BAB 3
GAMBARAN UMUM KAWASAN JALAN CIHAMPELAS
3.1 Gambaran Umum Kota Bandung
Dalam konteks nasional, Kota Bandung mempunyai kedudukan dan peran yang strategis. Dalam Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Kota Bandung ditetapkan sebagai salah satu Pusat Kegiatan Nasional (PKN) bersama sama dengan 14 kota lainnya. Selain itu dalam RTRWN tersebut, Kota Bandung dan sebagian wilayah Kabupaten Bandung ditetapkan sebagai Kawasan Andalan Cekungan Bandung dan sekitarnya dengan sektor unggulan industri, petanian tanaman pangan, pariwisata, dan perkebunan.
Wilayah Kota Bandung dengan luas 16.729,65 Ha, terbagi menjadi 6 Wilayah Pengembangan (WP), yaitu WP Bojonegara, WP Cibeunying, WP, Tegalega, WP Karees, WP Ujungberung, dan WP Gedebage, serta 26 kecamatan.
Saat ini, jumlah penduduk Kota Bandung diperkirakan sebesar 2,3 juta jiwa, dengan kepadatan penduduk sekitar 13.748 jiwa/km
2. Hal tersebut sudah sangat jauh di atas standar kepadatan penduduk Kota Bandung yaitu 12.000-13.000 jiwa/km
2. Dengan asumsi laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,5% per tahun, maka pada tahun 2008, penduduk Kota Bandung diproyeksikan mencapai ± 2,6 juta jiwa dan ± 2,95 juta jiwa pada tahun 2013 (berdasarkan hasil proyeksi RTRW Kota Bandung 2013).
Perbedaan tingkat kepadatan dan pola penyebaran jumlah penduduk di Kota Bandung, berimplikasi pada intensitas kegiatan dan mempengaruhi pergerakan penduduk serta kebutuhan transportasi Kota Bandung. Apabila pergerakan yang terjadi (demand) tidak seimbang dengan kapasitas jalan (supply) yang ada, maka akan menimbulkan persoalan lalu lintas di ruas-ruas jalan tertentu.
Pergerakan lalu lintas di Kota Bandung yang sebagian besar menuju
pusat kota/perdagangan (Central Bisinis District) di sekitar Jalan Dewi Sartika,
Jalan Asia Afrika, Jalan Merdeka, Jalan Diponegoro, Jalan Cihampelas, dan
sebagainya juga karena adanya pergerakan arus yang memasuki Kota Bandung
pada hari-hari libur untuk keperluan wisata ataupun hanya melintasi (trought traffic).
Pola perjalanan yang ada di Kota Bandung menunjukkan bahwa pergerakan penduduk dari luar Kota Bandung (eksternal/regional) menuju wilayah internal (Kota Bandung) adalah cukup besar (perjalanan eksternal-internal). Hal ini disebabkan banyaknya penduduk di luar Kota Bandung yang bekerja di Kota Bandung. Sedangkan untuk pola perjalanan yang ada di Kota Bandung sendiri (internal) pada umumnya dibangkitkan dari kawasan perumahan menuju pusat kota sebagai pusat kegiatan Kota Bandung. Pola jaringan transportasi di Kawasan Kota Bandung menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
1. Pola jaringan cenderung membentuk pola kombinasi radial konsentris sesuai dengan pola guna lahannya dengan beberapa poros utama kota, serta pada sebagian besar ruas jalan utama terdapat interaksi (simpangan) dengan jarak antara sangat dekat.
2. Pola jaringan pada kawasan perluasan (internal kota) membentuk pola radial untuk mengarahkan arus pergerakan tidak melalui pusat kota.
3. Pola jaringan pada kawasan pinggiran (luar kota) dilayani dengan jaringan jalan tol untuk memisahkan arus pergerakan regional tidak bercampur dengan pergerakan internal kota.
Jaringan jalan di Kota Bandung terdiri dari jaringan jalan primer untuk lalu lintas regional dan antarkota serta jaringan jalan sekunder untuk lalu lintas perkotaan. Total jaringan jalan di Kota Bandung sampai tahun 2000 adalah 1.139,219 km yang terdiri jalan arteri primer 42,140 Km; jalan arteri sekunder 22,990 Km, jalan kolektor primer 30,712 Km; jalan kolektor sekunder 37,308 Km, jalan lokal sepanjang 1.005,069 Km.
Secara umum tempat-tempat kegiatan seperti pertokoan di wilayah Kota
Bandung belum menyediakan lahan parkir. Akibatnya untuk beberapa jalur jalan
tertentu parkir kendaraan masih menggunakan badan jalan (on street) sebagai
sarana perparkiran. Hal di atas merupakan salah satu penyebab (pemicu)
terjadinya kemacetan lalu-lintas kota karena ruas jalan menjadi terganggu, seperti
yang sering dijumpai di Jalan A. Yani, Jalan Kiaracondong, Jalan Oto
Iskandardinata, Jalan Dewi Sartika, Jalan RE Martadinata, Jalan Cihampelas, dan lain-lain. Sedangkan sarana perparkiran lain adalah tempat parkir yang berada di luar badan jalan (off street). Tempat parkir ini biasanya disediakan oleh kawasan- kawasan dan tempat-tempat tertentu seperti kawasan perdagangan, perkantoran, pendidikan dan lain-lain.
3.2 Kebijakan dan Kedudukan Jalan Cihampelas dalam Lingkup Kota Bandung
Jalan Cihampelas yang merupakan jalan kolektor sekunder, adalah salah satu jalur yang menghubungkan bagian utara dengan pusat Kota Bandung. Dalam perkembangannya, Jalan Cihampelas ini tumbuh pesat menjadi salah satu kawasan perdagangan dan jasa di Kota Bandung.
Menurut RTRW Kota Bandung 2013, kawasan perdagangan adalah lokasi yang ditetapkan untuk transaksi langsung antara pembeli dan pedagang.
Wadah fisik dari kegiatan transaksi ini antara lain berupa pertokoan, pasar atau pusat belanja. Sedangkan kawasan jasa adalah lokasi yang ditetapkan untuk menyelenggarankan berbagai kegiatan pelayanan dengan wadah fisiknya berupa perkantoran dengan kegiatan ekonomi atau serangkaian kegiatan yang umumnya tidak kasat mata, dan tidak berdampak kepada kepemilikan apapun, yang ditawarkan satu pihak kepada orang lain, yang produknya dinikmati pada saat diproduksi, serta mempunyai nilai tambah dalam berbagai bentuk (kenyamanan, hiburan, kemudahan, atau kesehatan).
Arahan pengembangan kawasan dan kegiatan perdagangan dan jasa berdasarkan RTRW Kota Bandung 2013, antara lain adalah merevitalisasi atau meremajakan kawasan pasar yang tidak tertata dan/atau menurun kualitas pelayanannya dengan tanpa mengubah kelas dan/atau skala pelayanannya yang telah ditetapkan. Kebijakan lainnya yaitu mengendalikan kegiatan perdagangan dan mengarahkan perkembangannya ke lokasi yang sesuai dengan peruntukannya.
Sedangkan untuk kegiatan jasa, arahan pengembangannya antara lain yaitu
mewajibkan penyediaan parkir dan prasarana yang memadai bagi pengembangan
kegiatan jasa.
3.3 Karakteristik Jalan Cihampelas
Daerah sepanjang Jalan Cihampelas yang berfungsi sebagai jalan kolektor sekunder merupakan suatu kawasan yang termasuk ke dalam Wilayah Pengembangan (WP) Cibeunying. Secara administratif, wilayah studi penelitian ini termasuk ke dalam Kelurahan Cipaganti, Kecamatan Coblong. Sedangkan secara fisik geografis, Jalan Cihampelas dimulai dari persimpangan Jalan Dr.
Setiabudi dan Jalan Ciumbuleuit di sebelah utara, sampai ke persimpangan Jalan Pajajaran dan Jalan Cicendo di sebelah selatan yang terbagi ke dalam 6 ruas jalan, yaitu:
1. Ruas jalan antara Jalan Lamping dan Jalan Dr. Setiabudi 2. Ruas jalan antara Jalan Bapak Husen dan Jalan Lamping 3. Ruas jalan antara Jalan Prof. Eyckman dan Jalan Bapak Husen 4. Ruas jalan antara Jalan Pasteur dan Jalan Prof. Eyckman 5. Ruas jalan antara Jalan Abdul Rivai dan Jalan Pasteur 6. Ruas jalan antara Jalan Pajajaran dan Jalan Abdul Rivai
Dari keenam ruas jalan tersebut, daerah yang diambil sebagai wilayah studi hanya 2 (dua) ruas jalan saja, yaitu ruas jalan antara Jalan Prof. Eyckman dan Jalan Bapak Husen, serta antara Jalan Pasteur dan Jalan Prof. Eyckman, yang selanjutnya demi memudahkan pembuatan laporan tugas akhir ini, akan tetap disebut sebagai Jalan Cihampelas. Pemilihan kedua ruas ini didasarkan kepada konsentrasi kegiatan perdagangan dan jasa yang tinggi pada kedua ruas jalan ini.
3.3.1 Pola Penggunaan Lahan
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, penggunaan lahan (dapat dilihat pada Gambar 3.1) di kawasan Jalan Cihampelas didominasi oleh kegiatan perdagangan dan jasa. Pembagian lokasi pengamatan dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:
1. Kawasan antara penggal Jalan Bapak Husen dan Jalan Prof. Eyckman
Penggunaan lahan di kawasan ini berupa perkantoran, pendidikan,
rumah sakit, penginapan, perdagangan, dan pusat perbelanjaan (mall).
Dari seluruh penggunaan lahan tersebut, kegiatan perdagangan pakaian jeans merupakan dominasi guna lahan di kawasan ini.
2. Kawasan antara penggal Jalan Prof. Eyckman dan Jalan Pasteur
Penggunaan lahan di kawasan ini berupa perumahan, perdagangan dan jasa, restoran, pusat perbelanjaan, dan bengkel. Dominasi guna lahan berupa perdagangan pakaian jeans.
3.3.2 Kondisi Lalu Lintas di Jalan Cihampelas
Berikut ini akan dibahas mengenai kondisi lalu lintas di Jalan Cihampelas yang meliputi volume dan komposisi kendaraan yang melewati Jalan Cihampelas, kapasitas jalan, serta kecepatan dan waktu tempuh dari masing- masing ruas jalan.
3.3.2.1 Kondisi Geometrik Jalan Cihampelas
Jalan Cihampelas merupakan jalan satu arah dengan dua lajur tak terbagi dengan proporsi jalur yang sama besar (50-50). Median jalan berupa marka garis putus-putus. Kelengkapan jalan yang ada meliputi rambu dilarang berhenti, papan penunjuk arah jalan, area penyeberangan (zebra cross), rambu forbidden, lampu pengatur lalu lintas, dan lampu jalan.
Keadaan fisik koridor wilayah studi pada Ruas 1 (penggal jalan antara Jalan Bapak Husen dan Jalan Prof. Eyckman) adalah sebagai berikut (penampang jalan dapat dilihat pada Gambar 3.2):
1. Panjang jalan kurang lebih 675 meter.
2. Lebar badan jalan rata-rata 7 meter.
3. Lebar efektif jalan rata-rata 6 meter.
4. Lebar bahu jalan efektif rata-rata dibawah 0,5 meter.
5. Lebar trotoar sebelah timur jalan rata-rata 1 meter.
6. Lebar trotoar sebelah barat jalan rata-rata 1,5 meter.
Lebar trotoar 1 meter
Lebar efektif 6 meter Lebar jalan 7 meter
Lebar trotoar 1,5 meter Lebar bahu jalan
0,5 meter Lebar bahu jalan
0,5 meter
Gambar 3.2 Penampang Jalan di Ruas 1
Sedangkan karakteristik fisik pada Ruas 2 (penggal jalan antara Jalan Prof. Eyckman dan Jalan Pasteur) adalah sebagai berikut (penampang jalan dapat diihat pada Gambar 3.3):
1. Panjang jalan kurang lebih 825 meter.
2. Lebar badan jalan rata-rata 8 meter.
3. Lebar efektif jalan rata-rata 7 meter.
4. Lebar bahu jalan efektif rata-rata dibawah 0,5 meter.
5. Lebar trotoar sebelah timur jalan rata-rata 1 meter.
6. Lebar trotoar sebelah barat jalan rata-rata 1,5 meter.
Lebar trotoar 1 meter
Lebar efektif 7 meter Lebar jalan 8 meter
Lebar trotoar 1,5 meter Lebar bahu jalan
0,5 meter Lebar bahu jalan
0,5 meter