ABSTRAK... i
KATA PENGANTAR... ii
PERNYATAAN... v
DAFTAR ISI... vi
DAFTAR GAMBAR... xi
DAFTAR BAGAN... xxi
DAFTAR TABEL... xxii
BAB I PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG MASALAH... 1
B.PERUMUSAN MASALAH... 7
C.TUJUAN PENELITIAN... 7
D.MANFAAT PENELITIAN... 8
E. TELAAH PUSTAKA... 9
F. KERANGKA TEORITIK... 10
G.METODOLOGI PENELITIAN... 15
1. Sumber Data... 16
5. Analisis Data... 20
6. Sistematika Penulisan... 23
BAB II HERMENEUTIKA, ESTETIKA PARADOKS, DAN ANTROPOLOGI BUDAYA A.HERMENEUTIKA... 26
1. Definisi Hermeneutika... 26
2. Penerapan Hermeneutika... 27
3. Cara Kerja Hermeneutika... 27
B.ESTETIKA PARADOKS... 29
1. Estetika Pola Dua, Pola Tiga , Pola Empat, dan Pola Lima... 32
2. Seni Ritual... 43
3. Seni Batik... 45
C.ANTROPOLOGI BUDAYA... 52
1. Wujud Kebudayaan... 55
2. Adat Istiadat... 56
3. Unsur-unsur Kebudayaan... 57
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG BATIK DAN BATIK BANYUWANGI
A.BATIK... 62
1. Definisi Batik... 62
2. Sejarah Batik Indonesia... 64
3. Motif Batik... 65
4. Pengelompokan Batik... 68
B.BATIK BANYUWANGI... 89
1. Sejarah Banyuwangi... 89
2. Suku Using Banyuwangi... 91
3. Sejarah Batik Banyuwangi... 100
4. Mitologi Asal Usul Batik Banyuwangi... 102
5. Variasi Motif Batik Banyuwangi... 107
6. Batik Gajah Oling... 124
1. Batik Gajah Oling Sebagai Fungsi Sakral... 141
2. Batik Gajah Oling Sebagai Fungsi Profan... 163
B.VISUAL MOTIF BATIK GAJAH OLING... 170
1. Bentuk pada Visual Motif Batik Gajah Oling... 170
2. Warna pada Visual Motif Batik Gajah Oling... 177
3. Ukuran pada Visual Motif Batik Gajah Oling... 185
4. Posisi pada Visual Motif Batik Gajah Oling... 186
C.MAKNA FILOSOFI PADA MOTIF BATIK GAJAH OLING BANYUWANGI 1. Makna Filosofi dari Bentuk Motif Batik Gajah Oling... 187
2. Makna Filosofi dari Warna Motif Batik Gajah Oling... 202
3. Makna Filosofi dari Ukuran Motif Batik Gajah Oling... 207
4. Makna Filosofi dari Posisi Motif Batik Gajah Oling... 209
BAB V SIMPULAN DAN SARAN A.SIMPULAN... 223
LAMPIRAN-LAMPIRAN
A.GLOSARIUM... 233
B.FOTO PENELITIAN... 241
C.DAFTAR INFORMAN... 245
D.PERSURATAN... 247
E. PEDOMAN WAWANCARA... 252
RIWAYAT HIDUP... 257
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia terkenal akan seni budaya yang tersebar di seluruh wilayah
Nusantara. Di antara karya seni tradisi Nusantara salah satunya adalah seni rupa
tradisional etnik dengan berbagai macam wujudnya. Sejak masa prasejarah (300
SM) hingga masa peralihan Hindu-Budha (abad ke V) nenek moyang kita telah
mencipta karya seni rupa sebagai media pernyataan pemujaan terhadap roh yang
diyakini mempunyai kekuatan magis. Karya seni rupa tradisional Indonesia
berkembang di suatu daerah dan masing-masing wilayah atau daerah mempunyai
kekhasan seni dan budaya yang disebabkan oleh situasi dan kondisi lingkungan
yang berbeda serta tradisi dan potensi alamnya yang didasari oleh keterampilan,
keuletan, dan kerja keras selama puluhan abad lamanya. Salah satu hasil kerajinan
peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia yang sangat tinggi nilainya adalah
batik.
Pada kenyataannya hampir seluruh daerah, terutama di Pulau Jawa, terdapat
tempat-tempat atau pusat-pusat kerajinan batik. Ditinjau dari segi fungsi batik
tidak hanya digunakan dalam memenuhi kebutuhan sakral dan sandang seperti
baju, kain panjang, dan sarung saja, tetapi sudah mengarah kepada pemenuhan
rasa keindahan. Demikianlah, kawasan ini telah memunculkan kebudayaan yang
bersifat dualisme yang dwitunggal, sehingga menjadi pemersatu kawasan
Batik yang tersebar di seluruh Indonesia mempunyai keunikan dan ciri
masing-masing, baik dalam ragam hias maupun tata warnanya. Namun demikian, dapat
dilihat adanya persamaan maupun perbedaan antara batik berbagai daerah
tersebut. Sebagai suatu bangsa yang bersatu, walaupun terdiri dari berbagai suku
bangsa dan adat yang berbeda, namun Bangsa Indonesia ternyata memiliki selera
dan pula citra yang hampir sama. Tentu saja kalau ada perbedaan-perbedaan
dalam gaya dan selera, itu disebabkan oleh kepercayaan yang dianutnya, tata
kehidupan dan alam sekitar dari daerah yang bersangkutan. Dalam kaitan ini,
Koentjaraningrat menyatakan identitas seni tekstil Indonesia sebagai berikut:
Seni kerajinan terutama seni tenun, seni batik, seni ikat dan seni tekstil Indonesia merupakan cabang kesenian yang sudah berakar dalam kebudayaan Indonesia sejak lama, tinggi mutu keindahannya, bisa menonjolkan sifat khas Indonesia (Koentjaraningrat, 1985: 16).
Sejak jaman penjajahan Belanda pengelompokan batik yang ditinjau dari sudut
daerah pembatikan, dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu batik Vorstenlanden
(Solo-Jogja) dan batik pesisir (Djoemena, 1990: 7). Daerah pembatikan yang
berada pada jalur pesisir utara Jawa dari barat ke timur meliputi: Indramayu,
Cirebon, Tegal, Pekalongan, Rembang, Lasem, Tuban, Sidoarjo, Madura,
termasuk juga Banyuwangi.
Batik pesisiran sendiri adalah istilah yang dikenakan pada produk-produk batik
di luar dinding keraton. Pertumbuhannya berangkat dari beberapa faktor, yaitu
masyarakat pelaku produksinya, yakni rakyat jelata; sifatnya yang cenderung
merupakan komoditas dagang berikut segenap dampak yang ditimbulkan pada
Demikian juga penduduk Banyuwangi yang mayoritas bekerja sebagai petani dan
nelayan, masih mempunyai kesibukan berkesenian seperti: kesenian Seblang,
Kebo-keboan, Gandrung, angklung, kerajinan batik, serta karya kerajinan lain.
Nama Banyuwangi secara historis merupakan kelanjutan nama Blambangan,
sedangkan Banyuwangi secara peta keilmuan merupakan bagian dari Jawa Timur.
Kehidupan sosial di Banyuwangi merupakan perpaduan dari tiga unsur budaya,
yakni: Jawa, Bali dan Madura yang membentuk kebudayaan suku Using
Banyuwangi yang memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri.
Daerah Banyuwangi di utara dan barat dibatasi oleh hutan dan gunung-gunung,
sedang di selatan dan timur dibatasi oleh Samudra Indonesia dan Selat Bali.
Sebelum dibukanya jalan darat ke Panarukan dan jalan kereta api ke barat
(Jember), daerah ini cukup lama tersekat dari daerah-daerah lain karena isolasi
alami yang ketat sekali. Keadaan ini menyebabkan rendahnya hubungan
antardaerah baik keluar maupun ke dalam, sehingga masyarakat setempat, yang
kemudian dikenal dengan sebutan masyarakat suku Using, tumbuh dan
berkembang dengan ciri-cirinya sendiri, dengan kepribadian dan budaya yang
berbeda, setidaknya dalam beberapa hal.
Batik pesisiran Banyuwangi mempunyai kekhasan tersendiri dibandingkan
dengan batik dari daerah lain. Kekhasan batik Gajah Oling Banyuwangi
khususnya terletak pada motif yang banyak mengambil motif flora dan fauna
sebagai unsur alam ungkapan simbolis daerah tersebut. Motif flora sebagai
tanahnya dan melahirkan suatu motif yang menggambarkan watak yang dingin
dan luruh. Berkaitan dengan hal tersebut, Jakob Sumardjo menyatakan bahwa:
Karena benda seni adalah produk sebuah budaya yang menjadi sistem nilai suatu masyarakat, maka pemaknaan dan estetikanya harus berdasarkan konsep budaya masyarakat tersebut. Dan, konsep budaya masyarakat mitis itu dasarnya adalah agama aslinya. Dengan mengetahui sistem kepercayaannya, terbukalah sistem pemaknaan dari semua hasil budayanya, termasuk keseniannya (Sumardjo, 2000: 325).
Pernyataan tentang penciptaan motif batik juga diungkapkan oleh Nian S
Djoemena, sebagai berikut:
Para pencipta motif batik pada zaman dahulu tidak sekedar mencipta sesuatu yang hanya indah dipandang mata saja, tetapi mereka juga memberi makna atau arti yang erat hubungannya dengan filsafat hidup yang mereka hayati. Mereka menciptakan sesuatu ragam hias dengan pesan dan harapan yang tulus dan luhur semoga akan membawa kebaikan serta kebahagiaan bagi si pemakai. Ini semua dilukiskan secara simbolik (Djoemena, 1990: 10).
Pada perkembangannya ada beragam motif batik di Banyuwangi, sampai saat
ini terdapat 21 motif batik yang banyak digandrungi warga Blambangan, di
antaranya ada motif Gajah Oling, Paras Gempal, Kangkung Setingkes, Sembruk
Cacing, Gedegan, Ukel, Blarak Semplah, dan Moto Pitik. Namun di antara semua
ragam motif hanya motif Gajah Olinglah yang paling awal ditemukan dan
menjadi khas daerah setempat. Pada motif-motif yang lain juga terdapat ornamen
utama dari motif batik Gajah Oling ini, hanya ornamen pengisinya yang berbeda
sehingga menjadi berbeda nama motifnya.
Batik Gajah Oling sebagai trademark pemerintah daerah, dan diproduksi oleh
beberapa pebatik dan perajin di Banyuwangi. Nama Gajah Oling mempunyai
suatu filosofi tentang kehidupan tradisi, yang merupakan dasar (ground) dari
artistik dan nilai estetik, dan juga mempunyai makna filosofi yang berkaitan
dengan pranata kehidupan masyarakat setempat. Atas dasar filosofi tersebut maka
batik Gajah Oling dilestarikan oleh masyarakat, dan merupakan penanda khas
bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi.
Batik Gajah Oling oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi sudah
diakui sebagai batik khas Banyuwangi. Itu terbukti sejak tanggal 4 maret 2009
setiap hari Kamis, Jumat dan Sabtu semua pegawai Pemerintahan Daerah dan
Pegawai Negeri Sipil di Banyuwangi wajib memakai seragam batik dengan motif
Gajah Oling. Fungsi batik Gajah Oling Banyuwangi juga digunakan untuk busana
kesenian khas Banyuwangi yaitu tari Gandrung dan upacara adat Seblang, serta
untuk busana khas daerah Banyuwangi yaitu Jebeng dan Thulik (Pada Thulik
motif batik Gajah Oling dipakai pada udeng tongkosan dan sembong sedang pada
Jebeng motif batik Gajah Oling dipakai untuk kain panjang). Motif batik ini juga
digunakan untuk seragam batik sekolah mulai dari tingkat TK (Taman
Kanak-kanak) sampai pada tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas).
Batik tulis kian termasyhur seiring berkembangnya kesenian Gandrung. Kain
batik yang dikenakan untuk penari Gandrung dipercaya mampu menambah
kecantikan seorang penari. Motifnya yang semarak dan lembut diyakini mampu
menambah wibawa dan keanggunan penari Gandrung. Setiap tarian Gandrung
selalu berpola Jejer, Paju dan Seblang-seblang. Dari pola yang berkembang ini
merupakan falsafat hidup tentang manusia. Falsafat yang diekspresikan dalam
bentuk tari dan nyanyian, pesan tentang hidup dan kehidupan nampak jelas di
Kesenian lain yang ada hubungannya dengan batik adalah upacara Seblang,
yakni upacara adat yang diselenggarakan dalam bentuk tarian dengan iringan
gamelan dan paduan suara. Kegiatan ini bersifat ritual dan dianggap sakral oleh
penduduk setempat, karena penari Seblang menari dalam keadaan trance
(kesurupan). Upacara tari Seblang diselenggarakan dengan maksud untuk
selamatan “Bersih Desa”. Sehingga kain batik yang dipakai dalam upacara
Seblang tersebut harus yang berdasar warna putih yang berarti suci yaitu batik
Gajah Oling yang berdasar warna putih dan bermotif Gajah Oling warna hitam.
Begitu pula dengan pemainnya yang harus wanita yang masih suci (anak
perempuan yang belum menstruasi dan wanita tua yang sudah tidak
menstruasi/manopause). Wanita yang belum menstruasi dan yang sudah tidak
menstruasi di sebut dengan wanita/perempuan paradoks, karena seperti laki-laki
yang tidak menstruasi. Jakob Sumardjo dalam buku Estetika Paradoks
menyatakan bahwa:
Penari-penari perempuan dalam upacara, harus gadis yang belum mengalami menstruasi, atau justru perempuan tua yang sudah manopause. Ini syarat paradoks dalam seni pra-modern. Gadis yang belum menstruasi adalah perempuan yang belum perempuan, sedang yang manopause adalah perempuan yang sudah “tidak perempuan” lagi (melahirkan) (Sumardjo, 2006: 100).
Alasan peneliti menulis tesis tentang batik Gajah Oling Banyuwangi ini yang
utama adalah guna pelestarian salah satu budaya Bangsa Indonesia, yaitu batik.
Selama ini buku-buku literatur tentang batik pesisiran sudah banyak di pasaran
dengan beberapa daerah yang dibahas tetapi satu pun belum ada di dalamnya yang
membahas batik khas daerah Banyuwangi yaitu motif batik Gajah Oling. Selain
tentang makna filosofi motif batik Gajah Oling. Berangkat dari latar belakang
tersebut di atas, maka penelitian ini dirasa perlu untuk dilaksanakan dengan
mengambil judul: “Kajian Makna Filosofi Motif Batik Gajah Oling Banyuwangi”.
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan pemikiran sebagaimana yang telah dideskripsikan pada latar
belakang di atas, pokok permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini
mengarahkan kepada tiga pertanyaan yang dijadikan sasaran utama, yaitu sebagai
berikut:
1. Bagaimana kedudukan motif batik Gajah Oling di dalam masyarakat
Banyuwangi?
2.Bagaimana visual motif batik Gajah Oling Banyuwangi?
3. Bagaimana makna filosofi pada motif batik Gajah Oling Banyuwangi?
C.Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menjelaskan
tentang kajian makna filosofi motif batik Gajah Oling di Banyuwangi. Dalam hal
ini kajian tentang makna filosofi batik bersumber pada teori estetika paradoks,
antropologi kebudayaan, dan hermeneutika. Selain itu juga sebagai pembanding
dengan teori diperlukan pula persepsi para pebatik, penari, dan masyarakat yang
Secara khusus tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan kedudukan motif batik Gajah Oling di dalam masyarakat
Banyuwangi.
2. Mendeskripsikan visual motif batik Gajah Oling Banyuwangi.
3. Mendeskripsikan makna filosofi pada motif batik Gajah Oling Banyuwangi.
D.Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan tentang makna filosofi,
konsep penciptaan, jenis, dan fungsi batik Gajah Oling dalam masyarakat
Banyuwangi. Secara khusus penelitian ini juga akan memberikan sumbangan
pengetahuan dan wawasan dalam pengembangan ilmu kesenirupaan dan budaya,
terutama batik. Di samping itu dapat memberi masukan bagi berbagai
kepentingan, seperti untuk disiplin ilmu-ilmu terkait.
Manfaat lain dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pandangan
bagi lembaga dan institusi yang bergerak di bidang usaha pelestarian serta
pengembangan khasanah tradisi budaya Indonesia. Dengan demikian dapat
memacu tumbuhnya minat untuk melakukan penelitian dan pengkajian lanjutan,
sehingga dapat memperkaya pengetahuan keragaman kebudayaan Nusantara masa
E.Telaah Pustaka
Berbagai cara pendekatan yang ditempuh untuk mencapai tujuan penelitian ini
merujuk pada beberapa penelitian bidang seni rupa terutama batik yang telah
dilakukan dalam rangka penulisan tesis. Di antara tesis batik terdahulu adalah
tentang “Pengaruh Etos Dagang Santri Pada Batik Pesisiran” (Hasanudin, 1997),
yang menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Dalam kesimpulannya tesis
ini menyatakan bahwa etos dagang santri pada hakikatnya terikat pada tauhid,
sebab bagi kaum santri tauhid merupakan landasan umum. Etos dagang santri
mempunyai pengaruh pada desain batik pesisiran di antaranya adalah ragam hias
batik pesisiran tidak menimbulkan syirik, kecenderungan rinci, mengikuti
perkembangan teknologi, memadukan keinginan konsumen dan beragam fungsi.
Sejak tahun 2001 tesis ini telah dijadikan buku dan diterbitkan dengan harapan
agar khalayak pembaca dan peminat topik ini khususnya dapat mengapresiasinya.
Buku dari hasil tesis ini berjudul Batik Pesisiran (Melacak Pengaruh Etos Dagang
Santri pada Ragam Hias Batik).
Kemudian tentang “Estetika Batik Keraton Surakarta” (Pujiyanto, 1997), yang
menggunakan pendekatan metode kualitatif interdisipliner. Tesis ini
menyimpulkan bahwa batik keraton tercipta dari batik masyarakat yang
diperhalus dan ditambah estetiknya. Batik rakyat yang ditingkatkan estetiknya
oleh keraton untuk dikembalikan ke rakyat akan mempengaruhi perubahan batik
di masyarakat. Dalam perubahannya dipengaruhi oleh orang kepercayaan
Keraton/Raja, Abdi Dalem atau masyarakat Magersari, pemerhati batik,
2008 telah dijadikan sebuah buku yang diterbitkan oleh Jurusan Seni dan Desain,
Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang dengan judul: Estetika Batik Keraton
Surakarta. Di samping itu ada pula hasil penelitian berupa tesis lain yang berjudul
“Kajian Bentuk dan Makna Motif Parang Pada Batik Tulis Keraton Surakarta
Hadiningrat” (Wahidah, 2008) yang menggunakan pendekatan kebudayaan.
Dari beberapa tesis di atas nampak bahwa belum ada penelitian yang
mengambil tema tentang batik Gajah Oling. Oleh karena itu, penulis mengambil
tesis tentang Kajian Makna Filosofi Motif Batik Gajah Oling Banyuwangi ini agar
didapatkan kedalaman makna filosofi dari batik tersebut dan guna pelestariannya.
Dari beberapa judul di atas dapat dinyatakan pula bahwa tesis yang akan penulis
angkat ini merupakan penelitian yang asli tidak ada duplikasi dan bisa dibilang
tesis pertama yang mengangkat tema tentang makna filosofi motif batik Gajah
Oling Banyuwangi.
F. Kerangka Teoretik
Secara etimologis batik berasal dari kata ambhatik (bahasa Jawa) yang
memiliki akar kata “thik” yang mempunyai arti “kecil”. Jadi ambatik dapat
diartikan menulis atau menggambar serba rumit karena banyak unsur kecil-kecil
yang harus dibuat dan disusun. Unsur yang disusun tersebut pada akhirnya akan
menghasilkan sebuah motif batik. Motif batik adalah kerangka gambar yang
menunjukkan batik secara keseluruhan. Menurut unsurnya, maka motif batik dapat
Ornamen motif batik dibedakan lagi atas ornamen utama dan ornamen pengisi
bidang atau tambahan (Susanto, 1980: 212).
Ditinjau dari sudut daerah pembatikan batik dapat dibagi dalam dua kelompok
besar yaitu batik Vorstenlanden dan pesisir. Batik Vorstenlanden adalah batik dari
daerah Solo dan Yogya. Di jaman penjajahan Belanda kedua daerah ini dinamakan
daerah Vorstenlanden. Sementara itu batik pesisir adalah semua batik yang
pembuatannya dikerjakan di luar daerah Solo dan Yogya. Pembagian atas batik
dalam dua kelompok ini, terutama berdasarkan sifat ragam hias dan warnanya
(Djoemena, 1990: 7).
Batik pesisiran merupakan batik yang tidak terikat oleh aturan baku (pakem)
seperti halnya batik keraton. Ragam hias batik pesisiran dapat berasal dari mana
saja dan dengan pewarnaan apa saja. Batik pesisiran langsung maupun tidak
langsung banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Cina. Yang secara langsung
dipengaruhi oleh kebudayaan Cina di Cirebon adalah ragam hiasnya (Hasanudin,
2001: 269).
Ciri kedaerahan berbagai jenis batik pesisiran utara Jawa dapat disimpulkan
menjadi beberapa hal. Pertama, ciri kedaerahan dipengaruhi oleh tradisi setempat
dalam memilih bahan, komposisi malam, alat yang dipakai, kebiasaan dalam
proses pewarnaan (celup) yang mengacu pada warna-warna alam, dan kebiasaan
mengenal ragam hias. Kedua, ciri kedaerahan dipengaruhi oleh tuntutan
konsumen, yang tercermin pada pasar lokal dan pasar manca. Ketiga, ciri
kedaerahan dipengaruhi oleh pengalaman pengusaha atau perajin yang
pasar. Keempat, ciri kedaerahan dipengaruhi oleh kecenderungan untuk
melakukan efisiensi proses pembatikan untuk tujuan ekonomis, sehingga timbul
penyederhanan dan percepatan (Hasanudin, 2001: 168).
Batik Gajah Oling adalah motif khas dari daerah Banyuwangi. Batik Gajah
Oling Banyuwangi tergolong sebagai motif batik pesisiran karena Banyuwangi
berada pada wilayah pesisir utara Pulau Jawa ujung paling timur. Pada batik
pesisiran ciri-ciri yang dipunyai pertama ragam hias bersifat naturalistis itu sesuai
dengan ragam hias batik Gajah Oling, yaitu motifnya berupa flora dan fauna.
Pola flora dan fauna tetap harus ditemukan pola dasarnya, yakni cara
bagaimana kesatuan motif yang diambil dari gambar flora dan fauna itu terbentuk.
Semua pola pada dasarnya dimaksudkan untuk menghadirkan entitas paradoks.
Paradoks adalah hakikat ada yang sejati. Semua gejala kehidupan bersumber dari
entitas paradoks (Sumardjo, 2006: 72).
Diduga keberadaan batik Gajah Oling berkembang sejak abad ke16-17 Masehi.
Pada saat itu merupakan masa penaklukan Blambangan oleh Mataram yakni pada
masa Sultan Agung Hanyorko Kusumo (1613-1645 M). Pada kekuasaan Mataram
inilah banyak kawula Blambangan dibawa ke pusat Pemerintahan Mataran Islam
di Pleret Kotagede, sehingga tidak mustahil para kawula Blambangan ini belajar
membatik di Keraton Mataram Islam.
Dari beberapa pendapat masyarakat masa kini tentang arti dari Gajah Oling ini
adalah oling yang berarti binatang sejenis belut, dan gajah tidak digambarkan
sehingga bisa dikatakan Gajah Oling adalah hewan oling yang besar (Baihaqi,
2008: 25). Azhar (2007:57) menyatakan bahwa secara filosofi motif Gajah Oling
yang merupakan plesetan dari Gajah Eling yang memiliki arti sosok yang besar
Gajah (dalam hal dilambangkan dengan belalai) dan kata Eling yang akhirnya
menjadi Oling. Penciptaan pertama Gajah Oling ingin memberi makna filosofi
yang berarti bahwa mengingatkan Allah Yang Mahabesar adalah sebuah jalan
terbaik dalam menjalani hidup ini.
Batik pesisiran berawal dari batik keraton yang mempunyai banyak makna
filosofi di dalamnya. Begitu juga dengan batik Gajah Oling yang juga mempunyai
banyak makna filosofi, sehingga penelitian ini difokuskan untuk batik Gajah
Oling yang digunakan untuk upacara adat dan untuk penari. Makna tersebut dikaji
dalam hal sejarah, kebudayaan, dan estetika paradoks.
Batik adalah produk kebudayaan (artefact). Dari pandangan antropologi,
kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang
dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya
Bagan 1.1. Skema Kerangka Pemikiran (Sumber: Dokumentasi Penulis, 2009)
Kerangka pemikiran tersebut digunakan untuk memberikan landasan penjelasan
terhadap permasalahan, dan dasar bagi penyusunan metodologi dalam penelitian.
Secara deskriptif karangka tersebut dirinci ke dalam bentuk hipotesis kerja.
Menurut pengertiannya hipotesis kerja merupakan pedoman utama untuk LATAR BELAKANG MASYARAKAT
BANYUWANGI (SUKU USING): KONSEP
KESUKUAN, SEJARAH, NILAI-NILAI
TRADISI BUDAYA LOKAL, DAN UNSUR-UNSUR BUDAYA
MOTIF BATIK GAJAH OLING BANYUWANGI BATIK PESISIRAN BATIK KERATON RAGAM HIAS INDONESIA
ESTETIKA PARADOKS, ILMU ANTROPOLOGI DAN ILMU HERMENEUTIKA
FUNGSI BATIK GAJAH OLING: FUNGSI SAKRAL
(UPACARA DAN TARIAN) DAN FUNGSI
PROFAN
MAKNA FILOSOFI MOTIF BATIK GAJAH OLING BANYUWANGI UNSUR VISUAL BATIK
GAJAH OLING: WARNA, BENTUK,
POSISI, UKURAN.
MAKNA FILOSOFI MOTIF POKOK, MOTIF
PENGISI BIDANG, DAN MOTIF PINGGIRAN BATIK
melaksanakan seluruh kegiatan penelitian guna memfokuskan perhatian. Di
samping itu dimaksudkan sebagai kerangka dan petunjuk dalam memulai proses
penelitian, sehingga bisa berkembang, berkurang atau bertambah.
Pembahasan tentang makna filosofi motif batik Gajah Oling terbagi dalam 2
(dua) fokus penelitian, yaitu pada fungsi sakral sebagai busana dan perangkat yang
dipakai untuk menari dan busana yang dipakai untuk upacara adat. Dari kedua
fokus penelitian ini akan dikaji mengenai makna filosofi dari bentuk motif dalam
hal: ornamen pokok, ornamen pengisi bidang dan motif pinggiran. Selain bentuk
juga makna filosofi dari warna, ukuran dan posisi motif batik Gajah Oling.
G.Metodologi Penelitian
Penelitian ini berusaha mengetahui kajian makna filosofis pada motif batik
Gajah Oling Banyuwangi. Karena itulah penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan pendekatan hermeneutika yang dianggap paling tepat dalam
penelitian ini. Hermeneutika merupakan salah satu teori yang menjadi dasar sangat
penting dan juga mewarnai penelitan kualitatif.
Hermeneutika berarti penafsiran atau interpretasi sebagai proses mengubah
sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu (Sumaryono, 1999: 24).
Hermeneutika mengarah pada penafsiran ekspresi yang penuh makna dan
dilakukan dengan sengaja oleh manusia. Artinya, kita melakukan interpretasi atas
interpretasi yang telah dilakukan oleh pribadi atau kelompok manusia terhadap
situasi mereka sendiri (Sutopo, 2002: 26). Pendekatan yang dipakai dalam
penelitian ini adalah pendekatan etik (rasional filosofinya) dan pendekatan emik
Dalam penelitian ini diperlukan data, dan informasi yang diperoleh dari
berbagai macam sumber data. Oleh karena itu strategi yang digunakan untuk
mengumpulkan data-data tersebut adalah strategi pemahaman. Untuk memahami
makna dalam berbagai fenomena dari sumber data, dan informasi dilakukan
melalui sumber tertulis, sehingga diperlukan penelusuran kepustakaan. Di
samping itu diperoleh dari sumber lisan melalui penelitian lapangan dan sumber
lain-lain berupa karya batik Gajah Oling yang diduga mempunyai banyak makna
filosofi di dalamnya.
1. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian kualitatif dipilih berdasarkan jenis informasi
yang diperlukan berdasarkan arahan beragam hal yang terdapat dalam rumusan
masalah (Sutopo, 2002: 143). Jadi sumber data dalam penelitian ini adalah
beberapa pebatik motif batik Gajah Oling yaitu Ibu Kulsum (70 tahun) dan Ibu
Acum (60 tahun); perajin motif batik Gajah Oling yaitu: perajin batik Sayu Wiwit,
Ferdes, dan Sri Tanjung; para kolektor batik; dan budayawan di Banyuwangi yaitu
budayawan Using Bapak Hasnan Singodimajan (80 tahun); dan Bapak Azhar
Prasetyo (58 tahun), pengurus Dewan Kesenian Blambangan dan Dewan
Kesenian Jawa Timur. Sumber data dalam penelitian ini diambil dengan
menggunakan teknik Snowball Sampling. Dalam Snowball Sampling peneliti
berjalan tanpa rencana, semakin lama semakin mendekati informan yang paling
mengetahui informasinya, sehingga ia akan mampu menggali data secara lengkap
2. Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian dalam penelitian ini adalah para pebatik dan perajin batik
Gajah Oling di Banyuwangi. Pebatik di daerah Banyuwangi ini tepatnya berada di
kelurahan Temenggungan yaitu beberapa wanita tua berusia sekitar 60 sampai 80
tahun yang masih eksis membatik. Sasaran lainnya adalah tiga perajin batik Gajah
Oling yang sudah sangat besar dan terkenal di Banyuwangi, yaitu Virdes yang
terletak di Desa Tampo Kecamatan Cluring, Sayu Wiwit yang terletak di
Kelurahan Temenggungan Kecamatan Banyuwangi, dan Sri Tanjung yang berada
di Kelurahan Lateng Kecamatan Banyuwangi. Untuk menambah data agar lebih
lengkap dan mendalam, sasaran penelitian juga dilakukan pada budayawan serta
kolektor batik di Banyuwangi.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
wawancara, observasi, dan dokumentasi.
a. Wawancara
Tujuan umum melakukan wawancara adalah: untuk menyajikan konstruksi saat sekarang dalam suatu konteks mengenai para pribadi, peristiwa, aktifitas, organisasi, perasaan, motivasi, tanggapan atau persepsi, tingkat dan bentuk keterlibatan, dan sebagainya, untuk mengkonstruksi beragam hal seperti itu sebagai bagian dari pengalaman masa lampau, dan memproyeksikan hal-hal itu dikaitkan dengan harapan yang bisa terjadi di masa yang akan datang (Sutopo, 2002: 58).
Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
mendalam. Teknik wawancara atau interview yaitu untuk memperoleh data
dan keterangan yang lebih jelas untuk tujuan penelitian ini. Adapun informasi ini
diperoleh dari pebatik yaitu Ibu Kulsum (70 tahun) dan Ibu Acum (60 tahun);
budayawan Using Bapak Hasnan Singodimajan (80 tahun); dan pada Bapak Azhar
Prasetyo (58 tahun), pengurus Dewan Kesenian Blambangan. Wawancara juga
pada Drs. Totok Hariyanto Alumni Fakultas Sastra Budaya UNDIP Semarang
yang kini menjadi dosen di UNTAG Banyuwangi dan Aguk W Nuryadi Humas
Pendidikan Seni Nusantara di Banyuwangi serta pada pemilik batik Sayu Wiwit
yaitu Bapak Soenjoyo Julhaji.
b. Observasi
Teknik Observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang
berupa peristiwa, tempat, lokasi, dan benda serta rekaman gambar. Observasi
penelitian dalam Alwasilah (2002: 211) adalah pengamatan sistematis dan
terencana yang diniati untuk perolehan data yang dikontrol validitas dan
reliabilitasnya. Observasi langsung di lapangan, baik secara formal maupun tidak
formal. Tempat kegiatan berada di daerah kota Banyuwangi yaitu sentra batik di
Desa Temenggungan, museum, para kolektor, dan budayawan di Banyuwangi.
Hal yang diamati mencakup proses pembatikan dan berbagai jenis batik yang
meliputi motif, warna, bahan serta fungsinya. Tetapi yang terutama motif batik
Gajah Oling yang digunakan untuk penari Gandrung dan busana pada upacara
Seblang. Kegiatan penelitian diawali dengan para kolektor batik, kemudian
melakukan pengamatan ke sentra batik di desa Temenggungan. Hal tersebut
dan informasi dari nara sumber mengenai hal ikhwal karya-karya batik yang
menjadi objek penelitian.
c. Dokumentasi
Dokumen merupakan sumber data yang sering memiliki posisi penting dalam
penelitian kualitatif. Dokumen bisa memiliki beragam bentuk, dari yang tertulis
sederhana sampai yang lebih lengkap, dan bahkan bisa berupa benda-benda
lainnya sebagai peninggalan masa lampau. Mencatat dokumen ini oleh Yin
(dalam Sutopo: 2002, 64) disebut sebagai content analysis, dan yang dimaksudkan
bahwa peneliti bukan sekedar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen,
tetapi juga tentang maknanya yang tersirat. Oleh karena itu dalam menghadapi
beragam dokumen tertulis sebagai sumber data, peneliti harus bisa bersikap kritis
dan teliti. Dalam hal ini terutama data tentang beberapa motif batik Banyuwangi,
motif batik Gajah Oling dengan berbagai kombinasi.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik merekam dan
teknik catat, artinya merekam dan mencatat langsung dari penuturan sumber. Data
tersebut kemudian diklasifikasikan, diolah, serta disusun menjadi laporan.
4. Validitas Data
Ketepatan data tidak hanya tergantung dari ketepatan memilih sumber data dan
teknik pengumpulannya, tetapi juga diperlukan teknik pengembangan validitas
data. Data yang valid akan memberikan jaminan bagi kemantapan kesimpulan dan
tafsir makna sebagai hasil penelitian. Teknik validitas data yang dianggap paling
Trianggulasi sumber bisa menggunakan satu jenis sumber data seperti misalnya
informan, namun beberapa informan atau narasumber yang digunakan harus
merupakan kelompok atau tingkatan yang berbeda-beda,…(Sutopo, 2002: 79).
Trianggulasi sumber yang memanfaatkan jenis sumber data yang berbeda-beda
untuk menggali data yang sejenis. Di sini tekanannya pada perbedaan sumber data,
bukan pada teknik pengumpulan data atau yang lain (Sutopo, 2002: 79).
5. Analisis Data
Tiga komponen analisis data dalam penelitian kualitatif adalah reduksi data,
sajian data, dan penarikan kesimpulan dengan verifikasi. Model analisis data
kualitatif yang dianggap cocok untuk digunakan dalam penelitian ini adalah model
analisis interaktif.
Bagan 1.2. Model Analisis Interaktif (Sumber: Sutopo, 2002: 96)
Reduksi dan sajian data ini harus disusun pada waktu peneliti sudah mendapatkan unit data dari sejumlah unit yang diperlukan dalam penelitian. Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, peneliti mulai melakukan usaha untuk menarik kesimpulan dan verifikasinya berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi maupun sajian datanya. Bila simpulan dirasa kurang
PENGUMPULANDATA
REDUKSI DATA
PENARIKAN SIMPULAN /VERIFIKASI
Bagan 1.3 Alur Penelitian (Sumber: Dokumentasi Penulis, 2009)
IDENTIFIKASI MASALAH
RUMUSAN MASALAH TUJUAN PENELITIAN
MAKNA FILOSOFI MOTIF BATIK GAJAH
OLING
VARIASI MOTIF BATIK GAJAH OLING
FUNGSI BATIK GAJAH OLING DALAM MASYARAKAT
MAKNA FILOSOFI DARI MOTIF DASAR
BATIK GAJAH OLING UNSUR-UNSUR VISUAL: WARNA, BENTUK, UKURAN, POSISI.
MOTIF BATIK YANG DIPAKAI UNTUK: UPACARA
SEBLANG DAN PENARI GANDRUNG DOKUMENTASI WAWANCARA DOKUMENTASI OBSERVASI WAWANCARA OBSERVASI DOKUMENTASI
MAKNA FILOSOFI MOTIF BATIK GAJAH OLING BANYUWANGI
SIMPULAN DAN SARAN
PROSES PEMBUATANNYA, BAHAN DAN JENIS MOTIF BATIK YANG
DIGUNAKAN
MAKNA FILOSOFI MOTIF POKOK, MOTIF PENDUKUNG, DAN MOTIF PINGGIRAN BATIK
GAJAH OLING DASAR PENCIPTAAN, TUJUAN, MAKNA FILOSOFI MAKNA FILOSOFI DARI BENTUK, WARNA , UKURAN DAN POSISI BATIK
H.Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan. Pada bab ini penulis menguraikan pokok-pokok penelitian
tentang: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, Telaah Pustaka, Kerangka Teoritik yang akan mengetengahkan secara
singkat tentang tinjauan pustaka apa saja yang digunakan, diakhiri dengan Metode
Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka. Bab II ini, berisikan tentang teori-teori yang digunakan
yaitu teori tentang hermeneutika, estetika paradoks dan antropologi kebudayaan.
Bab ini merupakan bab yang berisi mengenai konsep-konsep dan teori yang
mendukung penelitian. Penentuan konsep yang digunakan didasari pada latar
belakang masalah dan kebutuhan penelitian yang dilakukan.
Bab III Berisi gambaran umum tentang batik yang terdiri dari definisi batik,
sejarah batik Indonesia, motif batik, dan pengelompokan batik ditinjau dari pola
dan konteks budayanya. Selanjutnya tentang batik Banyuwangi yang terdiri dari
sejarah Banyuwangi, suku Using Banyuwangi, sejarah batik Banyuwangi,
mitologi asal usul batik Banyuwangi, variasi motif batik Banyuwangi dan lebih
spesifik pada batik Gajah Oling baik dari sisi variasi, fungsi, ukuran, dan proses
pembuatannya. Data-data untuk penulisan tesis ini diambil dari dokumentasi
berupa tulisan dari buku dan artikel dan hasil fotografi, wawancara dengan
data-data penelitian yang didasari oleh filosofi penelitian (bab I) serta identifikasi
konsep pada bab II.
Bab IV Adalah bab yang berisi analisis data yang menyajikan pemaknaan dan
penafsiran, berupa cara kerja teori dalam menghadapi data. Isinya tentang
kedudukan motif batik Gajah Oling di dalam Masyarakat Banyuwangi, visual
motif batik Gajah Oling, serta makna filosofi motif batik Gajah Oling. Bab ini
merupakan inti dari kajian penelitian yang didasari oleh filosofi penelitian (bab I)
serta uji konsep yang ditemukan pada bab II. Masalah yang dianalisis meliputi
data-data dan konsep yang dikemukakan pada bab II dan bab III.
Bab V Berisi kesimpulan dari berbagai hal yang telah dibahas pada bab-bab
sebelumnya. Juga berisi saran dan tanggapan penulis terhadap masalah-masalah
Bagan 1.4. Skema Penyajian Penulisan (Sumber: Dokumentasi Penulis, 2009)
LATAR BELAKANG MASALAH
RUMUSAN MASALAH
TUJUAN PENELITIAN MANFAAT PENELITIAN
KERANGKA TEORETIS
• TINJAUAN PUSTAKA
• KERANGKA PEMIKIRAN
METODOLOGI PENELITIAN
• SUMBER DATA,
PENELITIAN, TEKNIK PENGUMPULAN DATA, VALIDITAS DATA, DAN ANALISIS DATA
LANDASAN TEORETIS
• HERMENEUTIKA
• ESTETIKA PARADOKS
• ANTROPOLOGI KEBUDAYAAN
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
• VISUAL MOTIF BATIK GAJAH OLING
• KEDUDUKAN MOTIF BATIK GAJAH OLING DI
DALAM MASYARAKAT BANYUWANGI
• MAKNA FILOSOFI MOTIF BATIK GAJAH
OLING
KESIMPULAN DAN TEMUAN-TEMUAN PENELITIAN
223 BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A.SIMPULAN
1. Kedudukan Motif Batik Gajah Oling di Dalam Masyarakat Banyuwangi
a. Fungsi Sakral
Fungsi sakral pada penggunaan motif batik Gajah Oling difokuskan pada
upacara adat Seblang dan tarian Gandrung. Motif ini terdapat pada upacara adat
Seblang yang digunakan sebagai kain panjang oleh penari, sinden dan pengrawit;
selendang oleh pawang panekep; dan udeng oleh pawang pengundang/dukun.
Sedangkan pada Gandrung motif Gajah Oling digunakan pada penari sebagai kain
panjang, dan pada omprog serta basahan. Warna yang digunakan untuk Seblang
dan Gandrung mayoritas berlatar putih, terutama pada upacara Seblang. Motif
Gajah Oling dengan latar putih motif warna hitam merupakan warna yang paling
sakral, karena warna ini harus selalu ada pada setiap upacara adat Seblang
Bakungan dan Olehsari. Begitu juga pada tarian Gandrung dan pada Jaran Kencak
Paju Gandrung.
b. Fungsi Profan
Motif batik Gajah Oling pada masyarakat umum dipakai sebagai seragam
untuk sekolah, pegawai Pemerintahan Daerah, dan Pegawai Negeri Sipil.
Penggunakan motif ini dengan warna dan logo yang berbeda sesuai instansi
masing-masing. Batik yang digunakan lebih berwarna-warni dan dari bentuk
aslinya ada yang diubah dan ada yang tidak (tetap motif asli). Motif batik ini
Jebeng Thulik yang pada awalnya ciri khas ini berasal dari upacara Seblang dan
tarian Gandrung. Pada motif batik Gajah Oling kain yang berwarna warni lebih
bersifat duniawi, manusia, dan profan.
2. Visual Motif Batik Gajah Oling Banyuwangi
Dari beberapa variasi motif batik Gajah Oling yang ada di Banyuwangi, maka
yang paling banyak teridentifikasi dalam satu ornamen pokok selalu terdapat satu
ornamen Gajah Oling, tiga helai daun dilem, tiga helai bunga manggar dan satu
bunga melati dengan lima kelopak. Motif yang teridentifikasi terdapat ornamen
tersebut merupakan motif batik Gajah Oling yang asli, yang masih sering
digunakan dalam upacara Seblang dan dipakai untuk menari Gandrung.
Motif batik Gajah Oling motif pokoknya berasal dari varian dasar huruf S,
yang merupakan pola huruf purba yang ada di Indonesia. Motif Gajah Oling
bersifat sakral karena sifatnya dwitunggal antagonistik, yang juga terdapat pada
bejana kerinci, perisai asmat, dan lain sebagainya. Huruf S ternyata di beberapa
tempat ditransformasikan menjadi ½ huruf S, dan dalam perkembangannya
menjadi 3 sulur (1=3). Dwitunggal padanannya tritunggal. Gejala tritunggal
biasanya terdapat pada masyarakat ladang/primordial yang terdapat di
daerah-daerah perbukitan (Pola Tiga). Motif pokok batik Gajah Oling terdapat pula pada
motif modang yang berasal dari Solo, pada batik yang ada di Garut dan pada
Bindu Matoga dari Batak.
Warna yang digunakan oleh penari Seblang Bakungan dan Gandrung
tradisional adalah warna merah, yang dipakai oleh penari Gandrung muda mudi,
pengrawit adalah warna latar putih motif warna hitam, dan kadang juga penari
Seblang Olehsari menggunakan batik Gajah Oling latar hijau. Keempat warna
yaitu hitam, putih, merah, dan hijau, merupakan warna ritual atau purba. Putih
sebagai simbol langit (dunia atas), hitam sebagai simbol bumi (dunia bawah),
merah sebagai simbol dunia manusia (dunia tengah) dan hijau merupakan pusat
transenden yang ada di tengah-tengah papat kalimo pancer, sebagai kosmik
tertinggi karena percampuran dari berbagai warna.
Ukuran kain panjang yang dipakai oleh penari dan yang dipakai oleh orang
awam berbeda, yang dipakai penari berukuran 2,5 meter sedangkan yang dipakai
orang awam berukuran 2 meter. Perincian 2,5 meter yaitu 1 meter untuk bagian
badan depan, 1 meter untuk badan bagian belakang dan 0,5 meter untuk wiron.
Wiron sebagai dunia tengah atau medium, sehingga batik merupakan pasangan
kembar mandala atau papat kalimo pancer sebagai simbol paradoks.
Bentuk motif yang digunakan oleh penari dan untuk upacara ukurannya lebih
besar dari pada motif yang digunakan untuk masyarakat umum. Bentuk yang lebih
besar maka lebih bersifat sakral serta lebih besar daya-daya transendennya, dari
pada bentuk yang lebih kecil.
3. Makna Filosofi pada Motif Batik Gajah Oling Banyuwangi
Pada motif batik Gajah Oling terdapat ornamen pokoknya yang terdiri dari
ornamen Gajah Oling, daun dilem, bunga melati dan bunga manggar; ornamen
pinggiran/pengisi bidang yang terdiri dari ornamen kupu-kupu dan ornamen daun
Motif pinggiran yang ada pada motif batik Gajah Oling yaitu motif pucuk
rebung yang maknanya sama dengan gunungan wayang dan pohon hayat. Motif
pucuk rebung pada pemakaiannya posisi pada bagian bawah terbalik yang disebut
dengan waringin sungsang ataiu beringin terbalik.
Pada kain panjang dan selendang motif batik Gajah Oling dari satu kacu terdiri
dari 9 Gajah Oling dengan besaran bentuk dan arah hadap yang sama terdapat 1
Gajah Oling di pusat. Pusat itu merupakan peleburan/pengembangan diri dari 8
Gajah Oling di 8 arah mata angin yang disatukan di pusat. 9 Gajah Oling pada 1
kacu menggambarkan tentang papat kalimo pancer ganda, pola tersebut disebut
dengan asta brata atau delapan kualitas spiritual.
Pola batik pada kain panjang, udeng dan selendang yang digunakan untuk
upacara dan penari mengikuti pola mandala atau papat kalimo pancer, mandala itu
ruang suci, mandala membawa simbol paradoks, hadirnya yang transenden
(berbentuk lingkaran) di ruang imanen (berbentuk bujur sangkar). Gambar
mandala namanya yantra, kata-kata mandala namanya mantra.
Posisi motif batik Gajah Oling pada pemakaian untuk penari Seblang
Bakungan, pawang, sinden, penari Gandrung menghadap ke kiri maka gerakannya
searah dengan jarum jam berarti naik dan menjemput 7 bidadari. Hal ini berarti
dari imanen ke transenden. Posisi pada penari Seblang Olehsari menghadap ke
kanan maka gerakannya berlawanan dengan arah jarum jam berarti turun dan di
B.SARAN
1. Bagi Instansi
Rekomendasi dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pandangan
bagi lembaga dan institusi yang bergerak di bidang usaha pelestarian serta
pengembangan khasanah tradisi budaya Indonesia. Dengan demikian dapat
memacu tumbuhnya minat untuk melakukan penelitian dan pengkajian lanjutan,
sehingga dapat memperkaya pengetahuan keragaman kebudayaan Nusantara masa
depan.
Pada instansi Dinas Pendidikan diharapkan sering mengadakan seminar atau
workshop tentang batik Banyuwangi kepada para pendidik Seni Budaya agar
dapat mentransferkan ilmunya pada siswa didiknya di Banyuwangi. Agar siswa
dapat lebih menghargai hasil budaya bangsanya, bukan hanya batik untuk dipakai
saja, melainkan untuk dijaga kelestarikan.
2. Bagi Calon Peneliti
Penelitian yang penulis teliti merupakan sebagian kecil dari hasil budaya di
Indonesia. Maka dari itu perlu adanya penelitian lanjut tentang budaya di
Banyuwangi terutama batik sebagai hasil karya cipta warisan leluhur. Penelitian
lanjut tentang batik bisa tentang perkembang visual atau manfaatnya dalam
masyarakat. Seni budaya lama yang masih terpendam dan belum terangkat perlu
adanya penelitian yang mendalam khususnya para peneliti/akademisi selanjutnya.
Banyak sekali budaya tradisional bangsa di Indonesia yang belum terungkap
bagi yang senang penelitian. Bila hal ini tidak diperhatikan nantinya akan
kedahuluan bangsa lain untuk meneliti. Kejadian ini akan memalukan kita karena
seni budaya yang adiluhung justru ditulis atau didalami orang luar.
3. Bagi Pebatik dan Perajin
Para pebatik dan perajin sebaiknya mengerti dan memahami arti dan falsafah
batik yang diproduksinya agar karya batiknya lebih berkualitas dan terjaga
keasliannya. Sangat minim dan langkanya para pebatik di Banyuwangi yang
berwawasan secara dalam akan menurunkan budaya batik. Agar budaya batik
tidak merosot perlu adanya pembinaan terhadap generasi muda yang ditangani
secara serius agar batik tetap menjadi kualitas tinggi. Perlu juga pembinaan pada
tentang pemakaian batik yang disesuaikan dengan fungsi dan falsafahnya.
4. Bagi Masyarakat Banyuwangi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan tentang makna filosofi,
konsep penciptaan, jenis, dan fungsi batik Gajah Oling dalam masyarakat
Banyuwangi. Secara khusus akan memberikan sumbangan pengetahuan dan
wawasan dalam pengembangan ilmu kesenirupaan dan budaya, terutama batik. Di
samping itu dapat memberi masukan bagi berbagai kepentingan, seperti untuk
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. (2008). Pokoknya Kualitatif. Bandung: Pustaka Jaya.
Auboyer dkk. (1978). Oriental Art a handbook of Style and Forms. London-Boston: Faber and Faber.
Dariharto. (2009). Kesenian Gandrung Banyuwangi. Banyuwangi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi.
Djelantik, A. A. M. (1999). Estetika Sebuah Pengantar. Yogyakarta. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Djoemena, Nian. (1990). Ungkapan Sehelai Batik. Jakarta: Djambatan.
Hamzuri. (1994). Batik Klasik. Jakarta: Djambatan.
Hartoko, Dick. (1984). Manusia dan Seni. Yogyakarta: Kanisius.
Hasanudin. (2001). Batik Pesisiran. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
Hidayah, Julyani. (1997). Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Ihromi, TO. (2006). Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kartika, Dharsono Sony. (2007). Budaya Nusantara. Bandung: Rekayasa Sains.
____________________. (2007). Estetika. Bandung: Rekayasa Sains.
Kerlogue, Fiona. (2004). Batik Design, Style & History. Singapore: Thames dan Hudson.
Koentjaraningrat. (2005). Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Lumbantobing, Andar. (1996). Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Palmer, Richard E. (1969). Hermenautika. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Prasetyo, Azhar. (2007). Batik Banyuwangi. Banyuwangi: Dewan Kesenian Blambangan.
Prawira, Nanang Ganda. (2000). Sejarah Seni Rupa Modern. Bandung: Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat
Jenderal Pendidika Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional
Pujileksono, Sugeng. (2006). Pengantar Antropologi. Malang. UMM PRES.
Pujiyanto. (2008). Estetika Batik Keraton Surakarta. Malang: Jurusan seni Dan Desain-Fakultas Sastra-Universitas Negeri Malang.
Riyanto, Didik. (1995). Proses Batik. Yogyakarta: C V Aneka. Sumardjo, Jakob. (2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB Bandung.
_____________. (2006). Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press.
_____________. (2009). Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda. Bandung: Kelir.
Sumaryono, E. (1999). Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Sutrisno, Mudji. (2005). Teks-teks Kunci Estetika. Yogyakarta: Galang Press Singodimajan, Hasnan. (2009). Ritual Adat Seblang Sebuah Seni Perdamaian
Masyarakat Using Banyuwangi. Banyuwangi: Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Banyuwangi.
Smith dan Nephew. Tanpa Tahun. Batik. Australia: Tanpa Penerbit. Soehardjo, A. J. (2004). Pengantar Estetika. Malang. JSD FS UM.
Sony Kartika, Darsono. (2006). Budaya Nusantara. Bandung: Rekayasa Sains. Susanto, Mudji. (2009). Ranah-ranah Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Susanto, Sewan. (1980). Seni Kerajinan Batik Indonesia. Yogyakarta: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan-Lembaga Penelitian dan Pendidikan Idustri, Departemen Perindustrian RI.
Sutarto, Ayu dan Sudikan, Setya Yuwana. (2008). Pemetaan Kebudayaan di
Propinsi Jawa Timur. Jember: Biru Mental Spiritual Jatim dan
Kompyawisda Jatim.
Sutopo, H. B. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Tanpa Nama. (2009). Gendhing-gendhing Mantra Seblang Olehsari. Banyuwangi: Dinas Kebudayaan dan Periwisata Kabupaten Banyuwangi. Tantular, Mpu. (2009). Kakawin Sutasoma. Jakarta: Komunitas Bambu.
Tarjo, Enday dan Nanang Ganda Prawira. (2009). Konsep dan Strategi Pembelajaran Seni Rupa. Bandung: Bintang Warli Artika dan Jurusan Pendidikan Seni Rupa, FPBS UPI Bandung
The Liang Gie. (2004). Filasafat Keindahan. Yogyakarta. Pusat Belajar Ilmu Berguna.
Tim Penyusun, (2008). Pedoman Penulisan karya Ilmiah. Bandung. UPI
Yudoseputro, Wiyoso. (2008). Jejak-jejak Tradisi Bahasa Rupa indonesia Lama. Jakarta: Yayasan Seni Visual Indonesia, Fakultas Film dan Televisi IKJ, Fakultas Seni Rupa IKJ, Koperasi Sinematografi IKJ.
Van Der Hoop. (1949). Ragam-ragam Perhiasan Indonesia. Jakarta: Koninklijk Bataviaasch Genootshap Van Kunsten En Wetenschappen.
Van Peursen, C. A. (1974). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Wiryomartomo, Bagoes P. 2001. Pilar-Pilar Penyingkap Rasa, Sebuah Wacana Seni dan Keindahan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
MAKALAH, MAJALAH DAN KORAN
Aris, Sudibyo dkk. (1994). “Upaya Pelestarian dan Pengembangan Budaya Banyuwangi Ditinjau dari Segi Adat Istiadat dan Bahasa sebagai Alternatif Pendukung Pengembangan Pariwisata”. Makalah Seminar Hari Jadi dan Kebudayaan Banyuwangi Universitas 17 Agustus 1945. Banyuwangi. Armaya. (1994). “Upaya Pelestarian Gandrung Banyuwangi di Era Globalisasi”.
Makalah Seminar Hari Jadi dan Kebudayaan Banyuwangi Universitas 17 Agustus 1945. Banyuwangi.
Avrikartika, Aldila. (2009). “ Menyaksikan Pelestarian Tradisi Jaran Kencak
Paju Gandrung, Bikin Arisan Sekaligus Atraksi Dua Minggu Sekali”. Jawa
Pos (29 Oktober 2009).
Baihaqi, Agus. (2008). “Berkreasi Tanpa Meninggalkan Motif Banyuwangi”. Jawa Pos.
Cokro, Galih. (2009). “Ditiup, Lalu Menari Semalam Suntuk”. Jawa Pos. (8 Desember 2009.
Prasetyo, Azhar. (2008). “Gajah Oling Lambang Kekuatan”. Jawa Pos.
Sutaryo, Maryana dan Handoyo, Adi. (2009, Februari). “Gunungan”. Versus, 2, 93.
TESIS DAN DESERTASI
Rizali, Nanang. 2000. Perwujudan Tekstil Tradisional di Indonesia. Disertasi pada Program Studi Desain ITB Bandung: Tidak Diterbitkan.
Sudiarti, Tuti. (2008). Kajian Estetika Busana Kebesaran Sultan Kasepuhan Kanoman dan Kacirebonan. Program Studi Desain. Institut Teknologi Bandung: Tidak Diterbitkan.