• Tidak ada hasil yang ditemukan

BEA METERAI. Modul PUSDIKLAT PERPAJAKAN BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BEA METERAI. Modul PUSDIKLAT PERPAJAKAN BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

Modul

BEA METERAI

DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF DASAR PAJAK I

JAKARTA, 25 FEBRUARI – 9 MEI 2008

PUSDIKLAT PERPAJAKAN

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

(2)

Jl. Sakti Raya No. 1, Kemanggisan, Jakarta 11480 Telepon (021) 5481145 Fax (021) 5481394 www.bppk.depkeu.go.id/pajak

(3)

BAB I PENDAHULUAN

1. Sejarah Singkat

a. Tahun 1817 – 1921

Pengenaan Bea Meterai di Indonesia sudah mulai dikenal sejak tahun 1817 yaitu pada masa penjajahan Belanda, yang disebut De Heffing Van Het Recht Kleinnegel.Dalam peraturan tersebutpengenaan Bea Meterai didasarkan pada perbuatan atau persetujuan yang tercantum dalam surat (akta). Tahun 1885 aturan pengenaan Bea Meterai tersebut di atas diganti dengan Ordonantie op de heffing van het legel recht in Nederhlands Indie.Pengertian Bea Meterai ada dua cara yaitu yang seragam dan ada pula yang sebanding yaitu untuk akta yang dibuat melalui pejabat umum, peraturan ini berlaku sampai tahun 1921.

b. Tahun 1921 – 1985

Mulai tahun 1921 berlaku Aturan Bea Meterai 1921 (Zegel Verordening 1921) yang dimuat dalam Staatslelad 1921 Nomor 498, yang mengalami beberapa kali perubahan, terakhir dengan Undang Undang- undang Nomor 2 Per Tahun 1965 (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 121), dan kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang yaitu Undang- undang Nomor 7 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 38).

Undang-undang ini sifatnya perubahan atau penyempurnaan dari Aturan Bea Meterai 1921, dengan demikian secara substantial sistematik dan isinya masih sama dan dijiwai oleh Aturan Bea Meterai 1921.

c. Tahun 1986

Sejak Pemerintahan Orde Baru tahun 1966, banyak kebijakan baru (pembaharuan) di bidang perpajakan untuk menunjang perkembangan

(4)

ekonomi pada umumnya, dan penerimaan negara pada khususunya. Salah satu yang paling menonjol yaitu dilakukannya reformasi di bidang perpajakan ( tax reform ), antara lain :

a. Undang Undang Nomor 6 / 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;

b. Undang Undang Nomor 7 / 1983 tentang Pajak Penghasilan;

c. Undang Undang Nomor 8 / 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Selang dua tahun kemudian di lakukan reformasi atas dua Undang-undang, dan menghasilkan dua Undang-undang baru yaitu :

a. Undang Undang Nomor 13 / 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dan

b. Undang Undang Nomor 13/ 1985 tentang Bea Meterai.

Kedua Undang-undang itu mulai berlaku 1 Januari 1986.

Khusus yang berkaitan dengan Undang Undang Nomor 13 / 1985 tentang Bea Meterai, mengapa Undang-undang ini perlu dibentuk, jawabnya dapat disimak pada konsideran undang-undang itu, yaitu :

a. “Bahwa Pembangunan Nasional menurut keikutsertaan segenap warganya untuk berperan menghimpun dana pembiayaan memadai, terutama harus bersumber dari kemampuan dalam negeri, hal mana merupakan perwujudan kewajiban kenegaraan dalam rangka mencapai tujuan Pembangunan Nasional ;

b. Bahwa Bea Meterai yang selama ini dipungut berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) tidak sesuai lagi dengan keperluan dan perkembangan keadaan di Indonesia ;

c. Bahwa sesungguhnya dengan hal tersebut diatas, perlu diadakan pengaturan kembali tentang Bea Meterai yang lebih bersifat sederhana dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat ;

d. Bahwa untuk mencapai maksud tersebut diatas, perlu dikeluarkan undang-undang baru mengenai Bea Meterai yang menggantikan Aturan

(5)

Sejauh mana Aturan Bea Meterai 1921 itu “ tidak sesuai” dan “ tidak mudah “ sebagaimana dapat kita sempurnakan atas koseideran undang-undang itu, sehingga perlu dikeluarkan undang-undang baru, dapat disimak perbandingan kedua undang-undang yang “lama” dan yang “ baru”.

Perbandingan Antara Aturan Bea Meterai 1921 dengan

UU No. 13/1985 tentang Bea Meterai

NO. URAIAN A B M 1921 UU No. 13 Tahun 1985

1. Jumlah Bab ¾ 15 bab ¾ 7 bab

2. Jumlah pasal ¾ 142 pasal termasuk pasal sisipan

¾ 18 pasal 3. Obyek ¾ Bea Meterai dikenal

atas dokumen yang bersifat publik dan bersifat pribadi

¾ Hanya atas dokumen yang bersifat perdata saja (itupun terbatas) 4. Jenis Bea

Meterai

¾ BM Tetap

¾ BM Umum

¾ BM Menurut Luas Kertas

¾ BM Sebanding

¾ Hanya BM Tetap saja

5. Macam Tarif ¾ 167 macam ¾ Hanya 2 macam saja yaitu :

¾ Rp. 1.000,- dan

¾ Rp. 2.000,- 6. Cara Pelunasan

BM

¾ Benda meterai

¾ Meterai khusus/luar biasa

¾ Surat Kuasa Untuk Menyetor (SKUM)

¾ Mesin Teraan Meterai

¾ Percetakan cap lunas

¾ Benda Meterai

¾ Cara lain yang ditetapkan Menteri Keuangan

7. Daluarsa ¾ Ditentukan 3 tahun sejak diketahui

¾ Ditentukan 5 tahun

Sejak tanggal dokumen dibuat.

(6)

2. S i s t e m a t i k

Untuk mempermudah mempelajari Peraturan Perundang-undangan Bea Meterai, sistematik penulisan materi bahan ajaran, disusun sesuai dengan urutan pasal-pasal yang ada dalam UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Disamping itu pasal yang berkaitan dengan materi yang sedang dibahas disertakan dalam pembahasan, dengan demikian sumber materi yang dibahas atentik dan pembaca tidak perlu lagi membuka UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.

Untuk mengetahui sejauh mana pemahaman sudah dicapai setelah mempelajari materi ajaran, di belakang bab terakhir ditambah pertanyaan dan jawabannya.

Buku ini dilengkapi juga foto copy slide sebagai ringkasan semua materi yang ada dalam uraian.

(7)

BAB II

KETENTUAN UMUM

Beberapa Pengertian

Pasal 1 UU N0. 13/ 1985 tentang Bea Meterai menjelaskan pengertian beberapa istilah/terminologi yang dipakai dalam undang-undang tersebut sebagai berikut :

1. Bea Meterai

Dengan nama Bea Meterai dikenakan pajak atas dokumen sebagaimana disebut dalam UU N0 13 / 1985 tentang Bea Meterai.

Batasan atau pengertian pajak ada berbagai macam, salah satu diantaranya dikemukakan oleh Prof. Dr. P.J.A. Adriani :

“ Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh wajib Pajak membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan” ( R. Santoso Brotodihardjo, SH., Ilmu Hukum Pajak, 1995 : 2 )

2. D o k u m e n

Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang pembuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan.

(8)

Pengertian “ kertas “ harus diartikan secara luas, yaitu media untuk menulis lainnya seperti bahan dari karton, plastik, kulit, kain dan lai-lainnya.

Adapun “ tulisan “ tidak hanya tulisan latin saja tetapi juga tulisan beberapa huruf-huruf lainnya seperti Jawa, Arab, Cina, Kanji dan lain-lain.

Adapun mengenai bahasa yang ditulis itu tidak terbatas hanya bahasa Indonesia melainkan, termasuk bahasa asing lainnya.

3. Benda Meterai

Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkanoleh Pemerintah Republik Indonesia.

Adapun tentang tata cara dan persyaratan pengelolaan, penjualan, penukaran, pengembalian dan pemusnahan benda meterai diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia N0. 1009/KMK.01/1986, tanggal 1 Desember 1986.

4. Tandatangan

Tandatangan adalah tandatangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula tatap, teraan atau cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tandatangan.

5. Pemeteraian Kemudian

Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang di lakukan oleh Pejabat Pos atau permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya.

6. Pejabat Pos

Pejabat Pos adalah Pejabat Perusahaan Umum Pos dan Giro ( PT Pos dan Giro ) yang diserahi tugas melayani permintaan pemeteraian kemudian.

(9)

BAB III

OBJEK, TARIF, DAN YANG TERUTANG BEA METERAI

1. Yang Dikenakan Bea Meterai

Pasal 1 (1) UU N0. 13 / 1985 tentang Bea Materai, menetapkan bahwa yang dikenakan Bea Meterai adalah dokumen-dokumen yang disebut kan dalam Undang Undang tersebut diatas.

Adapun jenis dokumen yang dikenakan Bea Meterai adalah sebagai mana tercantum dalam Pasal 2 Undang Undang N0 13 / 1985 tentang Bea Meterai.

a. “ Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai pembuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;

b. Akta-akta notaris termasuk salinannya;

c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya;

d. Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah):

1) Yang menyebutkan penerimaan uang;

2) Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank;

3) Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;

4) Yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagaimana telah dilunasi atau diperhitungkan;

(10)

e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek yang berharga nominalnya lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah);

f. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp. 1. 000.000,00 (satu juta rupiah).”

Penjelasan

a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya

1) Tidak semua dokumen dikenakan Bea Meterai.

2) Yang dikenakan Bea Meterai adalah dokumen sebagaimana tersebut pada pasal 2 (1) huruf a s/d f tersebut dimuka.

3) Surat perjanjian dan surat lainnya adalah persetujuan yang dinyatakan secara tertulis (dokumen) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu dan dibuat tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan, yang bersifat perdata.

4) Pihak-pihak yang memegang surat perjanjian atau surat-surat lainnya tersebut, dibebani kewajiban untuk membayar Bea Meterai atas surat perjanjian atau surat-surat yang dipegangnya. Yang dimaksud surat- surat lainnya pada huruf a ini antara lain surat kuasa, surat hibah, surat pernyataan.

b. Akta Notaris

Sesuai pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (Reglement op het Notaris – ambt, Stll. 1860 N0 3) menyatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya,

(11)

menyimpan aktanya, dan memberikan grose, salinan dan kutipannya;

semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum

tidak juga ditugaskan atau di kecualikan kepada pejabat atau orang lain.

Adapun akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, di tempat di mana akta itu dibuat (Pasal 1868 kitab Undang- undang Hukum Perdata).

c. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Perjanjian untuk memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk dan diangkat oleh Menteri Dalam Negeri. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri, dan untuk desa-desa di wilayah yang terpencil Menteri Dalam Negeri dapat menunjuk PPAT sementara.

d. Surat Yang Memuat Jumlah Uang

Pasal 2 ayat (1) huruf d Undang Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai menetapkan mengenakan Bea Meterai terhadap surat/dokumen :

1) Yang menyebutkan penerimaan uang;

2) Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank;

3) Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;

4) Yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagaimana telah dilunasi atau diperhitungkan.

1) Dokumen yang menyebutkan penerimaan uang.

Dokumen ini biasa disebut “ KUITANSI “, yang mengandung arti/atau pernyataan telah menerima sejumlah uang (surat bukti penerimaan uang)

(12)

Dalam perdagangan bukti penerimaan uang atau bukti seseorang telah membeyar lunas atas barang yang dibelinya dinyatakan dalam bentuk nota penjualan yang dibubuhi tanda “ LUNAS “ atau “ TUNAI

“. Nota sejenis ini jika digunakan secara internal misalnya untuk “ menebus “ barang yang telah dibeli meskipun nilainya melebihi Rp 100.000,- baca Rp 250.000,- sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (4) Undang Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai tidak dikenakan Bea Meterai, tetapi jika nota tersebut digunakan oleh si pembeli sebagai bukti bahwa ia telah menyerahkan uang pembayaran atas barang yang dibelinya maka nota itu dikenakan Bea Meterai.

2) Dokumen yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank. Contohnya seperti nota kredit yang dikirim oleh bank kepada masalah ( pemegang rekening ) yang menyebutkan bahwa dalam rekening atas namanya di bank tersebut telah dibukukan dalam kredit sejumlah uang. Lembar surat setoran ke bank yang dikembalikan kepada nasabah setelah dibubuhi tanda terima oleh bank adalah sebagai tanda bukti penyetoran dan karena itu dikenakan Bea Meterai, jika jumlah uang yang disetor itu memenuhi syarat untuk dikenakan Bea Meterai.

3) Dokumen yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank.

Contohnya yaitu “ saldo bilyet “ atau “ surat saldo “ yang diberikan bank kepada nasabahnya. Dokumen sejenis ini dikenakan Bea Meterai, sepanjang jumlah uangnya memenuhi syarat untuk dikenakan Bea Meterai.

(13)

4) Dokumen yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan.

Contohnya yaitu seorang kreditur yang menerima pembayaran dari debitur atas hutangnya baik seluruh maupun sebagian, kadang- kadang kreditur tidak membuat surat yang menyebutkan penerimaan uang, melainkan menyebutkan dengan kata-kata lain bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagian telah lunas atau diperhitungkan.

Meskipun dokumen ini bukan kwitansi, tetapi pada hakekatnya dokumen ini berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan, atas dokumen sejenis ini dikenakan Bea Meterai.

e. Surat Berharga

Dikenakan Bea Meterai atas dokumen yang berbentuk surat berharga seperti :

¾ Wesel, adalah surat perintah atau surat kuasa kepada seseorang untuk membayarkan sejumlah uang kepada orang lain yang berhak atas pembayaran itu.

¾ Promes, adalah janji atau kesanggupan untuk membayar, jika promes dibuat sendiri oleh yang berhutang.

¾ Aksep, adalah surat yang menyatakan setuju atau sepakat untuk membayar.

¾ Cek, adalah suatu alat pembayaran, yang harus dibayar pada waktu ditunjukkan atau diperlihatkan, jadi fungsinya dipersamakan dengan uang tunai.

f. Efek dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dimaksud dengan efek adalah surat saham dan surat okligasi.

¾ Saham, adalah tanda ikut serta dalam modal perseroan. Pemegang saham berhak memperoleh bagian keuntungan yang disebut deviden.

(14)

¾ Okligasi, surat hutang untuk jangka waktu tertentu, yang dikeluarkan untuk mendapatkan dana. Pemegang okligasi mempunyai hak untuk memperoleh bunga yang tetap.

2. Pengenaan Bea Meterai Atas Dokumen Tersebut Pada Pasal 2 ayat (1) UU N0 13 Tahun 1983 Tentang Bea Meterai.

Pasal 2 ayat Undang Undang Nomor 13 Tahun 1983 tentang Bea Meterai menetapkan bahwa dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah).

Dalam menjelaskan Pasal 2 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, dikemukakan sebagai berikut :

“ Jumlah uang ataupun harga nominal yang disebut dalam huruf d, huruf e, huruf f ini juga dimaksudkan jumlah uang ataupun harga nominal yang dinyatakan dalam mata uang asing. Untuk menentukan nilai rupiahnya maka jumlah uang atau harga nominal tersebut dikalikan dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat dokumen itu dibuat, sehingga dapat diketahui apakah dokumen tersebut dikenakan atau tidak dikenakan Bea Meterai. “

Selanjutnya Pasal 2 ayat (4) Undang Undang Nomor 13 Tahun 1983 tentang Bea Meterai menetapkan sebagai berikut :

“ Terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp. 500,- (lima ratus rupiah), dan apabila harga nominal tidak lebih dari Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) tidak terhutang Bea Meterai “

(15)

3. Pengenaan Bea Meterai Atas Dokumen Yang Akan Digunakan Sebagai Alat Pembuktian Di Muka Pengadilan.

Pasal 2 ayat (3) Undang Undang Nomor 13 Tahun 1983 Tentang Bea Meterai menetapkan sebagai berikut :

“ Dikenakan pula Bea Meterai sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) atas dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan :

a. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan

b. Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula.”

Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (3) Undang Undang Nomor 13 Tahun 1983 Tentang Bea Meterai di kemukakan sebagai berikut :

Huruf a

“ Surat-surat biasa yang dimaksud dalam huruf a ayat ini dibuat tidak untuk tujuan sesuatu pembuktian misalnya seseorang mengirim surat biasa kepada orang lain untuk menjual sebuah barang. Surat semacam ini pada saat dibuat tidak kena Bea Meterai, tetapi apabila kemudian dipakai sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, maka terlebih dahulu dilakukan pemeteraian kemudian. Surat-surat kerumahtanggaan misalnya daftar harga barang. Daftar ini dibuat tidak dimaksudkan untuk digunakan sebagai alat pembuktian, oleh karena itu tidak dikenakan Bea Meterai. Apabila kemudian ada sengketa dan daftar harga barang ini digunakan sebagai alat pembuktian, maka daftar harga barang ini terlebih dahulu dilakukan pemeteraian kemudian.

(16)

Huruf b

Surat-surat yang dimaksud dalam huruf b ayat ini ialah surat-surat yang karena tujuannya tidak dikenakan Bea Meterai, tetapi apabila tujuannya kemudian diubah maka surat yang demikian itu dikenakan Bea Meterai.

Misalnya tanda penerimaan uang yang dibuat dengan tujuan untuk keperluan intern organisasi tidak dikenakan Bea Meterai. Apabila kemudian tanda penerimaan uang tersebut digunakan sebagai alat pembuktian dimuka Pengadilan, maka tanda penerimaan uang tersebut harus dilakukan pemeteraian kemudian terlebih dahulu.“

4. Surat-surat Biasa, Surat Kerumahtanggaan Dan Surat-surat Yang Tidak Dikenakan Bea Meterai Berdasarkan Tujuannya.

a. Surat Biasa

Atas surat biasa tidak dikenakan Bea Meterai, tetapi bila kemudian hari terjadi sengketa dan surat tersebut digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, maka atas surat biasa itu harus terlebih dahulu dibubuhi meterai, dengan cara pemeteraian kemudian di Kantor Pos sebelum diajukan kepada hakim.

Surat biasa dapat diketahui dari bentuk suratnya, contoh :

Si A berhutang kepada Si B sebesar Rp 10.000.000,- dan berkirim surat kepada Si B bahwa dia akan melunasi hutangnya setelah dia menjual mobil miliknya.

Atas surat yang bentuknya seperti tersebut di atas dikenakan Bea Meterai.

Dikemudian hari diketahui oleh Si B bahwa Si A telah menjual mobilnya dan ternyata Si A tidak mau membayar hutangnya tersebut. Jika Si B kemudian memperkarakan hal itu ke Pengadilan dan menggunakan surat itu sebagai alat pembuktian, maka atas surat tersebut dikenakan Bea Meterai dengan cara pemeteraian kemudian.

b. Surat Kerumahtanggaan

(17)

Surat kerumahtanggaan adalah tulisan yang karena di dalamnya terdapat hal-hal yang mempunyai arti penting bagi yang bersangkutan disimpan dalam rumah tangga, misalnya

¾ Notula rapat dari suatu organisasi sosial.

¾ Surat hibah wasiat dari seorang ayah kepada anak-anaknya yang tidak dibuat didepan Notaris.

¾ Daftar harga barang pada suatu toko dll.

Atas surat-surat tersebut di atas tidak dikenakan Bea Meterai.

c. Surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya.

1) Surat-surat yang karena tujuannya, tidak di kenakan Bea Meterai, misalnya tanda penerimaan uang yang dibuat dengan tujuan untuk keperluan intern organisasi, maka tidak dikenakan Bea Meterai (Pasal 2 ayat (3) huruf b).

2) Surat-surat berdasarkan sifat dokumen itu Undang-undang telah menetapkan tidak dikenakan Bea Meterai, misalnya kwitansi yang nilainya Rp. 50.000,- menurut Pasal 2 ayat (4) tidak dikenakan Bea Meterai.

Atas kwitansi ini meskipun digunakan sebagai pembuktian di muka Pengadilan tetap tidak dikenakan Bea Meterai (bersifat mutlak).

BAB IV

(18)

TARIF BEA METERAI

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (4) UU N0 13 / 1985 tentang Bea Meterai tarif yang berlaku ada dua, yaitu Rp.1.000,- dan Rp. 500,- (lima ratus rupiah).

Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995, Tentang Perubahan Tarif Bea Meterai, dan ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 182/KMK.04/1995, tanggal 1 Mei 1995, Tentang Pelaksanan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995, Tentang Perubahan Tarif Bea Meterai maka secara efektif mulai tanggal 16 Mei 1995 berlaku tarif Bea Meterai yang baru, yaitu Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah) dan Rp. 1.000,- (seribu rupiah).

Secara ringkas penerapan tarif Bea Meterai tersebut adalah sebagai berikut :

1. Objek Dan Tarif Bea Meterai OBJEK

(BENTUK DOKUMEN)

BEA METERAI

A. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya (a.L.

Surat kuasa, surat hibah, surat pernyataan) yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan/keadaan yang bersifat perdata.

Rp. 2.000,00 (dua ribu rupiah)

B. Akta notaris termasuk salinannya. Rp. 2.000,00 (dua ribu rupiah) C. Akta yang dibuat PPAT termasuk rangkap-

rangkap

Rp. 2.000,00 (dua ribu rupiah)

(19)

Rp. 1.000.000,00/ (harga nominal yang dinyatakan dalam mata uang asing)

1) Yang menyebutkan pene-rimaan uang.

2) Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank.

3) Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank.

4) Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya / sebagian telah dilunasi / diperhitungkan.

OBJEK ( BENTUK DOKUMEN)

(dua ribu rupiah)

BEA METERAI D.2. Apabila harga nominalnya lebih dari

Rp. 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp. 1.000.000,00

Rp. 1.000,00 (seribu rupiah)

D.3. Apabila harga nominalnya tidak lebih dari Rp. 250.000,00

Tidak terutang

E.1. Surat berharga seperti wesel, promes &

aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,00

E.2. Apabila harga nominalnya lebih dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00

E.3. Apabila harga nominalnya tidak lebih dari Rp 250.000,00

Rp. 2.000,00 (dua ribu rupiah)

Rp. 1.000,00 (seribu rupiah)

tidak terutang

F.1. Efek dengan nama & dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,00

F.2. Apabila harga nominalnya lebih dari Rp

Rp. 2.000,00 (dua ribu rupiah)

Rp. 1.000,00

(seribu rupiah)

(20)

250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00

F.3. Apabila harga nominalnya tidak lebih dari Rp 250.000,00

tidak terutang

G.1. Surat-surat biasa & surat-surat kerumahtanggaan;

2. Surat-surat yang semula tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain/digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula, yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan.

Rp. 2.000,00 (dua ribu rupiah)

2. Tarif Bea Meterai Atas Cek Dan Balyet Giro

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (4), besarnya tarif Bea Meterai atas cek dan bilyet giro, dikaitkan dengan besarnya harga nominal dalam cek dan bilyet giro, yaitu bila harga nominalnya.

¾ Kurang dari Rp 100.000,-, tidak dikenakan Bea Meterai

¾ Lebih dari Rp 100.000,- tetapi tidak dari Rp 1.000.000, dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp 500,-

¾ Lebih dari Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp 1.000,- Karena dalam pelaksanaan penerapan dua jenis tarif tersebut secara teknis menyulitkan pihak bank dan nasabahnya, maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1989, tentang Perubahan Besarnya Tarif Bea Meterai Dan Besarnya Batas Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai Atas Cek Dan Bilyet Giro, dimana pada Pasal 1 ditentukan bahwa tarif Bea Meterai atas cek dan bilyet giro ditetapkan Rp 500,- (lima ratus rupiah) tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 3, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 menetapkan bahwa tarif Bea Meterai atas cek dan bilyet giro

(21)

adalah Rp 1.000,- (seribu rupiah) tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal.

3. Perubahan Tarif Bea Meterai.

Perubahan tarif Bea Meterai dapat dilakukan oleh pemerintah, karena Undang Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai memberi wewenang untuk itu, berdasarkan Pasal 3, yang menyatakan bahwa :

“ Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan, diturunkan, dinaikan setinggi-tingginya enam kali atas dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2."

BAB V PENGECUALIAN

(22)

Pengertian objek Bea Meterai yang dikecualikan adalah bahwa dokumen dimaksud seharusnya dikenakan Bea Meterai, tetapi karena adanya pertimbangan-pertimbangan tertentu objek tersebut dikecualikan sehingga ditetapkan untuk tidak dikenakan Bea Meterai. Jadi ada dokumen yang nyata- nyata bukan objek Bea Meterai dan ada dokumen yang merupakan objek Bea Meterai tetapi dikecualikan sehingga tidak dikenakan Bea Meterai.

Pasal 4 UU N0 13 / 1985 tentang Bea Meterai menetapkan beberapa dokumen yang tidak dikenakan Bea Meterai, sebagai berikut :

“ Tidak dikenakan Bea Meterai atas : a. Dokumen yang berupa :

1) Surat penyimpanan barang;

2) Konsumen;

3) Surat angkutan penumpang dan barang;

4) Keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1), angka 2), dan angka 3);

5) Bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;

6) Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;

7) Surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam angka 1) sampai angka 6).

Penjelasan Angka 7

Yang dimaksud dengan surat-surat lainnya dalam angka 7) ini ialah surat-surat yang tidak disebut pada angka 1) sampai

dengan angka 6) namun karena isi dan kegunaannya dapat disamakan dengan surat-surat yang dimaksud, seperti surat

(23)

yang demikian ini tidak dikenakan Bea Meterai, menurut Pasal 4 huruf a ini.

b. Segala bentuk ijazah : Penjelasan

Huruf b

Termasuk dalam pengertian segala bentuk ijazah ini ialah surat tanda tamat belajar, tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti sesuatu pendidikan, latihan, kursus dan penataran.

c. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu;

d. Tanda bukti penerimaan uang Negara dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah dan Bank;

e. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintah dan Bank;

Penjelasan Huruf e

Bank yang dimaksud dalam huruf e ini adalah bank yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk menerima setoran pajak, bea dan cukai.

f. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;

g. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut;

h. Surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian;

i. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.”

(24)

Berikut di bawah ini dijelaskan secara berturut-turut butir-butir yang tercantum dalam Pasal 4 tersebut di muka :

a. Dokumen

Kalau kita perhatikan dokumen-dokumen sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 huruf a dari butir 1 s/d bitir 7, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dokumen-dokumen itu dikaitkan langsung dengan kegiatan perekonimian.

Kebijaksanaan untuk tidak mengenakan Bea Meterai atas dokumen-dokumen itu ialah untuk mempelancar lalu lintas barang dan penumpang dan membantu mengurangi biaya.

b. Segala bentuk ijazah

Ijazah yang diterbitkan oleh pemerintah bukan objek Bea Meterai karena bersifat publik. Adapun ijazah yang dikeluarkan oleh swasta termasuk dokumen sebagaimana Pasal 2 ayat (1) huruf a yang seharusnya dikenakan Bea Meterai. Agar tidak terjadi diskriminasi dalam pengenaan Bea Meterai maka semua jenis ijazah tidak dikenakan Bea Meterai.

c. Tanda terima gaji dan jenisnya

Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun dan yang lainnya merupakan tanda terima uang dan termasuk objek Bea Meterai seperti tersebut dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d, angka 1, karena Undang-undang mengecualikan maka atas dokumen tersebut di atas tidak dikenakan Bea Meterai. Termasuk dalam dokumen “surat-surat yang diserahkan untuk mendapat pembayaran itu”

antara lain surat kuasa untuk mengambil/menerima gaji, daftar keluarga untuk pengurusan tunjangan keluarga dan lain-lain.

d. Tanda bukti penerimaan uang Negara

Pasal 4 huruf d menyatakan; “ tidak dikenakan Bea Meterai atas tanda bukti penerimaan uang Negara dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah dan

Bank ” dalam penjelasannya “ cukup jelas ” kalau ketentuan di atas ditafsirkan secara harfiah maka kata ” …… dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah dan Bank bersifat definitif dan limitatif. Tegasnya kalau uang Negara itu diterima

(25)

yang menyatakan bukti penerimaan uang Negara itu dikenakan Bea Meterai.

Bagaimana kalau uang Negara itu diterima dari bendaharawan UUDP (uang- uang untuk dipertanggungjawabkan), misalnya karena adanya pembelian ATK untuk keperluan kantor.?

Karena bendaharawan UUDP itu merupakan kepanjangan tangan dari kas Negara/Kas Pemerintah Daerah, maka bukti penerimaan uang dari bendaharawan UUDP, tidak dikenakan Bea Meterai.

e. Kuitansi untuk semua jenis pajak

Bea Meterai adalah pajak, wajar jika atas kuitansi penerimaan pembayaran pajak tidak dikenakan Bea Meterai, sehingga tidak menimbulkan kesan terjadinya dua kali pengenaan pajak.

Penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu (pajak) antara lain penerimaan :

¾ Pajak Bumi dan Bangunan.

¾ Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

¾ Bea Cukai.

¾ Dan lain-lain.

f. Tanda penerimaan untuk keperluan intern organisasi

Tanda penerimaan yang terjadi secara internal dalam organisasi pada hakekatnya merupakan tanda penerimaan dari dan untuk diri organisasi itu sendiri. Namun demikian jika tanda penerimaan antara bagian dalam organisasi itu akan digunakan sebagai alat bukti di muka Pengadilan maka tujuannya sudah lain dari tujuan semula, bila demikian maka atas tanda penerimaan itu harus dikenakan Bea Meterai.

g. Dokumen yang menyangkutkan tabungan dan lainnya yang bergerak di bidang itu.

Tidak dikenakan Bea Meterai atas dokumen yang menyebutkan tabungan dan lainnya yang bergerak di bidang itu adalah untuk mendorong dan menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam TABANAS dan jenis tabungan lainnya.

h. Surat gadai dari Perjan Pegadaian

(26)

Tidak dikenakan Bea Meterai atas surat gadai dari Perjan Pegadaian dimaksudkan untuk tidak menambah bahan terhadap pengambilan kredit yang pada umumnya kecil dan sedang kesulitan likuiditas.

i. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek.

Yang dimaksud tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek ialah kupon dan tanda deviden, terhadap dokumen ini tidak dikenakan Bea Meterai karena terhadap efeknya telah dikenakan Bea Meterai (Pasal 2 ayat (1) huruf e).

Jika kemudian hari kupon atau penerimaan uang ini dibuatkan kuitansi, maka atas kuitansi penerimaan uang ini dikenakan Bea Meterai.

BAB VI

SAAT TERUTANG BEA METERAI

DAN YANG HARUS MEMBAYAR BEA METERAI

(27)

1. Saat Terutang Bea Meterai.

Saat terutang Bea Meterai diterapkan dalam Pasal 5 UU N0 13/ 1985 tentang Bea Meterai, sebagaimana tersebut dibawah ini :

“ saat terhutang Bea Meterai ditentukan dalam hal :

a. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan;

b. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak, adalah pada saat selesainya dokumen itu dibuat;

c. Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia.”

Penjelasan

a. Dokumen yang dibuat satu pihak.

“ Saat terhutang Bea Meterai atas dokumen yang termasuk pada huruf a, adalah pada saat dokumen itu diserahkan dan diterima oleh pihak untuk siapa dokumen itu dibuat, bukan pada saat ditandatangani, misalnya kuitansi, cek dan sebagiannya.

Contoh

Si A membuat surat kuasa kepada Si B, dimana dalam surat kuasa itu disebutkan bahwa Si B atas nama Si A diberi kuasa untuk menagih dan menerima sejumlah uang dari Si C yang berhutang kepada Si A.

Pada waktu surat kuasa itu dibuat oleh Si A dan belum diserahkan kepada Si B, maka atas surat kuasa itu belum dikenakan Bea Meterai. Jika surat kuasa itu diserahkan kepada Si B (pihak penerima kuasa) maka pada saat penyerahan itu Bea Meterainya menjadi terhutang.

b. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak

Saat terutang Bea Meterai atas dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak adalah pada saat dokumen itu selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan dari yang bersangkutan.

Contoh :

(28)

Si A menjual rekening tanah kepada Si B melalui/dihadapan PPAT, maka tanda tangan PPAT merupakan penutup dari akta jual beli yang sebelumnya ditandatangani oleh saksi dan para penghadap. Pada saat akta jual beli itu selesai ditandatangani oleh semua pihak yang bersangkutan termasuk PPAT, maka saat itulah Bea Meterai terutang.

c. Dokumen yang dibuat di luar negeri

Saat terutang dokumen yang dibuat di luar negeri adalah saat digunakan di Indonesia.

Hal ini sesuai dengan Pasal 9 UU N0 13 / 1985 tentang Bea Meterai, yang menetapkan :

“ Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah dilunasi Bea Meterai yang terutang dengan cara pemeteraian kemudian.”

Contoh :

Si A (orang Indonesia) membuat perjanjian jual beli di Kuala Lumpur dengan Si B warga negara Malaysia. Jika dokumen perjanjian jual beli itu oleh Ai A dibawa ke Indonesia dan disimpan saja di dalam lemari, maka atas dokumen perjanjian jual beli itu belum/tidak terutang Bea Meterai.

Jika dokumen perjanjian itu hendak digunakan di Indonesia (misalnya dalam realisasi jual beli yang diperjanjikan) maka pada saat itu terutang Bea Meterai dan harus dibubuhi meterai dengan cara pemeteraian kemudian di Kantor Pos.

2. Kapan Bea Meterai Harus Di Bayar

Lazimnya kewajiban membayar pajak timbul setelah tiba saat terutang pajak.

Tetapi hal ini tidak selalu berlaku dalam pembayaran Bea Meterai, sebab pada saat seseorang membeli meterai atau kertas meterai di Kantor Pos pada saat

(29)

(kas stelsel), pada hal belum tentu orang tersebut dalam waktu yang bersamaan menggunakan meterai tersebut untuk memenuhi kewajibannya membayar Bea Meterai.

Contoh lain misalnya jika sebuah bank menggunakan mesin teraan, maka pada hakekatnya ia telah membayar pajak yang berasal dari Bea Meterai.

Sebaliknya bisa terjadi, bank tersebut telah menggunakan mesin teraan melebihi penyetoran dimuka (misalnya karena bank itu membuka segelnya atau karena mesin teraannya rusak). Dalam keadaan ini bank tersebut dapat disebut “ tidak atau kurang melunasi kewajiban membayar Bea Meterainya”

sehingga dapat dikenakan denda administrasi sebesar 200 % dari Bea Meterai yang tidak atau kurang di bayar (Pasal 8 ayat (1) UU N0 13 / 1985 tentang Bea Meterai).

Adapun Undang-undang menetapkan saat terutang Bea Meterai ini mutlak perlu, yaitu untuk menjamin kepastian hukum apakah seseorang telah melaksanakan kewajiban perpajakannya (Bea Meterai) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak.

3. Siapa Yang Terutang Bea Meterai.

Pasal 6 UU N0 13 / 1985 Tentang Bea Meterai menetapkan bahwa :

“ Bea Meterai terhutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.”

Dalam penjelasan Pasal 6 tersebut diberikan contoh-contoh sebagai berikut

a. Dalam hal dokumen dibuat sepihak, misalnya kuitansi, bea meterai terutang oleh penerima kuitansi.

b. Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, misalnya surat perjanjian di bawah tangan, maka masing-masing pihak terutang Bea Meterai atas dokumen yang diterimanya.

(30)

c. Jika surat perjanjian dibuat dengan Akta Notaris maka Bea Meterai yang terhutang baik atas asli salih yang disimpan oleh Notaris maupun salinannya yang diperuntukkan pihak-pihak yang bersangkutan terutang oleh pihak-pihak yang mendapat manfaat dari dokumen tersebut, yang dalam contoh ini adalah pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.

d. Jika pihak-pihak bersangkutan menentukan lain, maka Bea Meterai terutang oleh pihak atau pihak-pihak yang ditentukan dalam dokumen tersebut.

BAB VII

PELUNASAN BEA METERAI

(31)

1. Bentuk, Ukuran, Dan Warna Kertas Bermeterai

Pasal 7 ayat (1) UU N0 13 / 1985 Tentang Bea Meterai mengatur tentang Bentuk, Ukuran, Dan Kertas Bermeterai, seperti tersebut di bawah ini :

(1) “ Bentuk, Ukuran, Warna meterai tempel, dan kertas meterai, demikian pula percetakan, pengurusan, penjualan serta penelitian keabsahannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.”

Adapun pelaksanaan teknisnya di atur oleh Menteri Keuangan, yang dalam hal ini seperti tersebut pada Keputusan menteri Keuangan Nomor : 419/KMK.04/1995 Tentang Bentuk, Ukuran, Dan Warna Kertas Bermeterai, tanggal 6 September 1995 (lihat lampiran)

2. Cara Melunasi Bea Meterai

Cara melunasi Bea Meterai pada dasarnya diatur melalui Pasal 7 ayat (2), seperti tersebut di bawah ini :

(2) “ Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan cara : a. Menggunakan benda meterai;

b. Menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.”

Selanjutnya pada penjelasan Pasal 7 ayat (2) dikatakan :

“ Pada umumnya Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan benda meterai menurut tarif yang ditentukan dalam Undang-undang ini.

Disamping itu dengan Keputusan Menteri Keuangan dapat ditetapkan cara lain bagi pelunasan Bea Meterai, misalnya membutuhkan tanda tera sebagai pengganti benda meterai di atas dokumen dengan mesinteraan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ditentukan untuk itu.”

a. Benda Meterai

Yang dimaksud dengan benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia (Pasal 1 ayat (2) ).

(32)

Adapun pengadaan, pengelolaan dan penjualan benda meterai pada dasarnya di atur dengan Peraturan Pemerintah (PP N0 28 Tahun 1986) sedang pelaksanaan teknisnya di atur oleh Menteri Keuangan, yang antara lain menyebutkan :

1. Penetapan dalam rangka pengadaan menteri, dilaksanakan oleh Perusahaan Umum (PERUM) Percetakan Uang Republik Indonesia (PERURI).

2. Pengelolaan dan penjualan benda meterai, dilaksanakan oleh PERUM Pos dan Giro.

Pengaturan selanjutnya lihat keputusan Menteri Keuangan Nomor 1009/KMK.01/1986 Tentang Tata Cara Dan Persyaratan Pengelolaan, Penjualan, Penukaran, Pengembalian, Dan Pemusnahan Benda Meterai (lihat lampiran)

b. Penggunaan benda meterai.

Bagaimana caranya menggunakan benda meterai dalam pelunasan Bea Meterai di atur dalam Pasal 7 ayat (3) s/d ayat (9), sebagai berikut :

(3) “ Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai.

(4) Meterai tempel direkatkan di tempat di mana tanda tangan akan dibubuhkan.

(5) Pembubuhan tandatangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan ada di atas kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel.

(6) Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagaian di atas semua meterai tempel dan sebagian diatas kertas.

(33)

Penjelasan

“ Ayat ini menegaskan bahwa sehelai kertas meterai hanya dapat digunakan untuk sekali pemakaian, sekalipun dapat terjadi tulisan atau keterangan yang dimuat dalam kertas meterai tersebut hanya menggunakan sebagaian saja dari kertas meterai. Andaikan bagian yang masih kosong atau tidak terisi tulisan atau keterangan, akan dimuat tulisan atau keterangan lain, maka atas pemuatan tulisan atau keterangan lain tersebut terhutang Bea Meterai tersendiri yang besarnya disesuaikan dengan besarnya tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Jika sehelai kertas meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan dan dalam hal ini belum ditanda tangani oleh pembuat atau yang berkepentingan, sedangkan dalam kertas meterai telah terlajur ditulis dengan beberapa kata atau kalimat yang belum merupakan suatu dokumen yang selesai dan kemudian tulisan yang ada pada kertas meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru maka kertas meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak perlu dibubuhi meterai lagi.

(8) Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas kertas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai.

(9) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (8) tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.”

3. Pemeteraian Kemudian.

Mengenai pemeteraian kemudian UU N0 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai mengatur melalui tiga pasal yaitu Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10, yang lengkapnya sebagai berikut :

(34)

Pasal 8

(1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200 % (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar.

(2) Pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus melunasi Bea Meterai yang terhutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian kemudian.

Pasal 9

Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah dilunasi Bea Meterai yang terhutang dengan cara pemeteraian kemudian.

Penjelasan

“ Dokumen yang dibuat di luar negeri tidak dikenakan Bea Meterai sepanjang tidak digunakan di Indonesia. Jika dokumen tersebut hendak digunakan di Indonesia harus dibubui meterai terlebih dahulu yang besarnya sesuai dengan tarip sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dengan cara pemeteraian kemudian tanpa denda. Namun apabila dokumen tersebut baru dilunasi Bea Meterainya sesudah digunakan, maka pemeteraian kemudian dilakukan berikut dendanya sebesar 200 % (dua ratus persen).”

Pasal 10

“ Pemeteraian kemudian atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 8, dan Pasal 9 dilakukan oleh Pejabat Pos menurut tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.”

Dari uraian di muka dapat disimpulkan bahwa pemeteraian kemudian dilakukan karena :

(35)

a. Dokumen yang semula tidak/belum perlu dibubuhi meterai tetapi karena kemudian dipergunakan sebagai alat bukti di muka Pengendalian, maka harus dibubuhi meterai (Pasal 2 ayat (3) )

b. Dokumen tidak/kurang dilunasi pengenaan Bea Meterainya (Pasal 8)

c. Dokumen yang dibuat di Luar Negeri akan digunakan di Indonesia (Pasal (9) )

d. Pada dasarnya pemeteraian kemudian (yang dilakukan oleh Pejabat Pos) adalah pelunasan Bea Meterai dengan cara menggunakan meterai tempel juga, tetapi karena sesuatu hal dilakukan kemudian (dokumen telah ditandatangani).

4. Cara melakukan Pemeteraian Kemudian.

Cara melakukan pemeteraian kemudian tergantung dari penyebab dilakukan pemeteraian kemudian dan jenis dokumennya.

a. Jika pemeteraian kemudian dilakukan atas surat kerumahtanggaan dan surat lainnya sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (3) UU N0 13 / 1985 tentang Bea Meterai, yang dipergunakan sebagai alat bukti di muka Pengadilan, maka besarnya Bea Meterai adalah 2.000,- tanpa denda administrasi.

Contoh :

Suatu surat kerumahtanggaan (sesuai peraturan perundang-undangan tidak dikenakan Bea Meterai) digunakan sebagai alat bukti di muka Pengadilan maka atas surat kerumahtanggaan itu harus dilakukan pemeteraian kemudian di Kantor Pos dan Pejabat Pos akan mengenakan Bea meterai Rp 2.000,- (dua ribu rupiah) tanpa denda administrasi.

b. Jika pemeteraian kemudian dilakukan atas dokumen yang seharusnya dikenakan Bea Meterai (misalnya Rp 2.000,-) tetapi ternyata pelunasannya

(36)

terlambat (lewat saat terhutangnya) maka dalam pelaksanaan pemeteraian kemudiannya ditambah denda 200 %.

Contoh :

Suatu surat perjanjian jual beli tidak bermeterai baik yang dipegang penjual maupun pembeli maka dikenakan pemeteraian kemudian masing-masing Rp 2.000,- + 200 % x Rp 2.000,- = Rp 6.000,-

c. Jika pemeteraian kemudian dilakukan atas dokumen yang kurang bayar Bea Meterainya, maka pengenaan pemeteraian kemudian adalah disamping yang kurang bayarnya harus dilunasi dikenakan pula denda administrasi 200 % terhadap yang barang bayar itu.

Contoh :

Suatu kuitansi bukti pembayaran senilai Rp 5.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 1.000,- (kurang bayar Rp 1.000,-). Jika atas kuitansi ini dilakukan pemeteraian kemudian maka dikenakan Rp 1.000,- + 200 % x Rp 1.000,- = Rp 3.000,-

5. Pelunasan Bea Meterai Menggunakan Cara Lain.

Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b UU N0 13 / 1985 tentang Bea Meterai, pelunasan Bea Meterai dapat dilakukan dengan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri keuangan. Sebagai tindak lanjut dari ketentuan itu telah terbit beberapa peraturan pelaksanaannya yaitu :

a. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 104/KMK.04/1986 Tentang Pelunasan Bea Meterai Dengan menggunakan Cara Lain, tanggal 22 Pebruari 1986;

b. Surat Edaran Dirjen Pajak No SE-11/PJ.3/1986, Tentang Petunjuk Mengenai Pelunasan Bea Meterai Dengan Menggunakan Cara Lain, tanggal 19 Maret 1986;

(37)

c. Surat Edaran Dirjen Pajak No SE-07/PJ.3/1988, Tentang Penerbitan Terhadap Pemberian Izin Penggunaan Mesin Teraan Meterai, tanggal 3 Maret 1988;

d. Surat Edaran Dirjen Pajak No SE-33?PJ.3/1988, Tentang Pelunasan Bea Meterai Dengan Menggunakan Mesin Teraan Meterai, tanggal 1 Agustus 1988.

Berdasarkan petunjuk pelaksanaan tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. U m u m

1) Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan cara lain adalah dengan menggunakan mesin teraan atau alat lain dengan teknologi tertentu.

2) Mesin teraan atau alat lain di maksud, penggunaannya harus mendapat ijin tertulis dari Direktur Jenderal Pajak.

3) Penggunaan mesin teraan atau alat lain, diberikan kepada pemakai yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

b. Ijin Penggunaan Mesin Teraan Meterai

1) Untuk memperoleh izin penggunaan mesin teraan meterai. Pengusaha harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Pajak Tidak Langsung atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak. Dalam surat permohonan harus dicantumkan jenis/merek dan tahun pembuatan mesin teraan Bea Meterai yang akan digunakan.

2) Ijin penggunaan mesin teraan meterai dapat diberikan, bila digunakan mesin teraan meterai yang tidak dapat melampaui jumlah angka pembilang sesuai dengan jumlah penyetoran Bea Meterainya. (Mesin teraan akan berhenti bila sudah mencapai angka pembilang akhir sesuai dengan jumlah yang diijinkan dalam Berita Acara tentang pemasangan segel mesin teraan meterai tersebut ).

3) Jika permohonan dapat disetujui, maka sebelum dikeluarkan keputusan pemberian ijin penggunaan mesin teraan meterai pemohon harus

(38)

menyetor di muka Bea Meterai sebesar minimal Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah), dengan menggunakan Surat Setor bentuk KPU 8A.

4) Keputusan ijin menggunakan mesin teraan meterai (bentuk KP.BM-1) dikeluarkan sesudah pemohon melunaskan jumlah setoran tersebut pada bitir (3) dan menyampaikan SSP (KPU 8A) lembar ke-II(Warna Merah).

5) Sebelum mesin teraan meterai yang bersangkutan digunakan, terlebih dulu harus dilakukan pemasangan segel dan dibuat Berita Acara pemasangan segel (formulir KP.BM-2) untuk pemakaian yang pertama dan Berita Acara pembukaan dan pemasangan segel untuk perpanjangan pemakaian mesin teraan meterai (KP. BM-2A).

6) Pemberian ijin penggunaan mesin teraan meterai pada dasarnya bersifat selektif dan agar dibatasi hanya kepada wajib pajak/pemakai mesin teraan meterai yang melakukan pemeteraian atas dokumen dalam jumlah besar didalam waktu yang relatif singkat, seperti setiap hari tidak kurang dari 50 dokumen yang harus diberi meterai. Oleh karena itu dalam setiap permohonan ijin penggunaan mesin teraan meterai agar dilampirkan pernyataan (bermeterai Rp 2.000,-) dari pemilik/pemakai mesin teraan meterai bahwa dokumen yang harus dibubuhi meterai setiap hari cukup banyak, sehingga memerlukan penggunaan mesin teraan meterai. Untuk penerbitan Keputusan ijin penggunaan mesin teraan meterai yang pertama kali, digunakan formulir bentuk KP. BM-88.

7) Ijin penggunaan mesin teraan meterai hanya diberikan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun, karena itu setiap 2 (dua) tahun diperpanjang,

apabila dalam jangka waktu 2 tahun depositnya habis, maka dengan menambah setoran di muka Bea Meterai, mesin teraan meterai harus di program lagi sesuai penambahan deposit tersebut dan setelah dilakukan penyegelan lagi serta telah dibuat Berita Acara pembukaan

(39)

8) Laporan bulanan atas ijin penggunaan mesin teraan meterai dipakai formulir KP. BM-3.

c. Ijin pencetakan lunas Bea Meterai

1) Ijin pencetakan lunas Bea Meterai biasanya diajukan oleh Perusahaan Perbankkan (mencentak lunas meterai pada Buku Cek) atau perusahaan lain yang banyak menggunakan kuitansi. Untuk sementara ijin untuk pencetakan tanda “ lunas Bea Meterai “ pada dokumen hanya diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan karenanya permohonan untuk memperoleh ijin pencetakan tanda lunas Bea Meterai hanya dapat diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak U.P. Direktur Pajak Tidak Langsung.

2) Cara pelunasan dengan melakukan pencetakan lunas Bea Meterai pada dokumen yang akan digunakan, dianggap sama cara pelunasannya dengan menggunakan Benda Meterai asalnya jumlah Bea Meterai yang dilunasi sama besarnya dengan jumlah Bea Meterai terutang berdasarkan UU N0 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai.

BAB VIII

KETENTUAN KHUSUS DAN DALUWARSA

(40)

Bab IV UU N0 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai mengatur tentang ketentuan khusus, memuat dua hal yaitu (a) tindakan yang tidak dibenarkan bagi pejabat (b) daluwarsa.

1. Tindakan Yang Tidak Dibenarkan Bagi Pejabat

Pasal 11 Undang Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai, menentukan :

1) “ Pejabat Pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris, dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan :

a. Menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterainya tidak kurang bayar;

b. Melekatkan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan taripnya pada dokumen lain yang berkaitan;

c. Membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar;

d. Memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterainya.

2) Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan sanksi administatip sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Beberapa contoh berikut ini akan lebih memperjelas ketentuan di atas :

a) Seorang notaris menerima dan menyimpan dari kliennya surat kuasa jual beli, padahal suarat kuasa itu belum dikenakan Bea Meterai.

b) Seorang PPAT menyimpan dalam berkas penyelesaian Akta Jual Beli Tanah kliennya, sebuah kuitansi yang pengenaan Bea Meterainya masih kurang dibayar.

c) Seorang Notaris membuat salinan Akta Jual Beli Tanah dan Bangunan kemudian menyerahkan Akta tersebut kepada kliennya padahal Bea Meterainya tidak atau kurang di bayar.

(41)

d) Seorang hakim memberikan keterangan atau catatan pada dokumen berupa surat kerumah tanggaan yang digunakan sebagai alat bukti pada hal surat kerumah tanggaan tersebut belum dikenakan pemeteraian kemudian.

2. Daluwarsa

Pasal 12 Undang Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai menetapkan bahwa.

“ Kewajiban pemenuhan Bea Meterai dan denda administrasi yang terhutang menurut Undang-undang ini daluwarsa setelah lampau waktu lima tahun, terhitung sejak tanggal dokumen dibuat.”

Penjelasan

“ Ditinjau dari segi kepastian hukum daluwarsa 5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal dokumen dibuat, berlaku untuk seluruh dokumen termasuk kuitansi.”

Ketentuan daluwarsa di atas berarti setelah lampau 5 (lima) tahun sejak tanggal dokumen dibuat, maka orang yang terhutang Bea Meterai dan denda administrasinya atas dokumen tersebut. Saat tanggal dokumen dibuat, dan jangka waktu lima tahun merupakan waktu-waktu yang pasti, dengan demikian adanya ketentuan daluwarsa dimaksud untuk menjamin kepastian hukum dan memudahkan menghitung daluwarsanya.

Contoh :

Kuitansi penerimaan uang senilai Rp 5.000.000,- yang dibuat tanggal 20 Agustus 1999, tidak dikenakan Bea Meterai sebagaimana mestinya, maka setelah lampau tanggal 20 Agustus 2004 yang mendapat manfaat atas kuitansi tersebut tidak berkewajiban lagi memenuhi Bea Meterai yang terhutang, demikian juga dendanya.

(42)

Perlu diingatkan bahwa saat tanggal dokumen dibuat berbeda dengan saat terutang Bea Meterai, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 Undang Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai.

BAB IX

KETENTUAN PIDANA

(43)

Dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai, Ketentuan Pidana diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14, untuk jelasnya dapat dikemukan sebagai berikut :

1. Ketentuan Pidana Pasal 13 Undang Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai, menetapkan.

“ Dipidana sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana :

a) Barang siapa meniru atau memalsukan meterai tempel dan kertas meterai atai meniru dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan meterai;

b) Barang siapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau memasukkan ke Negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hak;

c) Barang siapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual atau dimasukkan ke Negara Indonesia meterai yang mereknya, capnya, tandatangan, tanda sahnya atau tanda waktunya mempergunakan telah dihilangkan seolah-olah meterai itu belum dipakai dan atau menyuruh orang lain menggunakan dengan melawan hak;

d) Barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas yang diketahuinya digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan benda meterai.”

Penjelasan (cukup jelas)

Jika kita kaji ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Sesuai dengan kalimat pertamanya Ketentuan Pidana dalam Bea Meterai, mengacu kepada Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sedang perbuatan hukumnyalah yang secara lex specialis mengenai Bea Meterai.

(44)

b. Ketentuan itu sama sekali tidak menyebut/menentukan besarnya hukuman, hal ini berarti hakim yang mengadilinya yang akan menentukan besarnya hukuman sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang terdapat dalam Bab XI, antara lain Pasal 253, Pasal 257, Pasal 260 dan Pasal 261.

2. Ketentuan Pidana Pasal 14 N0 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai, menetapkan :

1) “ Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b tanpa ijin Menteri Keuangan, dipidana penjara selama-selamanya 7 (tujuh) tahun.”

Penjelasan

“ Melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) ijin Menteri Keuangan, akan menimbulkan keuntungan bagi pemilik atau yang menggunakannya, dan sebaliknya akan menimbulkan kerugian bagi Negara. Oleh karena itu harus dikenakan sanksi pidana berupa hukuman setimpal dengan kejahatan yang diperbuatnya.

2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan.”

Sesuai Keputusan Menteri Keuangan No 104/KMK.04/1986 Tentang Pelunasan Bea Meterai Dengan Menggunakan Cara Lain, khususnya Pasal 2, ditetapkan bahwa mesin teraan atau alat lain yang digunakan sebagai “ cara lain “ dimaksud, harus mendapat ijin tertulis dari Dirjen Pajak (yang

(45)

Kepala Kantor Pelayanan Pajak untuk wilayah di luar DKI). Dengan demikian wajar jika pelanggaran dengan sengaja terhadap Pasal 7 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 1985 terutang Bea Meterai tersebut dipidana penjara selama-lamanya 7 tahun. Hal ini sebagaimana penjelasan Pasal 14 dimaksud, adalah untuk menjaga agar negara tidak dirugikan.

BAB X

KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP

(46)

1. Ketentuan Peralihan.

Berdasarkan Pasal 18 Undang Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai, dinyatakan bahwa Undang-undang tersebut mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986, ini berarti bahwa Aturan Bea Meterai ( Zegelverordening 1921 ), berakhir masa berlakunya pada tanggal 31 Desember 1985. Hal di atas dipertegas dengan Pasal 15 Undang Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai sebagai berikut :

Pasal 15

1) “ Atas dokumen yang tidak atau kurang dibayar Bea Meterainya yang dibuat sebelum Undang-undang ini berlaku, Bea Meterainya tetap terhutang berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921).

2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Keuangan.”

Sedang mengenai peraturan pelaksanan Undang Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai yang belum dikelurkan maka peraturan pelaksanaan berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) yang tidak bertentangan dengan Undang Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai yang belum dicabut dan diganti dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1988.

Adapun pelaksanaan Undang Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai selanjutnya di atur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 17).

Ketentuan Peralihan dalam suatu Undang-undang diperlukan, terutama pada Undang-undang yang sifatnya menyempurnakan/mengganti Undang-undang sebelumnya, agar terjamin kepastian hukum sehingga tidak menimbulkan keraguan atau kekacauan dalam pelaksanaannya.

2. Ketentuan Penutup

(47)

Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea meterai yang sederhana dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat, diadakan untuk mengatur kembali pengenaan Bea Meterai yang sebelumnya di atur berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921), ditutup dengan Pasal 18 yaitu :

“ Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran NegaraRepublik Indonesia.”

Referensi

Dokumen terkait

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa jika saya diangkat dalam jabatan fungsional Widyaiswara Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, saya bersedia ditempatkan di