• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. PENGEMBANGAN KALENDER TANAM DINAMIK DI INDONESIA UNTUK PENGELOLAAN RISIKO IKLIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "V. PENGEMBANGAN KALENDER TANAM DINAMIK DI INDONESIA UNTUK PENGELOLAAN RISIKO IKLIM"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

V. PENGEMBANGAN KALENDER TANAM DINAMIK DI INDONESIA UNTUK PENGELOLAAN RISIKO IKLIM

5.1. Pendahuluan

Kalender tanam pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat tani oleh Kementerian Pertanian (Syahbuddin et al. 2007; Las et al. 2007). Di pihak lain, IPB melalui CCROM bekerja sama dengan BMKG, melakukan penelitian yang menghasilkan sebuah Kalender Pertanian Indonesia (Boer et al. 2007). Gaung kalender tanam semakin terdengar, ketika kalender tanam dipromosikan Kementerian Pertanian mulai tahun 2007 dan dirangkum/direvisi dalam sebuah kalender tanam terpadu mulai akhir tahun 2011 (http://www.katam.litbang.go.id).

Menurut Boer (2002), kalender tanaman merupakan sistem penanggalan yang menunjukkan tingkat kepentingan hubungan antara kondisi lingkungan dengan fase pertumbuhan tanaman. Jadi kalender tanaman akan memperlihatkan kondisi lingkungan yang bagaimana yang tidak diinginkan atau diinginkan tanaman dan pada fase pertumbuhan yang mana tanaman menjadi sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan tersebut. Pendapat Syahbuddin et al. (2007) menyatakan bahwa Kalender tanam adalah suatu informasi yang menggambarkan potensi pola tanam dan waktu tanam tanaman semusim, terutama padi, berdasarkan potensi dan dinamika sumber daya iklim dan air. Kalender tanam ini merekomendasikan alternatif pola tanam.

Pada awal perkenalan mengenai kalender tanam yang dikeluarkan Litbang Pertanian, kalender tanam yang ada merupakan tabulasi dari tahun Normal, El- Nino, La-Nina dan existing petani setempat. Namun demikian sudah merekomendasikan pola tanam sampai level kecamatan, meskipun masih bersifat statis. Di lain pihak, kalender pertanian yang diperkenalkan Boer et al. (2007), menyampaikan permulaan teknik-teknik yang menyajikan informasi kalender tanam yang dapat diakses dan digunakan pengguna dengan memasukkan nilai tertentu pada web. Metode yang diperkenalkan dalam hal ini mengarah pada penggunaan kalender tanam dinamik.

Kalender tanam perlu dikembangkan ke arah yang berorientasi dinamik, karena dengan dikeluarkannya kalender tanam dinamik, dapat diketahui informasi untuk setiap musim tanam, berdasarkan hasil prakiraan iklim yang dikeluarkan.

(2)

Pengembangan kalender tanam dinamik berfungsi sebagai alat bantu pengambilan keputusan. Kalender tanam dinamik diharapkan dapat membantu otoritas lokal untuk mengevaluasi dan menilai tingkat risiko pengambilan keputusan tertentu pada musim tertentu berdasarkan prakiraan iklim yang diberikan. Informasi iklim pada musim yang akan datang, memungkinkan petani mempunyai pilihan apakah akan menanam atau tidak, apa jenis tanaman yang akan ditanam, varietas apa yang akan ditanam dan lain-lain. Sejalan dengan pernyataan Buono et al. (2010) yang menegaskan bahwa penyusunan kalender tanam dimaksudkan untuk memberi informasi kepada pengguna secara lebih dinamis, sehingga diharapkan dapat menjadi panduan operasional baik bagi penyuluh pertanian maupun petani dalam menjalankan usahataninya secara berkelanjutan. Informasi yang komphrehensif dari berbagai sektor terkait dapat membantu otoritas lokal untuk mempersiapkan manajemen potensi risiko iklim ke depan dan membantu petani untuk memperkirakan waktu tanam menyesuaikan dengan kondisi iklim.

Adapun manfaat Kalender Tanam, secara umum adalah (Runtunuwu et al.

2009):

• Menentukan waktu tanam per kecamatan berdasarkan kondisi iklim (basah- kering-normal)

• Menentukan pola tanam berdasarkan potensi sumber daya air

• Menetapkan strategi penyediaan & distribusi sarana produksi

• Perencanaan budidaya & pengelolaan tanaman untuk menghindari/mengurangi resiko iklim

Dalam kaitannya dengan kalender tanam, ada beberapa hal yang melatarbelakangi mengapa kalender tanam perlu disusun. Hal ini terkait dengan perlunya pengelolaan risiko iklim. Hal-hal tersebut, yaitu : 1). kejadian bencana iklim terutama akibat iklim ekstrim dan pengaruhnya pada ketersediaan air untuk pertanian yang merupakan bagian dari risiko iklim, 2). Sebagai perencanaan awal pertanian kaitannya dengan sistem informasi iklim, 3). teknologi yang digunakan petani menyangkut pola bertanam petani sebagai bagian teknologi adaptasi yang perlu disiapkan dan 4). kelembagaan yang menyertai, baik itu kelembagaan pusat maupun daerah, menyangkut sarana dan prasarana.

Pribadi (2008) yang diacu dalam Lassa et al. (2009) menyatakan bahwa suatu proses pengelolaan risiko bencana dapat melibatkan secara aktif

(3)

masyarakat yang berisiko dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, dan mengevaluasi risiko bencana untuk mengurangi kerentanannya dan meningkatkan kemampuannya. Menurut Abarquez & Murshed (2004), dalam pengelolaan risiko bencana diperlukan upaya pemberdayaan komunitas agar dapat mengelola risiko bencana dengan tingkat keterlibatan pihak atau kelompok masyarakat dalam perencanaan dan pemanfaatan sumber daya lokal dalam kegiatan implementasi oleh masyarakat sendiri. Gambar 5.1. menyajikan sistem pengelolaan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia dengan mengutamakan komunikasi dan koordinasi pada pihak-pihak terkait.

Gambar 5.1 Ilustrasi salah satu pilar utama dalam sistem pengelolaan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia (Lassa et al.

2009)

Dalam kaitannya dengan kalender tanam, kegagalan dan keberhasilan panen merupakan bagian dari pengelolaan risiko iklim. Berbicara mengenai risiko (risk) berarti berbicara mengenai peluang (Boer 2002). Jadi dalam hal ini pilihan pola tanam pada kalender tanam diharapkan dapat mengkalkulasi / menentukan besarnya peluang suatu keadaan yang tidak diinginkan yang dapat menyebabkan kegagalan atau kerusakan.

5.2. Pranata Mangsa, indigenous knowledge cikal bakal kalender tanam

(4)

Secara tradisional, kalender tanam telah lama dikembangkan oleh petani Indonesia. Masyarakat Jawa dan Bali menyebutnya Pranata Mangsa (Sunda), Pranoto Mongso (Jawa) dan Kerta Masa (Bali). Pranata Mangsa dibutuhkan sebagai penentuan atau patokan untuk bercocok tanam (Syahbuddin 2007)

Pranata mangsa merupakan pengetahuan indigenous. Menurut Johnson (1992) yang diacu dalam Sunaryo dan Joshi (2003), pengetahuan indigenous adalah sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam.

Pengetahuan ini juga merupakan hasil kreativitas dan inovasi atau uji coba secara terus-menerus dengan melibatkan masukan internal dan pengaruh eksternal dalam usaha untuk menyesuaikan dengan kondisi baru setempat. Oleh karena itu pengetahuan indigenous ini tidak dapat diartikan sebagai pengetahuan kuno, terbelakang, statis atau tak berubah.

Pranata mangsa adalah semacam penanggalan yang dikaitkan dengan kegiatan usaha pertanian, khususnya untuk kepentingan bercocok tanam atau penangkapan ikan. Pranata mangsa berbasis peredaran matahari dan siklusnya (setahun) berumur 365 hari (atau 366 hari) serta memuat berbagai aspek fenologi dan gejala alam lainnya yang dimanfaatkan sebagai pedoman dalam kegiatan usaha tani maupun persiapan diri menghadapi bencana (kekeringan, wabah penyakit, serangan pengganggu tanaman, atau banjir) yang mungkin timbul pada waktu-waktu tertentu.

Pranata mangsa berbentuk kalender tahunan yang bukan berdasarkan kalender Syamsiah (Masehi) atau kalender Komariah (Hijrah/lslam) tetapi berdasarkan kejadian-kejadian alam yaitu seperti musim penghujan, kemarau, musim berbunga, dan letak bintang di jagat raya, serta pengaruh bulan purnama terhadap pasang surutnya air laut (Wiriadiwangsa 2005). Pranata Mangsa dibutuhkan pada saat itu sebagai penentuan atau patokan bila akan mengerjakan sesuatu pekerjaan. Contohnya melaksanakan usaha tani seperti bercocok tanam atau melaut sebagai nelayan, merantau dan mungkin juga berperang.

Tabel Pranata Mangsa selama setahun dengan sistem pertanaman padi masih setahun sekali (IP100):

1. Kasa (Kahiji) 22/23 Juni - 2/3 Agustus. Musim tanam palawija.

(5)

2. Karo (Kadua) 2/3 Agustus - 25/26 Agustus. Musim kapok bertunas tanam palawija kedua.

3. Katiga (Katilu) 25/26 Agustus - 18/19 September. Musim ubi-ubian bertunas, panen palawija.

4. Kapat (Kaopat) 18/19 September-13/14 Oktober. Musim sumur kering, kapuk berbuah, tanam pisang.

5. Kalima (Kalima), 13/14 Oktober - 9/10 November. Musim turun hujan, pohon asam bertunas, pohon kunyit berdaun muda.

6. Kanem (Kagenep) 9/10 November - 22/23 Desember. Musim buah-buahan mulai tua, mulai menggarap sawah.

7. Kapitu (Katujuh) 22/23 Desember - 3/4 Pebruari. Musim banjir, badai, longsor, mulai tandur.

8. Kawolu (Kadalapan) 2/3 Februari. Musim padi beristirahat, banyak ulat, banyak penyakit.

9. Kasonga (Kasalapan) 1/2 Maret - 26/27 Maret. Musim padi berbunga, turaes (sebangsa serangga) ramai berbunyi.

10. Kadasa (Kasapuluh) 26/27 Maret -19/20 April. Musim padi berisi tapi masih hijau, burung- burung membuat sarang, tanam palawija di lahan kering.

11. Desta (Kasabelas) 19/20 April - 12/13 Mei. Masih ada waktu untuk palawija, burung-burung menyuapi anaknya.

12. Sada (Kaduabelas) 121/13 April- 22/23 Juni. Musim menumpuk jerami, tanda-tanda udara dingin di pagi hari (Sumber: Wiriadiwangsa, 2005 dari Buku Unak-anik Basa Sunda Th.2000).

(6)

Gambar 5.2 Sistem penanggalan musim bukti kepandaian ilmu astronomi nenek moyang (http://forum.vivanews.com/sejarah-dan-budaya/130540- teknologi-kuno-bangsa-indonesia-yang-canggih.html)

Teknik membaca mangsa didasarkan atas nampaknya Rasi Waluku (Orion) Apabila Rasi Waluku terbit pada waktu shubuh, hal ini berarti hari tersebut adalah permulaan mangsa kasa (mangsa pertama). Dengan terbitnya Rasi Waluku merupakan pertanda bagi para petani untuk mempersiapkan bajaknya (waluku- nya). Apabila pada shubuh hari Rasi waluku telah merembang (dekat dengan zenith) maka berarti permulaan mangsa kapat (mangsa labuh/hujan kiriman).

Apabila waktu shubuh Rasi Waluku mulai tenggelam berarti permulaan mangsa kapitu (mangsa ketujuh). Pada mangsa kapitu biasanya ditandai dengan musim hujan rendheng. Apabila pada waktu maghrib Rasi Waluku merembang maka pertanda permulaan awal mangsa kasanga (mangsa kesembilan). Apabila pada waktu maghrib Rasi Waluku mulai terbenam maka pertanda awal mangsa desta (mangsa kesebelas). Pada masa ini orang-orang tidak bisa melihat Rasi Waluku, sehingga diartikan sebagai masa selo atau apit. Yang artinya meng-apit waluku- nya (menyimpan bajaknya).

Menurut Supriyono (2012), fenomena mongso untuk penciri dimulainya pertanaman terbagi ke dalam empat musim, yaitu;

1. Fenomena Mongso Labuh (http://infotani.com/2012/01/05/pranata-mangsa- fenomena-cuaca-pertanian/)

Mongso labuh adalah saat dimulainya kegiatan bercocok tanam setelah musim kemarau yang dimulai pada mongso IV yang diawali dengan kegiatan

(7)

pengolahan tanah. Untuk menanam benih, petani menunggu sampai tanah menjadi dingin dan cukup lembab. Indikasi dinginnya tanah yang dipedomani petani adalah mulai bertunasnya umbi-umbian, baik yang disimpan di rumah maupun yang masih berada di kebun, seperti, gadung, uwi, talas dll. Apabila saat itu tanah masih kering, mereka menunggu pergantian musim yang ditandai dengan hembusan angin konstan berubah-ubah arah selama beberapa hari dan pada saat angin berhenti itulah saat pergantian mongso yang sering disertai dengan turunnya hujan yang disebut sebagai hujan menjelang pergantian mongso (udan mapag mongso).

Komponen cuaca yang relevan dengan fenomena dinginnya tanah adalah suhu tanah permukaan setiap jam 13.00 yang mendekati suhu maksimum hariannya. Rata2 dasarian suhu tanah permukaan mencapai puncaknya pada dekade ke 28 atau dekade-1 Oktober yang masih masuk mongso IV dan pada dekade berikutnya yang mulai masuk mongso V suhu tanah permukaan mulai menurun dan pada perioda tersebut umbi2an mulai bertunas dan rumput mulai menghijau meskipun hujan belum turun.

Penyimpangan cuaca yang bisa mengacaukan perhitungan ini adalah curah hujan berkepanjangan pada musim kemarau, terlebih pada saat munculnya fenomena alam La-Nina, karena penyakit bulai sudah mulai muncul pada mongso V. Meskipun demikian, pertanaman pada mongso V resikonya tetap lebih rendah.

2. Fenomena Mongso Bedhidhing

Mongso ke II dikenali masyarakat sebagai musim dingin atau mongso bedhidhing dan masih bisa dijumpai setiap tahun. Fenomena alam yang sering terjadi pada mongso ini adalah minyak kelapa membeku di pagi hari, banyak ayam sakit dan mati sehingga sering disebut juga musim aratan atau pagebluk. Kapuk randu mulai membentuk kuncup bunga sehingga ada masyarakat yang menyebut bunga kapuk sebagai Karo.

Pada mongso I, bumi berada pada jarak terjauh ke matahari dan dampaknya mulai dirasakan pada mongso ke II dimana udara malam sangat dingin. Data cuaca pertanian yang relevan dengan fenomena ini adalah rata2 suhu udara minimum di malam hari, yang setiap tahun mencapai suhu terendah pada dekade 23 atau dekade-2 Agustus, artinya yang masih bagian dari mongso karo.

(8)

3. Fenomena Mongso Rendengan

Sampai saat ini mongso VI masih diyakini sebagai masa tanam terbaik untuk padi sawah dan sepanjang situasinya mendukung para petani berupaya agar bisa tanam pada mongso VI. Kenyataan yang belum berubah sampai saat ini adalah, padi yang ditanam pada mongso kanem memiliki resiko terendah terhadap penyakit tanaman disamping produktivitasnya paling tinggi. Selama tiga dekade pengamatan, dengan jenis padi dan cara tanam yang sama, tanaman dengan masa panen sekitar mongso IX memiliki produktivitas tertinggi, sedangkan memasuki mongso X produktivitasnya mulai menurun dan penurunannya bisa mencapai 50%.

Faktor cuaca pertanian yang berperan disini bukan saja cuaca pada saat tanam, tetapi juga cuaca menjelang panen, terutama untuk ukuran padi genjah, yang relevan dengan jenis padi yang ditanam saat ini. Di dalam hal ini suhu tanah pada kedalaman 1 meter setiap jam 07.00 pagi adalah komponen cuaca yang paling berperan, terutama di dataran rendah. Suhu tanah ini mencapai puncaknya pada dekade ke 10 atau dekade 1 April yang masuk mongso ke- X. Pada kondisi suhu tinggi dari dalam tanah sawah akan keluar cairan berwarna merah pada malam hari yang pada pagi harinya berubah menjadi kuning kecoklatan dan dikenal sebagai karat tanah. Cairan inilah yang menyebabkan kerusakan perakaran tanaman yang potensial dan mengganggu proses fisiologis sehingga pengisian malai tidak sempurna atau dalam kata lain banyak bulir padi yang kosong atau hampa.

4. Fenomena Mongso Gadu

Padi sawah yang ditanam pada mongso X – XI pertumbuhannya sangat lambat dan anakannya kurang sehingga produktivitasnya juga kurang, tetapi yang jauh lebih penting bagi petani adalah masalah hama tikus. Tanaman yang masa tanamnya mongso X – XI apabila terserang hama tikus tingkat kepulihannya

<30%, sebaliknya, pertanaman mulai mongso XI pertumbuhannya berangsur- angsur lebih bagus dan apabila terserang tikus tingkat kepulihan masih bisa >80%.

(Supriyono, 2012 diambil dari http://infotani.com/2012/01/05/pranata-mangsa- fenomena-cuaca-pertanian/).

Masyarakat Dayak memilah Bulan Berladang atas Bulan-4 sampai Bulan-6 yang menandakan saatnya penyiapan lahan, kemudian dilanjutkan dengan

(9)

pembakaran dan Bulan-7 sampai Bulan-9 saatnya menyemai benih. Bulan-4 ditandai apabila buaya mulai naik ke darat untuk bertelur. Bulan-6 ditandai munculnya “Bintang Tiga” pada dinihari seperti kedudukan matahari jam 9.00 pagi bertepatan dengan bulan Juli, saat kegiatan penebangan telah selesai. Bintang- bintang yang ribuan banyaknya diantaranya yang muncul secara periodik juga diyakini oleh masyarakat, khususnya di Kalimantan sebagai pertanda akan datangnya air pasang atau mulainya air surut (Wisnubroto dan Attaqi 1997).

Pranata mangsa yang merupakan kearifan lokal ini merupakan kalender tanam tradisional yang sudah diadopsi petani di suatu wilayah tertentu secara turun temurun. Suatu tool untuk sinkronisasi kalender tanam dinamik dengan pranata mangsa akan sangat berguna untuk menggabungkan keduanya.

5.3. Pengembangan Model Kalender Tanam di Indonesia

5.3.1. Kalender Tanam Kementerian Pertanian

Hasil-hasil penelitian mengenai kalender tanam telah dilakukan mulai TA 2007 (Pulau Jawa), tahun 2008 (Pulau Sumatera), tahun 2009 (Pulau Sulawesi dan Kalimantan) dan 2010 (Bali, Papua Barat, NTB, NTT, Maluku) di Kementerian Pertanian melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kalender tanam Kementerian Pertanian telah menyusun Peta Kalender Tanam Pulau Jawa dan Sumatera berbasis kabupaten dengan skala 1:1.000.000 dan berbasis kecamatan dengan skala 1:250.000. Peta ini menggambarkan waktu tanam dan pola tanam tanaman semusim, terutama padi, berdasarkan potensi dan dinamika sumber daya iklim dan air (Las et al. 2007a dan Las et al. 2007b).

Peta kalender tanam tersebut disusun berdasarkan kondisi periode tanam yang dilakukan oleh petani saat ini, dan berdasarkan tiga kejadian iklim yaitu tahun basah (TB), tahun normal (TN), dan tahun kering (TK). Dengan demikian kalender dan pola tanam yang akan diterapkan dapat disesuaikan dengan masing-masing kondisi iklim tersebut. Dengan kata lain, dalam penggunaannya kalender tanam ini bersifat ‘look up table’. Peta kalender tanam dalam atlas ini disusun sesederhana mungkin agar mudah dipahami oleh para penyuluh, petugas dinas pertanian, kelompok tani dan petani dalam mengatur kalender tanam dan pola tanam, sesuai dengan dinamika iklim. Atlas ini juga memiliki keunggulan, yaitu dinamis, karena disusun berdasarkan beberapa kondisi iklim, operasional pada

(10)

skala kecamatan, spesifik lokasi, karena mempertimbangkan kondisi sumberdaya iklim dan air setempat, mudah diperbaharui), dan mudah dipahami oleh pengguna karena disusun secara spasial dan tabular dengan uraian yang jelas.

Gambar 5.3 Diagram alir penyusunan peta kalender tanam aktual dan potensial (Syahbuddin 2007)

Dalam kalender tanam yang disusun Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian diperhatikan beberapa hal sebagai berikut :

• Pola Tanam (waktu tanam, jenis tanaman, dll) dengan 4 skenario :

 Eksisting

 CH Normal,

 Kering (El-Nino),

 Basah (La-Nina)

• Pola curah hujan dan ketersediaan air irigasi

• Elastisitas ketersediaan air menurut skenario perubahan/anomali iklim (maju-mundur, Basah, Kering, Normal)  awal musim & jumlah CH

• Indeks & tingkat kekeringan, perubahan waktu dan durasi ketersediaan air

• Alternatif pola tanam (waktu tanam, varietas, dan jenis tanaman, dll)

Kalender tanam hasil riset Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian ditampilkan dalam dua bentuk yaitu :

- Spatial dalam bentuk Peta Kalender Tanam

- Tabular dalam bentuk Tabel Rekomendasi Pola Tanam (& Waktu Tanam) per Kecamatan, oleh karena itu kalender tanam ini berdasarkan ‘look up table’.

(11)

Publikasi dalam bentuk Atlas Kalender Tanam sudah disusun sebanyak 3 volume:

- Volume I : Jawa (+ Madura) (2007) - Valume II : Sumatera, Kalimantan (2008) - Valume III : Bali, NTB, Sulawesi,dll (2008/09)

- Volume IV : Papua, Maluku, Malut, Bali, NTT, NTB, dan Makasar (2010)

Kalender Tanam Terpadu

Pada akhir tahun 2011, Badan Litbang Pertanian meluncurkan ”Soft Launching Kalender Tanam Terpadu”. Pada kalender tanam terpadu sudah menggabungkan teknologi-teknologi yang mendukung untuk tercapainya produksi yang optimal, diantaranya varietas dan proporsi benih yang dianjurkan, pemupukan berimbang, metodologi identifikasi bencana banjir, kekeringan dan OPT serta menggunakan prediksi musim. Kalender tanam tepadu ditunjang dengan basisdata yang terorganisir dengan baik. Kalender tanam yang dihasilkan diharapkan dapat membantu di dalam menetapkan strategi penyediaan dan distribusi sarana produksi serta perencanaan pola tanam, teknik budidaya pengelolaan tanaman untuk menghindari/mengurangi resiko iklim pada tanaman pangan lahan sawah. Oleh karena itu, diharapkan para pengambil kebijakan dapat dengan mudah dan cepat melakukan perencanaan pertanian tanaman pangan di lahan sawah yang mempertimbangkan prediksi iklim near real time yang meliputi waktu tanam, luas tanam, rekomendasi dan kebutuhan pupuk, rekomendasi varietas dan kebutuhan benih, serta informasi wilayah rawan banjir, kekeringan dan rawan OPT (Ramadhani et al. 2011). Pengguna dapat mengakses dan juga menambahkan data pada feature yang sudah disediakan, sesuai lokasi yang ingin diketahui. Akses tersedia di situs Badan litbang Pertanian, http://www.litbang.deptan.go.id/, klik Kalender Tanam Terpadu.

Desain sistem kalender tanam terpadu terdiri dari tiga tahapan (Gambar 5.4) (Ramadhani et al, 2011):

1. Desain database, data yang sudah dikumpulkan dalam tahap sebelumnya disimpan dalam bentuk tabel relasional. Dalam tahap ini, tabel dibuat sesuai dengan tingkat data administrasi dan data pendukungnya.

(12)

2. Desain aplikasi berbasis desktop untuk mendukung kemampuan updating data secara otomatis, aplikasi desktop ini dibutuhkan sebagai alat penghasil data dinamis jika data tertentu atau algortima analisis diperbaruhi sewaktu- waktu, sehingga aplikasi berbasis web dapat menampilkan data atau informasi yang telah diubah secara cepat dan mudah.

3. Desain aplikasi berbasis web untuk publikasi data, perancangan antar muka dalam aplikasi berbasis web ini akan terdiri dari peta digital dan interaktif, data tabular yang mudah digunakan, dan kemampuan menyediakan peta digital yang sudah di-layout dalam bentuk Portable Document Format (pdf) dan tabel tabularnya secara dinamis.

Brainstorming

Inventarisir hasil penelitian

Pembuatan desain sistem kalender tanam terpadu

Desain database

Penyusunan algoritma

analisis

Desain aplikasi berbasis web

Desain aplikasi berbasis desktop

Pembuatan sistem informasi kalender tanam terpadu

Pembuatan Aplikasi desktop Layout peta kalender tanam

Pembuatan Aplikasi berbasis web

Testing aplikasi berbasis web

dan desktop

Instalasi server di tempat colocation Verifikasi lapang

Gambar 5.4 Diagram alir proses pembuatan sistem kalender tanam terpadu (Ramadhani et al. 2011)

Kalender tanam terpadu ini direncanakan akan diupdate setiap 3 kali setahun, yaitu untuk informasi awal musim hujan, awal musim kemarau dan informasi untuk MK II. Update pertama untuk tahun 2012 dilakukan untuk informasi musim tanam II (MK I).

Adapun pendekatan yang digunakan dalam pengembangan kalender tanam terpadu pada dasarnya sama dengan informasi yang dikeluarkan sebelumnya, yaitu penyusunan peta kalender tanam aktual dan potensial dengan

(13)

menggunakan analisis klimatologis. Kalender tanam aktual didasarkan pada informasi luas baku sawah dan luas tanam dengan menginformasikan kalender tanam existing petani. Analisis dilakukan dengan menggunakan data luas tanam rata-rata sepuluh harian per kecamatan untuk periode lima sampai sembilan tahun terakhir tergantung ketersediaan data di setiap provinsi. Awal tanam MT I ditentukan pada saat 8% dari luas baku sawah kecamatan yang bersangkutan telah ditanami padi. Awal tanam MT II ditentukan pada saat 6% dari luas baku sawah telah ditanami padi. Sedangkan awal tanam MT III ditentukan pada saat 2%

dari luas baku sawah telah ditanami padi (Runtunuwu et al. 2008).

Kalender tanam potensial berdasarkan informasi curah hujan (isohyets, onset dan indeks pertanaman), informasi yang dikeluarkan berupa kalender tanam pada kondisi tahun El-Nino, La-Nina dan Normal. Penyusunan kalender tanam potensial menggunakan informasi iklim/curah hujan sebagai parameter utama di dalam penentuan onset musim tanam. Komponen utama deliniasi kalender tanam adalah curah hujan dan ketersediaan air irigasi. Kegiatan yang dilakukan pada tahap awal adalah menginventarisasi data sumberdaya iklim, terutama curah hujan, yang kemudian dianalisis untuk menentukan karakteristik curah hujan, yaitu variabilitas iklim, zona agroklimat, potensi awal musim tanam (onset), dan intensitas pertanaman (IP) (Runtunuwu et al. 2008).

Onset Waktu Tanam Potensial Onset mencirikan waktu tanam pada MT I.

Onset dimulai apabila curah hujan telah melebihi 35 mm/dasarian selama tiga dasarian berturut-turut. Penentuan ini sangat terkait dengan jumlah dasarian (1 dasarian = 10 hari) selama setahun yang memiliki curah hujan lebih dari 35 mm/dasarian (LGP, length growth period).

Karakteristik sumberdaya iklim di atas masih merupakan informasi per stasiun iklim, sehingga perlu dispasialkan untuk mendapatkan informasi utuh di seluruh wilayah. Spasialisasi dilakukan berdasarkan tiga variabilitas iklim, yaitu tahun basah, tahun normal, dan tahun kering. Dari masing-masing variabilitas iklim tersebut dibuat dua layer zonasi digital, yaitu layer zona agroklimat dan layer gabungan antara onset kalender tanam potensial dan IP. Kedua layer digital selanjutnya ditumpangtepatkan (overlay) untuk mendapatkan kombinasi data yang memiliki karakteristik iklim yang relatif homogen. Agar informasi yang diperoleh sesuai dengan target, yaitu mengenai sawah, maka kedua layer tersebut juga ditumpangtepatkan dengan layer distribusi sawah dari setiap kecamatan. Hasil

(14)

overlay merupakan basis data kalender tanam yang kemudian digunakan untuk menentukan onset setiap kecamatan, berdasarkan onset areal sawah yang terluas.

Pada kalender tanam terpadu ada penambahan informasi baru berupa informasi hasil prakiraan iklim sebagai input dinamik sekaligus mengembangkan Atlas Kalender Tanam Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian menjadi suatu informasi yang dinamik dan interaktif. Hasil prakiraan yang dikeluarkan merupakan hasil prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Hingga Januari 2012, terhadap hasil prakiraan BMKG ini tidak dilakukan analisis, hanya dilakukan interpretasi saja.

Tabel 5.1 Contoh kalender tanam tanaman pangan (padi) pada tahun normal

Gambar 5.5 Diagram alir kalender tanam dengan menggunakan informasi prakiraan iklim BMKG

(15)

Informasi hasil prediksi musim yang terdiri dari prediksi awal musim, pergeseran musim dan sifat hujan, serta perkembangan prediksi iklim near real time dari BMKG sedemikian rupa dimanfaatkan sebagai input dinamik yang akan menjadi dasar pemilihan skenario anomali iklim pada Kalender Tanam yang akan diterapkan pada musim yang akan datang. Beberapa hal yang dilakukan antara lain, mempelajari peluang kejadian skenario anomali iklim dalam 2-3 musim berurutan, penyetaraan satuan peta dasar terkecil dari zona musim (ZOM) atau daerah bukan zona musim (Non-ZOM) menjadi berbasis administrasi di tingkat kecamatan, menterjemahkan informasi prediksi musim dari berbasis ZOM dan Non-ZOM menjadi berbasis kecamatan, serta menyusun informasi awal tanam dan luas tanam berdasarkan informasi prediksi musim dan perkembangan prediksi iklim near real time (Gambar 5.5) (Pramudia et al. 2011).

Pada kalender tanam terpadu, selain dilengkapi dengan hasil informasi prakiraan iklim, juga dilengkapi dengan informasi identifkasi OPT dan analisis wilayah rawan banjir dan kekeringan, varietas dan pupuk. Untuk identifikasi wilayah rawan kekeringan, banjir dan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dilakukan analisis tingkat kerawanan banjir dan kekeringan, analisis wilayah endemis OPT dan waktu puncak luas serangan banjir, kekeringan dan OPT.

5.3.2. CCROM-IPB dengan BMG

Sejalan dengan penyusunan kalender tanam Kementerian Pertanian, pada tahun yang sama (tahun 2007) Boer et a.l juga melakukan riset terkait kalender tanam yang disebut sebagai kalender pertanian. Kalender tanam yang dihasilkan sudah lebih bersifat dinamik, karena sudah memasukkan hasil prakiraan musim, sebagai alat bantu pengambilan keputusan. Kalender tanam yang dihasilkan menggunakan Bayesian network dan decision network. Dalam Decision Network (DN), keputusan pemilihan pola ditetapkan berdasarkan informasi iklim dan informasi lainnya yang diperoleh sebelum keputusan dibuat (Buono et al 2010).

Informasi dimaksud diantaranya adalah indeks ENSO yang dapat digunakan sebagai indikator tentang kemungkinan perubahan awal masuk musim hujan, prakiraan panjang musim hujan atau sifat hujan pada musim tanam.

(16)

Dalam penyusunan decision network, ada lima jenis data yang digunakan, yaitu; data ENSO (dalam kajian ini ialah data SOI Phase), lama musim hujan, sifat musim, luas tanam dan kejadian kekeringan untuk pengambilan keputusan bentuk pola tanam dengan tingkat risiko terkena kekeringan minimum. Keterkaitan antara informasi-informasi ini disusun dalam suatu perangkat lunak SIPOTAN dengan menggunakan bahasa pemograman PHP berbasis web. Ke lima jenis data ini disusun dalam bentuk Bayesian Network dan nilai yang digunakan dalam bentuk kode nilai.

Tabel 5.2 Nilai ke lima peubah yang digunakan dalam penyusunan Bayesian Network (Boer et al. 2007)

No Variabel Nilai Arti Ketersedi

aan Data 1 E-Phase :

SOI Phase Bln Agustus

1 Near Zero Ags ’89

s/d Nov.

2 Consistent Negative, Rapidly Falling ’07 3 Consistent Positive, Rapidly Rising 2 CH :

Curah Hujan

1 CH<(0.85*Rataan tahunan) Jan ’89

s/d Sep.

2 (0.85*Rataan tahuan)<CH<1.15*Rataan ’06 Tahunan)

3 CH>(1.15*Rataan Tahunan) 3 SDMH :

Sisa Dasarian Musim Hujan

1 Sisa MH <10 dasarian Nov. ’89

s/d Des.

2 Sisa MH : 10, 11, 12, dan 13 dasarian ’01 3 Sisa MH > 13 dasarian

4 LT : Luas Tanam

1 LT<0.85*LT Rataan tahunan Okt. ’89 s/d Sep.

2 0.85*LT Rataan tahunan<LT<1.15*LT Rataan ’06 Tahunan

3 LT>1.15*LT Rataan Tahunan 5 K :

Kekeringan

1 Tidak ada lahan kekeringan Jan. ’89

s/d Des.

2 0<luas lahan kekeringan<5000 Ha ’04

3 5000 Ha<luas lahan kekeringan<15.000 Ha 4 luas lahan kekeringan>15.000 Ha

Praproses untuk mentransformasi mendapatkan nilai-nilai setiap peubah kategori tersebut adalah sebagai berikut (Boer et al. 2007):

1.

SOI (SOI Phase) : diambil dari situs www.longpadock.qld.gov.au.

2.

CH (Curah Hujan) :

(17)

a. Dihitung rata-rata tahunan nilai curah hujan untuk setiap bulan (ada 12 bulan)

b. Untuk setiap bulan, nilai CH adalah :

CH = 1  jika : Nilai CH < 0.85*Rata-rata Tahunan

CH = 2  0.85*Rata-Rata Tahunan<Nilai CH<1.15*Rata-rata Tahunan

CH = 3  Nilai CH>1.15*Rata-rata Tahunan

3.

SDMH (Sisa Dasarian Musim Hujan) :

a. Ditentukan Jumlah Sisa Dasarian pada setiap bulan berdasar informasi Awal Musim Hujan (AMH) dan Lama Musim Hujan (LMH).

b. Nilai SDMH adalah sebagai berikut :

SDMH=1  Jika Jumlah Sisa Dasarian <10 dasarian

SDMH=2  Jika Jumlah Sisa Dasarian 10, 11, 12, atau 13 dasarian SDMH=3  Jika Jumlah Sisa Dasarian >13

4.

LT (LuasTanam) :

a. Dihitung rata-rata tahunan nilai LuasTanam untuk setiap bulan (ada 12 bulan)

b. Untuk setiap bulan, nilai Luas Tanam adalah : LT = 1  jika : Nilai LT < 0.85*Rata-rata Tahunan

LT = 2  0.85*Rata-Rata Tahunan<Nilai LT<1.15*Rata-rata Tahunan

LT = 3  Nilai LT>1.15*Rata-rata Tahunan

5.

K (Kekeringan) :

Penentuan kode untuk variabel K adalah mengikuti aturan seperti pada berikut :

1 Tidak ada lahan kekeringan 2 0<luas lahan kekeringan<5000 Ha

3 5000 Ha<luas lahan kekeringan<15.000 Ha 4 luas lahan kekeringan>15.000 Ha

Dari grafik di atas, maka luas lahan kekeringan dibagi menjadi 4 daerah seperti telah disebutkan di atas.

Dalam kajian ini, untuk menentukan tingkat kekeringan terdapat empat peubah, yaitu SOI Phase, Curah Hujan (CH), Sisa Dasarian Musim Hujan (SDMH) dan Kejadian Kekeringan (K). Keterkaitan tiga peubah tersebut adalah seperti dalam Gambar 5.6 berikut (Boer et al. 2007):

(18)

Gambar 5.6 Bayesian Network dengan tiga peubah

Setelah diperoleh diagram keterkaitan di atas, dengan menggunakan data sample, maka pada setiap node dihitung tabel peluang bersyaratnya, (Conditional Probability Table, CPT). Secara lengkap akan diperoleh suatu BN, seperti digambarkan pada Gambar 5.7 berikut :

CH

ENSO K

Phase SDMH

Nilai P(ENSO) 1 0.3630 2 0.3904 3 0.2466

E

P(CH|E)

1 2 3

1 0.3774 0.2075 0.4151 2 0.4737 0.0702 0.4561 3 0.3889 0.1944 0.4167

E

P(SDMH|E)

1 2 3

1 0.6792 0.1132 0.2075 2 0.6316 0.1579 0.2105 3 0.6667 0.0833 0.2500

CH SDMH P(K|CH,SDMH) n

1 2 3 4

1 1 0.6304 0.1957 0.0652 0.1087 46

1 2 1 0 0 0 7

1 3 0.8750 0.1250 0 0 8

2 1 0.8182 0.1818 0 0 11

2 2 1 0 0 0 5

2 3 0.8333 0.1667 0 0 6

3 1 0.8462 0.1538 0 0 39

3 2 1 0 0 0 6

3 3 1 0 0 0 18

Gambar 5.7 Bayesian network

CH

ENSO K

Phase SDMH

(19)

Kemudian dibentuk decision network untuk membentuk pola tanam (Gambar 5.8)

Gambar 5.8 Decision network

Nilai dari keputusan (D) adalah berupa pilihan pola penanaman, yaitu : a. D1= padi-padi penanaman dimulai awal musim hujan

b. D2= padi-padi penanaman dimulai satu bulan setelah musim hujan c. D3= padi-padi penanaman dimulai dua bulan setelah musim hujan d. D4= padi-padi penanaman dimulai tiga bulan setelah musim hujan Sedangkan node U adalah fungsi utilitas yang nilainya tergantung dari Keputusan (D) yang diambil dan kemunculan (outcome) dari node Kekeringan (K). Oleh karena node K mempunyai 4 kemungkinan nilai (Tabel 3.2) dan D juga mempunyai 4 kemungkinan tindakan, maka node U terdiri dari 4x4=16 kemungkinan/baris.

Dari sini dapat dihitung nilai harapan kerugian yang timbul dari setiap keputusan yang diambil. Sedangkan penghitungan Fungsi Utilitasnya dengan menggunakan alur logika sebagai berikut :

a. Penetapan 3 bulan mundur setelah AMH sebagai tanam kedua dari D1, satu bulan berikutnya adalah tanam kedua dari D2, satu bulan berikutnya lagi sebagai tanam kedua dari D3, dan satu bulan berikutnya sebagai tanam kedua dari D4.

b. Penghitungan proporsi luas tanam setiap D1, D2, D3, dan D4 pada bulan berjalan.

c. Proporsi luas tanam dikalikan dengan total luas lahan kekeringan CH

SOI K

Phase SDMH

D: Pola Tanam

U

(20)

5.3.3. I-MHERE B2C IPB

Mulai tahun 2010 riset tentang kalender tanam dilaksanakan oleh Departemen Geofisika dan Meteorologi dengan CCROM melalui I-MHERE B2C IPB (Boer et al. 2010). Penelitian ini diberi judul besar “Improving Research Excellence On Agricultural Adaptation (A)” dengan aktivitas “Increasing The Resilience Of Agriculture System To Global Warming and Climate Change (A2)”.

Topik ini merupakan salah satu upaya dalam adaptasi terhadap perubahan iklim.

Salah satu rekomendasi untuk mengatasi penurunan produksi padi dalam menghadapi keragaman dan perubahan iklim adalah dengan pengaturan waktu tanam. Penelitian pada tahun I telah menghasilkan sistem penentuan kalender tanam dinamik dan semi-dinamik berdasarkan kondisi iklim yang digambarkan oleh kondisi ENSO. Penelitian ini merupakan pengembangan dari riset yang dilakukan tahun 2007. Hasil penelitian tersebut memerlukan verifikasi dan sosialisi kalender tanam yang telah dihasilkan. Verifikasi dilakukan untuk mengetahui detail wilayah mana saja yang dapat ditanami pada ketiga musim tanam dan memverifikasi berapa luas tanam maksimum yang dapat ditanami pada ketiga musim tanam pada kondisi normal. Sebagai bahan sosialisasi dibuat modul/panduan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya. Modul/panduan berupa booklet dan dapat di download di website, berisi cara menggunakan kalender tanam dinamik maupun semi-dinamik. Namun demikian pemanfaatan kelendar tanaman dinamik tidak akan efektif apabila tidak disertai dengan pembangunan kemampuan kelembagaan daerah untuk memanfaatkannya dalam menyusun strategi dan program pengelolaan risiko iklim. Penguatan kelembagaan daerah dalam pengelolaa risiko iklim dilakukan melalui konsultasi dengan pejabat berwenang, diskusi, workshop dan pelatihan untuk para pemangku kepentingan terkait serta pembentukan kelompok kerja yang akan berperan dalam melakukan penataan dan penyusunan perangkat yang diperlukan dalam pengembangan sistem pengelolaan risiko iklim yang lebih efektif.

(21)

Gambar 5.9 Model DN untuk kalender dinamik tanaman (Boer et al. 2010)

Untuk tahun 2011, penelitian dilaksanakan dalam bentuk penelitian lapang dan desk study. Penelitian lapang dilakukan untuk meninjau langsung persawahan dan wawancara dengan PPL dan petugas lapangan pelapor gangguan tanaman di setiap wilayah hujan untuk mendapatkan informasi mengenai ketersediaan air irigasi dan periode tanam pada bagian wilayah

(22)

kecamatan yang mendapat rekomendasi tanam. Informasi ini diperlukan untuk mengetahui wilayah mana saja yang dapat ditanami pada ketiga musim tanam dan memverifikasi berapa luas tanam maksimum yang dapat ditanami pada ketiga musim tanam pada kondisi normal. Kegiatan lapang juga dilakukan dalam rangka identifikasi dan penetapan SKPD yang akan menjadi pengguna kalender tanam dinamik dan semi dinamik serta pelatihan terhadap petugas PPL dan SKPD dalam memanfaatkan informasi kalender tanam yang telah disusun.

Desk studi dilakukan untuk melakukan validasi, evaluasi sistem pengelolaan risiko iklim dan menyusun bahan panduan penggunaan kalender tanam sebagai bahan sosialisasi hasil yang telah diperoleh dari penelitian tahun 2010. Bahan panduan yang disusun akan di upload di website CCROM_SEAP dan Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB.

5.4. Pengembangan Model Kalender Tanam Dinamik dalam penelitian ini

Pengembangan kalender tanam dinamik dalam penelitian ini dititikberatkan pada penambahan decision yang dihasilkan. Decision network yang dihasilkan menggunakan suatu pemodelan risiko iklim dengan mengukur fungsi utility sebagai pendekatannya. Dengan demikian, kalender tanam dinamik yang dikembangkan merupakan sistem informasi yang menyajikan pemilihan tatalaksana pertanaman (pola, awal penanaman, pemupukan, irigasi, varietas , teknik budidaya lain) yang mempertimbangkan kemunculan kejadian iklim yang bersifat probabilistik untuk mengurangi risiko terkait kejadian iklim tersebut, dengan menggunakan analisis ekonomi untuk melihat kombinasi pilihan tatalaksana terbaik.

Pemodelan tersebut dikaitkan dengan strategi teknologi budidaya dalam hubungannya dengan produktivitas padi, yang dikuantifikasi berdasarkan komponen-komponen sistem informasi dan kalender tanam dalam hubungannya dengan produktivitas tanaman. Sehingga decision yang dihasilkan, tidak saja menyangkut waktu tanam, tetapi juga sudah memasukkan pilihan teknologi budidaya seperti pupuk, irigasi dan varietas. Mengingat pemilihan pupuk, varietas maupun penggunaan irigasi akan memberikan produksi yang berbeda pada tanaman. Disamping itu, juga dilakukan analisis keuntungan dan kerugian yang dijabarkan melalui penggunaan Sistem Inferensi Fuzzy yang digabung dengan

(23)

hasil simulasi DSSAT (Decision Support System for Agrotechnology Transfer) (Jones et al. 2003), sehingga berdasarkan pilihan kombinasi pada decision, dapat diketahui keuntungan atau kerugian akibat pemilihan salah satu jenis atau kombinasi teknologi tersebut.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari pola alternatif tanam ideal yang menguntungkan secara ekonomi, ditinjau dari kombinasi teknologi budidaya padi (pupuk, irigasi, varietas) suatu usaha tani pada suatu musim tertentu. Kombinasi teknologi budidaya tersebut diharapkan dapat memberi produksi maksimal dengan tingkat kerugian yang minimal

Sistem Inferensi Fuzzy (Fuzzy Inference System)

Fungsi utility diharapkan dapat menggambarkan potensi pola tanam dan waktu tanam tanaman semusim, terutama padi, berdasarkan potensi dan dinamika sumber daya iklim dan air, serta kalkulasi input dan output pada suatu usaha tani, sehingga diketahui keuntungan dan kerugiannya. Nilai risiko untuk setiap kombinasi antara keputusan pola tanam dengan kemunculan kejadian peubah iklim diprediksi sebagai rata-rata dari beberapa tahun kejadian bencana kekeringan. Dengan demikian, komponen ketakpastian dari data kurang diakomodasi oleh model. Oleh karena itu, fungsi risiko yang memetakan kombinasi keputusan dengan kejadian iklim ke nilai kerugian diformulasikan dengan model Fuzzy Inference System (FIS). Dengan model FIS, tranformasi dari kombinasi pola tanam dengan kejadian iklim ke nilai risiko dilakukan berdasarkan kepakaran. Pengetahuan berdasar pakar tersebut selanjutnya diformalkan dalam dengan aturan atau rule yang berbentuk (Jika ... Maka ...) dan dinyatakan dalam logika fuzzy. Dengan demikian, faktor ketidakpastian terakomodasi dan keterbatasan data dapat diatasi.

Pada Gambar 2, x sebagai peubah input dalam penelitian ini terdiri dari 3 peubah, yaitu nilai anomali SST Nino4, Panjang Musim Hujan (PMH), dan Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK). Selanjutnya ketiga input tersebut akan memasuki rule 1 hingga rule ke r, untuk menghasilkan himpunan fuzzy output yang merupakan nilai risiko kekeringan. Nilai prediksi risiko ini, yaitu y, dihitung dengan formula defuzzykasi terhadap himpunan fuzzy aggregate dari hasil semua rule.

(24)

Hasil keluaran dari FIS berupa nilai kekeringan dalam ha. Untuk mengetahui keuntungan dan kerugian usaha tani per ha, digunakan hasil dari simulasi DSSAT yang digabungkan dengan hasil analisis usaha tani, sehingga diperoleh input, output dan keuntungan / kerugian dalam bentuk rupiah. Kombinasi yang paling menguntungkan itulah yang dipilih sebagai alternatif pola tanam ideal.

Dengan demikian pengembangan penelitian ini dari riset sebelumnya adalah jumlah decision yang lebih banyak.dengan kombinasi yang bervariasi.

Kombinasi tersebut merupakan gabungan dari teknologi budidaya dengan tanggal tanam, terutama ketersediaan air Irigasi yang sangat mempengaruhi hasil tanaman. Hasil riset sebelumnya utility berupa table sehingga nilainya discret dan data terbatas.

5.5. Simpulan

Riset kalender tanam dimulai sejak tahun 2007 oleh Kementerian Pertanian yang lebih bersifat ‘look up table” dengan menggunakan tahun-tahun El-Nino, La-Nina dan Normal yang diperoleh berdasarkan data rata-rata historis jangka panjang. Prediksi disesuaikan dengan pola yang terbentuk pada tahun-tahun tersebut dengan panduan peta dan table-tabel.

Riset kalender tanam yang disusun oleh Boer et al, lebih bersifat dinamik, karena sudah memasukkan hasil prakiraan iklim, dan menggunakan Peluang yang ditampilkan dalam Bayesian network. Decision yang dihasilkan adalah pilihan pola tanam.

Pengembangan penelitian ini dari riset sebelumnya adalah jumlah decision yang lebih banyak.dengan kombinasi yang bervariasi. Kombinasi tersebut merupakan gabungan dari teknologi budidaya dengan tanggal tanam. Dengan demikian, kalender tanam dinamik yang dikembangkan merupakan sistem informasi yang menyajikan pemilihan tatalaksana pertanaman (pola, awal penanaman, pemupukan, irigasi, varietas, teknik budidaya lain) yang mempertimbangkan kemunculan kejadian iklim yang bersifat probabilistik untuk mengurangi risiko terkait kejadian iklim tersebut, dengan menggunakan analisis ekonomi untuk melihat kombinasi pilihan tatalaksana terbaik.

(25)

Berdasarkan state of the art kalender tanam ini, maka pada bab berikutnya akan dipaparkan mengenai pengembangan decision network yang dioptimasi dengan sistem inferensi fuzzy untuk penyusunan kalender tanam dinamik.

Gambar

Gambar 5.2   Sistem penanggalan musim bukti kepandaian ilmu astronomi nenek  moyang  (http://forum.vivanews.com/sejarah-dan-budaya/130540-teknologi-kuno-bangsa-indonesia-yang-canggih.html)
Tabel  5.1   Contoh kalender tanam tanaman pangan (padi) pada tahun normal
Tabel  5.2   Nilai ke lima peubah yang digunakan dalam penyusunan Bayesian  Network  (Boer et al
Gambar 5.6    Bayesian Network dengan tiga peubah
+3

Referensi

Dokumen terkait

Air Disalurkan Distributed Water (m 3 ) Nilai Value (Rp) (1) (2) (3) (4) Setu NA NA NA Serang Baru NA NA NA Cikarang Pusat NA NA NA Cikarang Selatan NA NA NA Cibarusah NA NA

Maka peneliti mencoba menerapkan metode yang telah ada untuk menghilangkan defect pada saat proses bongkar muat barang, yang nantinya memiliki output mempercepat dan

Dan dari responden yang memberi jawaban “Sudah diterima dan bekerja”, “Sudah diterima dan pekerjaan sudah ditentukan”, atau “Membuka usaha”, responden yang memberi

Organisme yang menghuni ekosistem tanah diperkirakan berjumlah seperempat dari seluruh organisme yang ada di bumi, sehingga jika diumpamakan dalam 1 sendok teh tanah yang

Secara agronomis jumlah daun yang nyata lebih tinggi pada perlakuan interaksi posisi mata tunas 1-4 dan konsentrasi IAA 100 ppm sudah dapat diduga, sebab rataan

Cara pemupukan yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan adalah dengan cara ditugal atau membuat pocket sebanyak 8 titik disekeliling tanaman kelapa sawit, cara ini diterapkan oleh

Perlakuan pertama adalah perlakuan kontrol, perlakuan kedua adalah pemberian jerami padi (5 ton/ha), perlakuan ketiga adalah pupuk kandang kambing (2,5 ton/ha),

Pengkajian dilaksanakan di Desa Sebapo, Kecamatan Mestong Kabupaten Muaro Jambi, lokasi ini termasuk zona Lahan Kering Dataran Rendah Iklim Basah (LKDRIB) yang merupakan