1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar BelakangSetiap kelompok dalam satu organisasi, dimana didalamnya terjadi interaksi antara satu dengan lainnya, memiliki kecenderungan timbulnya konflik. Bicara konflik bisa terjadi antar pribadi seperti dengan rekan kerja, atasan – bawahan, atau antar kelompok seperti divisi satu dengan divisi lain, manajemen dengan karyawan dan konflik antar serikat pekerja dengan pihak manajemen. Konflik sangat erat kaitannya dengan perasaan manusia, termasuk perasaan diabaikan, disepelekan, tidak dihargai, ditinggalkan, dan juga perasaan jengkel karena kelebihan beban kerja. Perasaan – perasaan tersebut sewaktu – waktu dapat memicu timbulnya kemarahan. Keadaan tersebut akan mempengaruhi seseorang dalam melaksanakan kegiatannya secara langsung, dan dapat menurunkan produktivitas kerja organisasi secara tidak langsung dengan melakukan banyak kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja.
Dalam suatu organisasi, kecenderungan terjadinya konflik dapat
disebabkan oleh suatu perubahan secara tiba – tiba, antara lain: persaingan
ketat, perbedaan kebudayaan, perbedaan pendapat, kepentingan pribadi dan
sistem nilai serta berbagai macam kepribadian individu sehingga
menimbulkan konflik interpersonal.
2
Konflik – konflik itu terjadi ketika ada perbedaan pendapat atau perbedaan cara pandang antara beberapa orang, kelompok atau organisasi.
Sikap saling mempertahankan diri sekurang – kurangnya antara dua kelompok yang memiliki tujuan dan cara pandang yaang berbeda dalam upaya mencapai satu tujuan sehingga mereka berada dalam posisi oposisi, bukan kerjasama. Kondisi ini munculnya dapat terjadi antara internal auditor dengan pihak yang diaudit. Pihak Auditee menilai bahwa kehadiran internal auditor dapat menghambat kelancaran pekerjaan.
Konflik – konflik tersebut sering kali memicu seorang internal auditor tidak bisa bebas dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya karena mereka dinilai negatif bahwa keberadaan internal auditor dapat mengganggu aktivitas pekerjaan dan tidak ada fungsinya.
Berikut ini adalah kisah seorang yang berprofesi sebagai internal
auditor sebut saja RL (inisial). RL pernah bekerja di sebuah perusahaan
swasta yang bergerak di bidang makan dengan posisi sebagai Internal Auditor
selama 8 tahun. Dalam menjalankan tugas audit baik dalam kota maupun di
luar kota, RL kerap kali mengalami berbagai macam konflik baik secara
mental maupun secara fisik. Konflik – konflik yang kerap kali dialami oleh
RL seperti beban mental karena mendapat tekanan dari pihak manajemen
supaya mendapatkan temuan audit, kemudian relasi sosial menjadi tidak
harmonis khususnya dengan objek yang diperiksanya (Auditee). Hal tersebut
memicu munculnya konflik dalam diri bagi seorang RL, merasa takut dan
3
merasa bersalah, sering mengalami dilematis dan menjadi pribadi yang tertutup. RL juga mengalami konflik dari luar, RL kerap kali mendapat ancaman secara fisik seperti ancaman pembunuhan jika RL menemukan objek (Auditee) yang diperiksanya terbukti melakukan korupsi uang perusahaan.
Kemudian pengalaman berikut juga terjadi pada internal auditor yang bekerja pada perusahaan yang sama. Auditor tersebut berinisial SR. SR sudah bekerja sebagai internal auditor pada perusahaan tersebut selama 7 tahun.
Konflik yang dihadapi oleh SR adalah konflik dengan Direksi. Pihak Direksi meminta agar bagian – bagian tertentu yang berkaitan langsung dengan Direksi seperti laporan keuangan dan cash flow tidak perlu melakukan audit.
Kondisi tersebut memicu muncul konflik – konflik dalam diri SR, hilangnya rasa percaya diri bahkan SR tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik sehingga SR dinilai kurang kompeten dalam menjalankan tugasnya sebagai internal auditor. Penilaian kurang kompeten tersebut membuat SR mau mengundurkan diri dari perusahaan tersebut.
Konflik – konflik tersebut dapat mempengaruhi kehidupan seorang
internal auditor baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam lingkungan
sosialnya seperti tidak bisa tenang, relasi atau kehidupan sosialnya menjadi
terganggu, takut kehilangan persahabatan, takut dimusuhi oleh pihak yang
diaudit, seakan – akan kehadiran seorang internal auditor menimbulkan
ketakutan tersendiri bagi mereka (Auditee) bahkan merasa tidak nyaman.
4
Kondisi – kondisi tersebut membuat seorang Internal Auditor tidak bisa bebas dalam menjalani kehidupan sehari – hari.
Penelitian mengenai pengaruh konflik yang dialami internal auditor pernah dilakukan sebelumnya oleh Ahmad dan Taylor (2009). Penelitian tersebut menggunakan sampel internal auditor yang diperoleh dari database Institute of Internal Auditors Malaysia. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengembangkan ukuran – ukuran konsep komitmen independensi dalam konteks lingkungan kerja internal auditor, dengan maksud untuk memberikan bukti empiris mengenai pengaruh konflik beserta dimensinya terhadap komitmen independensi Internal Auditor. Skala yang digunakan merupakan skala yang dikembangkan dari ukuran komitmen organisasi yang berasal dari literatur perilaku organisasi. Instrumen pengukuran komitmen organisasi yang dikembangkan oleh Porter et al. (1974, dalam Ahmad dan Taylor, 2009) merupakan basis untuk pengembangan ukuran konsep komitmen independensi.
Konflik yang dijumpai oleh internal auditor berhubungan dengan kedudukan internal auditor itu sendiri dalam organisasi profesinya. Dengan demikian, konflik yang dialami oleh internal auditor mungkin mengakibatkan auditor rentan terhadap tekanan dari objek pemeriksaan. Hal tersebut mengakibatkan rusaknya independensi internal auditor (Koo dan Sim, 1999).
Dalam Jurnal Telaah dan Riset Akutansi (Vol. 2. No.1 Januari 2009
Hal. 15-25). Konflik didefinisikan sebagai adanya tekanan dua atau lebih
5
kelompok, tekanan secara simultan sehingga kepatuhan pada kelompok yang satu akan menimbulkan kesulitan atau ketidakmungkinan untuk mematuhi yang lainnya (Wolfe, et al, 1962). Abernethy dan Stoelwinder (1995) menyatakan bahwa tingkat konflik dipengaruhi oleh seberapa jauh para internal auditor ingin mempertahankan sikap keprofesionalan mereka dalam perusahaan dan seberapa jauh lingkungan pengendalian yang berlaku di perusahaan mengancam otonomi internal auditor tersebut.
Konflik mempunyai dampak yang negatif terhadap perilaku karyawan (internal auditor) seperti timbulnya ketegangan kerja, peningkatan perputaran kerja (banyaknya terjadi perpindahan pekerja), penurunan kepuasan kerja, penurunan komitmen pada organisasi dan penurunan kinerja keseluruhan (Wolfe, et. al, 1964 ; Jackson dan Schuler, 1985)
Konflik juga berhubungan dengan penyimpangan hasil dan sikap pekerjaan yang berhubungan dengan pekerjaan, misalnya rendahnya kepuasan kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan kecenderungan meninggalkan perusahaan dan mengurangi komitmen organisasi (Aberethy & Stoelwinder, 1995; Puspa & Riyanto, 1999; Suwandi & Indriantoro, 1999; Jackson &
Schuler, 1985; Levin & Stokes, 1989, dalam Ratnawati, 2001).
Dalam pembahasan tentang konflik tentu tidak terlepas dari tahap
perkembangan dewasa awal, menurut Vailant (1998), membagi masa dewasa
awal menjadi tiga masa, yaitu masa pembentukan (20 – 30 tahun) dengan
tugas perkembangan mulai memisahkan diri dari orang tua, membentuk
6
keluarga baru dengan pernikahan dan mengembangkan persahabatan. Masa konsolidasi (30 – 40 tahun) yaitu masa konsolidasi karir dan memperkuat ikatan perkawinan. Masa transisisi (sekitar usia 40 tahun), merupakan masa meninggalkan kesibukan pekerjan dan melakukan evaluasi terhadap hal yang telah diperoleh.
Menurut data hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa auditor yang memiliki time pressure ada 6,73%. Auditor mendapat time pressure dalam menyelesaikan proses audit yang dilakukannya dikarenakan tidak seim- bangnya antara tugas dan waktu. Dan hal tersebut mengakibatkan auditor cenderung memilih melakukan perilaku disfungsional dalam menyelesaikan proses audit supaya dapat menyelesaikan proses audit tepat pada waktunya.
Karena tekanan yang diberikan oleh manajemen dalam menentukan anggaran waktu diperkirakan merupakan faktor yang terlibat penting dalam perilaku auditor. (Accounting Analysis Journal).
Dalam Jurnal Telaah dan Riset Akutansi bahwa fenomena – fenomena
yang terjadi pada internal auditor yakni menimbulkan ketegangan kerja,
menurunnya produktivitas kerja, penurunan komitmen pada organisasi dan
penurunan kinerja keseluruhan (Ratnawati, 2001; Jackson & Schuler, 1985
dalam Puspa & Riyanto, 1999). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
fenomena – fenomena tersebut dapat mempengaruhi kepuasan hidup karena
sebagian besar waktu dihabiskan di tempat kerja (Riggio, 1990). Gilmer
(1971) menyatakan ada berbagai faktor yang sangat menentukan
7
profesionalitas kerja internal auditor seperti keamanan kerja, lingkungan pekerjaan yang kondusif, lingkungan sosial yang harmonis dan terjalin hubungan positif dengan sesama. Seseorang yang merasakan hal – hal tersebut di atas sesuai dengan yang dipersepsikannya akan menimbulkan tingkat profesionalitas kerja yang tinggi pada internal auditor.
Pada masa perkembangan dewasa awal tersebut, seorang profesi internal auditor tidak terlepas dari berbagai macam konflik dalam membina hubungan keluarga. Dimana seorang profesi internal auditor berperan sebagai kepala rumah tangga dan sebagai seorang ayah. Konflik – konflik yang muncul seperti mengutamakan pekerjaan dari pada keluarga dan terlepas dari peran sebagai seorang ayah. Hal tersebut akan memicu renggangnya hubungan dengan keluarga (istri) dan berkurang perhatian terhadap anak.
Masalah – masalah yang potensial pada profesi internal auditor masih berhubungan dengan psychological well – being yang dikemukakan oleh Ryff.
Hal tersebut untuk melihat gambaran psychological well – being pada profesi internal auditor. Dengan demikian, konflik – konflik yang dihadapi oleh internal auditor dapat dilihat melalui aspek – aspek dalam psychological well – being. Aspek – aspek tersebut untuk mencapai kesejahteraan psikologis atau psychological well – being Bradburn (dalam Ryff, 1989). psychological well – being sebagai kebahagiaan dapat diketahui melalui beberapa dimensi.
Dimensi – dimensi tersebut antara lain, penerimaan diri, hubungan positif
dengan orang lain, otonomi, tujuan hidup, pertumbuhan pribadi dan
8
penguasaan lingkungan (Ryff, 1989). Ryff juga menyebutkan bahwa psychological well – being menggambarkan sejauh mana individu merasa aman, damai dan bahagia berdasarkan penilaian subjektif serta bagaimana mereka memandang pencapaian potensi – potensi mereka sendiri.
Psychological well – being merupakan konsep yang diperkenalkan oleh Ryff. Ia mengembangkan multi dimensi untuk mengukur kesejahteraan psikologis pada fungsi positif manusia yaitu manusia diyakini memiliki potensi dan mampu mengembangkan dirinya (Ryff, 1989). Konsep psychological well – being sendiri terdiri atas enam dimensi yang diilhami oleh Jahoda mengenai kesehatan mental positif serta gabungan dari berbagai pendapat tokoh – tokoh seperti Masllow, Allport dan Rogers. Mengenai bagaimana evaluasi positif seseorang terhadap dirinya dan juga kehidupan di masa lalu (penerimaan diri), adanya hubungan yang berkualitas dengan orang lain (hubungan positif dengan orang lain), adanya rasa penentuan diri (otonomi), keyakinan tentang hidup yang memiliki tujuan dan arti (tujuan hidup), rasa untuk selalu untuk berkembang sebagai seorang individu (pertumbuhan pribadi), adanya kemampuan untuk mengatur kehidupan dan juga lingkungan di sekelilingnya (penguasaan lingkungan).
Ryff dkk menemukan bahwa ada beberapa faktor yang menentukan
psychological well – being seseorang, diantaranya adalah status sosial
ekonomi. Biasanya seseorang dengan status ekonomi rendah biasanya
cenderung memiliki psychological well – being yang rendah khususnya pada
9
dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi.
Psychological well – being sendiri merupakan hal yang penting dimiliki oleh seorang Auditor karena akan mempengaruhi harga diri serta tingkah lakunya. Saat seorang Auditor tidak memiliki psychological well – being yang baik maka mereka akan ada kemungkinan mengalami gangguan – gangguan secara psikologis. Hal ini karena mereka tidak bisa menerima dirinya, mengalami kesulitan berhubungan dengan orang lain.
Melihat penjelasan di atas maka terlihat bahwa salah satu cara untuk membantu para auditor keluar dari masalah – masalah yang berpotensi muncul pada tahap perkembangan mereka adalah dengan berusaha mencapai psychological well – being. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencapainya yakni dengan menjalin relasi yang baik dengan orang – orang di sekitar lingkungan dan berusaha terlibat dalam kegiatan positif.
Berdasarkan hal tersebut di atas peneliti merasa bahwa penelitian ini
penting untuk membantu seseorang dalam mencapai sebuah kebahagiaan dan
supaya dapat berpikir positif. Tujuan penelitian adalah mengetahui gambaran
psychological well – being pada profesi internal auditor.
10
1.2 Rumusan MasalahBerdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah dalam penelitian ini:
1) Bagaimana gambaran psychological well – being pada profesi internal auditor?
2) Apa saja faktor – faktor yg mempengaruhi psikological well – being?
1.3 Tujuan Penelitian
Rumusan masalah diatas, maka secara umum tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran psychological well – being pada profesi internal auditor.
1.4 Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis maupun praktis.
1. Manfaat Teoritis