• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Mangande Olif-Olif Menurut Hukum Islam (Studi Kasus Tradisi Pemberian Kerbau Dimeunafa Kabupaten Simeulue Aceh)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tradisi Mangande Olif-Olif Menurut Hukum Islam (Studi Kasus Tradisi Pemberian Kerbau Dimeunafa Kabupaten Simeulue Aceh)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN (Online): 2797 – 7579, ISSN (Print): 2797-6025 Volume 1, Nomor 1 / Juni, 2021 / pp. 31-47

31 https://journal.palanta.or.id

Tradisi Mangande Olif-Olif Menurut Hukum Islam

(Studi Kasus Tradisi Pemberian Kerbau Dimeunafa Kabupaten

Simeulue Aceh)

Rus Yandi

Universitas Nahdlatul Ulama Sumatera Barat rusyandimsi@gmail.com

Received: 5 Februari 2021 Accepted: 25 Februari 2021

ABSTRAK: Studi ini menjelaskan keluarga yang meminta anak kerbau kepada keluarga dekat yang

menjadi tradisi dalam pemberian hewan kerbau di desa meunafa, tradisi ini yang dikenal mangande olif-olif. Pemberian anak kerbau akan diberikan kepada keluarga yang meminta anak kerbau harus memberikan buah tangan atau bawaan seperti sejumlah uang. Berdasarkan fenomena ini muncul beberapa pertanyaan bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap pelaksanaan tradisi mangande olif-olif, yang merupakan studi kasus pemberian kerbau didesa meunafa, kabupaten simeulue aceh dan apa yang melatar belakangi keluarga tersebut untuk membawa sesuatu atau sebagai buah tangan untuk meminta anak kerbau kepada keluarga yang punya kerbau. Untuk menjawab itu dalam tulisan ini penulis mengumpulkan data dengan field research dengan melakukan penelitian langsung kelapangan dengan melakukan wawancara langsung dengan pihak-pihak terkait yang mengetahui permasalahan, dan buku yang berkaitan dengan masalah ini dalam pengelolaan data menggunakan metode deskriptif analisis secara kualitatif. Tradisi mangande olif-olif dalam hukum Islam hukumnya mubah, sebab bertentangan dengan norma agama serta tidak dapat diterima sebagai maslahah mursalah. Tradisi mangande olif-olif sama dengan riswah.

KATA KUNCI: Tradisi, Mangande Olif-Olif, Hukum, Islam

I. PENDAHULUAN

Persoalan muamalah dalam hal-hal yang tidak jelas ditentukan oleh nash sangat luas disebabkan bentuk dan jenis muamalah tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan zaman tempat dan kondisi sosial. Atas dasar itu, persoalan muamalah terkait erat dengan perubahan sosial yang terjadi ditengah-tengah masyarakat.(Nasrun Haroen, 2007, 17). Pemberian merupakan bentuk tolong-menolong dalam rangka kebajikan antara sesama manusia yang sangat bernilai positif. Pemberian kepada orang lain tanpa imbalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dimana orang yang diberikan berkebebasan menggunakan harta tersebut, artinya, harta menjadi hak milik orang yang diberi, jika orang yang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tapi tidak sebagai hak milik, maka itu

(2)

32 https://journal.palanta.or.id

disebut pinjaman/ariah. Jika pemberian itu disertai dengan balasan maka yang demikian dinamakan jual beli.(Abdul, 2010, 159). Dengan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum ini mereka akan memperoleh ketentraman dan kenyamanan serta kebahagiaan dalam hidup. (Dede, 1996, 27). Pada dasarnya kehidupan dunia ini tidak terlepas dari perubahan terhadap suatu lingkungan, baik lingkungan fisik, lingkungan biologis, maupun lingkungan sosial manusia. (Zainudin Ali, 2008, 18), Prilaku, perangai, tabiat, adat-istiadat, merupakan kenyataan hukum di dalam masyarakat, sehingga terkadang apa yang di cita-citakan oleh masyarakat dalam mewujudkan kepastian hukum, justru tidak sesuai dari apa yang diharapkan. Kemaslahatan hidup segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan, berguna dan berfaedah bagi kehidupan. (Muslich Wardi Ahmad, 2010, 7). Berdasarkan firman Allah dalam Qs. al-qasas: 77 “Bahwa sesungguhnya Allah mengajak manusia agar menggunakan harta sebagai pokok untuk hal-hal yang dapat memasukannya ke dalam surga, dan menyisihkan sebagian hartanya secara khusus untuk meningkatkan taraf hidupnya di dunia, dan mensyukuri atas nikmat harta yang Allah berikan padanya, dengan berbuat baik kepada orang lain yang membutuhkan bantuan”.

Allah juga memperingatkan agar jangan mempergunakan pada hal- yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Kalau demikian, maka ia dapat kemurkaan Allah yang tidak senang dengan kehancuran. Maka pemberian merupakan salah satu jalan berbuat baik pada orang lain, sebagaimana para ulama fiqih sepakat bahwa memberikan adalah hukumnya sunnah. (Zainudin Ali, 2008, 159-160). Hal ini didasari oleh nash al-qur’an dan hadis nabi, QS. Al-baqarah: 177. Berkaitan dengan itu penulis mengemukakan persoalan yang terjadi di suatu daerah di pulau Simeulue, Aceh tepatnya di desa Meunafa. Dalam hal pemberian kerbau yang dilakukan oleh masyarakat di wilayah itu, mengalami perbedaan dengan pandangan hukum Islam. Berdasarkan fakta yang terjadi dilapangan, penulis mengemukakan bila seseorang dari keluarga tersebut yang hendak meminta anak kerbau kepada salah satu keluarga yang punyak kerbau, maka salah satu kepala keluarga atau keluarga yang meminta harus ada syarat bawaan tertentu. Bila hal ini tidak ada, maka salah satu keluarga yang mempunyai kerbau tidak menganggap maksud kedatangannya untuk meminta pokok kerbau. Biasanya yang terjadi tidur di tempat keluarga yang punyak kerbau selama satu malam, kemudian pada saat malam itu keluarga yang datang ini berbicara tentang maksudnya untuk meminta anak kerbau, sekaligus langsung memberikan bawaan tersebut kepada keluarga yang di rumah (keluarga yang punyak kerbau). Isi dari bawaan itu, berupa uang sejumlah 2 sampai 5 ratus ribu yang dimaksud kedalam amplop, kemudian makanan ketan yang sudah di campur-campur dimasukan kedalam tempat tertentu serta tali rotan ukuran sepuluh sentimeter digulung dan dibungkus dengan kain dimasukan kedalam tempat yang khusus yang telah menjadi ketentuan, bila maksud dan kedatangannya untuk meminta kerbau dan keluarga yang menunggu di rumah juga sudah paham maksud kedatangan keluarga tersebut. Setelah semua terpenuhi dan pembicaraan telah disampaikan oleh keluarga yang datang, kemudian pihak keluarga yang di rumah menjawab atas maksud dan tujuan kedatangannya. Keluarga yang memiliki kerbau berbicara bahwa kerbau tersebut adalah rezki dari Allah dan diamanahkan kepada kita yang harus diberikan kepada keluarga dan menjadi bagian dari kebiasaan nenek moyang kita dulu dan harus diikuti, sehingga akan terus berkembang lebih banyak. Oleh karena itu untuk langkah pertama ini, kami belum dapat memutuskan langsung, tapi juga tidak memutuskan harapan.

Jika panjang umur, rezki bertambah dan dengan izin dari Allah akan ditentukan pada waktu yang akan datang serta akan dikabarkan langsung nanti tanpa harus datang kesini untuk menanyakan. Tapi

(3)

33 https://journal.palanta.or.id

ada keluarga yang meminta anak kerbau datang dengan membawa bawaan tersebut kepada keluarga yang punya kerbau, namun tidak diberi oleh keluarga yang punyak kerbau dan bawaan tersebut tidak dikembalikan lagi atau tanpa ijin dari yang memberi untuk digunakan atau dimakannya. Menurut pendapat tengku Marhasim sebagai tokoh agama dan juga tokoh adat mengatakan bahwa kebiasaan yang dilakukan untuk memberikan kerbau dengan bawaan tersebut di atas menjadi keharusan untuk meminta kerbau yang ada di dalam wilayah masyarakat itu. Keluarga yang mempunyai kerbau berkewajiban memberi pokok kerbau kepada keluarga yang tidak punyak kerbau, jika ia meminta untuk dipelihara, dikembangbiakan bukan untuk dijual. Tradisi seperti ini disebut sebagai mangande olif-olif di daerah tersebut, tepatnya di desa Meunafa. Bila tradisi ini dilihat dari sudut pandang hukum Islam, maka banyak menimbulkan masalah, misalnya apakah pemberian uang dari keluarga yang tidak punyak kerbau kepada yang punya kerbau dapat dikatakan jual beli atau bukan. Selanjutnya, dalam pemberian tidak mengandung keadilan antara pihak keluarga yang menerima anak kerbau dengan pihak keluarga memberikan anak kerbau. Kemudian apakah tidak bertentangan dengan aqidah, jika dalam pemberian kerbau yang dilakukan oleh keluarga dalam mangande olif-olif ini, bila anak kerbau tidak dapat dari keluarga yang ada kerbau, lalu berkeyakinan dengan hal lain, kerbau mati hilang dan sebagainya, akibat kutukan dari nenek moyang dulu.

Tradisi mangande olif-olif yang terjadi tidak ada keseimbangan antara pihak yang memberi kerbau dan yang menerima kerbau, ini dapat dilihat dari ukuran harga kerbau dengan ukuran uang yang dikasih dibawah ukuran jual beli. Berkaitan dengan buah tangan yang dibawah ke tempat keluarga yang punya kerbau oleh keluarga yang tidak punyak kerbau, merupakan rasa tanda terimakasihnya kepada keluarga yang memberi kerbau. Sekalipun anak kerbau yang diminta untuk dipelihara tidak dapatkan dari keluarga yang punya kerbau.(Marhasim, 2012, 17). Maka dengan mengemukakan masalah di atas, penulis memberikan judul “Tradisi Mangande Olif-Olif Menurut Hukum Islam” dengan rumusan masalah bagaimana pandangan hukum Islam terhadap tradisi mangande olif-olif di desa Meunafa kecamatan Salang, kabupaten Simeulue, provinsi Aceh. Tujuan dari penilitian ini adalah memberikan kontribusi positif terhadap pengetahuan baru bagi masyarakat desa Meunafa, sehingga tidak salah dalam melakukan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dimasyarakatnya, menambah wawasan keilmuan dalam bidang ilmu hukum Islam, memperbanyak literasi terhadap berbagai disiplin keilmuan. Selanjutnya, menjadi bahan pengetahuan baru bagi masyarakat desa yang sudah melakukan tradisi ini, sehingga kedepan tidak mengulangi hal yang sama jika bertentangan dengan ajaran Islam yaitu hukum Islam. Selanjutnya bahan penelitian, yang tertarik berkaitan dengan penelitian penulis tersebut. Selain dari tujuan penelitian, adalah kegunaan dalam penelitian ini, yaitu; Menambah pengetahuan penulis terhadap problematika tradisi pemberian hewan kerbau yang terjadi tepatnya di desa Meunafa, kabupaten Simeulue, provinsi Aceh. Sebagai bahan masukan kepada masyarakat di desa Meunafa, kabupaten Simeulue, provinsi Aceh, tentang mangande olif-olif. Menambah bahan bacaan dalam mengetahui tentang masalah yang menyangkut pemberian hewan kerbau.

II. TINJAUAN LITERATUR

Penelitian sebelumnya terkait tradisi lokal banyak berbicara dalam aspek sosial dengan menjelaskan keberagaman nilai sosial dan pewarisan nilai lokal atau nilai budaya Eni Murdiati (Murdiati et al., 2016, 163), berbicara dalam mengelola suatu daerah perlu memperhatikan masyarakat dan kebudayaan baik segi subjek maupun objek dalam pengelolaannya. Syafrizal menjelaskan kearifan lokal sangat di pengaruhi oleh kemaksimalan interaksi sosial antara masyarakat baik penduduk lokal maupun masyarakat luar, dan memupayakan memperdayakan sumber daya manusianya untuk terus melestarikan kebudayaan itu.( et al., 2019, 83). Muhammad harfin zuhdi juga menjelaskan untuk

(4)

34 https://journal.palanta.or.id

menguatkan eksistensi budaya lokal harus ada kepedulian dari kelompok elit daerah seperti tokoh-tokoh adat maupun elit pemerintah dan elit agama seperti ulama dalam mentranfer kebudayaan itu kepada generasi muda setelahnya. (Zuhdi, 2018, 178; Atikah et al., 2020, 447). Namun berbeda dengan penulis yang lebih melihat kebudayaan atau tradisi mangande olif-olif dalam perspektif hukum Islam.

III. METODE

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah deskriptif kualitatif, dimana penulis mengadakan interpretasi analisa terhadap data melalui penggambaran yang tepat dengan melihat teori dan pengetahuan lainnya. Untuk lebih lengkapnya metode yang penulis gunakan sebagai berikut, lokasi penelitian adalah wilayah yang dilakukan dalam penelitian tentang pembahasan yang berkaitan dengan judul tulisan di desa meunafa, kecamatan Salang. Selanjutnya, sumber data dengan menggunakan sampel, yaitu; sebagian individu yang menjadi objek penelitian, (Hadi Sutrisno, 1997, 82),. Sampel sebagai sumber data dalam penelitian ini yaitu, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat dan pemudah. kemudian jenis penelitian yang penulis lakukan adalah field research/ penelitian lapangan. Bahwa peneliti langsung terjun ke lapangan untuk melihat secara langsung fenomena dan suatu keadaan yang terjadi ditempat lokasi penilitian. (Lexy J. Moleong, 2010, 26).

Kemudian teknik pengumpulan data adalah pertama, wawancara dengan perorangan yaitu apabila proses tanya-jawab tatap muka berlangsung secara langsung antara penulis dengan tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Kedua, observasi/pengamatan bahwa alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan melihat langsung kelokasi tentang tradisi mangande olif-olif dan mencatat yang berhubungan tradisi tersebut secara sistematis dari gejala-gejala yang diselidiki menjadi karya ilmiah.(Ahmadi, 2004, 70). Selanjutnya teknik analisa data adalah pertama, deskriptif yaitu interaksi analisis terhadap data melalui penggambaran yang terjadi untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.(Subroto, 1999, 59). Kedua, kualitatif bahwa penelitian yang dimaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya, prilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistis serta dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada satu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. (Sukardi, 2008, 13-14).

IV. HASIL DAN DISKUSI

Hibah,Hadiah, Riswah, ‘Urf Pengertian Hibah

Kata hibah bentuk masdar dari kata wahaba digunakan dalam qur’an digunakan dalam al-quran beserta kata derivatnya sebanyak 25 kali dalam 13 surat. Wahaba artinya memberi dan jika subjeknya adalah Allah berarti memberi karunia atau menganugrahi (QS. Ali Imran: 38). Hibah berasal dari bahasa arab al-hibah yang berarti pemberian atau hadiah. Kata hibah diambil dari kata “hubuubur rih” artinya muruuraha/perjalanan angin. Kemudian dipakailah kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa harta maupun bukan.(Ahmad Rafiq, 2003, 466-467). Hibah menurut bahasa adalah menyedekah kan sesuatu baik berbentuk harta maupun selain itu kepada orang lain, (Abdul, 2010, 157-158), juga pengertian dari hibah adalah pengeluaran harta semasa hidup atas dasar kasih sayang untuk kepentingan seseorang atau kepentingan suatu badan sosial, keagamaan, ilmiah, juga kepada seseorang yang berhak menandi ahli waris. (Siah Khosiyah, 2010). Dalam pengertian secara istilah, adalah hibah pemilikan sesuatu benda melalui transaksi/aqad tanpa mengharap imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika pemberi masih hidup. Dalam rumusan kompilasi hukum Islam, hibah adalah pemberian sesuatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan kepada orang lain yang masih

(5)

35 https://journal.palanta.or.id

hidup untuk dimiliki. (Undang-Undang RI, 2009, 290-291). Sedangkan istilah syara’ bahwa aqad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara suka rela. Menurut ulama Hanabilah hibah adalah memberikan kepemilikan atas barang yang dapat ditasrufkan berupa harta yang jelas atau tidak jelas karena adanya uzur untuk mengetahuinya, berwujud, dapat diserahkan tanpa adanya kewajiban, ketika masih hidup, tanpa adanya pengganti. (Rachmat Syafei, 2000, 24).

Pengertian Hadiah

Hadiah secara bahasa adalah pemberian, ganjaran, karena memenangkan suatu perlombaan atau pemberian (kenang-kenangan, penghargaan, penghormatan) tanda kenang-kenangan atau tanda perpisahan/cendra mata. (Team Postaka Poenik, 2007). Secara istilah hadiah sebagai sarana untuk menguatkan serta menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang dan hadiah diberikan tanpa ada motif bantuan atau balasan sesuatu. (Ali Hafiz Bin Al-Arabi Al-Maliki & Qal’aji, n.d.). Menurut istilah fiqih, hadiah didefinisikan pemberian sesuatu tanpa adanya imbalan untuk menyambung talisilaturahim, mendekatkan hubungan dan memuliakan.(Muhammad Qal’aji, Jus1, 493). Sedangkan menurut syariat hadiah adalah menyerahkan menyerahkan sesuatu benda kepada orang tertentu agar terwujud hubungan baik tanpa adanya permintaan dan syarat dan mengharap mendapat pahala dari Allah SWT.

Pengertian Riswah

Secara bahasa riswah adalah sogok dalam bahasa Indonesia yang diartikan dengan sesuatu yang digunakan untuk menyogok atau memberi suap kepada seseorang. (Mahmud Yunus, 1989, 142). Dalam bahasa arab, kata riswah atau sogok berasal dari kata rassya yang berarti memberi sogok, sedangkan secara istilah riswah atau suap pemberian yang diberikan kepada seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk memperoleh kedudukan.

Pengertian ‘Urf

‘Urf dan adat termasuk dua kata yang sering dibicarakan dalam literatur ushul fiqih, keduanya

berasal dari bahasa arab. Kata adat sudah diserap kedalam bahasa indonesia yang baku. Kata urf berasal dari ‘arafa ya’rifu sering diartikan dengan al-ma’ruf dengan arti sesuatu yang dikenal” kalau dikatakan (sifulan lebih dari yang lain dari segi urfnya), maksudnya bahwa sifulan lebih dikenal dibandingkan dengan yang lain. Pengertian dikenal”ini lebih dekat kepada pengertian diakui oleh orang lain”. (Amir Syarifudin, 2008). Kata urf juga terdapat dalam al-quran dengan arti ma’ruf yang artinya kebajikan/berbuat baik, seperti dalam surat al-Araf: 199 berbunyi: “maafkanlah dia dan suruhlah berbuat makruf. Kata ‘urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak. Adanya dua sudut padang yang berbeda ini menyebabkan timbulnya dua nama tersebut. Dalam hal ini tidak ada perbedaan yang prinsip karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu; satu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui oleh orang banyak. Sebaliknya karena perbuatan itu sudah dikenal dan diakui oleh orang banyak. Maka perbuatan itu dilakukan orang secara berulang kali. Dengan demikian meskipun dua kata tersebut saat dibedakan tapi perbedaannya tidak berarti. (Mahmud Yunus, 1989, 143). Pengertian ‘urf adalah suatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi teradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat (Abdul Wahab Khalab, 1994, 133-134).

Definisi lain dari ‘urf adalah hal-hal yang dibiasakan dan menjadi acuan manusia dalam perkara kehidupan dan muamalah mereka, berupa ucapan, perbuatan ataupun pantangan. (Surahman Hidayat, 2008, 258-259). Menurut ahli syara’ ‘urf bermakna adat, dengan kata lain ‘urf dan adat tidak ada

(6)

36 https://journal.palanta.or.id

perbedaan. ‘urf tentang perbuatan manusia, misalnya jual beli yang dilakukan Berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan sigat. ‘urf yang bersifat ucapan atau perbuatan, misalnya saling pengertian terhadap al-walad, yang lafaz tersebut mutlak berarti anak laki-laki bukan anak perempuan. Dengan kata lain ‘urf itu merupakan saling pengertian manusia terhadap tingkatan mereka yang berbeda dengan ijma’ sebab, ijma’ merupakan kebisaan kesepakatan para mujtahid baik yang bersifat khusus atau umum dan tidak menciptakan adanya ‘urf. (Abdul Wahab Khalaf 1996b, 133-134). Jadi dapat disimpulkan pengertian ‘urf atau adat adalah suatu perbuatan manusia yang diulang-ulang dan dikenal serta dapat dijadikan acuan dalam perkara kehidupan.

Dasar Hukum Hibah, Hadiah, Riswah, ‘Urf

Pertama, dasar hukum hibah Qs. An-nisa’: 4, Qs. Al-baqarah : 177, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, yang memerlukan pertolongan. Hadis riwayat muslim” Umar bin Khatab berkata, aku memberikan seekor kuda lama untuk tujuan sabilillah, kemudian pemiliknya menyia-nyiakannya. Aku menduga ia telah menjualnya dengan harga yang murah, kemudian aku tanyakan kepada rasulullah tentang hal tersebut. Beliau bersabda, janganlah kamu jual itu dan janganlah kamu tarik kembali sedekahmu, karena orang yang menarik kembali sedekahnya ibarat anjing yang memakan kembali muntahnya. Kedua, dasar hukum hadiah Qs. Al-maidah: 2, Ayat tersebut memerintahkan untuk saling tolong-menolong dalam mengerjakan Kebajikan dan taqwa. Hibah, hadiah dan sedekah merupakan perbuatan baik, sehingga termasuk yang diperintahkan dalam ayat ini.

Hadis riwat Malik, rasulullah SAW bersabda berjabat tanganlah maka akan hilang rasa dendam dan dengki dan saling memberi hadiahlah satu sama lain. Tujuannya agar tercipta suasana saling mencintai dan mengasihi. Ketiga, dasar hukum riswah Qs. Al-baqarah: 188, berbunyi” Dan janganlah sebagian kamu memakan harta yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagaian dari pada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui. Dari ayat ini, dapat dipahami bahwa Allah swt malarang manusia memakan harta sesamanya dengan jalan yang batil, sebagaimana Allah melarang untuk tidak saling membunuh. Ayat ini menegaskan bahwa tidak boleh menerima dan memberikan harta untuk tujuan yang batil, dalam arti menerima harta yang tidak dibenarkan oleh syariat dan diharamkan dalam melakukannya, karena tidak ada faedah didalamnya dan menggunakan sogokan sebagai tameng untuk mengauasai para aparat yang berwenang dalam menetapkan hukum agar mereka bisa mengambil harta dari sebagian mereka dengan jalan berbuat dosa. (Abu Bakar Muhammad Ibnu Abdillah n.d., jidil 1, 136).

Hadis riwayat Abu Daud, berbunyi”hadis diterima dari Abi Umamah dari nabi nabi SAW, beliau bersabda siapa yang menolong saudaranya dengan suatu pertolongan lalu dia memberi suatu hadiah dan hadiah itu diterimanya, maka berarti dia memasuki pintu besar dari pintu-pintu riba. Al-Qasim bin Abdurahman al-Umawi mengatakan ungkapan diatas menunjukan haramnya menerima hadiah oleh hakim dan para pemimpin lainnya, karena termasuk riswah. (Asy-Syaukani, 1973, 172). Keempat dasar hukum ‘urf Qs. Al-‘araf: 199, berbunyi: jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakannya yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang bodoh. Ayat ini menganjurkan umat Islam menggunakan ‘urf dalam kehidupan meraka. Kata ‘urf dalam ayat ini mengacu pada makna bahasa yaitu suatu yang dipandang baik dan telah lazim atau biasa, meskipun kata ‘urf dalam ayat mengacu pada istilah. Sebab yang menjadi ‘urf manusia dalam kegiatan muamalah mereka selalu dipandang baik dan sejalan dengan akal mereka. (Mustafa Ahmad Zarqa, 1996, 149). Hadis berbunyi, segala sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka hal tersebut baik pula dipandang oleh allah SWT.

(7)

37 https://journal.palanta.or.id

Macam-Macam Hibah, Hadiah, Riswah, ‘Urf Jenis-Jenis Hibah

Pertama, hibah umri merupakan hibah yang disyaratkan selama yang diberi hibah masih hidup. Misalnya, jika seseorang memberi tempat tinggal kepada orang lain selama orang yang diberi hibah masih hidup, jika ia meninggal, hibah tersebut menjadi hak milik orang yang memberi hibah. Bentuk hibah yang seperti ini diperselisihkan oleh ulama fiqih, abu Hanifah, Imam Syafii, ats tsauri dan Imam Ahmad ibnu Hambal hibah seperti ini dianggap hibah yang terputus, artinya, hibah yang memberikan pokoknya . menurut Imam Malik, hibah tersebut hanya berupa manfaat benda yang dihibahkan. Jika yang dberi hibah meninggal dunia, maka barang atau benda yang dihibah kembali kepada yang memberi atau ahli warisnya. (Asy-Syaukani, 1973, 239). Kedua, Hibah bersyarat adalah pada dasarnya merupakan pemberian hak milik secara sempurna dan langsung kepada seseorang yang menerima hibah, jika hibah dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, syarat tersebut tidak sah sekalipun hibahnya tetap sah, karena hibah tersebut dapat ditangguhkan keabsahannya sampai syarat tersebut dicabut oleh pemberi hibah. Hibah rugbi, hampir sama dengan hibah umri, yaitu hibah yang bersyarat, perbedaannya, persyaratan hibah umri ditekankan pada pemberian hibah dalam pemberian bersyarat tersebut, jika syarat itu ada barang yang dihibahkan untuk menerima hibah, jika syarat itu tidak ada, barang yang dihibahkan menjadi milik penghibah.

Jenis-Jenis Hadiah

Ada beberapa jenis hadiah, diantaranya ada yang disyariatkan, ada yang disunahkan serta ada yang diharamkan, hadiah tersebut adalah pertama, hadiah karena cinta kasih sayang, ini diberikan untuk menumbuhkan kasih sayang juga menjalin persahabatan, menguatkan ukhuwah, memperindah kasih sayang dan pergaulan, serta menjaga kewibawaan diantara manusia. (Syekh Ahmad Bin Ahmad Abdullah Ath-Thawil 2006, 27). Masing-masing dari hadiah tersebut, hadiah dari orang yang lebih tinggi dan orang yang setaraf, hadiah dari orang tua dan hadiah pinangan, maka hadiah yang seperti ini dianjurkan secara syariat halal bagi yang menerima dan memberinya. Kedua, hadiah untuk mendapatkan kedudukan, jabatan. Hadiah ini diberikan untuk mendekatkan hati dan mendapatkan kecitaan dari orang yang diberi hadiah tersebut, bukan karena kecintaan yang hakiki akan tetapi untuk mendapatkan kemanfaatan dengan kedudukan, kekuasaan dan posisinya disisi orang lain sehingga dengan itu dia bisa mencapai tujuan-tujuannya. Hadiah ini mirip dengan suap menyuap dan haram mengambilnya. Ketiga, hadiah dari non muslim seperti orang Yahudi, Nasrani, orang-orang musrik yang tidak memberontak, penyembah berhala juga ahlli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, maka boleh menerima hadiah kecuali orang-orang musrik yang memerangi umat islam dan ahli kitab. Keempat, hadiah kepada orang yang mengajarkan al-Qur’an, Ubaidah bin Samad berkata kepada rasulullah aku mendapat hadiah dari orang yang aku arahkan al-Qur’an berupa sebuah busur dan ini merupakan sebuah harta, aku melempar dijalan Allah, rasulullah bersabda”jika engkau suka dikalung dari, maka terimalah (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah 2007, 790).

Jenis-Jenis Riswah

Wabah suap dewasa ini telah begitu menyebar dan merebak secara mencolok di kantor-kantor pemerintah, jarang sekali orang ataupun lembaga yang bersih dari debu-debu ini. Para pesuap, tersuap dan perantara suap. Beberbagai istilah yang digunakan dalam peraktek suap menyuap, dianataranya sebagai berikut: Pertama, honorium, diberikan kepada pejabat atau pegawai dengan inisiatif penyuap sendiri tanpa diminta maupun disyaratkan oleh sipejabat, atau memang atas permintaan tersuap sebagai belas jasa atas pelayanan tertentu. (Husain Husain Sahata, 2005, 31-41). Kedua, komisi, diberikan pada tersuap dan beroker sebagai konpensasi memperlancar urusan tender proyek dan lain-lain. Uang jasa ini diberikan kepada mereka atas dasar posisi,jabatan, dan pekerjaan mereka. Misalnya seorang pejabat

(8)

38 https://journal.palanta.or.id

mengatakan, saya mau bantu asal kamu bisa beri komisi sekian persen. Uang-uang kutipan seperti ini dan sejenisnya suda merupakan suap. Ketiga, Uang pelicin, diberikan kepada pejabat yang berwenang mengeluarkan izin atau persetujuan pemerintah dengan kompensasi kelancaran dan kemudahan urusan pemohon. Misalnya petugas menarik sejumlah uang diluar prosudur dari pemohon SIM akan keluar dengan cepat. Praktek seperti ini merupakan sesuatu yang ilegal dan melanggar hukum.

Jenis-Jenis ‘Urf

Penggolongan Adat atau Urf Dapat Dilihat dari Beberapa Segi;

Pertama, ditinjau dari segi materi yang bisa dilakukan ada dua macam yaitu, ‘urf qauli merupakan kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan. Kata waladun secara etimologi artinya anak yang digunakan untuk anak laki-laki atau perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena tidak ditemukan kata ini khusus untuk perempuan dengan tanda perempuan/ma’nats. Penggunaan kata walad itu untuk laki-laki dan perempuan mengenai waris/hartapusaka. Dalam kebiasaan sehari/’urf orang arab, kata walad digunakan hanya untuk anak laki-laki dan tidak untuk anak perempuan, sehingga dalam memahami kata walad kadang digunakan ‘urf qauli tersebut. Umpamanya dalam memahami kata walad pada surat an-nisa, ayat 176 berbunyi:” katakanlah Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah yaitu jika seseorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkan, dan saudara yang laki-laki mempusakai/seluruh harta perempuan, jika ia tidak mempunyai anak, tapi jika saudara perempuannya itu dua orang, maka keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.

Melalui penggunaan ‘urf qauli, kata kalalah dalam ayat tersebut diartikan sebgai orang yang tidak meninggalkan anaka laki-laki. Dalam hal ini dengan pemahaman ‘urf qauli, anak laki-laki bisa menghijab saudara-saudara sedangkan anak perempuan tidak dapat. ‘urf fi’il kebebasan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya, kebiasaan jual beli barang –barang yang enteng/ murah dan kurang begitu bernilai transaksi antara penjual dan pembeli cukup hanya menunjukan barang serta serah terima barang dan uang tanpa ucapan transaksi/aqad apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan aqad dalam jual beli. Kemudian kebiasaan yang mengambil rokok diantara sesama teman tanpa adanya ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri. Dari segi ruang lingkupnya, penggunaan ‘urf terbagi kepada, satu, adat atau ‘urf umum, merupakan kebiasaan yang umum berlaku dimana-mana, hampir diseluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa dan agama, umpamanya tanda menggunakan kepala tanda menyetujui dan menggelangkan kepala tanda menolak atau meniadakan. Kemudian dimana-mana bila memasuki pemandian umum/kolam renang yang memungut bayaran, orang hanya membayar tarif masuk yang ditentukan tanpa menghitung berapa banyak air yang dipakainya dan berapa lama ia menggunakan pemandia tersebut.

Kedua, adat atau ‘urf khas, yaitu yag dilakukan oleh sekelompok orang ditempat tertentu atau pada waktu tertentu, tidak berlaku disemua tempat dan sembarangan tempat, umpamnya, bagi masyarakat tertentu penggunaan kata budak untuk anak dianggap menghina, karena kata itu hanya terpakai untuk hamba sahaya, tetapi masyarakat lainnya kata budak bisa digunakan untuk anak-anak dan lain sebagainya. (Siyah khasiah, 2008, 258). Dari segi penilaian baik dan buruk adat atau ‘urf terbagi kepada, yaitu; pertama, adat yang sahih adalah adat yang berulang-ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun dan budaya yang luhur, umpamanya, memberi hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktu-waktu tertentu, mengadakan acara halal bihalal /silaturahim saat hari raya memberi hadiah sebagai suatu penghargaan atas suatu prestasi. Ada yang fasid yaitu, adat yang berlaku disuatu tempat meskipun merata pelaksaan, namun bertentangan dengan agama, Undang-undang negara dan sopan santun. Umpamanya, berjudi untuk merayakan suatu

(9)

39 https://journal.palanta.or.id

pristiwa pesta dengan menghidang minuman haram, membunuh anak perempuan yang baru lahir dan hidup bersama tanpa nikah.

Hibah, Hadiah, dan ‘Urf Menurut Hukum Islam Hibah Menurut Hukum Islam

Pada dasarnya memberikan sesuatu kepada orang lain hukumnya adalah mubah/jaiz, dalam hukum asal mubah hukum hibah dapat menjadi wajib, makruh dan haram. Hubah yang diberikan kepada istri dan anak hukumnya wajib sesuai dengan kemampuannya, rasulullah SAW bersabda yang artinya”bertakwalah kalian kepada Allah dan adillah terhadap anak-anak kalian. Hibah menjadi haram hukumnya apabila harta yang telah dihibahkan ditarik kembali. Menghibahkan sesuatu dengan maksud mendapatkan imbalan baik berimbang maupun lebih banyak, hukumnya adalah makruh. Hibah dalam hukum islam dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan, bahkan telah ditetapkan dengan tegas bahwa dalam hukum Islam, pemberian harta berupa harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu dokumen tertulis. Akan tetapi jika selanjutnya, bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan hak milik, maka pemberian itu dapatlah dinyatakan dengan tulisan. Jika pemberian tersebut dilakukan dalam bentuk tertulis terdapat dua macam, bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika surat itu merupakan alat dari penyerahan pemberian itu sendiri, artinya apabila pernyataan penyerahan benda yang bersangkutan kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang pemberian, maka harus didaftarkan.

Hadiah Dalam Pandangan Hukum Islam

Hadiah yang dimaksud adalah sumbangan dan pemberian pada orang lain, baik berupa uang maupun lainnya. Rasulullah mau menerima hadiah dan beliau selalu membalasnya dengan hadiah serupa agar tidak ada seorang pun yang memiliki piutang budi. Namun, menolak sedekah karena merupakan ciri nabi untuk tidak menerima sedekah. (Muhammad Syafii Antonio, 2009, 97). Memberi hadiah dan menerima serta memberi balasan kepada yang memberi hadiah itu, disyariatkan agama. (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1991, 488). Tidak dibenarkan menarik kembali hadiah dan dibolehkan hadiah menghadiahi orang Islam dengan bukan orang Islam. Hukum ini disepakati walaupun sebagian ulama memakruhkannya. Baik ayat maupun hadis, menurut Jumhur ulama, menunjukan hukum anjuran untuk saling membantu antara sesama manusia. (As-Sarkhasi, 1980, 48).

Riswah Menurut Hukum Islam

Sesuai apa yang dilansir dalam al-quran dan sunnah serta dari pendapat fiqih, para fuqaha pun secara tegas mematenkan keharaman suap dan diantara justifikasi syara’ atas pengharaman peraktek kotor tersebut adalah sebagai berikut: pertama, suap termasuk perampasan harta orang lain dengan cara yang kotor dan semena-mena. Deskripsi ini pula yang dipertegas dalam al-qur’an dalam mengaharamkan suap, Allah berfirman: Artinya”dan janganlah sebagian kamu memakan harta yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta dari yang lain dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui. Selanjutnya, pihak-pihak yang terlibat dalam peraktek suap menyuap tersuap dan broker suap termasuk pembuat kerusakan dimuka bumi yang wajib ditangkap dan dihukum seberat-beratnya. Sebab perilaku orang-orang ini dapat menimbulkan kekacauan dalam interaksi dan relasi sosial, serta mengancam stabilitas masyarakat. Mereka layak divonis dengan firman Allah sebagai berikut:”artinya”sesusungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasulnya serta membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri sebagai suatu penghinaan untuk mereka didunia dan diakhirat mereka memperoleh siksaan yang besar (qs. Al-maidah:33).

(10)

40 https://journal.palanta.or.id

‘Urf dalam Hukum Islam.

Pada dasarnya, syarat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi itu tidak bertentangan dan sunnah rasulullah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikannya serta ada pula yang dihapuskan. Misalnya adat kebiasaan yang diakui, kerjasama dengan cara berbagi untung. Praktek seperti ini telah berkembang dibangsa Arab sebelum Islam, berdasarkan kenyataan ini, para ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan.

Bentuk Mangande Olif-Olif di Desa Meunafa Bentuk Pemberian

Bila dilihat dari proses pelaksanaan tradisi ini dari dulu sampai sekarang, maka ada sedikit perbedaan yang timbul dalam pelaksanaan. Hal ini dapat penulis ketahui dari keterangan tokoh agama bapak Abu Salim, ia menyampaikan bahwa pada masa lalu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat desa Meunafa tidak ada uang selain dari ketan dan rotan yang digulung yang dimasukan pada suatu tempat tertentu . maka simbul atau tanda itu melambambangkan maksud kedatangannya disamping kunjungan silaturahim bahkan ada yang lebih dari itu, mangande olif-olif dengan adanya bawaan tersebut, keluarga yang dirumah sudah paham maksud dari simbul bawaan itu sekalipun belum disampaikan pembicaraan dari awal kedatangan keluarga itu (pihak keluarga yang berkunjung; Wawancara Tokoh Agama, 2012,). Pada hakikatnya tradisi mangande olif-olif ini tidak terlepas pada keluarga yang masih ada ikatan hubungan darah/keluarga dekat. Ini tujuannya untuk mempererat tali hubungan keluarga antara yang satu dengan yang lainnya, maka dengan demikian akan semakin tumbuh rasa cinta diantara keluarga bila dengan melakukan yang dilakukan diantara kelompok keluarga. Dalam penerapan tradisi yang ada di desa Meunafa ini yang paling utama yang masih ada hubungannya keluarga dengan bapak atau ibu, tapi bukan seayah dan seibu (kandung), melainkan keluarga yang masih berhubungan dengan kakek dan nenek.

Pada awal terjadinya tradisi ini, tidak memakai uang, namun seiring waktu dan perkembangan zaman tradisi yang dilakukan semacam ini sudah memakai uang, selain syarat lainnya. Semenjak tahun delapan puluhan sampai sekarang. (Wawancara Tokoh Masyarakat, 2012). Kemudian jika hal ini tidak ada, boleh juga pada keluarga satu ayah dan ibu, dan keluarga yang lain meminta kerbau. Hal ini juga untuk mempererat hubungan tali keluarga diantara mereka. Baik pada pihak keluarga ayah maupun pada pihak keluarga ibu, keluarga yang dikunjung semestinya berdasarkan tradisi yang di wariskan harus diberikan anak kerbau, karena kedatangan keluarga dengan buah tangan, yang merupakan hutang bagi pihak keluarga yang menerima, sekalipun tidak dalam bentuk janji. Seiring berjalannya waktu, tradisi yang seperti ini di desa Meunafa juga mengalami perubahan terutama pada kebiasaaan dalam membawa buah tangan kepada keluarga yang menerima buah tangan tersebut. Perubahan ini berawal dari awal tahun sembilan puluan hingga sekarang, hal tersebut dapat diketahui dengan pemberian uang yang lebih utama sebagai buah tangan, hal itu diberikan kepada keluarga yang berkunjung ke keluarga yang akan dikunjungi. Pemberian uang memang tidak ada patokan jumlah nilai nominal secara resmi, tetapi pemberian uang yang dilakukan kalau diperkirakan sekitar atau rata-rata sepertiga dari harga jual beli . maka seandainya harga anak kerbau yang dijual Rp. 3.000.000, maka uang yang diberikan sekitar 1 juta rupiah, namun bisa juga lebih dari penyebutan tersebut. Dengan demikian melihat realitas yang terjadi pada tradisi pemberian anak kerbau yang dilakukan oleh masyarakat desa meunafa, dalam pandangan hukum Islam terdapat konsep pemberian yang yang gharar/ atau bertentangan pada hokum syariat, alasan tersebut yang mengharuskan syarat tertentu.

(11)

41 https://journal.palanta.or.id

Istilah Tradisi Mangande Olif-Olif

Dalam tradisi ini ada dua istilah yang dipakai masyarakat desa Meunafa, pertama anggul-anggul

dan kedua olif-olif, kedua istilah ini merupakan dari bahasa daerah setempat, kedua istilah ini sudah

merupakan hal yang asing bagi masyarakat setempatnya sama-sama permintaan anak kerbau yang dilakukan keluarga yang tidak punya kerbau ke keluarga yang punyak kerbau. Namun sedikit perbedaan bila dilihat dari penggunaan istilah tersebut. Anggul-anggul merupakan makna luas atau umum dan ditujukan bukan hanya tradisi permintaan kerbau oleh salah satu pihak keluarga saja. Akan tetapi, bisa juga pada penggunaan maksud yang lain, sebagaimana yang sering disebut oleh masyarakat desa Meunafa, seperti dalam acara perkawinan yang dimulai ada pemberian tertentu yang dikasih oleh keluarga perempuan. Anggul-anggul bisa dipakai dalam istilah perkawinan terutama pada waktu sebelum perkawinan terjadi, maksudnya disini adalah yang terjadi keluarga laki-laki datang ketempat keluarga perempuan dengan maksud ingin memberikan sesuatu yang istimewah atau benda yang sangat berharga kepada keluarga perempuan maupun langsung kepada perempuan yang ingin dinikahi dengan anak atau keponakan keuarga yang memberi. Suatu pemberian yang diberikan kepada keluarga perempuan sebagai tanda senang dan berharapnya keluarga laki-laki kepada yang ingin dijadikan menantunya, maka pemberian itu merupakan bentuk maunya, agar keluarga perempuan ataupun perempuan calon istri tidak menolak dari permintaan keluarga laki-laki.

Selain makna yang sudah diketahui dari unggul-unggul dalam perkawinan, masih ada lagi makna yang lain, istilah unggul-unggul yang juga dipakai pada maksud yang lain, ini terdapat pada tempat tinggal. Sebagai ameton atau pengantar bahasa pada maksud yang ingin disampaikan kepada keluarga yang satu keluarga dengan keluarga yang lain, lalu datng untuk menyampaikan maksud agar diberikan satu bidang tanah yang bisa dijadikan satu tempat membangun rumah. Penggunaan bahasa seperti ini bukanlah suatu yang tabu dan ini sering dipakai oleh masyarakat desa Meunafa kecamatan Salang, kabupaten Simeulue Aceh. Kepada keluarga yang jauh tentunya, memberikan satu tempat yang pas ukuran sebagai tempat membangun rumah. Keponakan yang berkeluarga datang kepaman saudara jauh dari pihak ibu, cukup dengan cara anggul-anggul ini, dengan ketentuan membawa ketan yang sudah dibuat dalam suatu tempat tertentu dengan tambahan makanan lain jika ditambahkan, sebagai simbul tradisi.( Wawancara Tokoh Adat, 2012). Sedangkan olif-olif maknanya sempit atau khusus, hanya tertuju pada tradisi permintaan anak kerbau yang dilakukan oleh salah satu pihak keluarga. Pembahasannya tidak pada maksud lain, namun fokus pada “permintaan pada anak kerbau” dan semua keluarga tidak ada yang tidak tahu, sebab keluarga mengerti maksud mangande olif-olif ini. Menyampaikan maksud dalam bahasa seperti ini yang dipakai oleh keluarga yang menedengar tidak melontarkan pertanyaan kepada keluarga yang menyampaikan maksud memintak anak kerbau, sebab mereka sudah tahu dan tidak ada maksud lain yang terkandung dalam bahasa yang disampaikan oleh keluarga. Ini terbukti maksudnya tertuju pada permintaan anak kerbau saja yang dipahami oleh masyarakat desa Meunafa tidak untuk maksud yang lain. Namun keduanya tidaklah bertentangan satu sama lain dalam penggunaanya, sama-sama bisa dipakai pada permintaan anak kerbau, hanya saja apabila kata

anggul-anggul yang pakai bahasanya tentu masih butuh pertanyaan, tapi pada istilah mangande olif olif tidak

perlu mempertanyakan lebih jauh, karena tertuju pada permintaan kerbau tidak pada yang lain.

Dalam penggunaan bahasa secara khusus yang memang dipakai oleh masyarakat desa Meunafa adalah istilah mangande olif-olif, sebab khusus tertuju pada yang diinginkan dalam penyampaian, serta mudah dipahami oleh yang meneria ucapan yang disampaikan , tanpa harus menganalisa ucapan tersebut. Untuk meminta anak kerbau kepada keluarga yang punyak kerbau, proses yang terjadi sebelumnya mulai berubah dari sejak tahun sembilan puluhan, yang dilakukan dalam meminta anak kerbau harus membawak uang yang jumlah nominalnya dibawah ukuran jual beli.( Wawancara Tokoh

(12)

42 https://journal.palanta.or.id

karena kalau konsep jual beli jelas rukun dan syaratnya, tapi tradisi ini bukan semata pada pemberian , karena dalam proses yang dilakukan ada bawaan.

Sejarah Terjadinya Pemberian Kerbau

Terjadinya tradisi yang dilakukan oleh masyarakat desa Meunafa terhadap mangande olif-olif, tidak dapat diketahui keterangan secara pasti muncul dan berlakunya tradisi ini, baik itu keterangan dari tokoh-tokoh maupun dari buku-buku yang berkaitan dengan tradisi ini. Namun tradisi ini sudah terlaksana dari masa lalu semenjak adanya masyarakat dan daerah ini hingga sekarang. Tradisi yang berkembang di desa ini, bukan hasil dari percontohan dari tempat atau daerah lain, akan tetapi tradisi ini merupakan buah dari hasil pemikiran dari nenek moyang dahulu, sehingga diikuti dan dilaksanakan oleh keturunannya sampai sekarang. Kebiasaan atau tradisi bertujuan untuk menyatukan keluarga baik itu yang dekat/sedarah maupun yang jauh, maka untuk menumbuhkan kembali rasa persaudaraan dan kecintaan sesama mereka, oleh karena itu, diadakanlah suatu kebiasaan ditempat itu. Yaitu magande olif-olif.( Wawancara Tokoh Agama, 2012). Agar dapat menumbuhkan rasa kasih yang erat diantara sesama keluarga.

Tradisi mangande olif-olif muncul akibat hubungan persaudaraan yang begitu erat diantara kelompok masyarakat desa Meunafa, selain itu juga penduduk yang belum begitu banyak serta masyarakat yang masih tertinggal dan daerahnya jauh diperbatasan samudra hindia. Namun masyarakatnya semua beragama Islam, hanya pendatang dari Sumatera Utara, Nias yang beragama non muslim. Salah satu diantara nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri yang kental adalah hubungan persaudaraan diantara mereka dan inilah asal muasal terjadinya dan berkembangnya tradisi ini yang dikenal dengan sebutan “mangande olif-olif” kebiasaan ini sudah begitu kental dilakukan oleh masyarakat desa tersebut dari semenjak dulu hingga sekarang, walaupun seiring waktu berganti juga mempengaruh tradisi ini. Pada asalnya memang tradisi ini tidak dikenal dengan buah tangan uang sebagi balasan/transaksi, tetapi yang dilakukan antara individu dengan individu lainnya dalam memenuhi kebutuhan dengan cara pertukaran barang dengan barang atau yang dikenal dengan istilah barter. Oleh karena itu, berkaitan dengan mangande olif-olif ini suatu bentuk untuk memiliki kerbau dari keluarga yang memiliki kerbau, akan tetapi lebih dari itu, sebenarnya atau hakikatnya untuk mempererat hubungan kekeluargaan di antara sesama keluarga.

Ajaran Islam menganjurkan silaturrahim bahkan melarang umatnya yang beragama Islam, yang tidak mematuhi pokok ajarannya. Salah satu pokok dari ajaran Islam itu adalah menyambung tali persaudaraan merupakan amal saleh yang mendatangkan keberkahan dalam hidup. (Muhammad Arifin Bin Badri, 2009, 95). Sebagaimana telah Allah firmankan dalam surat al-hujarat, ayat 10 berbunyi” orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara, sebab itu damaikanlah, perbaikilah hubungan antara kedua saudaramu itu dan takutlah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat. Belum beriman seseorang hingga ia mencintai saudaranya, persaudaraan dalam Islam bagaikan satu tubuh apabila sakit salah satunya, maka sakitlah yang lain, begitulah arti dan pentingnya persaudaraan dalam ajaran Islam. Hakikatnya, lahir teradisi mangande olif-olif adalah untuk menumbuhkan tali persaudaraan dan jalinan kasih sayang yang selalu tumbuh dan berkembang dalam kehidupan keluarga. Apakah itu kelaurga yang dekat apalagi pada keluarga yang jauh, maka dengan cara tradisi ini hubungan keluarga selalu ada tanpa memandang kedudukan dan status sosial diantara keluarga tersebut.

Muncul Tradisi Pemberian Kerbau

Asal mula muncul tradisi ini dalam kehidupan masayarakat bermotif dari bentuk kehidupan masing-masing yang berbeda, ada yang kaya dan ada yang miskin, maka dari itu, yang dilakukan dalam tradisi ini pihak keluarga yang tidak punyak kerbau datang ke keluarga yang punya kerbau lalu

(13)

43 https://journal.palanta.or.id

keluarga yang memiliki kerbau memberikan dengan ketentuan ada bawaan atau buah tangan dari pihak keluarga yang tidak punyak kerbau. Bawaan tersebut, sebagai kebiasaan yang dilakukan semenjak zaman dulu sampai sekarang, jika tidak dibawa maka tujuannya bukan untuk meminta kerbau, melainkan tak lain dan tak bukan selain silaturahim biasa, bukan ada maksud yang lebih dari sekedar silaturahim. Kegiatan tradisi ini, diakibatkan oleh kehidupan sosial masyarakat desa yang masih primitif pada saat itu, tidak mengenal uang sebagai sebagai alat transaksi jual beli. Yang ada pada masa itu pertukaran benda atau barter. Akibat inilah lahir teradisi yang dicetuskan oleh para tokoh adat atau alim ulama cerdik pandai yang ada di desa ini. Salah satu adat atau tradisi yang dilestarikan sampai sekarang adalah tentang tradisi mangande olif-olif. Inilah hasil pengamatan para tokoh dan alim ulama lahir teradisi ini yang dipakai dan dijaga dari dulu hingga sekarang, namun seiring dengan waktu tradisi ini sedikit mengalami perubahan. Dulu prosesnya hanya makanan dan benda sebagai simbul atau tanda yang dipahami oleh keluarga yang memberi kerbau, akan tetapi sekarang ada uang yang jumlahnya tidak ditentukan dan dibawah ukuran jual beli.

Pandangan Hukum Islam terhadap Aplikasi Pemberian Kerbau

Pemberian dalam hukum Islam hukumnya sunnah, baik dasarnya al-quran maupun hadis nabi muhammad. (Qs. Al-Baqarah: 77). Pemberian atau hibah secara umum ada yang dibolehkan dan ada yang dilarang, ini menunjukan dalam aplikasinya pemberian tidak semata-mata dibolehkan, namun perlu dilihat terlebih dahulu apakah dibolehkan atau tidak. Bentuk yang dibolehkan dalam konsep pemberian adalah pemberian yang menumbuhkan dan menjaga kecintaan, juga untuk menjalin persaudaraan, menguatkan ukhuwah, memperindah kasih sayang dan pergaulan, serta menjaga kewibawaan diantara manusia, ini bisa dilihat bahwa pemberian dari orang tua, pemberian dari atasan. Pemberian yang dilakukan tidak atas dasar ketulusan yang hakiki, tetapi pemberian ada harapan yang diinginkan kepada orang kepada yang menerima pemberiannya. Maka bila ini terjadi jelas dilarang, pemberian yang seperti ini dapat dilihat seperti bawahan yang ingin mendapat jabatan yang tinggi dari atasan, maka untuk mendapatkannya menarik hati dan berbagai macam cara yang dilakukan yang sampai dilarang syariatpun dilakukan. Bila dilihat dari bentuk tradisi pemberian mangande olif-olif yang ada didesa Meunafa maka dalam pelaksanaan maka harus ada bawaan yang diterima, sekalipun tanpa diberitahu awal, bawaan ini memang sudah menjadi kebiasaan orang-orang desa dalam keluarga, maka kemudian bila dilihat dari mekanisme pemberian terhadap tradisi mangande olif-olif maka bertentangan dengan pemberian. Pemberian tidak ada balasan atau imbalan, baik itu disengaja maupun tidak sama sekali.

Dalam ilmu ushul fiqih pengertian hukum syariat suatu yang berkaitan dengan tindakan dan perbuatan mukallaf melalui perintah dan ketetapan. Dengan demikian hukum syariat dapat dibedakan menjadi dua yakni hukum taklifi dan hokum wadh’i. (Abdul Wahab Khalaf, 1996, 171). Hukum taklifi merupakan hukum yang menghendaki dikerjakan atau memilih antara mengerjakan dan meninggalkan. Ruanglingkupnya haram jika ada larangan, wajib jika ada perintah, sunnah jika mengandung anjuran karena ada manfaatnya, jaiz atau mubah jika ada kebebasan memilih, makruh jika tidak ada gunanya, dan merugikan orang lain yang melakukannya.(Muhammad Daud Ali, 2005, 45). Adat dalam pandangan hukum Islam, ada yang sejalan ada pula yang tidak dengan konsep ajaran Islam atau hukum Islam secara khusus. Adat atau tradisi selalu terikat dengan ruang dan waktu yang berubah, perubahan itu menyatu berbagai aspek kehidupan manusia seperti hukum, budaya, informasi, ekonomi serta bidang lainnya. (Salmadanis, 2003, 3). Sebagaimana diketahui adat suatu sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma yang ada secara terun tumurun. Dalam hukum Islam, adat dikenal dengan ‘urf, yang merupakan sumber sekunder hukum Islam diantara sumber-sumber lainnya. Adat atau ‘urf suatu yang diundangkan manusia secara tidak tertulis dan bisa dilakukan secara serta merta menjadi acuan dalam melakukan kehidupan. (Abdul Karim Zaidan, 2008, 258).

(14)

44 https://journal.palanta.or.id

Bila dilihat dari bentuk adat, secara mendasar ada dua macam yaitu ‘urf qauli atau perkataan dan

‘urf amali atau perbuatan. Kemudian ‘urf khas atau yang khusus, hanya dikenal dalam suatu tempat saja

atau negeri. Juga ada ‘urf amali atau umum yang sudah dikenal diseluruh penjuru dan sudah dilaksanakan pada setiap tempat. Macam adat atau ‘urf yaitu ada ‘urf fasid dan ada ‘urfsahih yang tidak bertentangan dengan nash syariat. Sedangkan ‘urf fasid adalah ‘urf yang bertentangan dengan nash syariah atau hukum-hukum syariat. Melihat bentuk ‘urf yang dikemukakan diatas bila dikaitkan dengan pemberian tentu memiliki konsekuansi hukum. Baik itu yang berupa larangan, anjuran, kewajiban atau akibat hukum lainnya. Melihat bentuk ‘urf atau adat yang dikemukakan diatas bila dikaitkan dengan pemberian tentu memiliki konsekuensi hukum. Pemberian dalam hukum Islam ada beberapa jenisnya, yaitu pemberian dalam bentuk hibah, shadaqah, zakat, infaq dan hadiah serta suap, masing-masing punyak tingkat hukum yang berbeda. Pemberian dalam bentuk hibah, hadiah, sedekah hukumnya sunnah. Hanya terletak perbedaan pada masing-masing niat dalam pelaksanaannya. Dalam pemberian hibah harus ada rukun dan syaratnya, sadaqah diberikan pada orang yang membetuhkan tanpa balasan dari orang yang menerima selain balasan dari Allah, hadiah semata-mata memuliakan orang dan juga dapat menumbuhkan cinta yang tidak ada perbedaan antara kaya dan miskin, pejabat atau rakyat jelata.

Pemberian dalam bentuk harta zakat hukumnya wajib dilaksanakan jika sudah memenuhi ketentuan dari harta tersebut. Sedangkan pemberian dalam bentuk suap atau mengharapkan ada balasan tertentu dari setiap pemberinya, maka itu dilarang dan hukumnya haram, sebab berbuat sesuatu tidak atas dasar keikhlasan, melainkan ada motif tertentu atau balasan dari setiap perbuatan yang dikerjakan. Dalam pemberian ada sesuatu atau buah tangan sebagai balasan yang diterima atas kerbau yang diberikan oleh keluarga yang punyak kerbau, jika bentuk pemberian yang demikian , maka hal ini tentu bertentangan dengan hukum Islam. Walaupun itu tidak ada dalam perjanjian, namun apapun bentuknya jika pemberian yang disertai adanya keharusan untuk membawa sesuatu sebagai buah tangan hukum Islam tidak menganjurkan. Dalam tradisi yang ini, baik yang melalui perbuatan maupun perkataan dalam hukum Islam bertentangan, tradisi yang demikian bisa digolongkan pada tradisi ‘urf fasid, karena bertolak dengan syariat serta akan merusak hukum syara’. Bentuk tradisi pemberian yang tidak dilarang dan dianjurkan serta diwajibkan, sebagaimana dapat diketahui bentuknya seperti membayar zakat, memberi hadiah, memberi nafkah pada keluarga. Kemudian bentuk pemberian yang dilarang dan dijauhkan dari semacam ini yaitu pemberian dalam bentuk riswah atau sogok, korupsi dan lain sebagainya. Hukum Islam yang mengandung arti sangat memperhatikan kemaslahatan manusia. (Bustanudin agus, 2007, 86-87). Salah satu yang diatur tradisi dalam interaksi manusia dalam bentuk pemberian, supaya dapat terwujud kewajiban, keikhlasan dan kecintaan sesama manusia apalagi yang seaqidah. Dengan demikian bahwa, tradisi yang seperti ini belum bisa dikatakan bertentangan dengan hukum Islam atau tidak, karena bila dilihat pemberian yang bertujuan untuk menubuhkan kasih sayang dalam keluarga dengan sama-sama membalas pemberian masing-masing tidak dilarang dalam hukum Islam. Namun bila dalam tradisi pemberian itu tidak atas dasar keikhlasan, maka tradisi yang demikian akan tergolong kepada ‘urf fasid. Pemberian yang tidak dapat menumbuhkan rasa ikhlas yang tumbuh dari dalam diri, jika berbuat baik memberi atau menerima dari orang lain, kecuali ada yang diinginkan dan ada balasan setiap yang diberikan. Baik itu dalam bentuk tenaga yang diberikan pertolongan dan berupa harta yang dikasih pada orang lain.

Menurut syara’ pemberian adalah harta milik seseorang yang diberi kepada orang lain, dengan tanpa imbalan dan yang menerima tersebut bebas menggunakannya, kemudian yang memberi tidak menuntut apapun selain hanya mengharap pahala dari Allah SWT. Apabila seseorang memberikan hartanya untuk dimanfaatkan, tidak diberikan untuk sebagai hak milik, maka hal itu disebut pinjam. Bila hak kepemilikan itu belum terselenggara ketika pemberinya hidup, akan tetapi diberikan ketika dia sudah meninggal, maka itu disebut wasiat. Kemudian pemberian yang disertai dengan imbalan, maka itu

(15)

45 https://journal.palanta.or.id

penjualan. Oleh karena itu, realita yang terjadi pada tradisi pemberian mangande olif-olif yang ada didesa Meunafa tidak ada relevansi dan kontradiktif denagan penerapan tradisi pemberian menurut hukum Islam. Dari uraian diatas dapat diketahuai terhadap pemberian dalam pemberian secara umum ada yang dianjurkan dan ada pula yang dilarang menurut hukum Islam. Tapi dalam aplikasi yang diterapkan oleh masyarakat tentu bebeda-beda, ada yang melakukan sesuai aturan syariat dan ada sebaliknya. Hal ini disebabkan ada faktor lingkungan setempat, sehingga tetap mempertahankan kebiasaan tersebut dan ada juga disebabkan ilmu pengetahuan tidak ada, sehingga berakibat terhadap pengamalan tradisi yang salah bahkan sesat lagi menyesatkan.

Kedudukan ‘Urf dalam Menetapkan Hukum

Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum. Dalam proses pengambilan hukum ‘urf atau adat hampir selalu dibicarakan secara umum, namun telah dijelaskan diatas bahwa ‘urf yang sudah diterima diambil oleh syarah atau yang secara tegas telah ditolak oleh syara’ tidak perlu dibicarakan lagi tentang alasannya, secara umum ‘urf diamalkan oleh semua ulma fiqih terutama dikalangan Hanafiyah dan Malikiyah. Ulama Hanafiyah menggunakan ihtisa/ salah satu metode ujtihad yang mengambil sesuatu yang lebih baik yang tidak diatur dalam syara, dalam berijtihad dan salah satu bentuk istihsan itu adalah istihsan al-’urf. Oleh ulama hanafiyah ‘urf itu didahulukan atas qiyas khafi/qiyas yang ringan dan juga didahulukan atas nash umum, dalam arti ‘urf itu mentakhsis nash yang umum. Ulama Malikiyah menjadikan ‘urf yang hidup dikalangan penduduk madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum. Ulama Syafi’iyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal yang tidak menentukan ketentuan batasan dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa. Dalam menanggapi adanya penggunaan ‘urf dalam fiqih, al-Syuti mengulasnya dengan mengembalikannya kepada kaidah al-‘adat muhakamah/adat yang menjadi pertimbangan hukum.

V. KESIMPULAN

Dari hasil penelitan tulisan ini penulis menyimpulkan bahwa teradisi mangande olif-olif di desa meunafa, kecamatan Salang, kabupaten Simeulue, provinsi Nanggroe Aceh Darusalam merupakan dalam pandangan hukum Islam terhadap tradisi mangande olif-olif bertentangan dengan norma-norma agama serta tidak dapat diterima sebagai ‘urf sahih karena mendatangkan mudarat kepada masyarakat. Sebab, dalam tradisi ini terjadinya ketidakjelasan dan ketidakpastian, antara harapan dan kenyatan. Selanjutnya, praktek yang diterapkan dalam tradisi hampir sama dengan transaksi jual beli, sebab adanya imbalan timbal balik.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada lembaga penerbitan jurnal atas dukungan dan kontribusi, baik dalam bentuk apresiasi yang penulis berikan kepada pihak-pihak yang telah mendukung penelitian ini, baik dalam bentuk pendanaan, perizinan, konsultasi, maupun pendampingan pendataan.

VI. REFERENCES

Abdul, G. R. (2010). Fiqih Muamalah. Kencana.

Abdul Karim Zaidan. (2008). Pengantar Studi Syariat. Rabbani Press.

Abdul Wahab Khalab. (1994). Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Grafindo Persada. Abdul Wahab Khalaf. (1996a). Ilmu Ushul Fiqih. Gema Risalah.

Abdul Wahab Khalaf. (1996b). Ilmu Usul Fiqh. Risalah Press.

Abu Bakar Muhammad Ibnu Abdillah. (n.d.). Ahkamul Qur’an. Darul Kutub. Ahmad Rafiq. (2003). Hukum Islam Di indonesia. Raja Grafindo Persada.

(16)

46 https://journal.palanta.or.id

Ahmadi, C. N. D. A. (2004). Metodologi Penelitian. Bumi Aksara.

Ali Hafiz Bin Arabi Maliki, A. A.-A., & Qal’aji, M. (n.d.). Mu’jam Lugatil Fuqaha (Juz 1). Al-Maktabah Asy-Syamilah, Al-Isdar Assani. Http//Shamela

Amir Syarifudin. (2008). Ushul Fiqih Jilid 2. Kencana. As-Sarkhasi. (1980). Al-Mabsuth. Dar Al-Fikr. Asy-Syaukani. (1973). Nailul Autar. Dar Al-Jail.

Atikah, Z., Nurman, N., & Isnarmi, I. (2020). Tradisi Malakok dan Implikasinya terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat Tambun Ijuak Kecamatan Payakumbuh Kabupaten 50 Kota. Journal of Civic

Education, 2(5), 446–458. https://doi.org/10.24036/jce.v2i5.287

Bustanudin agus. (2007). Islam Dan Pembangunan, Islam Dan Muslim. Grafindo. Dede, R. (1996). Hukum Islam Dan Peranata Sosial. Grafindo Persada.

Hadi Sutrisno. (1997). Metodologi Reserch. Psikologi UGM.

Hasbi Ash-Shiddieqy. (1991). Hukum-Hukum Fiqih Islam. Bulan Binta.

Husain Husain Sahata. (2005). Suap Dan Korupsi Dalam Perspektif Syariah. Amza. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. (2007). Panduan Hukum Islam. Pustaka Azam.

Lexy J. Moleong. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya. Mahmud Yunus. (1989). Kamus Arab Indonesia. Hida Karya Agung.

Tokoh Masyarakat Dan Tokoh Adat, (2012).

Muhammad Arifin Bin Badri. (2009). 12 Kiat Ngelap Berkah. Darul Ilmi.

Muhammad Daud Ali. (2005). Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Diindonesia. Grafindo. Muhammad Qal’aji, M. L. F. (n.d.). Al-Maktabah Asy-Syamilah, Al-Isdar Assani. Shamela.

Muhammad Syafii Antonio. (2009). Teladan Sukses Dalam Bisnis Dan Hidup Muhammad Saw. Center. Murdiati, E., Word, K., Dalam, P., Tetap, D., & Fakultas, D. (2016). Pengetahuan Ekologi Lokal. Wardah,

16(2), 155–165.

Muslich Wardi Ahmad. (2010). Fiqih Muamalah. Amza.

Mustafa Ahmad Zarqa. (n.d.). Al-Madhakhal Al-Fiqh Al-Am. Al-Faba Al-Adib. Nasrun Haroen. (2007). Fiqih Muamalah. Gaya Media Pratama.

Rachmat Syafei. (2000). Fiqih Muamalah. Pustaka Setia.

Salmadanis. (2003). Adat Basandi Syara’ Nilai & Aplikasinya Menuju Kembali Kesurau. Insan Lestari.

Siah Khosiyah. (2010). Wakaf Dan Hibahperspektif Ulama Fiqih, Perkembangannya Diindonesia. Pustaka Setia. Siyah khasiah. (2008). Pengantar Studi Syariah. Rababani Pres.

Subroto. (1999). Metodologi Penelitian. Raja Grafindo.

Sukardi. (2008). Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi Dan Praktiknya. Bumi Aksara. Surahman Hidayat. (2008). Pengantar Studi Syariah Mengenal Syariah Lebih Dalam. Rabbani Press.

Syafrizal, S., & Calam, A. (2019). Local Wisdom: Eksistensi Dan Degradasi Tinjauan Antropologi Sosial (Ekplorasi Kearifan Lokal Etnik Ocu Di Kampar Riau). EduTech: Jurnal Ilmu Pendidikan Dan Ilmu

Sosial, 5(2), 178–185. https://doi.org/10.30596/edutech.v5i2.3424

Syekh Ahmad Bin Ahmad Abdullah Ath-Thawil. (2006). Benang Tipis Antara Hadiah Dan Suap. Darus Sunnah.

Team Postaka Poenik. (2007). Kamus Bahasa Indonesia. Poenik. Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam, (2009).

Tokoh Adat, (2012). Tokoh Agama, (2012). Tokoh Masyarakat, (2012). Tokoh Agama, (2012).

(17)

47 https://journal.palanta.or.id

Zuhdi, M. H. (2018). Kearifan Lokal Suku Sasak Sebagai Model Pengelolaan Konflik Di Masyarakat Lombok. Mabasan, 12(1), 64–85. https://doi.org/10.26499/mab.v12i1.34

Referensi

Dokumen terkait

UJ-001 Pengujian mengunduh aplikasi Berhasil UJ-002 Pengujian mengunduh plugin Berhasil UJ-003 Pengujian mendaftar akun Berhasil UJ-004 Pengujian memesan photobook Berhasil

Justeru itu, melalui etika nahi mungkar yang diwadahi dalam gagasan profetik, kajian ini meneliti pemeragaan watak wanita yang bertindak sebagai pembawa pesan

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Poernomo (2009) dari Universitas Diponegoro yang melakukan penelitian tentang Analisis Pengaruh

Eksplan pada perlakuan memberikan respon pertumbuhan yang tidak berbeda nyata terhadap kontrol ada periode regenerasi sehingga dapat diduga bahwa P3 merupakan

Sedangkan faktor utama yang menyebabkan keterlambatan waktu penyediaan dokumen rekam medis pelayanan rawat jalan yaitu pada faktor kepatuhan pasien dalam

Penerapan model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) juga meningkatkan kualitas proses pembelajaran dimana hasil aktivitas guru dalam proses pembelajaran dari siklus I

Oleh itu, kajian ini memberi tumpuan kepada memahami perkara-perkara yang berkaitan dengan kaedah pelaksanaan TQM dan eiri-eiri yang membawa kejayaan pelaksanaannya