• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT

Pada bab ini akan dijelaskan penentuan batas wilayah adat menurut hukum adat. Karena sebagian wilayah Kasepuhan Ciptagelar terdapat di dalam TNGHS, maka perlu dijelaskan mengenai penetapan batas wilayah adat oleh Kasepuhan Ciptagelar (Bab 3.1) serta oleh TNGHS (Bab 3.2).

3.1 Kasepuhan Ciptagelar

Di Indonesia, terdapat berbagai macam masyarakat adat. Diantara masyarakat adat tersebut terdapat sebuah komunitas adat di Jawa Barat yang unik karena cara hidupnya yang semi nomaden. Komunitas adat tersebut bertempat tinggal di Kasepuhan Ciptagelar. Kasepuhan Ciptagelar merupakan wilayah studi yang dipilih dalam penyusunan tugas akhir ini. Pada selanjutnya akan dijelaskan mengenai gambaran umum Kasepuhan Ciptagelar (Bab 3.1.1) serta wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar dari sudut pandang masyarakatnya (Bab 3.1.2).

3.1.1 Gambaran Umum Kasepuhan Ciptagelar

3.1.1.1 Masyarakat Kasepuhan

Kasepuhan Ciptagelar adalah salah satu Kasepuhan yang dihuni oleh masyarakat adat yang masih memegang teguh tradisinya secara turun temurun. Masyarakat yang tinggal di Kasepuhan Ciptagelar disebut masyarakat kasepuhan. Istilah kasepuhan berasal dari kata sepuh dengan awalan ka- dan akhiran -an. Dalam bahasa Sunda, kata sepuh berarti 'kolot' atau 'tua' dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan pengertian ini, muncullah istilah kasepuhan, yaitu tempat tinggal para sesepuh. Sebutan kasepuhan ini pun menunjukkan model sistem kepemimpinan dari suatu komunitas atau masyarakat yang berasaskan adat kebiasaan para orang tua

(2)

moyang'. Nama kasepuhan hanya merupakan istilah atau sebutan orang luar terhadap kelompok sosial ini yang pada masa lalu kelompok ini menamakan dirinya dengan istilah keturunan Pancer Pangawinan (Djatisunda A., 1984).

Kasepuhan Ciptagelar dipimpin oleh ketua adat Encup Sucipta, yang lebih dikenal dengan sebutan Abah Anom. Kasepuhan yang merupakan bagian dari Kasepuhan Banten Kidul adalah Sirnaresmi, Ciptamulya, Cisungsang, Cisitu, Cikarucung dan Citorek. Kasepuhan Ciptagelar merupakan pusat pemerintahan dari Kasepuhan Banten Kidul, dan merupakan ibukota bagi Kasepuhan lainnya. Nama Ciptagelar memiliki arti yaitu “Cipta yang menggelar” yang artinya sang ketua adat bernama Encup Sucipta yang mendirikan/menggelar Kasepuhan Ciptagelar. Nama Ciptagelar diciptakan ketika pusat pemerintahan Kasepuhan Banten Kidul berpindah dari Ciptarasa ke Ciptagelar. Awalnya, Kasepuhan Banten Kidul bernama Kasepuhan Ciptarasa ketika pusat pemerintahannya masih berada di Ciptarasa, kemudian berubah nama menjadi Kasepuhan Ciptagelar ketika berpindah menuju Cicemet. Jadi, sebenarnya Kasepuhan Ciptagelar adalah sebutan lain dari Kasepuhan Banten Kidul. Nama Kasepuhan Ciptagelar muncul setelah pusat pemerintahan Kasepuhan Banten Kidul berpindah dari Ciptarasa menuju Ciptagelar.

Secara administratif, Ciptagelar terletak di wilayah Kampung Sukamulya Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Sukabumi. Jarak Kasepuhan Ciptagelar dari Desa Sirnaresmi adalah 14 km. Sedangkan Ciptagelar berjarak 27 km dari cisolok, 103 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi dan 203 km dari Bandung.

3.1.1.2 Pola Hidup Masyarakat

Komunitas adat Kasepuhan Ciptagelar sudah ada sejak sekitar 1300an tahun yang lalu (Kuntari dan Badil, 2005). Dalam penerapan tradisi adat pada kehidupan sehari-harinya, komunitas adat Kasepuhan Ciptagelar mendapatkan pengaruh dari kerajaan Pajajaran, terutama dalam pengelolaan lahan pertanian. Beberapa pengaruh nyata dari Kerajaan Pajajaran adalah adanya tradisi seren taun, adanya bentuk pamali dalam mengolah tanah garapan, adanya penghormatan kepada Dewi Sri yang

(3)

diwujudkan dalam bentuk pemanfaatan padi serta adanya aturan-aturan adat mengenai hutan titipan, tutupan dan garapan yang sangat berkaitan dengan pertanian masyarakat Ciptagelar (Karma, 2007).

Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar masih menerapkan aturan adat dan tradisi leluhur dalam kehidupan sehari-harinya. Salah satu tradisi Kasepuhan Ciptagelar yang memiliki keunikan tersendiri bila dibandingkan dengan Kasepuhan lainnya di Indonesia adalah kehidupan masyarakatnya yang semi-nomaden. Yang dimaksud dengan semi nomaden adalah tradisi Kasepuhan Ciptagelar yang berpindah-pindah dalam jangka waktu tertentu. Selama sekitar 1387 tahun, pusat pemerintahan Kasepuhan Banten Kidul telah berpindah sebanyak 11 kali. Pemindahan lokasi tersebut dilakukan sesuai wangsit yang diterima oleh sesepuh girang, yaitu pemimpin atau ketua adat. Meski berdasar wangsit, tempat kepindahan mereka masih sebatas pada tanah adat (Kuntari dan Badil, 2005). Secara berurut, lokasi perpindahan Kasepuhan Ciptagelar adalah sebagai berikut:

1. Lebak Parang 2. Lebak Pinoh 3. Tegal Lumbuh 4. Pasir Talaga

5. Desa Bojong Cisono 6. Cicemet 7. Desa Cicadas 8. Desa Ciganas 9. Desa Linggarjati 10. Ciptarasa 11. Ciptagelar

Pendapat berbeda disampaikan oleh Ayatrohaedi (2003). Menurut Ayatrohaedi (2003), kepindahan lokasi pusat pemerintahan Kasepuhan Banten Kidul berkaitan erat dengan masalah kesuburan tanah. Perpindahan Kasepuhan Ciptagelar secara keilmuan dapat ditafsirkan sebagai perpindahan penduduk yang lebih

(4)

kesuburan tanah. Hal-hal tersebut diatas merupakan faktor-faktor penting yang mempengaruhi terjadinya proses perpindahan pusat pemerintahan Kasepuhan Banten Kidul. Hal ini terlihat dari proses perpindahannya menuju lokasi yang lebih subur dan memiliki ketinggian lebih tinggi dibandingkan lokasi sebelumnya. Tetapi teori tersebut dibantah oleh masyarakat Ciptagelar. Perpindahan tersebut semata-mata dilakukan karena wangsit yang diterima oleh ketua adat. Wangsit merupakan perintah leluhur yang didapat melalui mimpi. Tidak ada alasan lain dibalik perpindahan tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya variasi selang waktu antar perpindahan, ada selang waktu yang sangat lama dan ada juga selang waktu yang hanya beberapa tahun. Adanya selang waktu tersebut membuktikan bahwa perpindahan tersebut bukan karena kesuburan tanah. Selain itu, lokasi yang baru terkadang berada di atas lahan garapan dan sawah milik masyarakat yang tingkat produktivitas tanahnya sudah berkurang. Perpindahan tersebut harus dilakukan karena taruhannya adalah nyawa (Upat, 2007).

Penduduk di Kasepuhan Ciptagelar pada umumnya memiliki mata pencaharian petani dan pekerjaan lain dalam bidang agrikultur. Hal ini terlihat dari wilayah Ciptagelar yang sebagian besar merupakan sawah dan ladang. Wilayah persawahan dan ladang tersebut terdiri dari 85% sawah, 10% ladang, dan 5% kebun (wikipedia, 2006).

(5)

Sehari-harinya, penduduk Ciptagelar menanam padi, sayur-sayuran, buah-buahan, serta memelihara hewan ternak untuk memenuhi kebutuhannya. Para penduduk Ciptagelar menanam padi di dalam sawah pribadi serta sawah komunal yang telah dibagi-bagi penggarapannya. Sebagai rasa tanggung jawab kepada Kasepuhan Ciptagelar, mereka selalu menyisihkan sebagian kecil dari hasil panennya untuk disimpan di dalam leuit (lumbung padi).

3.1.1.3 Pelestarian Lingkungan

Masyarakat Ciptagelar merupakan masyarakat adat yang sangat menjaga kelestarian alam serta menghormati lingkungan. Hal itu terlihat dari tradisi dan budaya mereka, diantaranya adalah larangan menebang pohon di tempat-tempat tertentu, larangan mengambil kayu bakar langsung dari pohonnya serta gerakan penanaman bibit pohon yang jumlahnya mencapai 16.000 pohon di hutan sekitar Kasepuhan Ciptagelar. Sebagai masyarakat yang menggantungkan dirinya pada sumber daya alam dan hutan disekelilingnya, mereka percaya bahwa dengan adanya keselarasan kehidupan antara manusia dengan alam sekitar akan menjadikan kehidupan bahagia dan sejahtera.

Tata cara kehidupan yang sangat menghormati alam terlihat dari aturan adat dan larangan-larangan (pamali) dalam kehidupan Ciptagelar. Berdasarkan wawancara terhadap Abah Anom serta penduduk di Ciptagelar, terdapat beberapa pamali yang sangat ditaati oleh penduduknya. Diantara pamali tersebut adalah:

- Dilarang memperjualbelikan beras dan produk-produk yang terbuat dari beras. Maksudnya adalah, agar masyarakat Ciptagelar tidak kekurangan makanan dan tidak melakukan pembukaan hutan menjadi sawah dengan semena-mena.

- Adanya larangan untuk menjadikan lokasi-lokasi tertentu sebagai tempat tinggal, lokasi tersebut adalah:

a. Sirah Cai, merupakan hulu dari sebuah mata air.

b. Lemah Gunting, merupakan pertemuan dua sungai kecil. Penduduk Ciptagelar percaya bahwa adanya pertemuan dua sungai kecil

(6)

merupakan pertemuan dari dua kekuatan mistis, dan hal itu sangat berbahaya bagi yang menempatinya.

c. Pamatangan, merupakan gundukan tanah atau jalan kecil yang biasanya terletak di tengah ladang/sawah.

d. Tempat-tempat angker yang mengandung unsur gaib.

- “Mipit amit ngala menta, mangan halal, make kudu anu suci, kudu bagus tekad, ucap jeung lampah”, perkataan Abah Anom tersebut mengandung arti filosofi kehidupan manusia harus mengutamakan kebaikan dalam hidupnya.

- Tidak boleh memasuki serta menebang pohon di dalam hutan-hutan tertentu yang dianggap angker. Hutan-hutan tersebut adalah hutan titipan dan hutan tutupan.

Semua pamali tersebut berasal dari dua buah sumber aturan. Yang pertama adalah aturan tersebut merupakan adat istiadat yang memang sudah ada sejak lama dan turun-menurun diwariskan dalam kehidupan masyarakat. Contohnya adalah adanya larangan untuk memasuki wilayah hutan tutupan. Sedangkan yang kedua adalah aturan tersebut berasal dari kebijaksanan Abah Anom selaku ketua adat yang sangat dihormati oleh masyarakatnya, baik itu dari wangsit ataupun dari hasil pemikiran Abah Anom sendiri. Contohnya adalah aturan Abah Anom yang mengharuskan warganya menyumbangkan satu ikat padi untuk disimpan di leuit si jimat (lumbung bersama). Disini terlihat peran Abah Anom sangat besar dalam proses kehidupan masyarakatnya, peran Abah Anom tersebut biasanya sering dikaitkan dengan wangsit. Secara harfiah, wangsit berarti bisikan atau imbauan yang bersifat gaib. Menurut kepercayaan penduduk setempat, wangsit berasal dari leluhur atau nenek moyang. Penduduk Kasepuhan Ciptagelar sangat memegang teguh adat istiadatnya. Mereka mempercayai adanya pamali serta hal-hal gaib di dalam kehidupan sehari-harinya.

3.1.1.4 Struktur Pemerintahan Adat

Sebagai wilayah yang berbentuk kasepuhan, Ciptagelar memiliki sistem administrasi pemerintahannya sendiri. Sistem pemerintahan tersebut sudah ada turun-temurun dari dulu hingga sekarang. Di Kasepuhan Ciptagelar, kolot girang

(7)

(ketua adat) merupakan jabatan paling tinggi dan memiliki peranan utama dalam menjalankan Kasepuhan. Namun, bukan berarti sifat kepemimpinan Abah Anom bersifat diktator. Abah Anom sebagai kolot girang sangat memperhatikan aspirasi serta keadaan para warganya. Warga Ciptagelar pun yakin bahwa Abah telah memikirkan kesejahteraan warganya. Abah memiliki banyak pembantu atau menteri yang tersebar dari pusat hingga berbagai daerah. Secara struktural, kasepuhan ini dipimpin oleh kolot girang. Kolot girang didampingi sesepuh induk (baris kolot induk) yang saat ini dijabat oleh Ki Karma. Ki Karma merupakan ketua dari para baris kolot yang memiliki tugas sebagai penasehat serta sesepuh dari Ciptagelar. Selain itu, Ki Karma merupakan mediator untuk mempertemukan para kolot lembur dengan Abah Anom. Kolot lembur merupakan pemimpin dari kampung-kampung yang terdapat didalam Kasepuhan. Jika ada persoalan adat atau persoalan warga, seperti konflik tanah, umumnya akan ditangani terlebih dulu oleh kolot lembur didaerah. Jika usaha tersebut gagal, masalah tersebut dapat dibawa ke sesepuh induk. Ki Karma sebagai sesepuh induk akan berusaha menyelesaikan persoalan itu. Jika tidak bisa, maka Abah Anom yang akan menjadi penentu.

Di tingkat pusat maupun daerah, terdapat pula pejabat-pejabat yang turut berperan dalam menjalankan roda tata kelola adat. Jabatan-jabatan yang biasanya ada di antaranya adalah mabeurang (dukun bayi), bengkong (dukun sunat), paninggaran (memagari lahan pertanian secara gaib dari serangan hama), juru doa, juru pantun, dukun jiwa, dukun tani dan juru sawer untuk menjalankan fungsi keamanan atau ronda. Di beberapa kampung juga terdapat pengawal atau ajudan yang berfungsi untuk membantu membawakan barang bawaan kolot lembur jika bepergian dinas (Ruhiyat, 2005). Lihat Gambar 3.2 untuk struktur pemerintahan kasepuhan ciptagelar.

(8)

Gambar 3.2 Struktur Pemerintahan Kasepuhan Ciptagelar

Kasepuhan Ciptagelar juga memiliki pujangga keraton yang bertugas untuk membunyikan kecapi buhun sambil berpantun untuk menuturkan asal-usul perjalanan hidup Kasepuhan Banten Kidul dari Bogor hingga di kaki hutan Taman Nasional Gunung Halimun. Dari pantun-pantunnya, dipercaya terlantun doa agar desa itu terlindungi dan dibebaskan dari segala malapetaka. Isi pantun yang dilantunkan oleh pujangga keraton Kasepuhan Ciptagelar merupakan refleksi untuk mengingatkan identitas etnis serta sistem religi masyarakat Kasepuhan Banten Kidul. Sistem refleksi itu telah menjadi alat penyembuh sosial (social healing) atau biasa disebut ruwatan terhadap desa tersebut.

Yang sangat menarik dari sistem pemerintahan di Kasepuhan Ciptagelar adalah adanya kerelaan dan keikhlasan dari setiap orang yang ditugaskan oleh Ketua Adat. Setiap orang yang ditunjuk, secara sukarela akan menjalankan tugasnya secara setia.

(9)

3.1.2 Batas Wilayah Adat Ciptagelar Dalam Perspektif Adat

3.1.2.1 Penguasaan dan Pemanfaatan Tanah Adat

Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam sub-bab sebelumnya, Kasepuhan Ciptagelar merupakan sebuah komunitas adat yang sangat unik. Keunikan ini terutama terlihat dari tata-cara kehidupan mereka yang semi nomaden. Selama sekitar 1387 tahun, pusat pemerintahan Kasepuhan Banten Kidul telah berpindah sebanyak 11 kali (Kuntari dan Badil, 2005). Kehidupan yang semi nomaden ini merupakan kehidupan yang sudah menjadi tradisi Kasepuhan Ciptagelar dari dulu hingga sekarang.

Lokasi pusat pemerintahan Kasepuhan Banten Kidul awalnya terletak di wilayah Bogor. Dari Bogor, mereka melakukan perpindahan beberapa kali. Berawal dari daerah Lebak Parang, lalu berpindah menuju daerah Lebak Pinoh, berpindah kembali menuju daerah Tegal Lumbuh, lalu berpindah kembali menuju daerah Pasir Talaga hingga akhirnya mereka tercatat menetap di Desa Bojong Cisono, Banten, yang terletak di wilayah Selatan Gunung Halimun dengan dipimpin oleh Aki Rusdi. Kepindahan berikutnya yang tercatat adalah perpindahan menuju daerah Cicemet. Lalu dengan dipimpin oleh Abah Arjo, mereka melakukan perpindahan menuju desa Cicadas yang terletak di daerah Sirnaresmi. Selama beberapa waktu mereka menetap, hingga pada akhirnya dengan dipimpin oleh Abah Arjo pula, mereka melakukan perpindahan menuju Desa Ciganas. Selanjutnya mereka melakukan perpindahan kembali menuju Desa Linggarjati, sebuah desa yang terletak di dekat Desa Cisarua.

Abah Arjo menikah sebanyak empat kali dan dikaruniai 3 orang anak. Anak tertua Abah Arjo bernama Encup Sucipta. Abah Arjo meninggal pada tahun 1982 dan dimakamkan di Desa Linggarjati. Sebelum meninggalnya, Abah Arjo mewariskan tahta pemimpin adat Kasepuhan kepada anak tertuanya yang bernama Encup Sucipta. Karena usianya yang masih muda pada waktu itu (sekitar 16 tahun), Encup Sucipta pun lebih dijuluki Abah Anom, yang pada akhirnya julukannya itulah yang lebih dikenal oleh masyarakat dibandingkan dengan nama aslinya.

(10)

Pada tahun yang sama (1982), Abah Anom sebagai pemimpin baru Kasepuhan memindahkan letak Kasepuhan menuju Desa Ciptarasa. Di kampung ini, Abah Anom bersama penduduknya membangun Imah Gede (Rumah Abah Anom sekaligus rumah penerima tamu), leuit (tempat menampung padi), lesung (tempat menumbuk padi) dan ajeng (tempat menyimpan alat musik tradisional). Selanjutnya mereka membangun rumah penduduk serta mushola. Pada tahun 2001, 18 tahun setelah Abah Anom dan Kasepuhan menetap di Ciptarasa, mereka berpindah menuju Desa Ciptagelar yang merupakan desa terakhir hingga kini dalam serangkaian proses perpindahan pusat pemerintahan Kasepuhan Banten Kidul. Untuk lebih jelasnya lihat Gambar 3.3, 3.4 dan 3.5.

Gambar 3.3 Leuit si Jimat Gambar 3.4 Mushola Ciptagelar

(11)

Dalam proses perpindahan tersebut, terlihat bahwa setiap kali terjadi perpindahan maka akan timbul satu desa baru dan desa itulah yang menjadi letak dari pusat pemerintahan Kasepuhan Ciptagelar. Walaupun Ciptarasa serta desa-desa lainnya yang telah ditinggalkan Abah Anom sudah tidak menjadi pusat Kasepuhan, tetapi desa-desa tersebut masih termasuk kedalam wilayah Kasepuhan Ciptagelar. Jadi dapat dikatakan bahwa setiap kali Kasepuhan Ciptagelar melakukan perpindahan, maka akan timbul sebuah pemukiman baru. Itu berarti semakin banyak terjadi perpindahan, semakin luas pula wilayah pemukiman dan garapan masyarakat adat tersebut.

Komunitas Adat Banten Kidul membuka lahan dan menetap pertama kali di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) antara tahun 1902 hingga 1942. Sebelumnya, mereka menetap di luar TNGHS. Pembukaan lahan ini dilakukan oleh generasi pertama dari Kasepuhan Ciptagelar yang berada di daerah TNGHS (Sucipta, 2007). Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh Jawatan Kehutanan pada tahun 1973, jumlah lahan bukaan yang telah dikuasai oleh Komunitas Adat Banten Kidul yang mencakup daerah Bogor, Lebak dan Sukabumi, seluruhnya seluas kurang lebih 70.000 Ha (Sucipta, 2007). Jumlah lahan bukaan tersebut adalah keseluruhan lahan adat yang berada diluar dan didalam TNGHS. Diantara 70.000 Ha lahan bukaan tersebut, 6 Ha diantaranya adalah wilayah pemukiman Kasepuhan Ciptagelar dengan jumlah penduduk ± 160 kepala keluarga serta ratusan hektar diantaranya adalah wilayah bukaan yang dikuasai masyarakat Kasepuhan Ciptagelar.

Perpindahan pemukiman Kasepuhan Ciptagelar, dilakukan berdasarkan wangsit yang diterima oleh sesepuh girang. Perpindahan tersebut masih dalam ruang lingkup tanah adat (Sucipta, 2007). Dari pernyataan ketua adat Ciptagelar tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya, tanah adat kasepuhan sudah ada sejak Kasepuhan Banten Kidul pertama kali didirikan.

Dalam tata hukum dan aturan adat di Kasepuhan Ciptagelar, terdapat klasifikasi dari penguasaan tanah adat yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu wilayah

(12)

non olahan terdiri dari daerah-daerah yang sama sekali tidak boleh digarap dan ditempati oleh masyarakat dan pihak adat (daerah pamali) serta wilayah hutan diluar 70.000 ha tanah adat Kasepuhan Banten Kidul yang telah disebutkan sebelumnya. Daerah pamali tersebut diantaranya adalah pamatang (gundukan tanah), sirah cai (sumber mata air), lemah gunting (pertemuan dua sungai kecil) dan tempat-tempat yang menjadi pamali (larangan) serta angker. Wilayah hutan diluar 70.000 ha tanah adat Kasepuhan tersebut terdiri dari tiga buah jenis leuweung (hutan), yaitu leuweung titipan (hutan kepercayaan), leuweung tutupan (hutan larangan) dan leuweung garapan (hutan produksi) (Abdulharis, 2007). Yang dimaksud dengan leuweung titipan, tutupan dan garapan adalah:

- Leuweung tutupan, adalah wilayah hutan di Kasepuhan Ciptagelar yang sama sekali tidak boleh dimasuki dan diganggu oleh manusia. Seluruh warga kasepuhan dan pemangku adat kasepuhan tidak boleh memasuki hutan ini. Bagi masyarakat kasepuhan, leuweung tutupan bukan hanya sebagai hutan lindung, tetapi juga merupakan hutan perlindungan alam mutlak yang tidak boleh diganggu gugat dari awal sampai akhir. Leuweung tutupan menunjukkan keanekaragaman hayati yang tinggi, berfungsi sebagai daerah resapan air (leuweung sirah cai) dan sebagai pusat keseimbangan ekosistem. Keberadaan leuweung tutupan ini ditandai dengan adanya “larangan untuk masuk ke dalamnya” secara adat (Saptariani N., 2003).

- Leuweung titipan, adalah wilayah hutan di Kasepuhan Ciptagelar yang tidak boleh dimasuki oleh penduduk adat dan tidak boleh dipakai kayunya kecuali untuk keperluan adat. Leuweung titipan juga merupakan kawasan hutan yg dicadangkan untuk daerah pemukiman masyarakat adat Kasepuhan dimasa mendatang (awisan) dan alokasi lahan garapan (untuk huma dan kebun). Di dalam hutan ini, hanya para pemangku adat yang boleh masuk dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di dalamnya, itupun untuk keperluan adat. Aturan adat mengharuskan dalam setiap penebangan satu batang pohon, harus diganti dengan pohon yang baru. Penebangan pohon dan penggunaan sumber daya alam hutan titipan tersebut pun dapat dilakukan setelah

(13)

mendapatkan ijin dari ketua adat, dan hanya untuk keperluan pembuatan rumah adat serta keperluan adat lainnya (Saptariani N., 2003).

- Leuweung garapan, adalah wilayah hutan di Kasepuhan Ciptagelar yang terbuka untuk aktivitas masyarakat dan keperluan adat serta boleh dimanfaatkan hasil hutannya untuk keperluan apapun. Konsep reboisasi seperti hutan titipan, diterapkan disini. Aturan adat mengharuskan dalam setiap penebangan satu batang pohon, harus diganti dengan pohon yang baru.

Klasifikasi yang kedua adalah wilayah olahan (cultivation area). Wilayah olahan terbagi menjadi dua kelas, yang pertama adalah wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar sendiri dan yang kedua adalah wilayah yang tidak dimiliki oleh adat (sudah menjadi milik luar adat). Wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar, terbagi kembali menjadi tiga buah subkelas (Abdulharis, 2007). Subkelas yang pertama adalah wilayah adat yang dialokasikan untuk aktivitas adat Kasepuhan. Salah satunya adalah pusat Kasepuhan Ciptagelar. Subkelas yang kedua adalah wilayah adat yang diolah oleh masyarakat adat, yang hasilnya digunakan untuk keperluan adat. Contohnya adalah sawah dan ladang milik adat. Subkelas yang ketiga adalah wilayah adat yang dipergunakan untuk kepentingan penduduk adat, contohnya adalah pemukiman dan lahan garapan. Untuk subkelas ini, penduduk adat berhak membangun rumah dan mempergunakan lahan yang dikuasainya. Hak tersebut dalam UUPA disebut hak pakai dan hak guna bangunan. Untuk lebih jelasnya lihat gambar 3. 6.

(14)

Gambar 3.6 Bagan alir penguasaan tanah adat Kasepuhan Ciptagelar

3.1.2.2 Konsep Batas Adat Ciptagelar

Secara fisik, letak Kasepuhan Ciptagelar dikelilingi oleh hutan titipan, tutupan dan garapan. Dalam konsep adat, ketiga hutan ini merupakan batas wilayah adat Ciptagelar. Secara keilmuan, batas tersebut merupakan batas umum (general boundary). General boundary merupakan suatu bentuk batas yang hanya memperlihatkan suatu batas melalui pendekatan yang tidak presisi, contohnya adalah

(15)

batas yang didefinisikan dalam objek natural seperti hutan (Dale dan McLaughlin, 1999).

Setiap hutan tersebut, memiliki wilayah masing-masing. Hutan-hutan inilah yang menjadi pembatas wilayah bukaan penduduk Ciptagelar. Batas antara hutan dengan wilayah bukaan masyarakat biasanya ditandai dengan adanya jalan setapak atau langsung berbatasan antara tepi hutan dengan tepi wilayah garapan dan pemukiman. Untuk lebih jelasnya lihat Gambar 3.7 dan 3.8. Sedangkan batas antara wilayah garapan warga dengan hutan ditandai dengan adanya pamatang atau timbunan tanah di sisi terluar lahan garapan. Lihat Gambar 3.9.

(16)

Gambar 3. 8 Batas antara hutan titipan dengan pemukiman

Secara fisik, antara hutan yang satu dengan hutan lainnya dibatasi oleh objek batas yang berupa pohon tertentu, arca, batu ataupun situs. Objek batas pohon yang biasa dipakai oleh penduduk Ciptagelar berupa pohon Hanjuang (Cordyline sp) dan pohon Botol (Mascarena lagenicaulis). Pohon tersebut dijadikan batas dengan cara ditanam pada batas yang telah ditentukan. Alasan digunakannya pohon tersebut karena selain batangnya tegak, juga karena pohon tersebut jika sudah ditebang sampai habis, suatu saat pasti akan tumbuh kembali, sehingga batas tersebut tidak akan hilang (Sucipta, 2007).

(17)

Gambar 3. 9 Batas antara hutan dengan lahan garapan warga

Selain sebagai objek yang sering dipakai untuk mewakili salah satu titik batas, pohon hanjuang dan pohon botol juga biasanya dipergunakan penduduk adat untuk menolak bala. Pohon tersebut ditanam di sekeliling rumah warga, walaupun tidak semua warga menanamnya. Secara tidak langsung, pohon tersebut membatasi wilayah garapannya. Untuk lebih jelasnya, lihat Gambar 3.10 dan 3.11.

(18)

Gambar 3.10 Pohon Hanjuang sebagai batas pemukiman

Gambar 3.11 Pohon Hanjuang sebagai batas wilayah garapan

3.2 Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS)

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) merupakan taman nasional yang di dalamnya terdapat beberapa kasepuhan, diantaranya Kasepuhan

(19)

Ciptagelar. Secara geografis, TNGHS terletak pada 106°12’58’’ BT - 106°45’50’’ BT dan 06°32’14’’ LS - 06°55’12’’ LS. Secara administratif, wilayah kerja TNGHS meliputi tiga wilayah administrasi pemerintahan tingkat kabupaten, yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak. Pada tingkat kecamatan dan desa, terdapat 26 kecamatan. Dari 26 kecamatan tersebut, 9 kecamatan merupakan bagian dari kabupaten Bogor, 8 kecamatan bagian dari Kabupaten Sukabumi, 9 kecamatan merupakan bagian dari Kabupaten Lebak dan 101 desa yang berbatasan langsung dengan wilayah TNGHS. Pada tahun 2005, tercatat ada 314 kampung yang berada di dalam kawasan TNGHS dengan 99.782 jiwa di dalamnya (survey TNGHSNP dan MP-JICA, 2005).

Dengan banyaknya desa di TNGHS, maka secara langsung akan timbul suatu pertampalan kepentingan antara masyarakat adat serta pihak TNGHS. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu pengembangan wilayah taman nasional yang berwawasan lingkungan, sosial, dan budaya. Pada subbab selanjutnya akan dipaparkan mengenai sejarah umum TNGHS dan kewenangan TNGHS atas wilayahnya (Bab 3.2.1), serta pandangan TNGHS terhadap Kasepuhan Ciptagelar dan batas wilayah adatnya (Bab 3.2.2).

3.2.1 Sejarah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Sebagai salah satu kawasan taman nasional yang cukup tua di Indonesia, TNGHS memiliki sejarah panjang yang secara langsung berkaitan dengan kondisi lingkungan serta perkembangan masyarakat di dalamnya, termasuk juga masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Berdasarkan sejarah, TNGHS sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan Belanda tahun 1924-1934, kawasan Gunung Halimun ditetapkan sebagai hutan lindung dengan luas 39.941 ha di bawah pengelolaan Pemerintah Hindia Belanda. Hutan Lindung Gunung Halimun diubah statusnya menjadi cagar alam pada tahun 1935-1961 di bawah pengelolaan Pemerintah Belanda dan Republik Indonesia/Djawatan Kehutanan Jawa Barat.

(20)

pada saat itu belum dilaksanakan karena belum kuatnya aturan tertulis mengenai pergantian penguasaan TNGHS. Kawasan Cagar Alam Gunung Halimun kemudian diperluas menjadi 40.000 ha pada tahun 1979. Pengelolaannya berada di bawah PPA. Hingga pada tanggal 26 Februari 1992, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 282/Kpts-II/1992, kawasan yang sebelumnya merupakan Cagar Alam Gunung Halimun ditetapkan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor 1544/DJ-VI/TN/1992, pada masa tersebut tanggung jawab pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) untuk sementara diserahkan kepada Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Pada tanggal 10 Juni 2003, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tentang penunjukan kawasan TNGH dan perubahan fungsi kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak yang dikelola oleh Perum Perhutani, maka Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) berubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang memiliki luas sebesar 113.357 ha.

Sebelum keluarnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003, luas kawasan TNGH adalah 40.000 hektar. Kawasan TNGH yang sebelumnya bernama Cagar Alam Gunung Halimun, meliputi sebagian besar kompleks hutan Gunung Halimun, Gunung Kendang Kulon, Gunung Sanggabuana, Gunung Nanggung, Jasinga dan Ciampea yang terletak di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak.

Setelah keluarnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003, luas kawasan TNGHS menjadi 113.357 ha. Perubahan fungsi hutan negara eks Perhutani menjadi TNGHS di Kabupaten Sukabumi adalah seluas 16.785,22 ha, di Kabupaten Bogor seluas 18.378,68 ha dan di Kabupaten Lebak seluas 27.049,04 ha. Dengan adanya SK Menteri tersebut, maka ada perubahan fungsi kawasan hutan dari hutan lindung dan hutan produksi menjadi hutan konservasi TNGHS. Sedangkan status kawasan hutan TNGHS tetap sebagai hutan negara dengan tidak mengakui

(21)

adanya tanah hak di dalamnya (Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Yogyakarta, 2006).

Sebelum keluarnya SK Menteri Kehutanan No. 175/Ktps-II/2003, luas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun adalah 40.000 hektar. Kawasan tersebut meliputi sebagian kompleks hutan Gunung Halimun, Gunung Kendang Kulon, Gunung Sanggabuana, Gunung Nanggung, Jasinga I dan Ciampea yang terletak di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak. Panjang keseluruhan batas TNGHS adalah ± 1280 km, 1170 km diantaranya sudah dilakukan delineasi batas (TNGHS, 2007).

Gambar 3.12 Patok batas wilayah TNGHS

Setelah keluarnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Ktps-II/2003 pada tanggal 10 Juni 2003, luas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menjadi 113.357 hektar. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan tersebut maka kawasan hutan negara seluas 73.357 hektar yang merupakan kawasan hutan lindung dan hutan produksi pada Kelompok Hutan Gunung Halimun serta Kelompok Hutan Gunung Salak yang sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani, berubah fungsi menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak di bawah pengelolaan Balai

(22)

menjadi TNGHS di Kabupaten Sukabumi adalah seluas 16.785,22 ha, di Kabupaten Bogor seluas 18.378,68 ha dan di Kabupaten Lebak seluas 27.049,04 ha. Kawasan TNGHS tetap sebagai hutan negara dengan tidak memasukkan tanah hak (Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Yogyakarta, 2006). Luas kawasan serta batas wilayah TNGHS yang berubah setelah keluarnya SK tersebut diperlihatkan dalam gambar berikut:

Gambar 3.13 Kawasan lama dan baru TNGHS

3.2.2 Batas Wilayah Kasepuhan Ciptagelar Menurut TNGHS

Kasepuhan Ciptagelar terletak didalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Letak Kasepuhan Ciptagelar berada di Barat Laut Gunung Halimun Selatan. Mereka memiliki kebiasaan hidup berpindah-pindah (semi nomaden). Kasepuhan Ciptagelar memiliki pandangan yang berbeda dengan TNGHS dalam hal batas wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Kasepuhan Ciptagelar memiliki lahan cadangan sebagai lokasi perpindahan mereka di masa yang akan datang. Pihak

(23)

TNGHS meyakini bahwa pada suatu saat mereka akan berpindah ke lahan cadangan tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut, maka pihak TNGHS melakukan pembagian zona dan pendekatan terhadap kasepuhan dengan harapan pihak kasepuhan terus berada di dalam zona tersebut (Kuswara, 2007). Diantaranya adalah zona tradisional dan zona untuk tujuan sosial budaya. Penempatan Kasepuhan Ciptagelar dalam zona tradisional tersebut dilakukan oleh pihak TNGHS dengan mengusahakan MoU (Memorandum of Understanding) antara TNGHS dan Kasepuhan Ciptagelar. Dalam pembicaraan terakhir, disepakati luas wilayah Kasepuhan Ciptagelar sekitar 5.000 ha (Kuswara, 2007).

Kasepuhan Ciptagelar merupakan sebuah wilayah tradisional yang memiliki kebudayaan dan kehidupan sosial yang baik. Atas dasar itulah pihak TNGHS untuk sementara memasukkan Kasepuhan Ciptagelar kedalam zona tradisional. Untuk lebih jelasnya lihat Gambar 3.14.

Gambar 3.14 Rancangan Zonasi wilayah TNGHS

Untuk dapat mengetahui letak zona tradisional yang dilakukan oleh pihak TNGHS dilakukan overlay antara peta topografi Jabar-Banten dengan peta lokasi TNGHS serta rancangan zonasi yang dilakukan oleh pihak TNGHS. Setelah dilakukan overlay didapatkan hasil yang ditampilkan dalam Gambar 3.15.

(24)

Gambar 3.15 Wilayah TNGHS (batas coklat) dan zona tradisional (batas merah muda)

Pembuatan zona tradisional untuk masyarakat Kasepuhan tersebut bertujuan agar masyarakat Kasepuhan tidak menempati zona selain yang telah ditetapkan, sehingga proses perpindahan dan pembukaan lahan yang dilakukan masyarakat tidak mempengaruhi ekosistem dan lingkungan TNGHS (Kuswara, 2007). Dengan adanya zona tradisonal yang merupakan gambaran wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar, maka secara tidak langsung pihak TNGHS mengakui adanya penguasaan sebagian wilayah TNGHS oleh pihak Kasepuhan Ciptagelar.

Gambar

Gambar 3.1 Perbandingan pemanfaatan lahan pertanian Ciptagelar
Gambar 3.2 Struktur Pemerintahan Kasepuhan Ciptagelar
Gambar 3.5 Imah Gede
Gambar 3.6 Bagan alir penguasaan tanah adat Kasepuhan Ciptagelar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu juga, banyak masyarakat sekarang yang semakin merehkan adanya Koran, sebab menurut mereka informasi atau berita yang disampaikan dalam Koran bukan berita

Penduduk Desa Wage memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah dikarenakan perekonomian mereka sebagian besar bergerak disektor pertanian yang pendapatannya

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata total leukosit sapi bali yang diinfeksi telur Taenia saginata secara eksperimental (6.92 x 10 3 /μl) lebih tinggi

Unit ini kompetensi ini berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang dibutuhkan untuk melaksanakan penerapkan prosedur darurat pada operasi pengeboran migas

Hasil Penelitian Sub-sub dimensi yang termasuk kategori Cukup Baik dan Baik : Pengawasan yang ketat dengan pembagian wewenang masing-masing sebesar 47.8%, Mengukur dan

Pelayanan Terpadu adalah serangkaian kegiatan untuk melakukan perlindungan bagi anak korban kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran yang dilaksanakan

menyusun daftar pertanyaan atas hal-hal yang belum dapat dipahami dari kegiatan mengmati dan membaca yang akan diajukan kepada guru berkaitan dengan materi Konflik

Lapisan batuan yang berpotensi sebagai akuifer adalah lapisan batupasir gampingan dengan karakteristik warna kuning pucat hingga kecoklatan, berbutir