ABSTRAK
ABSTRACT
JILBAB SEBAGAI LOKUS PENGELOLAAN DIRI:
SEBUAH KAJIAN OTOETNOGRAFIS
TESIS
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Oleh:
Kurniasih
116322005
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
PERSETUJUAN
TESIS
JILBAB SEBAGAI LOKUS PENGELOLAAN DIRI:
SEBUAH KAJIAN OTOETNOGRAFIS
Oleh:
Kurniasih
116322005
Telah disetujui oleh :
Dr. Katrin Bandel ……….
PENGESAHAN
TESIS
JILBAB SEBAGAI LOKUS PENGELOLAAN DIRI: SEBUAH KAJIAN OTOETNOGRAFIS
Oleh:
Kurniasih 116322005
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis Pada tanggal 10 Juli 2015
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Tim Penguji
Ketua : T. Tri Subagya M. A. ………
Moderator : T. Tri Subagya M. A. ………
Anggota : 1. Dr. Katrin Bandel ………
2. Dr. St. Sunardi ………
3. Dr. Gregorius Budi Subanar S.J. ………
Yogyakarta, 14 September 2015 Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sanata Dharma
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Kurniasih
NIM : 116322005
Program : Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas : Sanata Dharma
Menyetakan dengan sesungguhnya bahwa tesis
Judul : Jilbab Sebagai Lokus Pengelolan Diri: Sebuah Kajian Otoetnografis
Pembimbing : Dr. Katrin Bandel Tanggal diuji : 10 Juli 2015
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam skripsi/karya tulis/makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penuli aslinya.
Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora (M.Hum.) yang telah saya peroleh.
Yogyakarta, 14 September 2015
Yang memberikan pernyataan
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Nama : Kurniasih
NIM : 116322005
Program : Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah yang berjudul:
JILBAB SEBAGAI LOKUS PENGELOLAAN DIRI: SEBUAH KAJIAN OTOETNOGRAFIS
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya atau memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Dibuat di: Yogyakarta
Pada tanggal: 14 September 2015
Yang menyatakan
KATA PENGANTAR
Tanpa direncanakan sebelumnya, tiba-tiba saya ingin sekali tesis yang
sedang saya kerjakan dapat dibaca oleh para perempuan di rumah. Ibu, kakak,
kakak ipar, atau mungkin keponakan tidak akan terlalu kesulitan membaca tema
yang juga merupakan bagian dari keseharian mereka. Keinginan itu muncul di
tengah perjalanan tesis yang sudah berjalan selama beberapa semester. Bidang
keilmuan yang saya ikuti ini, Kajian Budaya, pada dasarnya memperhatikan
persoalan sehari-hari. Jadi, saya pikir, mengapa tidak tesis ini dapat dibaca dengan
nyaman, bukan hanya secara akademis tetapi juga menyapa keseharian. Secara
tidak direncanakan pula, pilihan Otoetnografi yang mengharuskan saya
bereksperimen mengenai gaya penulisan memberi peluang yang cukup untuk
keinginan saya tersebut. Sehingga, banyak waktu yang saya habiskan untuk
menjajal gaya bahasa, mulai dari gaya seorang etnografer, terlebih gaya seorang
novelis yang lebih menggiurkan. Tetapi karena proyek ini adalah sebuah syarat
untuk kelulusan akademis, saya memutuskan untuk tidak terlampau ‘larut’ dalam
gaya novelis. Selain waktu yang tidak memungkinkan, saya juga belum punya
banyak keberanian untuk menyodorkan gaya penulisan dari metodologi penelitian
yang masih terhitung baru ini, khususnya di Indonesia. Padahal institusi yang
menaungi proyek penulisan tesis ini, yaitu Ilmu Religi dan Budaya, terlihat dari
sikap para dosennya terhadap Otoetnografi, tidak akan terlampau mempersoalkan
eksperimen gaya selama syarat-syarat penelitian akademis terpenuhi.
Meskipun batal menyodorkan hasil eksplorasi yang sudah sempat saya
kerjakan, masih ada kesempatan lain untuk melanjutkan eksplorasi tersebut di lain
waktu. Toh, sebuah penelitian bisa tanpa akhir jika kita tidak mengakhirinya.
Seperti yang dinyatakan oleh dosen pembimbing saya, Katrin Bandel, bahwa jika
mau terus memperdalam tesis yang sedang dikerjakan, akan selalu ada
kesempatan. Katrin Bandel selaku dosen pembimbing telah mengingatkan banyak
hal sekaligus memberikan keleluasaan kepada saya. Ucapan terima kasih
sedalam-dalamnya saya haturkan kepada beliau. Mbak Katrin Bandel adalah dosen
pembimbing yang dapat diajak berdebat, meski kami sama-sama keras kepala,
tetapi sifat lembut serta malas berlama-lama terjerat belitan emosi membuat kami
segera dapat ‘segar’ kembali lalu melanjutkan sesuatu yang sudah seharusnya
berjalan. Terutama kesabaran beliau, saya mesti belajar banyak darinya.
Tesis ini juga dapat lahir atas masukan berarti dari Romo Benny sejak awal,
yang menantang saya untuk mengerjakannya secara otoetnografis. Saya tidak
menyangka tantangan tersebut selain mengasyikkan tetapi juga menyakitkan
karena bagian terdalam dari pengalaman hidup saya harus dibahasakan untuk
kemudian dibaca oleh para dosen. Rasa malu dan takut pengalaman pribadi
tersebut dibaca orang lain, banyak teratasi oleh sosok didikan Pak Nardi, yang
sudah seperti bapak saya sendiri, bahwasanya pengalaman hidup dapat menjadi
sumber dari karya keilmuan. Bapak satu ini terkadang bagaikan seorang analisan
daripada seorang pendidik sehingga terkadang saya merasa menjadi manusia
transparan di hadapannya. Di sela-sela pengerjaan tesis ini, saya juga sering
bercengkrama dengan sosok Romo yang selalu bersemangat, yaitu Romo Banar.
semangat saya bugar kembali. Ucapan terima kasih juga saya persembahkan untuk
sahabat-sahabat seangkatan 2011, yang sempat berpadu dalam sedu sedan sambil
menemani mimik-mimik bareng, yaitu Frans, Imran, Arham, Vini, Lamser, Gogor. Sungguh mereka sahabat-sahabat yang merupakan adik-adik saya tapi
kedewasaannya membuat hati terharu, seperti halnya juga Wahmuji yang
merupakan ketua angkatan. Kesabarannya untuk mendengarkan curhat-curhat
akademis maupun nonakademis sungguh mengharukan. Juga kepada kakak
angkatan, Zuhdi Sang, yang terlibat banyak dalam pengerjaan tesis ini, saya
ucapkan terima kasih. Ia seringkali mengingatkan saya tentang banyak hal,
terutama berjalannya roda waktu saat saya sedang ‘asyik’ larut dalam masalah
nonakademis. Tak akan pernah terlupa, ibu kami di sekretariat yang telah banyak mengingatkan mahasiswa, yaitu Mbak Desy, serta bapak kami yang selalu berkeliaran di kampus, mondar-mandir ‘menengok’ para mahasiswa, yaitu Mas
ABSTRAK
ABSTRACT
DAFTAR ISI
1. Susan Brenner (1996)- Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and ‘The Veil’...10
2. Kelompok Studi Realino (2001) - Jilbab, Kesadaran “Identitas” Poskolonial dan Aksi Tiga Perempuan Jawa yang dilakukan oleh Kelompok Studi Realino ...11
3. Sonya Wichelen (2007)- Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia...14
1. Sejarah Otoetnografi ...29
B. GEGER BUDAYA JILBAB (PELARANGAN JILBAB DI SEKOLAH, PEMINGGIRAN KESEMPATAN KERJA) ...58
1. Alienasi Jilbab (pelarangan jilbab di sekolah, kantor) ...60
2. Konstelasi Politik Orde Baru dan Islam ...61
C. JILBAB DALAM BERBAGAI PRODUK BUDAYA ...63
JILBAB: LOKUS PENGOLAHAN DIRI SAYA DAN MEREKA ...87
A. JILBABKU ...87
1. Wacana ...87
B. DALAM BENTANGAN SEHELAI JILBAB KAMI HIDUP ... 121
JILBAB SEBAGAI DISIPLIN HINGGA TEKNOLOGI DIRI... 144
A. SEJARAH WACANA JILBAB DI INDONESIA... 149
1. Wacana Jilbab Syariat ... 160
2. Wacana Jilbab Modis Tapi Syar'i ... 161
3. Wacana Jilbab Perda Syari’ah ... 163
4. Wacana Jilbab Islam Liberal... 163
5. Wacana Penyalahgunaan Jilbab... 164
6. Wacana Melepas Jilbab... 166
B. ANALISA JILBAB SEBAGAI LOKUS PENGELOLAAN DIRI ... 167
1. Dari Problematisasi hingga Teknologi Diri ... 169
2. Refleksi sebagai Teknik Teknologi Diri ... 185
C. NARASI DIRI SEBAGAI BAGIAN DARI WACANA POSKOLONIAL ... 189
1. Jilbab dan Poligami ... 193
2. Jilbab dan Esensialisme... 196
BAB V... 201
KESIMPULAN ... 201
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebuah mal baru kembali berdiri di kawasan Bandung. Balubur Town
Square atau disingkat menjadi Baltos nama mal tersebut. Selain karena jaraknya
yang tak jauh dari rumah, ada satu hal yang membuat saya tertarik untuk
mengunjunginya. Di bagian depan mal tersebut terpampang foto cantik artis
sinetron yang sedang naik daun, Citra Kirana. Dandanannya memukau dengan
jilbab yang dikenakan sedemikian rupa serta sapuan kosmetik tipis yang membuat
sosok Citra Kirana tidak bosan dipandang. Citra Kirana, yang dalam kesehariannya
tidak mengenakan jilbab ini, hadir di dalam foto yang berukuran besar itu tengah
berperan menjadi ikon sebuah merek busana muslim terkemuka. Di sampingnya,
tampil juga iklan merek busana muslim lainnya yang sama-sama memajang foto
perempuan berjilbab yang juga cantik. Sepertinya sudah menjadi hal yang biasa
iklan merek busana muslim menjadi bagian dari tawaran konsumsi di mal-mal,
khususnya di kota Bandung.
Saat saya memasuki mal baru itu, aura magis yang menguar dari keindahan
busana muslim yang beraneka rupa dan gaya segera menyita perhatian saya. Saya
benar-benar tengah berada di pusat belanja yang tengah merayakan trend
berjilbab. Toko-toko yang menata aneka perlengkapan berjilbab dengan apik dan
menarik berderet memenuhi satu lantai penuh mal tersebut. Saya bisa
kegelisahan. Dulu, pada 90-an, ketika saya pertama kali mengenakan jilbab,
pengalaman berada di mal jauh berbeda dengan yang kini saya rasakan. Saat saya
berpenampilan dengan jilbab di mal, saya merasa kurang begitu menyatu dengan
suasana yang dihadirkan di mal. Bagaimana tidak? Foto-foto berukuran besar
memampang perempuan-perempuan yang mencerminkan trend masa kini. Trend
saat itu bukan perempuan berjilbab tentu saja. Sehingga, saya merasa ketinggalan
zaman gara-gara jilbab sederhana yang saya kenakan.1Tetapi untuk mengubahnya
menjadi lebih modis agak sulit karena saat itu jilbab belum menjadi trend. Saya
merasa, beginilah adanya jilbab yaitu pasti tidak sesuai dengan trend masa kini.
Sehingga, tidak ada padu padan antara pakaian dan jilbab begitu beragam. Padahal
di mal besar di pusat kota, perempuan muda yang tidak berjilbab biasanya
berpenampilan modis dan trendi.
Kini, sekitar dua puluh kemudian, situasi jauh berbeda. Saya merasa sedang
dimanjakan oleh dunia konsumsi yang menawarkan aneka model pakaian dan
jilbab yang cantik. Tidak mudah untuk sekadar menerimanya dengan gembira
karena pilihan untuk mengenakan model jilbab menjadi lebih beragam serta
kemungkinan disebut ketinggalan zaman dapat teratasi. Jika tersedia uang, saya
tinggal memilih gaya apa saja yang tersedia. Gaya yang merupakan perkawinan
antara menutup aurat menurut syariat Islam dan mode trend terbaru. Tetapi
perubahan yang saya alami di mal semacam ini ternyata tidak membuat saya lebih
tenang. Malah keadaan ini menambah panjang daftar kegelisahan saya. Apa
sebenarnya jilbab bagi saya kini?
1
Merebaknya jilbab di mana-mana membuat saya bertanya-tanya, fenomena
apakah ini semua? Haruskah saya bergembira dengan semakin populernya jilbab
di kalangan masyarakat umum ini? Haruskah saya lega karena jilbab tidak lagi
diolok-olok sebagai “Ninja” seperti tahun 90-an? Haruskah saya juga bersyukur
bahwa tak ada lagi ungkapan gegabah “Jilbab Racun” seperti yang terjadi di tahun
90-an? Dalam masa kegelisahan tersebut, saya tiba-tiba mendapatkan sebuah surat
elektronik dari seorang teman lama yang kini berdomisili di Jepang. Ia bertanya
dengan herannya kepada saya, “Kok bisa sih sekarang di Indonesia banyak banget
yang pake jilbab? Dulu engga sebanyak itu kan? Trus kenapa baru
sekarang-sekarang orang pake jilbab padahal kan Islam ada udah sejak abad berapa coba?
Kan shalatnya juga udah sejak dulu tapi kenapa jilbab baru muncul
sekarang-sekarang?”
Pertanyaan teman lama semasa saya kuliah Diploma 3 pada tahun 98 ini
membuat saya merasa tidak sendirian dalam merasa gelisah dengan fenomena
jilbab yang terus menerus merebak ini. Fenomena jilbab ini pasti memiliki pola
tertentu yang menarik dan penting, bahkan tidak melulu bersifat teologis. Teringat
masa-masa ketika jilbab sempat dilarang dikenakan di sekolah-sekolah, banyak
murid perempuan di sekolah negeri seperti di Bogor dan Bandung yang terpaksa
dikeluarkan dari sekolah hanya karena berjilbab. Pihak sekolah menganggap jilbab
melanggar aturan berseragam di sekolah. Mengapa kini ceritanya berbeda jauh?
Sebaliknya, kini di sekolah-sekolah negeri, seragam yang dikenakan mendekati
batasan pakaian berjilbab, yaitu rok yang panjang hingga mata kaki. Apakah
mungkin materi teologis jilbab yang sudah berubah atau baru dapat dipahami oleh
sebagai hal yang penting bagi perempuan Muslim atau bahkan dianggap
penyimpangan oleh kalangan tertentu?
Karena popularitas jilbab di negeri ini yang semakin luas, aneka peristiwa
terkait jilbab yang sepertinya tidak mungkin muncul di tahun 90-an pun kini
menjadi mungkin. Misalnya ketika seorang perempuan terdakwa kasus korupsi
mendadak mengubah penampilannya dengan mengenakan jilbab rapi. Sedangkan
bagi perempuan yang melangsungkan pernikahan, ia boleh mengenakan kostum
pengantin berjilbab meski dalam kesehariannya tidak berjilbab. Bahkan jilbab pun
bisa menjadi sebentuk seragam di instansi-instansi tertentu. Sementara itu, di
ruang-ruang publik, tak jarang saya menemukan pengumuman tertulis, misalnya
di sekolah-sekolah yang menggunakan warna Islami atau masjid yang berbunyi,
“Anda Memasuki Kawasan Berjilbab.” Jika kita berlari sebentar ke Aceh,
perempuan yang tidak berjilbab dikejar-kejar oleh aparat agar mengenakan jilbab.
Siapapun kini dapat mengenakan jilbab, bergantung kepentingan yang hendak
dituju. Jilbab juga dapat “dipaksakan” kepada karyawan demi kepentingan instansi
atau lembaga atau peraturan daerah tertentu. Lagi-lagi saya mengingat masa lalu,
periode 90-an saat tak banyak orang yang ramai-ramai mengumandangkan
“kewajiban” berjilbab. Jilbab kini telah menjadi model identifikasi yang berbeda
dengan masa-masa sebelumnya.
Sementara itu, secara internal, setelah mengenakan jilbab hampir 20 tahun
membuat saya kembali berefleksi dan mempertanyakan jilbab. Apa makna jilbab
bagi saya? Model identifikasi apa yang saya peroleh saat mengenakan jilbab di saat
jilbab semakin populer? Mengapa hidup saya seakan tidak bisa dilepaskan dari
lebih daripada sekadar model berpakaian biasa saja. Pada titik yang paling
ekstrim, jilbab juga terkadang terasa menjadi gangguan akibat ketidaknyamanan
secara fisik. Pengalaman jilbab yang tidak linier secara personal ini juga
mencerminkan adanya pergeseran penyikapan jilbab secara umum. Dengan
demikian pada jilbab terdapat struktur diskursif yang membentuknya. Jilbab
mempunyai daya yang begitu kuat untuk menempatkan seorang perempuan
kedalam posisi tertentu di dalam masyarakat. Selain itu, model-model jilbab pun
menjadi semakin beragam. Model tertentu yang dipilih pun dapat dipandang
sebagai tanda nilai sosial religius secara khusus. Misalnya, jika jilbab yang dipilih
adalah yang serba longgar dan sederhana maka si pemakai akan ditempatkan
sebagai seseorang yang ketat agamanya dan cenderung dianggap kolot. Sedangkan,
jika model jilbab yang dipilih adalah sesuai dengan trend terkini yang penuh
warna dan model maka ia akan ditempatkan pada posisi sebagai seseorang yang
lebih modern.
Menyadari dan mengalami pergeseran di dalam jilbab secara intens
membuat saya terus menerus berefleksi. Dua puluh tahun saya mengenakan jilbab
membuat saya hinggap pada kesadaran bahwa jilbab yang dikenakan bukanlah
sesuatu yang “sudah dari sananya” atau “terberi”. Setidak-tidaknya, cara menutup
aurat berdasarkan syariat Islam ini telah mengkristal pada bentuk jilbab. Terdapat
proses diskursif yang kental di dalam jilbab. Kesadaran semacam itu pun
menghantarkan saya pada kondisi bahwa jilbab merupakan perangkat yang bukan
saja menghadirkan keyakinan tetapi juga keraguan sekaligus! Jika jilbab adalah
sebuah wacana yang membuat perempuan seperti saya harus mengalami berbagai
sedemikian patuh? Apakah jilbab merupakan sebuah wacana yang membuat
perempuan menjadi terepresi karenanya? Adakah cara untuk terbebas dari
wacana jilbab? Kepatuhan pada wacana jilbab tidak mungkin dipungkiri. Tetapi
apakah kepatuhan kami bersifat monolitis dan statis?
Jika kita perhatikan fenomena populer, misalnya melalui representasi
media, jilbab menjadi terlalu sederhana. Jilbab lebih sering disorot sebagai bukti
kepatuhan seorang perempuan Muslim terhadap aturan Islam. Di sisi lain, jilbab
juga dipandang sebagai keniscayaan yang harus dipatuhi oleh setiap perempuan
muslim tanpa memberikan kemungkinan penyikapan yang berbeda. Sementara,
identitas muslimah pun yang dikonstruksi secara performatif melalui penggunaan
jilbab. Demikian juga ketika perempuan memilih untuk melepaskan jilbabnya
dengan pertimbangan tertentu. Dinamika yang kompleks dalam jilbab ini sangat
penting untuk diteliti, lalu dianalisa karena akan memperlihatkan hubungan timbal
balik antara pengguna dan jilbab sebagai sebuah wacana yang kompleks. Apa
pentingnya hubungan timbal balik antara pengguna dengan diskursus jilbab? Hal
terpenting adalah bagaimana perempuan memandang dirinya, baik secara
spiritual maupun tubuh.
Oleh karena itu saya menjadi tertarik untuk meneliti wacana jilbab. Jika
jilbab bukan sesuatu yang terberi, lantas bagaimanakah proses diskursif yang
membentuknya? Jika jilbab membawa pengguna pada pengalaman yang khusus,
bagaimanakah model pemaknaannya? Terakhir, kegelisahan serta ambivalensi
atas jilbab yang saya alami membawa saya pada pertanyaan negosiasi seperti
apakah yang hadir dalam jilbab, baik bagi saya sebagai peneliti maupun
Pertanyaan-pertanyaan saya di atas berangkat dari kegelisahan saya
sebagai pengguna jilbab yang mengalami pergeseran diskursif, baik secara internal
maupun eksternal. Oleh karena itu, akan sangat terbatas jika, seperti halnya
penelitian jilbab yang sudah ada, hanya dilakukan terhadap orang lain. Saya
sebagai pengguna jilbab mempunyai akses yang mendalam, baik pemikiran
maupun emosi terhadap jilbab sehingga lebih baik untuk menggalinya. Kemudian
saya dapat mendeskripsikannya secara mendetail serta reflektif. Dalam hal ini,
meneliti secara otoetnografis adalah pilihan yang cocok untuk saya.
B. TEMA PENELITIAN
Popularitas jilbab yang semakin berkembang mendorong penelitian yang
akan berfokus pada analisa diskursif pada pengguna jilbab. Berkaitan dengan
pengguna jilbab, peneliti yang juga pengguna jilbab mendorong untuk
menggunakan metodologi otoetnografi. Dengan metodologi tersebut, peneliti
mempunyai ruang yang mendalam untuk mengemukakan pengalamannya sebagai
pengguna jilbab.
C. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah jilbab diwacanakan dari masa di Indonesia mulai dari
Orde Baru hingga Pascareformasi?
2. Bagaimanakah wacana jilbab dialami dan dimaknai oleh pengguna
3. Sejauhmana makna jilbab dinegosiasikan oleh penggunanya? dan apa
hasilnya?
D. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui proses jilbab diwacanakan di dalam masyarakat
pada beberapa periode sosial-politik yang ada;
2. Untuk mengetahui pengalaman dan pemaknaan jilbab oleh pengguna
jilbab;
3. Untuk mengetahui negosiasi pengguna jilbab dan wacana jilbab.
E. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian mengenai jilbab, di saat jilbab sudah sangat populer di kalangan
masyarakat akan sangat berguna setidaknya dalam beberapa hal. Pertama, wacana
jilbab bukanlah sebatas persoalan ekspresi religius saja. Terdapat struktur
diskursif yang kental di dalam jilbab. Hal tersebut penting untuk diketahui agar
saya (khususnya) dan masyarakat pada umumnya dapat melihat adanya
konstruksi di dalam jilbab. Sehingga jilbab dapat diposisikan secara lebih adil baik
bagi pengguna maupun yang memandangnya. Kedua, pergeseran wacana jilbab
F. TINJAUAN PUSTAKA
Semenjak popularitas jilbab semakin meningkat di Indonesia, banyak
penelitian jilbab sudah dikerjakan. Di bawah ini akan disinggung beberapa hasil
penelitian yang memiliki keterkaitan erat dengan tema penelitian yang akan saya
lakukan. Ada dua kategori hasil penelitian yang saya gunakan. Pertama, adalah
penelitian yang mengandung kecenderungan orientalistik. Penelitian tersebut
adalah, “Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and ‘The Veil’” (1996)2yang dilakukan oleh Susan Brenner dan Reconstructing “Muslimness”: New
Bodies in Urban Indonesia (2007)3yang ditulis oleh Sonya Wichelen. Sedangkan kategori lainnya adalah penelitian yang dapat menjadi landasan atau titik
berangkat bagi penelitian yang akan saya kerjakan. Penelitian tersebut adalah
Jilbab, Kesadaran “Identitas” Poskolonial dan Aksi Tiga Perempuan Jawa yang dilakukan oleh Kelompok Studi Realino (2001).4Selanjutnya, penelitian jilbab yang
sangat membantu untuk periodisasi jilbab adalah Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women (2011)5yang dikerjakan oleh Deni Hamdani.
2
Susan Brenner, “Reconstructing Self and Society: javanesse Muslim Women and ‘The Veil’” , 1996, Amerika: American Antropological Association, hal. 673-697.
3
Sonya Wichelen, “Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia” , 2007, England: Ashgate Publisihing Limited, hal. 93-108.
4
Karen Washburn, Jilbab, “Kesadaran “Identitas” Poskolonial dan Aksi Tiga Perempuan Jawa “ dalam
Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global, 2001, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 111-146.
5
1. Susan Brenner (1996)- Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and ‘The Veil’
Penelitian Brenner yang berupa artikel panjang ini disajikan untuk
menjawab pertanyaan signifikansi jilbab modern di kalangan Muslim Jawa, dengan
menganalisa pengalaman perempuan-perempuan muda dalam konteks gerakan
Islam yang lebih luas. Brenner berusaha untuk menjawab pertanyaan penelitian di
seputar alasan yang diambil para perempuan muda untuk mengadopsi jilbab yang
(menurut Brenner sendiri) tidak berakar pada tradisi lokal serta tidak didukung
oleh masyarakat luas karena dianggap sebagai cara berpakaian “impor” sehingga
stigma sebagai esktrimis atau fanatis sering mereka dapatkan. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, Brenner memperkirakan bahwa keputusan untuk
mengenakan jilbab merupakan proses transformasi diri perempuan di Jawa.
Brenner memang melakukan penelitian di seputar Yogyakarta dan Solo saja.
Gagasan yang menjadi perhatian dalam penelitian Brenner adalah soal
jilbab yang dikenakan para perempuan muda tidak mempunyai akar tradisi lokal.
Dengan demikian, jilbab dipandang sebagai corak baru pakaian Islam yang diimpor
dari Timur Tengah yang berkebalikan dari pakaian tradisional seperti sarung,
kebaya, dan selendang kepala longgar atau topi tenunan yang dipakai oleh
perempuan tua di Indonesia. Dalam hal ini, hasil penelitian Brenner cenderung
bersifat esensialis, yaitu seakan-akan Islam dan Jawa adalah dua hal yang terpisah
dan murni. Sehingga, ia melihat jilbab sepenuhnya impor dari Arab.
Di samping itu, Brenner juga mengaitkan jilbab di Indonesia dengan di
dinamika jilbab dalam konteks Indonesia, hasil penelitian Brenner menjadi kurang
tepat, terutama ketika sampai pada kesimpulan bahwa jilbab di kota yang ia teliti
juga berpotensi membatasi ruang gerak pemakainya bahkan lebih banyak
menimbulkan kerugian karena membuat perempuan mendapatkan diskriminasi di
lapangan pekerjaan karena mengenakan jilbab. Gagasan tersebut kurang
kontekstual karena tidak melihat kehadiran jilbab dalam konteks yang lebih luas.
Jilbab menjadi penghalang bagi perempuan untuk bekerja atau naik jabatan karena
bentuknya yang belum cair dengan masyarakat. Jika Brenner kembali melanjutkan
penelitian jilbab di Jawa, ia akan melihat bahwa situasi justru berkebalikan, yaitu
jilbab malah menjadi salah satu ‘prasyarat’ kerja di lapangan kerja tertentu.
2. Kelompok Studi Realino (2001) - Jilbab, Kesadaran “Identitas” Poskolonial dan Aksi Tiga Perempuan Jawa yang dilakukan oleh Kelompok Studi Realino
Karen W. Washburn adalah seorang peneliti yang berasal dari U.C. Los
Angeles, menjadi peneliti tamu di Kelompok Studi Realino. Washburn hadir
dengan penelitian tentang jilbab untuk tema yang lebih besar yaitu komoditi global
yang dikonsumsi di Indonesia. Penelitian lainnya yang juga dimuat dalam buku
yang sama adalah tentang globalisasi identitas makanan. Mi Instan adalah komiditi
yang diteliti sebagai siasat perempuan Indonesia. Sedangkan, Washburn hadir
meneliti globalisasi identitas pakaian. Jilbab adalah komoditi yang diteliti sebagai
siasat perempuan Indonesia (juga).
Sebagaimana lokasi Kelompok Studi Realino yang berada di Kota
Yogyakarta, Washburn pun melakukan penelitian tentang jilbab di kota yang sama.
beragam suku karena merupakan pusat studi penting di seluruh Indonesia,
responden yang dipilih adalah khusus perempuan bersuku Jawa. Tidak disebutkan
secara khusus alasan pemilihan tersebut. Washburn melakukan penelitian untuk
menangkap pengalaman personal (perspektif mikro) pengguna jilbab. Untuk upaya
tersebut Washburn menggunakan wawancara sejarah hidup (life history methodology) dengan beberapa perempuan muda dari berbagai latar belakang dan pengalaman yang berbeda. Hasil penelitian yang didapatkan oleh Washburn
adalah jilbab tidak semata-mata hadir atas nama “identitas orisinil” tetapi juga
sebagai simbol siasat terhadap semangat zaman yang sedang menjadi “trend”.
Jilbab menjadi ruang rekonsiliasi antara otonomisasi personal untuk
memfungsikan kebebasannya dan berdamai dengan tuntutan konformitas sosial.6
Dalam pendahuluan yang diberikan oleh Monika Eviandaru terhadap
penelitian tersebut juga disebutkan adanya keterkaitan antara penelitian yang
dilakukan oleh Washburn dan Brenner. Penelitian yang dilakukan oleh Washburn
berpijak pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Brenner. Terutama pada soal
lingkup kultural jilbab yang disimpulkan sebagai cara berpakaian yang tidak
berakar pada kejawaan. Gagasan yang digunakan dari Brenner adalah bahwa pada
awalnya jilbab justru ditolak dalam perilaku kultur Jawa karena dianggap lebih
bersifat “Arab”. Seperti yang ditekankan oleh Eviandaru, penolakan tersebut
biasanya dilandasi oleh argumentasi bahwa seseorang dapat menjadi muslim yang
baik tanpa harus mengenakan tata cara pakaian Timur Tengah. Dalam hal ini, baik
Washburn maupun Brenner mempunyai pandangan yang terkesan tidak berpijak
6
pada sejarah. Mengapa? Karena seakan-akan tidak pernah ada perkawinan atau
hibriditas antara kejawaan dan keislaman yang di dalamnya unsur kultur Timur
Tengah sudah jelas akan hadir.
Mungkinkah sebenarnya yang dimaksud oleh Washburn maupun Brenner
adalah lebih kepada model jilbab modern, yaitu jilbab rapat yang tidak
memperlihatkan rambut sama sekali? Tetapi walaupun demikian, tetap terdapat
perbedaan yang cukup penting antara jilbab perempuan Indonesia dengan yang
dimaksud dengan cara berpakaian ala Timur Tengah. Perempuan Jawa, misalnya,
pada umumnya mengenakan jenis pakaian seperti celana atau blus untuk
dipadankan dengan jilbab, tanpa harus ditambah oleh cadar. Meskipun cadar
digunakan, tetapi bukan merupakan cara berpakaian yang lazim ditemukan.
Berkaitan dengan itu, memang salah satu responden yang dipilih oleh Washburn
adalah perempuan yang sehari-harinya mengenakan cadar. Tetapi sekali lagi
penggunaan cadar di Indonesia bukanlah cara berpakaian yang umum dipilih oleh
perempuan berjilbab.
Hal menarik lainnya, masih terkait dengan persoalan kultural adalah
adanya hasil penelitian (yang juga ditekankan oleh Eviandaru dalam bagian
pendahuluan) terkait Islam sebagai pilihan untuk menjadi modern.7Istilah modern
di sini, dapat dibaca sebagai ‘kebaruan’. Dengan kata lain, penelitian jilbab ini
hendak meneropong cara ber-Islam yang lebih baru daripada yang sudah ada.
Tetapi dalam keseluruhan wawancara tertangkap kesan bahwa istilah modern di
sini juga merupakan pembedaan kutub antara “Islam”, “Modern” dan “Tradisional”
7
kemudian dihubungkan pula dengan kutub “Barat” yang mau dihindari oleh kutub
tersebut. Misalnya dalam wawancara, sosok ibu responden sering dirujuk sebagai
sosok yang belum melek sadar kesetaraan jender. Sosok ibu bagi Noor, salah satu
responden misalnya, dilihat sebagai perempuan yang sangat bergantung pada
suaminya (ayah Noor) sehingga dianggap tidak memberikan warna pada kultur
keluarga.
3. Sonya Wichelen (2007)- Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia
Tulisan yang dikerjakan oleh Wichelen mengemukakan tentang kehadiran
citra tubuh baru di Indonesia yang bertema secara khusus “kemusliman”. Ada dua
tema besar tentang tubuh yang dianalisa oleh Wichelen, yaitu citra tubuh feminin
dan maskulin. Citra tubuh kemusliman feminin yang dirujuk Wichelen
berdasarkan popularitas jilbab sejak masa Orde Baru hingga pascareformasi.
Seperti halnya pada umumnya tulisan mengenai jilbab di Indonesia, situasi politik
memang selalu dijadikan latar belakang yang tak pernah ditinggalkan. Dalam hal
ini, Wichelen cukup memberikan konteks bagi hadirnya citra tubuh kemusliman
berdasarkan jilbab. Tulisan Wichelen tidak mengetengahkan responden.
Sementara itu, untuk citra tubuh maskulin, Wichelen mengambil tema tentang
poligami. Tidak seperti halnya tema jilbab, untuk poligami tidak diberi konteks
yang lebih luas oleh Wichelen. Wichelen hanya menggunakan popularitas sebuah
kasus poligami yang digelontorkan oleh media massa. Popularitas poligami
berdasarkan kasus seorang pelaksana poligami yaitu Puspo Wardoyo yang
memberikan gaung cukup luas melalui media massa telah dijadikan sebagai
Tulisan Wichelen penting untuk saya masukkan kedalam kajian pustaka
karena secara eksplisit tendensi orientalistik dapat terbaca. Kesan orientalistik
tersebut hadir dalam perbandingan isu jilbab dan poligami dalam keseluruhan
tulisan. Tulisan Wichelen ini yang pada dasarnya hendak meneropong proses
Islamisasi di Indonesia selama beberapa dekade yang telah melahirkan imaji dan
diskursus baru pada tubuh Muslim. Wichelen menandai periode pasca-Suharto
tumbang. Pada periode tersebut beragam kelompok Islam mulai memberi
pengaruh dalam pengambilan keputusan politik. Dengan demikian telah muncul
pula isu-isu yang menyangkut jender dan seksualitas dalam diskursus publik.
Isu terkait jilbab dan poligami memang benar adanya telah terangkat ke
permukaan dan menjadi bahan perdebatan. Tetapi mengapa dalam tulisan ini
menjadi terkesan orientalistik? Sekilas membaca tulisan Wichelen langsung
mengingatkan pada penelitian-penelitian isu jender di negara-negara Timur
Tengah atau Asia Jauh. Jilbab, cadar, harem, sunat perempuan dan poligami
diletakkan sebagai persoalan umum yang dialami oleh perempuan di
negara-negara mayoritas Muslim. Dalam tulisan yang konteksnya Indonesia ini, bukan
mustahil sebenarnya untuk menghasilkan kajian yang lebih objektif. Tetapi
sayangnya karena metodologi yang digunakan untuk melihat persoalan lebih
bersifat sosiologis, hasilnya tidak terlalu mengesankan. Jilbab maupun poligami
dilihat dari kacamata yang jauh. Baik pengguna maupun pelaku tidak hadir sebagai
subjek yang dapat memberikan suara atau integritas. Sehingga tak dapat
terhindarkan tendensi mengobjektivikasi di dalamnya.
Tendensi objektivifikasi ini dapat terlihat ketika dilakukan
Islamis. Perempuan pengguna jilbab dikelompokkan kedalam dua wacana tersebut
seakan-akan batasnya begitu tegas. Perempuan pengguna jilbab hanya
dikelompokkan kedalam kedua wacana tersebut tanpa melihat adanya
kemungkinan dinamika yang lebih cair. Dalam hal ini, Perempuan pengguna jilbab
direpresentasikan sebagai objek penelitian yang bukan saja tidak bisa bersuara
tetapi juga sebagai yang semata tunduk terhadap wacana jilbab sedemikian rupa.
Terlebih isu poligami yang disandingkan di dalam penelitian ini menciptakan
kesan adanya penaklukan tubuh perempuan atas jilbab dan perayaan tubuh
laki-laki karena poligami.
4. Deni Hamdani (2011) -Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women
Penelitian jilbab yang sangat membantu untuk periodisasi jilbab adalah
penelitian yang dilakukan oleh Deni Hamdani, Anatomy of Muslim Veils: Practice,
Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women (2011). Penelitian yang dilakukan oleh Hamdani menggunakan metode sejarah dan etnografi. Dengan
penelitian jilbab yang sudah dilakukan Hamdani membuka kemungkinan bagi saya
untuk memperdalaman penelitian yang lebih bernuansa. Gerak bathin dan
pemikiran yang dialami oleh pengguna jilbab dapat melengkapi dinamika jilbab
yang ada. Seperti yang nanti akan saya jabarkan di dalam penelitian ini, jilbab tidak
menjadi semata-mata sebuah wacana yang monoton bagi penggunanya. Ada
paksaan dan pilihan yang menyertainya. Oleh karena itu, penelitian yang lebih
G. KERANGKA TEORI
Meneliti sebuah tema yang sudah terlampau cair dalam keseharian tentu
tidak mudah karena kita dipaksa untuk berjarak. Kita harus awas terhadap setiap
unsur yang dialami sebagai keseharian. Tanda-tanda, pemaknaan, identitas,
religiusitas, bahkan gaya hidup bersatu di dalam sehelai kain yang dikenakan
sebagai jilbab. Satu-satunya amunisi yang membuat tema keseharian seperti jilbab
dapat teratasi justru karena adanya kegelisahan di dalamnya sehingga
membutuhkan jawaban meskipun sifatnya sementara. Untuk memasuki proses
berjarak lalu melakukan analisa berbagai unsur di dalam jilbab tersebut
dibutuhkan konsep-konsep yang memungkinkan untuk dapat membahasakan
persoalan-persoalan yang ada di dalamnya. Konsep-konsep dibutuhkan untuk
dapat memperluas dan memperdalam tema yang sedang saya kaji. Dalam hal ini,
beberapa konsep yang diambil dari pemikiran Michel Foucault akan saya gunakan.
Konsep-konsep tersebut meliputi konsep tentang cara kerja wacana dan
kekuasaan, problematisasi, disiplin, dan teknologi diri. Selain konsep-konsep dari
Michel Foucalt, dipinjam juga cara berpikir Chandra Talpade Mohanty dalam
menerangi persoalan representasi perempuan dunia ketiga dalam penelitian.
Penting untuk dikemukakan terlebih dahulu tentang proses Michel Foucault
mengembangkan konsep-konsep kritisnya. Untuk kemudian kita dapat sedikit
mengetahui, kiranya, untuk tujuan apa konsep-konsep yang bertemakan sejarah
itu dielaborasi. Dalam sebuah wawancara, Foucault berbagi cerita tentang tradisi
filosofis yang dia alami pada masa tahun 1950-an. Foucault, sebagaimana juga
orang-orang segenerasinya pada umumnya dipengaruhi oleh persoalan makna
murid-muridnya dalam suasana aliran fenomenologi. Mereka dilatih untuk
menganalisis pelbagai makna yang imanen dalam keseluruhan pengalaman yang
dihayati, serta pelbagai makna persepsi dan sejarah yang implisit. Proses ini
kiranya penting sebagai bahan dasar bagi pengembangan tradisi filosofis Foucault.
Berkaitan dengan itu, perhatian Foucault juga dipenuhi oleh hubungan yang
mungkin ada antara eksistensi individu sehingga dapat hadir. Lebih dalam lagi,
Foucault juga dipenuhi oleh berbagai pertanyaan mengenai hubungan antara
makna dan sejarah, atau antara metode fenomenologis dan Marxis.
Foucault percaya bahwa semua orang pada masa tersebut mengalami
semacam perubahan yang pada awalnya tidak tampak penting tetapi ternyata
sangat mendasar untuk memisahkan para generasi pada saat itu. Penemuan kecil
atau kegelisahan kecil yang muncul di permulaan terkait syarat-syarat formal yang
dapat memungkinkan makna muncul. Foucault menyebutkan bahwa generasi
muda pada zaman itu memeriksa kembali gagasan Husserlian bahwa
dimana-mana terdapat makna yang telah menyelimuti dan memberi kemampuan bahkan
sebelum orang-orang mulai membuka mata dan berbicara. Bagi orang-orang
segenerasinya, makna tidak muncul dengan sendirinya, ia tidaklah “sudah berada
di sana” atau tepatnya, “ia sudah ada di sana”. Tetapi ada syarat-syarat di
dalamnya, yaitu syarat-syarat formal. Lalu, sejak tahun 1955 generasi Foucault
mencurahkan diri untuk menganalisis syarat-syarat formal bagi kemunculan
makna.8
8
Tetapi dalam proses mengembangkan konsep kritisnya, Foucault tidak
hanya dipengaruhi oleh tradisi yang di jelaskan di atas. Tetapi apa yang dilakukan
Foucault kemudian seperti bertentangan dengan tradisi yang ia alami tadi. Jika
sebelumnya, generasi dan perhatiannya tersita oleh syarat-syarat kemunculan
makna, kini Foucalut mengarah pada pada bagaimana makna menghilangmelalui
pembentukan objek. Penjelasan ini, secara eksplisit menunjukkan di mana letak
posisi Foucault yang problematis untuk dimasukkan kedalam aliran
strukturalisme. Foucault mengatakan, sejauh itulah dirinya tidak dapat
dimasukkan kedalam apa yang didefinisikan sebagai ‘strukturalisme.’
Strukturalisme, berkebalikan dengannya, mengajukan persoalan mengenai
syarat-syarat formal bagi kemunculan makna, mulai terutama dari contoh istimewa
berupa bahasa, yang juga merupakan sebuah objek yang kompleks, penuh potensi
untuk pelbagai analisis. Tetapi, di saat yang bersamaan, ia berperan sebagai model
untuk menganalisis kemunculan makna-makna lain yang tidak persis merupakan
makna sebuah tatanan linguistik atau verbal. Katanya, “dari sudut pandang itu, tak
dapat dikatakan bahwa saya mempraktikkan strukturalisme, karena kenyataannya
saya tidak berkepentingan dengan makna maupun pelbagai syarat dimana makna
muncul, melainkan berkepentingan dengan syarat-syarat bagi modifikasi atau
interupsi makna, dengan pelbagai syarat di mana makna menghilang, dan dengan
demikian memungkinkan munculnya sesuatu yang lain.9
Penjelasan-penjelasan yang diambil dari wawancara Foucault itu penting
untuk mengatasi pertanyaan, hal mendasar apa yang ingin dijelaskan oleh Foucault
dalam berbagai teori yang ia kembangkan. Foucault mau mengatakan hal
mendasar, yaitu tentang bagaimana manusia mengalami dirinya sendiri dalam
peristiwa-peristiwa sejarah. Dengan demikian, pada akhirnya tujuan dari
penelitiannya yang serba panjang itu sebenarnya adalah untuk menyentuh soal
subjektivitas yang merupakan bentukan sejarah. Sebagai tambahan, saya sertakan
kutipan dari Foucault sebagai berikut,
...tugas filsafat adalah membuat diagnosis, dan tujuannya bukan lagi mengumumkan sebuah kebenaran yang sah bagi semua orang dan bagi semua zaman. Saya hendak mendiagnosis, melakukan sebuah diagnosis terhadap masa kini: menyatakan siapa diri kita sekarang dan apa artinya, sekarang, mengatakan apa yang kita katakan…10
1. Wacana
“Wacana” merupakan istilah yang sangat penting dalam rangka
menginterogasi sebuah kasus atau objek. Wacana di sini merujuk pada gagasan
tentang “sesuatu yang mengatur dan meregulasi cara sesuatu, baik praktek sosial
maupun objek, dibicarakan.” Meskipun wacana merupakan istilah yang terdapat
dalam ilmu bahasa, tetapi yang dirujuk oleh Foucault bukan pada tataran intrinsik
atau struktur formalnya. Wacana yang dirujuk bukan tentang aspek linguistiknya
tetapi pada fungsi dan efek dari wacana yang nantinya berpengaruh terhadap
subjek. Dengan demikian, wacana ini bersifat non-linguistik. Foucault
mendefinisikan wacana sebagai satuan-satuan fungsi (unities of function), bukan sebagai makna atausignification.
Khususnya dalamThe Archaeology of Knowledge,Foucault mengembangkan seluruh rangkaian kategori untuk mengatur antara wacana dan relasinya terhadap
praktik lainnya, peristiwa dan objek. Istilah yang dikenal dan sering dipakai dari
10
Foucault adalah ‘praktik wacana’ (discursive practice). Foucault menjelaskan gagasannya terkait ‘praktik wacana’ sebagai ‘berbicara adalah untuk melakukan
sesuatu’.11Praktik wacana beroperasi berdasarkan pada aturan-aturan yang
sangat spesifik terhadap waktu, ruang dan latarbelakang kultural. Atau dengan
kata lain, praktik wacana merujuk pada produksi wacana dalam suatu masyarakat
dan zaman tertentu.
Dalam wawancaranya yang lain, Foucault secara eksplisit menyatakan
bahwa yang menjadi penting bagi dirinya dan apa yang ingin ia analisis bukanlah
kemunculan makna dalam bahasa, melainkan cara pelbagai wacana berfungsi
dalam sebuah kebudayaan tertentu: bagaimana sebuah wacana berfungsi sebagai
yang patologis dalam satu periode dan sebagai yang literer dalam periode yang
lain. Karena itu, mekanisme wacanalah yang menjadi perhatian Foucault, bukan
modus pemaknaannya.12
2. Kekuasaan dan Wacana
Kekuasaan di sini, bukan berarti kekuasaan yang merepresi individu karena
jika kekuasaan di sini bersifat merepresi seakan-akan ada ruang di mana individu
dapat berdiri di luar kekuasaan. Padahal kekuasaan justru sering tidak disadari.
Kekuasaan yang dibahas Foucault bersifat lebih mendalam lagi, yaitu kekuasaan
yang hadir melalui wacana dan pengetahuan.
Kekuasaan menurut Foucault13adalah seperti berikut ini:
11
Clare O’Farrel, Michel Foucault, London: Sage Publications, hal. 79.
12
Carette, hal. 127
13
a. Kekuasaan bukan sesuatu yang dapat dimiliki, diperoleh atau diberikan.
Kekuasaan tidak berpusat pada manusia/institusi, tetapi MENYEBAR.
b. Kekuasaan bukan sebuah kekuatan yang hadir secara terpisah dari
persoalan/relasi lain (misalnya ekonomi atau pengetahuan), lalu
mempengaruhinya dari luar. Sebaliknya, kekuasaan hadir di dalam relasi
tersebut. Maka kekuasaan bukan sekadar membatasi atau melarang, tapi
bersifat PRODUKTIF.
c. Tidak ada hubungan yang sederhana dan top-down antara kekuasaan di
level makro (masyarakat luas) dan di level mikro (misalnya keluarga).
Tidak ada semacam 'matriks' kekuasaan yang kemudian direproduksi di
semua level masyarakat. Kekuasaan selalu bersifat kontekstual dan
berubah-ubah. kekuasaaan di level lokal dan di level yang lebih luas saling
mempengaruhi (artinya, pengaruh itu tidak bersifat satu arah).
d. Kekuasaan beroperasi dengan strategi dan tujuan yang jelas, tapi bukan
berarti bahwa ada orang/kelompok tertentu yang merancangnya dan
menjalankannya.
e. Bahwa di manapun ada kekuasaan, ada perlawanan dan walaupun
demikian, atau lebih tepat karena itulah, perlawanan tidak pernah berada
pada posisi di luar kekuasaan.
3. Problematisasi
Foucault menjelaskan lahirnya wacana seksualitas di Barat sebagai sebuah
situasi perubahan perilaku. Katanya, pada awal abad ke 17 masih berlaku
kata-kata bernada seks dilontarkan tanpa keraguan, dan berbagai hal yang menyangkut
seks tidak disamarkan. Ketika itu yang haram dianggap halal. Namun, lanjut
Foucault, keterbukaan yang bak siang hari itu segera disusul oleh senja, sampai
tiba malam-malam monoton kaum borjuasi Victorian. Sejak saat itulah seksualitas
dipingit rapi. 14Ilustrasi tersebut kiranya menjadi contoh yang tepat untuk
menjelaskan sebuah konsep dari Foucault sendiri, yaitu ‘problematisasi’.
Problematisasi adalah istilah yang digunakan Foucault untuk mendefinisikan
sejarah pemikiran dalam buku kumpulan kuliahnya, Fearless Speech. Foucault
membedakan antara sejarah sebuah gagasan dengan sejarah sosial. Dia
menyatakan tidak berupaya untuk mengidentifikasi kapan kiranya sebuah konsep
khusus lahir, atau menulis sejarah sebuah periode atau institusi. Dia menjelaskan
bahwa sejarah pemikiran sebagai “sebuah analisa cara sebuah wilayah
pengalaman yang semula tidak dipermasalahkan atau seperangkat praktik yang
diterima tanpa pertanyaan...menjadi sebuah masalah—problem—yang melahirkan
perdebatan dan diskusi, mendorong reaksi-reaksi baru, serta menginduksi sebuah
krisis di dalam tingkah laku, kebiasaan, praktik, institusi yang sebelumnya sunyi.15
4. Teknologi Diri
Menurut Foucault, orang memungkinkan untuk melakukan ‘ontologi kritis
terhadap diri’, yaitu berusaha untuk menyadari wacana-wacana yang telah
membentuk subjektivitasnya. Hal tersebut bertujuan untuk mengimajinasikan
ulang diri secara berbeda. Praktik ini disebut juga sebagai ‘teknologi diri’16yang
14
Ibid, hal. 3-4.
15
Clare O’Farrel,Michel Foucault,London: Sage Publications, hal. 70
16
bukan berarti dapat terbebasnya subjek dari wacana tetapi merujuk pada praktik
yang di dalamnya orang-orang dapat lebih kritis terhadap wacana yang telah
membentuk dirinya melalui teknik yang hati-hati.
5. Negosiasi dan Chandra Talpade Mohanty
Dilihat dari agenda perlawanan terhadap sistem yang opresif terhadap
perempuan, terdapat hubungan yang dilematis antara feminisme dan agama.
Agama seringkali dilihat sebagai sebuah sistem yang cenderung tidak menjadi
‘sahabat’ bagi perempuan karena agama mempunyai kecenderungan untuk
mengeksklusi dan menomorduakan perempuan. Khususnya tentang citra
perempuan muslim yang melekat di kalangan sarjana-sarjana Eropa, misalnya,
menyatakan bahwa relasi antara perempuan dengan Islam sangat
memprihatinkan. Narasi yang muncul terkait hal tersebut adalah bahwa pada
umumnya perempuan muslim diopresi, ditaklukkan, dan nyaris dianggap seperti
budak, baik yang berposisi sebagai istri maupun anak perempuan.17Citra kondisi
perempuan Muslim yang mengenaskan dari sisi kemanusiaan ini ‘mengundang’
kalangan feminis barat untuk menyelamatkan mereka. Salah satu contoh yang
paling sering dijadikan sebagai fokus perhatian adalah penggunaan jilbab. Jilbab
dianggap sebagai simbol yang jelas atas opresi terhadap perempuan muslim.
Adalah Chandra Talpade Mohanty18yang secara radikal membongkar
sistem yang lebih spesifik dalam menempatkan wacana perempuan dan agama ini.
Mohanty, dalam artikelnya, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and
17
Deepa Kumar,Islamophobia and the Politics of Empire, 2012, Chicago: Haymarket Books, hal. 44.
18
Colonial Discourses” yang diterbitkan pada 1988 berusaha mengkritik hegemoni
feminisme mainstream yang menguniversalkan pengalaman perempuan tanpa
mempedulikan konteks ras, kultur, dan religi. Menggunakan perspektif Michel
Foucault, Mohanty membongkar adanya wacana ‘perempuan dunia ketiga’ yang
didukung dan disebarkan penelitian-penelitian feminis barat.
Menguniversalkan pengalaman adalah tindakan kolonisasi. Untuk
menjelaskan hal tersebut, Mohanty, menggunakan istilah ‘kolonisasi’ (colonization) untuk menunjukkan penguniversalan pengalaman dalam karya feminis. Istilah
‘kolonisasi’ ini biasanya digunakan untuk menjelaskan pertukaran ekonomi
eksploitatif baik dalam tradisi Marxisme kontemporer maupun tradisional.
Kemudian, digunakan oleh perempuan feminis kulit berwarna di Amerika, untuk
mengapropriasi pengalaman dan perjuangan mereka yang dihegemoni oleh
gerakan feminis berkulit putih. Istilah kolonisasi ‘diperluas’ untuk menerangkan
situasi hierarkhis, baik secara ekonomi maupun politis terhadap produksi wacana
kultural, yaitu ‘Perempuan Dunia Ketiga’ ini.
Wacana ‘perempuan dunia ketiga’ muncul sedemikian rupa akibat
penggiringan isu-isu subjek perempuan dunia ketiga yang diteliti oleh feminis
barat melalui berbagai aliran dana studi penelitian. Hasil-hasil penelitian tersebut
kemudian diartikulasikan dan didukung Amerika dan Eropa. Akibat penggiringan
isu semacam itu, tanpa disadari tercipta kategori diskursif, ‘perempuan dunia
ketiga’ sebagai subjek yang diteliti dan ‘feminis barat’ sebagai subjek yang meneliti.
Relasi antara keduanya sudah jelas tidak setara karena dalam istilah ‘barat’
terdapat rujukan baik secara teoretis maupun praksis sebagai yang lebih sadar
dalam melihat relasi perempuan dunia ketiga/perempuan barat dalam
berhadapan dengan sistem patriarkhi. Dalam penelitian yang dilakukan feminis
barat, sudah termuat asumsi bahwa perempuan dunia ketiga adalah sepenuhnya
korban patriarkhi, yang tidak bisa melawan, sudah jelas tunduk dan patuh
sehingga tidak memiliki daya agensi. Sedangkan perempuan barat sebaliknya,
yaitu mempunyai daya agensi terhadap patriarkhi sehingga mereka mempunyai
kesadaran untuk melawan dan tidak patuh.
Dengan kata lain, terdapat imaji perempuan (‘women’ yang ditulis dengan
‘w’ kecil) dan Perempuan (‘Women’ yang ditulis ‘W’ kapital). Kedua cara penulisan
ini untuk membedakan posisi perempuan pada umumnya terhadap sistem
patriarkhi. Perempuan yang ditulis dengan huruf awal kapital, adalah perempuan
yang seperti diinginkan oleh sistem patriarkhi. Sedangkan ‘perempuan’ dengan
huruf awal non-kapital adalah individu-individu yang berusaha untuk mengelola
sistem patriarkhi tersebut sesuai dengan kemampuan agensinya. Perempuan
dunia ketiga dipandang sebagai seluruhnya hanya patuh terhadap patriakhi
sehingga harus diberi kesadaran untuk melawan. Sedangkan feminis barat adalah
perempuan yang mempunyai semangat perlawanan terhadap patriarkhi atau
menjadi perempuan yang individual atau mandiri.
Dengan asumsi semacam itu pula, misalnya dalam penelitian mengenai
jilbab yang dikritik oleh Mohanty, wacana jilbab yang diteliti pada masyarakat
muslim dunia ketiga menjadi terkesan monolitis dan statis. Wacana jilbab dilihat
tanpa memperhitungkan konteks etnografis secara khusus sehingga wacana jilbab
dilihat sebagai bentuk opresi terhadap perempuan. Dalam wacana jilbab, para
dalam wacana jilbab, misalnya keragaman cara perempuan muslim dalam
memaknainya seakan bukan sesuatu yang mungkin. Lebih lanjut bahkan Mohanty
menemukan, dalam tulisan-tulisan Frans Hosken, jilbab disejajarkan dengan isu
seperti pemerkosaan, mutilasi, poligami, pornografi, kekerasan dan prostitusi.
Kesemua kasus tersebut dimasukkan kedalam kejahatan hak asasi manusia yang
mendasar.
Perhatian Mohanty di sini adalah pada kecenderungan penelitian feminis
Barat atas dasar dana studi atau beasiswa adalah mengenai subjek agensi.
Perempuan Timur yang direpresentasikan dalam hasil penelitian feminis Barat
ditunjukkan sebagai pihak yang tidak berdaya atau tidak mempunyai daya agensi.
Dalam peta global beasiswa, secara struktur perempuan di Dunia Pertama dan
Ketiga dianggap bukan kategori yang setara. Sehingga, penelitian tentang
perempuan lebih banyak dipusatkan pada Dunia Pertama. Isu-isu yang menjadi
bahan penelitian dalam berbagai masyarakat yang berbeda adalah: Secara lebih
tendensius, diskursus feminis di Dunia Ketiga seringkali diasumsikan sebagai
kategori yang homogen. Kelompok yang bernama “perempuan” dianggap sebagai
kelompok yang tidak punya kuasa. Mohanty menekankan bahwa jika perempuan
di Dunia Ketiga direpresentasikan sebagai kelompok yang tidak berdaya dalam
hasil-hasil penelitian feminis Barat maka di sinilah telah muncul gerakan
kolonialis. Perempuan Dunia Pertama yang merepresentasikan perempuan Dunia
Ketiga dengan demikian memposisikan dirinya sebagai satu-satunya “subjek”
sejarah. Secara menyedihkan, perempuan Dunia Ketiga selalu hadir di bawah
Dengan kata lain, sejauh ini ‘Perempuan/Para Perempuan’ dan ‘Timur’
didefinisikan sebagai Liyan atau secara periferal bahwa Manusia/Humanisme Barat dapat merepresentasikan dirinya sebagai pusat. Di sini yang terjadi bukanlah
pusat yang menentukan yang sekeliling (periphery), tetapi yang sekeliling inilah,
dalam keterbatasannya, yang menentukan pusat. Seperti halnya feminis Kristeva,
Cixous, Irigaray dan feminis lainnya yang merekonstruksi kecenderungan laten
antropomorfisme dalam diskursus Barat. Mohanty dalam hal ini menyarankan
sebuah strategi paralel untuk menemukan sebuah etnosentrisme tersembunyi
dalam tulisan-tulisan feminis tentang dunia ketiga.
Seperti telah dibahas sebelumnya, pembandingan antara feminis barat yang
menghadirkan-diri (self-presentation) dan representasi feminis barat tentang perempuan dunia ketiga memberikan hasil yang penting. Imaji ‘perempuan dunia
ketiga’ yang universal seperti perempuan berjilbab, perempuan perawan, dan
lain-lain) imajinya dibentuk dari ‘perbedaan dunia ketiga’ kepada ‘perbedaan seksual’
yang mendasarkan asumsi bahwa perempuan barat sebagai yang sekular, bebas
dan mempunyai kontrol terhadap hidup mereka sendiri. Sebenarnya hal tersebut
tidak memberi kesan bahwa perempuan barat adalah sekular, bebas, dan
mempunyai kontrol terhadap hidup mereka sendiri. Mohanty merujuk pada
penghadiran-diri secara diskursif, bukan sebagai realitas material. Jika dalam realitas material perempuan barat sekular, bebas dan mempunyai kontrol
terhadap hidupnya sendiri maka tak diperlukan lagi perjuangan feminis politis di
barat.
Selain itu, penciptaan wacana ‘dunia ketiga’ sebagai yang kurang maju dan
tunggal dan istimewa). Tanpa wacana ‘perempuan dunia ketiga’ representasi
feminis barat yang lebih maju dalam hal kesetaraan jender tidak akan ada. Bagi
Mohanty, keduanya bersifat saling mendukung. Oleh karena itu, sudah saatnya
melampaui Marx yang sempat menyatakan bahwa yang terkoloni tidak bisa
merepresentasikan diri, mereka harus direpresentasikan. Melalui semangat
Mohanty inilah, perempuan muslim dunia ketiga, sangat perlu untuk
merepresentasikan diri agar dapat tergambar dengan jelas dan dinamis saat hidup
dalam wacana jilbab, yang seringkali dianggap sebagai sumber opresi.
Penyederhanaan pengalaman, dengan demikian merupakan penyederhanaan diri
‘perempuan’. oleh karena itu, menghadirkan pengalaman yang kompleks dalam
jilbab yang akan dikerjakan dalam tesis saya ini, sepenuhnya sesuai dengan
semangat yang diusung oleh Mohanty. Sudah saatnya pihak yang selalu
dibicarakan, kini berbicara.
H. METODE PENELITIAN
1. Sejarah Otoetnografi
Istilah otoetnografi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
sebuah kajian yang di dalamnya pelaku budaya memberikan kisahnya sendiri
tentang budaya mereka.19 Meskipun demikian, pada dasarnya semua jenis
etnografi merupakan ‘etnografi-diri’ yang di dalamnya terdapat keterlibatan
pribadi lalu dianalisa secara khusus. Sementara, otoetnografi secara khusus
19
digunakan oleh mereka untuk menggali posisi antropologi dan relevansinya
terhadap dunia akademis dan masyarakat. 20 Otoetnografi dipakai untuk
menggambarkan antropolog yang menghantarkan dan menulis tentang
‘masyarakat mereka sendiri sekaligus sebagai peneliti yang memilih sebuah
“lapangan penelitian”, yang menghubungkan pada satu identitas mereka sendiri
atau sebuah kelompok.21Meskipun istilah ‘otoetnografi’ tidak terlalu sering
dipakai selama tahun 1980-an, para sosiolog, antropolog, sarjana komunikasi dan
lainnya melakukan interpretasi oral, etnografi pertunjukkan, dan peneliti feminis
mulai menulis dan menganjurkan bentuk narasi personal, subjektivitas, dan
refleksi dalam penelitian. Para peneliti tersebut tertarik pada pentingnya berkisah
dan penciptaan budaya, serta secara progresif terlibat dengan jejak pribadi dalam
praktik etnografi. Terdapat penolakan gagasan bahwa etnografi harus
menyembunyikan subjektivitas di belakang atau menghidupkan terus menerus
aura objektivitas dan kemurnian. Para peneliti ini mulai melibatkan diri mereka
sebagai bagian dari apa yang mereka teliti, sering menulis cerita tentang proses
penelitian dan sesekali memfokuskan diri pada pengalaman mereka sendiri.22
Periode 1990-an banyak bermunculan sumber-sumber mengenai
otoetnografi lintas berbagai disiplin ilmu, misalnya Carolyn Ellis menerbitkan
sebuah buku:Final Negotiations; Ellis, 1995a) dan lebih dari dua lusin esai tentang otoetnografi dan menyunting dua buku tentang pengalaman pribadi dalam
penelitian—Investigating Subjectivity (dengan Michael Flaherty; Ellis, 1992) dan Composing Ethnography (Dengan Art Bochner; Ellis, 1960an) Bochner (1994;
20
Ibid, Goldsmidt (1977)
21
Ibid, Hayano (1979)
22
1997) menerbitkan esai-esai tentang pentingnya kisah pribadi dan relasinya
terhadap teori, lalu bersama-sama Ellis mereka mulai menyunting serial buku
Ethnographic Alternatives yang kesemuanya menggambarkan cara dan alasan pengalaman pribadi harus digunakan dalam penelitian. Buku penting lainnya
adalah karya dari Reed-Danahay yaitu Auto/Ethnography (1997) dan buku Handbook of Qualitative Research(Denzin & Lincoln, 1994) yang memasukkan bab tentang pengalaman pribadi dan penelitian (Clandinin & Connely, 1994) dan
menulis sebuah metode penelitian (Richardson, 1994).23
2. Definisi Otoetnografi
Otoetnografi merujuk pada sebuah pendekatan dan penulisan yang
mencoba untuk menjelaskan dan menganalisa secara sistematik pengalaman
pribadi (auto) (lihat misalnya Ellis, 2009a; Ellis, Adams, & Bochner, 2011).24 Penelitian ini menentang cara kanonistik dalam melakukan penelitian, yaitu
merepresentasi orang lain, dan memperlakukan penelitian sebagai sesuatu yang
politis, hanya untuk kepentingan keadilan sosial dan tindakan kesadaran-secara
sosial. Seorang peneliti menggunakan prinsip-prinsip otobiografi dan etnografi
untuk ‘melakukan’ dan ‘menulis’ otoetnografi. Oleh karena itu, sebagai sebuah
metode, otoetnografi merupakan sebuah proses sekaligus hasil (Ellis, Adams, and
Bochner 2011).25
Lebih jelasnya lagi otoetnografi adalah kajian relasi antara diri dan orang
lain dengan seluruh dimensi di dalamnya. Pertama, kita melihat melalui lensa
23
Ibid., hal. 255-256.
24
Ibid., hal. 253.
25
besar seorang etnografer, memfokuskan diri pada lapisan luar sosial dan aspek
budaya pengalaman personal kita; kemudian kita lihat dari lapisan dalam,
menyingkap diri yang rapuh yang digerakkan oleh atau bergerak melalui,
membiaskan, dan melawan interpretasi budaya. Ketika kita memperbesar lapisan
luar dan dalam, depan dan belakang, perbedaan antara pribadi dan budaya
menjadi kabur, kadang-kadang melampaui perbedaan yang dengan jelas dikenali.
Otoetnografi merujuk pada menulis tentang pribadi dan relasinya dengan budaya.
Ini adalah genre penulisan dan penelitian otobiografis yang menunjukkan banyak
lapisan kesadaran.26
Otoetnografi menggunakan refleksivitas untuk menggambarkan pertemuan
(intersection) antara diri dan masyarakat, yang khusus dan umum, yang personal dan yang politis (Berry & Clair, 2011 dalam Ellis dan Adams: The Oxford Handbook
of Qualitative Research 2014). Otoetnografi juga mengenal dan menghormati
hubungan antara peneliti dengan orang lain (Ellis, 2007), dan memperlakukan
peneliti sebagai sebuah tindakan yang secara sosial sadar (Holman Jones, 2005a)
dan membantu memanusiakan secara emosi proses penelitian.27
Otoetnografi juga menyatakan secara tidak langsung hubungan: kisah yang
ditulis peneliti menghubungkan antara diri dengan budaya; cara otoetnografer
meneliti dan menulis kisah ini menyatukan antara metode ilmu sosial dengan
kepekaan estetika kemanusiaan, praktik etnografi dengan bentuk seni dan sastra
yang ekspresif. Otoetnografer menulis kisah tentang hidupnya karena berpikir
26
Carolyn Ellis, Ethnographic I: A Methodological Novel About Autoethnography, 2004, United Kingdom: Rowman & Littlefield Publishing Group, hal. 37-38.
27
bahwa kisah hidup yang khusus dapat membuktikan sebuah cara yang berguna tentang pengalaman manusia secaraumum.
Perlu ditekankan di sini, meskipun dalam otoetnografi diberikan
kesempatan untuk menghadirkan pengalaman peneliti cukup besar, tetapi
otoetnografi jelas tidak sama dengan otobiografi. Otoetnografi tetap berfokus pada
budaya yang hendak diteliti, bukan semata-mata pada diri personal peneliti seperti
dalam otobiografi. Untuk persoalan-persoalan tertentu, jika peneliti mempunyai
akses yang lebih besar atau bahkan lebih dalam terhadapnya, alih-alih hanya
meneliti orang lain, memeriksa persoalan atau wacana yang bekerja di dalam diri
sendiri menjadi begitu penting. Kembali lagi ke persoalan ‘objektivitas’, kita
menghadirkan pengalaman peneliti melebihi yang dilakukan dalam etnografi
tradisi lama, berupaya untuk tidak terjebak pada ‘mengobjektifikasi’ data atau
pengamalan hidup orang lain yang diteliti. Kecenderungan untuk
mengobjektifikasi pengalaman orang lain ini misalnya adalah ketika peneliti
melihat data tersebut secara statis untuk kemudian dianalisa sesuai dengan
kerangka teori yang akan dipakai.
Hal lainnya yang bisa ditambahkan tentang otoetnografi, jika merujuk pada
Paula Saukko, dapat dilakukan perbandingan dengan pengalaman hidup orang
lain.28Dengan demikian, di sini saya lebih memilih komparasi antara diri sendiri
dan orang lain. Jalan semacam ini memungkinkan bukan hanya perbandingan
pengalaman tetapi juga (tentu saja) refleksi yang lebih kompleks atas bekerjanya
sebuah wacana di dalam diri—baik diri sendiri maupun narasumber—yang tengah
28
diteliti.29 Secara konseptual, untuk mencapainya, otoetnografi menggunakan
prinsip-prinsip hermeneutika atau fenomenologi untuk memahami pengalaman
hidup yang berbeda. Selain itu, prinsip fenomenologis ini bertujuan, pertama,
untuk mengetahui muatan sosial (social baggage) yang merintangi pemahaman
kita mengenai pengalaman yang berbeda. Kedua, adalah agar menjadi lebih kritis
atas batasan-batasan pemahaman kita sendiri yang mengembangkan sensitifitas
atau keterbukaan melalui kemungkinan perbedaan pengalaman hidup yang
radikal.
Karakteristik fitur lainnya, sebagaimana juga fenomenologi, adalah secara
khusus tertarik pada moda pengalaman hidup seperti emosi (Douglas, 1977; Ellis,
1991), perwujudan (embodiment) (Merleau-Ponty, 1962) atau yang suci (Buber, 1970; Levinas, 1985) yang seringkali diabaikan dalam penelitian sosial yang
berorientasi rasionalistik. Salah satu argumentasi paradigma bahwa ini adalah
cara non-rasional untuk berhubungan dengan dunia ini seringkali dihubungkan
dengan kelompok-kelompok yang terbungkam, seperti perempuan atau orang
non-Barat yang dibungkam oleh dunia Barat, atau laki-laki kulit putih yang
berfokus pada rasionalitas. Kemudian, otoetnografi mengembangkan bentuk
kajian dan tulisan yang bertujuan untuk lebih adil terhadap emosi dan
bentuk-bentuk pengetahuan yang mewujud.30
29
Maso, dalam Paula Saukko,Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approaches, London: Sage Publications, hal. 57.
30