• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jilbab sebagai lokus pengelolaan diri : sebuah kajian otoetnografis jilbab sebagai lokus pengelolaan diri : sebuah kajian otoetnografis.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Jilbab sebagai lokus pengelolaan diri : sebuah kajian otoetnografis jilbab sebagai lokus pengelolaan diri : sebuah kajian otoetnografis."

Copied!
223
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

(2)

ABSTRACT

(3)

JILBAB SEBAGAI LOKUS PENGELOLAAN DIRI:

SEBUAH KAJIAN OTOETNOGRAFIS

TESIS

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Oleh:

Kurniasih

116322005

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)

PERSETUJUAN

TESIS

JILBAB SEBAGAI LOKUS PENGELOLAAN DIRI:

SEBUAH KAJIAN OTOETNOGRAFIS

Oleh:

Kurniasih

116322005

Telah disetujui oleh :

Dr. Katrin Bandel ……….

(5)

PENGESAHAN

TESIS

JILBAB SEBAGAI LOKUS PENGELOLAAN DIRI: SEBUAH KAJIAN OTOETNOGRAFIS

Oleh:

Kurniasih 116322005

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis Pada tanggal 10 Juli 2015

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Tim Penguji

Ketua : T. Tri Subagya M. A. ………

Moderator : T. Tri Subagya M. A. ………

Anggota : 1. Dr. Katrin Bandel ………

2. Dr. St. Sunardi ………

3. Dr. Gregorius Budi Subanar S.J. ………

Yogyakarta, 14 September 2015 Direktur Program Pascasarjana

Universitas Sanata Dharma

(6)

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Kurniasih

NIM : 116322005

Program : Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas : Sanata Dharma

Menyetakan dengan sesungguhnya bahwa tesis

Judul : Jilbab Sebagai Lokus Pengelolan Diri: Sebuah Kajian Otoetnografis

Pembimbing : Dr. Katrin Bandel Tanggal diuji : 10 Juli 2015

Adalah benar-benar hasil karya saya.

Di dalam skripsi/karya tulis/makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penuli aslinya.

Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora (M.Hum.) yang telah saya peroleh.

Yogyakarta, 14 September 2015

Yang memberikan pernyataan

(7)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK

KEPENTINGAN AKADEMIS

Nama : Kurniasih

NIM : 116322005

Program : Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah yang berjudul:

JILBAB SEBAGAI LOKUS PENGELOLAAN DIRI: SEBUAH KAJIAN OTOETNOGRAFIS

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya atau memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Dibuat di: Yogyakarta

Pada tanggal: 14 September 2015

Yang menyatakan

(8)

KATA PENGANTAR

Tanpa direncanakan sebelumnya, tiba-tiba saya ingin sekali tesis yang

sedang saya kerjakan dapat dibaca oleh para perempuan di rumah. Ibu, kakak,

kakak ipar, atau mungkin keponakan tidak akan terlalu kesulitan membaca tema

yang juga merupakan bagian dari keseharian mereka. Keinginan itu muncul di

tengah perjalanan tesis yang sudah berjalan selama beberapa semester. Bidang

keilmuan yang saya ikuti ini, Kajian Budaya, pada dasarnya memperhatikan

persoalan sehari-hari. Jadi, saya pikir, mengapa tidak tesis ini dapat dibaca dengan

nyaman, bukan hanya secara akademis tetapi juga menyapa keseharian. Secara

tidak direncanakan pula, pilihan Otoetnografi yang mengharuskan saya

bereksperimen mengenai gaya penulisan memberi peluang yang cukup untuk

keinginan saya tersebut. Sehingga, banyak waktu yang saya habiskan untuk

menjajal gaya bahasa, mulai dari gaya seorang etnografer, terlebih gaya seorang

novelis yang lebih menggiurkan. Tetapi karena proyek ini adalah sebuah syarat

untuk kelulusan akademis, saya memutuskan untuk tidak terlampau ‘larut’ dalam

gaya novelis. Selain waktu yang tidak memungkinkan, saya juga belum punya

banyak keberanian untuk menyodorkan gaya penulisan dari metodologi penelitian

yang masih terhitung baru ini, khususnya di Indonesia. Padahal institusi yang

menaungi proyek penulisan tesis ini, yaitu Ilmu Religi dan Budaya, terlihat dari

sikap para dosennya terhadap Otoetnografi, tidak akan terlampau mempersoalkan

eksperimen gaya selama syarat-syarat penelitian akademis terpenuhi.

(9)

Meskipun batal menyodorkan hasil eksplorasi yang sudah sempat saya

kerjakan, masih ada kesempatan lain untuk melanjutkan eksplorasi tersebut di lain

waktu. Toh, sebuah penelitian bisa tanpa akhir jika kita tidak mengakhirinya.

Seperti yang dinyatakan oleh dosen pembimbing saya, Katrin Bandel, bahwa jika

mau terus memperdalam tesis yang sedang dikerjakan, akan selalu ada

kesempatan. Katrin Bandel selaku dosen pembimbing telah mengingatkan banyak

hal sekaligus memberikan keleluasaan kepada saya. Ucapan terima kasih

sedalam-dalamnya saya haturkan kepada beliau. Mbak Katrin Bandel adalah dosen

pembimbing yang dapat diajak berdebat, meski kami sama-sama keras kepala,

tetapi sifat lembut serta malas berlama-lama terjerat belitan emosi membuat kami

segera dapat ‘segar’ kembali lalu melanjutkan sesuatu yang sudah seharusnya

berjalan. Terutama kesabaran beliau, saya mesti belajar banyak darinya.

Tesis ini juga dapat lahir atas masukan berarti dari Romo Benny sejak awal,

yang menantang saya untuk mengerjakannya secara otoetnografis. Saya tidak

menyangka tantangan tersebut selain mengasyikkan tetapi juga menyakitkan

karena bagian terdalam dari pengalaman hidup saya harus dibahasakan untuk

kemudian dibaca oleh para dosen. Rasa malu dan takut pengalaman pribadi

tersebut dibaca orang lain, banyak teratasi oleh sosok didikan Pak Nardi, yang

sudah seperti bapak saya sendiri, bahwasanya pengalaman hidup dapat menjadi

sumber dari karya keilmuan. Bapak satu ini terkadang bagaikan seorang analisan

daripada seorang pendidik sehingga terkadang saya merasa menjadi manusia

transparan di hadapannya. Di sela-sela pengerjaan tesis ini, saya juga sering

bercengkrama dengan sosok Romo yang selalu bersemangat, yaitu Romo Banar.

(10)

semangat saya bugar kembali. Ucapan terima kasih juga saya persembahkan untuk

sahabat-sahabat seangkatan 2011, yang sempat berpadu dalam sedu sedan sambil

menemani mimik-mimik bareng, yaitu Frans, Imran, Arham, Vini, Lamser, Gogor. Sungguh mereka sahabat-sahabat yang merupakan adik-adik saya tapi

kedewasaannya membuat hati terharu, seperti halnya juga Wahmuji yang

merupakan ketua angkatan. Kesabarannya untuk mendengarkan curhat-curhat

akademis maupun nonakademis sungguh mengharukan. Juga kepada kakak

angkatan, Zuhdi Sang, yang terlibat banyak dalam pengerjaan tesis ini, saya

ucapkan terima kasih. Ia seringkali mengingatkan saya tentang banyak hal,

terutama berjalannya roda waktu saat saya sedang ‘asyik’ larut dalam masalah

nonakademis. Tak akan pernah terlupa, ibu kami di sekretariat yang telah banyak mengingatkan mahasiswa, yaitu Mbak Desy, serta bapak kami yang selalu berkeliaran di kampus, mondar-mandir ‘menengok’ para mahasiswa, yaitu Mas

(11)

ABSTRAK

(12)

ABSTRACT

(13)

DAFTAR ISI

1. Susan Brenner (1996)- Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and ‘The Veil’...10

2. Kelompok Studi Realino (2001) - Jilbab, Kesadaran “Identitas” Poskolonial dan Aksi Tiga Perempuan Jawa yang dilakukan oleh Kelompok Studi Realino ...11

3. Sonya Wichelen (2007)- Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia...14

(14)

1. Sejarah Otoetnografi ...29

B. GEGER BUDAYA JILBAB (PELARANGAN JILBAB DI SEKOLAH, PEMINGGIRAN KESEMPATAN KERJA) ...58

1. Alienasi Jilbab (pelarangan jilbab di sekolah, kantor) ...60

2. Konstelasi Politik Orde Baru dan Islam ...61

C. JILBAB DALAM BERBAGAI PRODUK BUDAYA ...63

JILBAB: LOKUS PENGOLAHAN DIRI SAYA DAN MEREKA ...87

A. JILBABKU ...87

1. Wacana ...87

B. DALAM BENTANGAN SEHELAI JILBAB KAMI HIDUP ... 121

(15)

JILBAB SEBAGAI DISIPLIN HINGGA TEKNOLOGI DIRI... 144

A. SEJARAH WACANA JILBAB DI INDONESIA... 149

1. Wacana Jilbab Syariat ... 160

2. Wacana Jilbab Modis Tapi Syar'i ... 161

3. Wacana Jilbab Perda Syari’ah ... 163

4. Wacana Jilbab Islam Liberal... 163

5. Wacana Penyalahgunaan Jilbab... 164

6. Wacana Melepas Jilbab... 166

B. ANALISA JILBAB SEBAGAI LOKUS PENGELOLAAN DIRI ... 167

1. Dari Problematisasi hingga Teknologi Diri ... 169

2. Refleksi sebagai Teknik Teknologi Diri ... 185

C. NARASI DIRI SEBAGAI BAGIAN DARI WACANA POSKOLONIAL ... 189

1. Jilbab dan Poligami ... 193

2. Jilbab dan Esensialisme... 196

BAB V... 201

KESIMPULAN ... 201

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sebuah mal baru kembali berdiri di kawasan Bandung. Balubur Town

Square atau disingkat menjadi Baltos nama mal tersebut. Selain karena jaraknya

yang tak jauh dari rumah, ada satu hal yang membuat saya tertarik untuk

mengunjunginya. Di bagian depan mal tersebut terpampang foto cantik artis

sinetron yang sedang naik daun, Citra Kirana. Dandanannya memukau dengan

jilbab yang dikenakan sedemikian rupa serta sapuan kosmetik tipis yang membuat

sosok Citra Kirana tidak bosan dipandang. Citra Kirana, yang dalam kesehariannya

tidak mengenakan jilbab ini, hadir di dalam foto yang berukuran besar itu tengah

berperan menjadi ikon sebuah merek busana muslim terkemuka. Di sampingnya,

tampil juga iklan merek busana muslim lainnya yang sama-sama memajang foto

perempuan berjilbab yang juga cantik. Sepertinya sudah menjadi hal yang biasa

iklan merek busana muslim menjadi bagian dari tawaran konsumsi di mal-mal,

khususnya di kota Bandung.

Saat saya memasuki mal baru itu, aura magis yang menguar dari keindahan

busana muslim yang beraneka rupa dan gaya segera menyita perhatian saya. Saya

benar-benar tengah berada di pusat belanja yang tengah merayakan trend

berjilbab. Toko-toko yang menata aneka perlengkapan berjilbab dengan apik dan

menarik berderet memenuhi satu lantai penuh mal tersebut. Saya bisa

(17)

kegelisahan. Dulu, pada 90-an, ketika saya pertama kali mengenakan jilbab,

pengalaman berada di mal jauh berbeda dengan yang kini saya rasakan. Saat saya

berpenampilan dengan jilbab di mal, saya merasa kurang begitu menyatu dengan

suasana yang dihadirkan di mal. Bagaimana tidak? Foto-foto berukuran besar

memampang perempuan-perempuan yang mencerminkan trend masa kini. Trend

saat itu bukan perempuan berjilbab tentu saja. Sehingga, saya merasa ketinggalan

zaman gara-gara jilbab sederhana yang saya kenakan.1Tetapi untuk mengubahnya

menjadi lebih modis agak sulit karena saat itu jilbab belum menjadi trend. Saya

merasa, beginilah adanya jilbab yaitu pasti tidak sesuai dengan trend masa kini.

Sehingga, tidak ada padu padan antara pakaian dan jilbab begitu beragam. Padahal

di mal besar di pusat kota, perempuan muda yang tidak berjilbab biasanya

berpenampilan modis dan trendi.

Kini, sekitar dua puluh kemudian, situasi jauh berbeda. Saya merasa sedang

dimanjakan oleh dunia konsumsi yang menawarkan aneka model pakaian dan

jilbab yang cantik. Tidak mudah untuk sekadar menerimanya dengan gembira

karena pilihan untuk mengenakan model jilbab menjadi lebih beragam serta

kemungkinan disebut ketinggalan zaman dapat teratasi. Jika tersedia uang, saya

tinggal memilih gaya apa saja yang tersedia. Gaya yang merupakan perkawinan

antara menutup aurat menurut syariat Islam dan mode trend terbaru. Tetapi

perubahan yang saya alami di mal semacam ini ternyata tidak membuat saya lebih

tenang. Malah keadaan ini menambah panjang daftar kegelisahan saya. Apa

sebenarnya jilbab bagi saya kini?

1

(18)

Merebaknya jilbab di mana-mana membuat saya bertanya-tanya, fenomena

apakah ini semua? Haruskah saya bergembira dengan semakin populernya jilbab

di kalangan masyarakat umum ini? Haruskah saya lega karena jilbab tidak lagi

diolok-olok sebagai “Ninja” seperti tahun 90-an? Haruskah saya juga bersyukur

bahwa tak ada lagi ungkapan gegabah “Jilbab Racun” seperti yang terjadi di tahun

90-an? Dalam masa kegelisahan tersebut, saya tiba-tiba mendapatkan sebuah surat

elektronik dari seorang teman lama yang kini berdomisili di Jepang. Ia bertanya

dengan herannya kepada saya, “Kok bisa sih sekarang di Indonesia banyak banget

yang pake jilbab? Dulu engga sebanyak itu kan? Trus kenapa baru

sekarang-sekarang orang pake jilbab padahal kan Islam ada udah sejak abad berapa coba?

Kan shalatnya juga udah sejak dulu tapi kenapa jilbab baru muncul

sekarang-sekarang?”

Pertanyaan teman lama semasa saya kuliah Diploma 3 pada tahun 98 ini

membuat saya merasa tidak sendirian dalam merasa gelisah dengan fenomena

jilbab yang terus menerus merebak ini. Fenomena jilbab ini pasti memiliki pola

tertentu yang menarik dan penting, bahkan tidak melulu bersifat teologis. Teringat

masa-masa ketika jilbab sempat dilarang dikenakan di sekolah-sekolah, banyak

murid perempuan di sekolah negeri seperti di Bogor dan Bandung yang terpaksa

dikeluarkan dari sekolah hanya karena berjilbab. Pihak sekolah menganggap jilbab

melanggar aturan berseragam di sekolah. Mengapa kini ceritanya berbeda jauh?

Sebaliknya, kini di sekolah-sekolah negeri, seragam yang dikenakan mendekati

batasan pakaian berjilbab, yaitu rok yang panjang hingga mata kaki. Apakah

mungkin materi teologis jilbab yang sudah berubah atau baru dapat dipahami oleh

(19)

sebagai hal yang penting bagi perempuan Muslim atau bahkan dianggap

penyimpangan oleh kalangan tertentu?

Karena popularitas jilbab di negeri ini yang semakin luas, aneka peristiwa

terkait jilbab yang sepertinya tidak mungkin muncul di tahun 90-an pun kini

menjadi mungkin. Misalnya ketika seorang perempuan terdakwa kasus korupsi

mendadak mengubah penampilannya dengan mengenakan jilbab rapi. Sedangkan

bagi perempuan yang melangsungkan pernikahan, ia boleh mengenakan kostum

pengantin berjilbab meski dalam kesehariannya tidak berjilbab. Bahkan jilbab pun

bisa menjadi sebentuk seragam di instansi-instansi tertentu. Sementara itu, di

ruang-ruang publik, tak jarang saya menemukan pengumuman tertulis, misalnya

di sekolah-sekolah yang menggunakan warna Islami atau masjid yang berbunyi,

“Anda Memasuki Kawasan Berjilbab.” Jika kita berlari sebentar ke Aceh,

perempuan yang tidak berjilbab dikejar-kejar oleh aparat agar mengenakan jilbab.

Siapapun kini dapat mengenakan jilbab, bergantung kepentingan yang hendak

dituju. Jilbab juga dapat “dipaksakan” kepada karyawan demi kepentingan instansi

atau lembaga atau peraturan daerah tertentu. Lagi-lagi saya mengingat masa lalu,

periode 90-an saat tak banyak orang yang ramai-ramai mengumandangkan

“kewajiban” berjilbab. Jilbab kini telah menjadi model identifikasi yang berbeda

dengan masa-masa sebelumnya.

Sementara itu, secara internal, setelah mengenakan jilbab hampir 20 tahun

membuat saya kembali berefleksi dan mempertanyakan jilbab. Apa makna jilbab

bagi saya? Model identifikasi apa yang saya peroleh saat mengenakan jilbab di saat

jilbab semakin populer? Mengapa hidup saya seakan tidak bisa dilepaskan dari

(20)

lebih daripada sekadar model berpakaian biasa saja. Pada titik yang paling

ekstrim, jilbab juga terkadang terasa menjadi gangguan akibat ketidaknyamanan

secara fisik. Pengalaman jilbab yang tidak linier secara personal ini juga

mencerminkan adanya pergeseran penyikapan jilbab secara umum. Dengan

demikian pada jilbab terdapat struktur diskursif yang membentuknya. Jilbab

mempunyai daya yang begitu kuat untuk menempatkan seorang perempuan

kedalam posisi tertentu di dalam masyarakat. Selain itu, model-model jilbab pun

menjadi semakin beragam. Model tertentu yang dipilih pun dapat dipandang

sebagai tanda nilai sosial religius secara khusus. Misalnya, jika jilbab yang dipilih

adalah yang serba longgar dan sederhana maka si pemakai akan ditempatkan

sebagai seseorang yang ketat agamanya dan cenderung dianggap kolot. Sedangkan,

jika model jilbab yang dipilih adalah sesuai dengan trend terkini yang penuh

warna dan model maka ia akan ditempatkan pada posisi sebagai seseorang yang

lebih modern.

Menyadari dan mengalami pergeseran di dalam jilbab secara intens

membuat saya terus menerus berefleksi. Dua puluh tahun saya mengenakan jilbab

membuat saya hinggap pada kesadaran bahwa jilbab yang dikenakan bukanlah

sesuatu yang “sudah dari sananya” atau “terberi”. Setidak-tidaknya, cara menutup

aurat berdasarkan syariat Islam ini telah mengkristal pada bentuk jilbab. Terdapat

proses diskursif yang kental di dalam jilbab. Kesadaran semacam itu pun

menghantarkan saya pada kondisi bahwa jilbab merupakan perangkat yang bukan

saja menghadirkan keyakinan tetapi juga keraguan sekaligus! Jika jilbab adalah

sebuah wacana yang membuat perempuan seperti saya harus mengalami berbagai

(21)

sedemikian patuh? Apakah jilbab merupakan sebuah wacana yang membuat

perempuan menjadi terepresi karenanya? Adakah cara untuk terbebas dari

wacana jilbab? Kepatuhan pada wacana jilbab tidak mungkin dipungkiri. Tetapi

apakah kepatuhan kami bersifat monolitis dan statis?

Jika kita perhatikan fenomena populer, misalnya melalui representasi

media, jilbab menjadi terlalu sederhana. Jilbab lebih sering disorot sebagai bukti

kepatuhan seorang perempuan Muslim terhadap aturan Islam. Di sisi lain, jilbab

juga dipandang sebagai keniscayaan yang harus dipatuhi oleh setiap perempuan

muslim tanpa memberikan kemungkinan penyikapan yang berbeda. Sementara,

identitas muslimah pun yang dikonstruksi secara performatif melalui penggunaan

jilbab. Demikian juga ketika perempuan memilih untuk melepaskan jilbabnya

dengan pertimbangan tertentu. Dinamika yang kompleks dalam jilbab ini sangat

penting untuk diteliti, lalu dianalisa karena akan memperlihatkan hubungan timbal

balik antara pengguna dan jilbab sebagai sebuah wacana yang kompleks. Apa

pentingnya hubungan timbal balik antara pengguna dengan diskursus jilbab? Hal

terpenting adalah bagaimana perempuan memandang dirinya, baik secara

spiritual maupun tubuh.

Oleh karena itu saya menjadi tertarik untuk meneliti wacana jilbab. Jika

jilbab bukan sesuatu yang terberi, lantas bagaimanakah proses diskursif yang

membentuknya? Jika jilbab membawa pengguna pada pengalaman yang khusus,

bagaimanakah model pemaknaannya? Terakhir, kegelisahan serta ambivalensi

atas jilbab yang saya alami membawa saya pada pertanyaan negosiasi seperti

apakah yang hadir dalam jilbab, baik bagi saya sebagai peneliti maupun

(22)

Pertanyaan-pertanyaan saya di atas berangkat dari kegelisahan saya

sebagai pengguna jilbab yang mengalami pergeseran diskursif, baik secara internal

maupun eksternal. Oleh karena itu, akan sangat terbatas jika, seperti halnya

penelitian jilbab yang sudah ada, hanya dilakukan terhadap orang lain. Saya

sebagai pengguna jilbab mempunyai akses yang mendalam, baik pemikiran

maupun emosi terhadap jilbab sehingga lebih baik untuk menggalinya. Kemudian

saya dapat mendeskripsikannya secara mendetail serta reflektif. Dalam hal ini,

meneliti secara otoetnografis adalah pilihan yang cocok untuk saya.

B. TEMA PENELITIAN

Popularitas jilbab yang semakin berkembang mendorong penelitian yang

akan berfokus pada analisa diskursif pada pengguna jilbab. Berkaitan dengan

pengguna jilbab, peneliti yang juga pengguna jilbab mendorong untuk

menggunakan metodologi otoetnografi. Dengan metodologi tersebut, peneliti

mempunyai ruang yang mendalam untuk mengemukakan pengalamannya sebagai

pengguna jilbab.

C. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah jilbab diwacanakan dari masa di Indonesia mulai dari

Orde Baru hingga Pascareformasi?

2. Bagaimanakah wacana jilbab dialami dan dimaknai oleh pengguna

(23)

3. Sejauhmana makna jilbab dinegosiasikan oleh penggunanya? dan apa

hasilnya?

D. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui proses jilbab diwacanakan di dalam masyarakat

pada beberapa periode sosial-politik yang ada;

2. Untuk mengetahui pengalaman dan pemaknaan jilbab oleh pengguna

jilbab;

3. Untuk mengetahui negosiasi pengguna jilbab dan wacana jilbab.

E. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian mengenai jilbab, di saat jilbab sudah sangat populer di kalangan

masyarakat akan sangat berguna setidaknya dalam beberapa hal. Pertama, wacana

jilbab bukanlah sebatas persoalan ekspresi religius saja. Terdapat struktur

diskursif yang kental di dalam jilbab. Hal tersebut penting untuk diketahui agar

saya (khususnya) dan masyarakat pada umumnya dapat melihat adanya

konstruksi di dalam jilbab. Sehingga jilbab dapat diposisikan secara lebih adil baik

bagi pengguna maupun yang memandangnya. Kedua, pergeseran wacana jilbab

(24)

F. TINJAUAN PUSTAKA

Semenjak popularitas jilbab semakin meningkat di Indonesia, banyak

penelitian jilbab sudah dikerjakan. Di bawah ini akan disinggung beberapa hasil

penelitian yang memiliki keterkaitan erat dengan tema penelitian yang akan saya

lakukan. Ada dua kategori hasil penelitian yang saya gunakan. Pertama, adalah

penelitian yang mengandung kecenderungan orientalistik. Penelitian tersebut

adalah, “Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and ‘The Veil’” (1996)2yang dilakukan oleh Susan Brenner dan Reconstructing “Muslimness”: New

Bodies in Urban Indonesia (2007)3yang ditulis oleh Sonya Wichelen. Sedangkan kategori lainnya adalah penelitian yang dapat menjadi landasan atau titik

berangkat bagi penelitian yang akan saya kerjakan. Penelitian tersebut adalah

Jilbab, Kesadaran “Identitas” Poskolonial dan Aksi Tiga Perempuan Jawa yang dilakukan oleh Kelompok Studi Realino (2001).4Selanjutnya, penelitian jilbab yang

sangat membantu untuk periodisasi jilbab adalah Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women (2011)5yang dikerjakan oleh Deni Hamdani.

2

Susan Brenner, “Reconstructing Self and Society: javanesse Muslim Women and ‘The Veil’” , 1996, Amerika: American Antropological Association, hal. 673-697.

3

Sonya Wichelen, “Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia” , 2007, England: Ashgate Publisihing Limited, hal. 93-108.

4

Karen Washburn, Jilbab, “Kesadaran “Identitas” Poskolonial dan Aksi Tiga Perempuan Jawa “ dalam

Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global, 2001, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 111-146.

5

(25)

1. Susan Brenner (1996)- Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and ‘The Veil’

Penelitian Brenner yang berupa artikel panjang ini disajikan untuk

menjawab pertanyaan signifikansi jilbab modern di kalangan Muslim Jawa, dengan

menganalisa pengalaman perempuan-perempuan muda dalam konteks gerakan

Islam yang lebih luas. Brenner berusaha untuk menjawab pertanyaan penelitian di

seputar alasan yang diambil para perempuan muda untuk mengadopsi jilbab yang

(menurut Brenner sendiri) tidak berakar pada tradisi lokal serta tidak didukung

oleh masyarakat luas karena dianggap sebagai cara berpakaian “impor” sehingga

stigma sebagai esktrimis atau fanatis sering mereka dapatkan. Untuk menjawab

pertanyaan tersebut, Brenner memperkirakan bahwa keputusan untuk

mengenakan jilbab merupakan proses transformasi diri perempuan di Jawa.

Brenner memang melakukan penelitian di seputar Yogyakarta dan Solo saja.

Gagasan yang menjadi perhatian dalam penelitian Brenner adalah soal

jilbab yang dikenakan para perempuan muda tidak mempunyai akar tradisi lokal.

Dengan demikian, jilbab dipandang sebagai corak baru pakaian Islam yang diimpor

dari Timur Tengah yang berkebalikan dari pakaian tradisional seperti sarung,

kebaya, dan selendang kepala longgar atau topi tenunan yang dipakai oleh

perempuan tua di Indonesia. Dalam hal ini, hasil penelitian Brenner cenderung

bersifat esensialis, yaitu seakan-akan Islam dan Jawa adalah dua hal yang terpisah

dan murni. Sehingga, ia melihat jilbab sepenuhnya impor dari Arab.

Di samping itu, Brenner juga mengaitkan jilbab di Indonesia dengan di

(26)

dinamika jilbab dalam konteks Indonesia, hasil penelitian Brenner menjadi kurang

tepat, terutama ketika sampai pada kesimpulan bahwa jilbab di kota yang ia teliti

juga berpotensi membatasi ruang gerak pemakainya bahkan lebih banyak

menimbulkan kerugian karena membuat perempuan mendapatkan diskriminasi di

lapangan pekerjaan karena mengenakan jilbab. Gagasan tersebut kurang

kontekstual karena tidak melihat kehadiran jilbab dalam konteks yang lebih luas.

Jilbab menjadi penghalang bagi perempuan untuk bekerja atau naik jabatan karena

bentuknya yang belum cair dengan masyarakat. Jika Brenner kembali melanjutkan

penelitian jilbab di Jawa, ia akan melihat bahwa situasi justru berkebalikan, yaitu

jilbab malah menjadi salah satu ‘prasyarat’ kerja di lapangan kerja tertentu.

2. Kelompok Studi Realino (2001) - Jilbab, Kesadaran “Identitas” Poskolonial dan Aksi Tiga Perempuan Jawa yang dilakukan oleh Kelompok Studi Realino

Karen W. Washburn adalah seorang peneliti yang berasal dari U.C. Los

Angeles, menjadi peneliti tamu di Kelompok Studi Realino. Washburn hadir

dengan penelitian tentang jilbab untuk tema yang lebih besar yaitu komoditi global

yang dikonsumsi di Indonesia. Penelitian lainnya yang juga dimuat dalam buku

yang sama adalah tentang globalisasi identitas makanan. Mi Instan adalah komiditi

yang diteliti sebagai siasat perempuan Indonesia. Sedangkan, Washburn hadir

meneliti globalisasi identitas pakaian. Jilbab adalah komoditi yang diteliti sebagai

siasat perempuan Indonesia (juga).

Sebagaimana lokasi Kelompok Studi Realino yang berada di Kota

Yogyakarta, Washburn pun melakukan penelitian tentang jilbab di kota yang sama.

(27)

beragam suku karena merupakan pusat studi penting di seluruh Indonesia,

responden yang dipilih adalah khusus perempuan bersuku Jawa. Tidak disebutkan

secara khusus alasan pemilihan tersebut. Washburn melakukan penelitian untuk

menangkap pengalaman personal (perspektif mikro) pengguna jilbab. Untuk upaya

tersebut Washburn menggunakan wawancara sejarah hidup (life history methodology) dengan beberapa perempuan muda dari berbagai latar belakang dan pengalaman yang berbeda. Hasil penelitian yang didapatkan oleh Washburn

adalah jilbab tidak semata-mata hadir atas nama “identitas orisinil” tetapi juga

sebagai simbol siasat terhadap semangat zaman yang sedang menjadi “trend”.

Jilbab menjadi ruang rekonsiliasi antara otonomisasi personal untuk

memfungsikan kebebasannya dan berdamai dengan tuntutan konformitas sosial.6

Dalam pendahuluan yang diberikan oleh Monika Eviandaru terhadap

penelitian tersebut juga disebutkan adanya keterkaitan antara penelitian yang

dilakukan oleh Washburn dan Brenner. Penelitian yang dilakukan oleh Washburn

berpijak pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Brenner. Terutama pada soal

lingkup kultural jilbab yang disimpulkan sebagai cara berpakaian yang tidak

berakar pada kejawaan. Gagasan yang digunakan dari Brenner adalah bahwa pada

awalnya jilbab justru ditolak dalam perilaku kultur Jawa karena dianggap lebih

bersifat “Arab”. Seperti yang ditekankan oleh Eviandaru, penolakan tersebut

biasanya dilandasi oleh argumentasi bahwa seseorang dapat menjadi muslim yang

baik tanpa harus mengenakan tata cara pakaian Timur Tengah. Dalam hal ini, baik

Washburn maupun Brenner mempunyai pandangan yang terkesan tidak berpijak

6

(28)

pada sejarah. Mengapa? Karena seakan-akan tidak pernah ada perkawinan atau

hibriditas antara kejawaan dan keislaman yang di dalamnya unsur kultur Timur

Tengah sudah jelas akan hadir.

Mungkinkah sebenarnya yang dimaksud oleh Washburn maupun Brenner

adalah lebih kepada model jilbab modern, yaitu jilbab rapat yang tidak

memperlihatkan rambut sama sekali? Tetapi walaupun demikian, tetap terdapat

perbedaan yang cukup penting antara jilbab perempuan Indonesia dengan yang

dimaksud dengan cara berpakaian ala Timur Tengah. Perempuan Jawa, misalnya,

pada umumnya mengenakan jenis pakaian seperti celana atau blus untuk

dipadankan dengan jilbab, tanpa harus ditambah oleh cadar. Meskipun cadar

digunakan, tetapi bukan merupakan cara berpakaian yang lazim ditemukan.

Berkaitan dengan itu, memang salah satu responden yang dipilih oleh Washburn

adalah perempuan yang sehari-harinya mengenakan cadar. Tetapi sekali lagi

penggunaan cadar di Indonesia bukanlah cara berpakaian yang umum dipilih oleh

perempuan berjilbab.

Hal menarik lainnya, masih terkait dengan persoalan kultural adalah

adanya hasil penelitian (yang juga ditekankan oleh Eviandaru dalam bagian

pendahuluan) terkait Islam sebagai pilihan untuk menjadi modern.7Istilah modern

di sini, dapat dibaca sebagai ‘kebaruan’. Dengan kata lain, penelitian jilbab ini

hendak meneropong cara ber-Islam yang lebih baru daripada yang sudah ada.

Tetapi dalam keseluruhan wawancara tertangkap kesan bahwa istilah modern di

sini juga merupakan pembedaan kutub antara “Islam”, “Modern” dan “Tradisional”

7

(29)

kemudian dihubungkan pula dengan kutub “Barat” yang mau dihindari oleh kutub

tersebut. Misalnya dalam wawancara, sosok ibu responden sering dirujuk sebagai

sosok yang belum melek sadar kesetaraan jender. Sosok ibu bagi Noor, salah satu

responden misalnya, dilihat sebagai perempuan yang sangat bergantung pada

suaminya (ayah Noor) sehingga dianggap tidak memberikan warna pada kultur

keluarga.

3. Sonya Wichelen (2007)- Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia

Tulisan yang dikerjakan oleh Wichelen mengemukakan tentang kehadiran

citra tubuh baru di Indonesia yang bertema secara khusus “kemusliman”. Ada dua

tema besar tentang tubuh yang dianalisa oleh Wichelen, yaitu citra tubuh feminin

dan maskulin. Citra tubuh kemusliman feminin yang dirujuk Wichelen

berdasarkan popularitas jilbab sejak masa Orde Baru hingga pascareformasi.

Seperti halnya pada umumnya tulisan mengenai jilbab di Indonesia, situasi politik

memang selalu dijadikan latar belakang yang tak pernah ditinggalkan. Dalam hal

ini, Wichelen cukup memberikan konteks bagi hadirnya citra tubuh kemusliman

berdasarkan jilbab. Tulisan Wichelen tidak mengetengahkan responden.

Sementara itu, untuk citra tubuh maskulin, Wichelen mengambil tema tentang

poligami. Tidak seperti halnya tema jilbab, untuk poligami tidak diberi konteks

yang lebih luas oleh Wichelen. Wichelen hanya menggunakan popularitas sebuah

kasus poligami yang digelontorkan oleh media massa. Popularitas poligami

berdasarkan kasus seorang pelaksana poligami yaitu Puspo Wardoyo yang

memberikan gaung cukup luas melalui media massa telah dijadikan sebagai

(30)

Tulisan Wichelen penting untuk saya masukkan kedalam kajian pustaka

karena secara eksplisit tendensi orientalistik dapat terbaca. Kesan orientalistik

tersebut hadir dalam perbandingan isu jilbab dan poligami dalam keseluruhan

tulisan. Tulisan Wichelen ini yang pada dasarnya hendak meneropong proses

Islamisasi di Indonesia selama beberapa dekade yang telah melahirkan imaji dan

diskursus baru pada tubuh Muslim. Wichelen menandai periode pasca-Suharto

tumbang. Pada periode tersebut beragam kelompok Islam mulai memberi

pengaruh dalam pengambilan keputusan politik. Dengan demikian telah muncul

pula isu-isu yang menyangkut jender dan seksualitas dalam diskursus publik.

Isu terkait jilbab dan poligami memang benar adanya telah terangkat ke

permukaan dan menjadi bahan perdebatan. Tetapi mengapa dalam tulisan ini

menjadi terkesan orientalistik? Sekilas membaca tulisan Wichelen langsung

mengingatkan pada penelitian-penelitian isu jender di negara-negara Timur

Tengah atau Asia Jauh. Jilbab, cadar, harem, sunat perempuan dan poligami

diletakkan sebagai persoalan umum yang dialami oleh perempuan di

negara-negara mayoritas Muslim. Dalam tulisan yang konteksnya Indonesia ini, bukan

mustahil sebenarnya untuk menghasilkan kajian yang lebih objektif. Tetapi

sayangnya karena metodologi yang digunakan untuk melihat persoalan lebih

bersifat sosiologis, hasilnya tidak terlalu mengesankan. Jilbab maupun poligami

dilihat dari kacamata yang jauh. Baik pengguna maupun pelaku tidak hadir sebagai

subjek yang dapat memberikan suara atau integritas. Sehingga tak dapat

terhindarkan tendensi mengobjektivikasi di dalamnya.

Tendensi objektivifikasi ini dapat terlihat ketika dilakukan

(31)

Islamis. Perempuan pengguna jilbab dikelompokkan kedalam dua wacana tersebut

seakan-akan batasnya begitu tegas. Perempuan pengguna jilbab hanya

dikelompokkan kedalam kedua wacana tersebut tanpa melihat adanya

kemungkinan dinamika yang lebih cair. Dalam hal ini, Perempuan pengguna jilbab

direpresentasikan sebagai objek penelitian yang bukan saja tidak bisa bersuara

tetapi juga sebagai yang semata tunduk terhadap wacana jilbab sedemikian rupa.

Terlebih isu poligami yang disandingkan di dalam penelitian ini menciptakan

kesan adanya penaklukan tubuh perempuan atas jilbab dan perayaan tubuh

laki-laki karena poligami.

4. Deni Hamdani (2011) -Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women

Penelitian jilbab yang sangat membantu untuk periodisasi jilbab adalah

penelitian yang dilakukan oleh Deni Hamdani, Anatomy of Muslim Veils: Practice,

Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women (2011). Penelitian yang dilakukan oleh Hamdani menggunakan metode sejarah dan etnografi. Dengan

penelitian jilbab yang sudah dilakukan Hamdani membuka kemungkinan bagi saya

untuk memperdalaman penelitian yang lebih bernuansa. Gerak bathin dan

pemikiran yang dialami oleh pengguna jilbab dapat melengkapi dinamika jilbab

yang ada. Seperti yang nanti akan saya jabarkan di dalam penelitian ini, jilbab tidak

menjadi semata-mata sebuah wacana yang monoton bagi penggunanya. Ada

paksaan dan pilihan yang menyertainya. Oleh karena itu, penelitian yang lebih

(32)

G. KERANGKA TEORI

Meneliti sebuah tema yang sudah terlampau cair dalam keseharian tentu

tidak mudah karena kita dipaksa untuk berjarak. Kita harus awas terhadap setiap

unsur yang dialami sebagai keseharian. Tanda-tanda, pemaknaan, identitas,

religiusitas, bahkan gaya hidup bersatu di dalam sehelai kain yang dikenakan

sebagai jilbab. Satu-satunya amunisi yang membuat tema keseharian seperti jilbab

dapat teratasi justru karena adanya kegelisahan di dalamnya sehingga

membutuhkan jawaban meskipun sifatnya sementara. Untuk memasuki proses

berjarak lalu melakukan analisa berbagai unsur di dalam jilbab tersebut

dibutuhkan konsep-konsep yang memungkinkan untuk dapat membahasakan

persoalan-persoalan yang ada di dalamnya. Konsep-konsep dibutuhkan untuk

dapat memperluas dan memperdalam tema yang sedang saya kaji. Dalam hal ini,

beberapa konsep yang diambil dari pemikiran Michel Foucault akan saya gunakan.

Konsep-konsep tersebut meliputi konsep tentang cara kerja wacana dan

kekuasaan, problematisasi, disiplin, dan teknologi diri. Selain konsep-konsep dari

Michel Foucalt, dipinjam juga cara berpikir Chandra Talpade Mohanty dalam

menerangi persoalan representasi perempuan dunia ketiga dalam penelitian.

Penting untuk dikemukakan terlebih dahulu tentang proses Michel Foucault

mengembangkan konsep-konsep kritisnya. Untuk kemudian kita dapat sedikit

mengetahui, kiranya, untuk tujuan apa konsep-konsep yang bertemakan sejarah

itu dielaborasi. Dalam sebuah wawancara, Foucault berbagi cerita tentang tradisi

filosofis yang dia alami pada masa tahun 1950-an. Foucault, sebagaimana juga

orang-orang segenerasinya pada umumnya dipengaruhi oleh persoalan makna

(33)

murid-muridnya dalam suasana aliran fenomenologi. Mereka dilatih untuk

menganalisis pelbagai makna yang imanen dalam keseluruhan pengalaman yang

dihayati, serta pelbagai makna persepsi dan sejarah yang implisit. Proses ini

kiranya penting sebagai bahan dasar bagi pengembangan tradisi filosofis Foucault.

Berkaitan dengan itu, perhatian Foucault juga dipenuhi oleh hubungan yang

mungkin ada antara eksistensi individu sehingga dapat hadir. Lebih dalam lagi,

Foucault juga dipenuhi oleh berbagai pertanyaan mengenai hubungan antara

makna dan sejarah, atau antara metode fenomenologis dan Marxis.

Foucault percaya bahwa semua orang pada masa tersebut mengalami

semacam perubahan yang pada awalnya tidak tampak penting tetapi ternyata

sangat mendasar untuk memisahkan para generasi pada saat itu. Penemuan kecil

atau kegelisahan kecil yang muncul di permulaan terkait syarat-syarat formal yang

dapat memungkinkan makna muncul. Foucault menyebutkan bahwa generasi

muda pada zaman itu memeriksa kembali gagasan Husserlian bahwa

dimana-mana terdapat makna yang telah menyelimuti dan memberi kemampuan bahkan

sebelum orang-orang mulai membuka mata dan berbicara. Bagi orang-orang

segenerasinya, makna tidak muncul dengan sendirinya, ia tidaklah “sudah berada

di sana” atau tepatnya, “ia sudah ada di sana”. Tetapi ada syarat-syarat di

dalamnya, yaitu syarat-syarat formal. Lalu, sejak tahun 1955 generasi Foucault

mencurahkan diri untuk menganalisis syarat-syarat formal bagi kemunculan

makna.8

8

(34)

Tetapi dalam proses mengembangkan konsep kritisnya, Foucault tidak

hanya dipengaruhi oleh tradisi yang di jelaskan di atas. Tetapi apa yang dilakukan

Foucault kemudian seperti bertentangan dengan tradisi yang ia alami tadi. Jika

sebelumnya, generasi dan perhatiannya tersita oleh syarat-syarat kemunculan

makna, kini Foucalut mengarah pada pada bagaimana makna menghilangmelalui

pembentukan objek. Penjelasan ini, secara eksplisit menunjukkan di mana letak

posisi Foucault yang problematis untuk dimasukkan kedalam aliran

strukturalisme. Foucault mengatakan, sejauh itulah dirinya tidak dapat

dimasukkan kedalam apa yang didefinisikan sebagai ‘strukturalisme.’

Strukturalisme, berkebalikan dengannya, mengajukan persoalan mengenai

syarat-syarat formal bagi kemunculan makna, mulai terutama dari contoh istimewa

berupa bahasa, yang juga merupakan sebuah objek yang kompleks, penuh potensi

untuk pelbagai analisis. Tetapi, di saat yang bersamaan, ia berperan sebagai model

untuk menganalisis kemunculan makna-makna lain yang tidak persis merupakan

makna sebuah tatanan linguistik atau verbal. Katanya, “dari sudut pandang itu, tak

dapat dikatakan bahwa saya mempraktikkan strukturalisme, karena kenyataannya

saya tidak berkepentingan dengan makna maupun pelbagai syarat dimana makna

muncul, melainkan berkepentingan dengan syarat-syarat bagi modifikasi atau

interupsi makna, dengan pelbagai syarat di mana makna menghilang, dan dengan

demikian memungkinkan munculnya sesuatu yang lain.9

Penjelasan-penjelasan yang diambil dari wawancara Foucault itu penting

untuk mengatasi pertanyaan, hal mendasar apa yang ingin dijelaskan oleh Foucault

dalam berbagai teori yang ia kembangkan. Foucault mau mengatakan hal

(35)

mendasar, yaitu tentang bagaimana manusia mengalami dirinya sendiri dalam

peristiwa-peristiwa sejarah. Dengan demikian, pada akhirnya tujuan dari

penelitiannya yang serba panjang itu sebenarnya adalah untuk menyentuh soal

subjektivitas yang merupakan bentukan sejarah. Sebagai tambahan, saya sertakan

kutipan dari Foucault sebagai berikut,

...tugas filsafat adalah membuat diagnosis, dan tujuannya bukan lagi mengumumkan sebuah kebenaran yang sah bagi semua orang dan bagi semua zaman. Saya hendak mendiagnosis, melakukan sebuah diagnosis terhadap masa kini: menyatakan siapa diri kita sekarang dan apa artinya, sekarang, mengatakan apa yang kita katakan…10

1. Wacana

“Wacana” merupakan istilah yang sangat penting dalam rangka

menginterogasi sebuah kasus atau objek. Wacana di sini merujuk pada gagasan

tentang “sesuatu yang mengatur dan meregulasi cara sesuatu, baik praktek sosial

maupun objek, dibicarakan.” Meskipun wacana merupakan istilah yang terdapat

dalam ilmu bahasa, tetapi yang dirujuk oleh Foucault bukan pada tataran intrinsik

atau struktur formalnya. Wacana yang dirujuk bukan tentang aspek linguistiknya

tetapi pada fungsi dan efek dari wacana yang nantinya berpengaruh terhadap

subjek. Dengan demikian, wacana ini bersifat non-linguistik. Foucault

mendefinisikan wacana sebagai satuan-satuan fungsi (unities of function), bukan sebagai makna atausignification.

Khususnya dalamThe Archaeology of Knowledge,Foucault mengembangkan seluruh rangkaian kategori untuk mengatur antara wacana dan relasinya terhadap

praktik lainnya, peristiwa dan objek. Istilah yang dikenal dan sering dipakai dari

10

(36)

Foucault adalah ‘praktik wacana’ (discursive practice). Foucault menjelaskan gagasannya terkait ‘praktik wacana’ sebagai ‘berbicara adalah untuk melakukan

sesuatu’.11Praktik wacana beroperasi berdasarkan pada aturan-aturan yang

sangat spesifik terhadap waktu, ruang dan latarbelakang kultural. Atau dengan

kata lain, praktik wacana merujuk pada produksi wacana dalam suatu masyarakat

dan zaman tertentu.

Dalam wawancaranya yang lain, Foucault secara eksplisit menyatakan

bahwa yang menjadi penting bagi dirinya dan apa yang ingin ia analisis bukanlah

kemunculan makna dalam bahasa, melainkan cara pelbagai wacana berfungsi

dalam sebuah kebudayaan tertentu: bagaimana sebuah wacana berfungsi sebagai

yang patologis dalam satu periode dan sebagai yang literer dalam periode yang

lain. Karena itu, mekanisme wacanalah yang menjadi perhatian Foucault, bukan

modus pemaknaannya.12

2. Kekuasaan dan Wacana

Kekuasaan di sini, bukan berarti kekuasaan yang merepresi individu karena

jika kekuasaan di sini bersifat merepresi seakan-akan ada ruang di mana individu

dapat berdiri di luar kekuasaan. Padahal kekuasaan justru sering tidak disadari.

Kekuasaan yang dibahas Foucault bersifat lebih mendalam lagi, yaitu kekuasaan

yang hadir melalui wacana dan pengetahuan.

Kekuasaan menurut Foucault13adalah seperti berikut ini:

11

Clare O’Farrel, Michel Foucault, London: Sage Publications, hal. 79.

12

Carette, hal. 127

13

(37)

a. Kekuasaan bukan sesuatu yang dapat dimiliki, diperoleh atau diberikan.

Kekuasaan tidak berpusat pada manusia/institusi, tetapi MENYEBAR.

b. Kekuasaan bukan sebuah kekuatan yang hadir secara terpisah dari

persoalan/relasi lain (misalnya ekonomi atau pengetahuan), lalu

mempengaruhinya dari luar. Sebaliknya, kekuasaan hadir di dalam relasi

tersebut. Maka kekuasaan bukan sekadar membatasi atau melarang, tapi

bersifat PRODUKTIF.

c. Tidak ada hubungan yang sederhana dan top-down antara kekuasaan di

level makro (masyarakat luas) dan di level mikro (misalnya keluarga).

Tidak ada semacam 'matriks' kekuasaan yang kemudian direproduksi di

semua level masyarakat. Kekuasaan selalu bersifat kontekstual dan

berubah-ubah. kekuasaaan di level lokal dan di level yang lebih luas saling

mempengaruhi (artinya, pengaruh itu tidak bersifat satu arah).

d. Kekuasaan beroperasi dengan strategi dan tujuan yang jelas, tapi bukan

berarti bahwa ada orang/kelompok tertentu yang merancangnya dan

menjalankannya.

e. Bahwa di manapun ada kekuasaan, ada perlawanan dan walaupun

demikian, atau lebih tepat karena itulah, perlawanan tidak pernah berada

pada posisi di luar kekuasaan.

3. Problematisasi

Foucault menjelaskan lahirnya wacana seksualitas di Barat sebagai sebuah

situasi perubahan perilaku. Katanya, pada awal abad ke 17 masih berlaku

(38)

kata-kata bernada seks dilontarkan tanpa keraguan, dan berbagai hal yang menyangkut

seks tidak disamarkan. Ketika itu yang haram dianggap halal. Namun, lanjut

Foucault, keterbukaan yang bak siang hari itu segera disusul oleh senja, sampai

tiba malam-malam monoton kaum borjuasi Victorian. Sejak saat itulah seksualitas

dipingit rapi. 14Ilustrasi tersebut kiranya menjadi contoh yang tepat untuk

menjelaskan sebuah konsep dari Foucault sendiri, yaitu ‘problematisasi’.

Problematisasi adalah istilah yang digunakan Foucault untuk mendefinisikan

sejarah pemikiran dalam buku kumpulan kuliahnya, Fearless Speech. Foucault

membedakan antara sejarah sebuah gagasan dengan sejarah sosial. Dia

menyatakan tidak berupaya untuk mengidentifikasi kapan kiranya sebuah konsep

khusus lahir, atau menulis sejarah sebuah periode atau institusi. Dia menjelaskan

bahwa sejarah pemikiran sebagai “sebuah analisa cara sebuah wilayah

pengalaman yang semula tidak dipermasalahkan atau seperangkat praktik yang

diterima tanpa pertanyaan...menjadi sebuah masalah—problem—yang melahirkan

perdebatan dan diskusi, mendorong reaksi-reaksi baru, serta menginduksi sebuah

krisis di dalam tingkah laku, kebiasaan, praktik, institusi yang sebelumnya sunyi.15

4. Teknologi Diri

Menurut Foucault, orang memungkinkan untuk melakukan ‘ontologi kritis

terhadap diri’, yaitu berusaha untuk menyadari wacana-wacana yang telah

membentuk subjektivitasnya. Hal tersebut bertujuan untuk mengimajinasikan

ulang diri secara berbeda. Praktik ini disebut juga sebagai ‘teknologi diri’16yang

14

Ibid, hal. 3-4.

15

Clare O’Farrel,Michel Foucault,London: Sage Publications, hal. 70

16

(39)

bukan berarti dapat terbebasnya subjek dari wacana tetapi merujuk pada praktik

yang di dalamnya orang-orang dapat lebih kritis terhadap wacana yang telah

membentuk dirinya melalui teknik yang hati-hati.

5. Negosiasi dan Chandra Talpade Mohanty

Dilihat dari agenda perlawanan terhadap sistem yang opresif terhadap

perempuan, terdapat hubungan yang dilematis antara feminisme dan agama.

Agama seringkali dilihat sebagai sebuah sistem yang cenderung tidak menjadi

‘sahabat’ bagi perempuan karena agama mempunyai kecenderungan untuk

mengeksklusi dan menomorduakan perempuan. Khususnya tentang citra

perempuan muslim yang melekat di kalangan sarjana-sarjana Eropa, misalnya,

menyatakan bahwa relasi antara perempuan dengan Islam sangat

memprihatinkan. Narasi yang muncul terkait hal tersebut adalah bahwa pada

umumnya perempuan muslim diopresi, ditaklukkan, dan nyaris dianggap seperti

budak, baik yang berposisi sebagai istri maupun anak perempuan.17Citra kondisi

perempuan Muslim yang mengenaskan dari sisi kemanusiaan ini ‘mengundang’

kalangan feminis barat untuk menyelamatkan mereka. Salah satu contoh yang

paling sering dijadikan sebagai fokus perhatian adalah penggunaan jilbab. Jilbab

dianggap sebagai simbol yang jelas atas opresi terhadap perempuan muslim.

Adalah Chandra Talpade Mohanty18yang secara radikal membongkar

sistem yang lebih spesifik dalam menempatkan wacana perempuan dan agama ini.

Mohanty, dalam artikelnya, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and

17

Deepa Kumar,Islamophobia and the Politics of Empire, 2012, Chicago: Haymarket Books, hal. 44.

18

(40)

Colonial Discourses” yang diterbitkan pada 1988 berusaha mengkritik hegemoni

feminisme mainstream yang menguniversalkan pengalaman perempuan tanpa

mempedulikan konteks ras, kultur, dan religi. Menggunakan perspektif Michel

Foucault, Mohanty membongkar adanya wacana ‘perempuan dunia ketiga’ yang

didukung dan disebarkan penelitian-penelitian feminis barat.

Menguniversalkan pengalaman adalah tindakan kolonisasi. Untuk

menjelaskan hal tersebut, Mohanty, menggunakan istilah ‘kolonisasi’ (colonization) untuk menunjukkan penguniversalan pengalaman dalam karya feminis. Istilah

‘kolonisasi’ ini biasanya digunakan untuk menjelaskan pertukaran ekonomi

eksploitatif baik dalam tradisi Marxisme kontemporer maupun tradisional.

Kemudian, digunakan oleh perempuan feminis kulit berwarna di Amerika, untuk

mengapropriasi pengalaman dan perjuangan mereka yang dihegemoni oleh

gerakan feminis berkulit putih. Istilah kolonisasi ‘diperluas’ untuk menerangkan

situasi hierarkhis, baik secara ekonomi maupun politis terhadap produksi wacana

kultural, yaitu ‘Perempuan Dunia Ketiga’ ini.

Wacana ‘perempuan dunia ketiga’ muncul sedemikian rupa akibat

penggiringan isu-isu subjek perempuan dunia ketiga yang diteliti oleh feminis

barat melalui berbagai aliran dana studi penelitian. Hasil-hasil penelitian tersebut

kemudian diartikulasikan dan didukung Amerika dan Eropa. Akibat penggiringan

isu semacam itu, tanpa disadari tercipta kategori diskursif, ‘perempuan dunia

ketiga’ sebagai subjek yang diteliti dan ‘feminis barat’ sebagai subjek yang meneliti.

Relasi antara keduanya sudah jelas tidak setara karena dalam istilah ‘barat’

terdapat rujukan baik secara teoretis maupun praksis sebagai yang lebih sadar

(41)

dalam melihat relasi perempuan dunia ketiga/perempuan barat dalam

berhadapan dengan sistem patriarkhi. Dalam penelitian yang dilakukan feminis

barat, sudah termuat asumsi bahwa perempuan dunia ketiga adalah sepenuhnya

korban patriarkhi, yang tidak bisa melawan, sudah jelas tunduk dan patuh

sehingga tidak memiliki daya agensi. Sedangkan perempuan barat sebaliknya,

yaitu mempunyai daya agensi terhadap patriarkhi sehingga mereka mempunyai

kesadaran untuk melawan dan tidak patuh.

Dengan kata lain, terdapat imaji perempuan (‘women’ yang ditulis dengan

‘w’ kecil) dan Perempuan (‘Women’ yang ditulis ‘W’ kapital). Kedua cara penulisan

ini untuk membedakan posisi perempuan pada umumnya terhadap sistem

patriarkhi. Perempuan yang ditulis dengan huruf awal kapital, adalah perempuan

yang seperti diinginkan oleh sistem patriarkhi. Sedangkan ‘perempuan’ dengan

huruf awal non-kapital adalah individu-individu yang berusaha untuk mengelola

sistem patriarkhi tersebut sesuai dengan kemampuan agensinya. Perempuan

dunia ketiga dipandang sebagai seluruhnya hanya patuh terhadap patriakhi

sehingga harus diberi kesadaran untuk melawan. Sedangkan feminis barat adalah

perempuan yang mempunyai semangat perlawanan terhadap patriarkhi atau

menjadi perempuan yang individual atau mandiri.

Dengan asumsi semacam itu pula, misalnya dalam penelitian mengenai

jilbab yang dikritik oleh Mohanty, wacana jilbab yang diteliti pada masyarakat

muslim dunia ketiga menjadi terkesan monolitis dan statis. Wacana jilbab dilihat

tanpa memperhitungkan konteks etnografis secara khusus sehingga wacana jilbab

dilihat sebagai bentuk opresi terhadap perempuan. Dalam wacana jilbab, para

(42)

dalam wacana jilbab, misalnya keragaman cara perempuan muslim dalam

memaknainya seakan bukan sesuatu yang mungkin. Lebih lanjut bahkan Mohanty

menemukan, dalam tulisan-tulisan Frans Hosken, jilbab disejajarkan dengan isu

seperti pemerkosaan, mutilasi, poligami, pornografi, kekerasan dan prostitusi.

Kesemua kasus tersebut dimasukkan kedalam kejahatan hak asasi manusia yang

mendasar.

Perhatian Mohanty di sini adalah pada kecenderungan penelitian feminis

Barat atas dasar dana studi atau beasiswa adalah mengenai subjek agensi.

Perempuan Timur yang direpresentasikan dalam hasil penelitian feminis Barat

ditunjukkan sebagai pihak yang tidak berdaya atau tidak mempunyai daya agensi.

Dalam peta global beasiswa, secara struktur perempuan di Dunia Pertama dan

Ketiga dianggap bukan kategori yang setara. Sehingga, penelitian tentang

perempuan lebih banyak dipusatkan pada Dunia Pertama. Isu-isu yang menjadi

bahan penelitian dalam berbagai masyarakat yang berbeda adalah: Secara lebih

tendensius, diskursus feminis di Dunia Ketiga seringkali diasumsikan sebagai

kategori yang homogen. Kelompok yang bernama “perempuan” dianggap sebagai

kelompok yang tidak punya kuasa. Mohanty menekankan bahwa jika perempuan

di Dunia Ketiga direpresentasikan sebagai kelompok yang tidak berdaya dalam

hasil-hasil penelitian feminis Barat maka di sinilah telah muncul gerakan

kolonialis. Perempuan Dunia Pertama yang merepresentasikan perempuan Dunia

Ketiga dengan demikian memposisikan dirinya sebagai satu-satunya “subjek”

sejarah. Secara menyedihkan, perempuan Dunia Ketiga selalu hadir di bawah

(43)

Dengan kata lain, sejauh ini ‘Perempuan/Para Perempuan’ dan ‘Timur’

didefinisikan sebagai Liyan atau secara periferal bahwa Manusia/Humanisme Barat dapat merepresentasikan dirinya sebagai pusat. Di sini yang terjadi bukanlah

pusat yang menentukan yang sekeliling (periphery), tetapi yang sekeliling inilah,

dalam keterbatasannya, yang menentukan pusat. Seperti halnya feminis Kristeva,

Cixous, Irigaray dan feminis lainnya yang merekonstruksi kecenderungan laten

antropomorfisme dalam diskursus Barat. Mohanty dalam hal ini menyarankan

sebuah strategi paralel untuk menemukan sebuah etnosentrisme tersembunyi

dalam tulisan-tulisan feminis tentang dunia ketiga.

Seperti telah dibahas sebelumnya, pembandingan antara feminis barat yang

menghadirkan-diri (self-presentation) dan representasi feminis barat tentang perempuan dunia ketiga memberikan hasil yang penting. Imaji ‘perempuan dunia

ketiga’ yang universal seperti perempuan berjilbab, perempuan perawan, dan

lain-lain) imajinya dibentuk dari ‘perbedaan dunia ketiga’ kepada ‘perbedaan seksual’

yang mendasarkan asumsi bahwa perempuan barat sebagai yang sekular, bebas

dan mempunyai kontrol terhadap hidup mereka sendiri. Sebenarnya hal tersebut

tidak memberi kesan bahwa perempuan barat adalah sekular, bebas, dan

mempunyai kontrol terhadap hidup mereka sendiri. Mohanty merujuk pada

penghadiran-diri secara diskursif, bukan sebagai realitas material. Jika dalam realitas material perempuan barat sekular, bebas dan mempunyai kontrol

terhadap hidupnya sendiri maka tak diperlukan lagi perjuangan feminis politis di

barat.

Selain itu, penciptaan wacana ‘dunia ketiga’ sebagai yang kurang maju dan

(44)

tunggal dan istimewa). Tanpa wacana ‘perempuan dunia ketiga’ representasi

feminis barat yang lebih maju dalam hal kesetaraan jender tidak akan ada. Bagi

Mohanty, keduanya bersifat saling mendukung. Oleh karena itu, sudah saatnya

melampaui Marx yang sempat menyatakan bahwa yang terkoloni tidak bisa

merepresentasikan diri, mereka harus direpresentasikan. Melalui semangat

Mohanty inilah, perempuan muslim dunia ketiga, sangat perlu untuk

merepresentasikan diri agar dapat tergambar dengan jelas dan dinamis saat hidup

dalam wacana jilbab, yang seringkali dianggap sebagai sumber opresi.

Penyederhanaan pengalaman, dengan demikian merupakan penyederhanaan diri

‘perempuan’. oleh karena itu, menghadirkan pengalaman yang kompleks dalam

jilbab yang akan dikerjakan dalam tesis saya ini, sepenuhnya sesuai dengan

semangat yang diusung oleh Mohanty. Sudah saatnya pihak yang selalu

dibicarakan, kini berbicara.

H. METODE PENELITIAN

1. Sejarah Otoetnografi

Istilah otoetnografi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan

sebuah kajian yang di dalamnya pelaku budaya memberikan kisahnya sendiri

tentang budaya mereka.19 Meskipun demikian, pada dasarnya semua jenis

etnografi merupakan ‘etnografi-diri’ yang di dalamnya terdapat keterlibatan

pribadi lalu dianalisa secara khusus. Sementara, otoetnografi secara khusus

19

(45)

digunakan oleh mereka untuk menggali posisi antropologi dan relevansinya

terhadap dunia akademis dan masyarakat. 20 Otoetnografi dipakai untuk

menggambarkan antropolog yang menghantarkan dan menulis tentang

‘masyarakat mereka sendiri sekaligus sebagai peneliti yang memilih sebuah

“lapangan penelitian”, yang menghubungkan pada satu identitas mereka sendiri

atau sebuah kelompok.21Meskipun istilah ‘otoetnografi’ tidak terlalu sering

dipakai selama tahun 1980-an, para sosiolog, antropolog, sarjana komunikasi dan

lainnya melakukan interpretasi oral, etnografi pertunjukkan, dan peneliti feminis

mulai menulis dan menganjurkan bentuk narasi personal, subjektivitas, dan

refleksi dalam penelitian. Para peneliti tersebut tertarik pada pentingnya berkisah

dan penciptaan budaya, serta secara progresif terlibat dengan jejak pribadi dalam

praktik etnografi. Terdapat penolakan gagasan bahwa etnografi harus

menyembunyikan subjektivitas di belakang atau menghidupkan terus menerus

aura objektivitas dan kemurnian. Para peneliti ini mulai melibatkan diri mereka

sebagai bagian dari apa yang mereka teliti, sering menulis cerita tentang proses

penelitian dan sesekali memfokuskan diri pada pengalaman mereka sendiri.22

Periode 1990-an banyak bermunculan sumber-sumber mengenai

otoetnografi lintas berbagai disiplin ilmu, misalnya Carolyn Ellis menerbitkan

sebuah buku:Final Negotiations; Ellis, 1995a) dan lebih dari dua lusin esai tentang otoetnografi dan menyunting dua buku tentang pengalaman pribadi dalam

penelitian—Investigating Subjectivity (dengan Michael Flaherty; Ellis, 1992) dan Composing Ethnography (Dengan Art Bochner; Ellis, 1960an) Bochner (1994;

20

Ibid, Goldsmidt (1977)

21

Ibid, Hayano (1979)

22

(46)

1997) menerbitkan esai-esai tentang pentingnya kisah pribadi dan relasinya

terhadap teori, lalu bersama-sama Ellis mereka mulai menyunting serial buku

Ethnographic Alternatives yang kesemuanya menggambarkan cara dan alasan pengalaman pribadi harus digunakan dalam penelitian. Buku penting lainnya

adalah karya dari Reed-Danahay yaitu Auto/Ethnography (1997) dan buku Handbook of Qualitative Research(Denzin & Lincoln, 1994) yang memasukkan bab tentang pengalaman pribadi dan penelitian (Clandinin & Connely, 1994) dan

menulis sebuah metode penelitian (Richardson, 1994).23

2. Definisi Otoetnografi

Otoetnografi merujuk pada sebuah pendekatan dan penulisan yang

mencoba untuk menjelaskan dan menganalisa secara sistematik pengalaman

pribadi (auto) (lihat misalnya Ellis, 2009a; Ellis, Adams, & Bochner, 2011).24 Penelitian ini menentang cara kanonistik dalam melakukan penelitian, yaitu

merepresentasi orang lain, dan memperlakukan penelitian sebagai sesuatu yang

politis, hanya untuk kepentingan keadilan sosial dan tindakan kesadaran-secara

sosial. Seorang peneliti menggunakan prinsip-prinsip otobiografi dan etnografi

untuk ‘melakukan’ dan ‘menulis’ otoetnografi. Oleh karena itu, sebagai sebuah

metode, otoetnografi merupakan sebuah proses sekaligus hasil (Ellis, Adams, and

Bochner 2011).25

Lebih jelasnya lagi otoetnografi adalah kajian relasi antara diri dan orang

lain dengan seluruh dimensi di dalamnya. Pertama, kita melihat melalui lensa

23

Ibid., hal. 255-256.

24

Ibid., hal. 253.

25

(47)

besar seorang etnografer, memfokuskan diri pada lapisan luar sosial dan aspek

budaya pengalaman personal kita; kemudian kita lihat dari lapisan dalam,

menyingkap diri yang rapuh yang digerakkan oleh atau bergerak melalui,

membiaskan, dan melawan interpretasi budaya. Ketika kita memperbesar lapisan

luar dan dalam, depan dan belakang, perbedaan antara pribadi dan budaya

menjadi kabur, kadang-kadang melampaui perbedaan yang dengan jelas dikenali.

Otoetnografi merujuk pada menulis tentang pribadi dan relasinya dengan budaya.

Ini adalah genre penulisan dan penelitian otobiografis yang menunjukkan banyak

lapisan kesadaran.26

Otoetnografi menggunakan refleksivitas untuk menggambarkan pertemuan

(intersection) antara diri dan masyarakat, yang khusus dan umum, yang personal dan yang politis (Berry & Clair, 2011 dalam Ellis dan Adams: The Oxford Handbook

of Qualitative Research 2014). Otoetnografi juga mengenal dan menghormati

hubungan antara peneliti dengan orang lain (Ellis, 2007), dan memperlakukan

peneliti sebagai sebuah tindakan yang secara sosial sadar (Holman Jones, 2005a)

dan membantu memanusiakan secara emosi proses penelitian.27

Otoetnografi juga menyatakan secara tidak langsung hubungan: kisah yang

ditulis peneliti menghubungkan antara diri dengan budaya; cara otoetnografer

meneliti dan menulis kisah ini menyatukan antara metode ilmu sosial dengan

kepekaan estetika kemanusiaan, praktik etnografi dengan bentuk seni dan sastra

yang ekspresif. Otoetnografer menulis kisah tentang hidupnya karena berpikir

26

Carolyn Ellis, Ethnographic I: A Methodological Novel About Autoethnography, 2004, United Kingdom: Rowman & Littlefield Publishing Group, hal. 37-38.

27

(48)

bahwa kisah hidup yang khusus dapat membuktikan sebuah cara yang berguna tentang pengalaman manusia secaraumum.

Perlu ditekankan di sini, meskipun dalam otoetnografi diberikan

kesempatan untuk menghadirkan pengalaman peneliti cukup besar, tetapi

otoetnografi jelas tidak sama dengan otobiografi. Otoetnografi tetap berfokus pada

budaya yang hendak diteliti, bukan semata-mata pada diri personal peneliti seperti

dalam otobiografi. Untuk persoalan-persoalan tertentu, jika peneliti mempunyai

akses yang lebih besar atau bahkan lebih dalam terhadapnya, alih-alih hanya

meneliti orang lain, memeriksa persoalan atau wacana yang bekerja di dalam diri

sendiri menjadi begitu penting. Kembali lagi ke persoalan ‘objektivitas’, kita

menghadirkan pengalaman peneliti melebihi yang dilakukan dalam etnografi

tradisi lama, berupaya untuk tidak terjebak pada ‘mengobjektifikasi’ data atau

pengamalan hidup orang lain yang diteliti. Kecenderungan untuk

mengobjektifikasi pengalaman orang lain ini misalnya adalah ketika peneliti

melihat data tersebut secara statis untuk kemudian dianalisa sesuai dengan

kerangka teori yang akan dipakai.

Hal lainnya yang bisa ditambahkan tentang otoetnografi, jika merujuk pada

Paula Saukko, dapat dilakukan perbandingan dengan pengalaman hidup orang

lain.28Dengan demikian, di sini saya lebih memilih komparasi antara diri sendiri

dan orang lain. Jalan semacam ini memungkinkan bukan hanya perbandingan

pengalaman tetapi juga (tentu saja) refleksi yang lebih kompleks atas bekerjanya

sebuah wacana di dalam diri—baik diri sendiri maupun narasumber—yang tengah

28

(49)

diteliti.29 Secara konseptual, untuk mencapainya, otoetnografi menggunakan

prinsip-prinsip hermeneutika atau fenomenologi untuk memahami pengalaman

hidup yang berbeda. Selain itu, prinsip fenomenologis ini bertujuan, pertama,

untuk mengetahui muatan sosial (social baggage) yang merintangi pemahaman

kita mengenai pengalaman yang berbeda. Kedua, adalah agar menjadi lebih kritis

atas batasan-batasan pemahaman kita sendiri yang mengembangkan sensitifitas

atau keterbukaan melalui kemungkinan perbedaan pengalaman hidup yang

radikal.

Karakteristik fitur lainnya, sebagaimana juga fenomenologi, adalah secara

khusus tertarik pada moda pengalaman hidup seperti emosi (Douglas, 1977; Ellis,

1991), perwujudan (embodiment) (Merleau-Ponty, 1962) atau yang suci (Buber, 1970; Levinas, 1985) yang seringkali diabaikan dalam penelitian sosial yang

berorientasi rasionalistik. Salah satu argumentasi paradigma bahwa ini adalah

cara non-rasional untuk berhubungan dengan dunia ini seringkali dihubungkan

dengan kelompok-kelompok yang terbungkam, seperti perempuan atau orang

non-Barat yang dibungkam oleh dunia Barat, atau laki-laki kulit putih yang

berfokus pada rasionalitas. Kemudian, otoetnografi mengembangkan bentuk

kajian dan tulisan yang bertujuan untuk lebih adil terhadap emosi dan

bentuk-bentuk pengetahuan yang mewujud.30

29

Maso, dalam Paula Saukko,Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approaches, London: Sage Publications, hal. 57.

30

Referensi

Dokumen terkait