• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN KEPATUHAN PESERTA DIDIK TERHADAP NORMA KETERTIBAN SEBAGAI UPAYA MENYIAPKAN WARGA NEGARA DEMOKRATIS DI SEKOLAH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN KEPATUHAN PESERTA DIDIK TERHADAP NORMA KETERTIBAN SEBAGAI UPAYA MENYIAPKAN WARGA NEGARA DEMOKRATIS DI SEKOLAH."

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR MATRIKS ... xv

DAFTAR BAGAN ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 18

C.Tujuan Penelitian ... 18

D.Manfaat Penelitian ... 19

E. Metode Penelitian ... 20

F. Lokasi Penelitian ... 21

II KERANGKA TEORETIS ... 22

A. Pembinaan Kepatuhan Terhadap Norma Ketertiban Dalam Menyiapkan Warga Negara Demokratis... 22 B. Penelitian Terdahulu Terhadap Pembinaan Kepatuhan Di sekolah .. 85

C. Sekolah dan Pembinaan Kepatuhan Terhadap Norma Ketertiban ... 90

D. Pembinaan Kepatuhan Dalam Pendidikan Umum/Nilai... 115 E. Paradigma Pembinaan Kepatuhan Terhadap Norma Ketertiban di

Sekolah ...

(2)

III METODE PENELITIAN ... 122

A. Penjelasan Istilah ... 122

B. Pendekatan dan Metode Penelitian ... 125

C. Langkah-langkah Penelitian ... 127

D. Lokasi dan Subyek Penelitian... 131

E. Sumber Data ... 132

F. Teknik Pengumpulan Data ... 133

G. Pengujian Keabsahan Data ... 133

H. Analisis Data ... 137

IV HASIL, PEMBAHASAN, TEMUAN DAN PENGEMBANGAN ... 138

A. Hasil ... 138

1. Profil SMA KORPRI Banjarmasin ... 138

a. Sejarah Berdirinya ... 138

b. Keadaan Guru, Peserta Didik dan Orang Tua ... 139

2. Keberadaan Pembinaan Kepatuhan Peserta Didik Terhadap Norma Ketertiban di SMA KORPRI Banjarmasin ... 142 a. Visi dan Misi SMA KORPRI Banjarmasin ... 142

b. Program Pembinaan SMA KORPRI Banjarmasin ... 146

c. Penataan Situasi Lingkungan Untuk Menunjang Pembinaan Kepatuhan ... 177 3. Proses Pembinaan Kepatuhan Peserta Didik Terhadap Norma Ketertiban di SMA KORPRI Banjarmasin... 193 a. Tujuan ... 193

b. Pelaksanaan Proses melalui Berbagai Kegiatan Pembinaan... 195

(3)

1. Keberadaan Pembinaan Kepatuhan Peserta Didik Terhadap Norma Ketertiban di SMA KORPRI Banjarmasin ...

266

2. Proses Pembinaan Kepatuhan Peserta Didik Terhadap Norma Ketertiban di SMA KORPRI Banjarmasin ...

307

a. Tujuan Proses Pembinaan ... 307

b. Pelaksanaan Proses Melalui Berbagai Kegiatan Pembinaan.. 310 C. Temuan ... 324

1. Keberadaan Pembinaan Kepatuhan Peserta Didik Terhadap Norma Ketertiban di SMA KORPRI Banjarmasin ...

324

a. Visi dan Misi SMA KORPRI Banjarmasin ... 325

b. Program Pembinaan Kepatuhan Peserta Didik Terhadap Norma Ketertiban SMA KORPRI Banjarmasin ...

327

c. Penataan Situasi Pembinaan Kepatuhan Peserta Didik Terhadap Norma Ketertiban di SMA KORPRI Banjarmasin.

339

2. Proses Pembinaan Kepatuhan Peserta Didik Terhadap Norma

Ketertiban di SMA KORPRI Banjarmasin ... 346

a. Tujuan Proses Pembinaan Perspektif Pembelajaran ... 346

b. Pelaksanaan Proses Melalui Berbagai Kegiatan Pembinaan 347

3. Model Awal Pembinaan Kepatuhan Peserta Didik Terhadap

Norma Ketertiban di SMA KORPRI Banjarmasin ...

358

a. Visi dan Misi SMA KORPRI Banjarmasin ... 358

b. Program Pembinaan Termasuk Program Kerja SMA KORPRI Banjarmasin di bidang Budaya dan Lingkungan Sekolah ...

(4)

c. Penataan Situasi Pembinaan Kepatuhan Terhadap Norma Ketertiban di SMA KORPRI Banjarmasin ...

364

d. Proses Pembinaan Kepatuhan Terhadap Norma Ketertiban di SMA KORPRI Banjarmasin ...

367

e. Model Matrik Pembinaan Kepatuhan Peserta Didik

Terhadap Norma Ketertiban di SMA KORPRI ... 374

f. Model Bagan Pembinaan Kepatuhan Peserta Didik

Terhadap Norma Ketertiban di SMA KORPRI ... 379

D. Pengembangan Model ... 380

1. Karakteristik Model Awal ... 380 2. Kekuatan, Kelemahan dan Solusi Model Awal ... 391 3. Model Alternatif Pembinaan Kepatuhan Terhadap Norma Ketertiban di Sekolah Dalam Menyiapkan Warga Negara Demokratis ... 400 a. Model Matriks ... 400

b. Model Bagan ... 417

V KESIMPULAN, REKOMENDASI DAN DALIL ... 418

A. Kesimpulan Umum ... 418

B. Kesimpulan Khusus ... 419

C. Rekomendasi ... 422

D. Dalil-dalil ... 425

(5)
(6)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kondisi objektif ketidakkepatuhan di masyarakat dan di sekolah sekarang ini, telah menumbuhkan keresahan, karena itu menumbuhkan komitmen kolektif, khususnya sekolah untuk mengembangkan suatu bentuk tindakan pembinaan terhadap nilai kepatuhan. Secara konseptual istilah pembinaan mengandung pengertian suatu tindakan kegiatan berupa penyampaian informasi dan pengetahuan, pengarahan dan bimbingan, latihan dan pengembangan kecakapan, keterampilan dan pengembangan sikap, sehingga menghasilkan perubahan dari individu maupun kolektif kepada perilaku yang diharapkan. Unsur pengertian itu dalam perspektif pembinaan kepatuhan terhadap norma sekolah mengandung makna sosialisasi, internalisasi dan personalisasi.

(7)

2 _Theory.shtml. 20 Maret 2010). Teori Besar (Grand Theory) Parsons terhadap tindakan beranggapan bahwa tindakan individu dan kelompok dipengaruhi dan meliputi 5 sistem; sistem nilai, sistem kultural, sistem sosial, sistem kepribadian, dan sistem organik perilaku (http://www.collegetermpapers.com/TermPapers/Sociology/Parsons Grand_Theory .shtml. 20 Maret 2010).

(8)

3 memungkinkan anak bergerak ke dunia moral, dan perlu diberi kebebasan agar mampu membuat keputusan moral dan bertindak secara bertanggung jawab berdasarkan prinsip moral. Teori berbasis kepribadian, kebajikan berakar dapat kepribadian dan identitas pribadi, sebagai hasil dari paduan kecenderungan-kecendrungan alami dan interaksi-interaksi dengan lingkungan mengikutsertakan refleksi dan komitmen terhadap nilai-nilai dan perilaku. Sekolah hendaknya mengembangkan nilai-nilai, kebajikan-kebajikan dan ciri-ciri karakter yang menjadi ciri khasnya.

Kepatuhan selalu menjadi ciri utama dari sebagian besar agama-agama. Agama manapun di dunia, apalagi agama-agama samawi, semuanya meletakkan kepatuhan sebagai nilai moral yang utama dan terpuji. Kata Islam sendiri artinya kepatuhan atau penyerahan diri kepada Allah. Kepatuhan merupakan salah satu hal yang utama, karena akan membawa rahmat dan keselamatan (Al Baqarah:285; Al Imran:132; Al Anfal:20 dan Al Imran:17). Kalangan Advent mengemukakan bahwa di antara kewajiban moral, maka kepatuhan memperoleh keutamaan sebagai kehormatan (www.newadvent.org/cathen, 20 Desember 2008). Bahkan teolog Kristen, MacDonald (Daniel Koehn, www.evangelartist.com/product htm, 23 Desember 2008) mengemukakan bahwa kepatuhan berkaitan dengan istilah pertalian hubungan, kepatuhan membuka jalan bagi bentuk-bentuk khusus dalam pertalian hubungan dengan Tuhan.

(9)

4 tidaklah sama dengan kepatuhan kepada otoritas manusia. Kepatuhan sebagai kebajikan moral memuat alasan-alasan yang diberikan kepada seperangkat kondisi-kondisi, baik sama maupun secara khusus akan menentukan apakah subjek bertindak mematuhi (obedience) atau tidak mematuhi (disobedience) (Cornish, 2008: 12-14).

Kepatuhan adalah suatu norma (Stanford prison experiment, www.viswiki.com/en/ Obedience_human_behavior. 24 Juni 2009), elemen dasar dari struktur kehidupan sosial dan salah satu unsur esensial kehidupan bersama sebagai mekanisme psikologis yang cendrung menghubungkan tindakan individu dan mempererat ikatan-ikatan manusia dengan sistem-sistem otoritas (Milgram, 1963:371-378). Bahkan menurut Elms (1972:128) kepatuhan adalah respon personal. Sementara menurut Geertz, 1961; Koentjaraningrat, 1985; Magnis-Suseno, 1988 ( http://www.unu.edu/unupress/unupbooks/uu13se/uu13se0b.htm. 13 Maret 2010), kepatuhan adalah termasuk nilai-nilai kebajikan budaya Jawa yang memberikan kontribusi terhadap integrasi sosial yang harmonis (rukun). Karenanya kepatuhan tidak hanya dipandang berguna dalam interaksi sosial, tetapi juga dipandang lebih aman karena menghindari konflik.

Menurut Vessel dan Huitts (2005, http://chiron.valdosta.edu. 27 Juni 2009), esensi moralitas adalah patuh terhadap peraturan-peraturan dan bertindak berdasarkan prinsip-prinsip yang telah diinternalisasi (otonomi) adalah tingkat moralitas yang lebih tinggi dibandingkan berdasarkan pada peraturan-peraturan yang ditentukan oleh orang lain atau perasaan kewajiban terhadap standar dari kolektif sosial (heteronomi).

(10)

5 2008:2-3). Para warga negara yang berorientasi pada peraturan dan peran, melihat kepatuhan mengikuti peraturan-peraturan dan tuntutan-tuntutan otoritas adalah terlepas dari legitimasi otoritas. Sebaliknya para warga negara yang berorientasi pada nilai dalam melaksanakan kepatuhan terhadap otoritas adalah berdasarkan nilai-nilai sebagai landasan mempercayai otoritas (Passini & Morselli, 2009:99).

Kepatuhan dalam dimensi pendidikan adalah kerelaan dalam tindakan terhadap perintah-perintah dan keinginan dari otoritas, seperti orang tua dan guru (Good,1973:392; Webb,1981:85), maupun dari norma-norma (Looms,1960:16), berhubungan dengan perkembangan kemauan (Watson, 2009. www.opapera.com/essay/obedience/213895.12 Maret 2009).

Pembinaan kepatuhan terhadap norma ketertiban selain dilatar belakangi oleh landasan teori dan konseptual, juga oleh latar yuridis-normatif, yaitu, UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Hak-Hak Asasi Manusia, UU RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, terutama Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.39 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan.

(11)

6 berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Undang-undang tersebut memberikan landasan bagi pelaksanaan pendidikan di Indonesia, baik dalam hal akar, fungsi dan tujuan pendidikan. Ketiga hal itu, seyogyanya menyatu dalam suatu proses mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan kepribadian yang dicita-citakan. Sauri (2009:2-3) menegaskan pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 mengisyaratkan bahwa praktek pendidikan di Indonesia diarahkan kepada upaya mengembangkan manusia utuh, manusia yang bukan hanya cerdas dari aspek kecakapan intelektual saja, melainkan juga kepribadian dan keterampilannya, atau dalam istilah lain sebagai insan yang cerdas otaknya, lembut hatinya dan terampil tangannya (head, heart, hand). Dengan demikian dalam bentuk sosok yang pribadi yang utuh adalah pribadi yang mampu bekerja dengan ikhlas, cerdas, kerja keras, tuntas, berkualitas dan puas.

Dalam rangka pelaksanaan pendidikan di Indonesia, khususnya dalam proses mengembangkan potensi peserta didik yang sesuai dengan kepribadian yang dicita-citakan, maka eksistensi peserta didik sebagai manusia, perlu dijamin eksistensinya melalui Undang Undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, yakni setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak (pasal 11) dan berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya, agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia (pasal 12).

(12)

7 pelaksanaan pendidikan di Indonesia, berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (pasal 4), berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (pasal 9), dan berkewajiban menghormati guru, menyayangi teman, melaksanakan etika dan akhlak mulia (pasal 19).

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.39 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan secara khusus mengatur tentang pembinaan kesiswaan di sekolah dengan latar belakang, tujuan, sasaran, ruang lingkup, kelompok program pembinaan, pembina kesiswaan, strategi pelaksanaan, dan evaluasi, terutama di SMA.

Pendidikan Umum merupakan program yang diberikan kepada setiap orang, dengan memberikan pengetahuan, sikap, nilai-nilai, dan makna esensial, serta keterampilan yang diperlukan oleh setiap manusia dalam upaya membina peserta didik menjadi manusia yang baik, yang berkepribadian menyeluruh terpadu. Dalam perspektif Indonesia Pendidikan Umum adalah pendidikan harmonis yang mengembangkan aspek kognitif, aspek afektif, dan psikomotor. Namun dari ketiga aspek tersebut, penekanannya lebih besar pada aspek afektif. Hal ini sejalan dengan tujuan Pendidikan Umum, yaitu membina warga negara Indonesia yang memiliki kepribadian yang baik, terpadu, dan terdidik, membentuk manusia seutuhnya (Maftuh, 2009:19), yang tidak hanya berketerampilan tertentu dan berilmu spesialisasi khusus.

(13)

8 (humanizing), pembudayaan (civilizing), pemberdayaan (empowering) dan sosialisasi (socializing) untuk kehidupan bersama manusia dan kehidupannya secara pribadi (Djahiri, 2009:3).

Sebagai pendidikan yang bernuansakan dan bermisikan pembentukan kepribadian, maka dalam upaya pembentukan kepribadian tersebut, tentulah tidak bisa lepas dari muatan nilai, moral dan norma yang dicita-citakan dan dipandang luhur. Karena nilai, moral dan norma itulah yang dikehendaki disosialisasikan, dinternalisasikan, sehingga menjadi personalisasi, mempribadi dalam sosok kepribadian yang diinginkan. Artinya Pendidikan Umum menjadikan Pendidikan Nilai sebagai “spirit”, karena sosok kepribadian yang dicita-citakan oleh Pendidikan Umum, hendaknya diberikan “ruh” oleh Pendidikan Nilai berupa muatan nilai, moral dan norma luhur yang mempribadi dalam sosok kepribadian yang diharapkan oleh Pendidikan Umum.

(14)

9 dan terencana dalam rangka mengembangkan fitrah dasar manusia secara utuh menuju terbentuknya insan berakhlakul karimah.

Secara tegas pelaksanaan Pendidikan Nilai perspektif Indonesia merupakan upaya penanaman dan pengembangan nilai pada diri pribadi, berupa pemberian bantuan agar peserta didik dapat menyadari dan mengalami nilai-nilai, serta agar mampu menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya, dalam menuju terbentuknya insan berakhlakul karimah.

Beberapa nilai moral luhur yang dimuat secara juridis normatif dalam Tujuan Pendidikan Nasional (Djahiri, 2009:1) yaitu, 10 Nilai Luhur yang merupakan Moralitas/Keharusan yang wajib dibina dalam program persekolahan adalah iman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab. Artinya 10 Nilai Luhur, termasuk nilai demokratis hendaknya dibina dalam program persekolahan dan menjadi tujuan fundamental dari program-program persekolahan. Implikasinya nilai demokratis hendaknya menjadi acuan dalam desain penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran di sekolah.

(15)

10 Nilai moral demokrasi yang semestinya dibina dan dikembangkan dalam dunia persekolahan dalam perspektif Pendidikan Umum/Nilai tidaklah berdiri sendiri. Nilai moral demokrasi sendiri terdiri beberapa unsur nilai moral. Nilai moral demokrasi menurut Unesco-Apnieve (1998:12) adalah terdiri dari Respect for Law and Order, Discipline, Respect for Authority, Mutual trust.

Dalam prinsip-prinsip untuk pendidikan karakter, maka salah satu prinsipnya adalah prinsip disiplin diri (self discipline), yang terdiri dari nilai-nilai kebulatan tekad (determination), kepatuhan (obedience), dan pengendalian (restraint), “ When we have the determination to restraint our lower desires, the door is opened for us to fulfill our highest aspirations. Through obedience to our higher self, we develop an inner control and greater confidence on ourselves” . (www.teachingvalues.com; 9 Juli 2009). Tekad seseorang untuk mengendalikan hasrat-hasrat yang lebih rendah, akan terbuka bagi pemenuhan aspirasi-aspirasinya yang tertinggi. Salah satunya adalah melalui kepatuhan terhadap diri yang lebih tinggi, mengembangkan kontrol diri dan kepercayaan yang lebih besar terhadap diri sendiri. Untuk mengembangkan kontrol diri dan kepercayaan, lebih dulu perlu dibentuk dan dibina nilai moral kepatuhan.

(16)

11 memasukkan kepatuhan kepada otoritas yang sah (obedience to legitimate authority) ke dalam salah satu indikator dari karakter Hormat (Respectful).

Kepatuhan selain menjadi dasar bagi pengembangan kontrol diri dan sebagai karakter moral yang perlu diajarkan kepada peserta didik, juga merupakan indikator dari karakter warga negara demokratis, dan kepatuhan menurut Rengka (1996, http://www.suara pembaharuan.com. 20 Mei 2010) adalah ciri kehidupan manusia di negara modern. Yudhoyono (http://antikorupsi.org. 21 September 2009) mengemukakan bahwa kepatuhan kepada nilai-nilai agama, moral, dan norma-norma hukum harus dikembangkan.

(17)

12 2009: 12). Dapat dikatakan bahwa secara nasional ketidakpatuhan di kalangan anak muda terhadap norma agama, norma sosial (kesusilaan dan kesopanan), dan norma hukum hampir terjadi di semua lini kehidupan. Fakta-fakta yang mendukung hampir dapat dijumpai setiap hari di massmedia, baik media cetak maupun media televisi.

Secara nasional, jumlah kenakalan remaja (bolos sekolah, keluyuran di mall-mall, tempat wisata, halte bis, mabuk-mabukan, pemerasan, pemalakan, “ngutil” [mencuri di mall-mal atau toko kelontong], perkosaan, pekerja seks komersial, pelanggaran lalu lintas, penggunaan obat terlarang, menjadi anak jalanan, dan sebagainya) selama tiga tahun terakhir dari tahun 1998-2001 mengalami kenaikan sekitar 9% dari 166.669 orang menjadi 181.561 orang (Tajri, 2009:5). Dari jumlah tersebut, 85.331 orang (sekitar 47%) di antaranya terpaksa ditahan atau menjalani rehabilitasi di sasana rehabilitasi, karena perbuatan melawan hukum. Menurut pantauan, jumlah kenaikan terus bertambah setiap tahun sekitar 3,5% (Tadjri, 2009:5).

Survei Badan Narkotik Nasional (BNN) tahun 2003 memperkirakan mereka yang pernah memakai NAZA di kelompok pelajar dan mahasiswa sekitar 5,8%, sedangkan yang pernah memakai dalam setahun terakhir sebesar 3,9%. Prevalensi pada laki-laki 4,6% jauh lebih tinggi dari pada perempuan, yaitu sebanyak 0,4%. Prevalensi penyalahgunaan NAZA lebih tinggi pada pendidikan SLTA ke atas dibandingkan pendidikan yang lebih rendah (Puslitbang dan Info Lakhar BNN, 2007).

(18)

13 Lalu Lintas profesi mahasiswa/pelajar menduduki peringkat ke dua dengan jumlah pelaku sebesar 12.298 kejadian di bawah urutan profesi lain-lain sebesar 37.764 kejadian. Sementara di Kalimantan Selatan pelaku Kecelakaan Lalu Lintas profesi mahasiswa/pelajar menduduki peringkat pertama dengan jumlah 179 kejadian (Kementerian Pemuda dan Olahraga, 2009: 67-68).

Tingkat gangguan kamtibnas pelanggaran lantas berdasarkan laporan dari Mabes Polri tahun 2008 juga memperlihatkan tingkat yang cukup memprihatinkan, di mana pelanggaran lantas profesi mahasiswa/pelajar menduduki peringkat ke tiga dengan jumlah pelanggar sebesar 557.507 kejadian. Sementara pelaku gangguan kamtibnas pelanggaran lantas di Kalimantan Selatan, profesi mahasiswa/pelajar ternyata menduduki peringkat pertama dengan jumlah 38.998 kejadian (Kementerian Pemuda dan Olahraga, 2009: 69,71).

(19)

14 Di SMA KORPRI data ketidakpatuhan peserta didik terhadap norma ketertiban di sekolah dapat dilihat pada data dalam tahun 2009/2010, yang memuat kasus-kasus yang banyak dilanggar dalam aspek kerajinan, aspek kelakuan dan sikap, aspek kerapian, dan aspek ketertiban.

Ketidakpatuhan dari aspek kerajinan peserta didik adalah pelanggaran berupa terlambat hadir ke sekolah untuk kelas X, sebanyak 107 kasus (72,2%), tidak hadir ke sekolah tanpa kabar pada hari lainnya, sebanyak 50 kasus (33,7%), tidak mengerjakan PR/tugas yang diberikan guru mata pelajaran, sebanyak 16 kasus (10,8%), dan keluar tanpa ijin dari kelas dan kembali masuk kelas, sebanyak 12 kasus (8,1%). Pelanggaran yang dilakukan oleh peserta didik kelas XI, berupa terlambat hadir ke sekolah, sebanyak 77 kasus (68,7%), tidak hadir ke sekolah tanpa kabar pada hari lainnya, sebanyak 71 kasus (63,3%), keluar tanpa ijin dari kelas dan kembali masuk kelas, sebanyak 15 kasus (13,3%), dan terlambat masuk ke dalam kelas dari guru yang mengajar di kelas tersebut, sebanyak 9 kasus (8%). Sementara pelanggaran yang dilakukan peserta didik kelas XII adalah 67 kasus (68,3%) terlambat hadir ke sekolah, 39 kasus (39,7%).

(20)

15 Ketidakpatuhan dari aspek kelakuan dan sikap ditunjukkan peserta didik kelas X dalam bentuk mengaktifkan, menggunakan, memainkan HP di lingkungan sekolah pada saat jam belajar, gurunya ada maupun tidak ada, sebanyak 23 kasus (15,5%), mengonsumsi/mengedarkan obat/minuman terlarang, sebanyak 17 kasus (11,4%), berjudi di lingkungan sekolah, sebanyak 11 kasus (7,4%), berada di kantin pada jam belajar, sebanyak 10 kasus (6,7%). Sementara pelanggaran peserta didik kelas XI adalah mengonsumsi/mengedarkan obat/minuman terlarang, sebanyak 9 kasus (8%), tidak menghormati/menghargai guru pada waktu di sekolah dan proses belajar mengajar di kelas, sebanyak 7 kasus (6,2%), mengaktifkan, menggunakan, memainkan HP di lingkungan sekolah pada saat jam belajar, gurunya ada maupun tidak ada, sebanyak 6 kasus (15,5%), berada di warung/di kantin pada jam belajar dan berkelahi dengan tangan kosong satu lawan satu, masing sebanyak 4 kasus (3,5%). Pelanggaran yang dilakukan peserta didik kelas XII adalah mengonsumsi/mengedarkan obat/minuman terlarang sebanyak 10 kasus (10,2%), membawa rokok, korek api/mancis ke sekolah, sebanyak 6 kasus (6,1%), mengaktifkan, menggunakan, memainkan HP di lingkungan sekolah pada saat jam belajar, gurunya ada maupun tidak ada dan mengisap rokok pagi/sore di lingkungan sekolah, masing-masing sebanyak 3 kasus (3,1%).

(21)

16 sebanyak 14 kasus (3,9%), berjudi di lingkungan sekolah, sebanyak 11 kasus (3,1%), tidak menghormati/menghargai guru pada waktu di sekolah dan proses belajar mengajar di kelas, sebanyak 7 kasus (1,9%).

Ketidakpatuhan peserta didik dalam aspek kerapian adalah pelanggaran peserta didik kelas X berupa tidak memakai kaos kaki, sepatu puteri hak tinggi, sebanyak 17 kasus (11,5%), masing-masing sebanyak 6 kasus (4,1%) tidak memakai badge lokasi sekolah pada hari biasa dan pada hari Senin, serta masing-masing sebanyak 5 kasus (3,4%) memakai seragam tidak sesuai dengan aturan sekolah dan saat upacara tidak memakai seragam lengkap. Sementara ketidakpatuhan peserta didik kelas XI adalah berupa tidak memakai kaos kaki, sepatu puteri hak tinggi, sebanyak 8 kasus (7,1%), tidak memakai dasi, jilbab sejak dari rumah, sebanyak 4 kasus (3,5%), dan masing-masing sebanyak 3 kasus (2,6%) baju tidak dimasukkan ke dalam celana/rok sesuai ketentuan dan tidak memakai busana muslim ke sekolah/pakaian olah raga pada hari yang ditentukan. Bentuk pelanggaran yang dilakukan peserta didik kelas XII adalah tidak memakai kaos kaki, sepatu puteri hak tinggi, sebanyak 12 kasus (12,2%), tidak memakai dasi, jilbab sejak dari rumah, sebanyak 6 kasus (6,1%), memakai seragam tidak sesuai aturan sekolah, sebanyak 3 kasus (3,1%) dan tidak memakai badge/lokasi sekolah pada hari biasa, sebanyak 2 kasus (2%).

(22)

17 tidak memakai badge/lokasi sekolah pada hari Senin, sebanyak 6 kasus (1,6%), dan upacara tidak memakaiseragam lengkap sebanya 5 kasus (1,3%).

Ketidakpatuhan peserta didik terhadap aspek ketertiban, untuk kelas X berupa tiak mengikuti upacara/kegiatan resmi sekolah, sebanyak 37 kasus (25%) dan merusak, menghilangkan, menyimpan benda milik orang lain, sebanyak 3 kasus (2%). Sementara peserta didik kelas XI melakukan pelanggaran berupa bermain bola di dalam kelas, sebanyak 3 kasus (2,6%). Pelanggaran yang dilakukan peserta didik kelas XII adalah 26 kasus (26,5%) tidak mengikuti upacara/kegiatan resmi sekolah, bermain bola di dalam kelas, sebanyak 8 kasus (7,1%), tidak tertib waktu mengikuti upacara/acara resmi sebanyak 3 kasus (3%), dan membawa benda bacaan yang tidak berhubungan dengan pelajaran (bacaan biasa) sebanyak 2 kasus (2%). Secara keseluruhan dari kasus-kasus pelanggaran aspek ketertiban yang banyak dilakukan oleh peserta didik dibanding dengan jumlah seluruh peserta didik di SMA KORPRI yang berjumlah 358 orang, maka kasus yang paling banyak tidak mengikuti upacara/kegiatan resmi sekolah sebanyak 63 kasus (17,5%), bermain bola di dalam kelas, 11 kasus (3%), tidak tertib waktu mengikuti upacara/acara resmi sebanyak 3 kasus (0,8%), dan membawa benda bacaan yang tidak berhubungan dengan pelajaran (bacaan biasa) sebanyak 2 kasus (0,5%).

(23)

18 menumbuhkan pertanyaan, seperti apakah pembinaan kepatuhan yang dilakukan sekolah terhadap peserta didik, sehingga nampak lebih mematuhi norma ketertiban di sekolah? Selain itu melahirkan pertanyaan model pembinaan apakah yang digunakan sekolah ?

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang dan permasalahan yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah yang akan diteliti dirinci dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian:

Pertama, bagaimanakah keberadaan pembinaan kepatuhan peserta didik terhadap norma ketertiban di SMA KORPRI Banjarmasin?

Kedua, bagaimanakah proses pembinaan kepatuhan terhadap norma ketertiban yang dilakukan guru di SMA KORPRI Banjarmasin?

Ketiga, bagaimanakah model pembinaan kepatuhan yang ditemukan di sekolah dan pengembangan model alternatif pembinaan kepatuhan terhadap norma ketertiban dalam upaya menyiapkan warga negara demokratis ?

C. Tujuan Penelitian 1. Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menemukan model awal pembinaan kepatuhan di sekolah dan pengembangan model alternatif pembinaan kepatuhan terhadap norma ketertiban di sekolah sebagai upaya menyiapkan warga negara demokratis.

2. Khusus

Secara khusus tujuan penelitian ini untuk memperoleh :

(24)

19 b. Proses pembinaan kepatuhan yang dilakukan guru terhadap peserta didik dalam pembelajaran norma ketertiban di sekolah terdiri dari komponen tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, dan evaluasi yang digunakan.

c. Menemukan model awal pembinaan kepatuhan dari hasil potret keberadaan dan proses pembinaan kepatuhan peserta didik terhadap norma ketertiban di sekolah.

d. Pengembangan model alternatif pembinaan kepatuhan terhadap norma ketertiban dalam upaya menyiapkan warga negara demokratis diperoleh melalui model awal pembinaan kepatuhan yang dilakukan di sekolah, kemudian dianalisis karakteristik, kekuatan dan kelemahan, sehingga menghasilkan model alternatif.

D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis

Memberikan kontribusi berupa model pembinaan kepatuhan terhadap norma ketertiban sekolah di lapangan dan model alternatif dari kajian empiris dan teoritis serta validasi para praktisi dan para ahli, sebagai bagian dari upaya menyiapkan warga negara demokratis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam perspektif Pendidikan Umum, khususnya Pendidikan Nilai.

2. Praktis a. Sekolah

(25)

20 didik kepada norma sebagai bagian kecil dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam lingkungan sekolah.

2) Menjadi pembuka wawasan dan solusi alternatif untuk model pembinaan kepatuhan peserta didik kepada norma sekolah bagi sekolah-sekolah lainnya, dan dijadikan landasan bagi Pendidikan Umum/Nilai, khususnya karakter moral dan untuk pembinaan kepatuhan kepada norma ketertiban sekolah.

b. LPTK

Penelitian ini dapat menjadi masukan untuk restrukturisasi kurikulum di program studi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), yakni memasukkan secara khusus mata kuliah Pendidikan Nilai atau Pendidikan Karakter.

c. Masyarakat

Hasil penelitian ini, diharapkan menjadi referensi dalam melakukan pembinaan kepatuhan terhadap norma-norma keluarga bagi anak-anak di rumah dalam kehidupan berkeluarga, norma-norma bernegara bagi warga negara dalam kehidupan bernegara, norma-norma bermasyarakat bagi warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat dan norma-norma bangsa untuk anak bangsa dalam kehidupan berbangsa, sudah saatnya berubah dari pembinaan yang berbasis pada dominasi nilai kekerasan, kekuasaan, otoritas dan tradisional semata, kepada nilai-nilai yang berbasis demokrasi, manusiawi dan holistik.

E. Metode Penelitian

(26)

21 pustaka, persiapan teknis prosedural dan psikologis, serta studi lapangan. Kemudian tahap penyusunan model awal temuan di lapangan. Selanjutan tahap pengembangan model alternatif yaitu analisis terhadap model awal berbasis kajian teoritis untuk menelaah karakteristik, keunggulan dan mengeliminasi kekurangannya, serta solusinya, dan dilakukan validasi model, melalui uji rasional (logical construct) terhadap materi model (content construct) oleh guru dan praktisi pendidikan, para pembimbing dan penguji. Tahap terakhir adalah tahap perumusan model pembinaan kepatuhan terhadap norma ketertiban sebagai upaya menyiapkan warga negara demokratis di sekolah.

F. Lokasi Penelitian

(27)

122 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Penjelasan Istilah 1. Pengembangan Model

Pengembangan dimaknai sebagai proses, cara, perbuatan mengembangkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, 2005). Pengembangan berarti suatu proses mengembangkan dari sesuatu yang ada sebelumnya menjadi lebih atau berbeda sesuai dengan maksud dan tujuan dari proses pengembangan itu. Model secara umum dimaknai paling tidak dalam dua pengertian, yaitu: (1) pola (contoh, acuan, ragam dsbnya) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan, dan (2) barang tiruan yang kecil dengan bentuk (rupa) persis seperti yang ditiru (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, 2005).

Model adalah representasi diperkecil dari suatu benda atau suatu keadaan yang dimaksudkan untuk menggambarkan, menjelaskan, atau menemukan sifat-sifat bentuk aslinya. Model diartikan sebagai representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari kondisi masalah yang disusun untuk tujuan-tujuan tertentu. Model dapat membantu membedakan hal-hal yang esensial dan yang tidak esensial dari situasi masalah. Model juga merupakan alat artifisial untuk menyusun secara imajinatif dan menginterpretasikan pengalaman seseorang mengenai sesuatu masalah (Ishak, 2000:11).

(28)

123 kita memahami dan mempraktekkan pendidikan moral (Hersh, Miller dan Fielding, 1980: 7).

Pengembangan model adalah proses mengembangkan suatu model pembinaan kepatuhan peserta didik terhadap norma sekolah yang sudah ada menjadi model alternatif yang sesuai dengan upaya untuk menyiapkan warga negara demorakratis.

2. Pembinaan Kepatuhan

a. Secara konseptual pembinaan adalah terdiri dari empat unsur pengertian, pertama, pembinaan itu adalah suatu upaya atau usaha melalui tindakan, proses atau pernyataan dari suatu tujuan. Kedua, menunjukkan kegiatan berupa penyampaian informasi dan pengetahuan, pengarahan dan bimbingan, latihan dan pengembangan kecakapan, keterampilan dan pengembangan sikap, sehingga menghasilkan perubahan dari individu maupun kolektif. Ketiga, menunjukkan ke arah kemajuan berupa pertumbuhan, perbaikan, peningkatan, pembaharuan, pengembangan dan penyempurnaan atas sesuatu. Keempat, ada prosedur dan proses evaluasi yang dilakukan terhadap upaya pembinaan. Keempat unsur pengertian itu dalam perspektif pembinaan kepatuhan terhadap norma sekolah adalah berupaya mewujudkan kepatuhan peserta didik sebagai warga negara yang demokratis.

(29)

124 keyakinan-keyakinan bahwa masyarakat sekolah merupakan tatanan moral yang semestinya dipatuhi.

c. Kepatuhan adalah tindakan yang lebih menekankan posisi kepatuhan pribadi dalam berhubungan dengan otoritas dan orang lain dalam kehidupan sosial baik sebagai kebajikan moral maupun sumber kewajiban moral. Dalam perspektif demokrasi, maka kepatuhan bermakna multidimensional, yaitu kepatuhan (konstruktif-inklusif dan destruktif-ekslusif) dan ketidakpatuhan (kontruktif-prososial dan desktruktif-antisosial) yang berperan dalam mendukung dimensi ideologis demokrasi.

3. Norma Ketertiban

Norma ketertiban adalah aturan-aturan yang mengatur perilaku peserta didik di sekolah sebagai aturan main dalam bentuk peraturan, ketetapan dan hukum yang tertulis, yang bersifat operasional, dan memiliki sanksi, untuk menilai tindakan dan kelompok, dan standar yang menentukan apa yang benar dan apa yang salah, tepat dan tidak tepat, adil dan tidak adil maupun baik dan buruk dalam hubungan sosial peserta didik, dalam bentuk tata tertib sekolah.

4. Warga Negara Demokratis

(30)

125 sosialisasi, internalisasi dan personalisasi. Kepatuhan peserta didik pada norma ketertiban sekolah adalah bagian dari indikator karakter warga negara demokratis dalam konteks persekolahan, miniatur kehidupan warga negara dalam bermasyarakat, bernegara dan berbangsa.

B. Pendekatan dan Metode Penelitian

Pelaksanaan penelitian menggunakan penelitian pengembangan (Development Research) berbasis pendekatan kualitatif (jenisnya) atau naturalistik (prosesnya) dengan tipe penelitian studi kasus (observational case studies), dan secara deskriptif analitik, berupaya menggambarkan keadaan yang sedang berlangsung pada saat penelitian dilakukan berdasarkan fakta yang ada, dengan kajian yang mendalam dan terfokus. Penggunaan penelitian naturalistik-kualitatif menurut Lincoln dan Guba (1985:37), adalah pertama, realitas yang ada pada dasarnya bersifat ganda, terkonstruksi dan holistik; kedua, antara orang yang mengetahui dan yang diketahui bersifat interaktif dan tak terpisahkan; ketiga, hanya waktu dan konteks yang memungkinkan berkaitan dengan kerja; keempat, semua entitas yang ada dalam kondisi saling simultan, sehingga hampir-hampir tidak mungkin antara sebab dengan akibat; dan kelima, penelitian pada dasarnya tidak bebas nilai.

Menurut Wahyu (2010: ii-iii) untuk melakukan penelitian dalam penelitian kualitatif terdapat beberapa metode penelitian. Metode-metode penelitian untuk penelitian kualitatif itu adalah metode penelitian grounded theory, fenomenologi, etnometodologi, etnografi, dramaturgi, interaksi simbolik, hermeneutik, konstruksi sosial, dan analisis wacana. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode fenomenologi.

(31)

126 dari beberapa definisi tentang penelitian kualitatif, yaitu penelitian untuk memahami fenomena yang dialami subjek penelitian secara holistik dengan cara deskripsi pada suatu konteks khusus alamiah dan menggunakan berbagai metode ilmiah. Selain itu landasan teoritis dari penelitian kualitatif bertumpu secara mendasar pada fenomenologi.

Fenomenologi mempunyai beberapa arti berdasarkan perspektif masing-masing si pemberi arti. Karenanya terdapat beberapa arti dari fenomenologi (Moleong, 2007:14-15) yaitu; 1) pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenologikal, 2) suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang, 3) anggapan umum untuk menunjuk pada pengalaman subjektif dari berbagai jenis dan tipe subjek yang ditemui, dan 4) dalam arti yang lebih khusus, mengacu pada penelitian terdisiplin tentang kesadaran dari perspektif pertama seseorang.

Dengan demikian fenomenologi pada intinya adalah metode dalam penelitian kualitatif yang ingin memahami bagaimana dunia muncul kepada orang lain, dengan menyelidiki pengalaman kesadaran. Karena para fenomenolog berasumsi bahwa kesadaran bukanlah dibentuk karena kebetulan dan dibentuk oleh sesuatu hal lainnya daripada dirinya sendiri, kesadaran menciptakan ‘dunia’ yang dialami oleh setiap orang. Karenanya analisis fenomenologis berusaha mencari untuk menguraikan ciri-ciri ‘dunianya’, berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi-situasi tertentu (Moleong, 2007:16-17), juga memahami pemahaman informan terhadap fenomena yang muncul dalam kesadarannya, serta fenomena yang dialami oleh informan dan dianggap sebagai entitas sesuatu yang ada dalam dunia (Wahyu, 2010:2).

(32)

127 menggambarkan secara detil tentang bagaimana kesadaran berjalan dengan sendirinya. Karenanya peneliti harus masuk dalam pikiran informan, membuka selubung praktik yang digunakan informan dalam kehidupan sehari-hari, dan merekam kondisi sosial sehingga memungkinkan peneliti mendemonstrasikan tentang cara yang dilakukan informan, dengan menggunakan metode-metode kualitatif seperti pengamatan partisipan, wawancara mendalam, melakukan analisis kelompok kecil, dan memahami keadaan sosial (Wahyu, 2010:2-3).

C. Langkah-langkah Penelitian

Penelitian dilakukan dengan maksud ingin melakukan pengembangan model alternatif pembinaan kepatuhan terhadap norma ketertiban di sekolah sebagai upaya menyiapkan warga negara demokratis, yakni dengan cara menemukan model pembinaan di sekolah sebagai model awal, kemudian dari model awal dikembangkan model alternatif. Dengan demikian model yang dihasilkan adalah model yang didasari oleh model awal dan diperkaya dengan kajian teori, konseptual, normatif dan keilmuan.

Untuk menemukan model awal dan pengembangan model alternatif pembinaan, maka langkah-langkah penelitian yang dilakukan diinspirasi oleh 10 langkah penelitian Borg dan Gall (1989), namun dimodifikasi karena petimbangan keterbatasan waktu menjadi empat tahapan proses penelitian dan pengembangan yang terdiri dari beberapa tahap, yakni :

(33)

128 Studi pustaka dilakukan untuk mencari landasan konseptual, normatif dan teoritis bagi model pembinaan kepatuhan terhadap norma ketertiban sebagai upaya menyiapkan peserta didik menjadi warga negara yang demokratis di sekolah. Landasan konseptual, normatif dan teoritis yang disusun digunakan sebagai landasan untuk menelaah pembinaan yang dilaksanakan di sekolah sebagai model awal, kemudian dianalisis kelemahan dan kekurangannya, untuk dikemudian berdasarkan landasan konseptual, normatif dan teoritis dikembangkanlah model alternatif pembinaan.

Persiapan teknis prosedural dan psikologis dilakukan dengan cara peneliti mengadakan persiapan-persiapan, antara lain yang berkaitan dengan surat permohonan ijin penelitian, perangkat alat tulis, peralatan dokumentasi peristiwa (potret dan alat perekam), catatan dan konsep serta panduan. Tujuan dari persiapan ini adalah untuk memperoleh ijin penelitian dari pimpinan yang berwenang, dan memperoleh gambaran umum tentang situasi dan kondisi sekolah, serta menyiapkan “good rapport” dengan pimpinan sekolah, guru dan peserta didik.

(34)

129 Kedua, tahap penyusunan model awal, yaitu peneliti melakukan pengembangan model yang ditemukan di lokasi penelitian. Model ini dikembangkan bersama dengan kepala sekolah, wakil kepala sekolah, para guru, dan siswa di SMA KORPRI Banjarmasin melalui diskusi terbatas.

Ketiga, tahap validasi model, yaitu peneliti melalui uji rasional (logical construct) terhadap materi model (content construct) melalui beberapa kegiatan. Kegiatan pertama, sosialisasi dengan kepala sekolah, wakil-wakil kepala sekolah, wali kelas dan guru Bimbingan Konseling SMA KORPRI Banjarmasin; Kegiatan kedua, sosialisasi dengan para guru dan peserta didik SMA KORPRI Banjarmasin; Kegiatan ketiga, sosialisasi dengan Orang tua peserta didik dan Yayasan SMA KORPRI Banjarmasin; Kegiatan keempat Seminar Propinsi dengan para praktisi pendidikan di Kandangan; dan Kegiatan kelima, Seminar Nasional dengan para praktisi pendidikan dan pakar pendidikan di Banjarmasin. Kegiatan keenam, diskusi dengan para pembimbing dan para pakar pendidikan umum/nilai.

Keempat, tahap perumusan hasil. Dari beberapa kegiatan uji rasional ini dilakukan revisi model penyempurnaan pembinaan kepatuhan sesuai dengan saran dan masukan dari diskusi terutama masukan dari para pembimbing. Setelah itu, dirumuskan model pembinaan kepatuhan terhadap norma ketertiban sebagai upaya menyiapkan warga negara demokratis di sekolah.

(35)

130 Bagan 3.1

Langkah-langkah dan Tahap-tahap Penelitian Berbasis Pengembangan Model

1.PENDAHULUAN 2.PELAKSANAAN 3.VALIDASI

STUDI PUSTAKA

STUDI LAPANGAN

PENYUSUNAN MODEL

AWAL

DISKUSI TERBATAS; Peneliti, Kepsek, Wakasek, guru dan

siswa

4. HASIL

MODEL ALTERNATIF; PERSIAPAN

PROSEDURAL PSIKOLOGIS

Kredibilitas

Depandabilitas

Transferabilitas

(36)

131 D. Lokasi dan Subyek Penelitian

Lokasi penelitian adalah SMA KORPRI Banjarmasin, yang dipilih berdasarkan kriteria (based criteria selection), yaitu :

a. Reputasi sekolah:

1) Salah satu sekolah swasta yang dikategorikan berhasil dalam mengembangkan kepatuhan peserta didik terhadap norma sekolah sebagai basis dari perilaku disiplin di Kalimantan Selatan. Sebagaimana dilakukan The Phi Delta Kappa Commission on Discipline (Wayson, 1982:2) menetapkan subjek sekolah sebagai lokasi penelitian adalah mengidentifikasi sekolah-sekolah yang mempunyai reputasi disiplin yang baik.

2) Beprestasi sebagai SMA Terbaik se Kalimantan Selatan dalam hal Kebersihan, termasuk SMA Berprestasi dengan Akreditasi “Baik”.

3) Menunjukkan beberapa prestasi akademik dan non-akademik yang relatif menonjol dibanding SMA Swasta lainnya di Kalimantan Selatan, khususnya di Banjarmasin, bahkan dalam prestasi tertentu dalam menyaingi SMA di lingkungan Banjarmasin Utara.

(37)

132 5) Satu-satunya SMA swasta di Kalimantan Selatan yang dipercaya melaksanakan

Kantin Kejujuran.

b. Kemudahan dan keramahan, hal demikian juga dilakukan oleh Lighfoot (1983:11) dalam menentukan lokasi penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif.

Subyek penelitian adalah Kepala sekolah, Wakil Kepala sekolah bidang kesiswaan dan guru serta siswa yang terkait dengan pembinaan kepatuhan peserta didik terhadap norma ketertiban sekolah.

E. Sumber Data

Menurut Moleong (2007:157-158) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Dengan demikian sumber data dapat dibagi ke dalam dua sumber, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

Sumber data primer berupa kata-kata dan tindakan yang diperoleh dari situasi yang terjadi di lingkungan sekolah, baik dari pimpinan sekolah, para guru dan peserta didik yang berkaitan dengan pembinaan kepatuhan terhadap norma ketertiban. Kata-kata dan tindakan dari subyek atau informan penelitian baik dari observasi dan wawancara merupakan sumber utama. Sumber utama dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekam (handycamera), pengambilan foto, atau film.

(38)

133 F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data terpenting adalah peneliti sendiri sebagai pengumpul data penelitian, karena menurut Hadisubroto (1988:10), alat pengumpul data yang paling tepat dalam penelitian kualitatif adalah manusia. Teknik pengumpulan data yang lain adalah menggunakan teknik observasi, wawancara, dan studi dokumenter.

Observasi dilakukan dengan menggunakan panduan observasi, baik secara pasif maupun terlibat langsung dilaksanakan di luar dan di dalam kelas, terhadap segala bentuk kata-kata dan tindakan yang dilakukan pimpinan sekolah dan guru terhadap peserta didik dalam membina kepatuhan terhadap norma ketertiban.

Wawancara dilakukan secara bervariasi dan melihat momen, kapan, di mana dan bagaimana wawancara dilakukan secara informal. Wawancara dilakukan dengan menggunakan petunjuk umum wawancara dan wawancara baku terbuka. Wawancara mendalam dilakukan terhadap kepala sekolah dan wakil kepala sekolah urusan kesiswaan, guru dan peserta didik yang menjadi informan. Wawancara tambahan juga dilakukan kepada guru dan peserta didik yang kebetulan berinteraksi pada saat terjadinya ketidakpatuhan terhadap norma ketertiban.

Studi dokumenter dilakukan terhadap dokumen-dokumen tertulis yang berkaitan dengan pembinaan kepatuhan terhadap norma ketertiban, seperti tata tertib sekolah, buku kasus peserta didik, jurnal pelaksaan Bimbingan Konseling sekolah dan foto-foto.

G. Pengujian Keabsahan Data

(39)

134 Kredibilitas adalah kegiatan untuk memeriksa keabsahan data sampai seberapa jauh tingkat kepercayaannya melalui (Wahyu, 2009:77-81; Nasution, 1992:114) :

1. Member check adalah kegiatan informan memeriksa kembali catatan lapangan yang peneliti berikan, baik berupa hasil observasi maupun wawancara, agar data tentang pembinaan kepatuhan peserta didik terhadap norma ketertiban di sekolah yang diberikan menjadi lebih sesuai dengan apa yang dimaksud oleh informan. Setelah diperiksa, diperbaiki, ditambah dan dikurangi, kemudian ditandatangani informan.

2. Triangulasi merupakan proses mencek kebenaran suatu informasi dengan menggali informasi tersebut dari berbagai pihak dengan beberapa cara, dengan tujuan untuk melakukan verifikasi atau konfirmasi informasi. Sehingga menurut Wahyu (2009) terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data dan triangulasi waktu. Triangulasi sumber adalah berkenaan dengan upaya untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Triangulasi teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik berbeda. Sementara triangulasi waktu dilakukan, karena waktu saat pengumpulan sering mempengaruhi kredibilitas data yang dikumpulkan. Untuk itu data yang dikumpulkan perlu dicek lagi dengan cara melakukan lagi wawancara, observasi atau teknik lainnya, sehingga diperoleh kepastian datanya.

(40)

135 data yang diperoleh. Perpanjangan pengamatan dibuktikan dengan surat keterangan perpanjangan dan dilampirkan dalam laporan penelitian.

4. Analisa Kasus Negatif adalah kasus yang tidak sesuai atau berbeda dengan hasil penelitian hingga pada saat tertentu. Melakukan analisis kasus negatif berarti peneliti mencari data yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan data yang telah ditemukan. Bila tidak ada lagi data yang berbeda atau bertentangan dengan temuan, berarti data yang ditemukan sudah dapat dipercaya.

5. Menggunakan Bahan Referensi adalah untuk mendukung pembuktian data yang telah ditemukan oleh peneliti. Data hasil wawancara tentang pembinaan kepatuhan peserta didik terhadap norma ketertiban di sekolah juga didukung oleh rekaman tulisan maupun rekaman audio wawancara. Data tentang kegiatan penataan situasi fisik dan sosial-emosional yang memuat interaksi guru, peserta dan situasi didukung foto-foto. Hal demikian dapat terlaksana karena dibantu juga dengan alat-alat bantu perekam data seperti kamera, handycam, alat rekam suara sangat diperlukan untuk mendukung kredibilitas data yang dikumpulkan.

Transferabilitas berhubungan dengan sejauhmana hasil penelitian dapat dialihkan pada situasi lain, atau suatu temuan penelitian berpeluang untuk dialihkan pada konteks lain, manakala ada kesamaan karakteristik antara situasi penelitian dengan situasi penerapan. Implikasinya, peneliti bertanggungjawab untuk menyediakan data deskriptif tentang situasi penelitian tentang pembinaan kepatuhan yang dilakukan sekolah secara utuh, menyeluruh, lengkap, mendalam dan rinci.

(41)

136 perubahan, karena manusia sebagai instrumen dapat menurun perhatian dan ketajaman pengamatannya serta dapat membuat kekhilafan dan kesalahan. Penelitian yang dilakukan telah dilakukan telaah secara mendalam tentang kebenaran pembinaan kepatuhan peserta didik terhadap norma ketertiban di sekolah, dan dibenarkan oleh pihak lain, baik pihak yang diteliti maupun tim pembimbing dan para penguji.

Sementara konfirmabilitas berkaitan dengan kenetralan atau netralitas. Netralitas mengandung aspek kuantitatif, yakni bergantung pada jumlah orang yang membenarkan atau mengkonfirmasikannya. Netralitas berarti bermakna objektivitas-subjektivitas. Objektivitas merupakan suatu kesesuaian inter-subjektif. Netralitas juga mengandung aspek kualitatif, karena kebenaran suatu data dapat juga dibenarkan atau dikonfirmasi oleh orang lain. Jadi defendabilitas dan konfirmabilitas adalah berhubungan dengan konsistensi dan kenetralan data yang kebenarannya tergantung pada konfirmasi orang lain. Hasil penelitian telah dikonfirmabalitas kepada berbagai pihak. Kegiatan pertama, sosialisasi dengan kepala sekolah, wakil-wakil kepala sekolah, wali kelas dan guru Bimbingan Konseling SMA KORPRI Banjarmasin; Kegiatan kedua, sosialisasi dengan para guru dan peserta didik SMA KORPRI Banjarmasin; Kegiatan ketiga, sosialisasi dengan Orang tua peserta didik dan Yayasan SMA KORPRI Banjarmasin; Kegiatan keempat Seminar Propinsi dengan para praktisi pendidikan di Kandangan; dan Kegiatan kelima, Seminar Nasional dengan para praktisi pendidikan dan pakar pendidikan di Banjarmasin. Kegiatan keenam, diskusi dengan para pembimbing dan para pakar pendidikan umum/nilai

(42)

137 1. Data mentah yang meliputi material rekaman, catatan lapangan yang telah di-member

check informan, dokumen dan foto-foto

2. Reduksi data yang meliputi ringkasan dalam bentuk rangkuman dan konsep

3. Catatan proses yang digunakan, yaitu metode, disain dan strategi agar penelitian dapat dipercaya.

H. Analisis Data

(43)

417 Bagan.4.2

MODEL PEMBINAAN KEPATUHAN PESERTA DIDIK TERHADAP NORMA KETERTIBAN DI SEKOLAH DALAM MENYIAPKAN WARGA NEGARA DEMOKRATIS; Model Berbasis Moral Sosiologis Multidimensional

SEKOLAH

PROGRAM PROSES TINDAK LANJUT PEMBINAAN

(44)

terma-427 DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an

Apriana, Bonita Fajar, (2009). Pengaruh Kondisi Keluarga dan Lingkungan Sekolah terhadap Peningkatan Kepatuhan akan Tata Tertib Sekolah pada Siswa Kelas VII SMP Tunas harapan Bandar Lampung tahun pelajaran 2005/2006. Skripsi FKIP Univ Lampung. (Online). Tersedia: http://skripsi.unila.ac.id/2009/07/31. [26 Maret 2009].

Apple and Beane.(1996). (Online). Tersedia:http//k20porta;.ou.edu/university. [24 Juni 2009] Arnett, Jeffrey, (1995;), Broad and Narrow Socialization; The Family in the Context of a

Cultural Theory. Journal of Marriage and the Family.57.p. 617-628.

Araujo. Ulisses. (2002). Democracy, Education and the Construction of the Moral Self. Paper 28th Annual Conference of the Association for Moral Education. Chicago. Nopember.2002. (Online). Tersedia: www.uspleste.usp.br.pdf.[14 Juli 2009].

Bakti, Ikrar Nusa. (2006). Negara Demokratis Berciri Dukungan Rakyat. Kamis, 5 Oktober 2006. (Online). Tersedia: http://www/lipi/go.id. [10 Januari 2010].

Balitbangda Propinsi Jawa Tengah .(2004). Kepatuhan dalam Proses Belajar. (Online). Tersedia: http://litbang.patikab.go.id/home/modules.php?op=modload&name =News &file=article&sid=14. [11 Juni 2009].

Barr, Jason. J. (2007). A Nationwide Studi of How Democracy is Implemented in Schools. Journal of Education and Human Development. ISSN 1934-7200. Volume 1, Issue 2, 2007. (Online). Tersedia: www.scientificjournal.org.pdf [18 Februari 2010].

Bertrand, Alvin.L. (1975). Social Organization, A General System and Role Theory Perspective. Bogor: Dipergunakan intern-IPB. Bagian Sosiologi Pedesaan dan Penyuluhan Pertanian. FP IPB Bogor.

Bidwell, Charles E. (1972). Schooling and Socialization for Moral Commitment. Interchange.Vol 3.No.4.p.1.

Borg, W.R dan Gall, M.D. (1989). Educational Research Introduction. Fifth Edition. New York & London: Longman

(45)

428 Bulajeva, Tatjana and Targamadze, Vilija. (2005). School Organization Culture; The Aspect of Students Socialization. (Online). Tersedia: www.vpu.it.pedagogika.pdf).[27 Desember 2009].

Bull, Norman.J. (1989). Moral Education. London: Routledge & Kegan Paul.

Bushman, Brad J.(1985). A Curriculum on Obedience to Authority. Project for Master's Thesis, Utah State University/Weber State College. (Online). Tersedia:

http://www.eric.ed.gov/ ERICWebPortal. [12 Juli 2009].

Carkhuff, Robert.R. (1983). The Arti of Helping. Massachusset: Human Resource Development Press Publisher of Human Technology.

Carpendale, J.I.M.(2002). Kohlberg and Piaget on Stages and Moral Reasoning. Developmental Review.20.181-205.

Clausen, John. A (1968). Socialization and Society. Boston: Little Brown and Company.

Cohen, Louis and Manion, Lawrence. (1980). Perspective on Classroom and Shools. London: Holt. Rinehart and Winston.

Cornish, Paul. (2008). The Virtue of Obedience and the Civil Conversation in Aquinas and Murray: Some Convergence with Democratic Theory. Prepared for Presentation at the 4th Biennial Henry Symposium on Religion and Politics, Calvin College, April 26,

2008. (Online). Tersedia: http.www.calvin,edu.pdf.

Daniel Koehn. (Online).Tersedia: www.evangelartist.com/product.htm. [23 Desember 2008]. Dardjidarmodihardjo. (1981). Peran IKIP dalam Pengembangan dan Pembinaan Sekolah

sebagai Pusat Kebudayaan. Jakarta: Analisis Pendidikan. Tahun II Nomor 3.

Darmawan, Cecep. (2006). Kiat Sukses Manajemen Rasulullah: Manajemen Sumber Daya Insasni Berbasis Nilai-Nilai Ilahiyah. Bandung: Penerbit Khazanah Intelektual.

Dayton, John. (1994). Democratic Value Inculcation in Public Schools: The Role of the Constitution and the Courts. Paper presenter at the Annual Meeting of the American Educational Research Association. New Orleans, LA, April 4-8, 1994. www.eric.gov. 20 Mei 2009.

Depdikbud. (1985). Tata Krama Pergaulan. Jakarta: Depdikbud.

(46)

429 Depdiknas. (2004). Pedoman Penilaian Ranah Afektif. Jakarta: Ditjen Dikdasmen,.

Direktorat SLTP.

Dhamayanti, M. (2007). Kecelakaan pada Remaja, dalam Soetjiningsih, penyunting. Tumbuh kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: Sagung Seto.

Dick, W and Carey, L. (1978). The Systematic Design of Instruction. Illionois: Foresman Co.

Djahiri, A. Kosasih. (2009). Handbook Perkuliahan Metoda Analisis Nilai Moral. Bandung: SPS UPI Bandung.

---, (1996). Menelusuri Dunia Afektif Pendidikan Nilai dan Moral. Bandung: Lab.Pengajaran PMP IKIP Bandung

---, (1989). Esensi Klarifikasi Nilai-Moral-Norma Pancasila untuk Peningkatan Proses dan Hasil Pengajaran Pendidikan Pancasila. Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar, 2 Februari 1989.

---. (1985). Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral, VCT dan Games dalam VCT. Bandung : Jurusaan PMPKN FIPS IKIP Bandung.

Downey, Mereil and Kelly, A.V. (1982). Moral Education; Theory and Practice.London: Harper & Row, Publisher.

Dworkin, Anthony Gari,. Saha, Lawrence J,. Hill, Antwanette. (2003). Teacher Burnout and Perception of a Democratic School Enviroment. International Education Journal Vol. 4. No.2. 2003.(Online). Tersedia: http://iej.cjb.net/[29 Januari 2009].

Elms, Alan C.(1972). Social Psychology and Social Relevance, Chapter 4, pp. 128-136. Boston: Little, Brown.

Gafur, Abdul. (2001). Pemilihan Strategi dan Media Pembelajaran PPKn. Bahan Pelatihan Terintgerasi Untuk Guru SLTP. Jakarta: Depdiknas. Ditjen, Dikdasmen, Direktorat SLTP.

Gallay, Les and Pong, Suet-ling. (2004). School Climate and Students Intervention Strategies.[Online]. Tersedia: www.pop.psy.edu. [7 Juni 2009].

Good. Carter.V.(1973). Dictionary of Education. McGraw-Hill Book Company.

(47)

430 Hadisubroto, Subino.(1988). Pokok-Pokok Pengumpulan Data, Analisis Data, Penafsiran

Data dan Rekomendasi Data Penelitian Kualitatif. Bandung: PPS IKIP Bandung. Hafidhuddin, Didin. (2003).Cara Rasulullah Membina Sahabat”, dalam Tanjung, Hendri ,

Manajemen Syariah dalam Praktek.penyunting Arif Anggoro, Jakarta: Gema Insani Press.

Hamrick, Florence A. (2008). "Democratic Citizenship and Student Activism". Journal of College Student Development. 27 Oct. 2008. (Online). Tersedia: http://findarticles. com/p/articles/mi_qa3752/is_199809/ai_n8809841.[14 Maret 2010].

Hartono (2006). Kepatuhan dan Kemandirian Santri (Sebuah Analisis Psikologis). IBDA, Jurnal Studi Islam dan Budaya. Vol.4. No.1. Jan-Jun 2006. 50-66. P3M STAIN Purwokerto.

Henman, Robert. (2005). A Spirituality Of Obedience: Equal in God’s Eyes Only?. Quodlibet Journal: Volume 7 Number 2, April - June 2005 .ISSN: 1526-6575. (Online). Tersedia: www.quodlibet.net/henman-obedience.shtml.[27 Mei 2009].

Higbee, Kenneth L.(1976). Factor Affecting Obedience in Preschool Children. Brigham Young University.

Horton, Paul B. (1984). Sosiologi (Jilid 1 Edisi Keenam). Jakarta: Erlangga. http://antikorupsi,org. [21 September 2009].

http://pencercah.wordpress.com. [29 Mei 2010].

http://psypress.com/smithandmackie/resources/topic.asp?topic=ch10-tp-04. [4 Mei 2011] http://wikiethica.wikidot/com/ordeliness.[20 Nopember 2009].

http://www.coe.int/t/dg4/education/edc/AspectsCitizenship. [17 Februari 2009]

http://www.collegetermpapers.com/Term Papers/Sociology/ParsonsGrand_Theory.shtml. [20 Maret 2010].

http:www/crimsonlockeronline.com.[10 Juli 2010]. http://www.damandiri.or.id. [2 Juli 2010].

http://www.irfanlanggo.blogspot.com. [29 Nopember 2010].

(48)

431 http://www.scribd.com/ doc/29074033/Teori-Sistem-Talcott-Parson. [25 Juni 2010].

http://www.suara pembaharuan.com. [20 Mei 2010].

http://www.unu.edu/ unupress/unupbooks/uu13se/uu13se0b.htm. [13 Maret 2010]. http://www.wordnik.com/words/obedience/definitions. [10 Mei 2010]

http://yalepress.yale.edu/yupbooks/excerpts.welsh_honor.pdf&tbid=80119.[15 Mei 2010] http://zuryawanisvandiarzoebir.wordpress.com. [23 Juni 2010].

Huda, Miftahul. (2007). Model Interaksi Pendidikan Anak Dalam Al Qur’an. Ringkasan Disertasi. Surabaya: Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel. (Online). Tersedia: http://drhmiftahulhudamag.blogspot.com/2009/model-interaksi-pendidikan anak dalam al.qur’an.html. [27 Januari 2010].

Huitt, W. (2006). Becoming a Brilliant Star: A framework for discussing formative holistic education. Based on a paper presented at the International Networking for Educational Transformation (iNet) Conference, Augusta, GA. (Online). Tersedia: http://teach.valdosta.edu/whuitt/brilstar/brilstar.html [29 Desember 2009].

Huitt, W and Vessel, G.(2002). Character Education. In J.Guthrie (Ed.), The Encyclopedia of Education. Second Edition. New York: Macmillan.

Ishak, M.(2000). Pengembangan Model Program Pendidikan Taruna Mandiri (Studi Terfokus pada Kehidupan Anak-anak Jalanan di Bandung). Disertasi Doktor pada PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Kay, William.(1975). Moral Education; A Sociological Study of teh Influence of Society, Home and School. London: George Allen and Unwin.

Kelman, Herbert. (1958). Compliance, Identification and Internalization; Threes processes of attitude change. Journal of Conflict Resolution.

Kementerian Pemuda dan Olahraga. (2009). Penyajian Data Informasi. Jakarta: Biro Perencanaan Sekretariat Kementerian Pemuda dan Olahraga.

(49)

432 Latifah, Husni. (2006). Pengaruh Interaksi Sosial Rekan Sebaya Terhadap Kepatuhan Siswa Mematuhi Peraturan Sekolah Pada Siswa Kelas II SMPN 36 Semarang Tahun Pelajaran 2004/2005. (Online). Tersedia: http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/cgi-bin/library. [31 Mei 2010].

Lawrence, J.A.(1993) “Perseptual Root of Internalization: From Trammus-Mission to Transformation”. Human Development. 36 N2. May-June. p.150-167.

Lerner, Richard. M and Hultsch, David.F.(1983). Human Development, A Lifespan Perspective. New York: McGraw-Hill Book Company.

Lickona (1991:45) Educating for Character: How our Schools can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam.

Lighfoot, Sara Lawrence.(1983). The Good High School. New York: Basic Book.Inc.

Lincoln, Yvonna.S and Guba, Egon.G. (1985). Naturalistic Inquiry. Beverly Hills: Sage Publications.

Looms, Charles.P.(1960). Social Systems, Essay on Their Persistence and Change. New Jersey: D. Van Nostrand Company.Inc.

Madjid, Nurcholis. (2004). Masyarakat Religius; Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Paramadina.

Maftuh, Bunyamin. (2009). Bunga Rampai Pendidikan Umum dan Pendidikan Nilai. Bandung: Program Studi Pendidikan Umum/Nilai SPS UPI Bandung.

Mangunharjana (2001:1). Pembinaan, Arti dan Metodenya. Yogyakarta: Kanisius

Marshall, Megan L.(2002). Examining School Climate: Defining Factors and Educational Influences. Center for Research in School Safety, School Climate and Classroom Management. Georgia State University. (Online). Tersedia: http://education.gsu.edu/ schoolsafety/download files/WP 2002.school climate.pdf. [18 Januari 2009].

Martin, Caroline J.Hollins. (2006). Are You as Obedient as Me? From Midwifery Matters, Issue No.110. Autumn 2006. Assocation of Radical Midwives.

Megawangi, Ratna. (2004). Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa. Jakarta: BPMIGAS dan Star Energi.

(50)

433 Milgram, Stanley. (1963). "Behavioral Study of Obedience".Journal of Abnormal and Social Psychology 67. p.371-378. Yale University. (Online). Tersedia: http://www.wordnik. com/words/obedience/ definitions).[28 Agustus 2009].

Moleong, Lexy.J. (1988). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Depdikbud. P2LPTK ---, (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya..

Mulyana, Rohmat. (2002). Pendidikan Umum, Pengembangan Kepribadian, dan Kesadaran Beragama. Bandung: IMA-PU PPS UPI.

---, (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.

Nasution, S. (1992). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito

Passini, Stefano and Morselli, Davide.(2008). "Obedience to an Illegitimate Demand: the Effect of Perceived Democracy".Paper presented at the annual meeting of the ISPP 31st Annual Scientific Meeting, Sciences Po, Paris, France, Jul 09, 2008. (Online). Tersedia: http://www.allacademic.com/meta /p239205_index.html.[25 Juli 2009].

---, (2008). The Many Facets of Obedience and Disobedience and Their Role in Supporting the Ideological Dimension of Democracy. (Online).Tersedia: http://www.essex.ac.uk/events/generalconference/pisa/paper/PP800.pdf.[25 Juli 2009] ---, (2009). Authority Relationships Between Obedience and Disobedience. New Ideas in Psychology 27 (2009).96-106. (Online). Tersedia: Journal homepage: www.elsevier. com/locate/ newidepsych.[20 Maret 2009].

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.39 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan

Puente, Anibal. (1998). Structures of Cognitive and Moral Development. (Online). Tersedia: http://www.crvp.org/book/Series05/V-4/contents.htm.[ 5 Oktober 2009].

Pusat Bahasa Depdiknas. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Puslitbang dan Info Lakhar BNN. (2007). Penyajian Data tentang Pemakai NAZA. Jakarta: BNN.

(51)

434 Rena, Ravinder. (2006). Value-based Education for Human Development. Eritrean

Perspective.

Rengka, Pius. Relevansi Politik dan Undang-undang Subversi. Suara Pembaharuan. 11 Nopember 1996. .( Online). Tersedia: http://www.suarapembaruan.com.[12 Januari 2009].

Ritzer, George. (2004). Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Rooijakkers, Ad. (1990). Mengajar dengan Sukses, Petunjuk untuk Merencanakan dan Menyampaikan Pengajaran. Jakarta: Kerjasama YKPTK dan Penerbit PT Gramedia. Sanusi, Achmad. (1997). Keteraturan, Kompleksitas, Kesemrawutan RLS dan Implikasinya

untuk Belajar. Bandung: PPS IKIP Bandung.

Sapriati, Amalia. (2005). Pelaksanaan Pengembangan Nilai Melalui Pembelajaran dan Kegiatan Sekolah. (Online). Tersedia: http://gurupintar.ut.ac.id/index.php?option. [20 April 2009].

Sastrapratedja, M.”Pendidikan Nilai”, dalam Kaswardi, EM.K penyunting. (1993). Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: Grasindo.

Sauri, Sofyan.(2007). Makalah . Disajikan untuk Pelatihan Guru-Guru di Kapus Politeknik UNSI Kabupaten Sukabumi Sabtu, 29 Desember 2007

---, (2009). Menuju Tenaga Kependidikan Profesional. Orasi Ilmiah Wisuda Sarjana Strata Satu dan Program Diploma Sekolah Tinggi Agama Islam Swasta LANTABOER 6 Agustus 2009. Jakarta: STIAS LANTABOER.

Shaw. et.al. (1992). “School Culture: Organization Value Orientation and Commitment”. Journal of Education and Research. 85. N5. May-June. p. 295-302.

Soelaeman, M.I.(1985). Suatu Upaya Pendekatan Terhadap Situasi Kehidupan dan Pendidikan dalam Keluarga dan Sekolah. Disertasi : FPS IKIP Bandung.

---, (1994). Pendidikan dalam Keluarga. Bandung: Alfabeta.

(52)

435 Strickland, J and Pitmann, W. (2006). Democratic Schools. (Online). Tersedia:

http://coefaculty. valdosta.edu. [12 Maret 2009].

Sudjana, Nana. (1987). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Penerbit Sinar Baru Bandung.

Sujana.2008. www.://bk3skatim.org. [12 Juli 2010]

Swanepoel, (2003) in Westhuizen, Philip C van der., Oosthuizen, Izak and Wolhuter, C.C. (2008). The Relationship Between an Effective Organizational Culture and Student Discipline in a Boarding School. Education and Urban Society. Volume 40 Number 2 January 2008. 205-225. (Online). Tersedia: http//eus.sagepub.com. [21 April 2009]. Tadjri, Imam, 2009. Model Konseling Kelompok Rasional-Emotif untuk Memodifikasi

Perilaku Nakal Siswa SMA Etnis Jawa di Kota Semarang. Disertasi. Bandung: SPS UPI Bandung.

Teaching Value.com.(2008). Principles for Character Education. (Online). Tersedia: http://www.teachingvalues.com/principlesummary.html. July, 9, 2008.[12April 2009]. Thoha, Miftah. (1987 ). Pembinaan Organisasi, Proses Diagnosa dan Intervensi. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Hak-Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Unesco-Apnieve.(1998). Learning to Live Together in Peace and Harmony. Value Education for Peace, Human Rights, Democracy, and Sustainable Developoment for Asia-Pasific Region. Bangkok: Unesco Principal Regional Office for Asia and the Asia-Pasific. Universitas Pendidikan Indonesia. (2008). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI

Vessels, Gordon and Huitt, William. (2005). Moral and Character Development. Presented at the National Youth at Risk Conference, Savannah, GA, March 8-10.(Online). Tersedia: http://chiron.valdosta.edu/whuitt/brilstar/chapters/chardev.doc. [20 Desember 2009].

Referensi

Dokumen terkait

Polder Tawang Semarang mempunyai masalah pencemaran akibat limbah yang berasal dari limbah kota, pasar ikan, industri, dan rumah tangga yang masuk ke perairan yang berpengaruh

Bahwa ia terdakwa AHMAD SOFIAN MATONDANG Als BUDI NEGER bersama-sama dengan AHMAD FAISAL NASUTION Als MAK ICANG (Berkas Perkara Terpisah) pada hari Jumat tanggal

Penentuan Penyebaran Lindi Pada Bawah Permukaan Dengan Metode Geolistrik Konfigurasi Wenner-Schlumberger Di TPA Sampah Desa Bandengan Kabupaten Jepara.. Skripsi,

Gambar tersebut merupakan hasil simulasi untuk tampak dari depan terlihat bawa arah aliran air tidak hanya terjadi satu kali melainkan aliran air akan terbagi

Abstrak: Tata rias merupakan ilmu yang mempelajari tentang seni mempercantik diri sendiri maupun orang lain dengan menggunakan kosmetik. Tujuannya adalah untuk

all, (2000) melaporkan bahwa pada pengujian mesin diesel dengan bahan bakar minyak vegetatif dan minyak diesel didapatkan bahwa dengan minyak vegetatif mempunyai efisiensi dan

Proyeksi permintaan baling-baling kapal di Indonesia untuk replacement didapatkan potensi kapal yang melakukan pergantian baling baling kapal per tahun adalah 424 unit