
.Kesenjangan keberadaan guru perempuan dalam
kepemimpinan sebagai kepala sekolah Menengah
Pertama dapat dilihat berdasarkan jumlah Guru dan
Kepala Sekolah yang terklasifikasikan berdasarkan
perbedaan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan).
Sebagaimana termuat dalam tabel berikut:
Tabel 4.4
Jumlah Guru dan Kepala Sekolah Menengah Pertama
Jabatan L % P % Jumlah
Guru 484 25.14 1441 74.86 1925 KepSek 34 62.96 20 37.04 54
Sumber data: dari Dinas Pendidikan Tahun 2011
Tabel 4.4 tentang jumlah guru laki-laki dan
perempuan, serta guru yang diangkat menjadi kepala
sekolah, jelas memperlihatkan adanya kesenjangan
gender yang mencolok. Guru pada Sekolah Menengah
perempuan sebanyak 74,86 % dari total jumlah guru.
Tetapi, yang menjadi kepala sekolah hanya sebanyak
20 orang. Sebaliknya, guru laki-laki yang jumlahnya
lebih sedikit yakni 25,14% dari total jumlah guru tetapi,
yang menjadi kepala sekolah sebanyak 34 orang.
Dengan demikian, jumlah guru laki-laki yang menjadi
kepala sekolah lebih banyak dibandingkan guru
perempuan.
Kesenjangan dalam angka pada tabel 4.4 terkuak
dalam wawancara yang dilakukan peneliti. Ada
berbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan
sebagai alasan terjadinya fenomena itu, terutama
adanya prasangka dan pendapat bahwa perempuan
lebih cocok untuk menjadi guru, sebagaimana yang
diungkapkan oleh berbagai pihak.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan Kota Ambon:
“Sebenarnya guru wanita banyak yang telah memiliki kompetensi menjadi kepala sekolah, tetapi banyak dari mereka yang menolak untuk menjadi kepala sekolah karena mereka lebih senang menjadi guru, bila di minta untuk mengikuti seleksi pasti banyak yang menolak atau bahkan terpaksa ikut tetapi tidak dilakukan dengan sunguh-sungguh”.
Guru perempuan memiliki kualifikasi dan
kompetensi yang sama dengan guru laki-laki. Akan
tetapi dalam proses seleksi kepala sekolah, guru
sungguh-sungguh mengikuti seleksi. Kenyataan yang terjadi di
lapangan membuktikam bahwa sebenarnya perempuan
sendiri yang menutup akses mereka untuk dapat
mengembangkan diri menjadi pemimpin pendidikan.
Padahal secara kualitas dapat dilihat bahwa guru-guru
perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan
guru laki-laki. Hal tersebut menunjukkan bahwa
sebenarnya perempuan sendiri yang telah memberikan
peluang terjadinya kesenjangan dalam kepemimpinan
kepala sekolah.
Berkaitan dengan itu, terdapat pula pandangan
yang juga sama melalui apa disampaikan oleh kepala
sekolah perempuan bahwa:
“Guru perempuan cepat merasa puas dengan apa yang didapatinya sekarang. Mereka tidak mau mengembangkan diri untuk menjadi kepala sekolah karena beban kerja sebagai seorang kepala sekolah yang berat dan tunjangan kepala sekolah yang tidak seberapa dibanding dengan guru tidak terlalu banyak”.
Dari pernyataan tersebut di atas penulis
berpendapat bahwa, pemahaman guru perempuan
tentang tanggungjawab dan pengabdian mereka hanya
sebatas bagaimana mereka merasa puas dengan apa
yang telah mereka peroleh. Keinginan untuk
mengembangkan karir menjadi sesuatu yang tidak
terlalu penting karena pendapatan atau gaji yang
dikerjakannya. Sejalan dengan pernyatan di atas,
pandangan dari guru senior perempuan dalam
wawancara yang dilakukan, juga mengemukakan
bahwa:
“Kalau mau jadi kepala sekolah, saya tidak mau, biarlah laki-laki saja. Saya lebih suka untuk mengajar, karena tangunggjawab menjadi kepala sekolah itu terlalu berat”.
Pernyataan di atas sejalan dengan pernyataan
yang disampaikan oleh beberapa informan lain bahwa
penolakan guru perempuan untuk menjadi kepala
sekolah disebabkan oleh karena mereka merasa
tanggungjawab seorang kepala sekolah terlalu berat.
Dari pernyataan itu penulis berpendapat bahwa guru
perempuan sendiri mengakui ketidakinginannya untuk
menjadi kepala sekolah. Bukan karena guru
perempuan tidak memiliki kompetensi tetapi karena
guru perempuan lebih melihat tanggungjawab
kepemimpinan kepala sekolah sebagai suatu
tanggungjawab yang tidak mampu untuk diemban
olehnya. Terhadap pernyatan tersebut di atas, ditemui
pula dalam wawancara dengan kepala sekolah
perempuan yang mengemukakan bahwa:
Ungkapan kepala sekolah di atas, menambah
daftar alasan yang mempertegas bahwa guru
perempuan menganggap tugas ganda sebagai kepala
sekolah hanya akan membebankan mereka, sebab pada
saat yang sama mereka juga harus menjalankan tugas
sebagai seorang guru.
4.3.
Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah
Perempuan Dalam Proses Pemilihan
Kepala Sekolah.
Mekanisme pelaksanaan pemilihan kepala
sekolah yang diprakarsai oleh pihak Dinas Pendidikan
Kota Ambon diatur secara bertahap. Terdapat 7 tahap
pemilihan Kepala Sekolah sebagaimana terlihat pada
bagan dibawah ini:
Bagan 4.1
Pentahapan Pemilihan Kepala Sekolah Di Kota Ambon
Tahap 1
Dibukanya pendaftaran oleh Pemerintah Kota
Tahap 2
Pihak sekolah melanjutkan pemberitahuan kepada guru-guru (khusus bagi yang telah memenuhi syarat-syarat).
Tahap 3
Tahap Pertama. Sejalan dengan pernyataan seorang kepala sekolah laki-laki bahwa:
“Pemerintah kota mengeluarkan surat pemberitahuan kepada sekolah-sekolah untuk dapat mengikutsertakan guru-guru yang telah memenuhi standar dan kriteria menjadi kepala sekolah”.
Pernyataan kepala sekolah di atas sama dengan
apa yang disampaikan oleh beberapa guru senior yang
pernah mengikuti seleksi kepala sekolah.
Pemberitahuan dari pemerintah kota kepada
sekolah-sekolah langsung direspon oleh kepala sekolah-sekolah sebagai
penanggungjawab untuk merekrut guru-guru yang Tahap 6
Hasil tes diserahkan ke pemerintah kota. Selanjutnya, pemerintah kota diwakili oleh Badan Kepegawaian Daerah dan Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan menentukan siapa yang layak dipilih menjadi kepala sekolah.
Tahap 7
Diterbitkannya surat keputusan dan pelantikan menjadi kepala sekolah
Tahap 5
Para calon dikirim oleh pemerintah kota mengikuti tes di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP)
Tahap 4
telah memenuhi standar dan kriteria seorang kepala
sekolah.
Tahap Kedua. Kepala sekolah sebagai penanggungjawab memberikan kesempatan kepada
setiap guru untuk dapat memasukan nama-namanya
(Guru-guru senior baik laki-laki maupun perempuan)
untuk mengikuti seleksi kepala sekolah. Kesempatan
untuk mengikuti seleksi kepala sekolah ternyata tidak
terlalu menjadi hal yang ditunggu-tunggu oleh guru
senior khusunya guru perempuan. Ketidakantusiasan
guru-guru perempuan untuk mengikuti seleksi kepala
sekolah disebabkan karena mereka sudah merasa
kalah sebelum mencoba, inilah yang diungkapkan oleh
kepala sekolah perempuan bahwa:
“Semua guru-guru yang sudah memenuhi syarat menjadi kepala sekolah selalu saya beri motivasi dan dorongan bahkan kesempatan untuk mendaftarkan diri, baik itu guru laki-laki maupun perempuan. Tetapi para guru perempuan yang telah memenuhi syarat sesuai dengan ketetapan pemerintah, misalnya golongan, berpengalaman dalam memimpin, pernah mengikuti pelatihan-pelatihan, sudah sertifikasi, biasanya mereka tidak mau. Mereka sudah merasa kalah sebelum mencoba. Padahal perasaan itu tidak boleh, karena mereka (guru perempuan) harus bisa sama seperti laki-laki. Pada akhirnya yang sering maju adalah guru laki-laki”.
Dari pernyataan di atas penulis berpendapat
bahwa kemampuan guru perempuan sama dengan
guru perempuan. Kesenjangan yang terjadi dalam
kepemimpinan kepala sekolah diakibatkan oleh guru
perempuan sendiri belum mau mencoba untuk
mengembangkan karir seperti guru laki-laki. Guru
perempuan harus menyadari bahwa mereka memiliki
hak yang sama dengan guru laki-laki.
Selain itu penolakan guru perempuan untuk
menjadi kepala sekolah disebabkan karena mereka
menganggap tugas seorang kepala sekolah terlalu berat,
seperti yang di sampaikan oleh seorang guru senior
perempuan bahwa:
“Saya tidak mau untuk mengikuti seleksi kepala sekolah karena bagi saya tugas seorang kepala sekolah itu terlalu berat, melaksanakan tugas sebagai guru dengan baik bagi saya sudah cukup menopang suami untuk mengisi kebutuhan keluarga. Saya tidak mau dibebani lagi dengan tugas tambahan sebagai seorang kepala sekolah”.
Pernyataan yang disampaikan oleh seorang guru
senior di atas dapat disimpulkan bahwa, guru
perempuan sudah menganggap tanggungjawab kepala
sekolah hanya sebagai sebuah “beban”. Sehingga pada
saat ditawarkan mengikuti seleksi kepala sekolah,
guru-guru perempuan sudah tidak memiliki keinginan
untuk mengambil bagian dalam proses tersebut. Sikap
yang ditunjukkan guru perempuan ini merupakan
perwujudan dari kebiasaan yang telah mereka anut
perempuan. Bahwa tugas dan tanggjawabnnya adalah
sebagai ibu rumah tangga. Selain tugas utama tersebut
tanggungjawab sebagai seorang guru adalah bagian
dari tugas tambahan dalam membantu suami mencari
nafkah demi kesejahteraan kehidupan berkeluarga.
Selanjutnya, terdapat juga penyataan yang menganggap
bahwa guru laki-laki lebih agresif dari guru perempuan.
Hal tersebut disampaikan oleh guru senior laki-laki
bahwa:
“Saya kira perempuan sekarang banyak yang sudah mulai maju tetapi memang sebagian besar guru-guru perempuan ada yang bilang kalau mereka tidak mau disibukan dengan tugas ganda sebagai kepala sekolah, tidak mau membuang waktu, mereka ingin lebih fokus ke keluarga dan tidak mau mau cape (lelah). Berbeda dengan guru laki-laki yang lebih agresif untuk mengikuti proses seleksi karena bagi guru laki-laki kesempatan ini sangat baik untuk mengembangkan karier menjadi kepala sekolah”.
Pandangan guru senior laki-laki sangat
melemahkan posisi perempuan, guru perempuan lebih
pasrah dengan kuadratnya sedangkan guru laki-laki
lebih percaya diri dan sangat berambisi untuk
menduduki jabatan kepala sekolah. Pandangan guru
perempuan untuk tidak ingin menjadi kepala sekolah
dengan beralasan pada rasa takut, rasa tidak mampu,
dan pasrah pada nasib menjadi golongan “kelas dua”
akan sangat mengganggu perkembangan dari guru
Tahap Ketiga. Nama-nama Calon kepala sekolah yang diusulkan oleh sekolah, diberikan ke Diknas Kota
Ambon untuk selanjutnya akan dilakukan seleksi oleh
dinas yang diwakili oleh tim independen. Seperti yang
telah dijelaskan pada tahapan kedua bahwa sebagian
guru-guru perempuan menolak untuk mengikuti
seleksi kepala sekolah, pada tahap ketiga ini, ada yang
ikut seleksi kepala sekolah karena dorongan dari
kepala sekolah, seperti pernyataan dari seorang guru
senior perempuan yang mengatakan bahwa:
“Pengalaman saya sebenarnya keinginan untuk seleksi kepala sekolah bukan karena keinginan saya. Saya tidak mau untuk mengikuti seleksi kepala sekolah, namun karena ada dorongan dari kepala sekolah makanya saya ikut saja untuk memasukan nama saya agar dapat mengikuti seleksi”.
Pernyataan yang disampaikan oleh guru senior
tadi juga terjadi pada beberapa guru senior lainnya di
sekolah yang lain. Terhadap itu, penulis berpendapat
bahwa persoalan yang mendasari ketidakmauan guru
perempuan untuk mengambil bagian dalam proses
pemilihan kepala sekolah adalah karena pola pikir dari
guru perempuan yang belum berubah, dan mereka
masih belum sadar tentang peran dan kedudukan
sebagai Kepala Sekolah. Padahal mereka memiliki
kesempatan untuk bisa berkembang kearah itu. Selain
itu, ungkapan di atas mengindikasikan bahwa kepala
berpengaruh dan menjadi seorang motivator yang dapat
mempengaruhi rekan-rekan sekerjanya untuk menjadi
baik dan lebih maju.
Tahap Keempat. Merupakan awal dimulainya suatu proses pemilihan kepala sekolah, guru-guru yang
telah memasukan namanya dari sekolah kemudian
mengirimkan nama-nama tersebut ke Dinas Pendidikan
Kota. Penentuan keikutsertaan guru-guru dalam seleksi
tergantung dari kelengkapan berkas-berkas. Seperti
yang diungkapkan oleh seorang guru senior perempuan
ini bahwa:
“Pada tahapan ini saya tidak lulus, karena belum lengkap berkas-berkasnya. Hal ini karena pada waktu akan dilaksanakan pemberkasan saya tidak tahu informasi pelaksanaanya secara pasti, saya baru tahu pada malam harinya sebelum seleksi berkas”.
Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh
seorang guru senior tadi, kepala sekolah perempuan
juga mengungkapkan bahwa:
“Secara administrasi berkas-berkas mereka dapat dikatakan sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh pemerintah namun hasil yang didapat mereka dinyatakan tidak lulus”
Dari pernyataan di atas, penulis berpendapat
bahwa pada tahap ini guru-guru yang akan mengikuti
seleksi seharusnya mempersiapkan berkas-berkas
ini adalah tahapan awal dimana guru-guru dinilai
dalam prestasi dan proses pelaksanaan tugas selama
menjadi seorang guru. Sebaliknya, ada suara lain dari
guru yang pernah mengikuti seleksi namun gagal pada
tahap pemberkasan padahal mereka telah menyiapkan
berkas-berkas tersebut sesuai dengan peraturan
pemerintah. Itu menjadi kegelisahan yang tak ada
jawababnya.
Tahap Kelima. Guru yang telah dinyatakan lulus akan dites secara lisan dan tulisan oleh tim penguji
dari Universitas Pattimura dan Universitas Pelita
Harapan (UPH), tim diberikan tugas untuk dapat
menguji para calon-calon kepala sekolah meliputi aspek
kemampuan pedagogik, IQ, emosional, dan kompetensi
kepala sekolah yang meliputi: kompetensi kepribadian,
Kewirausahaan, Manajerial, supervisi dan sosial.
Selanjutnya calon-calon kepala sekolah ini akan
menyampaikan secara lisan visi dan misi sekolah jika
nantinya mereka menjadi seorang pemimpin.
Selanjutnya, guru-guru yang dinyatakan lulus akan
mengikuti diklat selama kurang lebih tiga bulan di
LPMP.
Hasil wawancara yang dilakukan terhadap Kepala
Dinas Pendidikan terungkapkan bahwa banyak aspek
“Untuk menjadi seorang pemimpin memang tidak mudah, walaupun seseorang secara kualifikasi dikatakan mampu, belum tentu dia dapat menjadi pemimpin yang bijaksana. Oleh karena itu dalam penilaian guru-guru, ada kriteria-kriteria yang kemudian menjadi ukuran layak atau tidak, penilaian tersebut misalnya kemampuan mereka dalam memimpin, bagaimana pengendalian diri sebagai seorang kepala sekolah, kapabilitas mereka, dan perfoma mereka sebagai pemimpin”.
Pernyataan kepala dinas di atas menegaskan
bawasanya untuk menjadi seorang kepala sekolah
adalah hal yang sulit dan tidak cukup terukur secara
intelektual. Selebihnya, bagi guru yang mengikuti
seleksi kepala sekolah harus memiliki kemampuan
praksis dalam memimpin suatu lembaga pendidikan.
Pendapat lain disampaikan kepala sekolah perempuan
tentang proses seleksi kepala sekolah pada Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan seperti demikian:
“Setelah lulus seleksi administrasi, kami mengikuti tes yang dilakukan di LPMP antara lain tes lisan dan tulisan setelah itu kami mengikuti pelatihan selama 3 bulan di LPMP”.
Proses seleksi di LPMP merupakan tahap terakhir
dari segala rangkain tes yang harus dilalui oleh
guru-guru yang mengikuti seleksi kepala sekolah. Pada
tahapan itu, guru benar-benar dinilai, apakah guru
mampu untuk menjadi seorang pemimpin yang
memiliki kualitas baik dan yang mampu memberikan
kontribusi baik bagi sekolah yang akan di pimpinnya
tersebut agar nantinya dapat menjadi seorang
pemimpin yang memberikan perubahan terhadap
sekolah yang dipimpinnya kelak dan mampu
menerapkan 5 kompetensi seorang kepala sekolah.
Tahap Keenam: Hasil tes LPMP diserahkan ke Pemkot, khususnya ke bagian Badan Kedinasan
Daerah (BKD) kemudian dibahas oleh Badan
Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat).
Dalam wawancara dengan Kepala Dinas Kota Ambon,
beliau mengungkapkan bahwa:
“Hasil dari tes LPMP diserahkan ke Badan Kedinasan Daerah (BKD) dan bersifat rahasia. Kemudian Baperjakat yang terdiri dari 5-7 orang akan melakukan rapat untuk mempertimbangkan siapa yang bisa diputuskan menjadi kepala sekolah. Baperjakat merupakan bagian dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Baperjakat bukanlah kelompok yang permanen, mereka bertemu hanya untuk mengerjakan pekerjaan khusus untuk mempertimbangkan kelayakan seseorang untuk menjadi kepala sekolah dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Dari pernyataan Kepala Dinas Pendidikan kota
Ambon di atas, penulis berpendapat bahwa proses
seleksi kepala sekolah yang dilewati oleh guru-guru
relatif cukup panjang dan rumit. Banyak lembaga yang
dilibatkan dalam pemilihan ini. Pada tahapan ini
nama-nama guru hasil seleksi kepala sekolah kemudian
diserahkan lagi ke Badan Kepegawaian Daerah (BKD),
nama-nama tersebut sangat rahasia dan tak menuntup
Seperti yang disampaikan oleh guru senior laki-laki
bahwa:
“Pengumuman hasilnya masih kurang transparan, banyak guru-guru yang mengeluh, karena setiap tahapan seleksi sampai hasil dari LPMP kami tidak pernah tahu”.
Pernyataan guru senior laki-laki juga sama
dengan pernyataan yang di sampaikan oleh beberapa
guru senior yang pernah mengikuti seleksi kepala
sekolah. Kekecewaan mereka terhadap transparansi
hasil penilaian dari seleksi sampai pada hasil tes di
LPMP menjadi pertanyaan apakah dalam proses seleksi
kepala sekolah ini ada proses yang dapat dikatakan “curang”? jawaban dari pertanyaan tadi kemudian teridentifikasikan melalaui pernyataan seorang guru
senior laki-laki yang mengungkapkan tentang adanya
kecurangan dalam proses penilaian:
“Ya… hal itu mungkin saja terjadi. TIM yang melakukan tes memang memiliki kompeten, masalahnya adalah sesudah nama-nama kami dimasukan ke Pemkot lalu ke Badan Kepegawaian Daerah dan Badan Pertimbangan Jabatan dan kepangkatan (Bapaerjakat) tidak ada yang tahu apa yang mereka lakukan. Bisa saja ada “titipan”dari partai politik untuk jabatan kepala sekolah, banyak politik “balas budi”, dan tergantung kedekatan”.
Dari pernyataan di atas penulis berpendapat
ketika proses seleksi yang dilakukan di LPMP selesai
nama-nama seleksi kepala sekolah kemudian
diserahkan ke Badan Kepegawaian daerah dan
Baperjakat mempunyai peran dalam pemilihan kepala
sekolah. fakta ketidaktransparan terhadap hasil tes,
oleh Badan Kepagawaian Daerah dan Baperjakat dalam
proses penilaian akhir yang dilakukan sangat rahasia
dan tidak ada yang tahu, membuka peluang bagi
dugaan adanya peranan partai politik dalam proses
pemilihan.
Tahap Ketujuh. Merupakan akhir dari semua rangkaian seleksi untuk menjadi seorang kepala
sekolah, ketika penentuan siapa yang menjadi kepala
sekolah ditetapkan oleh Badan Pertimbangan Jabatan
dan Kepangkatan (Baperjakat) maka selanjutnya adalah
penerbitan surat keputusan pengangkatan dan
pelantikan kepala sekolah oleh walikota Ambon.
4.4
Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah
Perempuan Dalam Kompetensi Kepala
Sekolah.
Dalam pembahasan sebelumnya dijelaskan
bahwa pemilihan kepala sekolah dan pengangkatan
kepala sekolah sesungguhnya tidaklah dilakukan
secara serampangan, bahkan biasanya yang diangkat
adalah guru yang sudah berpengalaman, atau sudah
pernah menjabat sebagai wakil kepala sekolah.
Meskipun demikian, pada saat menjalankan roda
sekolah merupakan pekerjaan yang berat, yang
menuntut standar kompetensi tertentu agar peran yang
dilakukan dapat maksimal dan profesional.
Hasil penelitian yang dilakukan kepada para
kepala sekolah dapat menunjukkan penilaian
kompetensi yang dimiliki oleh kepala sekolah laki-laki
dan perempuan adalah sebagai berikut:
Tabel 4.5
Tabel 4.5 tentang Kompetensi Kepala Sekolah
menunjukkan bahwa dari kelima dimensi kompetensi
yang dimiliki seorang kepala sekolah, antara laki-laki
dan perempuan rata-rata telah mampu diterapkan
dengan baik (<50%). Bahkan pada dua kompetensi
(kewirausahaan dan supervisi), perempuan terlihat
lebih menonjol daripada laki-laki. Secara mendetail,
dilakukan penulis dengan informan kunci dan subjek
penelitian yang teruraikan sebagai berikut:
4.4.1 Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian kepala sekolah
perempuan dan laki-laki dalam kepemimpinannya
memiliki keunikan dan dapat dibedakan. Keunikan
masing-masing sangat mencirikan pandangan umum
tentang kelaki-lakian dan keperempuan. Hal tersebut
terkuak dalam wawancara dengan seorang guru senior
perempuan bahwa:
“Kepala sekolah perempuan lebih memiliki sifat keibuan, mereka sangat sabar dan peduli terhadap masalah anak-anak. Sedangkan, kepala sekolah laki-laki memang mempunyai kepribadian yang berbeda kurang sabar dan kurang begitu peduli terhadap masalah anak-anak”.
Keunikan yang melatarbelakangi perbedaan
kepemimpinan kepala sekolah perempuan dan laki-laki
nampak dalam kepribadian perempuan yang lebih
menonjolkan kesabaran dan kepedulian. Hal tersebut
terjadi karena perempuan lebih memiliki sifat keibuan.
Pendapat lain tentang perbedaan kompetensi
kepribadian Kepala sekolah laki-laki dan perempuan
juga disampaikan oleh seorang guru senior laki-laki
bahwa:
emosi, juga berani dan tidak takut terhadap resiko. Sedangkan, perempuan pada umumnya memiliki sifat sangat berhati-hati, banyak pertimbangan. Kadang-kadang tidak berani mengambil keputusan”.
Perbedaan mencolok dalam penerapan
kompetensi kepribadian juga diungkapkan oleh seorang
Kepala Sekolah perempuan yang mengatakan bahwa:
“Dari pengalaman saya sebagai guru, yang menonjol dari sikap kepala sekolah laki-laki memakai pikiran. Sedangkan perempuan lebih memakai perasaan, sangat mudah menangis dan kurang tegas dalam mengambil keputusan”.
Terhadap pernyataan diatas, penulis berpendapat
bahwa kepala sekolah laki-laki lebih memakai pikiran,
berani menghadapi dan mengatasi apa saja yang
terjadi. Sementara perempuan lebih memakai perasaan,
hal itu wajar karena pada umumnya perempuan itu
mempunyai naluri perawat dan pemelihara.
Beberapa hasil wawancara dari para informan
yang mengulas tentang kompetensi kepribadian dapat
penulis paparkan secara singkat yakni bahwa antara
laki-laki dan perempuan juga terlihat dalam cara
mereka bersikap. Perempuan memiliki sikap yang lebih
tertutup, sedangkan laki-laki memiliki sikap terbuka,
ketertutupan itu muncul dari cara mereka berbicara
yang sedikit hati-hati. Kepribadian seorang kepala
sekolah laki-laki dan perempuan juga nampak dari
keinginan untuk mendapatkan sesuatu. Laki-laki
mengembangkan kariernya sehingga menjadi kepala
sekolah.
4.4.2. Kompetensi Manejerial.
Kompetensi manejerial kepala sekolah
perempuan lebih baik terutama dalam aspek
perencanaan, organisasi, pelaksanaan dan kontrol
seperti yang diungkapkan oleh kepala sekolah laki-laki
bahwa:
“Dalam aspek perencanaan, organsisi, pelaksanan dan kontrol saya lihat perempuan memang lebih baik, misalnya dalam menyusun perencanaan perempuan melakukan dengan sungguh-sungguh, mereka penuh dengan pertimbangan sehingga pada akhirnya keputusannya memang akan memakan waktu lama. Untuk aspek kontrol perempuan sangat teliti. Sedangkan, kalau kami kepala sekolah laki-laki dalam melakukan perencanaan biasanya kami bersifat umum kami tidak terlalu berbelit-belit, sehingga memang dalam keputusannya kami lebih cepat dari guru perempuan”.
Selain itu, pembahasan tentang pengelolahan
administrasi, monitoring dan pelaporan pelaksanaan
kegiatan sekolah, kepala sekolah perempuan
menunjukkan sikap yang teliti terutama di bidang
administrasi sekolah. Menurut penilaian kepala dinas
pendidikan kota Ambon, pekerjaan perempuan rapi,
bisa dideteksi, memudahkan orang yang datang untuk
melakukan evaluasi:
teliti. Mereka sangat rapi, sehingga dalam pelaksanaan supervisi ke sekolah-sekolah para pengawas lebih senang dengan pekerjaan perempuan dibanding kepala sekolah laki-laki”.
Pelaksanaan kompetensi manejerial dalam bidang
pengelolahan keuangan terlihat bahwa perempuan
sangat berhati-hati, seperti yang disampaikan oleh guru
senior laki-laki:
“Saya lihat dalam aspek keuangan kepala sekolah perempuan tidak terlalu suka menghambur-haburkan uang untuk kegiatan yang tidak terlalu membutuhkan banyak biaya, mereka akan meminimalisir pengeluaran. Berbeda dengan kepala sekolah laki-laki yang tidak ragu-ragu untuk mengeluarkan uang”.
Pelaksanaan kompetensi manejerial dalam bidang
administrasi dari beberapa informan mengungkapkan
bahwa perempuan tidak menutup diri untuk menerima
masukan bahkan diarahkan oleh orang lain.
Pelaksanaan Perencanaan dilakukannya dengan baik,
bahkan sampai pelaporannya dilakukan dengan penuh
ketelitian.
Berkaitan dengan manejemen sarana dan
prasarana, dari data yang diperoleh melalui
pengamatan dan wawancara rupanya kepala sekolah
laki-laki kurang memperhatikan dan menata
lingkungan dengan baik. Perempuan dalam
memperhatikan lingkungan sekolah ternyata lebih baik
4.4.3. Kompetensi Kewirausahaan
Kompetensi kewirausahaan merupakan dimensi
yang sangat penting bagi pengembangan sekolah tetapi
sulit untuk dilakukan oleh kepala sekolah seperti yang
diungkapkan oleh kepala sekolah perempuan bahwa:
“Untuk kompetensi wirausaha saya selalu melakukan inovasi untuk pengembangan berbagai kebutuhan sekolah, misalnya seragam baru, guru-guru minta jalan-jalan, tunjangan THR harus dicari dengan jumlah karyawan dan guru yang cukup banyak”.
Lebih lanjut dalam pelaksanaan kompetensi
kepala sekolah terkait dengan kewirausahaan kepala
sekolah laki-laki mengungkapkan bahwa:
“Dalam mengembangkan kewirausahaan untuk
kepentingan sekolah sebenarnya pemimpin perempuan lebih baik di banding dengan laki-laki. Saya di sekolah ini hampir 3 tahun dan saya lihat dari kewirausahaan yang dilakukan seperti kantin sangat baik, ternyata pencetusnya adalah kepala sekolah perempuan sebelum saya, dan keuntungannya bagi saya adalah hanya melanjutkan usaha ini bagi kebutuhan sekolah”.
Dari pernyataan tersebut penulis berpendapat
bahwa dalam penerapan kompetensi manejerial, kepala
sekolah perempuan mampu untuk melakukan inovasi
yang baik untuk mendukung pembiayaan kebutuhan
sekolah. Kompetensi kewirausahaan tidak hanya
sebatas memiliki kemampuan berinovasi melainkan
sekolah). Hal ini seperti yang diungkapkan oleh seorang
guru senior bahwa:
“Dalam pelaksanaan kewirausahaan, Bapak kepala sekolah lebih mempercayakan dan memberi tanggungjawab kepada karyawan perempuan untuk mengelolah. Beliau (Kepala sekolah) nantinya akan memonitoring keuangan sebulan sekali dan meminta pelaporannya”.
Kepala sekolah laki-laki cenderung memberikan
tanggungjawab kepada karyawan perempuan untuk
mengelolah. Kepala sekolah laki-laki hanya akan
memonitoring keuangan bulanannya. Kepala sekolah
laki-laki lebih suka memberikan kepercayaan kepada
orang agar dapat memonitoring dengan cepat.
4.4.4. Kompetensi Supervisi
Salah satu tugas dari kepala sekolah adalah
memberikan supervisi kepada tenaga pendidik
menyangkut dengan tugas mereka. Kepala sekolah
laki-laki memuji kompetensi supervisi kepala sekolah
perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Demikian
pernyataannya:
“Saya senang melihat kemampuan Kepala sekolah perempuan dalam merencanakan program supervisi akademik untuk meningkatkan profesionalisme guru yang sangat jauh berbeda bahkan lebih baik dari pada laki-laki. mereka (kepala sekolah perempuan) perencanaannya lengkap, kepala sekolah perempuan menilai guru satu per satu”.
Dari hasil wawancara di atas dapat penulis
perencanaan maupun pelaksanaan supervisi yang
dilakukan oleh kepala sekolah laki-laki maupun kepala
sekolah perempuan. Kepala sekolah perempuan
merencanakan supervisi akademik untuk
meningkatkan profesionalisme para guru yang dipimpin
secara komprehensif. Masing-masing guru
mendapatkan penilaian, indikator dan skoring yang
jelas, demikian pula dalam melaksanakan supervisi
proses belajar mengajar kepala sekolah perempuan
lebih jeli dan lengkap. Seperti yang di sampaikan oleh
kepala sekolah laki-laki bahwa:
“Dalam melaksanakan supervisi proses belajar mengajar ibu-ibu lebih jeli dan lengkap. Perempuan tidak suka menggampangkan sesuatu dalam melakukan tugas supervisi. Mungkin karena mempunyai pengalaman mengajar cukup lama. Lain dengan yang dilakukan oleh kepala sekolah laki-laki, tidak suka berlama-lama melakukan supervisi”.
Dari hasil wawancara di atas penulis berpendapat
bahwa kepala sekolah perempuan lebih jeli dan lengkap
dalam merencanakan supervisi proses belajar
mengajar dibandingkan dengan kepala sekolah
laki-laki. Kepala sekolah laki-laki mengakui bahwa pada
umumnya mereka kurang sabar dan teliti dalam
melakukan supervisi. Relasi dengan orang lain juga
berbeda antara kepala sekolah laki-laki dan perempuan
seperti yang di sampaikan oleh guru senior perempuan
“Menurut saya, Dalam membangun hubungan dengan guru, staf, dan siswa saya menilai kepala sekolah perempuan biasanya memakai kata-kata yang halus dan hati-hati. Tapi pemimpin laki-laki lebih berani menegur, jika ada kesalahan atau masalah”.
Dari pernyataan di atas penulis berpendapat
bahwa ciri kepribadian kepala sekolah perempuan yang
feminim telah berdampak pada bagaimana mereka
berkomunikasi dalam berelasi dengan warga sekolah,
sedangkan kepala sekolah laki-laki dengan
maskulinitasnya terpancar pada bagaimana cara
komunikasi lebih memakai bahasa yang bersifat
langsung, perhatian kepada masalah yang di alami
guru, kadang-kadang terkesan hanya formalitas.
Sedangkan kepala sekolah perempuan dalam menegur
dan memotivasi guru biasanya memakai bahasa yang
sederhana, halus, dan hati-hati, sehingga para guru
seringkali merasa lebih dekat dan terbuka dengan
kepala sekolah perempuan.
4.4.5. Kompetensi Sosial
Berelasi adalah indikator terpenting dalam
implementasi kompetensi sosial. Dalam membangun
hubungan dengan orang lain, kepala sekolah laki-laki
dan perempuan memiliki perbedaan seperti yang
diungkapkan oleh guru senior perempuan bahwa:
sekolah perempuan yang lebih memakai perasaan, lebih sensitif, dan mudah tersinggung. Kalau diperhatikan antara kepala sekolah laki-laki dan perempuan dalam rapat-rapat atau berbicara dengan orang tua murid atau guru, kepala sekolah perempuan akan lebih berhati-hati, menjaga perasaan, dan ramah dengan orang lain”.
Dari pernyataan di atas penulis berpendapat
bahwa perbedaan nampak dalam pendekatannya.
Laki-laki lebih logis. Sedangkan kepala sekolah perempuan
akan sangat berhati-hati dalam berbicara dengan orang
lain. Selain itu, kepala sekolah perempuan juga lebih
peka ketika berpartisipasi dalam kegiatan sosial, seperti
yang diungkapkan oleh guru senior laki-laki bahwa:
“Ibu kepala sekolah sering membangun hubungan komunikasi dengan lingkungan di sekitar sekolah untuk dapat memantau kepribadian murid-murid di luar sekolah, sehingga dalam kegiatan-kegiatan yang sering dilaksanakan di sekitar lingkungan, sekolah akan ikut berpartisipasi seperti misalnya kerja bakti untuk membersihkan lingkungan sekitar sekolah. Berbeda dengan kepala sekolah kami yang dulu laki-laki, beliau jarang melaksanakan seperti yang dilakukan oleh ibu kepala sekolah sekarang ini”.
Dari pernyataan di atas penulis berpendapat
bahwa dalam melaksanakan kompetensi sosial, dalam
kaitan dengan partisipasi kegiatan sosial masyarakat,
kepala sekolah perempuan sering melakukan
hubungan kerjasama dengan masyarakat yang berada
di sekitar lingkungan sekolah. Hal tersebut dilakukan
untuk dapat memonitoring kepribadian para murid di
bekerjasama dengan masyarakat melaksanakan kerja
bakti untuk membersihkan lingkungan sekolah.
Kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok lain,
dalam kenyataannya kepala sekolah perempuan
dianggap lebih baik karena mereka sangat peka pada
kesejahteraan karyawan, guru bahkan
murid-muridnya, seperti yang di sampaikan oleh kepala
sekolah perempuan bahwa:
“Sebagai kepala sekolah perempuan, saya harus lebih peka dan sensitif terhadap bawahan, juga kepada murid-murid saya. Kesejahteraan guru dan karyawan itu yang paling utama bagi saya. Kalau kepala sekolah laki-laki, yah…mereka juga pasti melakukan hal yang sama, tetapi tidak seperti kami perempuan. Dari pengalaman saya sebelum menjadi kepala sekolah memang kepala sekolah laki-laki kurang begitu perhatian terhadap masalah guru, karyawan dan juga murid”.
Dari pernyataan di atas penulis berpendapat
bahwa kepala sekolah perempuan memiliki perhatian
pada kesejahteraan guru dan karyawan. Kepala sekolah
perempuan juga lebih sensitif terhadap bawahan,
terutama kepada murid-murid. Sementara kepala
sekolah laki-laki dibandingkan dengan kepala sekolah
perempuan kurang perhatian dengan masalah-masalah
bawahan.
4.5. Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah
Perempuan Berkaitan Dengan Budaya
Patriakhal.
Kesenjangan dalam budaya orang Ambon juga
telah berakar dan menjadi penghalang bagi perempuan
untuk mengembangkan diri dalam bidang pendidikan.
Kurangnya minat dan keinginan guru-guru perempuan
untuk maju terjadi karena ada pemikiran-pemikiran
yang belum modern dari guru-guru perempuan. Dari
hasil wawancara dengan salah seorang guru
perempuan senior :
“Menurut saya sebagai perempuan kita punya banyak kelemahan, kita berbeda dari laki. Bagi saya guru laki-laki lebih mampu dalam memimpin, sedangkan guru perempuan masih punya banyak kekurangan, tidak mampu untuk memimpin”.
Dari pernyataan tersebut di atas, penulis
berpendapat bahwa guru perempuan sendiri yang
masih belum mengakui kemampuan dirinya sendiri.
Mereka masih menganggap bahwa guru laki-laki lebih
baik dari mereka. Hal inilah yang menjadi salah satu
alasan kurang terwakilinya guru perempuan sebagai
pemimpin pendidikan. Sejalan dengan pendapat guru
senior perempuan di atas, seorang guru perempuan
“Guru laki-laki lebih fokus untuk melaksanakan pekerjaan mereka. Kalau perempuan biasanya mereka tidak terlalu fokus karena harus memikirkan pekerjaan rumah tangga”.
Penilaian guru senior perempuan di atas sama
dengan beberapa guru senior lainnya yang
mengemukakan bahwa kemampuan yang dimiliki oleh
guru laki-laki dan guru perempuan bukanlah bertolak
dari sesuatu yang tidak memiliki makna, melainkan
menunjukkan pada latar belakang di mana pola pikir
guru-guru perempuan tentang sebuah tanggungjawab
baru di luar tanggungjawab mereka sebagai seorang
guru dan juga sebagai seorang ibu rumah tangga.
Menanggapi pernyataan kedua guru senior perempuan
di atas kepala Dinas pendidikan kota Ambon
mengungkapkan bahwa:
“Karena budaya daerah yang masih ikut budaya patriakhal, budaya yang dibawa sejak masih kecil, yang mana anak perempuan yang tidak diberi kesempatan atau ruang untuk sekolah dan mengembangkan diri, ini adalah budaya-budaya dulu orang ambon, tetapi sekarang ini kan sudah ada emansipasi, pemerintah memberi ruang kepada perempuan dan laki-laki untuk berkarir, jadi tidak ada yang membeda-bedakan”.
Dari pernyataan di atas penulis berpendapat
bahwa meskipun pada saat ini gerakan emansipasi
sudah lama berlangsung dan banyak orang telah
menerapkannya, namun rupanya hal itu tidak merubah
pandangan guru-guru perempuan untuk
Ambon peran perempuan telah terdefenisikan sebagai
penanggung jawab bidang domestik, sementara
laki-laki di bidang publik.
4.6. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
4.6.1.Kesenjangan Keberadaan Guru Perempuan Dalam Kepemimpinan Sebagai Kepala Sekolah
Hasil temuan penelitian tentang Kesenjangan
keberadaan guru perempuan dalam kepemimpinan
kepala sekolah disebabkan karena guru perempuan
menganggap tanggungjawab seorang kepala sekolah
sangat berat. Selain itu, guru perempuan sangat
menikmati tugas mereka sebagai guru. Pengalaman
langsung para kepala sekolah menjadi titik tolak
mereka untuk menilai kemampuan bahkan keinginan
guru perempuan dalam proses menjadi seorang
pemimpin pendidikan. Guru perempuan lebih cepat
merasa puas dengan apa yang telah diperolehnya,
sehingga mereka tidak mau lagi disibukan dengan
beban tugas yang berat apalagi jika dibandingkan
dengan tunjangan kepala sekolah yang tidak terlalu
besar.
Kesenjangan keberadaan perempuan sebagai
kepala sekolah didasarkan pada penolakan guru
menjadi pemimpin. Pengakuan bahwa laki-laki yang
lebih baik untuk menjadi seorang pemimpin dan
perempuan sebagai guru dapat dirujuk pada teori
streotip gender, dengan cara memberikan lebel atau
penandaan yang diberikan kepada laki-laki dan
perempuan (Mutali’in 2001: Handayani dan Sugiarti
2002). Peran sebagai guru merepresentasikan peran
perempuan di bidang domestik, sedangkan peran
kepala sekolah bagi laki-laki merepresentasikan
koadrat biologisnya sebagai yang memiliki kekuasaan,
kekuatan, ketegaran mendominasi, superioritas,
akibatnya posisi kepala sekolah dianggap lebih tepat
bagi laki-laki daripada bagi perempuan.
Paradigma seperti itu merupakan suatu
perwujudan dari pola pikir guru perempuan yang masih
terbentuk dalam struktur gender yang mengagungkan
laki-laki sebagai kaum yang lebih baik. Pandangan
tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan
(Schien, 1994) yang mengungkapkan dalam
penelitiannya berdasarkan pandangan guru–guru
perempuan bahwa karakteristik seorang pemimpin ada
pada guru laki-laki, yang memiliki kemampuan sebagai
pemimpin, mempunyai rasa tanggungjawab, memiliki
ketrampilan di bidang bisnis dan memiliki kemampuan
analitis. Ditilik dari teori yang ada dalam teori
perempuan merupakan kebutuhan masyarakat dan
diciptakan untuk masyarakat secara keseluruhan
(Budiman,1985). Adanya pemilahan peran ini
disebabkan karena warga sekolah banyak yang masih
menganut pandangan streotip gender atau peran klise
dari laki-laki dan perempuan, yaitu bahwa perempuan
adalah ibu rumah tangga yang harus bekerja di “dapur”. Oleh karena itu, perempuan lebih cocok untuk memelihara, mengasuh dan mendidik anak-anak.
Peran tersebut bersesuaian dengan peran sebagai
seorang guru di sekolah. Sedangkan laki-laki, sebagai
manusia publik, harus bekerja di luar rumah mencari
nafkah, menjadi pemimpin pendidikan atau sebagai
kepala sekolah lebih cocok diperankan oleh laki-laki
ketimbang perempuan.
Adanya pemilihan peran laki-laki sebagai
pemimpin pendidikan, sedangkan perempuan sebagai
guru, sebetulnya juga bersesuaian dengan “sistem fungsionalis struktural”. Menurut pandangan ini, komunitas merupakan suatu sistem yang terdiri dari
bagian-bagian yang saling terkait, dan masing-masing
bagian akan terus menerus, mencari keseimbangan
(equilibrium) dan harmoni, penyimpangan yang
melanggar norma akan melahirkan suatu pergolakan
(Nasikun 1995). Dapat dikatakan bahwa tampilnya
menimbulkan ketidakseimbangan, mengagungkan
kemampanan dan harmoni. Karena aspek fungsional
mempertahankan kemapanan dan status quo, maka
adanya reliata perempuan sebagai guru dan laki-laki
sebagai kepala sekolah cenderung dianggap merupakan
suatu pengaturan yang paling baik dan bermanfaat
bagi harmoni bidang pendidikan.
Realita kesenjangan keberadaan perempuan
dalam kepemimpinan kepala sekolah terjadi bukan
secara alami/nature melainkan terbentuk dari
pemahamanan yang dilatari oleh budaya yang pada
akhirnya meragukan eksistensi perempuan. Gender di
bidang kepemimpinan pendidikan, di satu sisi telah
menempatkan laki-laki sebagai standar dan norma
dalam kepemimpinan, pada saat yang sama
menyisihkan, mendiskriminasikan dan mengorbankan
perempuan yang seharusnya memang tidak boleh
terjadi.
4.6.2 Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah Perempuan Dalam Proses Pemilihan Kepala Sekolah.
Pemilihan kepala sekolah memang mengikuti
standar dan prosedur yang telah ditentukan. Prosesnya
pemerintahan setempat, dan memakan waktu yang
cukup lama. Sejak dari awal pencalonan dan pemilihan
oleh satuan pendidikan rupanya sudah mulai kelihatan
guru perempuan tidak terlalu tertarik memanfaatkan
akses pemilihan kepala sekolah karena pengalaman
selama ini perempuan jarang atau tidak pernah
berhasil dalam mencoba menjadi kepala sekolah.
Mereka merasa sudah kalah sebelum memasuki
proses, adanya perasaan rendah diri dan ragu-ragu,
apalagi karena proses pemilihan tidak transparan dan
adanya diskriminasi yang dialami perempuan. Proses
penyisihan terhadap perempuan seperti demikian yang
oleh (Cliwniak,1997) disebut sebagai “individual
perspektive or meritocrasy model”. Pandangan ini
menekankan aspek psikologis, dimana yang dianggap
menjadi penyebab kesenjangan gender adalah
perempuan itu sendiri. Sifat, sikap, kepribadian
perempuan dan asumsi perempuan tidak menginginkan
kekuasan diidentifikasikan sebagai penyebab.
Berkaitan dengan kekuasaan, bukan berarti
perempuan tidak menginginkan kekuasaan namun cara
perempuan memandang kekuasaan bukan terutama
untuk menguasi orang lain, tetapi untuk
memberdayakan.
Faktor lain yang dapat dilihat mempunyai peran
proses yang diduga dilakukan oleh Badan Kepegawaian
Daerah (BKD), secara khusus dalam TIM Baperjakat
dari pemerintah kota Ambon. Dugaan adanya sikap
yang tidak transparan terhadap hasil tes LPMP, adanya
pengalaman masa lalu yang tidak adil terhadap
perempuan, prasangka negatif terhadap kepemimpinan
perempuan, berperannya partai politik, adanya politik
uang, kedekatan dengan pemerintah (misalnya
walikota dan kepala dinas) dianggap telah menjadi
penyebab perempuan selama ini tereliminasi dan
didiskriminasi.
Terdapat banyak cara dan kesempatan untuk
menyisihkan perempuan dan lebih memilih laki-laki
dalam proses yang panjang dan melibatkan banyak
pihak. Lembaga yang memiliki peran kunci penentu
pemilihan ternyata tidak netral, lebih mengutamakan
laki-laki daripada perempuan serta melakukan
ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Menurut
(Cliwniak,1997), realita ini disebut sebagai
“organizational prespective or discrimination model” di
mana lembaga yang telah ditunjuk melakukan
penyisihan dan diskriminasi kepada perempuan dan
kurang menyadari pentingnya kesetaraan dan keadilan
4.6.3. Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah Perempuan Dalam Kompetensi Kepala Sekolah.
Berdasarkan fakta yang telah terdeskripsikan
jelas terungkap bahwa penerapan kompetensi kepala
sekolah di lapangan menunjukkan realita yang
kompleks dan menarik. Kompetensi kepribadian yang
dimiliki oleh kepala sekolah yang terimplementasi
dalam kepemimpinan bernuansa gender. Pada
umumnya kepribadian perempuan dikaitkan dengan
mata rantai reproduksi atau peran sebagai ibu yang
berhubungan erat dengan fungsi melahirkan,
memelihara, mengasuh dan mendidik (Zimbalits,1984).
Ciri utama ini menjadi dasar dari pengembangan sikap
tanggungjawab perempuan yang mengedepankan
tindakan pengasuhan, merawat, mendidik. Ciri tersebut
sangat mewarnai dan terefleksikan dalam cara berpikir
dan bertindak kepala sekolah perempuan dalam
kepemimpinannya.
Dalam relasi dengan orang lain kepala sekolah
perempuan cenderung akan mudah berempati, sensitif,
sabar dan teliti, penuh kasih sayang dan komprehensif
(Samtono, 2009). Di pihak lain, pada umumnya kepala
sekolah laki-laki dianggap memiliki kepribadian yang
mendukung kepemimpinan pendidikan, terutama yang
diri, tegar, mendominasi, terbuka, berwibawa, rasional,
tidak emosional, tegas bahkan dapat berbuat
kekerasan. Rupanya kepribadian laki-laki tersebut yang
selama ini telah mendominasi norma maupun nilai
yang berkembang dalam kepemimpinan pendidikan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peran
gender cukup berpengaruh dalam penerapan
kompetensi kepala sekolah.
Kepala sekolah perempuan dalam penerapan
kompetensi manejerial jauh lebih baik dibandingkan
dengan laki-laki dalam hal: perencanaan, organisasi,
pelaksanaan dan kontrol. Perempuan lebih
sungguh-sungguh. Sedangkan laki-laki biasanya bersifat umum.
Selain itu, kepala sekolah perempuan dalam mengelola keuangan sekolah akan “berpikir dua kali” terhadap pembiayaan kegiatan-kegiatan sekolah. Selanjutnya,
mengenai manajemen sarana prasarana, kepala
sekolah laki-laki kurang baik dalam menata lingkungan
sekolah. Hal tersebut berbeda dengan perempuan yang
lebih perhatian terhadap lingkungan.
Kepala sekolah perempuan pada umumnya
melaksanakan kompetensi pendidikan dengan sepenuh
hati dan bertanggungjawab terhadap seluruh warga
umumnya lebih kreatif, konstruktif, inovatif, dan
fleksibel. Mereka mengembangkan inovasi
kewirausahaan dengan sepenuh hati demi
pengembangan sekolah. Selain itu, relasi sosial dengan
lingkungan sekolah dibangun dengan baik agar
mendapat dukungaan moral dan material, sekaligus
bisa memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar.
Dengan demikian tidaklah berlebihan untuk mengakui
bahwa kepala sekolah perempuan umumnya memiliki
survival skill (Grove, 2005) untuk melaksanakan
kompetensi pendidikan, ketrampilan ini merupakan hal
yang esensial, sekaligus suatu tuntutan.
Berkaitan dengan kompetensi supervisi, dapat
disimpulkan bahwa rupanya memang ada perbedaan
dalam perencanaan dan pelaksanaan supervisi dan
evaluasi yang dilakukan kepala sekolah laki-laki dan
perempuan. Dalam perencanaan supervisi akademik
untuk meningkatkan profesionalisme para guru sebagai
anak buahnya, perempuan mendapat perencanaan
yang lengkap, satu persatu anak buahnya mendapat
penilaian, indikator dan skoring yang jelas, demikian
pula dalam pelaksanaan cukup cermat, jeli dan
lengkap. Pemimpin perempuan tidak menganggap
mudah tugas supervisi. Sedangkan pemimpin laki-laki
dalam melakukan supervisi pendidikan menekankan
guru menganggap kurang teliti, kadang-kadang
terkesan kurang jelas. Bahasa yang digunakan kepala
sekolah laki-laki lebih langsung dan perhatiannya
kepada masalah yang dialami guru kurang. Dalam
pelaksanaan supervisi kepada guru-guru, kepala
sekolah laki-laki kurang sabar dan teliti atau
diistilahkan sebagai “tidak betah” seperti kepala
sekolah perempuan. Penelitian yang pernah dilakukan
oleh (Ryder,1994) untuk para kepala sekolah
perempuan juga mendukung hal itu:
“Women principals are more likely to interact with their staff and spend more time in the classroom or with teachers discussing the academic or curricular areas of instruction. Womwn principals are more likely to influence teachers to use more desirable teaching methods.”
Sebagai pemimpin pendidikan perempuan pada
umumnya mereka menyadari bahwa keberadaannya
sebagai kepala sekolah berada di tengah-tengah
organisasi pendidikan yang masih tradisional dan
otoritarian, maka pada umumnya mereka
melaksanakan kompetensi pendidikan secara
sungguh-sungguh agar posisinya dapat diterima oleh orang yang
4.6.4 Kesenjangan Keberadaan Kepemimpinan Perempuan Sebagai Kepala Sekolah Berkaitan Dengan Budaya Patriakhal.
Dari hasil pengumpulan data melalui teknik
wawancara kepada para informan, dapat dilihat bahwa
perempuan masih belum mengakui kemampuan dirinya
sendiri, mereka masih menganggap bahwa laki-laki
lebih baik dari mereka, selain itu meskipun pada saat
ini gerakan emansipasi sudah lama berlangsung dan
banyak orang telah menerapkannya namun, rupanya
budaya orang Ambon yang bias gender masih sangat
kental dalam kepemimpinan pendidikan di kota Ambon.
Bagi orang Ambon, peran perempuan telah
terdefenisikan sebagai penanggungjawab bidang
domestik, sementara laki-laki di bidang publik. Bias
gender masih sangat kental terutama dalam keluarga,
dimana dalam penerapan pendidikan orang tua kepada
anak-anak atau proses sosialisasi rupanya masih
mengikuti norma stereotip yang terefleksi pada
penerapan pembagian kerja.
Masalah adanya ketidakseimbangan dan
ketidaksetaraan gender dalam kepemimpinan
pendidikan juga dipengaruhi oleh penerapan ideologi
patriakhi, yaitu bapa atau anak laki-laki yang berkuasa
terhadap perempuan atau istri dan anak-anaknya.
timbulnya sistim hierarkhi, struktur jenjang, realita
adanya pihak yang mendominasi dan pihak yang
tersubordinasi antara laki-laki dan perempuan. Ideologi
patriakhi tidak hanya berlaku pada aras keluarga
namun juga di aras lembaga (Russell,1995).
Pengaruh budaya orang Ambon cukup kuat pada
lembaga pendidikan di kota ambon. Budaya orang
ambon mengenal konsep pembagian kerja antara
laki-laki dan perempuan secara jelas. Zimbalits (1984)
menyimpulkan pengamatannya dari berbagai
kebudayaan bahwa hampir menjadi gejala umum
perempuan perannya dihubungkan dengan mata rantai
reproduksi, yaitu berkaitan dengan relasi ibu dengan
anak-anaknya, serta peran sebagai istri, dan hanya
sedikit sekali memberikan alokasi peran untuk urusan