• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Tahun 2006 Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Secara umum, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Bandung memiliki topografi yang tidak terlalu beda yaitu, termasuk daerah lahan kering, dataran tinggi, dan penghasil sayuran. Jenis sayuran yang dihasilkan dari masing-masing kabupaten sangat beragam dan tiap kabupaten memiliki jenis sayuran tertentu yang dominan dihasilkan petani. Di Kabupaten Bogor, jenis sayuran yang dominan dihasilkan antara lain: cabai, kacang panjang, petsai, bawang daun, kubis dan kacang merah, di Kabupaten Cianjur, antara lain: kubis, tomat, petsai, buncis, cabai, dan wortel, dan di Kabupaten Bandung, antara lain: kentang, kubis, cabai, bawang daun, dan petsai.

Petani memilih sayuran sebagai produk usahatani utama mereka, karena petani menilai bahwa sayuran merupakan komoditas yang cocok dengan lahan yang dimliki. Tanaman hias merupakan komoditas yang juga cocok dengan lahan mereka, namun biaya produksinya sangat mahal. Dari modal yang dimiliki, petani hanya mampu mengusahakan komoditas sayuran. Keinginan petani untuk menambah modal usaha masih ada, namun kurang ‘berani’ mengambil resiko. Artinya, walaupun ada koperasi atau lembaga keuangan lainnya dapat meminjamkan modal usaha, petani tidak memanfaatkan lembaga tersebut karena lokasi lembaga-lembaga tersebut jauh dari desa mereka. Di samping itu, petani lebih memilih untuk tidak memanfaatkannya karena jumlah pinjaman dinilai terlalu besar, sehingga ada keraguan bagi petani untuk mampu mengembalikan dengan tepat waktu dan tepat jumlah. Petani lebih memilih tengkulak daripada lembaga keuangan, dengan pertimbangan jaminan pasar dan tengkulak mau menampung hasil mereka, sedangkan lembaga keuangan hanya sebatas memberikan pinjaman.

Permasalahan yang masih dirasakan oleh petani sayuran adalah, masalah harga sarana produksi seperti: pupuk, bibit, dan pestisida yang masih mahal. Apalagi pada kondisi saat penelitian, petani masih sangat merasakan dampak kenaikan harga bahan bakar minyak yang melebihi 100%. Akibatnya, nilai

(2)

pendapatan yang mereka terima jauh menurun dari tahun lalu karena tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok yang harganya juga naik akibat kenaikan harga bahan bakar tersebut. Di samping itu, pendapatan petani sayuran hanya bersumber dari kepala keluarga. Mayoritas kontribusi anggota keluarga hanya membantu dengan bekerja pada pekerjaan yang sama (usahatani sayuran), walaupun ada juga anggota keluarga lain yang memberi kontribusi pendapatan bukan dari sektor pertanian, tetapi dengan bekerja sebagai tenaga kerja (TKI) di luar negeri. Selain usahatani sayuran, umumnya petani memiliki jenis pekerjaan sampingan yaitu: pedagang, jualan kelontong/warung, buruh, peternak, pegawai, dan pensiunan (hanya lebih kurang 20% petani yang tidak ada pekerjaan sampingan).

Permasalahan lain yang dialami petani sayuran adalah, mekanisme pasar dan pasca panen. Petani selalu dibuat tidak berdaya menghadapi pasar. Di satu sisi, biaya produksi meningkat sangat pesat tetapi harga jual tidak pernah meningkat secara signifikan. Pada saat tanam, petani mengetahui bahwa harga jenis sayuran yang mereka tanam memiliki harga yang lebih tinggi namun setelah panen harga sayuran menjadi lebih rendah. Hasil panen harus tetap dijual meskipun dengan harga murah, mengingat sayuran merupakan komoditas yang mudah rusak karena petani tidak memiliki alat penyimpanan dan teknologi pengolahan sayuran.

Adapun pasar yang menjadi tempat penjualan sayuran petani dari tiga lokasi ini (Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung), adalah: pasar Bogor, Cisarua, Cipanas, Bandung, Jakarta, Bekasi, Depok, Tangerang, dan pasar induk Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa potensi pasar sayuran dari Jawa Barat masih luas, mengingat jumlah permintaan terhadap komoditas sayuran cenderung meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan peningkatan gizi masyarakat.

Kondisi Kelembagan Penyuluhan Pertanian

Kegiatan penyuluhan adalah, kegiatan terencana dan berkelanjutan yang harus diorganisaikan. Pengorganisasian penyuluhan pertanian dilakukan dengan tujuan untuk mengefisienkan pelaksanaan kewenangan, tugas dan fungsi,

(3)

manajemen dan pengelolaan sumber daya. Kelembagaan penyuluhan pertanian terdiri dari: kelembagaan penyuluhan pertanian pemerintah, petani, dan swasta.

Kondisi sekarang, kelembagaan yang khusus menangani penyuluhan pertanian di provinsi belum ada, sehingga penanganannya dilakukan secara parsial dan tidak terkoordinasi karena mandat untuk menyelenggarakan penyuluhan pertanian tidak diatur dengan tegas oleh peraturan perundang-undangan yang selama ini berlaku (UU No.16 tahun 2006 saat penelitian belum diimplementasikan). Di kecamatan, kelembagaan penyuluhan pertanian adalah Balai Penyuluhan Pertanian (BPP)/Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Pemasalahan yang dihadapi kelembagaan penyuluhan pertanian adalah:

(1) Fungsi penyuluhan pertanian di provinsi belum berjalan optimal karena mandat untuk melaksanakan penyuluhan belum tegas,

(2) Beragamnya bentuk kelembagaan penyuluhan di kabuapaten, menggambarkan beragamnya persepsi kabupaten tentang posisi dan peran strategis kelembagaan penyuluhan di kabupaten,

(3) Belum semua kecamatan memiliki BPP. Adapun kecamatan yang memiliki BPP kurang berfungsi, mengakibatkan penyelenggaraan penyuluhan kurang terencana sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Kondisi ini juga disebabkan tidak tersedianya biaya operasional penyuluhan di kecamatan/desa,

(4) Penyuluh pertanian belum mendapatkan dukungan sarana penyuluhan yang memadai, sehingga kinerjanya menurun dan berdampak terhadap intensitas kunjungan penyuluh ke petani sangat kurang,

(5) Pengelola kelembagaan penyuluhan di kabupaten, umumnya tidak mempunyai latar belakang bidang penyuluhan sehingga pengelolaan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penyuluhan, (6) Sistem penyuluhan yang disepakati bersama belum ada, sehingga tidak jelas

hubungan antara kelembagaan penyuluhan di pusat, provinsi, dan kabupaten, akibatnya struktur dan mekanisme pembinaan serta tata hubungan kerja, juga menjadi tidak jelas, dan

(7) Kelembagaan penyuluhan yang dimiliki petani atau swasta, belum dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai mitra kerja.

(4)

Kondisi ini menunjukkan bahwa organisasi kelembagaan penyuluhan saat ini, belum mendukung pelaksanaan kegiatan penyuluhan dan penyediaan informasi pertanian bagi petani sayuran.

Kondisi Ketenagaan Penyuluhan Pertanian

Jumlah tenaga penyuluh dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan yang sangat signifikan dan kondisinya adalah:

(1) Kompetensi tenaga penyuluh masih bias kepada subsektor tanaman pangan khususnya padi, sehingga terbatasnya pelayanan penyuluhan kepada petani komoditas hortikultura,

(2) Sebagian penyuluh beralih tugas ke jabatan lain yang tidak sesuai dengan kompetensi penyuluh pertanian. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya tenaga penyuluh di kabupaten yang mengakibatkan tidak sebandingnya rasio antara jumlah penyuluh dengan petani,

(3) Peningkatan kompetensi penyuluh terutama melalui pendidikan dan pelatihan sudah jarang dilakukan, mengakibatkan rendahnya kemampuan penyuluh dan menurunnya kredibilitas mereka dihadapan petani, dan

(4) Penyuluh pertanian swakarsa dan swasta belum berkembang karena perencanaannya belum terprogram, menyebabkan belum optimalnya peran serta petani dan swasta dalam kegiatan penyuluhan.

Dengan demikian, jumlah penyuluh yang terbatas akan mempengaruhi aktivitas penyuluhan dan terganggunya saluran informasi pertanian bagi petani dalam mengembangkan usahataninya.

Kondisi Penyelenggaran Penyuluhan Pertanian

Sejak pemberlakuan UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, keberadaan para penyuluh bertugas pada wilayah yang tidak memiliki kelembagaan secara administrasi dan pengelolaannya diserahkan pada pemerintah daerah. Penyuluh telah terpisah-pisah pada masing-masing subsektor sesuai latar belakang pendidikan para penyuluh itu sendiri. Di samping itu, status dan keberadaan BPP/ UPTD di Provinsi Jawa Barat berbeda antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya. Kabupaten Bogor memiliki BPP di tingkat kecamatan dengan status setara dengan Eselon IV, sedangkan Kabupaten Bandung dan

(5)

Kabupaten Cianjur belum memiliki status yang jelas, bahkan gedung BPP masih menumpang pada kantor lain dan fasilitasnya sangat terbatas.

Makna revitalisasi penyuluhan pertanian yang sudah dicanangkan, pada dasarnya belum dapat diimplementasikan di daerah, terutama dalam hal:

(1) Mengembalikan kembali falsafah prinsi-prinsip dan pengertian penyuluhan pertanian kepada aslinya, yaitu sebagai sistem pendidikan non formal. Artinya, mengembalikan prinsip-prinsip pendidikan secara utuh dan petani sebagai ‘pemain utama’ atau manajer di lahan usahataninya, serta diterapkannya pendekatan farmers centre bukan officers centre,

(2) Mengembalikan kepada azas kesatuan, yaitu kesatuan pengertian penyuluhan pertanian. Hal ini merupakan konsekuensi logis apabila ingin beritikad sama untuk menerapkan proses pendidikan pada petani dengan benar. Petani membutuhkan aparat pelayanan yang tangguh, utuh, dan tidak tersekat-sekat pada kepentingan subsektor, dan

(3) Memperkuat posisi dan peran pemerintah daerah kabupaten sebagai realisasi dari azas desentralisasi dan otonomi daerah. Memberikan kesempatan kepada aparat daerah untuk tidak lagi selalu menunggu petunjuk dari pusat. Keadaan ini dapat menghambat kreativitas petugas yang selalu terus menunggu. Pada hal diperlukan aparat yang mandiri dalam berpikir dan mengambil keputusan serta bertindak secara otonom.

Penyelenggaran penyuluhan, juga mengalami hambatan di Provinsi Jawa Barat, antara lain dalam hal:

(1) Tidak adanya satu kesatuan kelembagaan manajemen penyuluhan pertanian di kabupaten, mengakibatkan tidak adanya satu kesatuan korps penyuluhan pertanian,

(2) Sulitnya mendapatkan informasi dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan spesifik lokasi karena terbatasnya kemampuan penyuluh untuk mengakses sumber-sumber informasi dan teknologi. Kondisi ini menyebabkan kurang berkembangnya pengetahuan dan kemampuan penyuluh dalam menyiapkan materi penyuluhan.

Beragamnya kelembagaan penyuluhan di kabupaten, antara lain juga disebabkan pembentukan lembaga/instansi/dinas dikaitkan dengan kontribusinya

(6)

terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pembentukan suatu lembaga atau institusi, diprioritaskan kepada yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan PAD. Dalam pemahaman seperti ini, jelas bahwa penyuluhan pertanian tidak termasuk dalam prioritas karena tidak dapat memberikan kontribusi langsung kepada PAD, padahal penyuluhan pertanian merupakan sistem pendidikan non formal kepada petani yang tidak dapat memberikan kontribusi langsung terhadap PAD, tetapi memberikan kontribusi tidak langsung melalui perkembangan usahatani yang dimiliki petani. Hal ini membuktikan perlunya satu kesatuan pengertian tentang penyuluhan.

Berdasarkan kondisi penyuluhan seperti ini, penyuluh dan aparat kurang termotivasi dalam melakukan kegiatan penyuluhan termasuk menyediakan dan memberikan informasi bagi petani sebagai sasaran penyuluhan. Namun, kondisi ini diharapkan berubah pada masa yang akan datang mengingat adanya ‘payung hukum’ penyuluhan ( UU No. 16 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan) untuk membentuk satu kesatuan pengertian penyuluhan pertanian yang wajib dipatuhi oleh semua pihak dan fenomena 9-10 tahun munculnya revitalisasi penyuluhan pertanian diharapkan tidak terjadi lagi

Dengan demikian, akan ada perubahan paradigma penyuluhan guna merespon tuntutan kebutuhan para petani dan perubahan yang terjadi pada petani. Ada sembilan prinsip dalam paradigma baru penyuluhan pertanian agar penyuluhan pertanian dapat berfungsi dan merespon tantangan-tantangan yang muncul akibat perubahan yang terjadi (Slamet, 2001), yaitu: (1) jasa informasi, (2) lokalitas, (3) berorientasi agribisnis, (4) pendekatan kelompok, (5) fokus pada kepentingan petani, (6) pendekatan humanistik-egaliter, (7) profesionalisme, (8) akuntabilitas, dan (9) memuaskan petani.

Kondisi Ketersediaan Informasi Pertanian

Sumber informasi yang ada di lokasi penelitian seperti: penyuluh, kelompok tani, petani maju, koperasi, sesama petani, tengkulak, dan media massa, pada umumnya tidak dimanfaatkan oleh petani karena berbagai alasan, antara lain: (1) rumah penyuluh yang jauh dari tempat domisili petani, (2) penyuluh hanya melakukan pertemuan dengan petani berdasarkan permintaan kelompok tani, dan (3) penyuluh swakarsa lebih bermanfaat dirasakan petani daripada penyuluh,

(7)

karena penyuluh swakarsa lebih inisiatif yang sekaligus mempromosikan produk sarana produksi tertentu.

Selain itu, lembaga penyuluhan, lembaga pemerintah, dan lembaga pusat informasi lainnya serta penyuluh kurang tanggap terhadap kebutuhan informasi petani. Fakta di lapangan menunjukkan, bahwa ada tiga jenis informasi yang sangat dibutuhkan oleh petani di samping informasi lainnnya tetapi dirasakan masih sulit diperoleh, seperti: (1) informasi tentang luas areal tanam untuk jenis sayuran tertentu dan di wilayah tertentu, (2) informasi tentang perkembangan harga pasar untuk masing-masing jenis sayuran, dan (3) informasi tentang analisis usahatani masing-masing jenis sayuran. Di samping itu, pengelolaan (manajemen) sistem informasi, baik di tingkat nasional maupun di tingkat regional belum dikelola secara terpadu, sehingga petani kurang termotivasi untuk mencari informasi. Kondisi ini kurang mendukung bagi petani yang memerlukan informasi untuk usahataninya, sehingga petani terkendala untuk maju.

Profil Petani Sayuran

Profil petani sayuran pada saat penelitian kalau dilihat secara mikro, berbagai masalah yang dihadapi petani tidak dapat diatasi secara mendasar khususnya di sektor pertanian. Masalah pupuk dan sarana produksi lainnya (benih dan pestisida) tidak tersedia tepat waktu dengan harga yang terjangkau. Sedangkan secara makro, petani masih dihadapkan pada berbagai masalah mendasar yang tidak berada dalam jangkauan pemikiran mereka, antara lain:

Pertama, data yang ada menunjukkan (BPS, 2004) bahwa lebih dari 10

juta kepala keluaraga petani memiliki lahan sempit, kurang dari 0,5 hektar. Dengan luas lahan seperti itu, petani tidak akan mampu menghidupi seluruh anggota keluarga secara layak. Apalagi untuk menyekolahkannya ke tingkat sekolah menengah atau perguruan tinggi. Dari data yang ada, lebih dari empat juta anak tidak dapat melanjutkan sekolah dasar, sebagian besar tinggal di perdesaan dan orangtua mereka berusaha di sektor pertanian.

Kedua, produk sayuran yang sangat cepat rusak dengan fasilitas

penyimpanan tidak memadai, bahkan boleh dikatakan tidak ada. Tidak jarang, petani terpaksa menjual dengan harga yang rendah pada saat panen.

(8)

Ketiga, fasilitas kredit dan pembiayaan untuk usaha pertanian masih sulit

diperoleh petani. Prosedur perbankan yang berbeli-belit sangat membingungkan dan merugikan petani karena usahatani sangat terikat pada waktu, baik pada saat tanam maupun saat menjual hasil. Meskipun ada Bank Rakyat Indonesia (BRI) di kecamatan, tapi karena mengurusi seluruh bidang usaha, di sektor pertanian menjadi tidak prioritas. Tidak jarang petani menjadi panik, terpaksa meminjam dari para tengkulak dan pedagang pengecer dengan biaya tinggi atau mengijonkan hasil usahataninya yang belum tahu berapa hasil yang akan diperoleh.

Sebenarnya, yang diperlukan petani hanya sejumlah uang pada waktu yang diperlukan untuk membeli sarana produksi dan biaya hidup seperlunya. Oleh sebab itu, keberadaan bank yang mengkhususkan diri pada sektor pertanian sangat diperlukan. Bank pertanian akan memberikan kesempatan yang lebih terbuka bagi para petani untuk memperluas usahanya, serta dapat memberikan keleluasaan pada mereka kapan waktu meminjam dan kapan waktu untuk mengembalikan sesuai kebutuhan. Meskipun saat ini sudah ada fasilitas kredit mikro, tapi jumlah dan cakupan penanganannya belum cukup. Oleh sebab itu, bank pertanian perlu dibentuk dan dikuatkan secara kelembagaan agar dapat melayani seluruh petani.

Keempat, belum tersedianya fasilitas pemasaran khusus yang dapat

menampung hasil pertanian menyebabkan petani dirugikan karena banyak produk sayuran yang rusak atau mutunya turun. Oleh sebab itu, pasar khusus komoditas pertanian perlu segera dibangun terutama di sekitar sentra produksi pertanian.

Kelima, masalah ketenagakerjaan di bidang pertanian masih menjadi

perhatian serius. Menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS, 2004), terdapat 24,9 juta rumah tangga yang berusaha di sektor pertanian, hampir setengah dari 53,1 juta rumah tangga yang ada di perdesaan memiliki tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah (paling tinggi Sekolah Dasar). Jumlah sebesar ini mengakibatkan produktivitas usahatani sangat rendah.

Berdasarkan hasil identifikasi, penelitian ini dapat mengelompokkan petani sayuran berdasarkan tipologi petani, jenis sayuran yang dihasilkan dan lokasi usahatani petani. Tipologi petani dibedakan atas dua tipe, yaitu petani maju dan petani berkembang. Perbedaan tipologi petani didasarkan pada beberapa indikator yang relatif tidak absolut, yaitu: (1) jumlah tahun pendidikan formal, (2)

(9)

luas lahan sayuran, (3) status penguasaan lahan, (4) pengalaman berusahatani sayuran, (5) tingkat motivasi berprestasi dalam berusahatani, (6) permodalan, (7) pendapatan usahatani sayuran, (8) tingkat keinovatifan, (9) tingkat kesadaran akan pentingnya informasi, dan (10) tingkat kemampuan mengakses informasi.

Perbedaan jenis sayuran yang dihasilkan petani, dibedakan atas tiga jenis sayuran yaitu: kubis, kentang, dan cabai. Ketiga jenis sayuran ini, merupakan komoditas unggulan daerah dan komoditas unggulan nasional. Pengertian komoditas unggulan daerah adalah, komoditas sayuran yang dikembangkan merupakan unggulan daerah/spesifik dan memberikan kontribusi pendapatan secara nyata kepada daerah serta tidak banyak diusahakan oleh petani di daerah lainnya. Sedangkan komoditas unggulan nasional adalah, komoditas sayuran yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, mempunyai sebaran wilayah produksi luas, dengan prospek pasar dalam negeri dan ekspor yang besar serta diusahakan oleh banyak petani di daerah lainnya.

Dalam kaitannya dengan kekosmopolitan dan aksesibilitas petani terhadap sumber informasi, ketiga lokasi usahatani sayuran dibedakan atas tiga kategori, yaitu: Kabupaten Bogor (dekat dari kota Jakarta), Kabupaten Cianjur (jauh dari kota Jakarta), dan kabupaten Bandung (lebih jauh dari kota Jakarta). Selanjutnya, berdasarkan dari jenis sayuran yang dihasilkan, sebaran jumlah petani pada masing-masing lokasi, dapat disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 Sebaran Petani Sayuran Menurut Tipologi Petani dan Jenis Sayuran

Kabupaten Kubis Kentang Cabai Jumlah Kubis Kentang Cabai Jumlah Kubis Kentang Cabai Jumlah Petani Maju (%) Petani Berkembang (%) Total Petani (%) 1. Bogor 52, 4 23, 8 23, 8 100, 0 40, 7 5, 1 54, 2 100, 0 43, 8 10, 0 46, 3 100, 0 2. Cianjur 81, 0 4, 8 14, 3 100, 0 54, 2 23, 7 22, 0 100, 0 61, 3 18, 8 20, 0 100, 0 3. Bandung 12, 5 37, 5 50, 0 100, 0 4, 7 71, 9 23, 4 100, 0 6, 3 65, 0 28, 8 100, 0 Total Jabar 51, 7 20, 7 27, 6 100, 0 32, 4 34, 6 33, 0 100, 0 37, 1 31, 3 31, 7 100, 0 Sumber: Data Primer (2006);

Keterangan: (1) Petani Maju ( n=58; 24%); dan Petani Berkembang (n= 182; 76% )

(2) Petani Kubis (n= 89; 37% ); Petani Kentang (n= 75; 31% ); dan Petani Cabai (n= 76; 32%) (3) Petani Bogor (n= 80; 33% ); Petani Cianjur (n= 80; 33% ); Petani Bandung (n= 80; 34% ) Tabel 14 menunjukkan, bahwa jenis sayuran yang dominan dihasilkan oleh petani Kabupaten Bogor, adalah: kubis dan cabai, Kabupaten Cianjur dominan menghasilkan kubis, dan Kabupaten Bandung dominan menghasilkan

(10)

kentang. Jenis sayuran lainnya yang dihasilkan selain kentang, kubis, dan cabai adalah: tomat, bawang daun, wortel, petsai, buncis, kacang panjang, kacang merah, dan lain-lain.

Pada penelitian ini, terbatas hanya meneliti petani yang dominan menghasilkan kubis, kentang, dan cabai, karena banyaknya jenis sayuran yang dihasilkan petani tetapi tidak semuanya termasuk komoditas unggulan nasional. Artinya, penanganan pemerintah secara nasional saat ini diprioritaskan pada ketiga jenis sayuran ini, tetapi tidak berarti mengabaikan jenis sayuran lainnya. Selanjutnya, petani maju dan petani berkembang dapat dibedakan berdasarkan beberapa indikator yang menggambarkan karakteristik pribadi petani (Tabel 15). Pada Tabel 15, terlihat bahwa 75% petani sayuran memiliki tingkat pendidikan kategori sedang dengan jumlah tahun pendidikan formal 4-9 tahun. Namun 18% petani maju memiliki tingkat pendidikan tinggi (>9 tahun). Petani maju lebih akses terhadap pendidikan karena mereka umumnya berasal dari keluarga ‘mampu’ dan tokoh masyarakat. Rendahnya pendapatan keluarga petani berkembang mengakibatkan tingkat pendidikan mereka rendah.

Perbedaan lain yang yang terlihat antara petani maju dengan petani berkembang adalah, dalam hal: motivasi berprestasi dalam berusahatani, kondisi permodalan, tingkat pendapatan, tingkat keinovatian, tingkat kesadaran akan pentingnya informasi, dan tingkat kemampuan mengakses informasi, seperti ditunjukkan pada Tabel 15. Motivasi untuk berhasil dalam usahatani sayuran merupakan suatu kekuatan yang mendorong petani untuk terus berupaya mencapai hasil yang lebih baik dalam berusahatani. Umumnya motivasi untuk berhasil (berprestasi) pada petani maju lebih tinggi daripada petani berkembang.

Rendahnya motivasi petani berkembang, akan berpengaruh terhadap kesadaran dan keinginan mereka untuk mencari informasi yang dibutuhkannya. Kondisi ini mengakibatkan keinovatifan juga lemah sehingga mereka terisolasi, kurang dinamis, dan terpaku da lam usahatani rutinitas.

(11)

Tabel 15 Karakteristik Pribadi Petani Sayuran Menurut Tipologi Petani Uraian Petani Maju (%) Petani Berkembang (%) Total Petani (%) 1. Umur - ≤ 30 tahun - 31-40 tahun - 41-50 tahun - 51-60 tahun - > 60 tahun 12, 1 31, 0 20, 7 32, 8 3, 4 7, 1 26, 4 31, 9 26, 4 8, 2 8, 3 27, 5 29, 2 27, 9 7, 1 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0

2. Jumlah Tahun Pendidikan Formal - Rendah (< 4 tahun) - Sedang (4-9 tahun) - Tinggi (> 9 tahun) 6, 9 75, 9 17, 2 17, 6 75, 3 7, 1 15, 0 75, 4 9, 6 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0

3. Luas Lahan Sayuran - < 1000 m2 - 1000 – 2000 m2 - > 2000 m2 20, 7 36, 2 43, 1 27, 5 39, 6 33, 0 25, 8 38, 8 35, 4 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0

4. Status Penguasaan Lahan - Bagi hasil - Sewa - Milik sendiri 13, 8 43, 1 43, 1 6, 6 44, 0 49, 5 8, 3 43, 8 47, 9 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0

5. Pengalaman Berusahatani Sayuran - Kurang (< 7 tahun) - Sedang (7-27 tahun) - Banyak (> 27 tahun) 10, 3 60, 3 29, 3 5, 5 63, 7 30, 8 6, 7 62, 9 30, 4 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0 6. Tingkat Motivasi Berprestasi dlm Berusahatani

- Rendah - Sedang - Tinggi 0, 0 22, 4 77, 6 1, 1 46, 2 52, 7 0, 8 40, 4 58, 8 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0

7. Kondisi Permodalan Usahatani - Menurun dari tahun lalu - Tetap

- Meningkat dari tahun lalu

32, 8 24, 1 43, 1 29, 1 56, 1 14, 8 30, 0 48, 3 21, 7 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0

8. Kondisi Pendapatan Usahatani Sayuran - Menurun dari tahun lalu

- Tetap

- Meningkat dari tahun lalu

37, 9 15, 5 46, 6 61, 0 14, 8 24, 2 55, 4 15, 0 29, 6 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0 9. Tingkat Keinovatifan - Rendah - Sedang - Tinggi 46, 6 44, 8 8, 6 48, 8 41, 3 10, 0 45, 4 45, 4 9, 2 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0

10. Tingkat Kesadaran Pentingnya Informasi - Rendah - Sedang - Tinggi 37, 9 53, 4 8, 6 70. 9 26, 9 2, 2 62, 9 33, 3 3, 8 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0

11. Tingkat Kemampuan Mengakses Informasi - Rendah - Sedang - Tinggi 20, 7 48, 3 31, 0 34, 1 56, 6 9, 3 30, 8 54,6 14, 6 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0

Sumber: Data Primer (2006)

(12)

Kondisi Internal Petani Sayuran

Upaya pemberdayaan petani sayuran, pada dasarnya tidak dapat mengabaikan kondisi internal petani itu sendiri karena individu yang akan diberdayakan merupakan pelaku usahatani yang perlu ditingkatkan kemampuannya melalui penyediaan informasi pertanian yang dibutuhkannya. Ada lima indikator yang dilihat pada penelitian ini, yaitu: status sosial ekonomi, kesadaran pentingnya informasi, kemampuan mengakses informasi, motivasi terhadap usahatani sayuran, dan keinovatifan.

Karakteristik Sosial Ekonomi Petani

Kondisi sosial ekonomi petani sangat penting diketahui untuk memahami hal-hal yang menyebabkan ketidakmampuan petani dalam memenuhi kebutuhannya, termasuk kemampuan untuk mengakses informasi. Reijntjes, Bertus dan Bayer (1992) mengemukakan beberapa proses sosioal, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi sistem usahatani, antara lain: (1) integrasi ke dalam sistem pasar komersial yang menuntut perubahan jenis dan kualitas produk, mengakibatkan ketergantungan pada suplai input luar, permintaan pasar, transportasi, kredit, dan jasa dan (2) timbulnya gaya hidup lain yang menyebabkan perubahan terhadap kebutuhan. Analisis terhadap status sosial ekonomi petani dapat dilihat antara lain berdasarkan: umur, jumlah tahun pendidikan formal, luas lahan sayuran, seperti disajikan pada Tabel 16.

Berdasarkan data yang digambarkan pada Tabel 16 dapat dijelaskan, bahwa umumnya status sosial ekonomi petani sayuran berada pada kategori sedang (32%) hingga tinggi (60%). Apabila diperhatikan berdasarkan tipologi petani, menunjukkan bahwa petani maju (62%) yang status sosial ekonominya berada pada kategori tinggi, hampir sama dengan petani berkembang (60%). Sedangkan berdasarkan jenis sayuran, menunjukkan bahwa status sosial ekonomi petani Kubis (66%) berada pada kategori tinggi, sama dengan petani Kentang (60%), namun lebih tinggi dari petani Cabai (48%) pada kategori yang sama. Namun dari hasil uji beda dengan t-test, menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,01) antara status sosial ekonomi petani maju dengan petani berkembang, untuk indikator: pendidikan formal dan pendapatan usahatani sayuran.

(13)

Tabel 16 Status Sosial Ekonomi Petani Sayuran Menurut Tipologi Petani dan Jenis Sayuran

Indikator Status Sosial Ekonomi

Tipologi Petani Jenis Sayuran Total Petani (%) Petani Maju (%) Petani Berkembang (%) Petani Kubis (%) Petani Kentang (%) Petani Cabai (%) 1. Umur - ≤ 30 tahun - 31-40 tahun - 41-50 tahun - 51-60 tahun - > 60 tahun 12, 1 31, 0 20, 7 32, 8 3, 4 7, 1 26, 4 31, 9 26, 4 0, 2 7, 9 23, 6 33, 7 29, 2 5, 6 5, 3 32, 0 28, 0 25, 3 9, 4 11, 8 27, 6 25, 0 28, 9 6, 7 8, 3 27, 5 29, 2 27, 9 7, 1 Jumlah 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 2. Pendidikan Formal - Rendah (< 4 tahun) - Sedang (4-9 tahun) - Tinggi (> 9 tahun) 6, 9 75, 9 17, 2 17, 6 75, 3 7, 1 14, 6 78, 7 6, 7 12, 0 70, 7 17, 3 18, 4 76, 3 5, 3 15, 0 75, 4 9, 6 Jumlah 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 3. Luas Lahan Sayuran

- < 1000 m2 - 1000 – 2000 m2 - > 2000 m2 20, 7 36, 2 43, 1 27, 4 39, 6 33, 0 33, 7 37, 1 29, 2 17, 3 42, 7 40, 0 25, 0 36, 8 38, 2 25, 8 38, 8 35, 4 Jumlah 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 4. Status Penguasaan Lahan

- Bagi hasil - Sewa - Milik sendiri 13, 8 43, 1 43, 1 6, 5 44, 0 49, 5 12, 4 48, 3 39, 3 4, 0 40, 0 56, 0 7, 9 42, 1 50, 0 8, 3 43, 8 47, 9 Jumlah 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 5. Pengalaman Berusahatani Sayuran

- Kurang (< 7 tahun) - Sedang (7-27 tahun) - Banyak (> 27 tahun) 10, 3 60, 3 29, 4 5, 5 63, 7 30, 8 4, 5 65, 2 30, 3 9, 3 54, 7 36, 0 6, 6 68, 4 25, 0 6, 7 62, 9 30, 4 Jumlah 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 6. Pendapatan Usahatani Sayuran

- Menurun dari tahun lalu - Tetap

- Meningkat dari tahun lalu

37, 9 15, 5 46, 6 61, 0 14, 8 24, 2 41, 5 16, 9 41, 6 69, 3 8, 0 22, 7 57, 9 19, 7 22, 4 55, 4 15, 0 29, 6 Jumlah 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 7. Status Sosial Ekonomi Petani

- Rendah - Sedang - Tinggi 1, 7 36, 2 62, 1 9, 9 30 ,2 59, 9 7, 9 25, 8 66, 3 10, 7 41, 3 48, 0 5, 3 28, 9 65, 8 7, 9 31,7 60, 4 Jumlah 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 Sumber: Data Primer (2006)

Demikian halnya, berdasarkan lokasi menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (p<0,01) antar status sosial ekonomi petani di Bogor, petani Cianjur, dan petani Bandung untuk indikator: pendidikan formal, status penggunaan lahan, dan pendapatan keluarga serta berbeda nyata (p<0,05) untuk indikator: luas lahan. Selanjutnya berdasarkan jenis sayuran yang dihasilkan menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (p<0,01) antar status sosial ekonomi petani kubis, petani kentang, dan petani cabai, karena ada hubungan antara faktor pendidikan, luas lahan sayuran, dan pendapatan dengan status sosial ekonomi petani.

(14)

Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang dapat memproduksi hasil-hasil pertanian. Luas lahan merupakan asset yang dimiliki petani, dapat mempengaruhi total produksi dan akhirnya akan mempengaruhi total pendapatan petani. Selain itu, lahan juga merupakan simbol status sosial bagi petani. Petani yang memiliki lahan usahatani yang lebih luas, dapat memberikan status sosial yang lebih tinggi di lingkungan masyarakat. Menurut Hernanto (1990), luas lahan garapan usahatani menentukan pendapatan, taraf hidup, dan derajat kesejahteraan rumah tangga tani. Sempitnya luas lahan yang umumnya dimiliki oleh petani menyebabkan hasil usahatani sayuran tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Oleh sebab itu, untuk memenuhi kebutuhannya mereka harus mencari kerja tambahan (antara lain sebagai buruh tani), sehingga mereka kurang punya waktu untuk kontak langsung dengan sumber informasi dan diskusi antar sesama petani untuk memperoleh informasi. Akibatnya, mereka sering ketinggalan informasi dalam mengembangkan usahatani sayurannya.

Pendapatan petani yang diukur pada penelitian ini adalah, pendapatan dari usahatani sayuran yang diperoleh dari adanya selisih antara penerimaan (hasil penjualan komoditas) dengan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan komoditas tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani dari usahatani, adalah: luas areal tanaman, produksi per hektar, pola tanam, ukuran keluarga tani, dan modal yang digunakan untuk kegiatan usahatani (Hernanto, 1990). Rendahnya pendapatan usahatani petani berkembang, menyebabkan tabungan mereka juga sedikit sehingga sulit memperbaiki kegiatan usahataninya. Menurut Reijntjes, Bertus dan Bayer (1992), petani yang pendapatannya rendah kurang membutuhkan akses terhadap informasi karena mereka lebih mementingkan keberlanjuan hidup sehingga berpengaruh terhadap pilihan teknik dan strategi bertani. Dengan demikian, status sosial ekonomi petani ada hubungannya dengan tingkat kebutuhan akan informasi dan kemajuan usahataninya. Status sosial ekonomi petani pada penelitian ini, merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tuntutan akan kebutuhan dan memperolehinformasi. Perbedaan status sosial ekonomi petani, dapat digambarkan berdasarkan indikator-indikator dari aksesibilitas sosial dan ekonomi

(15)

rumah tangga petani dalam memenuhi kebutuhan hidup dan usahatani keluarganya.

Tingkat Kesadaran Petani akan Pentingnya Informasi

Kesadaran petani akan pentingnya informasi, merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tuntutan petani akan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian yang dapat dibedakan dari perilaku individu yang sadar dan tidak sadar akan kebutuhannya. Tingkat kesadaran petani terhadap pentingnya informasi dapat dilihat dari indikator: (1) keaktifan mencari informasi, (2) jumlah media informasi yang digunakan, (3) intensitas pertemuan dengan penyuluh, (4) intensitas pertemuan dengan kelompoktani, (5) intensitas pertemuan dengan perusahaan mitra, dan (6) intensitas interaksi dengan sumber inormasi lainnya, seperti terlihat pada Lampiran 1. Analisis terhadap tingkat kesadaran petani akan pentingnya informasi berdasarkan tipologi petani, jenis sayuran yang dihasilkan, dan lokasi petani, dapat disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17 Tingkat Kesadaran Petani Sayuran terhadap Pentingnya Informasi

Uraian Tingkat Kesadaran

Rendah (%) Sedang (%) Tinggi (%) Jumlah 1. Tipologi Petani * - Petani Maju - Petani Berkembang 37, 9 70, 9 53, 4 26, 9 8, 6 2, 2 100, 0 100, 0 2. Jenis Sayuran - Kubis - Kentang - Cabai 53, 9 68, 0 68, 4 44, 9 29, 3 23, 7 1, 1 2, 7 7, 9 100, 0 100, 0 100, 0 3. Lokasi * - Bogor - Cianjur - Bandung 53, 8 53, 8 81, 3 37, 5 46, 3 16, 3 8, 8 0, 0 2, 5 100, 0 100, 0 100, 0 Total Petani 62, 9 33, 3 3, 8 100, 0

Sumber: Data Primer (2006)

Keterangan: * = Tingkat kesadaran petani berbeda nyata ( p< 0,01) menurut tipologi petani dan lokasi

Dari data yang digambarkan pada Tabel 17 dapat dijelaskan bahwa secara keseluruhan tingkat kesadaran petani sayuran berada pada kategori rendah atau 63% petani masih rendah tingkat kesadaran akan pentingnya informasi. Kondisi ini mempengaruhi pada kurangnya kemampuan mereka dalam perencanaan usahatani yang lebih baik. Umumnya petani memperoleh informasi tentang

(16)

budidaya tanaman dan informasi yang mereka butuhkan dari sumber informasi

kedua, yaitu sesama petani atau pedangang setempat.

Kemampuan petani dalam mengelola usahataninya berhubungan dengan kesadaran terhadap berbagai informasi yang dibutuhkannya. Di samping itu, kepekaan petani terhadap adanya informasi yang belum terpenuhi masih kurang, antara lain: kurangnya keaktifan mencari informasi, kurangnya intensitas mengikuti pertemuan dan kuranggnya interaksi dengan sumber informasi.

Berdasarkan tipologi petani, hasil penelitan menunjukkan bahwa tingkat kesadaran petani maju lebih tinggi dari petani berkembang. Pada Tabel 17 dapat diperhatikan bahwa 71% petani berkembang, tingkat kesadarannya pada kategori rendah dan 2% pada kategori tinggi, sedangkan petani maju, 53% tingkat kesadarannya pada kategori sedang dan 9% pada kategori tinggi.

Selanjutnya, hasil uji beda menunjukkan bahwa berdasarkan tipologi petani, ada perbedaan yang nyata (p<0,01) antara tingkat kesadaran petani maju dengan petani berkembang. Petani berkembang umumnya masih fokus pada pemenuhan kebutuhan untuk kegiatan produktif. Berdasarkan lokasi, juga ada perbedaan nyata antara petani Bogor, petani Cianjur, dan petani Bandung. Hal ini ada hubungannya juga dengan perbedaan status sosial ekonomi petani masing-masing lokasi. Sedangkan berdasarkan jenis sayuran, tidak ada perbedaan yang nyata dalam hal tingkat kesadaran akan pentingnya informasi antara petani kubis, petani kentang, dan petani cabai (p>0,05).

Pranarka dan Vidhyandika (1996) mengemukakan bahwa kesadaran kritis dalam diri seseorang dapat dicapai dengan cara “melihat ke dalam dirinya sendiri” serta menggunakan apa yang didengar, dilihat, dialami untuk memahami apa yang sedang terjadi dalam kehidupannya. Seseorang menganalisis sendiri masalah mereka, mengidentifikasikan sebab-sebabnya, menetapkan prioritas, dan memperoleh pengetahuan baru. Analisis realitas harus dilakukan oleh orang yang dapat memutuskan sendiri “apa” kebutuhan dan pengalaman yang penting baginya, dan bukan diputuskan oleh orang lain, baik pemerintah maupun para pakar. Melalui analisis seperti ini, akan terbentuk esensi partisipasi yang sungguh-sungguh.

(17)

101

KONDISI INTERNAL PETANI SAYURAN Karakteristik Pribadi Petani

Sayuran (X1)

X1.1 Status sosial ekonomi

X1.2 Kesadaran pentingnya

informasi

X1.3 Kemampuan mengakses

informasi

X1.4 Motivasi terhadap usahatani

sayuran X1.5 Keinovatifan

X3.3 Ketersediaan informasi

X3.4 Kondisi megapolitan

X3.5 Kebijakan bidang penyuluhan dan

pembangunan subsektor hortikultura

PENYEDIAAN INFORMASI PERTANIAN (X6) X6.1 Relevansi informasi X6.2 Akurasi informasi X6.3 Kelengkapan informasi X6.4 Ketajaman informasi

X6.5 Ketepatan waktu informasi

X6.6 Keterwakilan informasi

KEMUDAHAN MENDAPATKAN

INFORMASI PERTANIAN (X5)

X5.1 Komunikatif

X5.2 Penggunaan saluran dan alat

komunikasi X5.3 Penyuluhan X5.4 Keterjangkauan TINGKAT KEBERDAYAAN PETANI SAYURAN Meningkatnya Kualitas SDM Petani Sayuran (Y1) Y1.1 Kemampuan merencanakan usahatani sayuran Y1.2 Kemampuan melaksanakan usahatani sayuran Y1.3 Kemampuan mengevaluasi usahatani sayuran Y1.4 Kemampuan mengatasi

masalah usahatani sayuran

Peningkatan Pendapatan & Kesejahteraan Petani Sayuran dan

Keluarganya

Gambar 4 Kerangka Berpikir Hubungan antar Peubah Penelitian TUNTUTAN KEBUTUHAN DAN

MEMPEROLEH INFORMASI

PERTANIAN (X2)

X2.1 Peningkatan produksI dan mutu

sayuran

X2.2 Ketersediaan sarana produksi

X2.3 Ketersediaan perrmodalan

X2.4 Teknologi pengolahan hasil

X2.5 Dukungan pemasaran sayuran

X2.6 Metode analisis usahatani sayuran

KUALITAS SUMBER INFORMASI

PERTANIAN (X4)

X4.1 Ketersediaan sumber informasi

X4.2 Kemampuan menyediakan informasi

X4.3 Pelayanan

(18)

Tabel 18 menunjukkan bahwa ada hubungan antara kesadaran terhadap pentingnya informasi dengan tuntutan kebutuhan akan berbagai informasi pertanian dan tingkat keberdayaan petani sayuran .

Tabel 18 Hubungan antara Peubah Karakteristik Pribadi Petani Sayuran dengan Peubah Tuntutan Kebutuhan dan Memperoleh Informasi Pertanian

Peubah X2 Tuntutan Kebutuhan dan Memperoleh Informasi Pertanian (X2)

Peubah X1 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 X2.5 X2.6 Total X2

Karakteristik Pribadi Petani Sayuran (X1)

1. Status Sosial Ekonomi (X1.1) 0.33 ** 0.33 ** 0.14 * 0.28 ** 0.57 ** 0.** 0.44**

2. Kesadaran Pentingnya Informasi (X1.2) 0.54 ** 0.31** 0.40 ** 0.47 ** 0.19 ** 0.** 0.49**

3. Kemampuan Mengakses Informasi (X1.3) 0.59 ** 0.56 ** 0.51 ** 0.38 ** 0.43 ** 0.** 0.64**

4. Motivasi terhadap Usahatani Sayuran (X1.4) 0.38 ** 0.35 ** 0.17 ** 0.37 ** 0.17 ** 0.** 0.43**

5. Keinovatifan (X1.5) -0.07 -0.18 ** 0.07 -0.09 -0.26 ** 0.** -0.18**

Sumber: Data Primer (diolah, 2006) Keterangan: * = Korelasi nyata ( p< 0,05) ** = Korelasi nyata ( p< 0,01)

X2.1 = Informasi Peningkatan Produksi dan Mutu Sayuran

X2.2 = Informasi Ketersediaan Sarana Produksi

X2.3 = Informasi Ketersediaan Permodalan

X2.4 = Informasi Teknologi Pengolahan Hasil Sayuran

X2.5 = Informasi Dukungan Pemasaran Sayuran

X2.6 = Informasi Metode Analisis Usahatani Sayuran

Orang tidak akan sadar terhadap kebutuhan kalau dia belum mampu mengevaluasi kondisi dirinya sendiri. Oleh sebab itu, harus ada suatu strategi pemberdayaan yang dapat menyadarkan orang untuk mengevaluasi dirinya sendiri sehingga dapat mengetahui kemampuan serta kelemahannya dan pada akhirnya dia akan mampu mengidentifikasi kebutuhannya sendiri (Slamet, 2000).

Aksesibilitas Petani terhadap Informasi Pertanian

Petani yang akses terhadap sumber informasi cenderung memperoleh informasi yang lebih banyak, tetapi hal ini juga tergantung pada karakteristik sumber informasi dan kualitas sumber informasi serta interaksi antara petani dengan sumber informasi tersebut. Akses petani terhadap sumber informasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah, tingkat kemampuan petani mengakses informasi pertanian dari berbagai sumber informasi, baik melalui kontak personal maupun melalui media massa dengan indikator: (1) kemampuan memperoleh informasi, (2) kemampuan memanfaatkan informasi, (3) kemampuan memilih informasi, (4) jumlah informasi baru yang diperoleh, (5) frekuensi memperoleh informasi dari kelompoktani, frekuensi kegiatan pelatihan/penyuluhan yang

(19)

diikuti, dan (6) kemampuan biaya memperoleh informasi, seperti terlihat pada Lampiran 2. Analisis terhadap aksesibilitas petani dengan informasi pertanian, berdasarkan tipologi petani, jenis sayuran yang dihasilkan, dan lokasi petani, dapat disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19 Kemampuan Petani Sayuran Mengakses Informasi Pertanian Uraian Tingkat Kemampuan Petani Mengakses Informasi

Rendah (%) Sedang (%) Tinggi (%) Jumlah 1. Tipologi Petani * - Petani Maju - Petani Berkembang 20 ,7 34, 1 48, 3 56, 6 31, 0 9, 3 100, 0 100, 0 2. Jenis Sayuran * - Kubis - Kentang - Cabai 10, 1 50, 7 35, 5 71, 9 38, 7 50, 0 18, 0 10, 7 14, 5 100, 0 100, 0 100, 0 3. Lokasi * - Bogor - Cianjur - Bandung 11, 3 5, 0 76, 3 56, 3 88, 8 18, 8 32, 5 6, 3 5, 0 100, 0 100, 0 100, 0 Total Petani 30, 8 54, 6 14, 6 100, 0 Sumber: Data Primer (2006)

Keterangan: * = Kemampuan mengakses informasi berbeda nyata ( p< 0,01) menurut tipologi petani, jenis sayuran, dan lokasi.

Tabel 19 menggambarkan bahwa secara keseluruhan tingkat kemampuan petani mengakses informasi, berada pada kategori sedang atau baru 55% petani yang mampu mengakses informasi pertanian. Apabila diperhatikan menurut tipologi petani, menunjukkan bahwa tingkat kemampuan petani maju dalam mengakses informasi lebih tinggi dari petani berkembang. Pada Tabel 19 dapat diperhatikan bahwa 57% petani berkembang, tingkat kemampuannya pada kategori sedang dan 9% pada kategori tinggi, sedangkan petani maju (48%) tingkat kemampuannya pada kategori sedang dan 31% pada kategori tinggi.

Selanjutnya, hasil uji beda menunjukkan bahwa berdasarkan tipologi petani, ada perbedaan yang nyata (p<0,01) antara tingkat kemampuan mengakses informasi petani maju dengan petani berkembang. Demikian halnya, berdasarkan lokasi petani dan jenis sayuran yang dihasilkan, ada perbedaan yang nyata (p<0,01) dalam tingkat kemampuan mengakses informasi. Rendahnya modal intelektual (pendidikan) petani, membuat akses petani terhadap sumber informasi menjadi lemah sehingga mereka terisolasi dari informasi. Tabel 20 menunjukkan bahwa ada hubungan antara karakteristik pribadi petani dengan kemudahan mendapatkan informasi.

(20)

Tabel 20 Hubungan antara Peubah Karakteristik Pribadi Petani Sayuran dengan Peubah Kemudahan Mendapatkan Informasi Pertanian Peubah X5 Kemudahan Mendapatkan Informasi Pertanian (X5)

Peubah X1 Komunikatif (X5.1 ) Penggunaan Saluran dan Alat Komu-nikasi (X5.2) Penyuluhan (X5.3 ) Keterjangkauan (X5.4) Total X5

Karakteristik Pribadi Petani Sayuran (X1)

1. Status Sosial Ekonomi (X1.1) 0.11 0.18 * -0.05 0.23 * 0.07

2. Kesadaran Pentingnya Informasi (X1.2) 0.77 * 0.78 * 0.83 * 0.41 * 0.84 *

3. Kemampuan Mengakses Informasi (X1.3) 0.55 * 0.53 * 0.61 * 0.33 * 0.63 *

4. Motivasi terhadap Ush.tani Sayuran (X1.4) 0.37 * 0.46 * 0.35 * 0.24 * 0.38 *

5. Keinovatifan (X1.5) -0.03 0.04 0.12 0.01 0.09

Sumber: Data Primer (diolah, 2006) Keterangan: * = Korelasi nyata ( p< 0,01)

Kemampuan petani utuk memperoleh, memilih, dan memanfaatkan informasi tentang usahatani sayuran juga masih kurang. Petani berkembang dengan berbagai kendala internal dan eksternal yang dihadapi, membuat mereka lebih banyak menunggu informasi. Mereka merasa agak sulit akses terhadap informasi yang dibutuhkannya. Umumnya mereka juga jarang melakukan kontak dengan sumber informasi secara personal, tetapi lebih sering melalui pertemuan kelompok atau kegiatan penyuluhan. Sedangkan petani maju, umumnya tidak terpaku dengan informasi yang tersedia di daerahnya saja tetapi mereka lebih aktif mencari informasi yang dibutuhkannya dari luar desanya, karena informasi yang ada di daerahnya sudah dianggap ketinggalan dan kurang mampu menjawab kebutuhan mereka. Dengan demikian, aksesibilitas petani terhadap sumber informasi dipengaruhi oleh kemudahan petani mendapatkan informasi ditinjau dari aspek komunikatif, penggunaan saluran dan alat komunikasi, kegiatan penyuluhan, dan keterjangkauan.

Tingkat Motivasi Petani terhadap Usahatani Sayuran

Motivasi untuk berhasil dalam usahatani sayuran, merupakan suatu kekuatan yang mendorong petani untuk terus berupaya mencapai hasil yang lebih baik dalam berusahatani. Setiap orang mempunyai motiv tertentu untuk melakukan sesuatu, misalnya dalam bekerja kita mengenal motivasi kerja. Menurut Maslow (1970), motivasi adalah kegiatan memberikan dorongan kepada seseorang atau diri sendiri untuk mengambil suatu tindakan yang dikehendaki. Dengan demikian, motivasi berarti membangkitkan motiv (daya gerak yang

(21)

mendorong seseorang berbuat sesuatu) seseorang atau diri sendiri untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai suatu kepuasan atau suatu tujuan.

Tingkat motivasi petani terhadap usahatani sayuran pada penelitian ini, diukur dengan indikator: (1) minat meningkatkan produktivitas, (2) minat meningkatkan kualitas, (3) minat memperhatikan kelestarian lingkungan, (4) minat memilih jenis sayuran yang diminati pasar, (5) minat mencoba ide-ide baru, (6) frekuensi kegiatan pelatihan/penyuluhan yang diikuti, dan (6) jumlah jam per hari bekerja untuk usahatani sayuran, seperti terlihat pada Lampiran 3. Analisis terhadap tingkat motivasi petani berdasarkan tipologi petani, jenis sayuran yang dihasilkan, dan lokasi petani, dapat disajikan pada Tabel 21, Secara keseluruhan tingkat motivasi petani sayuran berada pada kategori tinggi atau 59% petani sudah tinggi tingkat motivasinya dalam berusahatani sayuran. Berdasarkan tipologi petani, menunjukkan bahwa tingkat motivasi petani maju lebih tinggi dari petani berkembang. Pada Tabel 21, dapat diperhatikan bahwa 78% petani maju tingkat motivasinya pada kategori tinggi dan 0% pada kategori rendah, sedangkan petani berkembang 53% tingkat motivasinya pada kategori tinggi dan 1% pada kategori rendah. Maknanya, motivasi untuk berhasil petani maju lebih tinggi daripada petani berkembang. Hal ini ada hubungannya dengan perbedaan status sosial ekonomi petani, seperti yang ditunjukkan Tabel 18 dan Tabel 20.

Tabel 21 Tingkat Motivasi Petani terhadap Usahatani Sayuran

Uraian Tingkat Motivasi

Rendah (%) Sedang (%) Tinggi (%) Jumlah 1. Tipologi Petani * - Petani Maju - Petani Berkembang 0, 0 1, 1 22, 4 46, 2 77, 6 52, 7 100, 0 100, 0 2. Jenis Sayuran * - Kubis - Kentang - Cabai 1, 1 1, 3 0, 0 36, 0 30, 7 55, 3 62, 9 68, 0 44, 7 100, 0 100, 0 100, 0 3. Lokasi - Bogor - Cianjur - Bandung 0, 0 1, 3 1, 3 47, 5 41, 3 32, 5 52, 5 57, 5 66, 3 100, 0 100, 0 100, 0 Total Petani 0, 8 40, 4 58, 8 100, 0

Sumber: Data Primer (2006)

Keterangan: * = Tingkat motivasi petani berbeda nyata ( p< 0,01) menurut tipologi petani dan jenis sayuran

Selanjutnya, hasil uji beda menunjukkan bahwa berdasarkan tipologi petani, ada perbedaan yang nyata (p<0,01) antara tingkat motivasi petani maju

(22)

dengan petani berkembang. Berdasarkan jenis sayuran, juga ada perbedaan yang nyata (p<0,01) tingkat motivasi antara petani kubis, petani kentang, dan petani cabai. Hal ini ada kaitannya dengan perbedaan status sosial ekonomi masing-masing petani. Namun, tidak ada perbedaan yang nyata tingkat motivasi petani antar lokasi (p>0,05).

Suatu motiv timbul berdasarkan kebutuhan hidup. Kebutuhan, merupakan unsur yang paling kuat untuk mambentuk motiv. Herzberg dalam Thoha (1996) mengidentifikasi dua perangkat kegiatan yang memuaskan kebutuhan manusia, yaitu: (1) kebutuhan yang berkaitan dengan kepuasan kerja (prestasi, penghargaan, tanggungjawab, kemajuan atau promosi, pekerjaan itu sendiri, dan potensi bagi pertumbuhan pribadi), dan (2) kebutuhan yang berkaitan dengan ketidakpuasan kerja. Selanjutnya, Herzberg mengembangkan teori motivasi pada dua faktor, yaitu: faktor hygiene (syarat kerja) dan faktor motivator (pendorong). Faktor hygiene bersifat ekstrinsik yang berada di luar diri, sedangkan faktor motivator bersifat intrinsik berada di dalam diri. Faktor hygiene, misalnya: upah, kondisi lingkungan tempat bekerja kebijaksanaan administrasi tempat bekerja. Faktor motivasi, misalnya: keberhasilan, penghargaan, pekerjaannya sendiri, rasa tanggung jawab, dan faktor peningkatan. Kedua faktor tersebut perlu untuk keberhasilan suatu kegiatan, namun faktor motivator lebih besar untuk membangkitkan semangat kerja. Persoalan-persoalan semangat kerja tidak dapat diatasi hanya dengan pemberian upah dan gaji yang tinggi, insentif yang besar, dan memperbaiki kondisi tempat kerja, tetapi juga berasal dari diri sendiri.

Mc Clelland dalam Thoha (1996) dalam teorinya tentang motivasi berprestasi mengemukakan bahwa manusia pada hakekatnya mempunyai kemampuan untuk berprestasi di atas kemampuan orang lain. Seseorang dianggap mempunyai motivasi untuk berprestasi, jika ia mempunyai keinginan untuk melakukan suatu karya yang berprestasi lebih baik dari prestasi orang lain. Kebutuhan manusia menurut Mc Clelland ada tiga, yaitu: kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk berafiliasi, dan kebutuhan untuk kekuasaan. Ketiga kebutuhan ini, terbukti merupakan unsur-unsur yang amat penting untuk menentukan prestasi seseorang dalam bekerja.

(23)

Beberapa karakteristik dari orang-orang yang berprestasi tinggi, antara lain adalah:

(1) Memerlukan umpan balik yang segera. Orang yang mempunyai kebutuhan prestasi tinggi, umumnya lebih menyenangi semua informasi mengenai hasil-hasil yang dikerjakan. Informasi yang merupakan umpan balik yang bisa memperbaiki prestasinya pada masa yang akan datang, sangat dibutuhkan oleh orang tersebut.

(2) Memperhitungkan keberhasilan. Seseorang yang berprestasi tinggi, pada umumnya hanya memperhitungkan keberhasilan prestasi saja dan tidak memperdulikan penghargaan-penghargaan materi.

(3) Menyatu dengan tugas. Sekali orang yang berprestasi tinggi memilih suatu tujuan untuk dicapai, maka ia cenderung untuk menyatu dengan tugas pekerjaannya sampai ia benar-benar berhasil gemilang. Hal ini berarti, bahwa ia bertekad akan mencapai tujuan yang telah dipilihnya dengan ketekatan hati yang bulat, tidak setengah-setengah.

Dengan demikian, unsur motivasi sangat penting, baik bagi kehidupan individu maupun kelompok karena dengan motivasi inilah akan timbul kekuatan potensial manusia untuk berprestasi. Motivasi yang tinggi dari petani sayuran juga akan berpengaruh, baik terhadap tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi maupun terhadap keinginan serta kemudahan untuk mendapatkan informasi.

Tingkat Keinovatifan Petani

Persepsi seseorang tentang sesuatu, sangat dipengaruhi oleh pengetahuannya yang erat kaitannya dengan sejumlah informasi yang dimiliki. Petani yang melakukan kontak lebih intensif dengan sumber informasi, akan lebih terbuka dan memiliki persepsi lebih baik terhadap inovasi atau ide-ide baru. Tingkat keinovatifan petani sayuran pada penelitian ini diukur dengan indikator: (1) upaya mencari informasi pertanian dan (2) jumlah inovasi yang sudah dicoba, seperti terlihat pada Lampiran 4. Analisis terhadap tingkat keinovatifan petani berdasarkan tipologi petani, jenis sayuran yang dihasilkan, dan lokasi petani, dapat disajikan pada Tabel 22.

(24)

Tabel 22 Tingkat Keinovatifan Petani Sayuran Uraian Tingkat Keinovatifan Petani

Rendah (%) Sedang (%) Tinggi (%) Jumlah 1. Tipologi Petani - Petani Maju - Petani Berkembang 46, 6 45, 1 44, 8 45, 6 8, 6 9, 3 100, 0 100, 0 2. Jenis Sayuran - Kubis - Kentang - Cabai 44, 9 50, 7 40, 8 44, 9 41, 3 50, 0 10, 1 8, 0 9, 2 100, 0 100, 0 100, 0 3. Lokasi * - Bogor - Cianjur - Bandung 48, 8 36, 3 51, 3 41, 3 47, 5 47, 5 10, 0 16, 3 1, 3 100, 0 100, 0 100, 0 Total Petani 45, 4 45, 4 9, 2 100, 0 Sumber: Data Primer (2006)

Keterangan: * = Tingkat keinovatifan petani berbeda nyata ( p< 0,01) menurut lokasi

Dari data yang digambarkan pada Tabel 22 dapat dijelaskan, bahwa secara keseluruhan tingkat keinovatifan petani sayuran berada pada kategori rendah atau sedang atau 45% petani tingkat keinovatifannya dalam berusahatani sayuran masih rendah/sedang. Berdasarkan tipologi petani, menunjukkan bahwa tingkat keinovatifan petani maju tidak berbeda dengan petani berkembang. Pada Tabel 22, juga dapat diperhatikan bahwa 47% petani maju, tingkat keinovatifannya pada kategori rendah dan 9% pada kategori tinggi, sedangkan 45% petani berkembang tingkat keinovatifannya pada kategori rendah dan 9% pada kategori tinggi. Hal ini terjadi karena ada hubungannya dengan luas lahan yang sempit yang dimiliki petani, namun tidak ada perbedaan yang nyata antara tingkat keinovatifan petani maju dengan petani berkembang. Tingkat keinovatifan, juga akan berpengaruh terhadap tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi serta kemudahan untuk mendapatkan informasi, seperti yang ditunjukkan Tabel 18 dan Tabel 20.

Inovasi menurut Totok Mardikanto (1991), adalah sesuatu ide, perilaku, produk, informasi dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan/diterapkan/dilaksanakan oleh sebagian warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat, demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan. Pengertian ”baru” yang melekat pada istilah inovasi tersebut, bukan selalu berarti baru diciptakan tetapi dapat berupa sesuatu

(25)

yang sudah “lama” dikenal, diterima atau digunakan/diterapkan oleh masyarakat di luar sistem sosial yang menganggapnya sebagai sesuatu yang masih ”baru”.

Inovasi sebagai pesan penyuluhan dalam upaya pembangunan, haruslah mampu mendorong terjadinya perubahan-perubahan yang memiliki sifat pembaruan. Rogers (1971) mengartikan inovasi sebagai ide-ide baru, praktek-praktek baru, atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat sasaran penyuluhan. Pengertian “baru” di sini mengandung makna bukan sekedar “baru diketahui” oleh pikiran (kognitif), akan tetapi juga baru karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masyarakat dalam arti sikap (afektif) dan juga baru dalam pengertian belum dilaksanakan/ diterapkan (psikomotorik) oleh seluruh warga masyarakat setempat.

Rogers dan Shoemaker (1981) mengemukakan bahwa perilaku komunikasi dari anggota masyarakat yang lebih inovatif adalah: (1) partisipasi sosialnya lebih tinggi, (2) lebih sering mengadakan komunikasi interpersonal dengan anggota sistem sosial lainnya, (3) lebih sering mengadakan hubungan dengan orang asing (kelompok acuan mereka kebanyakan orang di luar sistem), (4) lebih sering mengadakan hubungan dengan agen pembaruan, (5) keterdedahan dengan media massa, (6) mencari informasi tentang inovasi lebih banyak, sehingga pengetahuannya tentang inovasi lebih sempurna, (7) lebih tinggi tingkat kepemimpinannya, terutama pada sistem sosial yang normanya modern, dan (8) menjadi anggota sistem yang bernorma lebih modern, dan lebih terpadu.

Selanjutnya, hasil uji beda menunjukkan bahwa berdasarkan tipologi petani dan jenis sayuran yang dihasilkan, tidak ada perbedaan yang nyata dalam hal keinovatifannya (p>0,05). Namun, ada perbedaan yang nyata tingkat keinovatifan petani antar lokasi (p<0,01), karena ada hubungannya dengan perbedaan nyata tingkat pendidikan formal petani menurut lokasi (Tabel 16). Fakta menunjukkan, 18% petani Bandung memiliki pendidikan formal pada kategori tinggi (>9 tahun), sedangkan petani Bogor hanya 1% dan petani Cianjur 10% pada kategori yang sama (>9 tahun).

Umumnya, petani yang mempunyai tingkat kreativitas yang lebih tinggi akan sering melakukan kegiatan uji coba inovasi baru yang sering dilakukan pada skala terbatas sebelum diterapkan keseluruh lahan usahata ninya. Maknanya pada

(26)

penelitian ini adalah, keinovatifan petani akan mempengaruhi tingkat keberdayaannya dalam kemampuan merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengatasi masalah usahataninya, seperti ditunjukkan pada Tabel 23.

Tabel 23 Hubungan antara Peubah Karakteristik Pribadi Petani Sayuran dengan Peubah Tingkat Keberdayaan Petani

Peubah Y1 Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran (Y1)

Peubah X1 Y1.1 Y1.2 Y1.3 Y1.4 Total Y1

Karakteristik Pribadi Petani Sayuran (X1)

1. Status Sosial Ekonomi (X1.1) 0.45 ** 0.47 ** 0.21 ** 0.29 ** 0.46 **

2. Kesadaran Pentingnya Informasi (X1.2) 0.14 * 0.09 0.18 ** 0.01 0.13 *

3. Kemampuan Mengakses Informasi (X1.3) 0.24 ** 0.31 ** 0.34 ** -0.02 0.31 **

4. Motivasi terhadap Usahatani Sayuran (X1.4) 0.33 ** 0.28 ** 0.35 ** 0.18 ** 0.35 **

5. Keinovatifan (X1.5) -0.21** -0.09 -0.01 -0.08 -0.13 *

Sumber: Data Primer (diolah, 2006)

Keterangan: * = Korelasi nyata ( p< 0,05) dan ** = Korelasi nyata ( p< 0,01) Y1.1 = Kemampuan Merencanakan; Y1.2 = Kemampuan Melaksanakan Sayuran

Y1.3 = Kemampuan Mengevaluasi; Y1.4 = Kemampuan Mengatasi Masalah

Dengan demikian, adopsi inovasi oleh petani sayuran pada hakekatnya merupakan proses perubahan perilaku pada diri petani setelah menerima inovasi. Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain sebagai cerminan dari adanya perubahan: sikap, pengetahuan, dan keterampilannya.

Tingkat Kebutuhan Petani Sayuran terhadap Berbagai Informasi Pertanian

Pada penelitian ini, jenis-jenis informasi pertanian merupakan indikator yang akan dilihat tingkat kebutuhannya bagi petani sayuran, yaitu informasi tentang: peningkatan produksi dan mutu sayuran, ketersediaan sarana produksi, ketersediaan permodalan, teknologi pengolahan hasil sayuran, dukungan pemasaran sayuran, dan metode analisis usahatani sayuran. Analisis terhadap tingkat kebutuhan dan memperoleh berbagai informasi pertanian berdasarkan tipologi petani, jenis sayuran yang dihasilkan, dan lokasi, dapat disajikan pada Tabel 24.

Secara keseluruhan petani, informasi ‘Metode Analisis Usahatani Sayuran’ merupakan jenis informasi yang tingkat kebutuhannya berada pada kategori tinggi atau 59% petani, tingkat kebutuhannya terhadap informasi tersebut pada kategori tinggi. Kondisi ini menunjukkan rendahnya kemampuan petani menganalisis

(27)

kebutuhan biaya dan keuntungan yang akan diperoleh secara tepat, dan diduga ada hubungannya dengan rendahnya tingkat pendidikan petani. Hal ini akan mempengaruhi kemampuan petani dalam merencanakan usahatani sayuran.

Tabel 24 Tingkat Kebutuhan Petani Sayuran terhadap Berbagai Jenis Informasi Pertanian

Uraian Rendah (%) Tingkat Kebutuhan Petani Sedang(%) Tinggi (%) Jumlah (%) 1. Tipologi Petani *

1.1 Petani Maju

- Inf. Peningk.Prod. dan Mutu Sayuran - Inf. Ketersediaan Sarana Produksi - Inf. Ketersediaan Permodalan - Inf. Teknologi Pengolahan Hasil - Inf. Dukungan Pemasaran

- Inf. Metode Analisis Usahatani Sayuran 1.2 Petani Berkembang

- Inf. Peningk.Prod. dan Mutu Sayuran - Inf. Ketersediaan Sarana Produksi - Inf. Ketersediaan Permodalan - Inf. Teknologi Pengolahan Hasil - Inf. Dukungan Pemasaran

- Inf. Metode Analisis Usahatani Sayuran

1, 7 0, 0 81, 0 63, 8 29, 3 0, 0 15, 9 4, 4 88, 5 87, 4 31, 9 0, 5 63 ,8 51, 7 15, 5 32, 8 55, 2 37, 9 78, 6 58, 2 9, 3 12, 6 64, 3 41, 2 34, 5 48, 3 3, 5 3, 4 15, 5 62, 1 5, 5 37, 4 2, 2 0, 0 3, 8 58, 3 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 2. Jenis Sayuran * 1.1 Kubis

- Inf. Peningk.Prod. dan Mutu Sayuran - Inf. Ketersediaan Sarana Produksi - Inf. Ketersediaan Permodalan - Inf. Teknologi Pengolahan Hasil - Inf. Dukungan Pemasaran

- Inf. Metode Analisis Usahatani Sayuran 1.2 Kentang

- Inf. Peningk.Prod. dan Mutu Sayuran - Inf. Ketersediaan Sarana Produksi - Inf. Ketersediaan Permodalan - Inf. Teknologi Pengolahan Hasil - Inf. Dukungan Pemasaran

- Inf. Metode Analisis Usahatani Sayuran 1.3 Cabai

- Inf. Peningk.Prod. dan Mutu Sayuran - Inf. Ketersediaan Sarana Produksi - Inf. Ketersediaan Permodalan - Inf. Teknologi Pengolahan Hasil - Inf. Dukungan Pemasaran

- Inf. Metode Analisis Usahatani Sayuran

9, 0 2, 3 85, 4 82, 0 23, 6 1, 2 14, 7 8, 0 82, 6 78, 7 44, 0 0, 0 14, 4 0, 0 92, 1 84, 2 27, 6 0, 0 75, 3 43, 8 13, 5 16, 9 68, 5 44, 9 77, 3 65, 3 10, 7 20, 0 50, 7 32, 0 72, 4 63, 2 7, 9 15, 8 65, 8 43, 4 15, 7 53, 9 1, 1 1, 1 7, 9 53, 9 8, 0 26, 7 6, 7 1, 3 5, 3 68, 0 13, 2 36, 8 0, 0 0, 0 6, 6 56, 6 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 Total Petani

- Inf. Peningk.Prod. dan Mutu Sayuran - Inf. Ketersediaan Sarana Produksi - Inf. Ketersediaan Permodalan - Inf. Teknologi Pengolahan Hasil - Inf. Dukungan Pemasaran

- Inf. Metode Analisis Usahatani Sayuran

12, 5 3, 3 86, 7 81, 7 31, 2 0, 4 75, 0 56, 7 10, 8 17, 5 62, 1 40, 4 12, 5 40, 0 2, 5 0, 8 6, 7 59, 2 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 Sumber: Data Primer (2006)

Keterangan: * = Tingkat kebutuhan petani berbeda nyata ( p< 0,01) menurut tipologi petani dan jenis sayuran

Sedangkan informasi yang terendah tingkat kebutuhannya, adalah informasi tentang: ketersediaan permodalan (87%) dan teknologi pengolahan hasil

(28)

(82%). Hal ini, ada hubungannya dengan kurangnya minat petani berurusan dengan lembaga keuangan formal untuk meminjam modal karena prosedur yang berbelit-belit dan harus meminjam dalam jumlah yang relatif besar. Apabila mereka membutuhkan modal, dapat dengan cepat diperoleh dari tengkulak dan ada jaminan pasar hasil sayurannya.

Pada dasarnya, petani membutuhkan berbagai informasi pertanian untuk usahataninya karena mereka juga ingin meningkatkan pendapatannya, hanya saja faktor modal merupakan penghambat. Jenis-jenis informasi pertanian ini semuanya dibutuhkan, baik oleh petani maju maupun petani berkembang. Petani maju (62%) dan petani berkembang (58%) membutuhkan informasi ‘Metode Analisis Usahatani Sayuran’ dengan tingkat kebutuhan berada pada kategori tinggi. Sedangkan, tingkat kebutuhan terhadap informasi teknologi pengolahan hasil, juga masih rendah (82%) karena faktor keterbatasan modal yang dimliliki petani, termasuk belum memikirkan menghasilkan sayuran dalam bentuk olahan.

Pada Tabel 24, juga dapat diperhatikan bahwa tingkat kebutuhan petani maju (81%) akan informasi ketersediaan permodalan dan informasi teknologi pengolahan hasil (64%) berada pada kategori rendah. Sedangkan petani berkembang (89%), tingkat kebutuhan akan informasi ketersediaan permodalan dan informasi teknologi pengolahan hasil berada pada kategori rendah. Kebutuhan, tidaklah selalu bersifat absolut namun masalah akan dapat terjadi apabila usulan yang disampaikan oleh petani kepada penyuluh/agen pembaruan bukan ‘kebutuhan’ tetapi ‘keinginan’ mereka. Kebutuhan, merupakan kesenjangan atau jarak antara pengukuran atau persepsi terhadap performan yang diharapkan dengan performan yang teramati atau yang aktual.

Adanya perbedaan tingkat kebutuhan terhadap berbagai jenis informasi pertanian akan mempengaruhi upaya penyediaan berbagai informasi yang dibutuhkan petani. Di sini, penyuluh sedapat mungkin membantu petani untuk mengenali secara tepat berbagai informasi yang dibutuhkannya. Tabel 25 menunjukkan bahwa ada hubungan antara tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian dengan penyediaan informasi pertanian.

(29)

Tabel 25 Hubungan antara Peubah Tuntutan Kebutuhan dan Memperoleh Informasi dengan Peubah Penyediaan Informasi Pertanian

Pe ubah X6 Penyediaan Informasi Pertanian (X6)

Peubah X2 Relevansi (X6.1) Akurasi (X6.2) Kelengkapan (X6.3) Ketajaman (X6.4) Ketepatan (X6.5) Keterwakilan (X6.6) Total X6

Tuntutan Kebutuhan Inf. Pertanian (X2)

1. Inf. Peningk. Produksi dan Mutu Sayuran (X3.1) 0.37 ** 0.14 * 0.37 ** 0.38 ** 0.39 ** 0.38 ** 0.39 **

2. Informasi Ketersediaan Sarana Produksi (X2.2) 0.52 ** -0.04 0.47 ** 0.53 ** 0.51 ** 0.54 ** 0.53 **

3. Informasi Ketersediaan Permodalan (X2.3) 0.27 ** 0.08 0.26 ** 0.29 ** 0.33 ** 0.28 ** 0.31 **

4. Inf. Teknologi Pengolahan Hasil Sayuran (X2.4) 0.35 ** 0.17 ** 0.37 ** 0.39 ** 0.38 ** 0.39 ** 0.40 **

5. Informasi Dukungan Pemasaran Sayuran (X2.5) 0.51 ** 0.05 0.47 ** 0.53 ** 0.52 ** 0.55 ** 0.54 **

6. Inf. Metode Analisis Usahatani Sayuran (X2.6) -0.04 0.14 * 0.02 -0.03 -0.06 -0.003 -0.02

Total X2 0.49 ** 0.09 0.47 ** 0.51** 0.51** 0.52 ** 0.53 **

Sumber: Data Primer (diolah, 2006) Keterangan: * = Korelasi nyata ( p< 0,05) ** = Korelasi nyata ( p< 0,01)

Selanjutnya, hasil uji beda menunjukkan bahwa berdasarkan tipologi petani, ada perbedaan dalam hal tingkat kebutuhan akan berbagai jenis informasi pertanian, yaitu berbeda nyata (p<0,01) untuk informasi: peningkatan produksi dan mutu sayuran, teknologi pengolahan hasil, dan informasi dukungan pemasaran, tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05) untuk informasi: ketersediaan sarana produksi, ketersediaan permodalan, dan metode analisis usahatani sayuran.

Berdasarkan jenis sayuran yang dihasilkan, kebutuhan informasi petani kubis, petani kentang, dan petani cabai berbeda nyata (p<0,01) untuk informasi: ketersediaan sarana produksi dan dukungan pemasaran, tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05) untuk informasi: peningkatan produksi dan mutu sayuran, ketersediaan permodalan, teknologi pengolahan hasil, dan metode analisis usahatani sayuran. Selanjutnya berdasarkan lokasi, tingkat kebutuhan akan berbagai informasi berbeda nyata (p<0,01) untuk informasi: peningkatan produksi dan mutu sayuran, ketersediaan sarana produksi, ketersediaan permodalan, teknologi pengolahan hasil, dan dukungan pemasaran, tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05) untuk informasi metode analisis usahatani sayuran.

Dengan demikian, penyuluh dituntut untuk selalu memperbarui atau mengkaji ulang kebutuhan informasi dari petani sebagai komunitas binaannya secara periodik, karena seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan lingkungan sosial (kondisi sosial ekonomi), maka kebutuhan petani dapat saja berubah. Hal ini diperlukan agar komunitas binaan (petani dan kelompoknya) merasakan adanya perhatian dan keseriusan penyuluh terhadap mereka.

(30)

Jika kebutuhan informasi petani sayuran dikaitkan pemanfaatannya dengan aspek-aspek manajemen usahatani sayuran (merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengatasi masalah usahatani) pada penelitian ini, maka informasi yang dibutuhkan pada masing-masing aspek adalah:

Perencanaan usahatani, membutuhkan informasi: (1) peningkatan

produksi dan mutu sayuran, yakni: rencana produksi, jenis sayuran yang diminati pasar, pola tanam satu tahun, prakiraan iklim/cuaca, jenis, dan dosis/jumlah sarana produksi yang digunakan, (2) ketersediaan sarana produksi, yakni: jenis sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida) yang tersedia, (3) ketersediaan permodalan, yakni: skim (pola) kredit usahatani dan lembaga penyedia modal, (4) teknologi pengolahan hasil sayuran, yakni: jenis sayuran yang tahan lama disimpan, jenis sayuran dalam bentuk olahan, dan pabrik-pabrik yang mengolah hasil sayuran, (5) dukungan pemasaran, yakni: lokasi pemasaran, harga sayuran, jumlah, dan mutu sayuran yang dibutuhkan, (6) analisis usahatani sayuran, yakni: biaya yang dibutuhkan dan keuntungan diperoleh dalam satu kali proses produksi.

Pelaksanaan usahatani, membutuhkan informasi: (1) cara

pengorganisasian penyediaan sarana produksi, (2) pengorganisasian penyediaan dan penggunaan permodalan, (3) teknologi budidaya/produksi, (4) teknologi panen dan pasca panen, dan (5) cara pengawasan produksi. Evaluasi usahatani, membutuhkan informasi: (1) prosedur kerja usahatani, (2) cara menilai proses pelaksanaan usahatani, (3) jenis-jenis pengembangan/perbaikan/perubahan yang mungkin terjadi selama pelaksanaan usahatani, dan (4) hambatan-hambatan yang mungkin terjadi selama pelaksanaan usahatani. Selanjutnya, dalam Mengatasi

masalah usahatani, membutuhkan informasi: (1) teknik manajerial usahatani, (2)

rantai pemasaran sayuran, dan (3) proses produksi, dan perusahaan mitra.

Kondisi Eksternal Petani Sayuran

Indikator kondisi eksternal petani sayuran yang dilihat pada penelitian ini, adalah: lingkungan fisik, lingkungan sosial, ketersediaan informasi pertanian, kondisi megapolitan, dan kebijakan bidang penyuluhan dan pembangunan subsektor hortikultura. Analisis terhadap kekondusifan faktor lingkungan berdasarkan tipologi petani dan lokasi petani, dapat disajikan pada Tabel 26.

(31)

Tabel 26 Kekondusifan Faktor Lingkungan Petani Sayuran

Uraian Tidak Kondusif Kekondusifan Faktor Lingkungan

(%) Kurang Kon dusif (%) Kondusif (%) Jumlah (%) 1. Tipologi Petani *

1.1 Petani Maju - Lingkungan Fisik - Lingkungan Sosial

- Ketersediaan Informasi Pertanian - Kondisi Megapolitan

- Kebijakan Bidang Penyuluhan dan Pembangunan Subsektor Hortikultura 1.2 Petani Berkembang

- Lingkungan Fisik - Lingkungan Sosial

- Ketersediaan Informasi Pertanian - Kondisi Megapolitan

- Kebijakan Bidang Penyuluhan dan Pembangunan Subsektor Hortikultura

0, 0 0, 0 17, 2 62, 1 50, 0 0, 5 0, 5 13, 7 85, 7 76, 9 70, 7 6, 9 32, 8 32, 8 36, 2 74, 2 7, 2 56, 0 14, 3 19, 3 29, 3 93, 1 50, 0 5, 1 13, 8 25, 3 92, 3 30, 3 0, 0 3, 8 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 2. Lokasi * 2.1 Bogor - Lingkungan Fisik - Lingkungan Sosial

- Ketersediaan Informasi Pertanian - Kondisi Megapolitan

- Kebijakan Bidang Penyuluhan dan Pembangunan Subsektor Hortikultura 2.2 Cianjur

- Lingkungan Fisik - Lingkungan Sosial

- Ketersediaan Informasi Pertanian - Kondisi Megapolitan

- Kebijakan Bidang Penyuluhan dan Pembangunan Subsektor Hortikultura 2.3 Bandung

- Lingkungan Fisik - Lingkungan Sosial

- Ketersediaan Informasi Pertanian - Kondisi Megapolitan

- Kebijakan Bidang Penyuluhan dan Pembangunan Subsektor Hortikultura

0, 0 0, 0 10, 0 62, 5 48, 7 1, 2 1, 3 3, 7 88, 8 71, 3 0, 0 0, 0 30, 0 88, 7 91, 3 77, 5 1, 2 48, 8 33, 8 32, 5 85, 0 5, 0 53, 8 11, 2 28, 7 57, 5 15, 0 48, 7 11, 3 8, 7 22, 5 98, 8 41, 2 3, 7 18, 8 13, 8 93, 7 42, 5 0, 0 0, 0 42, 5 85, 0 21, 3 0, 0 0, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 Total Petani - Lingkungan Fisik - Lingkungan Sosial

- Ketersediaan Informasi Pertanian - Kondisi Megapolitan

- Kebijakan Bidang Penyuluhan dan Pembangunan Subsektor Hortikultura

0, 4 0, 4 14, 6 80, 0 70, 4 73, 3 7, 1 50, 4 18, 8 23, 3 26, 3 92, 5 35, 0 1, 2 6, 3 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 Total 1, 3 87, 1 11, 6 100, 0

Sumber: Data Primer (2006)

Keterangan: * = Kekondusifan faktor lingkungan berbeda nyata ( p< 0,01) menurut tipologi petani dan lokasi

Dari data yang digambarkan pada Tabel 26, dapat dijelaskan bahwa secara keseluruhan kekondusifan faktor lingkungan adalah, 95% petani menyatakan lingkungan sosial merupakan faktor lingkungan yang kondusif, 65% petani menyatakan tingkat ketersediaan informasi pertanian kurang kondusif, 74% petani menyatakan lingkungan fisik yang kurang kondusif. Selanjutnya, 99% petani

Gambar

Tabel 15  Karakteristik Pribadi Petani Sayuran Menurut Tipologi Petani                           Uraian   Petani Maju (%)  Petani Berkembang (%)  Total Petani (%)  1
Tabel 16  Status Sosial Ekonomi Petani Sayuran Menurut                    Tipologi Petani dan Jenis Sayuran
Tabel 17  Tingkat Kesadaran Petani Sayuran terhadap Pentingnya Informasi
Gambar 4  Kerangka Berpikir Hubungan antar Peubah Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kepegawaian Pusat, Pejabat Pembina Kepegawaian Propinsi, dan Pejabat Pembina Kepegawaian Kabupaten/Kota.Dari uraian tersebut di atas mengisyaratkan bahwa formasi Pegawai

I Dewa Ketut Sastrawidana,S.Si, M.Si Penerapan Iptek Prof.. Gede Astra

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research). Jenis penelitian ini bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah

masyarakat sudah di transfer ke masing-masing nomor rekening Gapoktan, maka kemudian terdakwa menginformasikannya kepada masing-masing Ketua Gapoktan dan meminta

Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa pelaksanaan jual beli ijon yang ada di Desa Blabakan ada dua cara yang pertama ketika padi masih dalam keadaan baru tanam,

Hasil ini menunjukkan bahwa meskipun varietas pembanding Srikandi merupakan varietas yang direkomendasikan sebagai varietas unggul toleran kekeringan, tetapi ketika

pemilihan yang sesuai agar tipografi dapat mereperesentasikan identitas lembaga. Huruf yang sudah didesain dengan perhitungan yang sangat akurat dan dibentuk dengan

Manfaat penelitian umumnya berkaitan dengan pengembangan Iptek, pemecahan masalah-masalah dalam pembangunan dan pengembangan kelembagaan, yang secara umum berkaitan