• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI PUBLIC PRIVATE PARTNERSHIP DALAM PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP (PLTU) MAMUJU DI KABUPATEN MAMUJU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI PUBLIC PRIVATE PARTNERSHIP DALAM PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP (PLTU) MAMUJU DI KABUPATEN MAMUJU"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

PUBLIC PRIVATE PARTNERSHIP DALAM PEMBANGUNAN

DAN PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP (PLTU) MAMUJU DI KABUPATEN MAMUJU

Oleh:

MEISHY ISTARA YUSUF

Nomor Induk Mahasiswa : 10561 11269 17

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2021

(2)

PUBLIC PRIVATE PARTNERSHIP DALAM PEMBANGUNAN

DAN PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP (PLTU) MAMUJU DI KABUPATEN MAMUJU

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Studi dan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Disusun dan Diajukan Oleh:

MEISHY ISTARA YUSUF

Nomor Induk Mahasiswa : 10561 11269 17

Kepada

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2021

(3)

i

(4)

ii

(5)

iii

(6)

iv

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Public Private Partnership dalam Peembangunan dan Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju di Kabupaten Mamuju”.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Ibu Dr. Hj. Fatmawati, M.Si selaku Pembimbing I dan Bapak Nasrul Haq, S.Sos., M.PA selaku Pembimbing II yang senantiasa meluangkan waktunya membimbing dan mengarahkan penulis, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

2. Ibu Dr. Ihyani Malik, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.

3. Bapak Nasrul Haq, S.Sos., M.PA selaku Ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.

4. Kedua orang tua Muh Yusuf dan Mery dan saudara kandung Rio, Zety dan Nono serta segenap keluarga yang senantiasa memberikan semangat dan bantuan, baik moril maupun materil.

5. Teman-teman ADN angkatan 17 terkhusus kelas ADN-G yang telah

membantu memberikan informasi penting yang berkaitan dengan

penyelesaian akhir.

(7)

v

(8)

vi

Dalam upaya pemerintah untuk pemenuhan infrastruktur dan juga sebagai penyedia pelayanan publik tidak cukup hanya mengandalkan kemampuannya sendiri. Untuk itu, skema Public Private Partnership hadir untuk menjawab akan hal itu. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab keterlambatan, prinsip-prinsip dan faktor pendukung kesuksesan Public Private Partnership dalam pembangunan dan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju di Kabupaten Mamuju.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, penentuan informan menggunakan teknik purposive sampling, pengumpulan data melalui teknik observasi, teknik interview atau wawancara dan dokumentasi. Data tersebut dianalisis dengan teknik reduction, data display dan conclusion drawing. Kemudian dilakukan pegabsahan data dengan cara triangulasi sumber, tiangulasi teknik dan triangulasi waktu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip-prinsip Public Private Partnership dalam pembangunan dan pengembangan PLTU Mamuju di Kabupaten Mamuju terdiri dari adil yaitu perlakuan antara pemerintah dan swasta berjalan dengan baik sesuai dengan tanggung jawab masing-masing yang telah dibuat antara kedua belah pihak, namun kurang baik terhadap masyarakat di sekitar PLTU Mamuju sehingga menyebabkan ketidak percayaan masyarakat, pendanaan dan pembagian risiko oleh PT Rekind Daya Mamuju, telah melalui identifikasi prioritas, memiliki dukungan dan jaminan pemerintah serta semua persyaratan pembangunan dan pengembangan terpenuhi. Prinsip terbuka yaitu semua Badan Usaha dapat ikut tetapi peran masyarakat lokal kurang karena kurang berkompeten, prinsip transparan berupa pemberian informasi melalui online, prinsip bersaing artinya pihak yang terlibat dapat joint sesuai syarat, prinsip bertanggung-gugat bahwa PT Rekind Daya Mamuju bertanggung jawab dari pembangunan sampai pengembangan tetapi dampak PLTU Mamuju sangat meresahkan. Prinsip saling menguntungkan yaitu ketersedian listrik terpenuhi, peningkatan perekonomian daerah, peluang kerja baru, produksi dan keuntungan.

Kata kunci: Pelayanan Publik, PLTU, Public Private Partnership

(9)

vii

HALAMAN PERNYATAAN... Error! Bookmark not defined.

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Kegunaan Penelitian... 13

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 16

A. Penelitian Terdahulu ... 16

B. Pengertian Public Private Partnership ... 19

C. Prinsip Pelaksanaan Public Private Partnership ... 22

D. Tujuan Pelaksanaan Public Private Partnership ... 22

E. Key To Succes Public Private Partnership ... 23

F. Model-model Public Private Partnership ... 25

G. Teori Pemakaian dan Ketersediaan ... 25

H. Tahapan atau Skema Public Private Partnership. ... 26

I. Value for Money Public Private Partnership ... 28

J. Public Private Partnership sebagai Kebijakan Publik ... 28

K. Risiko dalam Implementasi Public Private Partnership ... 29

L. Kerangka Pikir ... 30

M. Fokus Penelitian... 32

N. Deskriptif Penelitian ... 32

BAB III. METODE PENELITIAN ... 37

A. Waktu dan Lokasi ... 37

B. Jenis dan Tipe Penelitian ... 37

(10)

viii

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 45

B. Hasil Penelitian ... 57

C. Pembahasan ... 95

BAB V. PENUTUP ... 127

A. Kesimpulan ... 127

B. Saran ... 129

DAFTAR PUSTAKA... 131

LAMPIRAN ... 134

(11)

ix

Tabel 3 Data Informan Penelitian ……… 37 Tabel 4 Batas Wilayah Kabupaten Mamuju ……….... 44 Tabel 5 Luas Daerah Dan Jumlah Pulau Menurut Kecamatan ………… 46 Tabel 6 Informasi PLTU Mamuju ………... 54 Tabel 7 Total Konsumsi Energi Listrik Sulawesi Barat …………...…… 93 Tabel 8 Total Konsumsi Energi Sulawesi Barat ………..…… 94

Tabel 9 Pedoman Wawancara………... 132

Tabel 10 Pedoman Observasi……….. 134

(12)

x

Gambar 3 Kerangka Pikir ……….. 30

Gambar 4 Komponen-komponen Teknik Analsisi Data (interactive model) ………... 39

Gambar 5 Peta Wilayah Kabupaten Mamuju ……… 43

Gambar 6 Luas Daerah Menurut Kecamatan di Kabupaten Mamuju… 45 Gambar 7 Persentase Penduduk Menurut Kecamatan (%) 2020 …….. 47

Gambar 8 Struktur Grup Perusahaan ………...…………. 50

Gambar 9 PT Rekind Daya Mamuju ………. 51

Gambar 10 Susunan Pemegang Saham PT Rekind Daya Mamuju…….. 52

Gambar 11 Jajaran Direksi dan Dewan Komisaris ………. 52

Gambar 12 Tanggal Operasioanal atau COD PLTU Mamuju (2x25 MW)………... 55

Gambar 13 Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sulawesi Barat ………... 135

Gambar 14 Wawancara dengan Kepala Dinas ESDM Provinsi Sulawesi Barat ……….. 135

Gambar 15 Wawancara dengan Kepala Seksi Konservasi Energi Dinas ESDM Provinsi Sulawesi Barat ………. 136

Gambar 16 Kantor PT Rekind Daya Mamuju ……….. 136

Gambar 17 Wawancara dengan Dini Anggi Asari HR staff PT Rekind Daya Mamuju……… 137

Gambar 18 Wawancara dengan Ardiarso. P, Manajer HR & GA PT Rekind Daya Mamuju ……….. 137

Gambar 19 Wawancara dengan Aditya Lenon sebagai SPV HRD PT Rekind Daya Mamuju ……….. 138

Gambar 20 Wawancara dengan Marwansyah sebagai Kepala Dusun Talaba ………... 138

Gambar 21 Wawancara dengan Abdul Kabid sebagai Kepala Desa Belang-Belang ……….. 139

Gambar 22 Wawancara dengan bapak Najamuddin dan bapak Rahmadi sebagai masyarakat Dusun Talaba ……… 139

Gambar 23 Main Power House PLTU Mamuju……….. 140

Gambar 24 Boiler Unit PLTU Mamuju ……….. 140

Gambar 25 Sertifikat Laik Operasi PLTU Mamuju ……… 141

Gambar 26 Piagam Penghargaan kepada PT Rekind Daya Mamuju ….. 142

Gambar 27 Peta Skema Evaluasi Tsunami PLTU Mamuju ……… 142

Gambar 28 PPE Zone PLTU Mamuju ……… 143

Gambar 29 Skema Tanggap Darurat PLTU Mamuju ………. 143

Gambar 30 Surat Penelitian………. 144

Gambar 31 Surat Penelitian………. 145

Gambar 32 Surat Keterangan Selesai Penelitian…...………... 146

(13)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pembangunan infrastruktur merupakan hal yang penting dan mendukung perekonomian sehingga menuntut tanggung jawab dari pemerintah. Menurut Mittal dan Kalampuka tanggung jawab yang dimaksud yaitu tugas untuk menyediakan segala macam infrastruktur dasar maupun fasilitas pelayanan untuk warganya (Siswanta & Haryanto, 2017). Infrastruktur diartikan secara luas dibagi dalam tiga jenis yaitu pertama infrastruktur publik merupakan infrastruktur yang tidak memungut biaya atau tidak dibayar dan juga dinikmati bagi seluruh warga, contohnya yaitu jalan umum, jembatan, waduk atau bendungan dan irigasi maupun fasilitas publik yang lain. Kedua, infrastruktur semi private merupakan infrastruktur atau fasilitas yang dapat digunakan dan berbayar, namun tidak berorientasi kepada profit oriented.

Biasanya infrastruktur ini dikelola oleh pemerintah semisal listrik Pembagkit Listrik Negara (PLN), bangunan berupa gedung atau fasilitas untuk kesenian, objek-objek wisata umum dan hal-hal sejenisnya. Pengguna fasilitas tersebut biasanya diberikan tarif atau restribusi berkategori rendah. Ketiga, infrastruktur private merupakan infrastruktur dan fasilitas yang berorientasi pada provit misalnya berupa jalan tol, pelabuhan laut dan bandar udara, juga kawasan industri serta Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan lain-lain.

Infrastruktur publik biasanya disediakan dan dibangun oleh pemerintah dan untuk infrastruktur semi private dan private biasanya oleh Badan Usaha

1

(14)

Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daersh (BUMD), bisa juga oleh Swasta atau kerjasama (Maramis, 2018).

Namun dalam upaya pemerintah untuk pemenuhan infrastruktur dan juga sebagai penyedia pelayanan publik tersebut tidak cukup hanya mengandalkan kemampuannya. Dahulu, paradigma pelayanan publik lebih memberikan peran yang begitu besar kepada pemerintah yang merupakan sole provider (Fatmawati, 2011). Namun, sekarang pemerintah tidak bisa menjadi aktor tunggal pada pengambilan kebijakan, sehigga pemerintah harus bersinergi dengan pihak-pihak lain baik itu swasta ataupun masyarakat (Fauzela, Sutiyoso, & Putra, 2019). Di sisi lain tuntutan masyarakat ingin mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas, memiliki prosedur jelas, pelaksanaannya secepatnya dan biaya yang masuk akal dan terus mengedepan dari waktu ke waktu (Fatmawati, 2011). Untuk itu, skema Public Private Partnership hadir untuk menjawab akan hal itu, pemerintah mengambil upaya melalui pola kerja sama yang dinamakan Public Private Partnership (PPP) atau dikenal dengan Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) atau kerja sama dengan pihak swasta.

Public Private Partnership (PPP) dapat membantu dalam menyediakan

pengadaan yang lebih efisien, fokus pada kepuasan konsumen dan

pemeliharaan siklus hidup, dan menyediakan sumber investasi baru,

khususnya melalui hutang yang terbatas. Namun, PPP menghadirkan

tantangannya sendiri (Delmon, 2011). Sehingga pemerintah harus mampu

untuk berfikir lebih kreatif untuk mendapatkan solusi untuk permasalahan

(15)

yang dapat timbul dalam melaksanakan kewajiban pemerintah (Bisthomi, Saptono, & Suharto, 2016).

Sedangkan menurut Estache dalam Maramis (2018) melihat dari sisi pemerintah atau otoritas publik. Dia mengatakan bahwa pemerintah harus meningkatkan kemampuan mereka yang meliputi kemampuan mengidentifikasi proyek yang akan dibiayai oleh PPP (misalnya: proyek yang menciptakan nilai sosial yang tinggi), kemampuan untuk menetapkan karakteristik jasa, kemampuan untuk menyepakati imbalan, kemampuan bekerja dengan kontrak yang detail, kemampuan berinvestasi dalam penguatan kontrak. Kemampuan pemerintah merupakan faktor yang sangat menentukan dalam kesuksesan implementasi PPP. Semakin tinggi, detail dan kompleks kemampuan pemerintah atas karakteristik dan pembiayaan PPP maka semakin sukses proyek PPP yang ditanganinya (Maramis, 2018).

Menurut Koschatzky dalam Maramis (2018) bahwa Public Private

Partnership merupakan suatu aktivitas dalam penyediaan jasa publik atau

aktivitas perekonomian di pihak swasta dengan pelaksanaan joint

pembiayaan yang kemudian operasi dilakukan oleh sektor publik dan

industri yang berlandas terhadap kontrak yang telah mengatur tentang

pembiayaan dan operasi itu. Sedangkan menurut William J. Parante dari

USAID dalam Putra (2018), Publik Private Partnership (PPP) atau bisa

diartikan kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) merupakan bentuk

perjanjian atau kontrak antara sektor publik dan sektor privat yang memiliki

ketentuan dan kemudian disepakati, semisal sektor pemerintah harus

(16)

menjalankan fungsi pemerintah sesuai periode yang ditentukan; sektor privat akan menerima kompensasi karena sudah melaksanakan penyelenggaraan fungsi; baik itu secara langsung atau tidak langsung; sektor privat wajib bertanggung jawab terhadap resiko yang timbul dari penyelenggaraan fungsi.

Jadi, dalam PPP terjadi pengurangan atau terjadi reduksi aktivitas kepemilikan pemerintah disuatu pelayanan atau industri tertentu disebabkan sektor privat atau swasta ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan service delivery atau penyediaan layanan (Putra, 2018).

Pembangunan yang berbasis Public Private Partnership menurut Leontescu & Svilane dalam Siswanta & Haryanto (2017) akan menghasilkan empat sisi positif sebagai mana diperkenalkan oleh Mihai Leontescu & Egija Svilane yaitu 1) membawa manfaat bagi masyarakat, menumbuhkan iklim kompetisi nasional, mengurangi risiko entitas swasta dan publik serta memberi peluang bagi difusi teknologi. 2) membangun efektivitas misi pemerintah melalui teknologi bisnis sektor privat, efisiensi produksi, dan mereduksi biaya pembangunan. 3) merangsang inovasi, daya saing serta mereduksi biaya dan resiko bagi sektor privat. 4) meningkatkan perekonomian daerah melalui peningkatan peluang kerja baru, peningkatan produksi dan keuntungan (Siswanta & Haryanto, 2017).

Dalam pelaksanaan proyek kerja sama tersebut harus sesuai dengan

tahapan atau skema yang berlaku. Jika dilihat dari Peraturan Menteri

Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kepala Badan Perencanaan

Pembangunan Nasional No. 4 Tahun 2015. Sehingga diperoleh kesimpulan

(17)

bahwa ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan secara singkat diperlihatkan pada bagan berikut:

Gambar 1

Skema tahapan Public Private Partnership

Adanya skema Public Private Partnership maka pemerintah Sulawesi Barat melakukan pembangunan dan pengembangan infrastruktur yaitu salah satunya infrastruktur ketenagalistrikan. Listrik merupakan sumber energi yang sangat dibutuhkan dan tidak dapat digantikan peranannya. Oleh karena itu, pemerintah berupaya untuk mempercepat ketersediaan pasokan listrik di Sulawesi Barat dengan cara melaksanakan pembangunan dan pengembangan infrastruktur kelistrikan yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Uap

(

PLTU) Mamuju. Hal ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya pemenuhan konsumsi kebutuhan yang mendukung segala kegiatan masyarakat terutama masyarakat Provinsi Sulawesi Barat.

PLTU Mamuju mampu menyuplai kebutuhan listrik untuk industri di wilayah Provinsi Sulawesi Barat. Tujuan dari pembangunan dan pengembangan ketenagalistrikan sudah diatur dalam Undang-Undang No 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dalam Bab II pasal 2 berbunyi

“Pembangunan ketenagalistrikan bertujuan untuk menjamin ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan harga yang wajar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mewujudkan pembangunan yang

Tahap I Perencanaan

Tahap II Penyiapan

Tahap III

Transaksi

(18)

berkelanjutan”. PLTU Mamuju berkapasitas 2x25 Megawatt (MW) dibangun di sekitar kawasan pengembangan pelabuhan Belang-Belang karena dinilai salah satu pengembangan cikal bakal industri.

Dalam buku saku Public Private Partnership (PPP) atau Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dalam pelaksanaan penyediaan infrastruktur Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) telah dijelaskan tentang jenis-jenis infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan skema PPP/KPBU salah satunya yaitu infrastruktur ketenagalistrikan. Infrastruktur ketenagalistrikan dapat berupa pembangkit listrik beserta transmisi tenaga listrik kemudian infrastruktur lainnya berupa gardu induk dan distribusi tenaga listrik yang ada di setiap wilayah. Tujuan dari penggunaan skema PPP atau KPBU yaitu (BAPPENAS, 2019):

1. Dapat mencukupi kebutuhan mengenai hal pendanaan dan penyediaan berupa infrastruktur yang dilakukan secara berkelanjutan dengan melalui pengerahan dan pemakaian dana dari pihak swasta.

2. Dapat mewujudkan ketersediaan infrastruktur yang lebih berkualitas, efektif, dan efisien, infrastruktur yang tepat sasaran maupun tepat waktu.

3. Mampu menciptakan sebuah iklim investasi, akan mendorong

keikutsertaan semua Badan Usaha dalam mewujudkan penyediaan

ketersediaan ini dengan berdasar kepada prinsip-prinsip usaha dengan

cara yang sehat.

(19)

4. Dapat mendorong untuk digunakannya prinsip-prinsip yaitu pengguna infrastruktur membayar dalam hal ini pelayanan yang sudah diterimanya atau semisal hal-hal tertentu dengan mempertimbangkan tetang kemampuan bayar si pengguna.

5. Dapat memberikan suatu kepastian terhadap pengembalian sebuah investasi Badan Usaha untuk penyediaan infrastruktur melalui mekanisme pembayaran yang dilakukan secara berkala pemerintah kepada Badan Usaha yang bersangkutan.

Dalam Undang-Undang No 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan

pada bab IV pasal 5 berbunyi “kewenangan pemerintah kabupaten atau kota

di bidang ketenagalistrikan, sehingga dalam hal ini pemerintah memiliki

wewenang mulai dari melaksanakan penetapan peraturan daerah terutama di

bidang ketenagalistrikan, rencana umum, izin yang berkaitan dengan

penyiapan ketenagalistrikan sampai melakukan pembinaan maupun

pengawasan”. Beberapa peraturan-peraturan telah diterbitkan dan

diberlakukan untuk mendukung pelaksanaan Public Private Partnership

(PPP) diantaranya tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum yaitu

UU 2/2012, tentang prosedur pembelian tenaga listrik Peraturan Pemerintah

(Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 3/2015, mengatur

tentang perubahan mengenai Peraturan Presiden (Perpres) 71/2012 tentang

penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum Perpres

30/2015, serta tentang pengesahan rencana usaha penyediaan tenaga listrik

2015-2024 Keputusan Menteri (Kepmen) Energi dan Sumber Daya Mineral

(20)

(ESDM) 74/21/MEM/2015.

Pemerintah mengambil langkah dengan melibatkan pihak swasta karena ada beberapa permasalahan yang didapatkan, masalah yang dihadapi pemerintah yaitu kurangnya modal dan APBN/APBD tidak mampu untuk menyelesaikan hal tersebut, meningkatnya konsumsi akan listrik oleh masyarakat terutama masyarakat Provinsi Sulawesi Barat yang tidak diikuti dengan penambahan ketersediaan jumlah infrastruktur kelistrikan, jumlah penduduk yang terus bertambah dari tahun ke tahun dan pada tahun 2019 total penduduk Provinsi Sulawesi Barat yaitu 1.330.961 jiwa yang diperoleh dari BPS Sulbar (BPS, 2017).

Lalu dilihat dari penelitian Pribadi (2010) bahwa kondisi geografis Provinsi Sulawesi Barat juga menjadi salah satu penyebab harus dilakukannya pembuatan dan pengembangan saluran transmisi beserta mempercepat distribusi tenaga listrik karena melihat kondisi geografis Sulawesi Barat yang banyak berbukit dan bergunung-gunung. Jika dilihat dari perhitungan mengenai total dari seluruh konsumsi pemakaian energi listrik di Provinsi Sulawesi Barat melalui metode yang dinamakan metode regresi dari tahun 2010 sampai 2020 terus meningkat, pada tahun 2020 berjumlah 419,28. Total konsumsi energi dari sektor-sektor yaitu rumah tangga dan komersil, publik serta industri, setelah diperhitungkan maka didapat hasil yaitu terus meningkat, pada tahun 2020 berjumlah 2.141,22 (Pribadi, 2010).

Melihat keterbatasan tersebut pemerintah dan pihak swasta berperan

(21)

penting dalam menciptakan kerja sama yang saling menguntungkan.

Pemerintah dan pihak swasta harus mengikuti skema atau tahapan yang telah ditentukan dalam kerja sama untuk menciptakan tujuan yang telah ditetapkan. Pihak swasta yang akan bekerjasama dengan pemerintah provinsi Sulawesi Barat yaitu PT Rekind Daya Mamuju. PT. Rekind Daya Mamuju (RDM) merupakan perusahaan yang didirikan dengan tujuan membangun, kemudian memiliki lalu mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Pembangunan PLTU Mamuju dengan skema Public Private Partnership (PPP) diterapkan dengan model Build Operate Transfer (BOT).

Berdasarkan hasil penelusuran penulis di berbagai referensi dalam International Monetary Fund (Adji, 2010) menjelaskan model PPP ini yaitu sektor swasta akan mendesain kemudian membangun aset serta mengoperasikan dan mentransfer ke pemerintah ketika proyek telah selesai.

Pihak swasta yang bermitra bisa membeli atau menyewa aset pemerintah.

Menurut Primayogha et al (2020) perjanjian kontrak yang berlaku yaitu selama 25 tahun, setelah jangka waktu yang ditentukan berakhir, PLTU Mamuju menjadi miliki PT PLN. (Pembangkit Listrik Negara) dan adapun nilai investasi dari pembangkit PLTU Mamuju mencapai Rp 600 miliar.

Dari sumber lain menerangkan PT Rekayasa Industri (Rekind) yang menjadi

induk dari perusahaan PT Rekind Daya Mamuju menyiapkan dana

berjumlah US$ 100 miliar atau Rp 970 miliar. PT Rekind Daya Mamuju

menanggung jumlah 30% pembiayaan proyek Pembangkit Listrik Tenaga

(22)

Uap (PLTU) Mamuju dan sisa dananya dari Bank Nasional (Primayogha, Ilyas, Wasef, & Taher, 2020). Kapasitas dari PLTU ini yaitu 2X25 MW yang kemudian akan disalurkan ke PT Perusahaan Listrik Negara (PT.PLN).

Pada bulan September tahun 2018 PLTU Mamuju telah beroperasi secara komersial dan telah tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2018–2027 (Primayogha et al., 2020).

Pembangunan dan pengembangan PLTU Mamuju merupakan bagian dari proyek strategis nasional dalam pidato presiden RI mengatakan “target 35.000 MW bukanlah target yang ringan, tapi harus dicapai dengan kerja keras. Diketahui di pemerintahan Presiden Joko Widodo prioritas utamanya adalah pembangunan infrastruktur, sehingga membutuhkan pendanaan yang lumayan besar. Saat ini terjadi kesenjangan finansial (financial gap) antara kebutuhan terhadap pendanaan dan anggaran pendanaan yang tersedia (Toyib & Nugroho, 2018). Salah satu dari infrastruktur yang dimaksud adalah infrastruktur kelistrikan yang cukup adalah kunci untuk tercapainya pertumbuhan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.” Presiden Joko Widodo pada tanggal 7 April pada tahun 2015 di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 program kelistrikan akan menjadi program strategis nasional yaitu program 35.000 Mega Watt (MW) yang membutuhkan dana investasi sangat besar yaitu di atas Rp. 1.100 triliun (Supancana, 2015).

Untuk pembangunan dan pengembangan perlu dibutuhkan prinsip-

prinsip agar Public Private Partnership sukses. Prinsip-prinsip dasar

(23)

pelaksanaan meliputi adil, terbuka, transparan, bersaing, bertanggung gugat dan saling menguntungkan (Adji, 2010). Namun dalam proses pelaksanaannya berdasarkan hasil penelusuran penulis di berbagai referensi, terjadi permasalahan-permasalahan yang terjadi yaitu saat peninjauan Gubernur Anwar Adnan Saleh yang didampingi oleh Kepala Dinas Pertambangan, Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulbar, ada dari staf ahli bidang hukum Pemprov Sulbar, serta sejumlah kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lingkup Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat.

Gubernur menuturkan kekecewaannya yang hasilnya jauh dari harapan. Dia mengatakan ”Saya sangat kecewa kepada pihak kontraktor dalam pembangunan ini, akibat tidak memenuhi komitmen ketika pertama kali mengerjakan proyek tersebut yang menuntaskan pembangunannya pada akhir tahun 2015, pekerjaannya begitu lamban” ujarnya di depan pihak kontraktor (Ronalyw, 2015).

Lalu, selain memprotes dampak dari pembangunan, warga juga menagih janji yang awalnya berjanji memberdayakan masyarakat sekitar PLTU (Said, 2015). Sehingga dalam pembangunan dan pengembangan PLTU Mamuju ini tidak mengedepankan Value for Money (VfM) dalam pelaksanaan tahapan Public Private Partnership terkesan dipaksakan.

Dalam setiap tahapan perlu diperhatikan, karena setiap tahapan memiliki titik kritisnya masing-masing karena setiap tahapan mempunyai proses yang cukup kompleks (Adji, 2010).

Dari uraian di atas, telah dipaparkan secara terperinci mengenai

(24)

pembangunan dan pengembangan infrastruktur kelistrikan yaitu PLTU Mamuju yang menggunakan skema Public Private Partnership (PPP), sehingga peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Public Private Partnership dalam Pembangunan dan Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju di Kabupaten Mamuju”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dibuat bahwasanya Public Private Partnership adalah bentuk kerja sama yang diambil pemerintah sebagai alternative atau solusi untuk mempercepat pembangunan dan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju. Adapun rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penyebab keterlambatan Public Private Partnership dalam pembangunan dan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju di Kabupaten Mamuju?

2. Bagaimana prinsip-prinsip pelaksanaan Public Private Partnership dalam pembangunan dan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju di Kabupaten Mamuju?

3. Faktor-faktor apa yang mendukung kesuksesan Public Private Partnership dalam pembangunan dan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju di Kabupaten Mamuju?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas tentang

(25)

pembangunan dan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju di Kabupaten Mamuju, maka tujuan dari penelitian sebagai berikut:

1. Mengetahui penyebab keterlambatan Public Private Partnership dalam pembangunan dan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju di Kabupaten Mamuju.

2. Mengetahui prinsip-prinsip pelaksanaan Public Private Partnership dalam pembangunan dan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju di Kabupaten Mamuju.

3. Mengetahui faktor-faktor yang mendukung kesuksesan Public Private Partnership dalam pembangunan dan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju di Kabupaten Mamuju.

D. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, adapun manfaat dari penelitian sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu, pengalaman dan sebagai media penelitian serta sebagai wujud kontribusi akademik guna menambah khazanah keilmuan, pengembangan Ilmu Administrasi Negara terkhususnya mengenai Public Private Partnership yang merupakan salah satu kebijakan kontenporer untuk pembangunan infrastruktur masa kini.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

(26)

pemerintah, pihak swasta dan masyarakat.

a. Pemerintah

Membantu pemerintah dalam penyediaan infrastruktur semisal infrastruktur ketenagalistrikan berupa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk memberikan ketersediaan bagi masyarakat, mengatasi kendala pemerintah berupa bantuan modal ketika pemerintah tidak mampu maka skema Public Private Partnership sebagai pilihan alternatif masa kini. Pertimbangan-pertimbangan kegiatan berupa proyek yang berbasis skema Public Private Partnership yang tidak boleh semata hanya berorientasikan hanya pertimbangan modal saja. Namun juga harus berdasarkan kesejahteraan bagi masyarakat dan aspek sosial serta ekonomi maupun lingkungan hidup.

b. Pihak Swasta

Untuk menjamin sebuah kelancaran dan agar proses kerja

sama berhasil antara pihak pemerintah dan pihak swasta, maka

Pihak swasta harus mampu mengetahui kepentingan dan

pertimbangan-pertimbangan agar tidak hanya berfokus

keuntungan. Semakin tinggi sebuah tingkat keserasian atau

kecocokan dukungan yang diberikan antara pemerintah dan pihak

swasta maka semakin tinggi tingkat pertimbangan akan prioritas

pihak swasta dan semakin tinggi akan keberhasilan sebuah proyek

kerjasama yang berbasis skema Public Private Partnership (PPP).

(27)

c. Masyarakat

Masyarakat harus mampu memahami bahwa masyarakat

berperan penting. Bentuk dari peran masyarakat yaitu dengan

berpartisipasi dalam segala kebijakan yang dikeluarkan.

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu

Adapun penelitian terdahulu yang relevan untuk mendukung penelitian ini diantaranya sebagai berikut:

1. Ismowati (2016) yang melakukan penelitian mengenai kajian urgensi Public Private Partnership (PPP) yang berlokasi di Kota Bandung.

Kesimpulan dari penelitian ini bahwa Public Private Partnership (PPP) tidak selalu berkonotasi buruk. Untuk melaksanakan Public Private Partnership (PPP) agar bisa berhasil maka syarat-syarat yang diperlukan harus bisa terpenuhi yang berhubungan dengan keinginan pemerintah kota Bandung untuk membangun dan mengerjakan proyek-proyek kota Bandung yang lebih maju. Untuk mewujudkan “Program Bandung Juara” maka pemerintah kota Bandung melaksanakan kerjasama dengan pihak swasta yang didasari keinginan pemerintah yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab baik itu sosial maupun ekonomi kepada masyarakatnya serta memastikan agar pelayanan publik yang diberikan memuaskan. Beberapa hal yang harus diperhatikan agar kerjasama Public Private Partnership (PPP) berhasil yaitu kerjasama yang dilaksanakan saling menguntungkan kedua belah pihak, memiliki sifat saling melengkapi bukan untuk melakukannkompetisi dan memberikan keterbukaan terhadap informasi serta mempunyai kaitan dengan integrasi meskipun berbeda dari segi budaya. Bentuk dari skema kerjasama Public

16

(29)

Private Partnership (PPP) yaitu bentuk Kontrak Sewa (Lease), kemudian Kontrak Servis atau disebut Kontrak Buil-Operate-Transfer (BOT) atau bisa dilakukan dengan bentuk yaitu bangun kelola dan alih milik (Ismowati, 2016).

2. Anggraini (2017) yang melakukan penelitian mengenai Public Private Partnership dalam pengembangan program Sidoarjo bersih dan hijau di kabupaten Sidoarjo. Kesimpulan dari penelitian ini bahwasanya dalam melakukan pengembangan program Sidoarjo bersih dan hijau dilihat karakteristik dari PPP antara Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Sidoarjo yang bekerjasama dengan Radar Surabaya. Sejauh ini sudah dapat dikatakan maksimal yang dilihat dari kejelasan tujuan, pembagian peran dan tanggung jawab, sumber daya yang berkualitas serta kepercayaan dan komunikasi antar pihak (Anggraini, 2017).

3. M., Gasali & Zulfhi (2016) yang melakukan penelitian mengenai regulasi dan strategi dalam penyediaan infrastruktur air minum dengan skema Public Private Partnership (PPP) di Kabupaten Indragili Hilir.

Lokasi penelitian ini berada di Kabupaten Indragiri Hilir. Kesimpulan dari penelitian ini ketersediaan infrastruktur merupakan salah satu faktor utama untuk penggerak dalam perekonomian. Akan tetapi, rendahnya tingkat investasi dapat memberikan dampak negatif untuk perekonomian.

Perlu dilakukan pertimbangan-pertimbangan kegiatan yang bersifat

Public Private Partnership (PPP) yang tidak difokuskan hanya

pertimbangan bisnis saja. Jika dianggap layak maka model pembangunan

(30)

infrastruktur berupa air minum bisa menggunakan skema PPP (M., Gasali & Zulfhi, 2016).

4. Haryanti (2020) melakukan penelitian mengenai implementasi Public Private Partnership sebagai usaha keberhasilan pengembangan pariwisata di era global. Penelitian ini dibuat dengan jenis penelitian kepustakaan dengan mereview dari berbagai jurnal. Penelitian ini dibuat sebagai referensi melaksanakan PPP di Indonesia. Kesimpulan dari penelitian ini tentang pengembangan objek wisata melalui skema Public Private Partnership (PPP). Untuk menghasilkan PPP yang berkualitas dalam pengembangan objek pariwisata beberapa hal yang perlu diperhatikan mulai dari menciptakan pariwisata siap bersaing, berkompetisi dengan objek wisata lainnya, menciptakan pariwisata yang memberikan suasana nyaman dan alami, serta melakukan koordinasi dan kolaborasi antara masyarakat, pemerintah dan swasta (Haryanti, 2020).

5. Tukoboya, Nurjaman, & Suryani (2018) melakukan penelitian mengenai

Public Private Partnership pada konservasi dan pembangunan

infrastruktur pengaman pantai; studi kasus Bali. Kesimpulan dari

penelitian ini menunjukkan Indonesia adalah negara kepulauan

mempunyai luas 3.374.668 Km2, terdiri dari 13.466 pulau dan panjang

garis pantai ± 99.093 km (Badan Informasi Geospasial, 2015). Dalam

penelitian ini juga dilakukan identifikasi kebutuhan dan potensi

perbaikan pantai diakibatkan erosi. Melihat kebutuhan dan skema

pembiayaan perlu dilakukan kegiatan investasi dalam penanganan

(31)

kerusakan dan konservasi kawasan pantai. Sesuai dalam RPJMN tahun 2015–2019 untuk pencapaian target pembangunan infrastruktur dengan cara melakukan analisis sensifitas yang menghasilkan nilai IRR 29,62%

dengan jumlah discount rate 12% dengan hasil B/C ratio 1,98 dengan kondisi kehilangan nilai benefit yaitu ±75%. Sehingga perlu alternatif pembiayaan yaitu melalui Public Private Partnership (PPP) atau Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS) (Tukoboya et al., 2018).

B. Pengertian Public Private Partnership

Ada banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli dan peneliti

tentang Publik Private Partnership. The Organisation for Economic Co-

Operation and Development atau singkatannya OECD (2008)

mendefinisikannya sebagai kesepakatan antara pemerintah dengan satu atau

lebih mitra swasta atau biasanya operator dan penyandang dana, mitra swasta

memberikan layanan yang seimbang baik layanan yang diterima oleh

pemerintah dan keuntungan yang diperoleh oleh mitra swasta. Adapun

efektivitas dalam penerapannya tergantung pada transfer resiko antara mitra

swasta (Toyib & Nugroho, 2018). Alasan lain digunakan Public Private

Partnership (PPP) adalah sumber daya manusia di negara-negara berkembang

hanya mempunyai sedikit pengalaman dan keahlian dalam pegoperasian

proyek infrastruktur yang berat, bukan hanya membutuhkan modal finansial

yang begitu besar, juga pengetahuan dan keahlian yang lebih maju, tidak

mengherankan jika analisis menemukan bahwa beberapa negara berkembang

meminta bantuan dari negara-negara maju yang memiliki keahlian dalam

(32)

menjalankan proyek (Kang, Mulaphong, Hwang, & Chang, 2019).

Dalam buku (Adji, 2010), pada tahun 2004 Internationaly Monatery fund (IMF) menjelaskan bahwa Publik Private Partnership merupakan pengaturan yang dilakukan pihak swasta dalam penyediaan aset infrastruktur serta jasa yang dikelola dan disediakan oleh pemerintah. Inti dari Public Private Parnership (PPP) merupakan keterkaitan sebagai sinergi yang terus berkelanjutan dan ada kontrak jangka panjang dalam pembangunan proyek untuk pelayanan publik atau peningkatan pelayanan umum (Bisthomi et al., 2016).

Pengalihan tanggung jawab untuk mengumpulkan pembiayaan investasi infrastruktur ke sektor swasta merupakan salah satu perbedaan besar Public Private Partnership dengan pengadaan konvensional. Dalam kasus seperti ini, pihak swasta dalam PPP bertanggung jawab untuk mengidentifikasi investor dan menyusun struktur keuangan proyek. Akan tetapi, praktisi sektor pemerintah perlu memahami struktur pembiayaan swasta untuk infrastruktur dan mempertimbangkan implikasi potensial struktur tersebut bagi pemerintah (Monterio, Harris, Lewis, Ryu, & Saville, 2014).

Menurut Paskarina dalam Sompa (2019) di sektor swasta bentuk yang

didapatkan yaitu provit sedangkan sektor pemerintah mempermudah proses

penyediaan yang meringankan beban pendanaan untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat. Keuntungan yang juga didapatkan pemerintah

adalah terciptanya transfer teknologi, lebih efisien dalam managerial

melalui pihak swasta yang memiliki rasa tanggung jawab serta kepedulian

(33)

tentang isu lingkungan hidup. Tiap negara mempunyai definisi yang berbeda-beda tentang Public Private Partnership (PPP), tergantung pada karakteristik dan regulasi yang ada di negaranya. Berikut berbagai definisi PPP oleh beberapa negara.

Tabel 1

Definisi Public Private Partnership

No Negara Definisi Public Private Parnership (PPP) 1 Korea PPP adalah proyek pembangunan dan mengoperasikan

infrastruktur seperti jalan raya, pelabuhan, jalan rel, sekolah maupun fasilitas lainnya. Secara tradisional dibangun dan dijalankan oleh dana pemerintah dan swasta sebagai pemodal yang dapat membangkitkan kratifitas dan efisiensi.

2 Afrika Selatan

PPP adalah sebuah transaksi komersial institusi pemerintahan dan pihak swasta. Dalam penerapannya pihak swasta sesuai dengan fungsi institusional dengan atas nama institusi pemerintah sesuai jangka waktu ditetapkanya atau tidak memiliki batasan waktu atau memperoleh hak guna properti milik negara untuk kepentingan yaitu komersial. Pihak swasta akan menerima keuntungan ketika menjalankan fungsi pemerintah, lalu menerima kompensasi atas pendapatan atau biaya yang dikumpulkan oleh pihak swasta.

3 Britania Raya

PPP adalah aturan yang dinyatakan dengan bentuk kerja sama dengan sektor publik dan sektor swasta.

Arti luasnya kerjasama ini meliputi semua jenis kolaborasi sektor publik dan sektor swasta yang memiliki berbagi resiko dalam menciptakan kebijakan dan infrastruktur (HMT, inprastructure procuremen:

delivering long-term value, 2008). Jenis PPP yang paling umum di Britania Raya yaitu private finance initiative (inisiatif pendanaan swasta) adalah aturan untuk sektor publik dalam kontrak pembelian jasa yang biasanya berasal dari investasi aset oleh sektor swasta dalam jangka waktu panjang, biasanya 15 sampai 30 tahun.

4 Victoria (Australia)

PPP adalah semua hal yang berhubungan tentang

penyediaan infrastruktur dan layanan tambahan

dengan melibatkan investasi dari pembiayaan swasta,

melalui present value pembayaran jasa oleh

(34)

pemerintah ataupun konsumen, senilai lebih 10 juta Dolar Australia.

Sumber: Toyib & Nugroho, 2018

C. Prinsip Pelaksanaan Public Private Partnership

Prinsip yang menjadi dasar pelaksanaan PPP yaitu (Adji, 2010):

1. Adil berarti seluruh pihak yang ikut serta dalam proses Publik Private Partnership memperoleh perlakuan yang sama;

2. Terbuka berarti seluruh proses pengadaan bersifat terbuka untuk semua pihak yag terlibat;

3. Transparan berarti semua ketentuan maupun informasi yang berkaitan dalam penyediaan infrastruktur baik syarat teknis maupun administrasi pemilihan, tata cara evaluasi serta penetapan badan usaha harus bersifat terbuka untuk seluruh badan dan masyarakat umumnya;

4. Bersaing berarti dalam pemilihan Badan Usaha melalui proses pelelangan;

5. Bertanggung-gugat berarti hasil pemilihan Badan Usaha harus mampu dipertanggungjawabkan;

6. Saling menguntungkan antara kemitraan pemerintah dengan badan usaha atau pihak swasta dalam penyediaan infrastruktur.

D. Tujuan Pelaksanaan Public Private Partnership

Adapun tujuan Public Private Partnership yaitu (Istanto, 2011) :

1. Untuk mencukupi kebutuhan akan pendanaan yang berkelanjutan atas pengarahan dana swasta;

2. Mampu meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan dengan

(35)

cara persaingan sehat;

3. Peningkatan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan penyediaan infrastruktur ;

4. Mendorong prinsip yaitu “pakai bayar” dengan mempertimbangkan kemampuan dari pemakai.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan “pemberian otonomi kepada daerah guna melaksanakan percepatan agar terwujudnya kesejahteraan masyarakat”.

Agar tujuan tersebut bisa dicapai pemerintah daerah diberikan kewenangan melakukan kerjasama melalui program kerja sama atau kemitraan dengan pihak swasta. Hal ini sejalan dengan pasal 278 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat melibatkan peran serta pihak masyarakat maupun sektor swasta dalam pembangunan Daerah (Riyanda, 2020).

E. Key To Succes Public Private Partnership

Setelah krisis keuangan global 2007–2008, terdapat peningkatan minat

dalam penerapan kebijakan Public Private Partnership oleh pemerintah baik

di negara maju maupun berkembang. Banyak pemerintah di seluruh dunia

sekarang berusaha memanfaatkan keahlian dan modal sektor swasta untuk

meminimalkan defisit infrastruktur mereka dalam hal ini para peneliti di

seluruh dunia juga telah mencoba untuk menyelidiki implementasi dan

operasi kebijakan sensitif ini (Osei-Kyei & Chan, 2015). Menurut Han Lee

(36)

Griffin dalam Istanto (2011) mengatakan ada beberapa aspek kunci sukses Public Private Partnership yaitu sebagai berikut :

1. Consensus on what to build, funding shares, method of payment, dalam terjemahannya secara bebas yaitu kunci sukses Public Private Partnership yaitu mengembangkan konsensus atau kesepakatan dan pembagian pendanaan serta pembayaran;

2. Legal authority, artinya bahwa dalam pelaksanaan Public Private Partnership memiliki kewenangan yang begitu kuat di aspek legalitas;

3. Stable revenue stream artinya dalam pelaksanaan Public Private Partnership terjamin kelangsungan pendapatan yang terus stabil;

4. Funding firewalls, private sector trust, yang melaksanakan Public Private Partnership adalah swasta yang dipercayai atau kredibel yang dilihat terutama dari kesiapan pendanaannya;

5. Appropriate allocation of risk artinya bahwa resiko sedapat mungkin diatur dengan seimbang antara dua belah pihak;

6. Cost and schedule control artinya pembiayaan akan selalu terkontrol dengan melalui penjadwalan yang ketat;

7. Experienced project management artinya yang melaksanakan PPP dilakukan oleh manajemen proyek yang memiliki atau berpengalaman;

8. Product orientation not process orientation artinya dalam pelaksanaan yang berorientasi hasil atau produksi bukan tentang orientasi pada proses;

9. Focus agency mission artinya bahwa pelaksanaan Public Private

(37)

Partnership fokus terhadap organisasi;

10. Clear decision making authority artinya kewenangan dalam pembuatan keputusan harus tuntas.

F. Model-model Public Private Partnership

Model-model atau bentuk-bentuk Public Private Partnership (PPP) menurut International Monetary Fund (Adji, 2010):

Tabel 2

Model-model Public Private Partnership

Bentuk-bentuk Prinsip-prinsip Umum

Build-Own-Operate (BOO) Build-Develop-Operate (BDO) Design-Construct-Manage- Finance (DCMF)

Sektor swasta yang mendesain, Membangun dan memiliki, mengembangkan dan kemudian mengelolah aset tanpa adanya persetujuan mengenai transfer akan kepemilikan ke pemerintah. Pola-pola itu merupakan variasi dari pola design-Build-Finance-Operate (DBFO).

Buy-Build-Operate (BBO) Lease-Develop-Operate (LDO) Wrap-Around-Addition (WAA)

Sektor swasta yang membeli atau menyewa aset pemerintah, kemudian memperbaiki lalu memodernisasi dan meningkatkan kapasitasnya.

Mengoperasikan aset itu, sekali lagi tidak usah pengakuan kembali untuk transfer ke pemerintah.

Build-Operate-Transfer (BBO) Build-Own-Operate-Transfer (BOOT)

Build-Rent-Own-Transfer (BROT)

Build-Lease-Operate-Transfer (BLOT)

Build- Operate -Transfer (BOT)

Sektor swasta mendesain kemudian membangun serta mengoperasikannya dan mentransfer ke pemerintah ketika proyek tersebut selesai. Pihak swasta yang menjadi mitra dapat membeli maupun menyewa aset dari

pemerintah.

Sumber: Adji, 2010

G. Teori Pemakaian dan Ketersediaan

Untuk mengklasifikasikan Public Private Partnership berdasarkan

(38)

kepada bentuk pelayanan dan transfer risiko yang melekat di kontrak Public Private Partnership, seperti yang dijelaskan Yescombe (Toyib & Nugroho, 2018), membagi PPP menjadi dua kategori yaitu :

1. Pemakaian (Usage-Based)

Public Private Partnership (PPP) berdasarkan pemakaian paling banyak diaplikasikan, biasanya berupa ongkos, tarif, atau biaya penggunaan fasilitas oleh pengguna jalan raya, jembatan, atau terowongan. Model ini merupakan contoh Public Private Partnership yang risiko permintaannya dialihkan ke pihak swasta, namun risiko pemakaiannya bisa tetap ditanggung pemerintah seperti dalam shadow tolls.

2. Ketersediaan (Availability)

Proyek seperti rumah susun masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) adalah jenis proyek ini yang pembiayaannya tersebut ditujukan untuk melakukan membangun sebuah infrastruktur jenis sosial.

H. Tahapan atau Skema Public Private Partnership.

Perlu diperhatikan bahwa setiap tahapan memiliki titik kritisnya masing- masing dan kategori proyek Public Private Partnership (PPP) sangat terkait dengan proyek-proyek infrastruktur yang ditawarkan secara resmi oleh pemerintah, terdapat tiga kategori proyek yaitu proyek potensial, proyek prioritas, proyek siap pakai (tender) yang masing-masing proyek memiliki kriterianya masing-masing dan merupakan satu urutan tahapan (Adji, 2010).

Tahapan atau skema Public Private Partnership (PPP) dilaksanakan atas

(39)

dasar Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) nomor 4 Tahun 2015 mengenai Tahapan atau skema Public Private Partnership (PPP) atau kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, berikut penjelasan mengenai skema tahapan Public Private Partnership.

1. Penyusunan rencana anggaran dana KPBU

2. Identifikasi dan penetapan KPBU 3. Penganggaran

dana tahap perencanaan KPBU 4. Pengambilan

keputusan atau tindak lanjut rencana KPBU 5. Penyusunan

daftar rencana KPBU

6. Pengkategorian KPBU

1. Penyiapan prastudi kelayakan termasuk kajian pengembalian investasi Badan Usaha Pelaksana 2. Pengajuan

dukungan pemerintah dan atau jaminan pemerintah 3. Pengajuan

penetapan Iokasi KPBU

1. Penjajakan minat pasar (market sounding) 2. Penetapan Iokasi

KPBU

3. Pengadaan Badan Usaha Pelaksana yang mencakup persiapan dan pelaksanaan pengadaan BUP 4. Penandatanganan

perjanjian KPBU 5. Pemenuhan

pembiayaan (financial close) Output yang

dihasilkan:

1. Prastudi kelayakan 2. Rencana

dukungan 3. Pemerintah dan

atau jaminan pemerintah 4. Penetapan tata

cara

pengembalian investasi Badan Usaha Pelaksana 5. Pengadaan tanah

untuk KPBU Output yang

dihasilkan:

Studi pendahuluan

Output yang dihasilkan:

1. Dokumen Persetujuan prinsip dukungan kelayakan dan atau jaminan pemerintah 2. Dokumen

pengadaan 3. Dokumen

perjanjian KPBU 4. Dokumen

perjanjian penjaminan 5. Dokumen regres Kegiatan Lainnya:

1. Pelaksanaan konsultasi publik 2. Pengusulan daftar

rencana KPBU (PPP Book)

Kegiatan Lainnya:

1. Pelaksanaan konsultasi publik

2. Penjajakan minat pasar (market sounding) 3. Penyiapan dokumen

kajian Iingkungan hidup.

TAHAP I PERENCANAAN

TAHAP II PENYIAPAN

TAHAP III

TRANSAKSI

(40)

I. Value for Money Public Private Partnership

Value for Money (VfM) merupakan metode penelaian apakah publik menerima semua manfaat secara maksimal dari penyediaan barang atau jasa dalam upaya pemberian pelayanan publik. Dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan, VfM perlu sejalan dengan semua total biaya keseluruhan yaitu biaya dari sebuah aset yang bukan hanya diperhatikan dari segi pembeliannya saja, tetapi juga dari seluruh desain dan sumber bahan baku konstruksi serta operasinya. VfM memperhitungkan bukan hanya berdasarkan kelayakan finansial saja, namun juga intensitas tentang material dan energi, tujuan pembangunan, daya tahan proyek dan tak lupa efek sosial yang berganda (social multipliers effect) semisal penciptaan lapangan kerja dan pembangunan keterampilan dan sejumlah efek lainnya yang saat diambil atau diukur bersamaan adalah nilai yang baik. Sehingga, VfM adalah kombinasi yang optimal dari semua total biaya dan kualitas terhadap tujuan penyediaan dari barang atau jasa dalam memenuhi permintaan publik (BAPPENAS, 2019).

J. Public Private Partnership sebagai Kebijakan Publik

Dalam buku Transformasi Public Private Partnership Indonesia Gambar 2

Skema Public Private Partnership

(41)

(Toyib & Nugroho, 2018), pemerintah memiliki dua tugas dasar, membangun kebijakan publik dan memberikan pelayanan publik. Setelah itu, pemerintah diperbolehkan melakukan tugas-tugas lainnya. Hal ini menjadi isu genting karena sebagian besar pemerintah di negara berkembang lebih melakukan tugas-tugas politik maupun seremonial kebijakan publik adalah hulu dari segala kehidupan bersama, baik pemerintahan dan masyarakat.

K. Risiko dalam Implementasi Public Private Partnership

Menurut PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Toyib & Nugroho, 2018), dalam penyusunan kajian risiko dapat mengelompokkan risiko-risiko yang telah teridentifikasi menjadi 11 kategori risiko yaitu:

1. Risiko lokasi, termasuk risiko pembebasan lahan dan risiko ketidaksesuaian lokasi lahan;

2. Risiko desain, kontruksi, dan uji operasi, termasuk risiko perencanaan dan desain, serta risiko penyelesaian, risiko kenaikan biaya;

3. Risiko sponsor;

4. Risiko finansial, termasuk risiko ketidakpastian pembiayaan, risiko parameter finansial, risiko asuransi;

5. Risiko operasional, termasuk risiko pemeliharaan, risiko cacat tersembunyi (laten deefect), risiko teknologi, risiko utilitas, risiko sumber daya atau input, dan risiko industri;

6. Risiko pendapatan (revenue), termasuk risiko permintaan dan risiko

tarif;

(42)

7. Risiko konektifitas jaringan termasuk risiko pengembangan jaringan dan risiko fasilitas pesaing;

8. Risiko interpace;

9. Risiko politik, termasuk risiko pengambil alihan, risiko perubahan regulasi dan perundangan, risiko perizinan, risiko perubahan tarif pajak;

10. Risiko kahar (force majeure);

11. Risiko kepemilikan aset.

Salah satu contoh risiko dalam implementasi PPP yang telah terjadi di Portugal dalam buku Abrantes De Sousa (2011) menjelaskan pengalaman Public Private Partnership (PPP) di Portugal, termasuk adopsi PPP dalam waktu singkat tanpa pengendalian fiskal yang kuat dan risiko fiskal terkait.

Juga mempertimbangkan bagaimana pengelolaan Public Private Partership (PPP) yang lebih baik dapat berkontribusi dalam menyelesaikan masalah utang eksternal Portugal. Kemudian, struktur pembiayaan proyek pada umumnya melibatkan porsi utang yang besar. Secara umum, proporsi utang mewakili 70 hingga 95 persen dari total pembiayaan (Yescombe, 2013).

L. Kerangka Pikir

Public Private Partnership adalah perjanjian atau kontrak kerja sama

yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta yang bertujuan untuk

penyediaan infrastruktur salah satunya yaitu dalam hal penyediaan

infrastruktur kelistrikan. Kerja sama yang dilakukan ini disebabkan karena

pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk menyediakan fasilitas

tersebut. Dengan adanya Public Private Partnership (PPP) maka pemerintah

(43)

terbantu dalam pelaksanaan pembangunan maupun pengembangan. Untuk mendapatkan tujuan kerja sama yang baik maka diperlukan prinsip-prinsip dalam pelaksanaan Public Private Partnership dalam pembangunan dan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju di Kabupaten Mamuju. Adapun kerangka pikir dari penelitian ini digambarkan pada bagan di bawah ini.

Public Private Partnership

Pembangunan dan Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju di Kabupaten Mamuju

Gambar 3 Kerangka Pikir Prinsip-prinsip pelaksanaan Public Private Partnership:

1. Adil 2. Terbuka 3. Transparan 4. Bersaing

5. Bertanggung-gugat 6. Saling

menguntungkan Penyebab

Keterlambatan Pembangunan dan

Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)

Faktor-faktor pendukung kesuksesan Public Private Partnership 1. Mengembangkan

konsensus atau kesepakatan, pembagian pendanaan serta pembayaran

2. Kewenangan kuat di aspek legalitas 3. Swasta yang

dipercayai

4. Manajemen Proyek berpengalaman 5. Kewenangan

pembuatan keputusan

harus tuntas

(44)

M. Fokus Penelitian

Sesuai dengan kerangka pikir yang telah digambarkan di atas, adapun fokus penelitian yaitu prinsip-prinsip pelaksanan Public Private Partnership yang terdiri dari:

1. Penyebab keterlambatan pembangunan dan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

2. Prinsip-prinsip pelaksanaan Public Private Partnership.

3. Faktor-faktor pendukung kesuksesan Public Private Partnership.

N. Deskriptif Penelitian

Dari fokus penelitian di atas, maka peneliti memberikan deskriptif penelitian untuk mempermudah peneliti. Adapun deskriptif penelitian sebagai berikut:

1. Penyebab keterlambatan pembangunan dan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)

Merupakan hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah atau risiko-risiko yang menyebabkan keterlambatan pada saat pembangunan dan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Risiko- risiko tersebut memberikan dampak yang buruk yang dapat menyebabkan pelayanan publik terhambat.

2. Prinsip-prinsip pelaksanaan Public Private Partnership a. Adil

Adil dalam kaitannya dengan pelaksanaan Public Private

(45)

Partnership dalam pembangunan dan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju di Kabupaten Mamuju adalah suatu sikap yang tidak mendiskriminasi, tidak memihak kepada siapapun yang meliputi seluruh pihak yang ikut serta harus memperoleh perlakuan yang sama atau seluruh pihak tidak boleh ada yang dirugikan, pendanaan harus memiliki kesepakatan dan pembagian pendanaan dan pembayaran yang adil, resiko harus dibagi secara adil, penyusunan Public Private Partnership harus didasarkan dari hasil identifikasi yang prioritas dalam pembangunan yang adil dan harus memiliki dukungan pemerintah atau jaminan pemerintah serta seluruh persyaratan proses pembangunan dan pengembangan harus adil (terpenuhi) oleh Badan Usaha.

b. Terbuka

Dalam proses kerja sama melalui bentuk Public Private Partnership maka seluruh proses harus bersifat terbuka yang terdiri dari seluruh pihak yang join baik pemerintah maupun swasta dalam proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju saling terbuka satu sama lain dan perlunya peran masyarakat terutama masyarakat.

c. Transparan

Transparan dalam pembangunan dan pengembangan

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju di Kabupaten

Mamuju berkaitan dengan yaitu semua pihak-pihak yang terkait

(46)

boleh terlibat, semua pihak bisa mengakses seluruh informasi yang ada tentang pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju dalam mewujudkan penyediaan ketersediaan ini dengan berdasar kepada prinsip ini atas cara yang sehat.

d. Bersaing

Hal ini berkaitan dengan pembangunan dan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) seluruh pihak bisa ikut serta dalam pembangunan sampai pengembangan.

e. Bertanggung-gugat

Bertanggung-gugat dapat diartikan pemilihan Badan Usaha Pelaksana atau pihak swasta yang memenangkan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) harus dapat dipertanggung jawabkan dalam hal penyediaan ketenagalistrikan dan dampak yang ditimbulakan.

f. Saling menguntungkan

Semua pihak yang terlibat diuntungkan. Baik pihak

pemerintah, swasta maupun masyarakat harus mendapatkan

keuntungan dari Public Private Partnership dalam pembangunan

dan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)

Mamuju di Kabupaten Mamuju. Dalam hal ini berkaitan dengan

Value for Money (VfM) merupakan metode dalam menilai apakah

publik menerima semua manfaat secara maksimal dari penyediaan

barang atau jasa yang diperolehnya sesuai dengan sumber daya

(47)

yang telah tersedia, dalam upaya pemberian pelayanan publik serta dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan.

3. Faktor-faktor pendukung kesuksesan Public Private Partnership

a. Mengembangkan konsensus atau kesepakatan, pembagian pendanaan serta pembayaran

Hal ini berkaitan dengan adanya kesepatan yang dibuat atara kedua belah pihak dalam pembangunan dan pengembangan PLTU Mamuju. Dalam kesepakatan ini berkaitan dengan pembagian pendanaan sampai dengan pembayaran.

b. Kewenangan kuat di aspek legalitas

Bukan hanya dari segi aspek finansial yang baik dan kuat tetapi untuk mendapatkan keberhasilan pembangunan dan pengembangan PLTU Mamuju maka diperlukan legalitas dari pemerintah dalam bentuk peraturan yang berkaitan dengan pembangunan dan pengembangan PLTU yang dianggap sah dan berpengaruh kuat.

c. Swasta yang dipercayai

Artinya bahwa yang melakukan pembangunan dan pengembangan PLTU Mamuju dari Badan Usaha yang handal dalam bidang penyedian listrik nasioanal dan tidak diragukan dalam hal penghargaan yang telah didapat sebagai perusahaan yang handal dan berkompeten.

d. Manajemen Proyek berpengalaman

Yaitu suatu kemampuan yang perlu dimiliki oleh sebuah

(48)

perusahaan atau Badan Usaha untuk melakukan pembangunan dan pengembangan PLTU Mamuju.

e. Kewenangan pembuatan keputusan harus tuntas

Sebuah Badan Usaha harus mengambil keputusan-keputusan

yang cepat dan tepat dalam melaksanakan pembangunan dan

pengembangan PLTU Mamuju sesuai dengan pertimbangan yang

matang.

(49)

37 BAB III

METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi

Waktu penelitian ini yaitu selama 2 (dua) bulan mulai dari 08 Mei sampai dengan 08 Juli 2021. Lokasi penelitian ini berada di PT Rekind Daya Mamuju sebagai pengelolah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju yang tepatnya di Dusun Talaba, Desa Belang-belang, Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat.

B. Jenis dan Tipe Penelitian 1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini akan menggunakan jenis penelitian yaitu

penelitian kualitatif. Menurut Sugiyono (Sugiyono, 2016), metode

kualitatif merupakan metode penelitian yang dilandaskan filsafat

postpositivisme. Dalam metode ini, peneliti harus bertindak menjadi

instrumen kunci. Analisis datanya biasa bersifat induktif atau kualitatif

kemudian hasil dari penelitian akan menggunakan metode kualitatif yang

menekankan pada makna dari pada sebuah generalisasi. Dari penjelasan

tersebut maka peneliti mengambil jenis penelitian kualitatif yang sesuai

dengan judul penelitian Public Private Partnership dalam Pembangunan

dan Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju

di Kabupaten Mamuju. Oleh karena itu, masalah masih bersifat

sementara, masih akan berkembang atau berganti setelah peneliti berada

di lapangan atau tempat penelitian.

(50)

2. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan yaitu tipe penelitian deskriptif.

Dalam penelitian deskriptif hasil dari penelitian akan memberikan gambaran-gambaran tentang kondisi atau fenomena yang terjadi secara terperinci atau detail mengenai Public Private Partnership dalam Pembangunan dan Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju di Kabupaten Mamuju. Sehingga peneliti berusaha menggambarkan dan menejalaskan hal-hal yang telah didapatkan di lapangan selama proses penelitian dalam skripsi ini. Maka dari itu penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif karena tipe ini yang lebih cocok untuk fokus dari penelitian ini.

C. Informan

Dalam sebuah penelitian, informan adalah orang-orang yang dapat

memberikan sebuah informasi terkait yang dibutuhkan oleh peneliti. Adapun

informasi yang dibutuhkan peneliti sesuai dengan judul penelitian yaitu Public

Private Partnership dalam Pembangunan dan Pengembangan Pembangkit

Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mamuju di Kabupaten Mamuju dan segala hal

yang menyangkut fokus penelitian tersebut. Dalam penentuan informan dari

penelitian ini yaitu menggunakan teknik purposive sampling yaitu dengan cara

memilih informan yang betul-betul memahami Public Private Partnership

dalam Pembangunan dan Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap

(PLTU) Mamuju di Kabupaten Mamuju agar bisa mendapatkan data yang

akurat, adapun informan penelitian ini yaitu:

Gambar

Tabel 3  Data Informan Penelitian ………………………………………  37  Tabel 4  Batas Wilayah Kabupaten Mamuju …………………………...
Gambar 3  Kerangka Pikir Prinsip-prinsip pelaksanaan Public Private Partnership: 1. Adil 2
Tabel 10  Pedoman Observasi
Gambar 30  Surat Penelitian
+2

Referensi

Dokumen terkait

PEMBUATAN SILIKA GEL DENGAN BAHAN BAKU ABU TERBANG DARI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP (PLTU).. (Menentukan Waktu Optimum Untuk Mendapatkan Hasil

Analisis Pengaruh Perubahan Beban Generator Terhadap Efisiensi Kerja Pembangkit Listrik Tenaga Uap.. (Aplikasi Pada PLTU Pangkalan Susu 2 x

Sistem pembangkitan energi listrik dengan menggunakan limbah biomassa kelapa sawit ini mirip dengan sistem Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), yaitu dengan memanaskan

Indomas Mitra Teknik ini untuk menghasilkau listrik ctigunakan dua pembangkit yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PL TD) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PL TU),

Adapun hipotesis pada penelitian ini adalah alat peraga pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sederhana efektif digunakan dalam meningkatkan keterampilan proses

Tenaga listrik tenaga uap menggunakan berbagai macam bahan bakar terutama batu bara dan minyak bakar serta MFO untuk star up awal.Perbedaan PLTU dengan pembangkit listrik lain adalah

ANALISIS KETERSEDIAAN LIMBAH KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKAR PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP PLTU Tri Susilawati1, Saiful Karim 2, Moethia Faridha3 1Teknik Elektro, 20201, Fakultas

2.3 Prinsip Kerja PLTN Perbedaan cara kerja pembangkit listrik tenaga uap PLTU dengan pembangkit listrik tenaga nuklir PLTN ditunjukkan pada Gambar di bawah Pada PLTU, di dalam ketel